• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HAK HAK PEREMPUAN DALAM HUK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERLINDUNGAN HAK HAK PEREMPUAN DALAM HUK"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HAK-HAK PEREMPUAN DALAM HUKUM KELUARGA DI REPUBLIK ISLAM IRAN

Oleh: Aulia Rahmat1 r.auliagooner@gmail.com

ABSTRAK

Sejarah hukum keluarga di Iran mengalami tarik ulur yang panjang dan dinamis. Dimulai sejak masa pemerintahan kedinastian hingga masa reformasi. Diawali oleh determinasi mazhab sunni hingga integrasi dengan beberapa regulasi Prancis dan pada akhirnya dikembalikan pada fiqih klasik Syi’ah Ja’fariyah. Puncak revolusi hukum keluarga di Iiran adalah terobosan yang dilakukan oleh Khomeini yang secara tegas menyatakan keinginan untuk kembali menggunakan fiqih Syi’ah sebagai satu-satunya sumber hukum dengan tidak mengabaikan beberapa adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, asalkan tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Pengakuan atas hak dan martabat perempuan di Iran sudah ada sejak Konstitusi/UUD RII pertama kali dibahas dan dirumuskan oleh para ulama yang tergabung dalam Majelis-e-Khubregan. Meskipun hanya satu ulama perempuan -bernama Munireh Gurji- yang tergabung dalam majelis tersebut, UUD yang dihasilkan sangat respek terhadap kepentingan perempuan.

Keyword : Hak Perempuan, Reformasi Hukum, Iran

A. SEKILAS TENTANG REPUBLIK ISLAM IRAN

Orang-orang sering menyebut negerinya “Iran” (negeri Arya atau masyarakat termasyhur), sementara orang luar –dalam waktu yang sama—menyebutnya Persia yang menunjuk pada Pars –sekarang Fars—wilayah bagian selatan Iran. Nama Persia bertahan sampai sampai tahun 1935,2 ketika Pemerintah Tehran secara resmi meminta

masyarakat dunia menggunakan nama Iran.3

Republik Islam Iran berada di regional Asia Barat –atau yang dikenal juga dengan istilah Timur Tengah-- dengan luas wilayah sekitar 1.648.000 km2 yang menempati

urutan ke-18 dalam daftar Negara terluas di dunia.4 Negara ini berbatasan dengan

Afganistan (sepanjang 936 km), Armenia (sepanjang 35 km), Azerbaijan –termasuk Naxcivan daerah kantong Azerbaijan-- (sepanjang 611 km), Irak (sepanjang 1.458 km), Pakistan (sepanjang 909 km), Turki (sepanjang 499 km) dan Turkmenistan (992 km). Garis pantai Iran adalah 2.440 km dan mencakup 740 km di Laut Kaspia.5 Iran terletak

pada koordinat 25˚-40˚ LU dan 44˚-64˚ BT, menjadikan negara ini mempunyai 4 iklim

1 Penulis adalah Tenaga Pengajar pada Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol Padang dan Sekolah Tinggi

Agama Islam Solok Nan Indah (STAI SNI) Kota Solok.

2 CIA, Islamic Republic of Iran”, The World Factbook, yang diterbitkan dalam

https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/index.html, akses pada tanggal 8 Mei 2011. Bangsa Iran berasal dari ras Arya yang merupakan salah satu dari Indo-European. Migrasi suku Arya ke wilayah Asia kecil dan India dimulai sejak tahun 2500 SM. Lihat dalam: Kedutaan Besar RI Tehran – Iran, Selayang Pandang Republik Islam Iran (Tehran: Agustus 2008), 3.

3 Akhavi, “Iran”, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, ed. John L. Esposito (Oxford:

Oxford University Press, 1995), jilid-II, 224.

4 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Country: History, Text and Comparative Analysis (New Delhi:

Academy of Law and Religion, 1987), 214. Dalam beberapa referensi lain, luas wilayah dinyatakan lebih sepesifik seluas 1.648.195 km2 dengan perincian 1.531.595 km2 daratan dan 116.600 km2 lautan. Lihat CIA, “Islamic

Republic of Iran”, The World Factbook, yang diterbitkan dalam https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/index.html, akses pada tanggal 8 Mei 2011. Lihat juga dalam Kedutaan Besar RI Tehran – Iran,

Selayang Pandang Republik Islam Iran (Tehran: Agustus 2008), 2.

5 UN Residence Coordinator Office, Past-Reports of Islamic Republic of Iran (Tehran: Juni 2008), 2. Lihat

(2)

dengan perbedaan suhu yang sangat ekstrim (berkisar pada 46˚C pada musim panas dan -20˚C pada musim dingin).

Populasi penduduk Iran mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini terlihat dari hasil sensus pada setiap tahunnya. Sebelum tahun 1987, jumlah penduduknya adalah sekitar 43.000.000 jiwa.6 Sensus tahun 1996 menunjukkan bahwa jumlah

penduduk Iran adalah 64.000.000 jiwa dengan persebaran Muslim (didominasi oleh kelompok faham Syi’ah Isna Ash’ariyah dan selebihnya adalah Sunni) sekitar 95,5%, dan sisanya adalah penganut Kristen, Zoroaster dan Yahudi.7 Berdasarkan hasil sensus tahun 2007, tercatat bahwa jumlah penduduk Iran sekitar 70.400.000 jiwa dengan tingkat pertumbuhan 0,86% setiap tahunnya.8 Prediksi jumlah penduduk Iran pada Juli 2011

adalah 77.891.220 jiwa dengan angka pertumbuhan 1,248% , komposisinya adalah Muslim 98% (Shiah 89%, Sunni 9%), sisanya adalah Zoroaster, Yahudi, Kristiani dan Baha'i sebanyak 2%.9

Mazhab Ja’fari merupakan mazhab dominan di Iran, sementara itu mazhab Hanafi merupakan minoritas seperti halnya Zoroaster, Baha’i, Kristen dan Yahudi. Agama resmi yang diakui oleh pemerintah Iran adalah Islam Sunni, Zoroaster, Yahudi dan beberapa kelompok Kristen.10 Tingginya peningkatan angka populasi masyarakat muslim di Negara

ini bisa menjadi salah satu alasan yang mendukung efektivitas pelaksanaan syari’at Islam –terlepas dari berbagai perbedaan pendapat—secara utuh dan responsif.

