1 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.2 No.4 Mei 2002
MENYOAL SENI RUPA INDONESIA
"CITRA INDONESIA"
Menyikapi Wacana Seni Lukis Indonesia dalam Peta
Budaya yang Multi-Kultur
Dharsono
dipublikasikan pada Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.2 No.4 Mei 2002
Abstrak
Wacana ini mencoba untuk mempertanyakan kembali, cita-cita Persagi tentang seni lukis Indonesia "citra Indonesia", cita-cita tersebut kandas oleh pendidikan modern yang mementingkan individualitas di kalangan para pelukis akademis, dan perkembangan seni lukis konvensi yang cenderung berpacu dalam dimensi pasar. Disisi lain muncu/nya wacana kontemporer dalam fenomena baru seni rupa di Indonesia, terjadi kegagapan oleh adanya ketegangan antara modern kontemporer di kalangan akademis, mengakibatkan terancamnya monumentalitas seni modern. Citacita membangun seni lukis Indonesia "citra-Indonesia" kini tinggal kenangan.
Kata Kunci: citra. Indonesia, kontemporer, installation art, performance art, collaboration art
Pendahuluan
Pertumbuhan seni rupa di Indonesia kini tidak lagi mencari identitas (seperti yang dicita-citakan PERSAGI (19371950),
2 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.2 No.4 Mei 2002
untuk memenuhi kebutuhan investor dan kolektor seni, bahkan dapat dikatakan sebagai
produk industri seni lukis yang seolah sekedar untuk memenuhi kebutuhan galeri atau
workshop. Sementara kelompok yang menyatakan sebagai seniman "modern", perjalanannya mengarah dan berkiblat kepada konsepsinya yang hanya sebagian-sebagian dan ditelan mentahmentah. Gaya dan aliran seni lukis yang terjadi di belahan barat seolah resep dengan menu -menu yang siap pakai. Seni lukis tersebut justru menjadi mode alternatif, tanpa melihat kecocokan
3 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.2 No.4 Mei 2002 mudahnya mencomot apa
yang terjadi di Barat, kemudian menyebutnya sebagai "seni lukis modern Indonesia". Konsep itulah yang menjebak kita ke dalam kekusutan konsep yang semakin terombang -ambing. Aliran dan atau gaya dalam pembagian kesejarahan seni lukis modern di Barat dianggapnya sebagai salah satu aliran dogmatis
yang harus dianutnya. Seniman seolah harus memilih sebuah aliran seperti halnya agama. Secara konseptual pola pemikiran tersebut perlu "diluruskan" dan diganti dengan konsep wawasan pencarian jatidiri bangsa seperti yang pernah dicita-citakan PERSAGI,
yaitu
pencarian citra Indonesia akar Indonesia.
Wacana Modern dan Kontemporer
"Seni modern" lahir dari dorongan untuk menjaga standar nilai estetik yang kini sedang terancam oleh metode permasalahan seni. Modernisme meyakini gagasan progress dan karenanya
4 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.2 No.4 Mei 2002 inovasi terbaru. Tradisi
Avant-garde bertanggung jawab atas lahirnya berbagai conceptual art dan exsperiment art, yang
melahirkan seni
multimedia; mixed media
dan intermedia;
happening art,
performance art, video
art, instalasi art,
collaboration art.
Pada awalnya conceptual
art merupakan gerakan
dalam seni rupa modern
untuk menetapkan ide,
gagasan atau konsep
sebagai masalah yang
utama dalam seni,
sedangkan bentuk,
material, dan obyek
seninya hanyalah
merupakan akibat
samping dan konsep
seniman. Bahkan dapat
dikatakan: "karya itu
sudah selesai sebelum
karya itu lahir". Mereka
menggunakan
terminologiterminologi;
de-material dan anti
-form. Seni ini sangat
kontroversial,
menjungkirbalikan segala
bentuk kemapanan seni
(termasuk nilai, gaya),
awalnya sulit untuk
dimengerti karena
menggunakan
keanekaragaman media
ataupun material seni
sebagai akibat dari
kompleksitas gagasan
atau idea para
senimannya.
