• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kehidupan Ekonomi Sosial dan Budaya Para

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kehidupan Ekonomi Sosial dan Budaya Para"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Nelayan merupakan profesi yang sering dilupakan karena merupakan profesi yang tidak memiliki pendapatan yang pasti yang dapat menutupi semua kebutuhan hidup ditambah lagi dengan stigma masyarakat yang menganggap profesi ini rendah. Tanpa menyadari bahwa nelayan merupakan salah satu penopang perekonomian Indonesia. Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) sektor perikanan Indonesia menyumbang 244,6 juta dolar Amerika Serikat pada bulan oktober 2015, dan tidak menyadari bahwa ikan yang berada di rumah adalah kerja keras para nelayan. Harga ikan menurut nelayan tidak sebanding dengan risiko yang mereka hadapi terlebih jika nelayan tersebut memiliki perahu dari pinjaman seseorang maka nelayan tersebut harus menjual ikan yang ia dapatkan kepada pemilik perahu dan pemodal (tokeh). Harga ikan merah jika dijual kepada tokeh seharga 35 ribu/kg. Pihak – pihak berseragam yang melindungi pemodal besar yang menggunakan pukat harimau/katrol juga menjadi penghambat nelayan tradisional dalam menangkap ikan. Banyak harapan yang disampaikan para nelayan guna mengubah keadaan yang tidak memihak kepada nelayan tradisional.

B. RUMUSAN MASALAH

1) Bagaimana kehidupan ekonomi para nelayan Sungai Deli? 2) Bagaimana kehidupan sosial para nelayan Sungai Deli? 3) Bagaimana kehidupan budaya para nelayan Sungai Deli?

(2)

BAB II

KONSEP DAN TEORI

2.1 SPESIFIK TEMA Gambaran Umum

Sumber : http://1.bp.blogspot.com/-tmnjxZivBE/T_UELqRzz1|//...

(3)

Sungai Deli merupakan salah satu induk sungai pada Satuan Wilayah Sungai (SWS) Belawan/ Belumai Ular dengan 5 (lima) anak sungai. Panjang sungai sekitar 73 Km dengan luas basin 402 Km2. Sungai Deli beserta anak dan ranting sungainya mengalir dari Kabupaten Karo, Kabupaten Deli Serdang dan melintasi Kota Medan sebelum bermuara ke Selat Malaka. Bagian hulu sungai pada umumnya berada di Kabupaten Karo dan Kabupaten Deli Serdang, sedangkan bagian tengah dan hilir berada di Kota Medan.

Table 2.1 Anak Dan Ranting Sungai Deli

Induk Sungai Anak Sungai Daerah Pengaliran Ranting Sungai Daerah Pengaliran

Sei Sikambing Kota Medan 1. Sei Putih 2. Sei Selayang 3. Sei batua

Kota Medan Kota Medan Kota Medan Sei Babura Kota Medan Sei Bekala Kota Medan*,

Pancur batu** Lau Kelimut Sibolangit*,

namorambe** Lau Petani Namorambe*, Deli

Tua**, Simpang Sumber: Dokumen laporan pemantauan kualitas sungai Deli, Bapedalda Sumut

* Kecamatan pada Kabupaten Deli Serdang ** Kecamatan pada Kabupaten Karo

Sungai Deli dapat digolongkan atas tiga bagian yakni, daerah hulu, tengah dan daerah hilir.

Table 2.2 Penggolongan Sungai Deli

Bagian Sungai Lokasi Luas DTA (km2) Panjang (km) Hulu Kaki G. Sibayak Pertemuan dengan

anak sungai Simei-mei

(4)

Tengah Sampai pertemuan dengan sungai Sikambing

188 20

Hilir Sampai ke muara sungai 5 20

Total 402 73

Sumber: Dokumen laporan kualitas sungai Deli Bapedalda.

Daerah pengaliran sungai di Kabupaten Karo terdapat di Kecamatan Simpang Empat Desa Semangat Gunung dan Desa Doulu sedangkan di Kabupaten Deli Serdang meliputi lima kecamatan yaitu

Sedangkan di Kota Medan meliputi empat belas kecamatan yaitu (1) Kecamatan Medan Tuntungan, (8) Medan Sunggal, (2) Kecamatan Medan Johor, (9) Medan Petisah, (3) Kecamatan Medan Selayang, (10) Medan Barat, (4) Kecamatan Medan Polonia, (11) Medan Deli, (5) Kecamatan Medan Maimun, (12) Medan Labuhan (6) Kecamatan Medan Kota, (13) Medan Marelan dan (7) Kecamatan Medan Baru, (14) Medan Belawan.

