• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIDIKAN SEBAGAI UPAYA REKONSTRUKSI SO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENDIDIKAN SEBAGAI UPAYA REKONSTRUKSI SO"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN SEBAGAI UPAYA REKONSTRUKSI SOSIAL: Perspektif Filsafat Rekontruksionisme

Oleh: Mukodi, M.S.I. Dosen PBSI STKIP PGRI Pacitan

Email: mukodi@yahoo.com

Abstrak:

Artikel ini merupakan kajian kepustakaan (library research). Bersifat deskriptif-analitik, yakni berusaha menggambarkan secara jelas dan sistematis obyek kajian, lalu menganalisis bahasan riset. Data yang terkumpul atau tersusun dianalisis, kemudian ditarik sebuah kesimpulan. Kajian ini bertujuan untuk membedah historisitas aliran filsafat rekonstruksionisme; pokok-pokok pemikiran filsafat rekonstruksionisme; tujuan, metode dan kurikulum pendidikan rekonstruksionisme.

Hasil kajian ini menemukan bahwa; 1) kaum rekonstruksionism melakukan rekonstruksi sosial melalui pendidikan dengan membentuk

aliran filsafat rekonstruksionisme; 2) metode pengajaran ala

rekonstruksionism didasarkan pada prinsip-prinsip demokratis; 3) kurikulum pendidikan rekonstruksionism menekankan pada penumbuhan kesadaran kritis dan membangun kesadaran polyculture dengan mengapresiasi keragaman budaya, adat istiadat suku tertentu untuk menanamkan nilai-nilai pluralisme kultural peserta didik.

Kata Kunci: rekonstruksi sosial, pendidikan dan aliran rekonstruksionisme.

Dewasa ini, moral keserakahan ekonomi, moral, kekuasaan otoriter politik, dan moral ketikadilan hukum justru merajalela ketika pendidikan berada pada titik puncak “kemajuan”. Fakta membuktikan bahwa teknologi dan industri sebagai produk pendidikan berhasil mendorong dinamika kehidupan melaju begitu cepat. Dahulu, seorang menjadi kaya harta setelah puluhan tahun sabar menunggu ternaknya beranak pinak secara alami. Kini dengan teknologi produksi, dalam waktu singkat jumlah ternaknya berlipat ganda. Apalagi, jika peralatan teknologi dipergunakan secara amoral, dalam waktu sekejap dan dengan satu unit komputer, seseorang bisa membobol bank dan mendapatkan triliunan rupiah (Suparlan, 2007: 27).

(2)

pengetahuan, maka moral akan digunakan. Sebaliknya, jika moral tidak mendukung pengetahuan pastilah moral akan disingkirkan (Suyata, 21/9/2011).

Pasar bebas dan efek domino dari globalisasi pun menyebabkan pendidikan di Indonesia pun kini menjadi sangat mahal. Ibarat menara gading, di mana para penikmat pendidikan hanyalah sekelompok orang kaya. Efek domino dari krisis multidimensional, menimbulkan depresi ekonomi yang membuat lembaga pendidikan menjadi badan otonom sekaligus menjadi lahan bisnis baru para pemilik modal. Mirip dengan depresi ekonomi yang menimpa Amerika tahun 1930-an. Sebuah kelaparan di tengah kemakmuran.

Dalam konteks itu, pendidikan sebagai upaya rekonstruksi sosial yang ditawarkan aliran rekonstruksianisme merupakan seperangkat gagasan dan tawaran pemikiran alternatif yang bisa diadapsi oleh pemikir pendidikan untuk membebaskan pendidikan dari jebakan “carut-marut” sosial budaya, politik dan kepentingan pendidikan di Indonesia saat ini. Pendidikan seharusnya untuk membebaskan manusia dari “kerangkeng” kebodohan, dan hadir dalam upaya rekonstruksi sosial pada masyarakat secara menyeluruh.

Sejarah Filsafat Rekonstruksionisme

Rekontruksionisme sebagai sebuah sistem pendidikan, berawal dari terbitnya buku John Dewey pada tahun 1920, yang berjudul Rekcontruction in Philosophy. Buku ini lalu dijadikan gerakan oleh George Counts dan Harold Rugg pada tahun 1930-an, melalui keinginan mereka untuk menjadikan lembaga pendidikan sebagai media rekonstruksi terhadap masyarakat. Pada tahun 1932, George Counts (1889-1974) mengkritik praktik-praktik sekolah yang telah mengabdikan ketidaksamaan-ketidaksamaan yang mencolok berdasarkan ras, kelas, dan etnik. Ia menegaskan bahwa skolah-sekolah menengah umum telah menjadi milik orang-orang berkelas sosial tinggi dan keluarga yang berkecukupan.