Walaupun kita sering
menggunakan istilah seni
rupa modern, prinsip
modernisme tak pernah
5 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.2 No.4 Mei 2002 berakar. Persentuhan
seni rupa Indonesia
dengan seni rupa
modern sebenarnya
hanya terbatas pada
corak, gaya, dan prinsip
estetik tertentu.
Nasionalisme sebagai
sikap dasar persepsi
untuk menyusun sejarah
perkembangan seni rupa
Indonesia adalah
kenyataan yang tak bisa
disangkal dan
nasionalisme sangat
mewarnai pemikiran
kesenian dihampir
semua negara
berkembang. Batas
kenegaraan itulah yang
mengacu pada
nasionalisme yang
akhirnya diakui dalam
seni rupa kontemporer
yang percaya pada
pluralisme. Sejak zaman
PERSAGI kita tidak
pernah ragu
menggariskan
perkembangan seni rupa
Indonesia "khas
Indonesia". Sikap
pengamatan kaum
modernis di lingkungan
seni rupa kita perlu
dipermasalahkan. Kendati
seni rupa modern percaya
pada eksplorasi dan
kebebasan, secara
implisit akhirnya hanyalah
mempertahankan prinsip
-prinsip seni rupa barat
(tradisi barat). Prinsip
-prinsip modernisasi juga
menetapkan tahap
perkembangan yang
didasarkan pada
perkembangan seni rupa
modern Eropa Barat dan
6 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.2 No.4 Mei 2002 prinsip-prinsip itu tidak
seluruhnya teradaptasi,
akan tetapi muncul
secara terpotong-potong,
kadang-kadang dalam
bentuk yang lebih
ekstrim.
Konsepsi yang bertolak
pada penonjolan ide, kini
merambah dalam
berbagai multi; dari multi
media sampai multi idea.
Kekuatan tersebut akan
berguril sebagai
fenomena yang tidak
dapat kita bendung
setelah munculnya
teknologi informasi
komunikasi digital yang
canggih. Post
strukturalism dan post
modernism sebagai reaksi
terhadap seni modernitas
yang dianggap telah
menjadi konvensi
-konvensi yang beku
terhadap perkembangan
zaman, perlu pencarian
nafas baru, yaitu seni
kontemporer yang
dianggap mampu
membingkai gerak
dinamika dan sesuai
dengan nafas zaman.
Seni kontemporer tidak
terikat oleh konvensi atau
dogma manapun, oleh
karena itu ia anti
kemapanan (anti segala
konvensi, gaya, corak
bahkan estetik).
Munculnya kembali
mode installation art,
performance art,
collaboration art di
Indonesia yang semula
merupakan satu obsesi
pembaharuan, kemudian
menggejala pada setiap
7 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.2 No.4 Mei 2002 bahkan para seniman
pertunjukan ramai-ramai
mengadakan
collaboration art. Karya
tersebut kini seolah
merupakan satu standar
nilai dari sebuah obsesi
pembaharuan seni.
Kehadiran seni mereka
bukan sebuah reaksi
terhadap seni abstrak
ekspresionisme (seperti
Amerika seputar 1960
-an), tetapi lahir sebagai
satu reaksi seni modern
sebagai monumentalitas
akademik. Konon seni
yang dianggap integral
dengan masyarakatnya,
sesuai dengan nafas
zamannya, telah porak
-poranda dengan gagasan
progres kaum modern,
yang hanya
mementingkan ekspresi
sebagai fenomena
individualitas.