Iran memiliki salah satu peradaban tertua di dunia, kira-kira dimulai sejak tahun 2700 SM, ketika Elamite mengauasai daerah-daerah yang meliputi propinsi Khuzistan sekarang pada barat daya Iran dan wilayah-wilayah perbatasan utara serta timur. Orang-orang Indo-Eropa yang bermigrasi kea rah timur belum mendominasi daaran tinggi Iran hingga zaman besi, sekitar Tahun 1300 SM.11

Peradaban di dataran tinggi Iran dimulai 600 tahun SM. Pada masa itu terdapat 2 kerajaan yakni Parsa di sebelah Selatan dan Medes di Timur Laut Iran. Pada tahun 550 SM, Cyrus “the Great” berhasil merebut dua kerajaan Persia tersebut, namun tidak berhasil

memperpanjang kekuasaannya. Pada 521 SM Raja Darius mendirikan Dinasti Achaemenid hingga Darius III. Pada 323 SM, Alexander “the Great” menaklukkan Dinasti Achaemenid. Pada masa Dinasti Parthian (Raja Mirthridates II) menjalin hubungan dengan Cina dan Roma yang dikenal dengan perdagangan sutranya (silk road). Pada 220 SM, Dinasti Sassanid mengakhiri kejayaan Dinasti Parthian. Setelah peperangan selama 4 abad, seiring dengan memudarnya Kerajaan Romawi, Kerajaan Persia hancur dan diinvasi oleh Kerajaan Mesir dan Arab lainnya dan berhasil menyebarkan agama Islam.

Dari abad 7 hingga abad 16 Masehi, berbagai Dinasti keturunan Arab,12 Turki dan

Mongol saling berkuasa yakni Dinasti Abbasid, Dinasti Saffarian, Dinasti Samanid. Pada

6 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Country: History, Text and Comparative Analysis (New Delhi:

Academy of Law and Religion, 1987), 214.

7 Reeva S. Simon, et. all (eds), Encyclopedia of The Modern Middle East (New York: Simon & Schuster

Macmillan, 1996), jilid-II, 866-868.

8 Kedutaan Besar RI Tehran – Iran, Selayang Pandang Republik Islam Iran (Tehran: Agustus 2008), 2. 9 CIA, “Islamic Republic of Iran”, The World Factbook, yang diterbitkan dalam

https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/index.html, akses pada tanggal 8 Mei 2011.

10 Undang-undang 1933 berkenaan dengan hak-hak warga negara non-Syi’ah, peradilan

mempergunakan Undang-undang Status Personal yang dapat diberlakukan kepada para pihak yang berperkara termasuk bagi agama resmi yang diakui oleh negara. Abdullahi A. an-Na’im, Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London: Zed Book Ltd., 2003), 108.

11Akhavi, “Iran”, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, ed. John L. Esposito (Oxford:

Oxford University Press, 1995), jilid-II, 225.

12 Invansi Arab pada Tahun 637 merupakan saat yang menentukan bagi sejarah Iran. kepercayaan

(3)

abad ke 16 khususnya pada masa Kerajaan Savafid, tercapai masa kejayaan dalam bidang kerajinan dan pembuatan karpet. Pada abad 17 Dinasti Afshar berkuasa, namun kemudian digantikan oleh Karim Khan Zand yang mendirikan Dinasti Zand (1750-1779) di Selatan. Di sebelah Utara, Suku Qajar berhasil mematahkan Dinasti Zand dan mendirikan Dinasti Qajar (1785-1925) hingga abad 19 dengan Rajanya yang terakhir bernama Ahmad Shah. Sejak saat ini, Tehran menjadi ibukota Iran.13 Pada masa ini, para ulama mempunyai

kekuatan yang cukup signifikan.

Dinasti Qajar yang tidak dapat menandingi kekuatan dinasti Savawid, tidak dapat menahan tekanan militer, ekonomi dan politik asing sehingga mereka tidak mampu mengatakan tindakan-tindakan zalim yang dilakukan pemerintah. Dinasti ini kemudian digantikan oleh Dinasti Pahlawi yang didirikan oleh Reza Shah. Kebijakan dinasti Pahlawi lebih memberikan perhatian kepada usaha-usaha modernisasi, westernisasi, sekularisasi, integral dan nasionalisme Iran. Mereka melakukan modernisasi seperti yang dilakukan oleh Mustafa Kemal Ataturk di Turki.14

Pada 1941, anaknya bernama Mohammad Reza Shah naik tahta hingga terjadi Revolusi Islam yang dipimpin oleh Ayatollah Imam Khomeini pada 1979. Berbagai peristiwa menonjol sejak itu adalah pendudukan Kedubes Amerika Serikat, 1979-1981, Invasi Irak terhadap Iran pada 1980 yang menimbulkan perang selama 8 tahun (1980-1988) dan sanksi ekonomi Amerika sejak 1996.

B. REFORMASI DAN KODIFIKASI HUKUM KELUARGA DI REPUBLIK ISLAM IRAN

Iran telah dipimpin oleh serangkaian dinasti selama kurang lebih 2.500 tahun lamanya. Ajaran Syi’ah menjadi agama resmi pada masa pemerintahan Safavid (1501-1722). Peningkatan pengaruh kekuatan asing di wilayah pemerintahan Qajar (1795-1925) membuka kesempatan terjadinya serangkaian kapitulasi ke orang-orang Eropa --yang telah diawali oleh orang-orang-orang Rusia pada abad ke-19--.15 Pada tahun 1906,

konstitusi pertama dibentuk. Serangkaian ketentuan hukum --yang berkaitan dengan tindak kriminal, hak sipil, perdagangan dan juga hukum keluarga-- juga ditetapkan tidak lama sesudah itu.

Upaya kodifikasi hukum Islam telah dilakukan sejak awal di Iran. Hukum keluarga Islam pada saat pertama kali dikodifikasikan merupakan bagian dari hukum perdata yang diundangkan dari tahun 1928-1935 dalam bentuk Iranian Civil Code. Iranian Civil Code

merupakan refleksi kombinasi antara hukum Islam dan yurisprudensi sipil Prancis (terdiri dari 10 buku, yang terdiri dari beberapa volume dan tersebar dalam lebih dari 1.335 pasal). Pada tahun 1927, Menteri Keadilan Iran membentuk komisi yang bertugas untuk menyiapkan draft hukum perdata. Materi ketentuan hukum yang selain hukum keluarga dan waris diadopsi dari Code Napoleon selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Draft yang disusun oleh komite tersebut setelah ditetapkan disebut dengan Qanun

Madani (Hukum Perdata) dalam tiga tahap, antara tahun 1928-1935.16

Bagian II Iranian Civil Code yang dibentuk pada tahun 1930, berkaitan dengan 6 buku yang berhubungan dengan beberapa aspek hukum perdata, seperti orang hilang,

Hamid, “Hukum Keluarga Iran”, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, ed. M. Atho’ Muzdhar, dkk. (Ciputat: Ciputat Press, 2003), 54.

