ARISTOTELIAN DAN REVOLUSI LOGIS
Oleh Fajar Bayu Aji, 1406537262
Jika mendengar kata logika, yang terlintas dalam pikiran kita adalah sebuah kajian
ilmu yang berhubungan dengan rasio atau akal dan berhubungan dengan kebahasaan,
berbeda dengan matematika yang menggunakan angka atau bilangan. Akan tetapi menurut
Irving M. Copi dalam bukunya yang berjudul Introduction to Logic, Copi menjelaskan
bahwa Logika adalah suatu studi tentang metode-metode dan prinsip-prinsip yang
digunakan dalam membedakan penalaran yang tepat dari penalaran yang tidak tepat.
Kata logika sendiri muncul pada karangan Cicero, tetapi logika yang
disampaikannya adalah seni dalam berdebat. Sedangkan penggunaan kata logika yang sama
dengan apa yang kita pahami tentang kata itu sendiri digunakan oleh Aristoteles. Ada dua
istilah utama yang digunakan Aristoteles dalam logika, ada analitika dan dialektika.
Pertama analitika, yang dapat diartikan sebagai fungsi logika yang digunakan untuk
penyelidikan mengenai argumentasi-argumentasi yang bertitik tolak dari putusan yang
benar. Lalu, dialektika sebagai fungsi logika yang digunakan untuk penyelidikan mengenai
argumentasi-argumentasi yang bertitik tolak dari hipotesis atau putusan-putusan yang tidak
Namun, menjadi menarik jika logika itu sendiri tidak termasuk kedalam pembagian
ilmu pengetahuan menurut Aristoteles yang terdiri atas Ilmu Praktis (etika dan politik),
Ilmu Produktif (teknik dan kesenian), Ilmu Teoritis (fisika, matematika dan filsafat
pertama, yang akhirnya disebut metafisika). Aristoteles tidak mencantumkan logika
kedalam pembagian ilmu pengetahuannya, akan tetapi logika menjadi dasar persiapan
untuk berpikir secara ilmiah.
Aristoteles juga menjelaskan bahwa logika merupakan alat. Hal ini dapat diartikan
bahwa logika merupakan alat untuk mempraktikan ilmu pengetahuan. Logika Aristoteles
pada akhirnya memainkan peranan penting dalam peradaban intelektual manusia. Beberapa
buku pegangan logika tradisional, hingga saat ini, menggunakan logika Aristotelian sebagai
acuan utama.
Dalam logikanya, ia menggunakan jalan berpikir induksi, karena menurutnya tidak
mungkin seseorang dapat menangkap hal-hal yang universal selain dengan jalan induksi
yang diperoleh melalui persepsi inderawi, karena hanya persepsi inderawi yang memiliki
kemungkinan untuk menangkap hal-hal yang partikular. Selain itu juga ada pengetahuan
yang bersifat a priori yang didasarkan pada apa yang dilihat sehingga seseorang dapat
sampai pada pengetahuan tersebut.
Akan tetapi, di era informasi, era yang dimana seharusnya kita sebagai manusia
yang memiliki akal budi menggunakan logika sebagai dasar memahami dan memaparkan
argumentasi, malah justru mengesampingkan logika dan lebih suka mengonsumsi informasi
instan. Tidak masalah jika memang informasi yang disampaikan memanglah seperti itu
kental, banyak sekali informasi sesat yang hanya bertujuan untuk menjatuhkan pihak-pihak
tertentu.
Seperti contoh yang dapat kita ambil, dalam prosesi Pemilihan Presiden yang baru
saja kita lalui beberapa bulan lalu, kedua pihak , Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko
Widodo-Jusuf Kalla, tidak menggunakan masa kampanye sebagai prosesi untuk
mempromosikan diri sebagai orang yang terbaik untuk maju sebagai Presiden Republik
Indonesia menggantikan Presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono. Hal ini
terbukti dengan maraknya Kampanye Negatif dan Kampenye Hitam.
Hal ini menjadi lebih berbahaya lagi ketika masyarakat terlihat terpecah menjadi
dua dan mendukung pasangan calon masing-masing, yang diyakini adalah hasil dari
kampanye-kampanye tersebut. Masalah menjadi lebih meruncing ketika pihak pasangan
Prabowo-Hatta memutuskan untuk mengajukan gugatan hasil Pilpres kepada MK dan
PTUN dan menganggap Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan kecurangan sistemik
dengan menjadikan pihak lawan sebagai pemenang Pilpres 2014.
Pertanyaan besarnya adalah, mengapa masyarakat terpecah menjadi dua dan
cenderung mendukung pilihannya entah dengan “cara apapun”? Menurut saya, hal ini dapat
dijelaskan karena masyarakat Indonesia pada saat itu memilih untuk tidak memilah
informasi yang mereka dapatkan dan percaya begitu saja dengan ucapan menarik kampanye
negatif dan hitam tersebut. Yang dapat dikatakan juga tidak menggunakan sistematika logis
Menurut saya, sebagai mahasiswa filsafat yang beruntung bisa mencicipi
pendidikan logika tradisional Aristotelian secara disiplin dan terstruktur, alangkah baiknya
jika kita memperbaiki dan merevolusi cara berpikir masyarakat Indonesia awalnya lebih
menyukai cara instan dalam mengolah informasi dengan menggunakan sistematika logika
yang terstruktur. Tidak harus logika tradisional, karena saya rasa, dari ribuan disiplin
logika, masih banyak tipe logika yang lebih cocok dalam kehidupan masyarakat Indonesia
sehari-hari.
Dengan terstrukturnya pemikiran masyarakat Indonesia yang berdasarkan
prinsip-prinsip bernalar yang tepat, lurus dan teratur, saya meyakini dalam mencerna informasi,
masyarakat Indonesia akan lebih bijak dan logis, dan dengan bijak dan logisnya masyarakat
Indonesia, kita akan mejadi lebih memperhatikan sekitar dalam pencernaan informasi dan
tidak akan terjadi lagi perpecahan-perpecahan yang tidak perlu dikarenakan
DAFTAR PUSTAKA
Copi, Irving M., Introduction to Logic, (second edition) New York: The Macmillian Company. 1976