Pada beberapa kecamatan sungai ini menjadi bagian batas administrasi. a. Daerah Hulu

Pada daerah hulu, Sungai Deli mengalir melalui daerah perbukitan dengan topografi yang beragam, antara landai, terjal dan curam sehingga terdapat beberapa terjunan. Kondisi ini memberi efek yang baik pada proses self purification karena alirannya cenderung turbulen sehingga proses aerasi dapat berlangsung dengan baik.

(5)

Pada daerah pertengahan topografi daerah pengaliran Sungai Deli cenderung landai dengan kemiringan 0.31%. Hal ini menyebabkan laju air air sungai lebih lambat dibandingkan daerah hulu. Pada laju air yang lebih lambat, proses aerasi juga berkurang dengan demikian self purification juga menurun. Di daerah pertengahan pemanfaatan lahan di sekitar daerah pengaliran sungai adalah untuk pemukiman, perkantoran dan industri.

c. Daerah Hilir

Topografi daerah hilir Sungai Deli semakin landai dengan kemiringan 0.2 % laju air pada daerah ini semakin lambat, terutama ke arah muara. Daerah hilir merupakan sentral industri, terdapat lebih dari 54 (lima puluh empat) kegiatan/ industri disepanjang Sungai Deli , termasuk hotel dan rumah sakit, banyak diantara industi ini yang membuang limbahnya ke Sungai Deli tanpa pengolahan terlebih dahulu.

2.1.2 Iklim

Iklim di daerah air Sungai Deli menunjukkan sedikit perbedaan antara musim kemarau dan musim hujan. Suhu udara berkisar antara 210 C - 330 C dan suhu rata – rata tahunan adalah 260 C.

a. Curah Hujan

Curah hujan disebelah selatan daerah pegunungan dan sebelah utara daerah pantai diperkirakan masing – masing berkisar 2.800 mm/tahun dan 1.700 mm/tahun. Dari catatan hujan sepanjang tahun, diketahui bahwa curah hujan terendah pada bulan Februari dan tertinggi pada Bulan September.

(6)

Sumber : Dokumen Bapedalda kegiatan pemantauan dan pengendalian kerusakan tata air

b. Panjang dan Kemiringan DAS Deli

Panjang sungai dan kemiringan pada DAS Deli seluas 32,581 ha dengan kemiringan lereng < 5%, 7,445 ha dengan kemirigan lereng antara 5-15 %,6,273 ha dengan kemiringan lereng 15-35 %, 1,521 h dengan kemiringan lereng 35-50 % dan 342 ha dengan kemiringan > 50%.

Sumber: Dokumen Bapedalda 2006, kegiatan pemantauan dan pengendalian tata air

c. Debit Air Sungai Deli

(7)

pengukuran debit air sungai Deli yakni di Helvetia pada koordinat 03037’39.1” LU, 098039’53.6” BT dan 21 m dpl serta di simei – mei pada koordinat 030 28’33.6”LU, 0980. 40’36.0” BT dan 59 m dpl.

Grafik berikut menunjukkan debit rata – rata air sungai Deli yang diukur di Titi Gg. Sejarah dari tahun 1990 –2004.

2.1.3 Sungai Deli Dalam Perspektif Sejarah

Dalam buku The History of Medan tulisan Tengku Luckman Sinar (1991), dituliskan bahwa menurut "Hikayat Aceh", Medan sebagai pelabuhan telah ada pada tahun 1590, dan sempat dihancurkan selama serangan Sultan Aceh Alauddin Saidi Mukammil kepada Raja Haru yang berkuasa di situ. Serangan serupa dilakukan Sultan Iskandar Muda tahun 1613, terhadap Kesultanan Deli.

(8)

dituliskan sebagai Dilley, Dilly, Delli, atau Delhi. Mengingat asal Gocah Pahlawan dari India, ada kemungkinan nama Deli itu berasal dari Delhi, nama kota di India.