13 Don Peretz, The Middle East Today (New York: Preegar, 1986), 504.

14Akhavi, “Iran”, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, ed. John L. Esposito (Oxford:

Oxford University Press, 1995), jilid-II, 226. Mereka melakukan modernisasi secara borongan terhadap materi hukum perdata, hukum pidana dan hukum dagang Eropa serta mencontoh model Prancis dalam hal sentralisasi politik. Pada masa ini, agama Zoroaster dijadikan agama resmi Negara di samping Islam Syi’ah, walaupun pengikutnya sedikit. Don Peretz, The Middle East Today (New York: Preegar, 1986), 506.

15 Abdullahi A. an-Na’im, Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London: Zed

Book Ltd., 2003), 108. Lihat juga dalam B. Lewis, C.H. Pellat dan Joseph Schaht (ed). “Dustur”, The Encyclopaedia of Islam (Leiden: E.J. Brill, 1983), vol-II, edisi terbaru, 649.

(4)

hubungan kekerabatan (nasab), perkawinan dan perceraian, perwalian, ketidak-mampuan dan pengampuan.17 Ketentuan mengenai hukum waris diatur dalam pasal

861-949. Sementara itu, seluruh buku VII masalah hukum keluarga --yang didasarkan pada hukum tradisional Syi’ah Isna Asy’ariah (Ja’fari)—yang masih berlaku sampai sekarang tanpa mengalami perubahan.18

Pada tahun 1936, legislasi menetapkan pendidikan sekuler sebagai sebuah prasyarat untuk menjadi hakim.19 Perubahan utama yang diperkenalkan adalah dalam

wilayah hukum keluarga pada masa kepemimpinan Reza Shah dengan penerimaan the

Family Protection Act20 (Qanun Himayat Khaneiwada/Undang-undang Perlindungan

Keluarga) 1967 yang diundangkan pada 24 Juni 196721 --yang kemudian mengalami

amandemen penting pada tahun 1975—dengan adanya penghapusan perceraian

extra-judicial, keharusan adanya izin Pengadilan terhadap pelaksanaan poligini yang dibatasi

hanya karena kondisi tertentu serta pembanguan Peradilan Agama khusus untuk penerapan undang-undang status personal yang baru.22

Revolusi 197923 merupakan sebuah akhir dari Dinasti Pahlevi (1925-1979).

Keberhasilan revolusi Islam yang dipimpin oleh Imam Khomeini,24 rezim yang baru mendeklarasikan bahwa hukum Islam menjadi satu-satunya sumber hukum di Negara Iran.25 Sistem hukum Islam akan diberlakukan seluruhnya di Iran. Hukum pidana tahun

1912 dan hukum perdata 1928-1935 dicabut, selanjutnya diterapkan hukum Islam (pasal 4). Hukum Keluarga 1931-1938 dan Hukum Perlindungan Keluarga 1975 dipandang telah melewati hukum Islam yang mapan, sehingga dicabut juga. Hukum keluarga yang dipergunakan dikembalikan pada mazhab mayoritas, Ja’fari Isna ‘Asy’ari (pasal 12) dan mazhab minoritas, sunni.26

Dewan memberikan kesempatan untuk melakukan peninjauan kembali semua hukum yang dipakai pada saat itu untuk tujuan Islamisasi sistem hukum dengan fatwa Ayatollah Khomeini atau yang disebut dengan “hukum transisi”. Sumber hukum adalah hukum Islam, undang-undang dasar, ketentuan perundang-undangan, sumber hukum tidak tertulis seperi adat kebiasaan, prinsip-prinsip revolusi, dan lain sebagainya.27

17 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Country: History, Text and Comparative Analysis (New Delhi:

Academy of Law and Religion, 1987), 214. Hal ini dijelaskan dalam Iranian Civil Code 1928-1935, pasal 956-1.256.

18 Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World (Bombay: N.M. Tripathi PVT. Ltd., 1972), 154. 19 Abdullahi A. an-Na’im, Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London: Zed

Book Ltd., 2003), 108.

20 Dalam hal ini terjadi perbedaan penafsiran yang dilakukan oleh beberapa ahli. Pada satu sisi, Qanun

Himayat Khaneiwada diistilahkan dengan The Family Protection Act, dan di sisi lai disebut dengan The Family Protection Law. Silahkan bandingkan antara Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World (Bombay: N.M. Tripathi PVT. Ltd., 1972), Abdullahi A. an-Na’im, Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London: Zed Book Ltd., 2003).

21 Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World (Bombay: N.M. Tripathi PVT. Ltd., 1972), 155. 22 Abdullahi A. an-Na’im, Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London: Zed

Book Ltd., 2003), 108. Lihat juga dalam Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Country: History, Text and Comparative Analysis (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987), 216.

23 Sejarah munculnya pergolakan dalam Revolusi Iran tahun 1979 ini melalui serangkain peristiwa

penting yang tidak mungkin dijelaskan dalam bahasan makalah ini. Penjelasan lebih lanjut lihat Jalalad-dine Madani, Islamic Revolution of Iran (Tehran: International Publishing, 1996), ed-II.

24 Kehadiran Imam Khomaini dengan gagasan revolusinya di tahun 1979 telah membawa perubahan bagi

masyarakat Iran secara menyeluruh. Selain mengakhiri tradisi kerajaan yang telah terjadi selama 2500 tahun dengan sistem Republik Islam, dia juga membenahi infrastruktur pemerintahan yang mempengaruhi identitas nasional, sosial, pilitik, dan budaya. Langkah menjunjung tinggi nilai-nilai Islam ini diikuti dengan kebijakan penutupan klub malam, pelarangan alkohol, perjudian, pornografi, hingga kebijakan yang bersifat sosial seperti revisi buku, lembaga pendidikan, olahraga dan perfilman.

25 William L. Cleveland, A History of Modern Middle East (San Fransisco: Westview Press, 1994), 410. 26 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Country: History, Text and Comparative Analysis (New Delhi:

Academy of Law and Religion, 1987), 216.

27 Abdullahi A. an-Na’im, Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London: Zed

(5)

C. TINJAUAN FIQIH TERHADAP MATERI HUKUM KELUARGA DI REPUBLIK ISLAM IRAN 1. Pencatatan Perkawinan

Setiap perkawinan, sebelum dilakukan harus dicatatkan pada lembaga yang berwenang. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan diberikan hukuman penjara selama satu hingga enam bulan (the Marriage Law, 1931 article 1). Sebelum perkawinan dicatatkan, pasangan mempelai harus memperoleh sertifikat kesehatan dari pihak medis (Production of Medical-Fitness Certificate Law, 1938 article 1).28

Pencatatan perkawinan di sini tidak hanya dibatasi pada perkawinan yang bersifat permanen. Namun juga terhadap perkawinan yang bersifat mut’ah (sementara), karena di Iran perkawinan seperti ini diperbolehkan, namun dengan syarat harus jelas batasan waktu untuk melangsungkan perkawinannya.29

Berkaitan dengan masalah perkawinan yang bersifat sementara ini, Muhammad Shahrur mempunyai pandangan sendiri. Ia berpendapat bahwa syarat sahnya perkawinan kontrak –atau dengan istilah “sementara”—adalah bukan seperti persyaratan perkawinan resmi pada umumnya, karena umumnya tidak bertujuan untuk menjalin hubungan kekeluargaan, meneruskan keturunan keturunan dan membina keluarga, tapi murni untuk hubungan seksual, dan ia tidak termasuk kategori perkawinan resmi meskipun pada saat yang sama ia tidak haram.