Melalui tulisannya yang berjudul, Dare the School Build a New Social Order?, ia lalu mencoba mempertanyakan bagaimana sistem sosial dan ekonomi masyarakat pada saat itu, telah menjadi persoalan yang cukup mendasar bagi masyarakat. Maka pendidikan menurutnya, harus menjadi agen perubahan bagi rekontruksi sosial. Ia juga menkritik model pendidikan progresifisme yang telah gagal mengembangkan sebuah teori kesejahteraan sosial dan bahkan ia menegaskan bahwa pendidikan yang berpusat pada anak (the child centered approach) tidak menjamin bagi terciptanya ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan yang diperlukan dalam menghadapi abad ke-20.

(3)

1) Plato menegaskan bahwa pendidikan menjadi pilar utama dari pembangunan masyarakat baru dan masyarakat terbaik yang di dalamnya terjadi ekualitas seksual, pembinaan pendidikan anak-anak secara komunal, dan diperintah oleh pemimpin yang memiliki akreditasi filosofis.

2) Stoic seperti Marcus Aurelius, seorang raja sekaligus filsuf kerajaan Romawi, mempromosikan “negara dunia” ideal yang terbebaskan dari sekat-sekat nasionalisme dan chauvinisme.

3) St. Augustine juga menawarkan upaya rekonstruksi melalui negara Kristen ideal (The City of God). Revolusi industri yang cenderung menjadikan teknologi memperkaya segelintir pemilik modal. Muncul pemikir seperti Comte de Saint Simon, Charles Fourier, Robert Owen, Francois Noel Babeuf, dan Edward Bellamy.

4) Karl Marx, melihat penderitaan kaum proletar didehumanisasi oleh sistem industri kapitalis, dan berupaya merekonstruksi masyarakat dunia, dengan berdasarkan jaringan komunisme internasional.

Pendidikan sebagai instrumen utama dalam melakukan perubahan sosial, contohnya Plato yang menegaskan bahwa pendidikan sebagai sine qua non dari masyarakat terbaik; Marx melihat pendidikan sebagai jalan untuk membantu kaum proletar dalam mengembangkan pandangan mengenai “kesadaran sosial”. Di Amerika Serikat, sebut saja, Horace Mann, Henry Barnard, William Torrey Harris, Francis Parker dan John Dewey. Dewey (tokoh aliran pragmatisme) melihat pendidikan sebagai instrumen perubahan individu dan masyarakat. Meskipun dibangun dari aliran pragmatisme, aliran rekonstruksianisme tidak sekedar mempromosikan metode saintifik, problem solving, naturalisme dan humanisme, tapi bagaimana penerapan metode pragmatis dalam dunia pendidikan. Tidak hanya “memperbaiki” masyarakat, tetapi juga ingin melakukan perubahan sosial.

Aliran rekonstruksianisme sama dengan perennialisme dalam satu prinsip bahwa ada kebutuhan mendesak untuk kepastian bagi kebudayaan zaman modern yang simpang siur saat ini (Djumransjah, 2004: 188). Aliran rekonstruksianisme mempunyai visi dan metode pemecahan masalah mengembalikan kebudayaan yang serasi dengan kehidupan. Sedangkan perennialisme memilih untuk kembali ke alam kebudayaan lama (regressive road culture) sebagai solusi yang paling ideal (Barnaadib, 1994: 5). Mengapa aliran rekonstruksianisme muncul? Jawabnya, tentunya sangat beragam di antaranya adalah sebagai berikut:

1) terjadi kesenjangan antara teori dan praktik dalam pendidikan dan kekecewaan terhadap teori-teori umum (general theory) yang tidak dapat bersikap “kritis”. Sehingga diperlukan teori yang membumi (grounded theory) yang mampu mengapresiasi aspek sosial, budaya, dan politik secara maksimal. Serangan terhadap teori umum dimulai oleh C. Wright Mills dan mengalami puncaknya pada Habermas.

(4)

3) kepedulian yang mendalam terhadap nasib umat manusia di mana individu-individu sebagai insan sosial dikontekstualisasikan dalam totalitas sosial yang berupa kultur material dan spiritual.

