• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik (2)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik (2)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

NOVEL

ATHEIS

(2)

Analisis Unsur Intrinsik Dan Unsur Ekstrinsik Novel “Atheis”

Karya Achdiat Kartamihardja

Judul Novel : Atheis

Pengarang : Achdiat Karta Mihardja Penerbit : PT Balai Pustaka Tahun terbit : Cet. 11 Tahun 1990 Tebal Halaman: 308 halaman Sinopsis :

Hasan adalah seorang pemuda yang berasal dari sebuah kampung di kota Bandung, Kampung Panyeredan. Ayah dan ibunya tergolong orang yang sangat saleh. Sejak kecil hidupnya ditempuh dengan ajaran agama Islam yang kuat. Iman Islamnya sangat tebal.

Setelah menjadi pemuda dewasa makin rajinlah Hasan melakukan perintah agama. Semua tentang ajaran agama Islam makin menempel terus dalam hatinya. Sampai – sampai Hasan menjadi seorang penganut agama Islam yang fanatik. Hasan kemudian meninggalkan orang tuanya dan memulai kehidupan di kota Bandung dengan tinggal bersama bibinya dan bekerja pada sebuah kantor pemerintah,sebagai penjual tiket kapal di Kota Praja.

(3)

Hasan yang dahulunya tetap mampu hidup sederhana di desanya walaupun berada di tengah-tengah kemodernan kota Bandung, mulai berubah. Terutama menyangkut keimanan yang selama ini sanggup dipegang teguh olehnya. Ia semakin sering berkumpul dalam forum-forum diskusi marxis Rusli dan kawan-kawannya, ia juga semakin akrab dengan mereka, perlahan Hasan meninggalkan gaya hidup lamanya. Tentu saja ideologi marxis sangat bertentangan dengan pemahaman keagamaan Hasan. Walaupun pada awalnya Hasan pernah berusaha keras melawan jalan pikiran kawan-kawan marxisnya dengan menyadarkan Rusli untuk kembali ke jalan yang benar. Ia mendatangi Rusli, namun ternyata Hasan kalah berdebat dan ia pun menyerah. ia terus bergabung dalam lingkunagan marxis itu dan terus terpengaruh. Suatu saat ketika ia kembali ke rumah orang tuanya di Desa Panyeredan bersama Anwar (salah seorang rekan marxisnya yang paling gila), ia berani berterus terang pada orang tuanya tentang pemahaman keimanan barunya. Hingga pada akhirnya, orang tua Hasan marah besar dan kemudian mengusirnya.

Sebenarnya Hasan tidak secara utuh mengikuti pemahaman yang diajarkan Rusli. Keberadaan Kartinilah yang menjadi pendorong baginya untuk terus berada dalam komunitas marxisme tersebut. Hingga akhirnya Hasan menikahi Kartini dan pada awal pernikahanya tentu berjalan bahagia. Namun tak lama, Hasan dan Kartini mulai sering bertengkar, dan pertengkaran ini pun berujungkan perpisahan. Penyebabnya adalah ketidaksukaan Hasan pada gaya hidup modern Kartini. Ternyata masih ada sisa tentang ajaran-ajaran keimanan masalalu dihatinya. Dan pertentangan pemikiran ini cukup menyiksa hari-hari Hasan. Ditambah penyakit TBC yang menggerogotinya akibat kebiasaannya dahulu yang kurang memperhatikan kesehatannya karena lebih mementingkan sembahyang.

(4)

UNSUR INTRINSIK

1. Tema

Tema mayor novel ini adalah persoalan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, tentang kehidupan agama seseorang yang setengah-setengah. Seperti dalam kutipan:

“Sesungguhnya, semua itu meminta cara. Meminta cara oleh karena hidup di dunia ini berarti menyelenggarakan segala perhubungan lahir batin, antara kita sebagai manusia dengan sesama makhluk kita dengan alam beserta pencintanya. Dan penyelenggaraan semua perhubungan itu meminta cara. Cara yang sebaik – baiknya, seadil – adilnya, seindah – indahnya, setepat – tepatnya, tapi pun sepraktis – praktisnya, dan semanfaat – manfaatnya bagi kehidupan segenapnya.” (Atheis: 8)

Hal ini menggambarkan tentang kehidupan, hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alamnya.