Ia menambahkan lagi bahwa suatu kondisi atau kasus milk al-yamin

kontemporer, dan ia menyebutnya dengan nama ‘aqd ihsan (perjanjian integritas atau perjanjian hubungan seks) sebagai ganti dari istilah “perjanjian perkawinan kontrak”

(zawj al-misyar) atau “perkawinan mut’ah” (zawj al-mut’ah).30

Aturan mengenai keharusan mencatatkan perkawinan di Iran hanyalah bersifat administratif belaka. Hal ini dikarenakan tindakan pengabaian terhadap pencatatan perkawinan tidak mempengaruhi sahnya perkawinan, hanya saja akan mendapatkan sanksi hukum. Pembahasan mengenai hal ini tidak begitu banyak dijumpai dalam literatur fiqih klasik.

Meskipun demikian, penulis mempunyai perspektif sendiri terhadap pencatatan perkawinan. Ikatan perkawinan, di samping mempunyai nilai religious, juga berkaitan dengan niali-nilai temporal. Seperti halnya kontrak dalam muamalah, tidak ada salahnya akad perkawinan itu juga dituliskan sebagaimana layaknya akad-akad muamalah lainnya, guna menghindari kemungkinan terjadinya wanprestasi oleh salah satu pihak juga merupakan bukti otentik bagi pihak yang dilibatkan di dalamnya, sehingga ia mempunyai kekuatan hukum untuk bertindak secara hukum.

Tidak hanya sampai di situ, pencatatan perkawinan merupakan salah satu usaha untuk melindungi dan menjaga hak-hak perempuan dalam perkawinan, karena dari beberapa akibat yang ditimbulkan dari talak akan merugikan pihak perempuan. Di samping itu, pencatatan perkawinan adalah salah satu cara yang dilakukan oleh Negara untuk menertibkan dan mengendalikan perkawinan yang terjadi guna mencapai cita-cita dan tujuan negara yang bersangkutan.

2. Usia Perkawinan

Batasan usia minimum untuk melangsungkan perkawinan adalah 18 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan (Iranian Civil Code, article 1.401). Menikahi orang-orang yang berada di bawah batas usia minimum pernikahan mendapat sanksi. Bagi seseorang yang mengawinkan seseorang yang berada di

28 Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World (Bombay: N.M. Tripathi PVT. Ltd., 1972), 155. 29 Abdullahi A. an-Na’im, Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London: Zed

Book Ltd., 2003), 109.

30 Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, alih bahasa Mustofa Acep (Yogyakarta:

(6)

bawah usia minimum31 akan mendapat sanksi berupa dipenjara selama enam bulan

hingga dua Tahun. Jika seorang anak perempuan dikawinkan di bawah usia 13 tahun, maka pihak yang mengawinkannya dapat dipenjara selama dua sampai tiga tahun. Di samping itu, bagi pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan tersebut dapat dikenai denda senilai 2-20 riyal (Family Law 1931-1937, article 3).

Secara sederhana, hal ini lebih ditekankan kepada wali yang menikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya. Berkaitan dengan hal ini, ada beberapa pendapat dalam fiqih yang mengkaji hal ini. Pelaksanaan perkawinan bagi mereka yang berada di bawah batas usia adalah hak walinya. Penentuan batasan usia minimal dalam perkawinan tidak disebutkan dalam ayat al-Qur’an secara jelas. Demikian juga halnya dengan hadits Nabi SAW yang tidak pernah merincikan batasan usia minimal dalam perkawinan. Bahkan Nabi SAW sendiri menikahi ‘Aisyah saat pada usia 6 tahun dan menggaulinya pada usia 9 tahun. Dasar permikiran tidak adanya batasan umur mengenai perkawinan, kiranya sesuai dengan pandangan umat Islam pada masa itu tentang hakikat perkawinan. Menurut mereka, perkawinan itu tidak dilihat dari segi hubungan kelamin, namun lebih dititikberatkan dalam usaha menciptakan hubungan mushaharah.32

Usia minimum kebolehan melaksanakan perkawinan menurut mazhab Ja’fari –mazhab dominan di Iran--, seorang wanita dipandang dewasa –dan oleh karenanya dapat melangsungkan perkawinan—jika telah berumur 15 tahun bagi laki-laki dan 9 tahun bagi wanita. Mazhab Ja’fari juga berpandangan bahwa sorang wali boleh mengawinkan anak di bawah umur.33

Meskipun secara terang-terangan Alquran34 dan hadits Nabi tidak

memberikan batasan yang jelas, namun dari isyarat secara tidak langsung sudah ada di dalamnya. Ikatan perkawinan35 akan menimbulkan hak dan kewajiban secara

timbal balik. Adanya hak dan kewajiban tersebut mengindikasikan bahwa pelakunya diharuskan sudah dewasa. Untuk menetapkan konteks “dewasa” ini, terdapat perbedaan. Terlepas dari konsep yang diberikan oleh para ulama, perbedaan ini juga dipengaruhi oleh perbedaan lingkungan, kebudayaan, tingkat kecerdasan suatu komunitas dan beberapa faktor pendukung lainnya.36

Menurut analisis penulis, tiungkatan mampu atau baligh di sini dapat dilihat dari dua sisi, yaitu secara biologis dan fisiologis. Secara biologis, bagi seorang perempuan yang telah mengalami haid untuk pertama kalinya, sementara itu bagi laki-laki apabila ia telah mengalami mimpi basah, maka ia secara biologis dapat dikategorikan sebagai orang yang telah baligh. Konsep baligh seperti ini akan sangat berbeda pada setiap Negara, tergantung pada kodisi perkembangan tekonologi yang mempengaruhi pertumbuhan biologis masyarakat. Baligh secara psikologis bersifat

31 Fiqih dan Undang-undang selalu mencantumkan bahasan mengenai batasan usia dalam penikahan

guna memenuhi persyaratan mumayyiz sebagai salah satu syarat dalam perkawinan. Muhammad Amin Suma,

Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: Rajawali Grafindo, 2005), 54.

32 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), 66.

33 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B. (Jakarta: Lentera, 1999),

316-318.

