Rencana Disertasi :
PEMODELAN OSILASI REGANGAN DINDING DADA
SEBAGAI PARAMETER FISIOLOGIS SINKRONISASI KARDIORESPIRASI
PERANAN DINAMIKA SISTEM PERNAFASAN
DAN VARIABEL SINKRONISASI KARDIORESPIRASI
DALAM PEMODELAN OSILASI REGANGAN DINDING DADA
KARYA ILMIAH 5
Oleh :
NURIDA FINAHARI
NIM. 0730703012
PROGRAM DOKTOR ILMU KEDOKTERAN
KEKHUSUSAN TEKNOLOGI KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
PROGRAM PASCA SARJANA
LEMBAR PENGESAHAN
PERANAN DINAMIKA SISTEM PERNAFASAN
DAN VARIABEL SINKRONISASI KARDIORESPIRASI
DALAM PEMODELAN OSILASI REGANGAN DINDING DADA
KARYA ILMIAH 5
Oleh :
NURIDA FINAHARI
NIM. 0730703012
Menyetujui,
Pembimbing Akademik
KERANGKA RENCANA DISERTASI
Rencana Judul Disertasi : Pemodelan osilasi regangan dinding dada sebagai parameter fisiologis sinkronisasi kardiorespirasi
1. Fisioanatomi dan sinkronisasi sistem kardiorespirasi 2. Telaah alat ukur struktur dan fungsi sistem kardiorespirasi 3. Kajian model matematis sistem kardiorespirasi
4. Pendekatan teoritis penyusunan model matematik untuk osilasi regangan dinding dada akibat aktivitas jantung
5. Peranan dinamika sistem pernafasan dan variabel sinkronisasi kardiorespirasi dalam pemodelan osilasi regangan dinding dada
ABSTRAK
Sinkronisasi kardiorespirasi merupakan parameter yang menggambarkan interaksi antara sistem kardiovaskular dan sistem respirasi. Analisis sinkronisasi kardiorespirasi didasarkan pada model-model matematik dari data kinerja masing-masing sistem dalam bentuk fungsi waktu. Selama ini kinerja jantung memang dianalisis sebagai fungsi waktu, tetapi gerak diafragma dan otot interkostal sebagai penggerak utama sistem pernafasan tidak demikian halnya. Untuk menggunakan osilasi regangan dinding dada sebagai parameter sinkronisasi kardiorespirasi diperlukan dasar model matematis yang menggambarkan interaksi integral sistem kardiorespirasi. Hal ini terhambat pada kompleksitas sistem dan deviasi nilai parameter yang tinggi antara dinamika jantung dan sistem pernafasan. Hambatan tersebut dapat didekati dengan menggunakan metode numerik atau mendasarkan pemodelan pada teknik auskultasi.
Kata kunci: Gerak dinamis paru, osilasi regangan dinding dada, sinkronisasi
ABSTRACT
Cardiorespiratory synchronization is a parameter that ilustrated the interaction between cardiovascular system and respiratory system. Analysis of cardiorespiratory synchronization based on mathematical model of performances data from both system in form of time function. As far, heart performances are analysis as time function but diaphragm and intercostal muscles dynamic as main element of respiratory system do not analysis as time function. To use chest wall stretch ascillation as cardiorespiratory synchronization parameter, it is needed to have mathematical model that ilustrated the integrality of cardiorespiratory system as basic consideration. In this case there is exist contraints due to system complexity and high deviation on parameter values of heart and respiratory system. These contraints could be solved by approximation using numerical method or based the modelling on auscultation techniques.
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN 1
KERANGKA RENCANA DISERTASI 2
ABSTRAKS 3
DAFTAR ISI 4
DAFTAR GAMBAR 5
DAFTAR TABEL 6 I. PENDAHULUAN 7 1.1. Latar Belakang 7 1.2. Permasalahan 11
II. TINJAUAN PUSTAKA 11
2.1. Dinamika diafragma dalam sistem pernafasan 13
2.2. Dinamika otot interkostal 16
2.3. Peran osilasi dinding dada dalam pengukuran dinamika pernafasan 22
2.4. Kajian sinkronisasi kardiorespirasi 25
III. PEMBAHASAN 27
IV. PENUTUP 30
4.1. Kesimpulan 30
4.2. Saran 30
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Hubungan fungsional vibrasi kardiorespirasi 9
Gambar 2. Proses pernafasan 11
Gambar 3. Ukuran vital volume paru 11
Gambar 4. Perbedaan tekanan yang terlibat dalam sistem pernafasan 12
Gambar 5. Grafik compliance paru 13
Gambar 6. Anatomi diafragma 14
Gambar 7. Pembagian seksi gambar radiografis 15
Gambar 8. Kontribusi diafragma terhadap volume tidal 16
Gambar 9. Otot-otot yang digunakan dalam sistem pernafasan 17
Gambar 10. Pergerakan tulang rusuk pada saat respirasi 18
Gambar 11. Model skematik rusuk dan otot-otot interkostal 20
Gambar 12. Perbandingan pergeseran cranial tulang rusuk 21
Gambar 13. Metode pengukuran pergerakan dinding dada 22
Gambar 14. Contoh citra respon vibrasi normal 24
Gambar 15. Efek volume tidal terhadap intensitas vibrasi paru 24
Gambar 16. Diagram acuan analisis sinkronisasi 26
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Rumus dan nilai tekanan transmural 12
Tabel 2. Pola pernafasan otot eksternal interkostal 19
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit jantung masih bertahan dalam jajaran penyakit pembunuh no. 1 baik di
dunia maupun di Indonesia. Tingginya angka kematian di Indonesia akibat penyakit
jantung koroner (PJK) mencapai 26%. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah
Tangga Nasional (SKRTN), dalam 10 tahun terakhir angka tersebut cenderung
mengalami peningkatan. Pada tahun 1991, angka kematian akibat PJK adalah 16% dan
melonjak menjadi 26,4% pada tahun 2001. Saat ini angka kematian akibat PJK
diperkirakan mencapai 53,5 per 100.000 penduduk (PPNI; 2006).
Keselarasan antara detak jantung dan laju respirasi (sinkronisasi kardiorespirasi)
merupakan fenomena nyata meskipun bukan merupakan variabel utama interaksi
kardiorespirasi (Toledo, et.al; 2002). Dari hasil simulasi matematik diketahui bahwa
peningkatan volume paru-paru dapat dimodelkan sebagai peningkatan resistansi
pembuluh vaskular pulmonar dan tekanan alveolar. Peningkatan volume paru
menyebabkan perubahan tekanan intratorak. Perubahan ini berpengaruh pada perfusi
paru, aliran vena dan curah jantung (Darowski; 2000). Di sisi lain diketahui bahwa efek
paparan polusi dalam jangka panjang berpengaruh terhadap kesehatan kardiovaskular.
Dalam hal ini disebutkan bahwa wanita yang memiliki nilai FEV1 (
forced expiratory
volume
) kurang dari 80% akibat polusi udara, diprediksi meninggal akibat penyakitkardiovaskular dengan rasio resiko RR = 3,79 (95% CI: 1,64 – 8,74) untuk masa pantauan
5 tahun (Shcikowski, et.al; 2007). Untuk masa pantauan 12 tahun, nilai RR-nya adalah
1,35 (95% CI: 0,66 – 2,77). RR tersebut menunjukkan probabilitas seorang wanita akan
meninggal akibat penyakit kardiovaskular jika memiliki FEV1 < 80%, pada rentang CI
(confidence interval) tersebut. Dalam hal ini tampak bahwa kesehatan respirasi
merupakan prediktor bagi mortalitas kardiovaskular.
Secara umum, interaksi antara aktivitas jantung dan paru-paru (interaksi
kardiorespirasi) telah mulai dipelajari sejak 2 abad yang lalu dan terus dikembangkan.
