• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik Hukum Indonesia Sebagai Negara K

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Politik Hukum Indonesia Sebagai Negara K"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Politik Hukum Indonesia

Sebagai Negara Kepulauan

Oleh: Drs. Muhammad Ihsan, M.H

Dosen dan Sekretaris YPMI

I. Pendahuluan

I.1 Latar Belakang

Deklarasi Djuanda merupakan pengukuhan diri Bangsa Indonesia mengenai jati dirinya sebagai negara yang terdiri dari beribu pulau. Pulau-pulau Indonesia yang dipisahkan oleh laut mengacu kepada pasal 1 ayat (1) angka 1 s/d 4 Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim 1939 stb No. 442 (TZMKO Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939)1dimana setiap pulau Indonesia hanya memiliki perairan 3 mil

dari garis pantai. Dengan demikian, kapal-kapal asing dengan mudahnya berlalu lalang di laut pedalaman Indonesia. Hal ini dipandang sangat riskan bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk itulah Ir. H. Djuanda Kartawijaya yang pada saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri berusaha menyatukan seluruh pulau-pulau yang puncaknya dideklarasikan pada tanggal 13 Desember 1957 (tepat 55 tahun yang lalu), laut tidak lagi pemisah, namun pemersatu.

Deklarasi tersebut menjadi tonggak bagi Indonesia sebagai negara kepulauan dimana laut dan segala isinya merupakan satu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang tak terpisahkan. Selanjutnya menjadi landasan hukum yang merubah bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan dengan undang-undang tentang perairan (UU No. 4 Prp. 1960)2. Namun dunia internasional tidak serta merta mengakui deklarasi

tersebut. Baru setelah Indonesia meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut III

1 Henky Supit, Teropong Kajian Tata Kelautan Indonesia, Yayasan Pendidikan Maritim

Indonesia, 2004.

(2)

(UNCLOS III) tahun 1982 melalui UU Nomor 17 tahun 1985, PBB resmi mengakui Indonesia sebagai negara kepulauan.

Sejalan dengan pengakuan tersebut, Indonesia memiliki Hak dan Kewajiban sebagai Negara Kepulauan. Hak yang dimiliki Indonesia mencakup pemanfaatan kekayaan alam yang terkandung di dalam laut untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Sementara Kewajiban yang diemban oleh Indonesia adalah menjamin lalu lintas damai armada kapal asing di perairan Indonesia, dan kewajiban lain sehubungan dengan pelestarian lingkungan laut.

Namun, Indonesia selanjutnya tidak melakukan pembenahan hukum menyangkut perairan yang menjadi roh Deklarasi Djuanda. Indonesia belum melakukan pengaturan tentang bagaimana seharusnya negara kepulauan tersebut berjalan efektif agar wilayah teritorial laut menjadi aman, bermanfaat dan menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan sejati yang disegani dunia internasional sebagaimana pernah terjadi pada zaman kerajaan Majapahit dan Sriwijaya.

I.2 Rumusan Masalah

Ada banyak pakar hukum yang memberikan definisi tentang Politik Hukum, penulis dalam hal ini mengambil definisi yang diberikan oleh Padmo Wahjono disetir oleh Kotam Y. Stefanus:

“Politik Hukum adalah kebijaksanaan penyelenggara Negara tentang apa yang dijadikan criteria untuk menghukumkan sesuatu (menjadikan sesuatu sebagai Hukum). Kebijaksanaan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum dan penerapannya.”3

Dalam paper ini penulis akan berusaha memaparkan bagaimana politik hukum Indonesia tidak berjalan sebagaimana mestinya membentuk sistem pemerintahan negara kepulauan,

(3)

sebaliknya masih mengacu kepada sistem pemerintahan kontinental dengan menjawab dua (2) pertanyaan berikut:

a. Apa yang dimaksud dengan Negara Kepulauan?

b. Sejauh mana politik hukum Indonesia menuju Negara Kepulauan yang sesungguhnya?

