• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESEJAHTERAAN SOSIAL DALAM SUDUT PANDANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KESEJAHTERAAN SOSIAL DALAM SUDUT PANDANG"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Dalam fase (tahap) perkembangan yang terakhir perhatian para antropolog hukum tidak saja pada proses penyelesaian sengketa semata-mata, masalah hukum atau pluralisme hukum di luar penyelesaian sengketa mulai mendapatkan perhatian. Salah satu tema masalah di luar sengketa adalah masalah kesejahteraan sosial yang menyita banyak waktu para antropolog. Hal ini berhubungan dengan banyaknya tatanan nilai atau norma yang berlaku di masyarakat tertentu yang mempengaruhi kesejahteraan sosial masyarakat.

Pada mulanya, para antropolog memulai kajiannya dengan upaya untuk menjawab pertanyaan; Apakah masyarakat di luar Eropa-Amerika mengenal kesejahteraan sosial seperti yang sudah dikenal di negara-negara tersebut? Pertanyaan itu muncul karena adanya pemahaman bahwa tolok ukur kesejahteraan sosial di setiap negara atau wilayah kerap berbeda dengan negara lain.

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan antropologi, kajian mengenai masalah kesejahteraan sosial makin beragam, dengan mengkaji masalah kesejahteraan dalam masyarakat negara berkembang maupun masyarakat industri.

Dalam masalah kesejahteraan sosial, para antropolog biasanya mengungkapkan hubungan-hubungan yang terjadi dalam kerangka pembedaan (dikotomi) dengan landasan pranata umum atau biasa (konvensional), misalnya antara kesejahteraan sosial di sektor umum dan perorangan, formal dan informal, modern dan tradisional.

(2)

Apa relevansi mengkaji masalah kesejahteraan sosial dengan pendekatan antropologi hukum?

Dalam rangka menggali pranata-pranata yang dihayati sebagai hukum oleh individu, kelompok atau masyarakat, maka sebagai upaya untuk mengungkapkan kasus-kasus sengketa maupun non-sengketa, dapat diberikan penjelasan mengenai apa yang disebut sebagai hukum yang hidup itu? Pada tahap selanjutnya dapat ditelusuri bagaimanakah pranata hukum bekerja dalam praktiknya. Kemudian melalui kasus-kasus yang diperoleh di lapangan dapat dijembatani/dihubungkan jurang antara pranata hukum yang ideal dengan keadaan yang nyata terjadi. Hal ini dilakukan dengan cara mengkaji berbagai aspek di luar hukum (sosial, ekonomi, politik) yang mempengaruhi hukum secara terintegrasi (berpadu; bergabung supaya menjadi kesatuan yang utuh ).

1.2. Rumusan Masalah

1. Apakah Kesejahteraan Sosial dan Pluralisme Hukum?

2. Bagaimanakah relevansi pengkajian masalah kesejahteraan sosial dalam hukum?

1.3. Tujuan Penulisan

1. Mendeskripsikan Kesejahteraan Sosial dan Pluralisme Hukum

2. Mendeskripsikan relevansi pengkajian masalah kesejahteraan sosial dalam hukum

1.4. Manfaat Penulisan

1. Bagi pemerintah, agar lebih peka dalam mengurus masalah kesejahteraan sosial terutama agar memperhatikan masalah pluralisme hukum sehingga tercapai kesejahteraan sosial yang diinginkan.

2. Bagi masyarakat, agar semakin menyadari tugasnya sebagai warga negara dalam mengontrol segala bentuk kebijakan yang dilakukan pemerintah.

3. Bagi penulis, agar mampu menerapkan teori-teori yang telah diperoleh dalam menganalisis masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat dan sebagai salah satu persyaratan memenuhi tuntutan kuliah.

(3)

Dalam menyusun karya tulis ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan yang dilaksanakan di perpustakaan Universitas Nasional dan penelusuran di internet.