2.1.4 Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk yang tinggal di daerah tangkapan air Sungai Deli sekitar 1.500.000 jiwa dan 1.200.000 jiwa diantaranya bermukim di Kota Medan, ibukota Provinsi Sumatera Utara sesuai dengan perincian di bawah ini. Jumlah Penduduk pada kecamatan yang dilalui Sungai Deli di Kota Medan menurut sensus Tahun

2004 adalah sebagai berikut :

Tabel 2.3 Jumlah Penduduk Kota Medan Pada Basin Sungai Deli No Kecamatan Jumlah Kelurahan Jumlah siswa Nelayan adalah orang yang melakukan penangkapan/budidaya di laut, di tempat yang masih dipengaruhi pasang – surut laut. Orang – orang yang melakukan hal perikanan (menangkap/memelihara) yang dalam penangkapan ikan tidak dipengaruhi oleh cuaca bukan disebut nelayan namun peternak. Berdasarkan sumber pendapatannya, nelayan dapat dibagi menjadi :

(9)

2. Nelayan sambilan utama, yakni nelayan yang sebagian besar pendapatannya berasal dari perikanan.

3. Nelayan sambilan tambahan, yakni nelayan yang sebagian kecil pendapatannya berasal dari perikanan.

4. Nelayan musiman, yakni orang yang dalam musim – musim tertentu saja aktif sebagai nelayan.

Berdasarkan perahu/ kapal penangkap yang digunakan nelayan dapat dibagi menjadi : A. Nelayan berperahu tak bermotor, terdiri dari :

1. Nelayan jukung

2. Nelayan perahu papan ( kecil, sedang, dan besar ) B. Nelayan berperahu motor temple

C. Nelayan berkapal motor, menurut GT ( Gross Ton ) terdiri dari : 1. Kurang dari 5 GT

Alat penangkap yang dipakai nelayan dapat dibagi menjadi pukat harimau (trawl), pukat kantong, pukat cincin, jaring insang, jaring angkat, pancing, perangkap, pengumpul kerang/rumput, jala/tombak, dan lain – lain.

Berdasarkan statusnya, nelayan dapat dibagi menjadi :

1. Nelayan pemilik, terbagi menjadi nelayan pemilik perahu tak bermotor, dan nelayan pemilik kapal motor yang sering disebut “toke”.

2. Nelayan juragan, adalah pengemudi pada perahu bermotor atau sebagai kapten kapal motor.

3. Nelayan buruh, adalah pekerja penangkap ikan pada perahu motor atau pada kapal motor.

(10)

Sumatera Utara memperkirakan potensi perikanan daerah di pantai timur mencapai 555.236 dan di pantai barat 263.300 ton.

KONDISI NELAYAN SUMATERA UTARA

Jumlah nelayan di Sumatera Utara pada tahun 1989 adalah 100.752 rumah tangga, pada tahun 1997 : 116.589 rumah tangga dimana sekitar 60%nya termasuk nelayan tetap. Banyak nelayan tergolong dalam tingkat pendidikan yang rendah dimana dari 300 nelayan yang diteliti yang dijadikan sampel pada tahun 1989 didapatkan data yakni tidak berpendidikan tinggi (rata – rata tidak tamat SD) kecuali daerah Tapanuli Tengah dan Nias. Dengan umur rata – rata nelayan tergolong muda yakni 40 tahun dan paling muda berumur 33 tahun. Berdasarkan status nelayan, umur rata – rata paling rendah terdapat pada nelayan buruh, menyusul juragan dan tertinggi adalah nelayan pemilik kapal motor. Tingkatan pendidikan menurut status nelayan tidak jauh berbeda. Pengalaman sebagai nelayan paling rendah pada kelompok buruh dan paling tinggi pada nelayan pemilik.

Musim ikan dan musim panceklik juga menjadi penentu pendapatan nelayan. Ketika musim ikan maka rata – rata hasil tangkapan terbilang tinggi dan demikian sebaliknya pada musim panceklik rata – rata hasil tangkapan rendah baik dari segi nelayan bermotor maupun nelayan tak bermotor. Pendapatan nelayan sangat bervariasi yang didasari pada daerah dan status nelayan. Rata – rata pendapatan nelayan pemilik perahu tak bermotor di Sumatera Utara (1989) adalah Rp. 570.000,- setahun atau Rp. 47.500,- sebulan. Dibandingkan dengan nelayan pemilik perahu bermotor memiliki pendapatan yakni 135% dari nelayan tak bermotor, pendapatan juragan 279%, dan pendapatan pemilik kapal 1.233%. Jadi nelayan misikin terpadat pada kelompok nelayan pemilik perahu tak bermotor dan nelayan buruh. Sistem bagi hasil yang didapatkan didasarkan pada ilmu yang sudah diwariskan sejak turun temurun dengan kelemahan yakni semua jenis hasil bagi itu menolong ke pihak atas tetapi menekan ke pihak bawah. Hal diatas didukung dengan adanya data proporsional distribusi pendapatan yakni dengan golongan pendapatan terendah adalah Rp. 0,3 juta dan paling tinggi adalah Rp. 34 juta per tahun.