I.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan paper ini adalah untuk mengkaji sejauh mana politik hukum Indonesia konsisten menjalankan visi dan misi sebagai Negara Kepulauan sesuai semangat Deklarasi Djuanda dan Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, penulis akan berusaha memberikan masukan yang konstruktif dengan harapan hal ini bisa menjadi pertimbangan oleh pemegang keputusan (decision maker) untuk membangun Indonesia yang lebih baik sebagai negara kepulauan.

II. Pembahasan

Untuk menjawab dua (2) pertanyaan yang dikemukakan dalam rumusan masalah diatas, penulis akan mencoba mengupas sebagai berikut.

II.1Negara Kepulauan

Republik Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau (citra satelit terakhir menunjukkan 18,108 pulau) termasuk 9.638 pulau yang belum diberi nama dan 6.000 pulau yang tidak berpenghuni. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis pantai lebih dari 81.000 km serta luas laut sekitar 3,2 juta km2 sehingga wilayah pesisir dan lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan keanekaragaman hayati (biodiversity) laut terbesar di dunia dengan memiliki ekosistem pesisir seperti mangrove, terumbu karang (coral reefs) dan padang lamun (sea grass beds).4

4 Dahuri, R. et al, 1996. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT.

(4)

Wilayah Indonesia yang terbentang dari 6°08′ LU hingga 11°15′ LS, dan dari 94°45′ BT hingga 141°05′ BT terletak di posisi geografis sangat strategis, karena menjadi penghubung dua samudera dan dua benua, Samudera India dengan Samudera Pasifik, dan Benua Asia dengan Benua Australia. Luas total wilayah Indonesia adalah 7.9 juta km2 terdiri dari 1.8 juta km2 daratan, 3.2 juta km2 laut teritorial dan 2.9 juta km2 perairan ZEE. Wilayah perairan 6.1 juta km2 tersebut adalah 77% dari seluruh luas Indonesia, dengan kata lain luas laut Indonesia adalah tiga kali luas daratannya.

Negara Kepulauan (Archipelagic State) menurut United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS III) 1982 yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 17 tahun1985 pada Bagian IV Pasal 46 huruf a dan b menyatakan:

(a) "archipelagic State" means a State constituted wholly by one or more archipelagos and may include other islands; (“Negara Kepulauan berarti sebuah Negara yang terdiri dari satu atau lebih pulau-pulau dan bisa termasuk pulau-pulau lain.”) (b) "archipelago" means a group of islands, including parts of islands, interconnecting

waters and other natural features which are so closely interrelated that such islands, waters and other natural features form an intrinsic geographical, economic and political entity, or which historically have been regarded as such.

(“Kepulauan berarti sekelompok pulau-pulau, termasuk bagian dari pulau-pulau itu, menghubungkan perairan dan bentuk-bentuk alamiah yang sangat erat pulau-pulau itu, perairan dan bentuk-bentuk alamiah lainnya yang merupakan satu kesatuan geografis, ekonomi dan bagian politik, atau secara historis telah dianggap demikian.”)5

II.2Deklarasi Djuanda Sebagai Sumber Hukum

Usaha yang telah bersusah payah diperjuangkan oleh Djuanda dan kawan-kawan (diantaranya Mochtar Kusuma Atmadja) hendaknya segera ditindaklanjuti dengan usaha memperkuat posisi Indonesia tersebut. Diantara usaha dimaksud adalah dengan

(5)

menjadikan laut sebagai visi dan misi negara kepulauan yang menjadi ciri khusus Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI).

Sebagaimana halnya Naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang menjadi sumber hukum bagi keberadaan Indonesia sebagai satu negara yang berdaulat atas kepulauan dan laut di sekitarnya, penulis beranggapan bahwa Deklarasi Djuanda merupakan sumber hukum kedua yang mengukuhkan wilayah teritorial Indonesia sebagai negara kepulauan yang disatukan oleh laut. Dengan demikian, pulau-pulau Indonesia yang tadinya terpisah-pisah telah disatukan oleh laut. Politik hukum negara semestinya mengacu kepada kondisi yang sudah tercipta dalam berbagai aspek kebijakan mengenai masa depan Indonesia dalam kehidupan sosial/budaya, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain sebagainya.