Salah satu tujuannya adalah untuk memahami mekanisme interaksi patofisiologis
(Mrowka, et.al; 2003). Upaya memahami hubungan ketergantungan sistem kardiovaskular
dan respirasi didasari fakta adanya interaksi fisiologis antara kedua sistem tersebut.
Karena sistem kardiorespirasi merupakan osilator biologis utama yang menghasilkan
ritme khas dalam menjalankan fungsinya maka interaksi kardiorespirasi dianalisis
berdasarkan ritme khas yang dihasilkan masing-masing sistem. Interaksi saling
mempengaruhi dalam ritme kardiorespirasi salah satunya disebabkan oleh mekanisme
Mengingat sistem kardiorespirasi merupakan osilator biologis, maka pemanfaatan
vibrasi yang ditimbulkannya sebagai sinyal data pengukuran fisiologis menawarkan
alternatif baru pada bidang pengembangan alat ukur. Posisi jantung dan paru-paru yang
berdekatan memungkinkan munculnya gelombang interferensi dari gelombang vibrasi
yang dihasilkan keduanya. Karakteristik gelombang interferensi tersebut merupakan
gambaran karakteristik masing-masing gelombang sumbernya. Untuk dapat melakukan
proses perbaikan maupun pengembangan peralatan pengukuran fisiologi sistem
kardiorespirasi berbasis vibrasi, analisis berdasarkan pemodelan matematik perlu
dilakukan sehingga variabel-variabel yang berpengaruh dapat ditentukan. Model
matematik yang divisualisasikan secara terkomputerisasi dapat mengurangi
konsekuensi-konsekuensi negatif proses desain yang tidak diinginkan. Meskipun demikian, proses
penyusunan model matematik untuk vibrasi sistem kardiorespirasi mempersyaratkan
adanya pertimbangan tentang aspek interaksi antar organ-organ penyusunnya. Hal ini
membutuhkan ketelitian dan ketepatan dalam menyusun skema mekanik, menentukan
asumsi-asumsi fisiologis, memilih variabel dan hukum-hukum mekanika yang menjadi
landasan analisis.
Hubungan fungsional antar organ penyebab timbulnya vibrasi kardiorespirasi
dalam bentuk osilasi regangan dinding dada dapat dilihat dari skema pada Gambar 1.
Dari skema tersebut tampak bahwa regangan dinding dada terjadi akibat perubahan
volume rongga torak. Perubahan volume rongga torak terjadi akibat aktivitas periodik dari
sistem pernafasan dan denyut jantung. Dengan demikian regangan dinding dada juga
bersifat periodik. Aktivitas periodik inilah yang disebut sebagai vibrasi. Vibrasi dengan
amplitudo dan frekuensi rendah umumnya disebut sebagai osilasi.
Dalam notasi matematik, osilasi regangan dinding dada (y) merupakan fungsi
perubahan volume rongga torak akibat gerak jantung (x1), gerak diafragma (x2) dan gerak
otot intercostal (x3). Maka secara konseptual osilasi regangan dinding dada dapat
dirumuskan sebagai berikut:
y = f (x1; x2; x3) (1)
Mengacu pada persamaan-persamaan tentang pemodelan aktivitas pacemaker
(Yasutaka et.al., 2002), dinamika sel otot jantung (Roth, 1991), pergerakan dinding
jantung (Gutterrez et.al; 2003), pengaruh dinamika jantung terhadap perubahan volume
paru (Singh et.al; 2001) dan pengaruh dinamika paru terhadap gerak dinding dada
(Gattinoni et.al., 2004), dapat disusun persamaan umum osilasi regangan dinding dada
khususnya yang diakibatkan oleh aktivitas jantung sebagai berikut (Loring et.al., 2001):
(a)
(b)
(c)
Gambar 1: Hubungan fungsional vibrasi kardiorespirasi, (diadaptasi dari Weinhaus., 2004), a) arah sumber gerakan (panah merah) dan osilasi pada rongga torak (panah hijau), b) arah gerak otot pernafasan pada kondisi inspirasi dan ekspirasi, c) perubahan volume rongga torak akibat gerak diafragma.
dimana mrc adalah massa otot interkostal, x adalah perubahan posisi, xadalah kecepatan
gerak, x adalah percepatan, PG adalah tekanan relatif paru terhadap udara lingkungan,
Pe1,l adalah tekanan rekoil elastis dari paru, A adalah luas penampang lintang bidang kerja
gaya, Krcm adalah koefisien kekakuan otot (Krcm = Arc2/Crc), C adalah compliance paru, R
adalah koefisien peredaman viskos dari otot (nilainya diasumsikan dari kondisi fisiologis),
G adalah koefisien gravitasi ke arah cephalad (z) dan ventrad (y), α dan β adalah sudut
orientasi, Frc adalah gaya hasil aktivitas otot-otot pernafasan. Dalam persamaan tersebut
dinamika jantung berperan menentukan nilai tekanan paru (PG dan Pe1,l)
Persamaan 2) belum menunjukkan rumusan detail untuk Frc khususnya yang
menggambarkan peranan otot intercostal, efek diafragma dan otot abdominal. Persamaan
tersebut juga belum mengakomodasi variabel-variabel sinkronisasi kardiorespirasi. Jadi,
persamaan 2) masih memerlukan modifikasi lebih lanjut untuk dapat dijadikan dasar
acuan pemodelan osilasi regangan dinding sebagai parameter fisiologis sinkronisasi
1.2. Permasalahan
Mengacu pada latar belakang maka karya ilmiah ini akan membahas peranan
dinamika sistem pernafasan dan variabel sinkronisasi kardiorespirasi dalam pemodelan
osilasi regangan dinding dada.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Ventilasi adalah mekanisme pernafasan, keluar masuknya udara dalam tubuh.
Proses menarik nafas disebut inhalasi. Proses inhalasi normal digerakkan oleh diafragma
dengan dukungan otot interkostal luar (
external intercostal muscles
). Pada saat diafragmamelakukan kontraksi, rongga torak mengembang dan isi rongga perut tertekan ke bawah.
Hal ini memperbesar rongga dada sehingga tekanannya turun. Pada saat tekanan rongga
dada lebih rendah dari lingkungan di luar tubuh, udara mengalir masuk menuju area
konduksi paru-paru. Pada pernafasan paksa, otot-otot respirasi aksesoris ikut bekerja
sebagai sistem pendukung. Otot-otot tersebut adalah
sternocleidomastoid, platysma,
danthe strap muscles of the neck.
Kontraksi dari otot-otot tersebut menyebab-kan rongga dadamengembang lebih besar dari normal (Purves, et.al; 2001). Pengeluaran nafas (ekshalasi)
merupakan proses kebalikan inhalasi. Secara normal proses ekshalasi berjalan pasif
sebagai akibat relaksasi diafragma dan otot-otot interkostal luar. Dalam kondisi paksa
otot-otot abdominal dan interkostal dalam ikut bekerja menghasilkan tekanan abdominal
dan rongga dada tambahan. Tekanan tambahan ini memberikan kekuatan paksa untuk
mengeluarkan lebih banyak udara. Mekanisme pernafasan dapat dilihat pada gambar 2.