Sementara yang merupakan tema minor adalah masalah etika dan agama. Dalam novel ini kita menemukan adanya pertentangan etika dan masalah agama antar tokoh-tokohnya. Goyahnya kepercayaan yang dialami Hasan karena ucapan Rusli, ia menjadi lebih merasa sebagai atheis. Kebimbangan si Hasan tampak pada kutipan berikut:

“Sejak malam Rabu itu, jadi empat hari yang lalu, aku seolah-olah terombang-ambing di antara riang dan bimbang. Riang aku, apabila terkenang-kenang kepada Kartini yang sejak malam itu makin mengikat hatiku saja. Tapi bimbanglah aku, apabila aku teringat-ingat kepada segala pemandangan dan pendirian Rusli, yang sedikit banyaknya memengaruhi juga pikiran dan pendirianku” (Atheis:114)

(5)

2. Alur

Pada novel Atheis, Alur ceritanya adalah sebagai berikut : a) Penyelesaian (Bagian I)

Kartini, Rusli, dan pengarang mendapatkan kabar kematian Hasan. Bagian ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari bagian XIV dan XV. Maksudnya adalah ketika Hasan meninggalkan rumah dan mencari Anwar, kemudian Hasan malah ditembak mati oleh tentara Jepang.

“Hasan telah meninggal dunia. Di mana ia dikubur? Entahlah. Kapan tewasnya? Entahlah. Selaku orang sakit oleh seorang juru rawat, demikianlah Kartini ditopang dan dibimbing oleh Rusli. Saya mengintil di sampingnya” (Atheis: 9)

b) Peleraian (Bagian II)

Bagian II merupakan kisah pertemuan antara pengarang dengan Hasan. Pada bagian ini “aku” sebagai tokoh pengarang bukan Hasan.

“Baru satu bulan saya berkenalan dengan Hasan. Pada suatu malam datang lagi ia ke rumahku” (Atheis: 12).

Bagian II juga bercerita tentang naskah Hasan

“Semalam-malaman itu saya baca naskah Hasan itu sampai tamat. Rupanya itu sebuah Dichtung und Wahrheit dengan mengambil sebagai pokok lakom dan pengalaman Hasan sendiri. Jadi semacam “autobiographical novel. Inilah naskahnya” (Atheis: 14)

c) Perkenalan (Bagian III)

Bagian ini merupakan isi naskah dari Hasan dimana pengarang mulai memperkenalkan siapa dan dari mana tokoh utama Hasan dengan tokoh “Aku” sebagai Hasan.

“Di salah sebuah rumah setengah batu itulah tinggal orang tuaku, Raden Wiradikarta” (Atheis: 15)

(6)

d) Konflik 1 (Bagian IV-V)

Hasan berjumpa dengan sahabat lamanya, Rusli dan Kartini, yang menurutnya mereka telah melenceng dari agama (atheis). Hasan bertekad untuk menyadarkan kedua orang itu, perdebatan pun tidak terhindarkan.

“Keluarlah kata-kata dari mulutku sebagai pembukaan untuk memukul Rusli dengan agama.” (Atheis: 83)

e) Konflik 2 (Bagian VI-V)

Tekad Hasan gagal. Hasan tak mampu berbuat banyak. Pendapat Rusli mampu mempengaruhi Hasan. Pikiran dan hati Hasan juga terus mengarah pada Kartini. Makin hari makin bertambah teman Rusli yang dikenal Hasan antara lain Anwar yang juga atheis.

“Kalau menurut saya” sambung Anwar, “Tuhan itu adalah aku sendiri” (Atheis: 138)

Hasan tidak menyukai sikap Anwar saat mereka bertemu.

f) Konflik 3 (Bagian VI-VIII)

Hasan ahirnya benar-benar terjerumus pada pergaulan atheis. Ia mulai tertarik pada omongan Rusli tentang ajaran marxisme.

“Dan apa salahnya, kalau mereka sudah pernah mengemukakan pendapat, bahwa Tuhan itu madat, kenapa sekarang aku harus hiraukan benar, kalau mereka berpendapat, bahwa Tuhan itu teknik.”(Atheis: 153) Hasan tidak mampu lagi membendung cintanya kepada Kartini. Hasan sudah meninggalkan solat, tidak berpuasa, bahkan tidak segan-segan mengusir peminta-minta.