II.3Produk Hukum Setelah Deklarasi Djuanda

Setelah Deklarasi Djuanda dikukuhkan dengan UU No. 4/Prp/1960, tidak satupun produk hukum yang dihasilkan sehubungan dengan otoritas negara di laut yang memiliki fungsi penegakan hukum di laut pada level undang-undang. Padahal, tugas-tugas yang diemban oleh otoritas tersebut merupakan lintas sektoral (departemen) sehingga sulit melakukan koordinasi, apalagi mengambil keputusan penting.

Berikut adalah produk hukum yang telah dikeluarkan pemerintah:

a. Undang-undang No. 4/Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia yang menjadi landasan Yuridis Formil.6

b. Keputusan Menteri Perhubungan No.U/14/7/14PHB tanggal 1 Juli 1969 disusunlah organisasi dan tata kerja Direktorat Jenderal Perhubungan laut.

c. Keputusan Presiden RI. No.153 tahun 1969 tentang Perubahan Struktur Direktorat Jendral Perhubungan Laut

d. Keputusan Presiden RI. No.159/M tahun 1969, tentang penunjukan pimpinan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut

6 Henky Supit, Teropong Kajian Tata Kelautan Indonesia, Yayasan Pendidikan Maritim

(6)

e. Kepala Staf Angkatan Laut RI selaku pemegang kuasa pemerintahan Negara di laut, telah mengeluarkan Keputusan No. 3001 tahun 1960 Tentang Penuntun Patroli Sitat Tetap (PPST) yang diperuntukkan bagi kapal-kapal patroli Jawatan Pelayaran, Polisi Perairan serta Bea dan Cukai. Namun hal ini tidak berjalan karena masing-masing menjalankan tugas pokok lembaga induknya masing-masing.

f. Surat Keputusan Men/Pangal 23 September 1961 tentang Penunjukan Pejabat-pejabat yang diberi wewenang untuk mengadakan penyidikan terhadap kejahatan di laut

g. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1962 tentang Lalu Lintas Kapal Asing dalam perairan Indonesia.

h. Keputusan Menteri Perhubungan Laut tertanggal 20 Maret 1963 No. kab/3/19 tentang Pemerintahan Negara di Laut yang kemudian diperkuat dengan Peraturan Presiden No.18 tahun 1964 Tentang Struktur Organisasi Penguasa Pelabuhan (Port Authority) yang dipimpin oleh seorang Komandan Penguasa Pelabuhan, dan di Daerah Pelayaran dipimpin oleh seorang Kepala Daerah pelayaran.

i. Jawatan Pelayaran berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan laut No. Kab.4/2/13 tanggal 28 Januari 1964 dipecah menjadi empat Direktorat.

j. Keputusan Menteri Perhubungan Laut No. Kab. 4/9/21 tanggal 4 Mei 1965 Departemen Perhubungan Laut kembali lagi ke Jawatan semula dan ditambah dengan Kantor Urusan Sungai dan Terusan yang kemudian institusi Departemen Perhubungan Laut ditempatkan dibawah MENKO Maritim.

k. Keputusan Menteri Perhubungan laut tertanggal 28 Januari 1964 No. Kab. 4/2/13 tentang penambahan tiga Pembantu.

l. Keputusan Menteri Perhubungan Laut tertanggal 4 Mei 1965 No.Kab4/9/21 tentang pemisahan fungsi pembinaan dan fungsi pelaksanaan di Departemen.

m. Keputusan Menteri Perhubungan No.U/14/7/14PHB tanggal 1 Juli 1969 tentang susunan organisasi dan tata kerja Direktorat Jenderal Perhubungan laut

n. Pengumuman Pemerintah RI 17 Pebruari 1969 tentang Landasan Kontinen Indonesia o. Keputusan Presidenen RI. No.159/M tahun 1969, tentang penetapan pimpinan