4) melakukan emansipasi sosial dan berusaha menemukan teori sosial yang mampu memikul tanggung jawab berupa perlawanan terhadap status quo. 5) upaya kritik yang lebih luas terhadap kenyataan bahwa kultur kapitalis adalah

bentuk manipulasi dan penguasaan, yang secara total meresapi struktur psikis dan sosial (Muhammad N.S., 1978: 183).

Jelasnya, aliran rekonstruksianisme mensandarkan pada dua premis mayor. Pertama, masyarakat membutuhkan rekonstruksi konstan atau perubahan. Kedua, perubahan sosial juga adalah rekonstruksi pendidikan dan menggunakan pendidikan sebagai wahana rekonstruksi masyarakat. Dengan demikian, dibutuhkan adanya tatanan yang bisa mengubah, dan filsafat rekonstruksianisme menjadi pijakan. Rekonstruksianisme pun bertujuan untuk mengkongkretisasi kehidupan, dan perlu dibentuk institusi sosial yang diawasi masyarakat, anak, sekolah dan pendidikan yang sesuai tuntutan masyarakat (Zuhairini, dkk., 2008:29).

Pokok Pemikiran Pendidikan Rekonstruksionisme

Dunia sedang dilanda krisis kemanusiaan, jika praktik-praktik pendidikan yang ada tidak segera direkonstruksi, maka peradaban dunia yang ada akan mengalami kehancuran. Krisis yang dimaksud adalah problem-problem sosial budaya yang timbul akibat semrawutnya persoalan pendudukan, sumber daya alam yang kian menipis, berakibat pada melonjaknya harga minyak dunia, kesenjangan global antara negara kaya dan miskin, kapitalisme global, proliferasi nuklir, rasisme, nasionalisme sempit dan penyalahgunaan teknologi (George R.K., 2007: 186). Seperti diketahui, teknologi saintifik adalah penyumbang terbesar terjadinya peperangan dan bisa membunuh manusia secara efisien lebih dari sebelumnya, tingginya tingkat kematian dari kecelakaan lalu-lintas dan industri menjadi harga yang sangat mahal dari kehidupan yang serba mekanistik saat ini (Djumransjah, 2004: 188).

Teknologi saintifik juga menciptakan budaya rokok dan alkohol serta meningkatkan bahaya kimiawi yang terkandung pada makanan dan lahan pertanian. Padahal, Albert Einstein pernah mengatakan bahwa “ilmu (saintifik) seharusnya membebaskan kita dari pekerjaan yang melelahkan malah menjadikan manusia budak-budak mesin....” (Suriasumantri, 1999: 243). Praktis, bangsa-bangsa dunia mempunyai hasrat yang sama untuk menciptakan satu dunia baru, dengan satu kebudayaan baru di bawah satu kedaulatan dunia, dalam pengawasan manusia (Zuhairini, dkk., 2008:29). Untuk mengatasi persoalan-persoalan global tersebut, perlu sebuah tatanan sosial semesta yaitu kolaborasi menyeluruh dari seluruh elemen bangsa dunia untuk bersatu menciptakan tata sosial baru yang berasaskan keadilan dan kepentingan kemanusiaan seluruh umat manusia, dan mengabaikan batasan-batasan primordial seperti ras, warna kulit, suku, bangsa dan agama.

(5)

merefleksikan nilai-nilai sosial dominan yang hanya akan mengalihkan patologi sosial, politik, ekonomi dan budaya yang saat ini mendera umat manusia. Karena nya sekolah-sekolah formal harus merekonstruksi secara mendasar peran tradisionalnya dan menjadi sumber inovasi sosial. Bagi mereka pendidikan dapat menjadi instrumen penting untuk membentuk keyakinan masyarakat dan mengarahkan peralihannya ke masa depan (George R.K., 2007: 187).

Rekonstruksianisme menekankan pada kebutuhan akan perubahan, ini adalah cita-cita dan tujuan utopis yang dihubungkan dengan kebudayaan dunia dan peradaban. Baginya tujuan spesifik dari proses pendidikan adalah untuk mengakomodir perubahan sosial dan aksi sosial. Tujuan pendidikan ini adalah sejenis perkembangan evolusioner dari paradigma Hegelianisme yang dihubungkan dengan pragmatisme Dewey. Rekonstruksianis ingin melibatkan orang-orang untuk menjadi agen perubahan, dan menolak untuk mengabstraksi filosofi pendidikan yang lebih menekankan pengetahuan (knowing) daripada praktik (doing).