(11)

Dalam hal pembangunan ekonomi nelayan tradisional jauh berbeda (tertinggal) dari nelayan yang memiliki modal yang besar. Terdapat beberapa ciri – ciri pembangunan ekonomi pada masa lampau adalah sebagai berikut :

 Ukurannya GNP atau pendapatan ( income ) per kapita

 Prinsip efisiensi

 Berpihak pada konsep center of growth, kurang normal

 Bersifat bottom – up strategy

 Tidak percaya TDE

 Menuju kesejahteraan

 Appropriate technology

 Pemberdayaan masyarakat

(12)

Nelayan dan Teknologi Alat Tangkap

Upaya modernisasi nelayan tidak terlepas dari upaya modernisasi alat tangkap karena dari segi nilai ekonomi maka alat tangkap yang berteknologi tinggi menjadi hal yang mutlak yang harus dimiliki oleh nelayan guna mengangkat harkat dan martabat nelayan tradisional. Teknologi alat tangkap mengalami nelayan tradisional mengalami perkembangan sesuai dengan kebutuhannya di laut. Hal di atas terlihat dengan adanya kapal bermotor (mesin) sedangkan zaman dulu kapal masih digerakkan dengan dayung. Demikian juga dengan jenis jaring yang digunakan disesuaikan dengan kebutuhan laut. Terlihat degan adanya variasi – variasi alat tangkap utama yang berbeda dari satu daerah dengan lainnya. Sebagai contoh Kuala Indah, Asahan, alat tangkap utama nelayan tradisional adalah jaring kepiting karena ditemukannya banyak kepiting di daerah tersebut. Lain halnya dengan nelayan di daerah Pangkalan Brandan, Langkat yang menggunakan alat tangkap tiga lapis (jaring Apollo) untuk menangkap udang. Sementara nelayan di Belawan, Kotamadya Medan, menggunakan jaring kembung (selapis).

Seiring dengan tuntutan ekonomi, para nelayan yang memiliki modal besar berupaya untuk memodernisasi alat tangkap mereka yakni dengan menggunakan pukat harimau. Penggunaan pukat harimau memiliki kemampuan untuk menangkap ikan sebanyak 1 ton per sekali berlayar. Berbeda halnya dengan para nelayan tradisional yang hanya mendapatkan 1,5 kg per sekali berlayar. Penggunaan pukat harimau berdampak pada kelestarian alam karena tidak hanya ikan yang masuk ke dalam pukat harimau namun juga karang laut sehingga berkurangnya jumlah/hasil tangkapan ikan akibat kerusakan lingkungan dan overfishing. Hal inilah yang dimaksud dengan meningkatnya kemaslahatan hidup manusia namun menyebabkan kehancuran manusia itu sendiri. Terdapat beberapa prinsip yang sangat penting dalam hal upaya penyikapan perkembangan alat tangkap yakni :

1. Prinsip berkelanjutan 2. Prinsip keadilan distribusi

Nelayan Tradisional Dari Gerakan Sosial ke Perlawanan

(13)

tidak bertanggung jawab dalam pelestarian lingkungan. Pemerintah telah mengatur peraturan guna pelarangan penggunaan pukat trawl (harimau) dalam penangkapan ikan. Namun dalam pelaksanaannya keppres tersebut tidak mampu menghapuskan penggunaan pukat trawl (harimau) karena telah dilindunginya pihak – pihak pemilik modal besar oleh oknum jajaran pemerintah yang memberikan izin atau regulasi serta proteksi kepada pengusaha melalui model trickle down effect (pola menetas ke bawah). Penggunaan pukat trawl (harimau) dilakukan karena adanya anggapan bahwa lautan adalah milik bersama (Common Property Resources) dimana setiap orang bebas melakukan penangkapan ikan. Penerapan anggapan inilah yang membuat banyaknya pihak – pihak yang diatas nelayan (pemodal) mendapatkan untung lebih banyak dari lautan padahal lautan merupakan sumber daya yang dijadikan nelayan sebagai penghantar pendapatan mereka. Meluasnya KKN di berbagai instansi pemerintah juga menjadi alasan mengapa tidak terjadinya pemberantasan pukat trawl (harimau).