(7)

p. Surat Keputusan Jaksa Agung No. Kep. 056/D.A/7/1969 tentang Penyelesaian Perkara-perkara tindak pidana yang menyangkut perairan Indonesia

q. Surat Keputusan Pangal No. 5810.3 Tahun 1969 tentang Penunjukan pejabat-pejabat dilingkungan ALRI untuk melaksanakan wewenang Pangal dalam menyelesaikan perkara-perkara tindak pidana yang menyangkut perairan Indonesia.

r. Kep. Menhankam/Pangab. No. Inst/B/92/1969 tentang Pengamanan Pelabuhan di wilayah RI

s. Keppres RI No. 16 Tahun 1971 tentang wewenang pemberian ijin berlayar bagi segala kegiatan kerderaan asing dalam wilayah Perairan Indonesia

t. Surat Keputusan Jaksa Agung RI No. Kep/099/DA/12/71 tentang pendelegasian wewenang penyelesaian perkara-perkara tindak pidana yang menyangkut perairan Indonesia.

u. Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata, Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan, Menteri Kehakiman dan Kejaksaan Agung No.KEP/D/45/XII/1972, SK.901/M/1972, Kep,779/MK/III/12/1972,JS.8/72/1 dan KEP/JA/12/1972 tanggal 12 Desember 1972 Tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut (Keputusan Bersama ini telah diperbaharui dengan Peraturan Presiden RI No.81 Tahun 2005

v. Instruksi Jaksa Agung RI No. Inst.006/DA/12/72 tentang jumlah dan cara-cara penenetapan serta Penyetoran Densa Damai

w. Keppres No.44 dan 45 tahun 1974 tentang Pembentukan KPLP untuk Mengantisipasi tuntutan IMO sebagaimana yang dimaksudkan Konvensi Internasional Keselamatan Jiwa di Laut tahun 1974 Chapter V Regulation 15

x. Keputusan Menhankam/Pangab No. Kep/17/IV/75 tentang Penetapan Alur Pelayaran Khusus bagi kapal-kapal penangkap ikan asing

y. Pada tahun 1980 Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional Maritime Organization (IMO) tentang Keselamatan Jiwa di Laut (Safety of Life at Sea 1974) melalui Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 1980.

z. UU Nomor 17 tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS III.

(8)

bb. Pada era pemerintahan Presiden Abdulrahman Wahid, Indonesia kembali memiliki satu departemen kelautan melalui Keputusan Presiden No.355/M Tahun 1999 dalam Kabinet Periode 1999-2004 mengangkat Ir. Sarwono Kusumaatmaja sebagai Menteri Eksplorasi Laut.

cc. Undang-Undang No. 21 tahun 1992 tentang Pelayaran yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran.

Dari sederet peraturan yang telah penulis coba kumpulkan, jelas terlihat bahwa yang membuat peraturan umumnya pada level menteri yang kekuatan hukumnya sangat rentan sehingga gampang berubah apa lagi bila keputusan tersebut menyangkut depertemen yang berbeda.

Selain itu, sebagai negara kepulauan kita sudah sewajarnya meratifikasi berbagai konsensus yang telah diambil oleh organisasi internasional menyangkut perairan, keselamatan, hubungan bilateral dan multilateral terutama dengan negara tetangga. Meratifikasi berarti menyetujui dan mematuhi segala keputusan yang telah digariskan dengan komitmen penuh yang tercermin dalam produk-produk hukum.

II.4Konvensi Internasional Tentang Laut yang Telah Diratifikasi Indonesia

a. Konvensi internasional tentang laut pertama kali diratifikasi Indonesia adalah Konvensi International Maritime Organization (IMO) tentang Safety of Life at Sea

(SOLAS) pada tahun 1980.

(9)

menelan jiwa dan harta. Tujuan didirikannya organisasi ini adalah untuk memberikan berbagai teks (konvensi, kebijakan, rekomendasi, prosedur, dan lain-lain) kepada masyarakat maritim dunia.7

b. Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS III).