34 Lihat al-Qur’an surat al-Nisa [4] ayat 6. Berdasarkan ayat tersebut, dapat dipahami bahwa untuk kawin

itu ada batasan umur. Batasan umur tersebut adalah baligh.

35 Dalam konteks ini penulis ingin mengajak kita semua kembali merujuk kepada defenisi perkawinan.

Seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah dalam al-Ahwal al-Syakhshiyyah, disebutkan bahwa perkawinan adalah akad yang membolehkan hubungan kelamin, bersenang-senang, saling tolong menolong dan di antara laki-laki dan perempuan, dan diantara mereka terdapat hak-hak dan kewajiban tertentu. Walaupun demikian, ketiadaan batasan pasti mengenai umur minimal dalam pernikahan ini mempunyai beberapa hikmah akan dinamisasi penerapan hukum Islam pada masyarakat sosial yang beragam, kebutuhan akan integrasi sosial dan tingginya nilai kemurnian seksual serta keperawanan. Lihat dalam Hammudah ‘Abd al-Ati, The Family Structure in Islam (Maryland: American Trust Publications, 1977), 76.

(7)

relatif. Kedewasaan secara psikologis perempuan dipengaruhi berbagai faktor. Berhubung dengan hal ini, penulis lebih cenderung berpendapat bahwa kategori baligh yang memungkinkan untuk melakukan pernikahan adalah apabila ia telah baligh secara dua sudut pandang tersebut, baik secara biologis dan juga secara psikologis. Alasan penulis adalah, baligh secara biologis akan mendukung tercapainya salah satu tujuan perkawinan yaitu tanasul (untuk berketurunan). Sementara itu, baligh secara psikologis akan menunjang kemampanan dan kedewasaan pemikiran seseorang dalam mengarungi bahtera rumah tangga nantinya.

Dengan demikian, ancaman hukuman dan sanksi bagi wali yang mengawinkan anak bawah umur merupakan suatu terobosan pembaharuan hukum keluarga Islam di Iran yang bersifat administratif,37 namun bertujuan untuk menjaga

kelangsungan hubungan perkawinan yang nantinya akan dijalani oleh anak perempuannya.

3. Perjanjian Kawin

Pasangan yang hendak melakukan perkawinan boleh membuat perjanjian dalam akad perkawinan, selama tidak bertentangan dengan tujuan perkawinan. Perjanjian tersebut dapat dibuat di bawah perlindungan Pengadilan (Marriage Law,

article 4).

Sebagian besar literatur fiqih klasik tidak memberikan pembahasan inten terhadap perjanjian perkawinan. Pembahasan fiqih cenderung pada persyaratan dalam perkawinan. Perjanjian merupakan bahagian yang terpisah dari akad perkawinan itu sendiri. Hal ini berarti bahwa apabila perjanjian perkawinan dilalaikan oleh salah satu pihak, tidak berarti akad perkawinan batal. Menurut mazhab Ja’fari, syarat yang dianggap gugur di luar akad nikah dapat menggugurkan akad nikah. Sedangkan syarat yang dianggap gugur dalam akad tidak dapat menggugurkan akad nikah atau mahar itu sendiri, kecuali jika diisyaratkan dalam bentuk khiyar, atau tidak berlakunya semua dampak semua akad yang bertentangan dengan wataknya sendiri.38

Pada dasarnya, kedua belah pihak wajib menepati janji perkawinan kendatipun materinya tidak dituliskan dalam materi-materi akad. Oleh karena itu, kealpaan salah satu pihak untuk menunaikannya, baik secara menyeluruh ataupun parsial, mengakibatkan adanya tuntutan perceraian.39 Namun, pihak yang dirugikan

mempunyai hak untuk mengajukan pembatalan perkawinannya.40

4. Poligami

Sorang laki-laki yang hendak berpoligami wajib memberitahukan kepada calon istrinya itu tentang statusnya. Pelangaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan sanksi (Marriage Law, 1931 article 6). Efektivitas regulasi ini dijelaskan lebih lanjut dalam The Family Protection Act, bahwa setiap orang yang hendak berpoligami harus mendapatkan izin dari istri dan apabila ketentuan ini dilanggar, maka istri boleh mengadukan kasus ini ke Pengadilan (The Family Protection Act, 1967 article 11 [c]).

37 Homaidi Hamid, “Hukum Keluarga Iran”, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, ed. M. Atho’ Muzdhar,

dkk. (Ciputat: Ciputat Press, 2003), 60.

38 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B. (Jakarta: Lentera, 1999),

319-320.

(8)

Suami juga harus mendapatkan izin resmi dari Pengadilan. Sebelum memberikan izin, pihak Pengadilan terlebih dahulu akan melakukan pemeriksaan terhadap kapasitas dan kapabilitas suami –baik dari segi materi maupun keadilannya-- jika seandainya ia berpoligami. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan dikenakan sanksi hukuman kurungan selama enam bulan sampai dua tahun (The Family

Protection Act, 1967 article 14).

Kajian fiqih cukup memberikan sorotan dalam terhadap poligami. Menurut Muhammad ‘Abduh, keizinan berpoligami sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Nisa [4] ayat 3 telah dibatasi dengan penjelasan dalam al-al-Qur’an itu sendiri, surat al-Nisa [4] ayat 129. Dengan demikian, ideal sebuah perkawinan Berdasarkan al-Qur’an adalah menggunakan asas monogami. Lebih dari itu, syarat yang diajukan kepada suami agar sanggup untuk berlaku adil terhadap para istri adalah suatu kondisi yang sangat sulit, bahkan tidak mungkin dapat terealisasikan sepenuhnya.41

Akan tetapi perlu ditambahkan bahwa para fuqaha’ salaf, dengan alasan cukup masuk akal, menyatakan bahwa al-Qur’an tidak dapat begitu saja dianggap bertentangan dengan diri sendiri; dan, karena itu, keadilan yang dituntut oleh “ayat poligami” tersebut harus ditafsirkan sebagai hal-hal yang dapat dilakukan oleh suami, dan bukan perasaan batin (cinta)nya.

Hal yang signifikan dalam poligami adalah keharusan adanya izin dari pihak istri. Keharusan adanya persetujuan istri terdahulu dan izin dari Pengadilan dapat dikategorikan sebagai suatu terobosan pembaharuan hukum Islam yang tidak hanya bermuatan administratif belaka karena pada satu sisi pihak yang melakukan pelanggaran hanya akan mendapat sanksi tertentu dengan tidak mempengaruhi keabsahan perkawinan yang terjadi. Lebih dari itu, usaha ini merupakan salah satu cara untuk menjamin kesejahteraan istri dalam menjalankan ikatan perkawinannya.