1.5. Sistematika Penulisan

BAB I : berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II : berisi hakikat kesejahteraan sosial dan plularisme hukum

BAB III : berisi relevansi pengkajian masalah kesejahteraan sosial dalam hukum

BAB IV : berisi penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

BAB II

(4)

Sampai saat ini belum ada batasan kesejahteraan sosial yang dapat diterima secara umum. Para cendekiawan ilmu kesejahteraan sosial atau praktisi pekerjaan sosial merumuskan batasannya sendiri-sendiri sehingga terdapatlah beraneka ragam definisi (Mohammad Suud; 4). Pengertian dari kesejahteraan sosial tidaklah mutlak karena bersifat pluralistik dan kontekstual, karena harus ditempatkan dalam konteks politik, ekonomi, dan sosiokultural setiap masyarakat pada waktu tertentu.

2.1.1. Menurut para ahli

2.1.1.1.Menurut F. Benda Beckmann:

 Pada tingkat pertama, kesejahteraan sosial menunjukkan keragaman nilai, ideal-ideal, ideologi-ideologi, dan tujuan-tujuan kebijakan. Pada tingkat ini tidak ada satu masyarakat pun yang memiliki gagasan yang sama tentang kesejahteraan sosial.

 Pada tingkat kedua, kesejahteraan sosial mengacu pada lembaga penyelenggara. Pada sebagian masyarakat terdapat lembaga-lembaga khusus yang didirikan untuk menyelenggarakan kesejahteraan sosial. Pada sebagian masyarakat lain, lembaga semacam itu tidak ada.

 Pada tingkat terakhir, yaitu tingkat pelaksanaan, kegiatan kesejahteraan sosial yang diupayakan oleh individu atau kelompok dapat mewarnai banyak proses yang beragam.

2.1.1.2.Menurut Suparlan

Kesejahteraan sosial, keadaan sejahtera pada umumnya, yang meliputi keadaan jasmaniah, rohaniah dan sosial dan bukan hanya perbaikan dan pemberantasan keburukan sosial tertentu saja; jadi merupakan suatu keadaan dan kegiatan (Muh. Suud; 5)

2.1.1.3.Menurut Segal dan Brzuzy (1998:8)

Kesejahteraan sosial adalah kondisi sejahtera dari suatu masyarakat. Kesejahteraan sosial meliputi kesehatan, keadaan ekonomi, kebahagiaan, dan kualitas hidup rakyat (Muh. Suud: 5).

2.1.1.4.Menurut Midgley (1995:14)

(5)

sosial dikendalikan. Kedua, seluas apa kebutuhan-kebutuhan dipenuhi. Ketiga, setinggi apa kesempatan-kesempatan untuk maju tersedia. Tiga unsur ini berlaku bagi individu-individu, keluarga-keluarga, komunitas-komunitas dan bahkan seluruh masyarakat (Muh. Suud: 5).

2.1.1.5.Menurut Walter A. Friedlander

Kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisir dari pelayanan-pelayanan sosial dan lembaga-lembaga yang bertujuan untuk membantu individu dan kelompok untuk mencapai standar hidup dan kesehatan yang memuaskan dan relasi-relasi pribadi dan sosial yang memungkinkan mereka mengembangkan kemampuannya sepenuh mungkin dan meningkatkan kesejahteraannya secara selaras dengan kebutuhan keluarga dan masyarakat.” (Drs. Syarif Muhidin, Msc; 1961).

2.1.1.6.Menurut Dwi Heru Sukoco

Kesejahteraan sosial mencakup semua bentuk intervensi sosial yang secara pokok dan langsung untuk meningkatkan keadaan yang baik antara individu dan masyarakat secara keseluruan. Kesejahteraan sosial mencakup semua tindakan dan proses secara langsung yang mencakup tindakan dan pencegahan masalah sosial, pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan kualitas hidup.” (Max Siporin; 1995).

2.1.2. Batasan PBB

Kesejahteraan sosial adalah suatu kegiatan yang terorganisasi dengan tujuan membantu penyesuaian timbal balik antara individu-individu dengan lingkungan sosial mereka. tujuan ini dipakai secara saksama melalui teknik-teknik dan metode-metode dengan maksud agar memungkinkan individu-individu, kelompok-kelompok maupun komunitas-komunitas memenuhi keutuhan dan memecahkan masalah-masalah penyesuaian diri mereka terhadap perubahan pola-pola masyarakat, serta melalui tindakan kerja sama untuk memperbaiki kondisi-kondisi ekonomi dan sosial (Muh. Suud: 6-7). 2.1.3. Menurut Undang-Undang No. 6/1979 pasal 2.1.