Sebagaimana telah disinggung pada latar belakang di atas bahwa Indonesia baru diakui oleh dunia setelah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS III) tahun 1982 melalui UU Nomor 17 tahun 1985. Konvensi tersebut dalam pembukaannya (preambule) jelas menggaris bawahi bahwa:

a. masalah-masalah ruang samudra memiliki kaitan satu sama lain, b. konvensi menghormati dan mengakui kedaulatan suatu negara,

c. konvensi diberlukan untuk tertibnya hukum laut dan memudahkan komunikasi internasional,

d. memajukan penggunaan laut secara damai,

e. penggunaan kekayaan alam secara adil dan efisien, dan

f. konservasi kekayaan hayati, pengkajian, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.8

c. Konvensi MARPOL 1973 diratifikasi pada bulan Agustus 2012

Konvensi International Tahun 1973 tentang Pencemaran dari Kapal sebagaimana telah diubah dengan Protokol 1978 dan Protokol 1997 Lampiran III, Lampiran IV, Lampiran V dan Lampiran VI.9

d. Konvensi SAR diratifikasi pada bulan Agustus 2012

7 http://www.imo.org/About/HistoryOfIMO/Pages/Default.aspx 8 United Nation Convention on the Law of the Sea 1982

(10)

Konvensi ini disahkan di Hamburg, Jerman pada tanggal 27 April 1979 dan telah berlaku penuh pada tanggal 22 Juni 1985 dan sampai dengan 23 Agustus 2012 terdapat sebanyak 102 Negara Pihak yang merepresentasikan sebanyak 61,45% total tonase armada kapal dunia atau setara dengan 640.953.243 (Aggregate Tonnage).10

Tujuan dari konvensi SAR adalah untuk membangun sebuah sistem penanganan dan perencanaan SAR internasional yang dapat memberikan keuntungan pertolongan yang terkoordinir kepada setiap kejadian kecelakaan dilaut, disegala tempat didunia dimana saja kapal berada, yang diharapkan akan dapat dilakukan terkoordinir oleh organisasi SAR, bahkan bila diperlukan akan memungkinkan untuk dilakukan secara bergotong royong atau bekerjasama dengan Negara disekitar lokasi kejadian.

II.5Lembaga Negara di Laut Terkini

Penegakan hukum di laut saat ini dilaksanakan oleh oleh tiga belas (13) instansi yang tergabung dalam Badan Koordinasi Keamanan Laut (BAKORKAMLA) yang diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan melalui Perpres No. 81 Tahun 2005.11 Tugas badan ini sesuai Perpres adalah:

a. Perumusan dan penetapan kebijakan umum di bidang keamanan laut;

b. Koordinasi kegiatan dan pelaksanaan tugas di bidang keamanan laut yang meliputi kegiatan penjagaan, pengawasan, pencegahan dan penindakan pelanggaran hukum serta pengamanan pelayaran dan pengamanan aktivitas masyarakat dan pemerintah di wilayah perairan Indonesia;

c. Pemberian dukungan teknis dan administrasi di bidang keamanan laut secara terpadu.

II.6Permasalahan yang Timbul

Meskipun banyak instansi yang melakukan penegakan hukum di laut, tidak serta merta penegakan dimaksud berjalan dengan baik, justru yang terjadi adalah bahwa

masing-10 Ibid

(11)

masing personel masih terikat dengan kewajiban yang diemban oleh organisasi induknya sehingga keberadaan mereka tidak efektif. Hal ini disebabkan beberapa hal sebagai berikut (Nikson, Willem, 2009)12:

1) Masing-masing unsur tetap berada dalam organisasi institusi induknya;

2) Sistem penganggaran tergantung kepada instansi induknya sehingga amat sulit diprogramkan dalam kegiatan-kegiatan tertentu yang menjadi satu kesatuan program dari Bakorkamla;

3) Titik berat pelaksanaan tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawabnya mengacu kepada tugas dan wewenang dari instansi induknya;

4) Terdapat keanekaragaman sistem dan prosedur (tidak seragam);

5) Membingungkan masyarakat dalam upaya pemerintah tentang penegakan hukum (di laut).