Praktis, kaum rekonstruksionis tidak memandang sekolah sebagai satu-satu alat untuk melaksanakan perubahan secara tunggal. Tapi, institusi pendidikan dapat menyatukan semua elemen masyarakat menuju perubahan yang lebih baik. Hal ini didasari, karena sekolah telah bertahun-tahun bersentuhan dengan anak didik (George R.K., 2007: 188). Dengan demikian, bagi rekonstruksionis sekolah dijadikan alat atau media untuk mencapai tatanan yang lebih progresif dan berkemakmuran.

Metode Pendidikan Ala Rekonstruksionisme

Metode pendidikan merupakan komponen yang tidak boleh diabaikan dalam proses pendidikan, karena metode turut menentukan sukses atau tidaknya suatu tujuan pendidikan. Tidak heran, jika sebagian kalangan berpendapat bahwa metode itu lebih penting dari pada materi (Mukodi, 2011: 77). Bahkan, Imam Barnadib pun mengingatkan bahwa metode pendidikan mempunyai kedudukan yang sangat penting dan bila dapat dipilih secara cermat akan mempunyai pengaruh yang signifikan. Hal ini didasarkan pada kodrat kemanusiaannya. Manusia sebagai yang “kompleks” dan hidup dalam masyarakat yang penuh “kompleksitas” ini dapat berkembang “melampui” subtansinya dengan “relasi -relasi” yang memadai (Barnadib, 2002: 36). Lantas bagaimana metode pendidikan rekonstruksionisme?

Menurut perspektif rekonstruksionis, bahwa metode pengajaran hakikatnya harus didasarkan pada prinsip-prinsip demokratis yang bertumpu pada kecerdasan “asali” jumlah mayoritas untuk merenungkan dan menawarkan solusi yang valid bagi persoalan-persoalan umat manusia. Adalah sebuah keharusan bahwa prosedur-prosedur demokratis perlu digunakan di ruangan kelas setelah para peserta didik diarahkan kepada kesempatan memilih diantara keragaman pilihan-pilihan ekonomi, politik, sosial. Tak heran, jika Brameld dan kolega-koleganya memberikan kepercayaan yang sangat besar terhadap kekuatan guru sebagai instrumen utama dari perubahan sosial (George R.K., 2007: 187).

(6)

politik terbaik. Dari perspektif mereka, adalah sebuah keharusan bahwa prosedur-prosedur demokratis perlu digunakan di ruangan kelas setelah peserta didik diarahkan kepada kesempatan-kesempatan untuk memilih di antara keragaman pilihan-pilihan ekonomi, politik dan sosial. (George R.K., 2007: 187).

Lebih penting lagi, menurut aliran ini meniscayakan adanya kemerdekaan berfikir peserta didik. Hal ini sesuai dengan falsafah Ki Hadjar Dewantara yang memberikan kemerdekaan seluas-luasnya kepada peserta didik. (Dewantara, 1977: 243). Brameld pun menggunakan istilah „pemihakan deferensif‟ untuk mengungkapkan posisi (pendapat) guru dalam hubungannya dengan item-item kurikuler yang kontroversial. Dalam menyikapi hal ini, guru membolehkan uji pembuktian terbuka yang setuju dengan pendapatnya, dan ia menghadirkan pendapat-pendapat alternatif sejujur mungkin. Di sisi lain, guru dituntut agar terbuka dalam berpendapat dan mendialogkan kepada peserta didik. (George R.K., 2007: 187).

Kurikulum Pendidikan Rekonstruksionisme

Tugas utama pendidikan adalah mempersiapkan anak didik ke arah kemasakan. Masak dalam arti hidup akalnya, maka akal inilah yang perlu mendapat tuntunan ke arah kemasakan itu (Barnadib, 1994:78). Menyadari tugas berat tersebut, rekonstruksianisme pun meracik dan mengorganisir kurikulumnya sedemikian rupa. Racikan inilah oleh Brameld disebut sebagai “the wheel” (roda) kurikulum; inti tujuan pendidikan versi rekonstruksianisme menjadi inti dari kurikulum “roda” tersebut dan menjadi tema sentral pendidikan. Kurikulum ini bersifat sentripetal sekaligus sentrifugal. Sentripetal karena akan membawa masyarakat atau komunitas bersama kepada studi yang bersifat umum. Sentrifugal karena akan meningkatkan proyeksi pendidikan di sekolah-sekolah formal ke dalam komunitas yang lebih luas. Hal tersebut secara tidak langsung akan menciptakan transformasi kultural di dalam hubungan yang dinamis antara sekolah dan masyarakat.