5. Nafkah Keluarga

Suami berkewajiban menafkahi istrinya, baik dari segi pangan, sandang, pakaian dan barang-barang kebutuhan rumah tangga dengan layak. Apabila suami tidak sanggup menyediakan nafkah tersebut, maka istri berhak mengajukannya ke Pengadilan. Pengadilan selanjutnya akan memerintahkan suami untuk memberikan nafkah wajib keada istrinya. Apabila suami tidak mematuhi perintah Pengadilan, maka istri berhak mengajukan perceraian ke Pengadilan (the Family Protection Act, 1967 article 10). Pada perkawinan yang bersifat sementara, istri hanya berhak mendapatkannya apabila hal ini dimasukkan dalam materi persyaratan dalam perkawinan.42

Suami boleh menolak hak istrinya untuk bekerja ada beberapa profesi yang “tidak sesuai dengan kepentingan keluarga atau dengan martabat dirinya sendiri sebagai perempuan dan sebagai seorang istri”. Penolakan seorang istri untuk tidak melakukan hubungan suami istri dengan alasan suami mengidap penyakit tidaklah dipandang sebagai sebuah ketidak-patuhan.43

Ketentuan ini sesuai dengan konsep nafkah dalam mazhab Ja’fari44 –yang

merupakan mazhab dominan dan diberlakukan di Iran—tanpa ada kontroversi lainnya. Kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepada istrinya yang berlaku

41 John L. Esposito, Women in Muslim Family Law (New York: Syracus University Preess, 1982), 93. 42 Abdullahi A. an-Na’im, Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London: Zed

Book Ltd., 2003), 109.

43 Abdullahi A. an-Na’im, Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London: Zed

Book Ltd., 2003), 109.

44 Untuk lebih jelasnya, silahkan baca Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, alih bahasa

(9)

dalam fiqh didasarkan kepada adanya pemisahan harta antara suami dan istri, sehingga pembebanan biaya kehidupan rumah tangga adalah tanggung jawab suami sebagai imam dan kepala rumah tangga.

Sebagai bahan perbandingan, fiqh mazhab Maliki menyatakan bahwa nafkah wajib dibayar suami jika telah terjadi dukhul dan suami telah baligh45. Pandangan ini

berbeda dengan pendapat Abu Hanifah dan salah satu pendapat imam Syafi’i46 yang

tidak mensyaratkan agar suami harus baligh.47 Berdasarkan hal tersebut, dapat

disimpulkan bahwa pembahasan mengenai nafkah adalah suatu hal yang sangat penting, sehingga seandainya saja suami melalaikan kewajibannya dalam hal nafkah, maka istri mempunyai hak untuk mengajukan perceraian.

6. Perceraian

The Family Protection Act di Iran telah mengalami reformasi hukum yang

tidak saja bersifat parsial pada bagian administratif, namun juga memasuki wilayah materi hukumnya. Hal ini terlihat dengan adanya penghapusan kewenangan suami untuk mengikrarkan talak secara sepihak.48 Setiap perceraian, apapun bentuknya harus didahului dengan adanya permohonan pada Pengadilan agar mengeluarkan sertifikat “impossibility of reconciliation” (tidak dapat rukun kembali). Pihak

Pengadilan baru akan mengeluarkan sertifikat tersebut setelah berusaha melakukan usaha damai –bahkan jika perlu harus dilakukan mediasi—dan ternyata tidak berhasil menemukan jalan damai (the Family Protection Act, 1967 article 8).

Untuk sampai pada kesimpulan mengeluarkan sertifikat “impossibility of

reconciliation”, Pengadilan harus mempertimbangkan beberapa alasan berikut :

a. Penyakit gila yang diderita oleh salah satu pasangan, baik gila yang bersifat permanen atau sementara namun berulang kali (Iranian Civil Code, 1935 article

1.121) ;

b. Suami menderita penyakit impotensi, pengebirian atau alat vitalnya diamputasi (Iranian Civil Code, 1935 article 1.122) ;

c. Istri tidak mungkin melahirkan, menderita cacat seksual, lera atau kedua matanya buta (Iranian Civil Code, 1935 article 1.123) ;

d. Suami atau istri dipenjara selama lima tahun (the Family Protection Act, 1967

article 11) ;

e. Suami atau istri mempunyai kebiasaan yang membahayakan pihak lain yang diduga akan terus berlangsung dalam kehidupan rumah tangga (the Family

Protection Act, 1967 article 11) ;

f. Seorang laki-laki berpoligami tanpa persetujuan istrinya (the Family Protection Act, 1967 article 11) ;

g. Salah satu pihak mengkhianati pihak lain (the Family Protection Act, 1967 article

11) ;

h. Kesepakatan suami istri untuk bercerai (the Family Protection Act, 1967 article 9) ;

45 Sumber perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqh mengenai kewajiban nafkah ini adalah perbedaan

prespektif dalam melihat: apakah nafkah itu menjadi wajib karena akad nikah atau karena usaha dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), 168.

46Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa suami yang belum dewasa wajib member nafkah

apabila istri telah dewasa. Tetapi, apabila suami telah dewasa sementara istri belum, Imam Syafi’i mempunyai dua pendapat dalam hal ini. Pertama, sama dengan pendapat Malik, kedua, istri berhak mendapat nafkah betapapun juga keadaanya. Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fiqh Para Mujtahid (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), 519.

47 Abdul Wahab al-Baghdadi, al-Ma’unah ‘ala Mazhab ‘Alim al-Madinah (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), juz II,

782.

48 Ziba Mir-Hosseini, Marriage on Trial: A Study of Islamic Family Law (New York: I.B. Tauris & Co. Ltd.,

(10)

i. Adanya perjanjian dalam akad perkawinan berkaitan dengan pemberian kewenangan kepada istri untuk menceraikan diri karena kondisi tertentu (the

Family Protection Act, 1967 article 10) ;

j. Suami atau istri dihukum, berdasarkan keputusan hukum tetap karena telah melakukan perbuatan yang telah mencoreng kehormatan keluarga (the Family

Protection Act, 1967 article 11).

Regulasi mengenai talak di Iran sangat dipengaruhi oleh fiqh klasik Syi’ah, yang mengharuskan adanya formulasi tertentu dan dua orang saksi laki-laki. Formulasi perceraian bersyarat dianggap tidak sah. Amandemen tahun 1992 menetapkan bahwa pendaftaran perceraian tanpa disertai dengan sertifikat dari Pengadilan dianggap illegal.