(7)

batinku. Puasa sama sekalu sudah kupandang sebagai perbuatan yang sesat.” (Atheis: 168)

g) Konflik 4 (Bagian IX-XI)

Hasan pulang kampung dan berdebat dengan ayahnya.

Betapa tidak bijaksananya aku bercekcokan dengan ayah tadi malam. Sesungguhnya serasa remuk jiwaku kini” (Atheis: 206)

Ayahnya mengetahui bahwa anaknya tidak patuh lagi terhadap orang tua dan ajaran agama, lalu mengambil keputusan untuk memutuskan hubungan dengan putranya.

Pada bagian XI diceritakan Hasan yang telah menikahi Kartini.

“Kami kawin dengan sangat sederhana” (Atheis: 216)

h) Konflik 5 (Bagian XII)

Kartini menemukan surat-surat yang membuatnya tidak percaya terhadap Hasan. Rumah tangga Hasan penuh dengan pertengkaran.

“Surat itulah pangkal perselisihan dan percekcokan yang terus menerus antara kami. Pangkal mula neraka yang sekarang sedang membakar aku.” (Atheis: 220)

i) Klimaks (Bagian XII-XIII)

Hasan bertengkar hebat dengan Kartini hingga Kartini dipukuli olehnya.

“Baru saja pintu itu setengah terbuka, aku sudah menubruk ke dalam seperti seekor harimau yang sudah lapar mau menyergap mangsanya. Tar!Tar! Kutempeleng Kartini” (Atheis: 228)

j) Penyelesaian (Bagian XIV, XV, dan I)

(8)

“Bagaimana hendak kutebus dosaku? Bagaimana hendak kubuktikan kesalahan hatiku terhadap segala perbuatanku terhadap ayahku itu? Bagaimana…?” (Atheis: 292)

Pada bagian ini juga diceritakan Kartini yang pergi meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan Hasan.

“Sore itu, setelah berkelahi dengan Hasan, Kartini dengan bersedih hati lalu meninggalkan rumahnya. Hasan lagi ke belakang, ketika Kartini menyelinap diam-diam meninggalkan rumahnya” (Atheis: 262)

Saat itu, tanpa sengaja, ia mengetahui bahwa Kartini pernah ke penginapan bersama Anwar. Hasan pun mencari Anwar dan ingin melabraknya. Tanpa memperdulikan tanda bahaya tentara Jepang, ia pun tertembak karena disangka mata-mata.Akhirnya, ia jatuh tersungkur berlumuran darah, pahanya sebelah kiri tertembus peluru.

“Ia bergegas terus. Dalam gelap gulita. Tiba-tiba.. Tar!Tar!Tar! Hasan jatuh tersungkur. Peluru senapan menembus daging pahanya sebelah kiri” (Atheis: 308)

Penyelesaian kemudian dipotong dan diletakkan pada bagian I.

(9)

3. Latar

Latar meliputi latar tempat, waktu, dan suasana. a) Latar tempat

Begitu banyak latar tempat terjadinya peristiwa yang digambarkan dalam novel ini. Seperti Kampung Panyeredan, Kota Garut, Bandung, Rumah Bibi Hasan, Rumah Rusli, Bioskop, Kantor Kotapraja, Kuburan Garawangsa, dan penginapan. Berikut kutipan untuk memperjelas:

i. Kampung Panyeredan

Pengarang menggambarkan kehidupan yang sederhana dan dihuni oleh orang-orang yang sederhana pula.

“... yang segar dan subur tumbuhnya berkat tanah dan hawayang nyaman dan sejuk. Kampung Panyeredan namanya. Kampung ini terdiri dari kurang dua ratus rumah besar kecil” (Atheis: 14)

ii. Kota Garut

Kota Garut merupakan tempat dimana orang tua Hasan tinggal.