(6)

dengan menjunjung tinggi hak-hak, azas serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila. (Moh. Suud, 4-5)

Setelah membaca beberapa definisi tentang kesejahteraan sosial di atas di atas, dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan sosial adalah suatu tindakan yang mengarah kepada kondisi sosial masyarakat yang menjamin kehidupan masyarakat dalam lingkungan untuk hidup dengan rasa nyaman, aman, dan tentram untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

2.2. Pengertian Pluralisme Hukum 2.2.1. Menurut Griffith

Pluralisme hukum merupakan adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu arena sosial (By ‘legal pluralism’ i mean the presence in a social field of more than one legal order), (1986:1). Menurutnya, istilah pluralisme hukum muncul sebagai tanggapan terhadap adanya paham sentralisme hukum, yaitu suatu paham yang menyatakan bahwa hukum seharusnya merupakan hukum negara yang berlaku seragam untuk semua orang, berdiri sendiri dan terpisah dari semua hukum yang lain dan dijalankan oleh seperangkat lembaga-lembaga negara”...law is and should be the law of the state, uniform for all persons, excluzive of all other law, and administered by a single set of state institutions” (1986:1).

Konsep pluralisme hukum yang dikemukakan Griffiths di atas pada dasarnya dimaksudkan untuk menonjolkan keberadaan dan interaksi sistem-sistem hukum dalam suatu masyarakat, antara hukum negara (state law) dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan sistem hukum agama (religious law) dalam suatu kelompok masyarakat.

Dalam kaitan ini, Tamanaha (1992:25-6) memberi komentar kritis terhadap konsep pluralisme dari Griffiths yang cenderung terfokus pada penekanan dikotomi keberadaan hukum negara dengan sistem-sistem hukum yang lain, seperti berikut :

(7)

sistem-sistem hukum yang lain, tetapi hukum negara tetap dipandang sebagai superior, dan sementara itu sistem-sistem hukum yang lain bersifat inferior dalam hierarki sistem hukum negara.

Contoh yang memperlihatkan pluralisme hukum yang lemah (weak legal pluralism) adalah konsep pluralisme hukum dalam konteks interaksi sistem hukum pemerintah kolonial dengan sistem hukum rakyat (folk law) dan hukum agama (religious law) yang berlangsung di negara-negara jajahan seperti dideskripsikan oleh Hooker (1975).

2. Sedangkan, pluralisme hukum yang kuat mengacu pada fakta adanya kemajemukan tatanan hukum dalam semua kelompok masyarakat yang dipandang sama kedudukannya, sehingga tidak terdapat hierarki yang menunjukkan sistem hukum yang satu lebih dominan dari sistem hukum yang lain. Untuk ini, teori Living Law dari Eugene Ehrlich yang menyatakan dalam setiap masyarakat terdapat aturan-aturan hukum yang hidup (living law) dari tatanan normatif (Sinha, 1993:227; Cotterrell, 1995:306), yang biasanya dikontraskan atau dipertentangkan dengan sistem hukum negara termasuk dalam kategori pluralisme hukum yang kuat (strong legal pluralism).

3. Selain itu, yang dimasukkan kategori pluralisme hukum yang kuat adalah teori Semi-Autonomous Social Field yang diintroduksi Moore (1978) mengenai kapasitas kelompok-kelompok sosial (social field) dalam menciptakan mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (self-regulation) dengan disertai kekuatan-kekuatan pemaksa pentaatannya. Karena itu, Griffiths kemudian mengadopsi pengertian pluralisme hukum dari Moore (1978) :

2.2.2. Menurut Hooker

(8)

pertemuan antara dua atau lebih kebudayaan (hukum) yang mengakibatkan konflik mengenai prinsip-prinsip menjadi hal yang sangat biasa.

2.2.3. Menurut F. Benda-Beckmann

Menurutnya, jika keanekaragaman sistem hukum merupakan situasi yang umum maka hal yang menarik bukanlah terletak pada dapat ditunjukkannya keanekaragaman peraturan hukum, tetapi yang lebih penting adalah apakah yang terkandung dalam keanekaragaman hukum itu, bagaimanakah sistem-sistem hukum itu saling berinteraksi satu sama lain, macam manakah keberadaan sistem-sistem hukum itu secara bersamaan dalam suatu lapangan pengkajian tertentu (1990:2).