Sebuah amandemen hukum pada tahun 1992 (Amandements Divorce

Regulations 1992)49 memperluas akses untuk terjadinya perceraian di antara

pasangan suami istri dengan beberapa alasan tambahan sebagai berikut:50

a. Suami tidak menafkahi istri selama lebih dari enam bulan tanpa disertai dengan alasan tertentu;

b. Suami bertingkah laku buruk dan tidak mampu melindungi istri dengan baik, dan lain sebagainya sehingga tidak memungkinkan untuk tetap melanjutkan kehidupan rumah tangga;

c. Suami menderita penyakit yang tidak mungkin dapat disembuhkan dan ditakutkan akan membahayakan istrinya;

d. Suami gila sehingga tidak memungkinkan dilakukan pembatalan perkawinan sesuai dengan syari’at;

e. Suami tidak mematuhi perintah Pengadilan untuk menghindari tindakan yang merendahkan diri dan pekerjaan yang hina;

f. Suami dihukum selama 5 tahun atau lebih;

g. Suami mengalami kecanduan narkoba sehingga akan membahayakan keluarga dan perkawinannya;

h. Suami mengkhianati atau meninggalkan kediaman bersama tanpa alasan yang sah –sebagaimana yang ditentukan oleh Pengadilan— ;

i. Suami melakukan tindakan kriminal sehingga mencoreng nama baik keluarga – pertimbangannya diserahkan pada Pengadilan-- ;

j. Suami mandul selama 5 tahun perkawinan atau ia mengidap penyakit kelamin yang akut;

k. Suami menghilang selama enam bulan;

l. Suami melakukan poligami tanpa izin istri terdahulunya, jika Pengadilan mempertimbangkan perlakuannya tidak seimbang.

Pada dasarnya, perkawinan merupakan sebuah perjanjian yang menjunjung nilai sakralitas tinggi, dan juga di dalamnya terdapat aspek-aspek kemanusiaan dan kemasyarakatan selama pasangan itu menempuh kehidupan bersama. Kedua belah pihak wajib menepati perjanjian tersebut dan keduanya dinyatakan sah sebagai suami istri. Kelapaan salah satu pihak untuk menunaikan perjanjian tersebut baik secara

49 Ziba Mir-Hosseini, Islam and Gender: The Religious Debate in Contemporary Iran (New Jersey: 1999,

Princeton), 8.

50 Abdullahi A. an-Na’im, Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London: Zed

(11)

keseluruhan ataupun sebagian, berakibat pada adanya tuntutan perceraian, karena telah melanggar dan melalaikan perjanjain dengan Allah SWT.51

Berkaitan dengan masalah harta dalam perkawinan, apabila terjadi perceraian maka istri berhak atas setengah harta suaminya apabila Pengadilan menyimpulkan bahwa perceraian itu adalah inisiatif suami dan tidak ditemukan kesalahan yang dibuat oleh istri. Amandemen 1992 juga menetapkan adanya perluasan hak finansial istri sebagai akibat adanya perceraian, dari nafkah selama masa iddah dan penundaan pembayaran maharnya sampai pada penuntutan pembayaran jasa pelayanan rumah tangga yang diberikan suaminya selama berumah tangga, walaupun ukurannya sulit untuk diaplikasikan, sebagiannya dikarenakan kesulitan dalam menaksir gaji pembantu rumah tangga.52

Berdasarkan konsep fiqih kalangan Syi’ah, sebuah perceraian dapat terjadi dalam beberapa bentuk. Bentuk yang paling sering terjadi adalah bentuk perceraian yang bisa dirujuki (talaq raj’iy). Perceraian merupakan salah satu jalan keluar yang bisa menjadi pilihan akhir bagi rumah tangga yang sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Eksistensi dan ketiadaan pada kondisi tertentu pada kontrak perkawinan memberikan pilihan bagi pasangan suami istri untuk membatalkan kontrak perkawinan mereka.53

Kecenderungan adanya begitu banyak alasan tambahan dalam perceraian di Iran pada dasarnya didorong oleh beberapa faktor seperti adanya determinasi hukum Negara, kondisi biologis dan lain sebagainya.54

7. Arbitrator (Juru Damai)

Pengadilan dapat menyerahkan penyelesaian perselisihan keluarga kepada arbitrator jika diminta oleh pasangan suami istri yang bermasalah. Khusus kasus yang berkaitan dengan masalah validitas perjanjian perkawinan dan perceraian yang berbelit-belit, akan ditangani sendiri oleh Pengadilan, tidak diserahkan kepada arbiter

(the Family Protection Act, 1967 article 6).

Dalam tahapan selanjutnya, arbitrator akan berusaha mendamaikan kembali pasangan yang bersengketa tersebut dalam jangka waktu yang ditentukan oleh Pengadilan. Hasilnya nanti akan diserahkan kepada Pengadilan guna ditindak-lanjuti. Apabila arbiter tidak bisa menyerahkan hasil arbitrasi dalam jangka waktu yang ditentukan, maka Pengadilan akan mengambil alih perkara tersebut (the Family Protection Act, 1967 article 7).

Ulama sependapat bahwa mengirim juru damai itu diperbolehkan seandainya terjadi perselisihan di antara suami istri tanpa diketahui penyebabnya. Juru damai yang dikirim itu berasal dari keluarga suami istri yang bersangkutan. Para fuqaha juga sependapat bahwa seandainya di antara kedua juru damai itu berselisih pendapat, maka pendapat keduanya tidak dilaksanakan.

Fuqaha berselisih pendapat berkaitan dengan usulan juru damai yang hendak memisahkan pasangan suami istri tersebut. Apakah inisiatif ini harus berdasarkan

51 Secara sederhana Muhammad Shahrur menguraikan bentuk perjanjian tersebut sebagai berikut:

perjanjian untuk saling jujur satu sama lainnya; perjanjian untuk tidak melakukan perbuatan keji dan mengkhianati perkawinan; perjanjian untuk saling menjaga di antara keduanya dari segi apapun; perjanjian untuk saling menjaga anak keturunan nantinya; dan perjanjian untuk saling memberikan dan memelihara serta menjaga privasi masing-masing dari orang lain. Lihat Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), 439.

52 Abdullahi A. an-Na’im, Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London: Zed

Book Ltd., 2003), 110.

53 Shahla Haeri, “Divorce in Contemporary Iran: a Male Prerogative in-Self Will”, Islamic Family Law, eds.

Chibi Mallat & Jane Connors (London: Graham & Trotman Limited, 1990), 55-69

54 Untuk mengetahui lebih lanjut, silahkan baca Shahla Haeri, “Divorce in Contemporary Iran: a Male

(12)

persetujuan suami atau tidak. Imam Malik beserta pengikutnya berpendapat bahwa pemisahan berdasarkan kesepakatan juru damai tidak membutuhkan persetujuan suami terlebih dahulu. Sementara itu, Imam Syafi’i dan Abu Hanifah menolaknya dengan alasan bahwa hak talak berada di tangan suami, atau pada orang yang diberikan kuasa untuk melakukannya.55

Ide pelaksanaan arbitrase dengan menggunakan juru damai di Iran sangat brilian. Hal ini terlihat dengan adanya kesesuaian konsep yang dijelaskan dalam regulasinya dengan ketentuan yang dibahas dalam kajian fiqh. Di samping itu, kegagalan usaha damai yang dilakukan oleh juru damai tidak berakibat pada pemutusan hubungan perkawinan, namun dalam tahapan selanjutnya akan dianalisis dan dipertimbangan oleh hakim pada Pengadilan. Setelah melewati serangkaian proses di Pengadilan, pengadilan hanya akan mengeluarkan sertifikat “ketidak-mungkinan berdamai” dan inisiatif dari pihak suami-lah untuk mendaftarkan perceraiannya pada lembaga yang bersangkutan.