Ketidakkonsistenan pelaksanaan peraturan dan arogansi pemilik pukat membuat hati nelayan tradisional berang setiap melaut. Sementara pengaduan – pengaduan yang mereka lakukan atas instansi terkait , DPRD, Lantamal, dan lain – lain hanya dipandang sebelah mata. Pada akhirnya nelayan pun tak terbendung dengan membakar pukat harimau sebagai reaksi keras atau wujud penolakan kehadiran pukat harimau. Adannya anggapan bahwa Keppres yang dikeluarkan hanya sebagai kepentingan politik belaka pada pemilu yang terjadi pada zaman ORBA (orde baru) dan sebagai alat peredam kegusaran sementara sekaligus menjadi kendaraan politik kepentingan penguasa dan pada akhirnya para penguasa selanjutnya berkaloborasi dengan para pengusaha guna meraup keuntungan melalui perizinan pukat.

(14)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di sekitar sungai Deli, Kecamatan Medan Labuhan Belawan. Peneliti memilih lokasi ini karena dekat dengan tempat tinggal peneliti. Kemudian, lokasi terebut tidak jauh beda menggambarkan keadaan para nelayan pada umumnya. Selain itu, ditemukannya problema-problema yang dihadapi para nelayan yang memerlukan penanganan serius.

B. Subjek Penelitian

Dalam penelitian ini, yang menjadi subjek penelitian adalah masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan di sekitar sungai Deli, Kecamatan Labuhan Belawan guna mengetahui kehidupan masyarakat nelayan dalam segi sosial, budaya dan ekonomi.

C. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama dua hari satu malam yaitu pada tanggal 26 – 27 Oktober 2016 dimulai pada sore hari sepulang kuliah sampai besok sorenya kembali ketempat masing-masing.

(15)

Dalam penelitian ini, digunakan metode penelitian kualitatif dengan analisis deskriptif. Bogdan dan Taylor (dalam Lexy Moleong, 2006:4) mendefenisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata - kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Metode kualitatif dalam penelitian ini digunakan untuk menggali informasi mengenai keadaan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat nelayan di sekitar sungai Deli.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan cara yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian. Cara yang dilakukan oleh peneliti adalah :

a. Observasi

Observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan dimana observer atau peneliti benar-benar terlibat dalam keseharian responden (W. Gulo, 2002 :116). Disini, peneliti langsung terjun ke lapangan yaitu sungai Deli untuk mendapatkan informasi apakah sesuai dengan teori yang ada.

b. Wawancara

Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antar pewawancara dengan informan atau orang yang ingin diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (Guide) wawancara dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relative lama((Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, 2008 : 83).

Dalam pengumpulan data kami, kami mewawancarai beberapa narasumber, yaitu beberapa tipe nelayan dan juga istri nelayan.

c. Dokumentasi

Dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data kualitatif dengan melihat atau menganalisis dokumen - dokumen yang dibuat oleh subjek sendiri atau oleh orang lain tentang subjek (Deddy Mulyana, 2006: 183.

(16)

F. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan alat yang digunakan untuk mengukur dan mengetahui gejala - gejala yang diamati. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri dimana peneliti langsung sebagai perencana, pelaksana, pengumpul data, analisis dan menjadi pelopor hasil penelitian.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Kehidupan Ekonomi Nelayan

(17)

2. Kehidupan Sosial Nelayan

Kehidupan sosial para nelayan di daerah pekan Labuhan kecamatan Medan labuhan dapat dikatakan baik, dimana para nelayan mengadakan pertemuan sembari di pondok tempat mereka beristirahat menunggu surutnya laut. Saat mereka berada pada situasi demikian pokok bahasan yang mereka bicarakan mulai dari negara, pemerintahan dan lain sebagainya. Kondisi ini dapat dibilang baik guna mengedukasi para nelayan tentang kebijakan – kebijakan yang dilakukan pemerintah guna meningkatkan kesejahtraan perekonomian rakyat terlebih terhadap kebijakan – kebijakan yang pro (mendukung) keberlangsungan hidup nelayan. Kehidupan sosial nelayan juga tidak hanya bersinggungan terhadap nelayan namun mereka menyediakan tempat guna wadah untuk bertukar pikiran bersama yang lain profesi dengan mereka. Hal ini terlihat dengan ditemukannya semacam taman buatan guna menghimpun warga setempat untuk saling bercengkrama.