“Di lereng gunung Telaga Boda di tengah-tengah pergunungan Priangan yang indah, terletak sebuah kampung, bersembunyi di balik hijau pohon-pohon jeruk Garut... ” (Atheis: 14)

iii. Kota Bandung

Bukti bahwa latar tempat peristiwa berada di Kota Bandung adalah: “Seperti kebanyakan rumah di kota dingin seperti Bandung, serambi muka ditutup dengan kaca” (Atheis: 42)

b) Latar waktu

Latar waktu cerita ini terjadi dari tahun 1940an ketika Belanda dan Jepang menduduki Indonesia. Sampai massa menjelang proklamasi. Hal ini dibuktikan dari tanggal pernikahan Hasan dan Kartini yaitu tanggal 12 Februari 1941.

Kuhitung dengan jari: Februari, Maret … tiga tahun setengah kira-kira sejak 12 Februari 1941. Sejak aku kawin dengan Kartini. Banyak sekali kejadian dalam tempo kurang lebih 40 bulan itu” (Atheis: 217)

(10)

mata-Selain itu juga terdapat latar waktu lainnya : i. Sore hari

Sore hari saat Hasan pergi ke rumah Rusli. “ Agak panas sore ini” kata Rusli. “ (Atheis: 49)

Hasan berada di stasiun, ia hendak pulang ke rumahnya di Tegallega. “Matahari sedang mengundurkan diri, pelan dan hati-hati seperti pencuri yang hendak menghilang ke dalam gelap”(Atheis: 277). ii. Malam Hari

Saat Hasan ke rumah “Aku” (Pengarang)

“Pada suatu malam datang lagi ia ke rumahku. Seperti biasanya pada malam hari, ia memakai mantel gabardin hijau tua yang tertutup lehernya” (Atheis: 12)

Saat Anwar menginap di rumah Hasan.

“Malam itu, setelah kenyang makan, Anwar lantas bermohon diri hendak mencari bantalnya” (Atheis: 182).

c) Latar Suasana i. Menyedihkan

Kartini menangis karena menyesal dan sedih atas kepergian Hasan. “ Bercucuran air matanya. Ia seakan-akan berpijak di atas dunia yang tidak dikenalnya lagi. Hampa, kosong, serba kabur seperti di dalam mimpi” (Atheis: 9)

Hasan menyesal karena telah membuat ayahnya semakin kecewa karena faham barunya.

“... bahwa selama itu ia telah membikin ayahnya menderita berat, berhubung dengan perselisihan faham yang mengenai kepercayaan agamanya itu” (Atheis: 287)

ii. Menegangkan

(11)

“Seorang keibodan berteriak-teriak sambil lari ke sana ke mari dengan corong pengeras suara. Rrrrtt, lampu-lampu semuanya padam. Orang-orang berlarian mencari perlindungan” (Atheis: 307) iii. Menakutkan

Saat Hasan dan Anwar berjalan menyusuri kuburan Garawangsa, mereka berbincang mengenai ketahyulan pada malam jumat atau malam selasa.

“Malam jumat? Sekarang malam apa?” (Atheis: 194).

iv. Mengharukan

Saat Hasan berpisah dengan Rukmini karena tidak direstui orang tuanya.

“Lambat laun kami itu diikat oleh tali cinta. Tapi alangkah malangnya bagi kami, karena orang tuanya sama sekali tidak setuju dengan percintaan kami itu” (Atheis: 61)

v. Romantis

Saat Hasan dan Kartini jatuh cinta.

“Aku sangat gugup. Dan ketenangan yang terbaca pada muka Rusli malah membikin aku tambah gugup saja. Kulihat Kartini, ia memandang dengan lembut kepadaku” (Atheis: 129)

4. Penokohan

a) Tokoh Protagonis

Yang merupakan tokoh protagonis adalah sebagai berikut: i. Hasan (Tokoh utama laki-laki)

i.1 Sederhana, lugu

“Seperti namanya pula, rupa dan tampang Hasan pun biasa saja, sederhana.” (Atheis: 12).

(12)

i.2 Kurang teguh pendirian

“Dia seorang pencari. Dan sebagai seorang pencari, maka ia selalu terombang – ambing dalam kebimbangan dan kesangsian. Kesan ia bukan seorang pencari yang baik.” ( Atheis: 12 )

Watak tokoh digambarkan langsung oleh pengarang.