D. KESIMPULAN

Sejarah hukum keluarga di Iran mengalami tarik ulur yang panjang dan dinamis. Dimulai sejak masa pemerintahan kedinastian hingga masa reformasi. Demikian juga halnya dengan materi yang dikandung di dalamnya. Pada awalnya dideterminasi oleh mazhab sunni, kemudian mengalami integrasi dengan beberapa regulasi Prancis yang pada akhirnya dikembalikan pada fiqih klasik Syi’ah Ja’fariyah yang memang merupakan mazhab mayoritas warga Negara. Puncak revolusi hukum keluarga di Iran adalah terobosan yang dilakukan oleh Khomeini yang secara tegas menyatakan keinginan untuk kembali menggunakan fiqih Syi’ah sebagai satu-satunya sumber hukum dengan tidak mengabaikan beberapa adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, asalkan tidak bertentangan dengan syari’at Islam.

Setelah terjadinya Revolusi di Iran pada tahun 1979, the Family Protection Act yang membatasi kesewenang-wenangan laki-laki dalam hal perceraian beserta lembaga pengadilannya telah dihapus, karena pada dasarnya hal ini kontradiksi dengan syari’at. Amandemen terhadap Divorce Regulation pada tahun 1992, sejatinya merupakan upaya pengembalian beberapan unsur yang ditolak dalam The Family Protection Act, meskipun berada dalam sebuah logika hukum yang berbeda.

Pengakuan atas hak dan martabat perempuan di Iran sudah ada sejak Konstitusi/UUD RII pertama kali dibahas dan dirumuskan oleh para ulama yang tergabung dalam Majelis-e-Khubregan. Meskipun hanya satu ulama perempuan -bernama Munireh Gurji- yang tergabung dalam majelis tersebut, UUD yang dihasilkan sangat respek terhadap kepentingan perempuan.

Secara keseluruhan, beberapa terobosan baru dalam hukum keluarga Iran merupakan salah satu upaya dalam menjaga harkat dan martabat kaum perempuan. Hal terlihat dalam beberapa regulasi yang cenderung lebih memihak dan melindungi hak-hak perempuan.

55 Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fiqh Para Mujtahid (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), jilid-II,

(13)

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Akhavi, “Iran”, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, ed. John L. Esposito

(Oxford: Oxford University Press, 1995), jilid-II

al-Ati, Hammudah ‘Abd, The Family Structure in Islam (Maryland: American Trust Publications, 1977)

al-Baghdadi, Abdul Wahab, al-Ma’unah ‘ala Mazhab ‘Alim al-Madinah (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), juz II

CIA, “Islamic Republic of Iran”, The World Factbook, dalam

https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/index.html,

Cleveland, William L., A History of Modern Middle East (San Fransisco: Westview Press, 1994)

Esposito, John L., Women in Muslim Family Law (New York: Syracus University Preess, 1982)

Haeri, Shahla, “Divorce in Contemporary Iran: a Male Prerogative in-Self Will”, Islamic Family

Law, eds. Chibi Mallat & Jane Connors (London: Graham & Trotman Limited, 1990)

Hamid, Homaidi, “Hukum Keluarga Iran”, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, ed. M. Atho’ Muzdhar, dkk. (Ciputat: Ciputat Press, 2003)

Lewis, B., C.H. Pellat dan Joseph Schaht (ed). “Dustur”, The Encyclopaedia of Islam (Leiden: E.J. Brill, 1983), vol-II, edisi terbaru

Madani, Jalalad-dine, Islamic Revolution of Iran (Tehran: International Publishing, 1996), ed-II.

Mahmood, Tahir, Personal Law in Islamic Country: History, Text and Comparative Analysis

(New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987)

______________, Family Law Reform in The Muslim World (Bombay: N.M. Tripathi PVT. Ltd., 1972)

Mir-Hosseini, Ziba, Marriage on Trial: A Study of Islamic Family Law (New York: I.B. Tauris & Co. Ltd., 2000)

______________, Islam and Gender: The Religious Debate in Contemporary Iran (New Jersey: 1999, Princeton)

Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B. (Jakarta: Lentera, 1999)

an-Na’im, Abdullahi A., Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book

(London: Zed Book Ltd., 2003)

Peretz, Don, The Middle East Today (New York: Preegar, 1986)

(14)

Shahrur, Muhammad, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, alih bahasa Mustofa Acep (Yogyakarta: eLSAQ, 2004)

Simon, Reeva S., et. all (eds), Encyclopedia of The Modern Middle East (New York: Simon & Schuster Macmillan, 1996), jilid-II

Suma, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: Rajawali Grafindo, 2005)

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007)

Referensi

Dokumen terkait

Setelah kelompok polutan dari 5 cluster di urutkan berdasarkan kadar polutan yang terkandung dapat disimpulkan bahwa polutan mengalami kenaikan antara bulan Juni

6NULSVL EHUMXGXO ³ Representasi Perempuan Jawa dalam Budaya Patriarki (Studi Semiotika pada Film Sang Penari ) ´ ini berangkat dari perhatian penulis terhadap media

(4)(a) Pada masing-masing kategori AQ, untuk AQ tinggi dan rendah, siswa yang dikenai model pembelajaran PBL, Jigsaw maupun STAD, ketiganya mempunyai pemahaman

Pada hasil penelitian diketahui terjadi perbedaan pada sifat fisik adonan ( gumminess, springiness, dan stickiness ) dan sifat fisik hasil akhir Mexico Buns (volume

Dari data dan hasil analisis perhitungan yang dilakukan terhadap pertumbuhan penduduk di 5 kecamatan Kota Binjai dalam kurun waktu 10 tahun sebelumnya (tahun 2004

Secara umum kandungan logam berat baik Pb, maupunCu dalam air memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan yang ada di sedimen.Hal ini disebabkan karena

Bahan ajar yang dapat dikenalkan untuk tujuan itu adalah budaya Indonesia berbasis folklor lisan seperti dongeng dan pantun.. Kedua budaya lokal ini dapat ditemukan pada

Ukuran Pemusatan Data Ukuran data Ukuran Pemusatan data Mean Median Modus Ukuran letak data Median Kuartil Desil Persentil Ukuran penyebaran data Jangkauan Jangkauan antar