Peta Pembangunan Energi Indonesia
Akhir bulan lalu, tepatnya tanggal 23 Agustus, DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim) merayakan hari lahirnya yang ke-5. Berlokasi di Museum Nasional di Jalan Merdeka Barat, DNPI menggelar pameran dan diskusi dengan tema “Tantangan Pembangunan Rendah Emisi Karbon Bagi Indonesia”. Sebuah tema yang serius.
DNPI hingga saat ini masih menghadapi kendala mengomunikasikan perubahan iklim ke masyarakat. Bagaimana perubahan iklim ini bisa berdampak terhadap strategi pembangunan nasional. Namun diskusi hari itu sebagian menjawab pertanyaan dan kegelisahan ini.
(ESDM). Maritje baru menduduki jabatannya akhir Januari, namun wawasannya mengenai energi secara umum dan dampaknya terhadap pembangunan nasional tercermin dari apa yang ia sampaikan dalam diskusi. Ia memaparkan peta energi nasional dan dampaknya terhadap rencana pembangunan rendah karbon di Tanah Air.
Menurut Maritje, Indonesia memiliki sumber energi yang berlimpah. Namun ketersediaan energi saja tidak cukup menjamin ketahanan dan kemandirian energi. Aksesibilitas terhadap energi masih kurang. Baru 73% dari masyarakat Indonesia yang menikmati listrik. Daya beli masyarakat terhadap energi juga rendah. Hal ini yang menyebabkan BBM dan listrik masih terus disubsidi dengan nilai mencapai Rp. 312 triliun pada 2012. “Namun 77% dari subsidi ini tidak tepat sasaran,” tutur Maritje.
Masalahnya, saat Indonesia memiliki keanekaragaman energi, ketergantungan energi fosil masih tinggi, sementara cadangan energi fosil semakin terbatas. Saat ini, minyak memiliki porsi terbesar dalam bauran energi (49,7%). Pemanfaatan EBT (Energi Baru dan Terbarukan) masih sekitar 6% (5,7%). Dalam rancangan Kebijakan Energi Nasional (KEN) bauran EBT baru akan ditargetkan mencapai 25,9% pada 2025.
Dan saat ketergantungan atas bahan bakar fosil di dalam negeri masih sangat tinggi, sebagian bahan bahan fosil tersebut dilempar untuk pasar ekspor. Rasio pemanfaatan gas bumi nasional misalnya, sebanyak 56% untuk ekspor dan 44% untuk domestik.
pasar ekspor dan 20% sisanya untuk pasar dalam negeri. Hanya segelintir elite dan perusahaan yang menikmati “kelonggaran kebijakan” ini.
Tahun 2011, produksi energi fosil Indonesia mencapai 6,5 juta SBM (setara barel minyak) per hari. Sedangkan kebutuhan energi fosil di dalam negeri mencapai 3,3 juta SBM per hari. Dari data ini terungkap, Indonesia mampu memenuhi kebutuhan energinya sendiri. Namun upaya konservasi energi dan peningkatan prioritas pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri masih belum dilakukan.
Menurut Maritje, jika energi dikelola secara business as usual dan tidak dikelola dengan mengedepankan prinsip-prinsip konservasi energi, “Indonesia berpotensi menjadi net-energy importir pada 2019,” tuturnya.
Pembangunan infrastruktur guna memermudah akses masyarakat terhadap energi menjadi peluang untuk menyediakan energi yang terjangkau dan bersih. Dengan investasi di sektor ESDM mencapai US$ 28,34 miliar, iklim investasi tergolong cukup kondusif. Insentif baru bagi EBT terus diciptakan. Tekad yang kuat dari pemerintah akan mampu mendorong pertumbuhan energi bersih – yang mendukung pembangunan rendah emisi karbon – lebih tinggi lagi pada masa datang.