Pada akhir fase pengeluaran nafas, paru-paru dan rongga dada kembali ke posisi
awal (posisi istirahat). Pada posisi ini terdapat sekitar 0.5 L udara sisa yang disebut
resting tidal volume
(VT). Pada saat inhalasi dimasukkan tambahan udara sekitar 3 Latau lebih pada kondisi paksa, yang disebut
inspiratory reserve volume
(IRV). Sebaliknyaudara ekshalasi dapat ditingkatkan sebanyak 1.7 L atau lebih pada kondisi paksa, yang
disebut
expiratory reserve volume
/ERV (Despopoulos, Silbernagl; 2003). Sisa udaradalam paru-paru setelah ekshalasi paksa adalah sekitar 1.3 L yang disebut
residual
volume
(RV). Kapasitas vital paru-paru (VC) adalah volume udara maksimum yang keluarmasuk dalam satu siklus pernafasan. Jadi VC = VT + IRV + ERV. Kapasitas total
paru-paru adalah jumlah ERV dan RV. Kapasitas inspirasi adalah jumlah VT dan IRV. Semua
nilai numerik volume tersebut digunakan dalam analisis kondisi BTPS (
body
temperature-pressure saturation
). Ilustrasi ukuran volume paru-paru tampak pada gambar 3. DalamGambar 2: Proses pernafasan (Purves, et.al; 2001)
Secara anatomis denyut pergerakan paru pada proses pernafasan dipengaruhi
oleh perubahan tekanan transmural sistem pernafasan (Widmaier et.al., 2006). Tekanan
transmural adalah beda tekanan antar ruang yang dipisahkan dinding tipis pada struktur
mirip balon. Tekanan transmural didefinisikan sebagai tekanan di dalam dinding (Pi)
dikurangi tekanan di luar dinding (Po). Pada sistem pernafasan terdapat 3 tekanan
transmural, yaitu tekanan transpulmonar (Ptp) yang bekerja pada paru, tekanan dinding
dada (Pcw) dan tekanan sistem pernafasan (Prs) yang mengalirkan udara pernafasan ke
alveoli. Gambar 4 menunjukkan skema perbedaan tekanan yang terlibat dalam sistem
pernafasan. Tabel 1 menunjukkan ringkasan rumus dan nilai tekanan transmural.
Gambar 4: Perbedaan tekanan yang terlibat dalam sistem pernafasan (Widmaier et.al., 2006). Tekanan transpulmonar (Ptp) merupakan penentu ukuran paru sedangkan tekanan sistem pernafasan (Prs) merupakan penentu aliran udara. Tekanan intrapleural (Pip) dalam kondisi istirahat merupakan penyeimbang antara kecenderungan paru untuk mengempis (kolaps) dan kecenderungan dinding dada untuk mengembang. Ruang intrapleural digambarkan sangat besar untuk memperjelas visualisasi. Palv adalah tekanan alveoli, Patm adalah tekanan udara lingkungan.
Tabel 1: Rumus dan nilai tekanan transmural
Tekanan transmural Pi - Po Nilai pada kondisi istirahat (FRC) Catatan
Transpulmonar (Ptp) Palv - Pip 4 mmHg
Beda tekanan yang menahan paru tetap terbuka (melawan gerak pengempisan paru)
Dinding dada (Pcw) Pip– Patm -4 mmHg
Beda tekanan yang menahan dinding dada (melawan gerak pengembangan dinding dada)
Sistem pernafasan (Prs) Palv– Patm 0 mmHg Beda tekanan pada seluruh sistem (sama dengan tekanan penggerak aliran udara)
Sesuai dengan definisi tekanan transmural maka tingkat pengembangan paru sebanding
dengan tekanan intrapulmonar (Palv - Pip). Namun demikian kemampuan tekanan
transpulmonar untuk mengembangkan paru tergantung pada kemampuan paru untuk
meregang. Sifat ini disebut sebagai compliance paru (CL) yang didefinisikan sebagai
besaran perubahan volume paru (VL) akibat perubahan tekanan transpulmonar dan
dinyatakan sebagai:
alv ip
L L
P P
V C
(3)
Gambar 5: Grafik compliance paru (Widmaier et.al., 2006). Perubahan volume paru dan tekanan transpulmonar diukur pada saat obyek mengambil nafas panjang secara progresif. Semakin besar nilai compliance, paru semakin mudah mengembang, dan sebaliknya.
2.1. Dinamika Diafragma dalam Sistem Pernafasan
Diafragma adalah musculofibrous septum berbentuk kubah yang memisahkan
rongga torak dan rongga abdominal. Diafragma merupakan otot yang memegang peranan
penting dalam sistem pernafasan, bahkan dinyatakan sebagai otot kedua setelah jantung
yang paling berharga bagi sistem tubuh (Rochester, 1973). Telah terbukti bahwa
diafragma mempunyai ketahanan yang lebih tinggi terhadap kerusakan fatik dibandingkan
otot-otot kaki baik secara in vitro maupun in vivo (Gandevia et.al., 1983). Otot-otot
inspirasi juga menunjukkan kemampuan pulih dari kerusakan fatik 10 kali lebih cepat
Karakteristik kinerja diafragma diukur berdasarkan kekuatan dan ketahanannya
(Ottenheijm et.al., 2008). Kekuatan didefinisikan sebagai kemampuan otot untuk
menghasilkan gaya sedangkan ketahanan (endurance) didefinisikan sebagai kemampuan
otot untuk menjaga stabilitas gaya selama berlangsungnya aktivitas, untuk mencegah
terjadinya kerusakan fatik. Performansi diafragma tampak pada kemampuannya dalam
mempertahankan perfusi intramuskular selama kontraksi (McKenzie, Gandevia, 1997).
Hal ini terjadi karena lembaran otot diafragma mampu menghasilkan tekanan negatif
intrapleural yang menghasilkan gradien tekanan di sepanjang otot sehingga darah dapat
tetap mengalir. Pada saat kontraksi, otot-otot lain mengalami kenaikan tekanan
intramuskular yang melebihi tekanan arteri sistolik sehingga aliran darah terganggu.
Gambar 6: Anatomi diafragma (Cummings, 2001)
Pembangkitan gaya diafragma in vivo ditentukan oleh penggerak sentral (central
drive), konduktansi syaraf frenik, transmisi neuromuskular dan kopling eksitasi-kontraksi
(Ottenheijm et.al., 2008). Hal ini menyebabkan penentuan kapasitas pembangkitan gaya
diafragma secara in vivo tidak memungkinkan. Biasanya tekanan transdiafragmatik dan
intratorak ditentukan terlebih dulu untuk selanjutnya digunakan untuk mengukur kekuatan
otot diafragma. Cara lain yang umum dilakukan adalah dengan mengukur dan
menganalisis perubahan bentuk diafragma pada proses pernafasan. Hal ini biasanya
dilakukan dalam kondisi inspirasi maksimum. Namun perlu disadari bahwa karakteristik
kinerja diafragma tidak semata-mata menunjukkan fungsi otot tetapi lebih menunjukkan
Pengukuran perubahan volume rongga intratorak akibat aktivitas diafragma (DV)
dilakukan dalam satu paket analisis volumetrik untuk rongga torak, paru dan jantung.
Analisis volumetrik ini umumnya dilakukan melalui pengolahan gambar radiografis. Cara
ini telah dibuktikan valid dan terpercaya (Miller, Offord, 1980). Gambar radiografis diambil
melalui dua sisi pandang, posteroanterior dan lateral, pada jarak 72 inch dari target yang
melakukan pernafasan inspirasi maksimum. Perhitungan volumetrik dilakukan melalui
langkah-langkah berikut (Olson et.al.,2006):
1. Gambar dibagi secara vertikal menjadi 5 seksi dimana 2 seksi teratas berukuran 2,75
cm sedangkan 3 seksi lainnya dibagi sama rata dari ruang yang tersisa (Gambar 6).
2. Seksi ke-5 meliputi rongga (dome) diafragma hingga posisi insersi diafragma pada
tulang rusuk.
3. Selanjutnya volume-volume yang diinginkan dihitung berdasarkan rumus-rumus
berikut :
Volume total rongga torak (TTCV) = (1/4) x D1 x D2 x D3 4)
Volume Jantung (CV) = (1/6) x D1 x D2 x D3 5)
Volume Diafragma (DV) = (/6) x D1 x D2 x D3 6)
Volume Paru = TTCV – (CV + DV + PBV + PTV) 7)
Dimana,
D1, D2, D3 = ukuran diameter pada gambar radiografis (Gambar 6)
PBV = pulmonary blood volume
= 1,947 x berat tubuh0,425 x tinggi0,725 (estimasi berdasar Rodgers, Tannen, 1983)
PTV = parenchymal tissue volume
= 5,8 x berat tubuh (estimasi berdasar Rodgers, Tannen, 1983)
Untuk memudahkan proses pengukuran maka gambar radiografis yang dijadikan
acuan diubah dalam format digital (Olson et.al., 2006). Dalam hal ini digunakan digitizer
tablet (AccuGrid A43BL; Numonics Corporation;Montgomeryville, PA) untuk mentransfer
gambar radiografis ke dalam format program Didgers 3 (Golden Software; Golden, CO).