3. Kehidupan Budaya Nelayan

Kehidupan budaya para nelayan di daerah pekan Labuhan kecamatan Medan Labuhan dalam hal pelayaran dan perikanan adalah diadakannya jamu laut. Dalam hal pengadaan penyelenggaraan jamu laut pendanaannya dihimpun dari tekong maupun toke. Jamu laut diadakan guna memberikan penghormatan terhadap laut yang sudah memberikan nikmat sumber daya alam yang dapat mereka gunakan untuk keberlangsungan hidup mereka. Jamu laut yang dilakukan dengan beberapa prasyarat sebelum melaksanankannya yakni memanggil para pemuka agama setempat agar di doakan, sebelumnya telah menyediakan hidangan kerbau untuk dibagikan warga setempat. Namun jamu laut sudah tidak dilakukannya lagi sejak 10 tahun yang lalu tanpa diketahui sebabnya. Hal lain yang menjadi budaya para nelayan di daerah pekan Labuhan ini adalah dilakukannya acara syukuran jika ada/ditemukannya para nelayan (toke) yang memiliki perahu/boat baru sebagai rasa ucapan syukur kepada Yang Maha Kuasa karena masih diberikan rahmat/berkat sehingga dapat membeli perahu/sampan/boat guna dipakai untuk mencari nafkah.

4. Hubungan Ekonomi Sosial dan Budaya Nelayan

(18)

nelayan di bantaran sungai deli pekan labuhan hanya menggunakan jaring, jala, dan pancing, pukat jaring. Ketika para nelayan melaut, saat menjaring mereka tidak hanya mendapatkan ikan namun mendapatkan sampah. Sampah – sampah yang terjaring dalam jaring nelayan tidak dibawa pulang ke rumah namun di kembalikan lagi kelaut. Karena konsepsi melaut dari para nelayan mencari ikan bukan mencari sampah. Wujud pelestarian lingkungan oleh nelayan hanya berdasarkan alat tangkap tidak berdasarkan kebersihan lingkungan (daya dukung lingkungan).

5. Peranan Wanita Nelayan dalam Hal Ekonomi Keluarga

Guna meningkatkan ekonomi keluarga peranan wanita nelayan dianggap sangat penting. Peranan wanita nelayan dalam hal ekonomi keluarga dalam hal pelayaran maupun perikanan tidak turut campur tangan secara langsung. Para wanita nelayan dalam hal meningkatkan (mencukupi) ekonomi keluarga dengan menjalani profesi lain yakni sebagai guru maupun pedagang kelontong dan lain – lain. Hal ini dikarenakan sudah adanya kesadaran istri sendiri kodratnya sebagai wanita yakni menjaga dan mendidik anak sembari melakukan hal – hal yang berguna meningkatkan perekonomian keluarga (pengelolaan dan pengaturan kerumahtanggaan).

6. Pengaruh Profesi Nelayan terhadap Pendidikan Anak

(19)

membantu perekonomian keluarga dengan cara menjadi buruh cuci, ataupun menjadi TKI sehingga berdampak pada psikis si anak dimana pengaruh lingkungan menjadi faktor penentu karakter anak secara menyeluruh tanpa adanya bimbingan dari kedua orangtuanya. Ditemukannya anak – anak yang memakai tindik (pierching) pada telinganya merupakan dampak yang terlihat dari peninggalan anak yang dilakukan orang tuanya.

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti tentang “Keadaan para Nelayan”di sekitar sungai Deli, Belawan, didapatkan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

 Sungai Deli merupakan salah satu aset penting dalam perekonomian masyarakat disekitarnya

 Minimnya kesadaran masyarakat terhadap pelestarian sungai Deli sebagai aset ekonomi yang tampak dengan banyaknya sampah didalam sungai.