1.3 Cara berpikir belum matang dan dewasa, imannya belum mantap “Keras aku mengucapkan nama Tuhan itu pada tiap kali aku berubah sikap. Keras-keras, supaya bisa mengatasi suara hati dan pikiran. Keras-keras pula nama Tuhan itu kuucapkan dalam hati. Tapi tak lama kemudian melantur-lantur lagi pikiran itu. Sekarang malah makin simpang siur, makin kacau rasanya” (Atheis: 97)

Watak tokoh digambarkan dengan perilaku tokoh. Tampak Hasan yang berpikiran bahwa dengan mengucapkan nama Tuhan dengan keras keras maka ia akan dapat mengatasi kekacauan pikirannya.

1.4 Fanatik terhadap agama

“ … berpuasa tujuh hari tujuh malam. Hasan kemudian menyelesaikan ritualnya mandi di kali Cikapundang selama 40 kali, satu malam dan sembahyang Isya sampai shubuh.” (Atheis: 33)

Watak tokoh digambarkan melalui perilaku tokoh yang mengikuti aliran agama diluar ajaran secara wajar.

b) Tokoh Antagonis

Yang merupakan tokoh antagonis adalah sebagai berikut: i. Kartini (Tokoh utama wanita)

i.1 Wanita yang modern dan bebas

(13)

i.2 Wanita yang berideologi tegas dan radikal. Etikanya menurut feodal/ burjuis, ia seorang Atheis.

“…Ia seolah-olah seorang wanita yang sudah pecat imannya. Memang, ia pun sudah pecat imannya, tapi dari etika feodal dan etika borjuis. Itu benar! Bukan begitu bung?” (Atheis: 47)

Watak tokoh digambarkan melalui dialog dari tokoh lain, yaitu melalui percakapan antara Rusli dan Hasan.

ii. Anwar

ii.1 Cakap dan ramah

“Ia pemuda yang cakap rupanya. Kulitnya kuning seperti kulit orang Cina dan matanya pun agak sipit.” (Atheis: 133)

Watak tokoh digambarkan langsung oleh pengarang dengan memperhatikan penampilannya.

ii.2 Periang

“Sambil tertawa ia berjabatan dengan kami” (Atheis: 133) Watak tokoh digambarkan melalui tindakan tokoh.

ii.3 Seorang yang kasar

“Satu kali aku pernah menempeleng seorang bujanganku” (Atheis:135) Watak tokoh digambarkan melalui dialog tokoh itu dengan tokoh lain.

ii.4 Seorang yang tidak percaya adanya Tuhan

“Kalau menurut saya, Tuhan itu adalah aku sendiri” (Atheis:138) Watak tokoh digambarkan melalui dialog tokoh itu sendiri.

iii.Rusli

iii.1 Nakal, bandel, dan bebas

(14)

iii.2 Seseorang yang dapat menghargai orang lain dan sopan

“Tentu saja saudara Hasan tidak akan membiarkan pendapat saya itu. Itu saya dapat mengerti dan hargai, dan memang...” ( Atheis: 99 ) iii.3 Pandai mempengaruhi orang lain dan seorang atheis

Ah. Mengapa saudara berkata begitu? Itu pikiran kolot. Tuhan tidak ada saudara!” (Atheis: 86)

Watak tokoh digambarkan melalui dialog tokoh itu sendiri dengan Hasan.

c) Tokoh Tambahan

i. Raden Wiradikarta : sangat saleh dan alim, tegas (Atheis: 15) ii. Ibu Hasan : solehah dan alim, penyayang (Atheis: 20) iii. Haji Dahlan : penasehat yang baik (Atheis: 17)

iv. Kiyai Mahmud : guru tarekat yang baik, bijak (Atheis: 19) v. Fatimah : baik, rajin, penurut, pemalu (Atheis:178) vi. Bibi Hasan : baik, rajin beribadat, sabar (Atheis: 59) vii. Mimi : baik, jujur, selalu ingin tahu (Atheis:127) viii. Ibu Kartini : serakah (Atheis: 47)

ix. Pak Artasan : penakut, percaya hal mistik (Atheis:189) x. Bung Parta : pandai, percaya diri (Atheis: 149)

5. Sudut Pandang

a) Sudut pandang orang pertama pelaku sampingan

Dalam novel ini pengarang menempatkan dirinya sebagai pencerita, dimana di beberapa bagian dalam novel ( Bagian I, II, dan bab XIII ), pengarang ikut masuk di dalam cerita tersebut. Tokoh “Aku” merupakan pengarang yang mengamati tokoh utama (Hasan). Hal ini berarti pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama pelaku sampingan.