Untuk mempertahankan validitas dan reliabilitas hasil analisis volumetrik, variabilitas
divergensi tabung radiograf dinyatakan dalam faktor koreksi sebesar 0,729. Faktor koreksi
ini dikalikan hasil akhir yang diperoleh. Kontribusi volume diafragma terhadap volume tidal
pernafasan ditunjukkan pada Gambar 8 sebagai data hasil pengukuran terhadap 10
subyek sehat.
Gambar 8: Kontribusi diafragma terhadap volume tidal (∆Vdis/VT). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan LAT Fluoroscopy terhadap 10 subyek sehat. Garis putus-putus menunjukkan nilai rata-rata grup data (Singh et.al., 2003).
2.2. Dinamika Otot Interkostal
Otot-otot interkostal membentuk tiga lapisan tipis yang mengisi ruang-ruang
interkostal (De Troyer et.al., 2005). Lapisan luar disebut eksternal interkostal, memanjang
ke arah dorsal dari tuberkel tulang rusuk ke sambungan kostokondral di arah ventral.
Serat-serat lapisan ini berorientasi oblique pada arah caudal ventral dari tulang rusuk atas
ke tulang di bawahnya. Sebaliknya, lapisan sebelah dalam disebut internal interkostal,
memanjang dari sambungan sternokostal ke dekat tuberkel tulang rusuk. Serat-serat
internal interkostal berarah caudal-dorsal dari tulang rusuk atas ke tulang di bawahnya.
Jadi ruang-ruang interkostal terisi dua lapis otot interkostal pada potongan lateral tetapi
hanya berisi selapis otot saja pada potongan ventral atau dorsalnya. Otot interkostal yang
terletak paling dalam disebut otot interkostal innermost. Lapisan otot ini paling tipis jika
Gambar 9: Otot-otot yang digunakan dalam sistem pernafasan pada tubuh lelaki dewasa. Lubang-lubang pada diafragma menjadi jalan untuk aorta, esofagus dan inferior vena cava (Tortora, 2005)
Otot interkostal secara morfologi dan fungsinya termasuk dalam jenis otot skeletal.
Aksi mekanis otot-otot skeletal secara esensial ditentukan oleh bentuk anatomi dan
struktur yang digerakkannya pada saat berkontraksi (De Troyer et.al., 2005). Aksi
mekanis otot interkostal utamanya adalah menggerakkan tulang-tulang rusuk sehingga
mempengaruhi konfigurasi tulang rusuk tersebut. Untuk memahami aksi otot interkostal
diperlukan pemahaman tentang mekanika tulang rusuk dan susunannya. Hal ini dapat
Gambar 10: Pergerakan tulang rusuk pada saat respirasi. A: Pandangan atas tulang belakang dan tulang rusuk yang bersesuaian. Setiap tulang rusuk tersambung dengan tulang belakang dan transverse process tulang belakang dalam satu lingkaran tertutup, terikat oleh ligamen yang kuat. Pergerakan tulang rusuk merupakan gerak rotasi terhadap sumbu yang terbentuk dari sambungan tertutup tadi (arah panah). Dengan demikian tulang rusuk bergerak melengkung ke arah caudal-ventral (Gambar B dan C). Maka jika tulang rusuk tersebut menjadi lebih datar dalam kondisi inspirasi (garis putus-putus), akan terjadi peningkatan diameter rongga dada pada arah lateral (B) dan dorsoventral (C) (De Troyer, 2000)
Kebanyakan otot-otot interkostal tidak dapat diakses dan diaktivasi dalam kondisi
terisolasi. Efek respirasi dari otot-otot ini diteliti melalui cara-cara tidak langsung selama
bertahun-tahun. Hal ini dilakukan karena dalam kenyataannya otot-otot interkostal
tersebut memiliki orientasi 3 dimensi yang menghasilkan kompleksitas sistem khususnya
jika dipandang dari sisi interaksinya dengan susunan tulang dan otot di sekitarnya.
Metode pendekatan yang umum digunakan untuk penelitian otot interkostal didasarkan
pada Maxwell Reciprocity Theorem. Teori mekanika standar ini berlaku untuk setiap
sistem linier elastis. Di sini dinyatakan bahwa pada sistem linier elastis, pergerakan pada
suatu titik akibat pembebanan satu unit gaya pada titik kedua sama dengan pergerakan
titik kedua akibat pembebanan satu unit gaya pada titik pertama. Jika diterapkan pada
dinding dada, maka perubahan volume paru per unit gaya yang dibebankan pada suatu
otot sebanding dengan perubahan panjang otot tersebut jika dinding dada yang
direlaksasi bergerak naik secara pasif akibat tekanan yang dihembuskan pada jalan nafas
(Wilson, De Troyer, 1993). Hubungan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
/ L
Re1 ao m L L VP
dimana:
∆Pao = perubahan tekanan pada pembukaan jalan nafas m = massa otot
= tegangan otot aktif per satuan luas penampang lintang
∆L/L = perubahan fraksional per satuan perubahan volume
(∆VL)Rel = perubahan volume dinding dada yang direlaksasi
Persamaan 3) di atas telah dibuktikan validitasnya dan [∆L/(L∆VL)]Rel merupakan
parameter efek respirasi. Jika suatu otot mengalami pemendekan selama inflasi pasif
(∆L/L negatif) maka otot tersebut secara mekanis berperan pada kondisi inspirasi.
Sebaliknya jika suatu otot memanjang selama inflasi pasif (∆L/L positif) maka otot
tersebut secara mekanis berperan pada kondisi ekspirasi. Pada manusia diketahui bahwa
otot eksternal interkostal pada sisi dorsal berperan pada inspirasi (Wilson et.al., 2001).
Peran tersebut semakin berkurang secara kontinyu ke arah pangkal tulang dan
sambungan costokondral. Maka sisi ventral eksternal interkostal pada ruang interkostal
6-8 berperan aktif pada kondisi ekspirasi meskipun secara netto otot eksternal interkostal
merupakan otot inspirasi. Perlu diketahui bahwa otot parasternal interkostal pada ruang
ke-5 tidak mengalami perubahan panjang sehingga peranannya dalam mekanika
pernafasan sangat kecil. Di sisi lain, otot sterni triangularis berperan aktif dalam ekspirasi
di setiap ruang interkostal namun secara parsial peran tersebut sangat kuat di ruang
interkostal 5 dan 6 (De Troyer et.al., 1998). Otot interkostal internal interosseus berperan
aktif pada ekspirasi di seluruh rongga torak. Gambaran efek respirasi otot eksternal
interkostal pada 6 lelaki sehat berusia 33-51 tahun dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Pola pernafasan otot eksternal interkostal
Peran otot interkostal dalam mengaktivasi sistem pernafasan dapat dievaluasi
melalui model matematik (Wilson et.al., 1999). Pada model ini gaya yang dibangkitkan
otot interkostal untuk mendapatkan ekspansi volume paru dengan energi minimum dapat
ditentukan. Pemodelan didasarkan pada skema sederhana sebagaimana tampak pada
Gambar 11. Sistem pada skema dimodelkan sebagai sistem linier elastis yang terdiri atas
tiga batang horisontal sebagai model tulang rusuk. Batang-batang tersebut dihubungkan
dengan batang vertikal disebelah kiri dengan menggunakan sambungan pin. Batang
vertikal tersebut dapat meluncur di sepanjang dinding karena terhubung pada pegas. Di
sisi kanan, batang-batang horisontal dihubungkan satu dengan lainnya melalui
pegas-pegas, dimana pada ujung bawah terdapat kontainer yang memodelkan paru-paru.