III.Kesimpulan dan Saran

Dari uraian di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan dan menyampaikan saran-saran sebagai berikut.

a. Kesimpulan

1.1. Indonesia sebagai Negara Kepulauan

Dari fakta geografis dan definisi yang tertuang dalam UNCLOS III 1982, jelaslah bahwa Indonesia adalah Negara Kepulauan. Dengan total Luas wilayah perairannya yang mencapai 6.1 juta km2 (terdiri dari 3.2 juta km2 laut teritorial dan 2.9 juta km2 perairan ZEE).

1.2. Politik Hukum Negara Kepulauan Indonesia

12 Drs. Willem Nikson, S, MM, Kewenangan dan Identitas Lembaga Penjaga Laut dan Pantai

(12)

a. Deklarasi Djuanda belum dijadikan sebagai sumber hukum bagi pembuatan peraturan dan perundang-undangan untuk mencapai misi negara kepulauan sejati.

b. Pembuatan hukum sejauh ini tidak lebih daripada keinginan ‘menyenangkan’ dunia internasional dan kepentingan parsial instansi tertentu dalam pemanfaatan laut.

c. Pemerintah Indonesia pasca Deklarasi Djuanda tidak memiliki visi negara kepulauan untuk mencapai tujuan negara dalam memanfaat sumber-sumber daya kelautan demi kesejahteraan rakyat Indonesia.

b. Saran-Saran

2.1. Politik Hukum Indonesia sebagai Negara Kepulauan

Potensi kekayaan laut Indonesia yang besar tidak akan bisa dimanfaatkan secara maksimal bila tidak dilakukan penataan secara besar-besaran di bidang hukum dengan mengacu kepada Deklarasi Djuanda sebagai sumber hukum yang dikukuhkan secara yuridis formil oleh UU No. 4/Prp Tahun 1960. Kemudian diikuti dengan melakukan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut:

a. UUD 1945 Pasal 1 (1) dengan penambahan kata pulau dan laut sehingga berbunyi:

Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, terdiri dari pulau-pulau yang dihubungkan oleh laut sekitarnya.

b. UUD 1945 Pasal 25A diubah menjadi:

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara yaitu kesatuan pulau-pulau dan laut-laut diantaranya, dengan wilayah yang batas-batasnya dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.

(13)

Bumi dan perairan dan angkasa wilayah kedaulatan Republik Indonesia serta

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pengamandemenan tersebut sangat penting artinya sebagai payung hukum bagi kebijakan pemerintah dalam membuat peraturan dan perundang-undangan selanjutnya karena sudah dinyatakan oleh konstitusi negara demikian. Siapapun pemimpin bangsa ini, harus menjalankan politik hukum untuk mencapai amanat konstitusi dengan produk-produk hukum yang memiliki roh negara kepulauan agar kekayaan laut bisa bermanfaat dan tidak dinikmati oleh kelompok-kelompok tertentu dan negara asing saja.

2.2. Undang-Undang Kelautan

Selanjutnya, Indonesia memerlukan Undang-Undang Kelautan yang bersifat universal dan menyeluruh serta menyangkut segala aspek kelautan dan kebaharian yang diantaranya berisikan penataan lembaga negara di laut dengan pemisahan tugas dan fungsi yang jelas antara Pemegang Otoritas Pelabuhan (Port State), Otoritas Penegakan Hukum di Laut (Coastal State) dan Otoritas Negara di atas Kapal (Flag State). Undang-Undang Kelautan hendaknya juga mencakup keselamatan, keamanan, perlindungan lingkungan laut, dan pemanfaatan laut sebagai sumber ekonomi, sosial, budaya, dan lain sebagainya. Sayangnya, UU No.32 Tahun 2014 tengang Kelautan belum mengatur Otoritas Negara di atas Kapal (Flag State) yang tidak kurang pentingnya dari pada dua otoritas lainnya.

2.3. Undang-Undang Kemaritiman

(14)

pokok-pokok Pengaturan dan pokok-pokok Pengusahaan berbagai sektor usaha berbasis laut.