(15)

b) Sudut pandang orang pertama pelaku utama

Sementara pada bagian III-XII, tokoh “Aku” bukan lagi sebagai pengarang, melainkan sebagai tokoh “Hasan”. Hal ini berdasarkan naskah yang ditulis oleh Hasan sendiri, yang kemudian menjadi bagian dari cerita didalam novel tersebut.

“Rupanya ceritanya itu sebuah Dichtung und Wahrheit dengan mengambil sebagai pokok lakon dan pengalaman Hasan sendiri. Jadi semacam autobiographical novel. Inilah naskahnya” (Atheis: 14)

Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada bagian III-XII novel Atheis menggunakan sudut pandang orang pertama pelaku utama. Berikut contoh kutipan saat Hasan bertengkar hebat dengan Kartini:

“Baru saja pintu itu setengah terbuka, aku sudah menubruk ke dalam seperti seekor harimau yang sudah lapar mau menyergap mangsanya. Tar!Tar! Kutempeleng Kartini” (Atheis: 228)

c) Sudut pandang orang ketiga

Pada bagian XIV-XV menggunakan sudut pandang yang berbeda. Pengarang sengaja menjelaskannya pada bagian XIII:

“Kedua: stijl ‘aku’ yang dipakai dalam naskah itu akan saya ubah menjadi stijl ‘dia’saja” (Atheis: 261)

Hal ini menjelaskan bahwa tokoh “aku” (pengarang) akan membuat suatu naskah mengenai Hasan, namun ia tidak mengambil peran dalam naskah itu. Berikut salah satu kutipan naskahnya:

“Akan tetapi kepada siapakah ia harus menebus dosanya, harus menyatakan sesalnya, apabila orang terhadap siapa ia berbuat dosa itu sudah tidak lagi, sudah meninggal dunia?” (Atheis: 7)

(16)

6. Amanat

Pesan-pesan yang dapat dijumpai dalam novel Atheis:

a) Kita harus mempercayai dengan sepenuh hati dan memegang teguh pedoman hidup kita yakni sebuah agama dan juga harus percaya akan adanya Tuhan.

b) Kita harus memiliki wawasan yang cukup luas serta berpegang teguh pada prinsip yang kita miliki.

c) Jangan suka meniru atau menerima suatu hal baru dengan mentah-mentah tanpa menyaring atau mempelajari sebelumnya.

d) Turutilah nasihat orang tua. Walaupun pendapat orang tua berbeda, namun kita harus selalu mentaati kehendak orang tua selama keinginan mereka itu baik. Karena sesungguhnya, tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya berada di jalan yang salah.

e) Kita tidak boleh terlalu mencintai dunia dan hanya mencari kebahagian di dunia. Karena sesungguhnya orientasi manusia adalah di akhirat. f) Jangan terlalu mudah tersulut emosi. Emosi hanya akan menambah

permasalahan.

7. Gaya Bahasa

A. Majas

a) Majas Personifikasi

Pengarang menggunakan majas personifikasi seperti :

i. “Matahari sedang mengundurkan diri pelan – pelan dan hati – hati seperti pencuri yang hendak meninggalkan kamar untuk hilang dalam gelap.” (Atheis: 277)

ii.“Kalau dulu aku hidup di dalam ketenangan hati seperti air di danau, maka air itu seakan – akan sudah mendesah – desah penuh dinamik seperti air di sungai gunung.” (Atheis: 167)

(17)

i. “Suaranya menggores tajam dalam hatiku seperti suara paku diatas batu tulis.” (Atheis: 9)

ii. “Aku sudah menubruk ke dalam seperti seekor harimau yang sudah lapar mau menyergap mangsanya.” (Atheis: 228)

iii. “Rupanya perkataan Ayah laksana jari yang melepaskan cangkolan gramopon yang baru diputar. “ (Atheis: 16)

c) Majas Hiperbola

i. Semuanya kelihatannya sangat lesu. Serupa onggokan- onggokan daging juga yang tak berdaya apa-apa pula.” (Atheis: 6)