Perubahan volume kontainer menyatakan perubahan volume paru (VL) yang diindikasikan
oleh pergerakan piston A. Piston ini dihubungkan dengan batang horisontal terbawah
melalui batang kaku. Elastisitas paru ditunjukkan oleh hubungan piston dengan dasar
kontainer melalui pegas. Elemen diagonal T1 dan T2 mewakili otot-otot interkostal yang
dapat berkontraksi aktif tetapi elastansi pasifnya diabaikan. P mewakili tekanan jalan
pernafasan. Persamaan yang menyatakan pengaruh P dan tegangan T pada volume
kontainer diturunkan dengan asumsi bahwa semua konstanta pegas bernilai sama
sebesar k, sehingga didapat (Wilson et.al., 1999):
(9)
Perubahan volume paru sebenarnya merupakan hasil dari pergeseran
tulang-tulang rusuk akibat aktivasi otot-otot interkostal. Dalam hal ini pergeseran tulang-tulang rusuk
dibatasi oleh model sambungan antar tulang yang berbentuk sendi dan sambungan
tulang rawan serta rambatan gaya yang dibangkitkan otot interkostal melalui sendi dan
sambungan tulang rawan tersebut (Wilson, De Troyer, 2004). Hasil eksperimen yang
menunjukkan rasio gaya aktivasi otot interkostal (F) dan tekanan jalan pernafasan (Pao)
terhadap pergeseran cranial (xr) yang dilakukan terhadap anjing dapat dilihat pada
Gambar 12. Data-data pada grafik tersebut dapat digunakan sebagai dasar perhitungan
T1 dan T2 pada persamaan 4). Hal tersebut didasari fakta bahwa karakteristik sistem
pernafasan anjing mirip dengan pernafasan manusia meskipun masih perlu dilakukan
penyesuaian akibat perbedaan dimensi dan orientasi sumbu pergerakan akibat
perbedaan anatomi tubuh.
(a) (b)
2.3. Peran Osilasi Dinding Dada dalam Pengukuran Dinamika Pernafasan
Metode pengukuran non invasif untuk volume tidal (VT) yang umum digunakan
didasarkan pada definisi bahwa VT merupakan jumlah perubahan volume akibat gerak
tulang-tulang rusuk dan abdomen yang terjadi pada rentang periode akhir ekspirasi dan
akhir inspirasi (Cala et.al., 1996). Secara terbatas 2 ruang acuan tersebut diasumsikan
memiliki 1 derajat kebebasan sehingga jika dapat dilakukan kalibrasi yang memadai,
pengukuran perubahan volume masing-masing ruang tersebut dapat ditransformasikan
menjadi VT. Namun disadari bahwa rongga torak sebenarnya terdiri atas 2 rongga yaitu
rongga pulmonar dan rongga diafragma yang berbeda anatominya. Hal ini menyebabkan
pengukuran volume rongga torak mengalami distorsi validitas koefisien kalibrasi (Levine
et.al., 1991). Kondisi ini mendorong pengembangan teknik geometri untuk menjelaskan
hubungan antara volume yang dilingkupi dinding dada dan perubahan volume yang terjadi
selama pergerakannya. Untuk meminimasi distorsi validitas koefisien kalibrasi tersebut,
lingkaran dinding dada yang dijadikan acuan harus diukur dari area inlet torak hingga
pelvis secara simultan. Namun hal ini membutuhkan sistem pengukuran 3D yang tidak
dapat dicapai jika menggunakan pletismografi atau magnetometri.
Pengukuran diameter dinding dada dalam 3D dapat dilakukan dengan
menggunakan 2 buah kamera [sistem analisis gerak otomatis ELITE (ELaboratore di
Immagini TElevisive; Milan Polytechnic, Milan, Italy)] yang ditempatkan pada orientasi
sudut yang berbeda terhadap subyek duduk (De Groote et.al., 1997). Pada subyek
ditempatkan serangkaian sensor yang akan mentransmisikan sinyal optik sesuai
pergerakan subyek pada saat bernafas normal (Gambar 13). Rekaman data tersebut
dianalisis untuk mendapatkan nilai pergerakan masing-masing titik sensor (Tabel 3).
Didapatkan nilai pergerakan dinding dada berkisar antara 1-5 mm.
(a) (b)
Gambar 13: Metode pengukuran pergerakan dinding dada (a) Skema posisi subyek yang ditopang sandaran C. Kamera perekam ditempatkan sejauh 150 cm (A) dan 128 cm (B) pada
orientasi sesuai sumbu xyz untuk subyek dan x’y’z’ untuk kamera. Transformasi sistem
Tabel 3. Nilai pergerakan dinding dada pada pernafasan tidal
Angka di dalam tanda kurung menunjukkan posisi sensor. n adalah jumlah siklus pernafasan. Nilai positif menunjukkan arah pergerakan cranial, ventral dan lateral ke luar. a menunjukkan nilai P < 0,01; b 0,01< P < 0,05; c P > 0,05 (uji-T). Nilai pergerakan < 0,1 tidak dianalisis. d no subyek yg menghasilkan data signifikan (P < 0,05) dengan tanda nilai rata-rata sama dengan tanda group. e no subyek data tidak siginifikan. f no subyek data siginifikan tetapi berbeda tanda dengan group
Di sisi lain, perkembangan teknologi instrumentasi medis memungkinkan
pemanfaatan vibrasi pada permukaan dinding dada yang ditimbulkan oleh suara
pernafasan sebagai parameter fisiologis respirasi. Hal ini dilakukan untuk menguji kinerja
ventilator mekanik (Dellinger et.al., 2007). Sinyal vibrasi ditangkap oleh sensor [VRI
(vibration response imaging) device Deep Breeze Ltd., Or-Akiva, Israel] yang ditempatkan
pada tempat tidur pasien. Pengukuran dilakukan dalam posisi hampir duduk untuk
mengakomodasi profil punggung. Untuk keperluan analisis sinyal tersebut
ditransformasikan menjadi energi vibrasi dan ditampilkan dalam bentuk citra digital
(Gambar 14). Hasil pencitraan menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara volume
pernafasan tidal dan intensitas vibrasi yang ditangkap sensor (Gambar 15). Hal ini
Gambar 14: Contoh citra respon vibrasi normal. Diambil dari lelaki sehat, tidak merokok, berusia 30 tahun. Derajat kehitaman menunjukkan energi vibrasi maksimum. Area hitam menunjukkan energi yang lebih tinggi. Sinyal vibrasi yang lebih rendah dari nilai
noise sensor maka data akan muncul berupa area putih. Gambar di atas
menunjukkan posisi sesaat pada siklus pernafasan yang ditunjukkan oleh titik hitam. Data asli berupa video rekaman 20 detik pernafasan (Dellinger et.al., 2007).
2.4. Kajian Sinkronisasi Kardiorespirasi
Sinkronisasi kardiorespirasi didefinisikan sebagai koordinasi selaras antara urutan
siklus detak jantung dan siklus respirasi yang bersesuaian (Cysarz et.al., 2004). Hal ini
biasanya dilakukan dengan cara menghitung jarak waktu antara onset inspirasi dan
gelombang R yang mendahuluinya. Penelitian tentang koordinasi 2 sistem fisiologis ini
awalnya ditujukan untuk mendapatkan informasi kontinyu berbasis waktu (time series
information) sebagai data analisis patologi dan pelevelan derajat resiko (Makikallio et.al.,
2001). Meski sempat terhenti pada era 1980an karena kurangnya pemahaman terhadap
efek sinkronisasi kardiorespirasi, penelitian pada bidang ini telah dikaji ulang oleh ahli
fisika dan matematika dengan menggunakan model matematik (Rosenblum et.al., 1996).