BAB III

RELEVANSI PENGKAJIAN MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL DALAM HUKUM

Formulasi kesejahteraan sosial terletak dalam bentuk pranata hukum, termuat dalam berbagai perundang-undangan, peraturan, hukum kebiasaan, nilai, norma dan kebiasaan-kebiasaan yang hidup dalam arena sosial tempat orang mengadakan interaksi. Dengan demikian relevansi mengkaji masalah kesejahteraan sosial dalam pengkajian hukum adalah terletak pada tingkat abstraksi pertama yang diungkapkan oleh Benda Beckmann, dimana istilah kesejahteraan sosial dapat mengacu pada keragaman nilai-nilai, ideal-ideal, ideologi-ideologi dan dalam bentuknya yang konkret ialah: tujuan-tujuan kebijakan.

(9)

Kesejahteraan sosial di negara indonesia pada umumnya diselenggarakan oleh negara, misalnya jaminan sosial, program kesejahteraan dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan digalakkannya koperasi. Penyelenggaraan kesejahteraan sosial oleh pemerintah seirngkali tidak tepat sasaran.

Selain itu, terdapat kesejahteraan sosial yang diselenggarakan oleh masyarakat. Kesejahteraan sosial yang terakhir itulah yang dalam kenyataannya justru lebih banyak memberikan perlindungan sosial kepada orang banyak. Hal itu tidak disebabkan oleh keterbatasan-keterbatasan upaya pemerintah, tetapi juga disebabkan oleh tersedianya peluang-peluang yang sudah hidup dan berkembang dalam arena-arena sosial.

Kesejahteraan sosial yang terdapat dalam masyarakat itu tersedianya dalam hubungan-hubungan sosial: kelompok kekerabatan, persahabatan, pertetanggaan, dan patronage dan brokerage. Hubungan-hubungan sosial yang melahirkan kesejahteraan sosial itu ditandai oleh hak dan kewajiban diantara orang-orang yang terikat di dalam hubungan-hubungan tersebut.

Dalam buku berjudul 3 orientasi kesejahteraan sosial dijelaskan bahwa ada beberapa pandangan mengenai kebijakan kesejahteraan sosial. Salah satunya adalah perspektif institusional, yang menjelaskan fungsi institusi sosial dalam mencapai kesejahteraan sosial. Ada tujuh institusi sosial dasar dimana aktivitas-aktivitas pokok kehidupan masyarkat berlangsung, yaitu; kekeluargaan, agama, tempat kerja, pasar, tolong-menolong, dan pemerintah. (Moh.suud: 97).

Kesejahteraan sosial dengan dasar hubungan kekerabatan merupakan bagian yang terbesar yang hidup di masyarakat. Pranata yang mendasarinya terdapat dalam agama atau adat, atau perpaduan di antara keduanya. Dengan demikian hukum atau kebiasaan yang dianut oleh suatu masyarakat lebih banyak dan lebih mudah membantu mereka dalam meningkatkan kesejahteraan sosial.

(10)

Kesejahteraan sosial juga terbentuk dalam hubungan patronage dan brokerage. Ilustrasi berikut menggambarkan hubungan patronage dan brokerage tersebut.

Seorang hakim yang tinggal di Kota Ambon, datang ke desa asalanya, Hila, pada akhir minggu saja. Bersama istrinya ia membangun usaha pembuatan es mambo bersama kerabatnya yang terdiri dari wanita dan anak-anak miskin. Kerabat-kerabatnya ini merupakan tenaga kerja yang tidak bayar. Namun, bagi para kerabatnya itu, usaha tersebut mendatangkan penghasilan, kebutuhan-kebutuhannya dibayar oleh sang hakim dan istrinya, dan mereka mendapatkan akses kepada hubungan-hubunga (koneksi) dengan lembaga-lembaga pemerintah dan swasta. Sebaliknya, apa yang dilakukan sang hakim berserta istrinya itu adalah merupakan investasi dalam pengertian ekonomi tetapi juga membangun hubungan sosial dengan kerabat-kerabatnya. Hal yang menarik dalam hal ini adalah pada gilirannya sang hakim adalah juga merupakan calon penerima kesejahteraan sosial di kemudian hari, karena apa yang dilakukannya itu adalah membangun hubungan sosial dengan kerabat yang diharapkan akan menolongnya kembali bila ia sudah tua dan pensiun, dan pulang ke kampung halaman. (1991:18-19).