 Hubungan Teori dengan Realitas di Lapangan

Antara teori dengan realitas yang ditemukan di lapangan sejalan, dimana keadaan di lapangan sudah hampir sama dengan yang ada di teori sebab Sungai Deli tetap dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai salah satu sumber perekonomian. Namun beberapa hal yang dimiliki Sungai Deli sebelumnya sudah tidak tampak dan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Sungai Deli yang dulunya sebagai aset pusat perdagangan dan pusat transportasi massal sekarang berubah menjadi hanya sebagai penghantar para nelayan menuju lautan.

 Wanita nelayan memiliki peranan penting dalam perekonomian keluarga meskipun tidak turut langsung dalam pelayaran maupun perniagaan hasil tangkap yang didapatkan oleh nelayan.

(20)

Kepada Pihak Pemerintah

Disarankan kepada pihak pemerintah untuk menjalankan dengan tegas Keppres No. 38 tahun 1980 tentang penghapusan jaring (pukat harimau) guna melindungi para nelayan tradisional sehingga yang diuntungkan tidak hanya pihak pemodal namun juga nelayan itu sendiri agar tidak terjadinya kemiskinan yang kekal nelayan tradisional.

Kepada Pihak Nelayan

Disarankan kepada pihak nelayan tidak hanya menjual ikan secara mentah namun diolah menjadi pangan lain guna meningkatkan nilai jual hasil tangkapan yang ditangkap. Dalam pembenahan lingkungan diharapkan para nelayan untuk menjaga lingkungan dengan cara mengambil sampah sedikit demi sedikit dari lautan yang tertangkap di jaring dan membawanya ke daratan untuk dimushkan maupun dikelola.  Kepada Pembaca

Disarankan kepada pihak pembaca untuk melakukan analisis mendalam terhadap penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Serta tergerak hatinya untuk turut melakukan perubahan positif yang berdampak terhadap peningkatan taraf hidup nelayan.

Refleksi Peneliti

Dengan melakukan penelitian ini, kami semakin bersyukur akan kehidupan yang kami alami saat ini. Dimana kami semakin bisa menghargai kehidupan orang lain dan semakin mencintai alam yang menjadi sumber kehidupan manusia. Penelitian ini juga mengajarkan kami bagaimana menghargai pendidikan yang sudah kita dapatkan.

Hambatan dan Kesan

(21)
(22)

DAFTAR PUSTAKA

Alimuddin, Muhammad Ridwan. 2013. Kabar Dari Laut. Yogyakarta : Ombak

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1995. Peranan Wanita Nelayan dalam Kehidupan Ekonomi Keluarga di Tegal, Jawa Tengah. Jakarta : Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Direktorat Sejarah dan Nilai

Marbun, Leonardo dan Ika N. Krishnayanti. 2002. Masyarakat Pinggiran Yang Kian Terlupakan. Medan : Jala

(23)

Gambar

Table 2.1 Anak Dan Ranting Sungai Deli
Grafik berikut menunjukkan debit rata – rata air sungai Deli yang diukur di Titi Gg.

Referensi

Dokumen terkait

1. Mengkaji Ulang Jalur Transportasi yang dianggap rawan Macet. Pada kenyataannya dilokasi penelitian membuktikan bahwa penataan jalur transportasi masih kurang efektif

Salah satu nilai karakter pendidikan yang dilihat adalah bersahabat/komunikatif yang diperlihatkan dengan senang bergaul, berbicara dan bekerja sama dengan orang lain,

Jumlah Tween 80-PEG 400 dan waktu pengadukan merupakan faktor yang signifikan berpengaruh pada ukuran diameter globul karena terkait dengan peranan Tween 80 sebagai surfaktan

nisasi hepatitis B 3 dosis, dengan menge- tahui persentase kekebalan protektif dan titer rata-rata (Geometric Mean Titre/ GMT) antibodi hepatitis B, mengetahui

Sikap kerjasama yang terimplementasi pada permainan Bakiak antara lain bersama- sama berupaya mencapai satu tujuan yang sama yakni garis finish, dan melakukan upaya

Untuk jawaban siswa soal 4, tidak didapatkan hasil apapun karena siswa kategori disposisi tinggi, sedang maupun rendah mengalami kesulitan dalam menjawab soal tersebut

Setelah melakukan penelitian dan observasi dengan mengadakan wawancara secara langsung dengan pihak terkait yaitu ketua laboratorium dan asisten laboratorium STT