Pada studi awal terhadap 2 osilator sembarang yang berdekatan ditemukan adanya
sinkronisasi fase meskipun sinkronisasi amplitudonya tetap belum diketahui. Model ini
selanjutnya digunakan sebagai pendekatan kualitatif untuk model interaksi detak jantung
dan respirasi (Schafer et.al., 1999). Pada perkembangannya berbagai metode yang
berbeda-beda telah dilakukan untuk menganalisis sinkronisasi kardiorespirasi. Kemiripan
maupun perbedaan definisi yang digunakan pada metode-metode tersebut tidak
diketahui. Keunggulan untuk masing-masing metode juga belum pernah dibandingkan.
Terdapat 2 metode berbasis analisis bivarian yang menawarkan kemudahan dan
akurasi dalam pendeteksian sinkronisasi kardiorespirasi yaitu metode Synchronization
dan Phase Recurrences (Cysarz, et.al., 2004). Kedua metode tersebut dapat mendeteksi
adanya sinkronisasi melalui pencatatan detak jantung (dan siklus pernafasan) selama
kurang dari 20 kali pembentukan gelombang R. Metode-metode yang lain membutuhkan
waktu pencatatan sedikitnya 20 kali pembentukan gelombang R atau 10 siklus
pernafasan (kira-kira ekuivalen dengan 40 kali pembentukan gelombang R). Meskipun
demikian hasil analisis matematis ini tidak dapat digunakan sebagai justifikasi terjadinya
sinkronisasi secara fisik (fisiologis) walau didasarkan pada data pencatatan ECG dan
spyrometri atau termistor.
Metode Synchronization merupakan metode matematis yang digunakan untuk
menganalisis 2 kopel osilator dengan fase 1 dan 2 (Rosenblum et.al., 2001). Fase-fase
osilator ini mungkin secara teratur menunjukkan adanya sinkronisasi 1:1. Jika terjadi
sinkronisasi maka 1 - 2 menghasilkan nilai yang konstan. Pada kenyataannya data fase
1 dan 2 terkontaminasi noise sehingga meskipun terjadi sinkronisasi 1 - 2 tidak konstan
tetapi berfluktuasi di sekitar nilai tertentu. Untuk itu digunakan teknik stroboskopik dimana
nilai 2 baru dicatat jika 1 melebihi nilai standar . Secara umum pada kondisi
dikuantifikasi dengan Fourier mode 1 menjadi parameter sinkronisasi dan dirumuskan
sebagai:
(10)
Jika terjadi sinkronisasi maka nilai = 1 sedangkan de-sinkronisasi bernilai = 0. Untuk
mendapatkan akurasi yang tinggi dapat dihitung pada berbagai nilai kemudian
dirata-rata hasilnya.
(a)
(b)
Gambar 16: Diagram acuan analisis sinkronisasi. (a) contoh pencatatan data dan (b) skema dasar metode analisisnya (Cysarz et.al., 2004)
Metode Phase Recurrence secara sederhana dapat dipahami melalui
pengevaluasian sinkrogram yang mengandung m garis horisontal paralel (Betterman
et.al., 2002). Pada deret ini jarak relatif setiap m gelombang R mendekati sama. Jika tidak
demikian maka garis horisontal tidak akan muncul. ‘Pengulangan fase’ inilah yang
beda interval antara 2 gelombang R yang berurutan. Jika beda interval tersebut tidak
melebihi nilai toleransi dan terulang setidaknya k kali perhitungan yang berurutan maka
sinkronisasi terjadi. Secara matematis prosedur tersebut dinyatakan sebagai:
(11)
Dalam hal ini NT menyatakan jumlah gelombang R yang dicatat. Nilai k tidak ditentukan
namun untuk menjaga akurasi dianjurkan nilai k ≥ m untuk sinkronisasi m:n, dimana
jumlah gelombang R setidaknya sama dengan 2m.
III. PEMBAHASAN
Sinkronisasi kardiorespirasi merupakan parameter yang menggambarkan
interaksi antara sistem kardiovaskular dan sistem respirasi. Meskipun dari sudut pandang
anatomi fisiologi keterkaitan antara kedua sistem tersebut telah diketahui secara luas,
proses identifikasi, kuantifikasi, analisis dan penerjemahan interaksi kardiorespirasi masih
membutuhkan banyak kajian. Hal ini tampak jelas jika sinkronisasi kardiorespirasi
diterapkan pada kondisi-kondisi patologis yang terjadi pada salah satu sistem maupun
terhadap keduanya. Sejauh ini kinerja salah satu sistem masih dijadikan prediktor atau
faktor resiko bagi mortalitas sistem satunya.
Analisis sinkronisasi kardiorespirasi didasarkan pada model-model matematik dari
data kinerja masing-masing sistem dalam bentuk fungsi waktu. Karena sinkronisasi
kardiorespirasi didefinisikan sebagai koordinasi selaras antara urutan siklus detak jantung
dan siklus respirasi yang bersesuaian, maka data acuan bagi sistem kardiovaskular
adalah hasil pencatatan ECG, sedangkan sistem respirasi menggunakan data siklus
pernafasan hasil pencatatan spyrometri atau termistor. Dalam hal ini data siklus
pernafasan diperoleh dari kondisi pernafasan tidal yang direkam secara kontinyu
bersamaan dengan pencatatan ECG dalam selang waktu tertentu.
Mengacu pada kajian anatomisnya osilasi regangan dinding dada (y) merupakan
fungsi perubahan volume rongga torak akibat gerak jantung (x1), gerak diafragma (x2) dan
gerak otot intercostal (x3). Untuk dapat dijadikan sebagai gambaran sinkronisasi
kardiorespirasi maka osilasi regangan dinding dada harus dirumuskan sebagai fungsi
waktu. Dengan demikian dinamika jantung, diafragma dan otot interkostal juga harus
dinyatakan sebagai fungsi waktu. Selama ini kinerja jantung memang dianalisis sebagai
fungsi waktu, tetapi gerak diafragma dan otot interkostal sebagai penggerak utama sistem
pernafasan tidak demikian halnya. Analisis peran diafragma dan otot interkostal umumnya
dilakukan dalam kondisi statik. Model pernafasan yang dijadikan acuan biasanya adalah
diafragma dan otot interkostal sulit dilakukan secara langsung. Hal ini merupakan
kesulitan pertama yang harus diatasi.
Proses pengembangan model matematis secara analitis murni ternyata juga
menemui beberapa kendala. Dinamika gerak jantung bermula dari pembangkitan
potensial aksi sel-sel pacemaker. Dalam hal ini diketahui bahwa terdapat beberapa jenis
sel pacemaker yang memiliki karakteristik anatomi dan fungsi yang berbeda-beda pula.
Analisis terhadap proses pembangkitan potensial aksi sel-sel pacemaker menunjukkan
interaksi saling ketergantungan antara sel-sel pacemaker, sel-sel konduksi dan sel-sel
otot jantung. Beberapa pemodelan yang telah ada disusun berdasarkan kondisi-kondisi
asumsi untuk penyederhanaan. Hal yang sama terjadi ketika dilakukan pemodelan pada
level organ dan jaringan. Hal ini menunjukkan kompleksitas dan derajat kesulitan yang
harus diatasi. Jalan pintas yang sering digunakan adalah dengan memanfaatkan (sekali
lagi) rekaman data ECG. Meskipun demikian ditengarai adanya inkonsistensi pada hasil
pencatatan ECG khususnya jika dikaitkan dengan adanya noise biologis yang
mempengaruhi hasil pencatatan sinyal kelistrikan jantung. Hal ini bisa diabaikan karena
data ECG masih menjadi gold standard untuk analisis kinerja jantung.