(7)

Oleh karena itu, rekonstruksianisme menjadikan aspek-aspek sosial, budaya dan isu-isu kontemporer menjadi muatan inti kurikulum, agar peserta didik memiliki kepekaan dan empati sosial. Kurikulum tersebut harus mulai diimplementasikan sejak TK pada usia yang paling peka. Dengan demikian, peserta didik dapat menjadi penggerak utama pencerahan problem-problem sosial dan menjadi agitator utama perubahan sosial. Demikian pula proyeksi hubungan kemanusiaan dan aspek politik harus ditekankan untuk menumbuhkan kesadaran politik para peserta didik sehingga “nalar kritis” terhadaP berbagai ketimpangan sosial politik yang diakibatkan oleh kesewenang-wenangan status quo, dapat menjadi modal dasar untuk melahirkan agen-agen perubahan sosial dimasa selanjutnya.

Kesimpulan

Aliran rekonstruksionisme memiliki persepsi bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara demokratis sehingga perubahan-perubahan untuk mencapai suatu tujuan yang lebih baik akan selalu diadakan dan dijadikan realita, dan bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu, sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan potensi-potensi teknologi yang mampu meningkatkan kualitas pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit, keturunan, agama dan masyarakat yang bersangkutan, akan tetapi perubahan yang digunakan untuk kepentingan bersama.

(8)

Daftar Pustaka

Akinpelu, JA. (1988). An Introduction Philosophy of Education. London: Macmillan Published Lid.

Barnadib, Imam. (2002). Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Adi Cipta.

---. (1994). Filsafat Pendidikan; Pengantar Mengenal Sistem dan

Metode. Yogyakarta: ANDI OFFSET.

Counts, George S. (1932). Dare the School Build a New Social Order? New York: John Day Co.

Djumransjah. (2006). Filsafat Pendidikan. Malang: Bayumedia Publishing. Gazalba, Sidi. (1973). Sistematika Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang.

Illeris, Knud. (2002). The Three Dimension of Learning. Florida: Krieger Publishing Company.

Mukodi. (2011). Pendidikan Islam Terpadu Reformulasi Pendidikan di Era Global. Yogyakarta: Aura Pustaka.

Noorsjam, M. (1978). Pengantar Filsafat Pendidikan. Malang: FIP IKIP.

R. Knight, George. (2007). Filsafat Pendidikan. Penerjemah, Mahmud Arif. Yogyakarta: Gama Media.

Suriasumantri, Jujun S. (1982). Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: PT. Gramedia. Tim Taman Siswa. (1977). Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama.

Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Referensi

Dokumen terkait

Mampu menghubungkan anatomi terapan dalam kajian histologis struktur jaringan spesifik dengan fungsi anggota gerak bawah.. Mampu menghubungkan anatomi terapan dengan assessment

Dalam konteks ini, weber melihat kenyataan sosial sebagai suatu yang di dasarkan pada motivasi individu dan tindakan sosial, Sosiologi bagi weber merupakan ilmu yang empiris

Data ini menunjukan bahwa penggunaan peta konsep melalui pembelajaran kooperatif tipe STAD mampu meningkatkan hasil belajar mata pelajaran kimia peserta

Perkembangan teknologi komunikasi dan internet yang sangat menjanjikan di satu pihak, dan jumlah pengguna media sosial, khususnya dari kalangan generasi muda yang semakin

Melaksanakan  Algoritma  berarti  mengerjakan  langkah‐langkah  di  dalam  Algoritma  tersebut.  Pemroses  mengerjakan  proses  sesuai  dengan  algoritma  yang 

Perioda puncak gelombang maksimum terjadi pada musim timur selama 5 detik, pada musim barat dan musim peralihan I periode puncak gelombang adalah sebesar 4,7 detik dan nilai

Dari urain di atas peneliti dapat mengetahui apa saja yang menjadi permasalahan dalam meningkatkan minat di TK Humairah Kutacane Aceh Tenggara, minat yaitu

Dari hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa Pengetahuan ibu postpartum tentang MP-ASI di Desa Rambah Samo Barat yaitu dalam kategori cukup berjumlah 15