Ilustrasi di atas mau menjelaskan bahwa usaha untuk mencapai kesjahteraan sosial dalam arti yang sederdana di masyarakat desa tidak selalu dilakukan oleh pemerintah pusat atau daerah. Sistem pranata atau hukum kebiasaan, hubungan kekerabatan dan sistem kekeluargaaan lebih mudah dalam mencapai kesejahteraan sosial. Sistem-sistem yang berlaku dalam masyarakat dipandang sebagai bentuk dari pluralisme hukum. Pluralisme hukum ada dan berkembang karena setiap masyarakat mempunyai hukum dan sistemnya sendiri-sendiri dalam mengatur kehidupan bersama.

Meskipun masing-masing lembaga penyelenggara kesejahteraan sosial memiliki komunitas atau golongan-golongan sosial tertentu yang dilindunginya, namun dalam praktiknya hampir tidak ditemukan seorang individu, kelompok, atau masyarakat yang hanya terlindung dalam satu macam sistem kesejahteraan sosial saja. Setiap orang dapat terjaring dalam berbagai macam mekanisme kesejahteraan sosial pada waktu yang sama.

(11)

Seseorang yang dianggap kategori “orang miskin” dan “orang yang membutuhkan” yang perlu mendapat perlindungan kesejahteraan sosial akan berbeda menurut sistem-sistem hukum negara, agama, adat, atau kebiasaan setempat yang lain.

Hal ini nampak dalam penelitian F dan K Von Benda Beckmann di Hila. Seorang pegawai negeri yang sakit adalah “orang yang membutuhkan” perlindungan kesejahteraan sosial menurut hukum negara, namun belum tentu masuk dalam kategori “orang yang membutuhkan menurut adat, atau orang yang berhak menerima zakat menurut agama”. Sebaliknya seorang guru yang tidak menikah, tidak memiliki hubungan-hubungan sosial di desa yang asing tempat dia datang dan menetap, tidaklah dianggap sebagai “orang yang membutuhkan” menurut sistem hukum negara, tetapi termasuk kategori orang “yang membutuhkan” menurut adat (1991:22).

(12)

BAB IV PENUTUP

Setelah mengkaji dan membahas masalah kesejahteraan dalam sudut pandang pliralisme hukum, pada bab ini penulis akan menyimpulkan berbagai hal yang telah dibahas sebelumnya. Selain itu penulis mencoba memberikan jalan keluar dan saran kepada pihak-pihak tertentu.

4.1. Kesimpulan

Kesejahteraan sosial berhubungan dengan masalah pangan, papan, penanggungan terhadap orang yang tidak bisa bekerja lagi karena sakit; usia lanjut dan kematian; pemeliharaan terhadap anak adan orang lanjut usia; penanggungan terhadap anak dan istri apabila suami mereka sakit, menganggur, meninggal dan sebagainya (Ihromi, 2001;237).

Masalah kesejahteraan sosial yang merupakan masalah non-sengketa dapat diteliti dengan pendekatan pluralisme hukum. Pluralisme hukum merupakan bahan kajian antroplogi hukum, karena pluralisme muncul disebabkan masyarakat memiliki sistem pranta, hukum, atau nilai yang berbeda-beda yang dianutnya. Tidak cukup bila hanya dapat ditunjukkan beberapa sistem hukum dalam suatu arena sosial atau lapangan pengkajian, tetapi juga bagaimana sistem-sistem hukum yang majemuk itu mempengaruhi perilaku orang, mempengaruhi pilihan orang mengenai pranata hukum mana yang akan dipilihnya.