Pemodelan sistem respirasi secara integral juga dilakukan dalam kerangka
penyederhanaan dimana sistem ini diasumsikan bersifat linier elastis. Hal ini juga
berpotensi menimbulkan kesalahan-kesalahan khususnya jika mengacu pada fakta
bahwa tulang-tulang rusuk berperan sebagai penghantar gaya yang dibangkitkan otot-otot
interkostal. Dalam hal ini tulang-tulang rusuk tersusun atas tulang keras dan tulang rawan
yang berbeda sifat mekanisnya. Interaksi dinamis antar elemen-elemen sistem
pernafasan tersebut juga melibatkan bentuk anatomis, arah dan urutan gerak yang
berbeda-beda dalam orientasi 3 dimensi. Kompleksitas kondisi ini menyebabkan
pemodelan sistem respirasi umumnya dilakukan secara parsial. Pendekatan yang
dilakukan untuk pemodelan dinamika diafragma didasarkan pada pemanfaatan
gambar-gambar radiografi statis. Pemodelan dinamika otot-otot interkostal juga dilakukan untuk
kondisi statis.
Alternatif solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut
adalah dengan jalan mengkonstruksi model matematis dari grafik-grafik hasil pencatatan
peralatan gold standard sebagaimana tampak pada Gambar 16a. secara numerik.
Persamaan numerik yang didapat untuk masing-masing sistem dikompilasikan untuk
mendapatkan persamaan baru dengan acuan metode-metode sinkronisasi. Konsekuensi
logis pertama dari cara ini adalah kesalahan-kesalahan yang timbul dari proses
pencatatan data akan terbawa dalam model hasil kompilasi. Di sisi lain sensitivitas model
menggambar-aktivitas kelistrikan jantung yang berhubungan dengan tekanan ruang-ruangnya
sedangkan grafik respirasi menggambarkan perubahan volume paru. Frekuensi detak
jantung 4 kali lebih tinggi dibandingkan frekuensi siklus respirasi namun perubahan
amplitudonya jauh lebih kecil. Jantung berdetak rata-rata 72 BPM dengan perubahan
volume maksimal hanya 10% dari volume totalnya sedangkan sistem respirasi
menghasilkan siklus sekitar 18 kali dalam satu menit tetapi perubahan volumenya dapat
mencapai 600% dari kondisi tidal. Karena dalam kondisi relaksasi volume total jantung
juga jauh lebih kecil dari volume paru maka tampak bahwa sistem respirasi berperan
dominan dalam pembangkitan osilasi regangan dinding dada.
Perbedaan besar dari karakteristik frekuensi dan amplitudo jantung dan sistem
respirasi menjadi hal yang esensial untuk pemilihan sensor alat ukur dan desain metode
pengukurannya. Pemilihan elemen dan desain metode pengukuran diperlukan untuk
memverifikasi hasil pemodelan matematis, khususnya untuk melakukan interpretasi
fisioanatomi. Deviasi tinggi pada nilai parameter yang sama untuk kedua sistem tersebut
akan mempengaruhi proses penyaringan noise pada saat pengkalibrasian alat ukur.
Alternatif solusi yang mungkin dilakukan adalah menggunakan multi sensor yang
diletakkan berdekatan namun pemrosesan sinyalnya disatukan. Sebagai gambaran, salah
satu sensor regangan dinding dada yang akan dipilih nantinya harus dapat menangkap
perubahan dibawah 1 mm karena pergerakan dinding dada akibat proses pernafasan
diidentifikasi berkisar pada nilai 1-5 mm. Penempatan sensor untuk mendeteksi regangan
dinding dada yang diakibatkan dinamika jantung disesuaikan dengan lokasi notch ujung
jantung (apex). Pada posisi ini interaksi antara jantung dan paru dimungkinkan juga lebih
mudah teridentifikasi.
Solusi lain untuk memodelkan sinkronisasi kardiorespirasi dapat didasarkan pada
gelombang suara yang ditimbulkan sistem tersebut. Hal ini didasari fakta bahwa suara
pernafasan telah dapat dipetakan dalam bentuk citra gambar energi vibrasinya. Di sisi lain
auskultasi suara jantung juga umum dilakukan. Namun demikian telaah interferensi suara
sistem kardiorespirasi belum dilakukan sehingga kemungkinan-kemungkinan yang timbul
dalam proses pemodelan dan verifikasinya belum diketahui.
Osilasi regangan dinding dada pada akhirnya dapat didekati melalui modifikasi
skema kinematis pada Gambar 11 dengan memasukkan efek jantung dan perubahan
tekanan rongga dada akibat pergerakan diafragma (Gambar 17). Efek jantung terhadap
perubahan volume paru dan pergerakan sternum diwakili variabel peredam cH, sedangkan
peranan diafragma diwakili oleh Pdia. Sistem kinematis tersebut selanjutnya dianalisis
menggunakan teori vibrasi untuk menghasilkan model matematis pergerakan sternum.
k
1Gambar 17: Model pergerakan sternum akibat aktivitas kardiorespirasi. CH adalah variabel peredam yang mewakili efek perubahan tekanan jantung terhadap volume paru dan pergerakan sternum. Pdia adalah perubahan tekanan rongga intratorak akibat dinamika diafragma. Arah Pdia berlawanan dengan Pao karena diafragma berperan menurunkan tekanan rongga dada hingga di bawah Pao agar terjadi aliran udara masuk ke dalam paru (dimodifikasi dari De Troyer, Kelly, 1982).
IV. PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil adalah:
1. Pemodelan untuk sistem kardiorespirasi dapat dilakukan dengan menggunakan
metode numerik berdasarkan grafik hasil pencatatan alat ukur gold standar.
2. Dimungkinkan pengembangan model berbasis auskultasi.
3. Model sistem respirasi De Troyer-Kelly dapat dijadikan landasan pengembangan
dengan memasukkan unsur-unsur dinamika jantung dan sinkronisasi kardiorespirasi.
4.2. Saran
Untuk mendapatkan gambaran final kemungkinan pemanfaatan osilasi regangan
dinding dada sebagai parameter fisiologis sinkronisasi kardiorespirasi diperlukan telaah
yang lebih detail tentang sensor, proses penyaringan, pengolahan dan analisis sinyal alat
ukur. Hal ini penting dilakukan untuk memverifikasi hasil pemodelan matematisnya. Ada
baiknya juga dilakukan eksplorasi terhadap proses terjadinya suara-suara hasil dinamika
DAFTAR PUSTAKA
Bettermann H, Cysarz D, Van Leeuwen P, 2002, Comparison of two different approaches in the detection of intermittent cardiorespiratory coordination during night sleep. BMC Physiol 2:18
Cala SJ, Kenyon CM, Ferigno G, Carnevali P, Aliverti A, Pedotti A, Macklem PT, Rochester DF, 1996, Chest wall and lung volume estimation by optical reflectance motion analysis, J Appl Physiol 81:2680-2689
Chappelo M, De Troyer A, 2004, Role of rib cage elastance in the coupling between the abdominal muscles and the lung, J Appl Physiol, 97: 85-90
Cummings B, 2001, Imprint of Addison Wesley Longman, Inc.
Cysarz D, Bettermann H, Lange S, Geue D, van Leeuwen P; 2004, A quantitative comparison of different methods to detect cardiorespiratory coordination during night-time sleep, BioMedical Engineering OnLine , 3:44
Darowski, M, 2000, Heart and lung support interaction — modeling and simulation (abstract), Frontiers of Medical & Biological Engineering, 10 (3): 157-165(9)
Dellinger RP, Jean S, Cinel I, Tay C, Rajanala S, Glickman YA, Parrillo JE, 2007, Regional distribution of acoustic-based lung vibration as a function of mechanical ventilation mode, Critical Care, 11:R26
Despopoulos A., Silbernagl S., 2003, Color Atlas of Physiology, Fifth Edition, Thieme Stutgart Germany
De Groote A, Wantier M, Cheron G, Estenne M, Paiva M, 1997, Chest wall motion during tidal breathing, J Appl Physiol 83:1531-1537
De Troyer A, 2000, Respiratory muscle function. In: Textbook of critical care, edited by WC Shoemaker, SM Ayres, A. Grenvik and PR Holbrook. Philadelphia, PA: Saunders.