B. Bahasa Asing

Pengarang juga menyisipkan bahasa Belanda, seperti :

a) “In de nood leerf men bidden” (Kesusahan hidup mendorong kita sembahyang). (Atheis: 21)

b) “Ik ben een god in het diepst van mijn gedach ten” (Dalam pikiranku yang sedalam – dalamnya akulah Tuhan). (Atheis: 138)

(18)

UNSUR EKSTRINSIK

Nilai nilai yang terkandung dalam novel atheis: 1. Nilai Sosial

“Terbayang-bayang olehku, bahwa persahabatan semacam itu tentu tidak lepas dari perbuatan-perbuatan yang keji, yang haram, yang kotor. Dalam keadaan demikian aku ingin sekali melepaskan diri dari cengkeraman pergaulan kedua orang itu. Akan tetapi ternyatalah, bahwa tali asmara tidak bisa dihilangkan begitu saja.” (Atheis: 146)

Setiap orang perlu adanya pergaulan. Namun dalam pergauan perlu adanya penyaringan antara pergaulan yang baik maupun buruk. Pergaulan yang salah hanya akan membuat seseorang tersesat pada jalan yang salah bahkan sampai mengingkari ajaran agama.

2. Nilai Religius

“...tetapi kepada siapakah ia harus meminta maaf, menyatakan sesalnya apabila orang terhadap siapa dia berbuat dosa itu sudah tidak ada lagi, sudah meninggal dunia? Kepada Tuhan? Karena tuhan adalah sumber segala cinta...” (Atheis: 7)

Manusia hanya mempunyai satu tempat untuk mengadu. Satu tempat untuk mencurahkan rasa penyesalan terhadap perbuatan yang telah dilakukan, yaitu hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dalam kutipan:

3. Nilai Pendidikan

“...beribadat tanpa bimbingan guru adalah seperti seorang penduduk desa dilepaskan di tengah-tengah keramaian kota Jakarta atau singapur. Ia akan tersesat. Tak ubahnya dengan sopir yang tahu jalankan mobil, tetapi tidak tahu jaln mana yang harus ditempuh” (Atheis: 16)

(19)

yang diperoleh. Karena pendidikan yang tidak berkarakter sama sekali tidak membangun bagi individu.

4. Nilai Moral

“Apa artinya bungkus kalau tidak ada isinya. Betul tidak kak? Yang kita perlukan terutama isinya, bukan? Tapi biarpun begitu isi pun tidak akan sempurna kalau tidak terbungkus...” (Atheis: 17)

Kita tidak bisa menilai orang dari luarnya, tetapi yang lebih penting adalah kepribadiannya. Tidak jarang manusia menilai orang atau sesuatu dari kulit luarnya. Namun, sesuatu akan lebih baik, jika penampilan luar dan dalam sama baiknya.

5. Nilai Budaya

“...teman-teman kantorku bercerita tentang apa yang dinamakan mereka ‘cinta merdeka’ yang katanya banyk dilakukan oleh orang-orang barat, artinya adlah laki-laki dan perempuan bisa hidup bersama seperti suami istri, tetapi tidak kawin.”(Atheis: 74)

(20)

Referensi

Dokumen terkait

Ancillary Services (institutional services and promotions); need to be made marketing and promotional information systems of Pal beach tourism with the full support of the

Hasan Sadikin General Hospital from 2009 to 2013 comprise of pregnancy, delivery, and puerpural complications, maternal age, prior medical history, antenatal care, and area

The results suggest that the three species have a synergistic effect in the way they manage the heavy metal in surrounding polluted soils,

[r]

Seperti yang telah dikatakan peneliti sebelumnya, bahwa sebuah seni rajah tubuh yaitu Tato yang digunakan sebagai “tanda” identitas diri seseorang ternyata dapat

Penatalaksanaan demam pada pasien sakit kritis dibutuhkan untuk meminimalkan stres metabolik dan meningkatkan oksigenasi jaringan. Penelitian ini bertujuan membandingkan pengaruh

data stok opname, data instalasi software, penanganan keluhan kerusakan, tindakan pemeliharaan, data komponen cpu, data penghapusan aset TI, data jenis aset, data mutasi