(13)

Dalam realitanya hukum yang sudah lama berlaku dan telah dihidupi oleh masyarakat seringkali lebih banyak membantu mereka untuk mencapai tujuan-tujuan bersama, termasuk usaha untuk mencapai kesejahteraan sosial. Oleh karena itu usaha untuk membangun masyarakat harus dilakukan dengan memperhatikan hukum yang hidup dan berlaku serta menjadi panduan kehidupan mereka.

Peran institusi-institusi sosial juga sangat besar dalam usaha meningkatkan kesejahteraan sosial. Cara kerja institusi itu lebih mudah diterima dan lebih cepat dalam mencapai tujuan yang ingin dicapai masyarakat. Kenyataan itu menunjukkan bahwa dalam kehidupan masyarakat pranata-pranata yang mereka anut dan hukum yang hidup di dalamnya mempunyai peran yang lebih baik dibandingkan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

4.2. Usul dan Saran

4.2.1. Bagi Masyarakat

 Masyarakat hendaknya tetap mempertahankan kebiasaan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup, misalnya dengan usaha koperasi

 Masyarakat diharapkan mau bekerja sama dengan pemerintah salam usaha meningkatkan kesejahteraan.

 Kebiasaan masyarakat yakni sikap saling membantu hendaknya tetap dijaga dalam usaha mewujudkan kehidupan yang lebih baik

4.2.2. Bagi Pemerintah

 Kebijakan pemerintah untuk mencapai masyarakat yang sejahtera diharapkan sesuai dengan hukum atau pranata yang berlaku agar lebih mudah dilaksanakan  Pemerintah hendaknya mempelajari dan memahami hukum yang berlaku di

masyarakat sehingga tidak salah dalam membuat kebijakan.

 Pemerintah hendaknya memberikan dukungan terhadap inisiatif masyarakat dalam usaha mencapai kesejahteraan.

(14)

 Agar tetap membantu masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraan sosial, dengan usaha yang sesuai dengan budaya masyarakat.

 Agar membantu pemerintah dengan mengusulkan cara-cara yang tepat dalam mencapai kesejahteraan sosial.

 Institusi sosial hendaknya mendorong masyarakat dalam usaha meningkatkan taraf hidup sosial, misalnya dengan membuka usaha yang mengurangi pengangguran dalam masyarakat.

4.2.4. Bagi Mahasiswa

 Mahasiswa hendaknya peka terhadap permasalah sosial yang ada di sekitarnya dan berinisiaif untuk menganalisis permasalahan itu

 Mahasiswa diharapkan mampu mengaplikasikan pengetahuan yang diterimanya di sekolah dalam sebuah karya ilmiah yang berguna untuk menambah wawasannya dan wawasan bagi massyarakat luas.

DAFTAR PUSTAKA

Ihromi, T.O. 2001. Antropologi hukum; sebuah bunga rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Suud, Mohammad. 2009. 3 orientasi kesejahteraan sosial. Jakarta: Rajawali Pers

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini, aspek pendapatan dilihat berdasarkan distribusi pendapatan pada masing-masing kelompok penduduk yang terdampak oleh pembangunan infrastruktur

Dari pengambilan data yang telah dilakukan dapat ditemukan bahwa, siswa kelas V SD Muhammadiyah 1 Sidoarjo sangat menyukai membaca utuk mengisi waktu luangnya, hal ini dapat

Terbentuknya kecerdasan bersama pada penonton 7MH terlihat dari beberapa indikasi yang telah dibahas, yaitu (1) terbentuknya inisiatif individu untuk terhubung dengan

“Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. 1901) Demikianlah

Hasil penelitian Kuntoro, dkk (2007) diperoleh dalam penelitian tentang Pengaruh Pemberian Jus Buah Belimbing dan Mentimun Terhadap Penurunan Tekanan Darah Sistolik dan

Definisi ini dipenuhi oleh elemen-elemen rangkaian seperti R, L, dan C, karena elemen-elemen ini akan memberikan sinyal keluaran (tegangan atau arus) tertentu jika diberi

Karakter masyarakat adat Dayak yang memiliki tradisi mewarisi segala tradisinya secara lisan, tentu akan mengancam keberlangsungan setiap batas lahan secara alami

Dengan memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Alloh SWT serta atas segala rahmat dan karunia-nya pada penulis, akhirnya dapat menyelesaikan penyusunan Tesis