De Troyer A, Gorman RB, Gandevia SC, 2003, Distribution of inspiratory drive to the external intercostal muscles in humans, J. Physiol. 546;943-954
De Troyer, A., Kelly S., 1982, Chest wall mechanics in dogs with acute diaphragm paralysis. J. Appl. Physiol. 53: 373–379.
De Troyer A, Kirkwood PA, Wilson TA, 2005, Respiratory action of the intercostal muscles, Physiol Rev 85: 717-756
De Troyer A, Legrand A, Gevenoi PA, Wilson TA, 1998, Mechanical advantage of the human parasternal intercostal and triangularis sterni muscles, J. Physiol. 513;915-925
Ebihara L, Johnson EA, 1980, Fast sodium current in cardiac muscle. Biophys J, 32:779-790
Finahari N, 2008b, Telaah alat ukur struktur dan fungsi sistem kardiorespirasi, Karya Ilmiah 2 PDIK Universitas Brawijaya
Finahari N, 2008c, Kajian model matematis sistem kardiorespirasi, Karya Ilmiah 3 PDIK Universitas Brawijaya
Gandevia SC, McKenzie DK, Neering IR, 1983, Endurance properties of respiratory and limb muscles, Respir Physiol, 53: 47–61
Gattinoni L, Chiumello D, Carlesso E, Valenza F, 2004, Bench-to-bedside review: Chest wall elastance in acute lung injury/acute respiratory distress syndrome patients, Critical Care, 8:350-355
Gattinoni L, Pelosi P, Suter PM, Pedoto A, Vercesi P, Lissoni A, 1998, Acute respiratory distress syndrome caused by pulmonary and extrapulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med, 158:3-11.
Gutierrez F, Saha M, Song YN, Timbie A, Andriacchi T, Fabro M, Wolf-Bloom D, Sszobota S, Taylor C, Elkins C, 2003, Design of a Pre-clinical Fluoroscopic Flow Model For Intravascular Device Testing and Training, Biomedical Device Design and Evaluation II, Mechanical Engineering Department, Stanford University.
Hyttinen JA, Eskola HJ, Sievänen H, Malmivuo JA, 1988, Atlas of the sensitivity distribution of the common ECG-lead systems, Tampere Univ. Techn., Inst. Biomed. Eng., Reports 2(2): 25-67.
Hoffman EA, Ritman EL, 1988, Intracardiac cycle constancy of total heart volume. Dyn Cardiovasc Imaging 1: 199–205
Levine, S., D. Silage, D. Henson, J. Wang, J. Krieg, J. LaManca, and S. Levy., 1991, Use of a triaxial magnetometer for respiratory measurements. J. Appl. Physiol. 70: 2311–2321
Lichtwarck-Aschoff M, Suki B, Hedlund A, Sjostrand UH, Markstrom A, Kawati R, Hedenstierna G, Guttmann J, 2004, Decreasing size of cardiogenic oscillations reflects decreasing compliance of the respiratory system during long-term ventilation, J Appl Physiol 96: 879–884.
Loring SH, Lee HT, Butler JP, 2001, Respiratory effects of transient axial acceleration, J Appl Physiol, 90: 2141–2150
Mack DC, Kell SW, Alwan M, Turner B, Felder RA, 2003, Non-invasive analysis of physiological signals (naps): a vibration sensor that passively detects heart and respiration rates as part of a sensor suite for medical monitoring, Summer Bioengineering Conference, June 25-29, Sonesta Beach Resort in Key Biscayne, Florida
Makikallio TH, Huikuri HV, Hintze U, Videbaek J, Mitrani RD, Castellanos A, Myerburg RJ, Moller M., 2001, Fractal analysis and time- and frequency-domain measures of heart rate variability as predictors of mortality in patients with heart failure. Am J Cardiol 87:178-182
McKenzie DK, Gandevia SC, 1991, Recovery from fatigue of human diaphragm and limb muscles, Respir Physiol, 84: 49–60,
McKenzie DK, Gandevia SC, 1997, Skeletal muscle properties: diaphragm and chest wall. In: The Lung: Scientific Foundations (2nd ed.), edited by Crystal R, West JB, Weibel ER, and Barnes PJ. Philadelphia, PA: Lippincott Raven, p. 981–991
Miller RD, Offord K, 1980, Roenthenologic determination of total lung capacity. Mayo Clin Proc, 55:694–699
Mrowka R, Cimponeriu L, Patzak A, Rosenblum MG., 2003, Directionality of coupling of physiological subsystems: age-related changes of cardiorespiratory interaction during different sleep stages in babies, Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol 285: R1395–R1401
Olson TP, Beck KC, Johnson JB, Johnson BD, 2006, Competition for intrathoracic space reduces lung capacity in patients with chronic heart failure: a radiographic study, Chest, 130: 164-171
Ottenheijm CAC, Heunks LMA, Dekhuijzen RPN, 2008, Diaphragm adaptations in patients with COPD, Respiratory Research, 9:12
Palmer J, Allen J, Mayer O, 2004, Tidal breathing analysis, Neoreviews 5 (5): 186-193
Rochester DF, 1973, The diaphragm: nobilissimus post cor musculus, Am J Med Sci, 265: 215–217
Rodgers RPC, Tannen R, 1983, Rapid and accurate determination of total lung capacity (TLC) from routine chest radiograms using a programmable hand-held calculator. Comput Biol Med, 13:125–140
Rosenblum MG, Pikovsky AS, Kurths J, 1996, Phase synchronization of chaotic oscillators. Phys Rev Lett 76:1804-1807
Rosenblum MG, Pikovsky AS, Schäfer C, Tass P, Kurths J., 2001, Phase synchronization: from theory to data analysis. In Neuro-Informatics and Neural Modeling Edited by: Moss F, Gielen S. Amsterdam: Elsevier Science;279-321
Schäfer C, Rosenblum MG, Abel HH, Kurths J., 1999, Synchronization in the human cardiorespiratory system. Phys Rev E Stat Phys Plasmas Fluids Relat Interdiscip Topics 60:857-870
Schikowski T, Sugiri D, Ranft U, Gehring U, Heinrich J, Wichmann HE, Krämer U, 2007, Does respiratory health contribute to the effects of long-term air pollution exposure on cardiovascular mortality?, Respiratory Research 8 (20): 1-11
Singh B, Eastwood PR, Finucane KE, 2001, Volume displaced by diaphragma motion in emphysema, J Appl Physiol, 91: 1913-1923
Singh B, Panizza JA, Finucane KE, 2003, Breath-by-breath measurement of the volume displaced by diaphragm motion. J Appl Physiol 94:1084–1091
Tortora GF, 2005, Principles of human anatomy, tenth edition, John Wiley & Sons, Inc, Hoboken NJ 07030, USA.
Weinhaus A, 2004, Human gross anatomy and embryology, Lecture Notes,
http://www.med.umn.edu/anatomy , download 24 Juni 2008.
Widmaier EP, Raff H, Strang KT, 2006, Vander’s Human Phyisiology: The Mechanism of
Body Function, 10th edition, McGraw Hill Higher Education, International Edition, New York, USA.
Wilson TA, Angelillo M, Legrand A, De Troyer A, 1999, Muscle kinematics for minimal work of breathing, J. Appl. Physiol. 87(2): 554–560
Wilson TA, De Troyer A, 1993, Respiratory effect of the intercostals muscles in the dog. J Appl Physiol 75: 2636–2645
Wilson TA, Legrand A, Gevenois PA, and De Troyer A, 2004, Respiratory effects of the external and internal intercostal muscles in humans. J Physiol 530: 319–330
Yasutaka K, Ichiro H, Sunao I, Toshishige S, 2002, Dynamical description of sinoatrial node pacemaking: improved mathematical model for primary pacemaker cell, Am J Physiol Heart Circ Physiol 283: H2074–H2101