2.4. Lembaga Negara di Laut

Sistem pemerintahan negara kepulauan harus menegakkan 3 (tiga) unsur pemerintahan yang menjalankan beberapa fungsi negara, antara lain Negara Pelabuhan (Port State), Negara Pantai (Coastal State) dan Negara Bendera (Flag State). Otoritas Pelabuhan (yakni Syahbandar sesuai UU No. 17 Thn 2008 tentang Pelayaran) melakukan berbagai verifikasi dan clearance sebelum mengizinkan sebuah kapal untuk berlayar. Otoritas Negara Pantai semestinya berupa satu institusi dengan multi fungsi yang tugas utamanya berupa penegakan hukum di laut, memastikan keselamatan hidup di laut, dan pelestarian lingkungan laut. Karena tugas-tugas Otoritas Negara Pantai mencakup lintas sektoral, maka hendaknya langsung berada di bawah presiden, bukan di bawah satu departemen (UU No. 17 Thn 2008 dan bukan pula berupa koordinasi seperti Bakorkamla). Sedangkan pemegang Otoritas Bendera (Nakhoda), memahami bahwa di setiap milimeter kapal yang dikendalikannya berlaku hukum negara dari bendera kapal tersebut. Jelaslah bahwa seorang Nakhoda tidak hanya harus mampu mengendalikan kapal, tetapi juga menegakkan hukum negara bendera kapal yang dia kendalikan.

Pelaksanaan ketiga unsur pemerintah di atas merupakan upaya mewujudkan ketertiban, keamanan dan keselamatan sebagai kewajiban yang tidak boleh tidak harus dimiliki oleh sebuah Negara Kepulauan. Ini merupakan konsekwensi logis kepercayaan dan pengakuan internasional atas Deklarasi Djuanda dan berbagai ratifikasi atas konvensi internasional mengenai laut.

(15)

daya laut bagi meningkatkan ekonomi bangsa Indonesia menuju Indonesia sejahtera.

DAFTAR PUSTAKA

1. Supit, Henky, Teropong Kajian Tata Kelautan Indonesia, Yayasan Pendidikan Maritim Indonesia, 2004.

2. http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/politik-hukum/apa-politik-hukum-itu/

3. Dahuri, R. et al, 1996. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pramadya Paramita, Jakarta.

(16)

5. http://www.imo.org/About/HistoryOfIMO/Pages/Default.aspx

6. http://www.dephub.go.id/read/berita/direktorat-jenderal-perhubungan-laut/14485

7. Perpres No. 81 Tahun 2005

8. Nikson, Willem, S, Drs. MM, Kewenangan dan Identitas Lembaga Penjaga Laut dan Pantai sebagai Penegak Hukum Keselamatan, BAKORKAMLA 2009.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan AI digunakan untuk mencari pola permainan, merancang strategi, mengkolaborasikan entity dalam computer, dan belajar dari pengalaman sebelumnya untuk

Sehingga fenomena mengenai dampak kebijakan fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan pengangguran di Indonesia dalam perspektif desentralisasi fiskal menjadi menarik

Penelitian yang dilakukan oleh Hermi (2019) dan Herawaty (2019) menyatakan bahwa varia- bel profitabilitas tidak berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan dikarenakan

Untuk pengolahan tebu di Pabrik gula Kwala Madu menjadi gula, ketersediaan bahan baku merupakan titik tolak kegiatan opersi dalam pabrik kwala madu, karena kegiatan

Respon udang pasca adaptasi terhadap cekaman salinitas rendah ditunjukkan dengan tingkat sintasan dari yang tertinggi ke rendah berturut-turut ditunjukkan pada

With test impact analysis, as you make code changes, you can view which tests are impacted by the code change — not just unit tests, but even manual tests that have been

Adanya pengaruh keterlibatan pengguna dalam pengembangan sistem terhadap kinerja sistem informasi.. Kemampuan pengguna sistem informasi akuntansi  (Prabowo, Sukirman, &

Hasil uji hipotesis yang keempat adalah responsifness dalam kualitas pelayanan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan pengguna aplikasi berbasis