Memasuki abad 21, kita
dihadapkan berbagai
masalah sosial, budaya,
politik, ekonomi, dan
berbagai segi kehidupan
yang berkaitan dengan
moralitas. Maka
munculah beberapa
kelompok seniman muda
mencoba menawarkan
berbagai wacana dalam
berbagai bentuk
performance art dan
instalasi art, dan
collaboration art, sebagai
pijakan berkarya. Mereka
mencoba mengangkat
berbagai wacana politik,
sosial, ekonomi,
moralitas dalam
fenomena yang ia racik
dalam multi media dan
8 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.2 No.4 Mei 2002 lagi membatasi disiplin
seni, atau cabang
-cabang seni yang
terkotakkotak oleh
modernisme, tapi mereka
berangkat dari
keragaman tafsir dari
realitas yang mereka
rasakan bersama,
sehingga karya-karya
mereka penuh dengan
nuansa kehidupan sosial
yang mengarah pada
universalisasi gagasan,
karena mereka
nampaknya ingin
melepaskan dirinya dari
kungkungan individu yang
terhimpit oleh ruang dan
waktu.
Apabila seni modern
mencoba menawarkan
sebuah tafsir individual
menghasilkan "realitas
makna", maka seni
fenomena kini
(kontemporer)
menawarkan berbagai
gagasan (idea) yang
menghasilkan "realitas
wacana" (realitas tafsir).
Seni modern mencoba
membatasi dan
menyederhanakan
medium sebagai
ungkapan ideanya, maka
wacana seni kontemporer
justru menampilkan
ragam; medium, media
ataupun idea, sehingga
akan terjadi multi idea
dan multi media.
Ketegangan modern dan
kontemporer kini telah
terjadi.
Seni Lukis Indonesia
"Citra Indonesia"
Seni lukis berlabel
9 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.2 No.4 Mei 2002
dipertanyakan. Dalam
peta budaya, pengertian
"Indonesia" harus
dipandang sebagai satu
bentuk yang multi
-kultural. Maka pengertian
seni lukis "Indonesia",
bukan berarti seni lukis
yang dibuat oleh orang
Indonesia, tetapi seni lukis
yang mempunyai "roh"
yang bernafaskan
Indonesia yang multi
-cultural tersebut. Yang
menjadi permasalahan
kini, yakni bagaimana
memberikan kehidupan
terhadap seni lukis yang
punya nafas Indonesia
yang multi-kultural
tersebut. Yang penting
sebenarnya bukan apa
dan seperti apa "seni
lukis Indoneia", tetapi
perlu adanya perenungan
apakah betul karya yang
kita buat sudah
bernafaskan nafas
Indonesia.
Konon untuk
"membangun Indonesia"
dilandasi oleh semangat
dan jiwa "bhineka tunggal
ika". Semangat
kebangsaan yang
mengacu pada multikultur
yang didasari oleh
kekuatan budaya yang
membumi. Pada kontek
tersebut yang perlu kita
garis bawahi adalah
"kekuatan budaya yang
membumi", yakni
kekuatan yang dibangun
dari masing-masing
ajaran budayanya.
Kekentalan budaya
daerah akan memberikan
ajaran pola kehidupan
10 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.2 No.4 Mei 2002 yang pada gilirannya akan
memberikan citra budaya
sesuai dengan nafas
budayanya. Maka
semangat "Indonesia"
adalah semangat yang
membumi dari masing
-masing budaya; Jawa,
Sunda, Ambon, Papua,
Aceh, Tapanuli,
Minangkabau, Riau, dan
seluruh budaya yang
melingkupi Indonesia.
Semangat dan jiwa itu kini
telah luntur, dan hanya
slogan.
Permasalahan tersebut
apabila dikaitkan dengan
seni lukis "Indonesia",
maka untuk membangun
kembali "citra Indonesia",
juga diperlukan
semangat dan jiwa
"bhineka tunggal ika".
Seni lukis yang
mempunyai nafas
Indonesia yang mampu
menopang semangat dan
ajaran budaya yang
membumi. Bagaimana
seni lukis bernafaskan
Indonesia? Tidak
pandang apakah itu seni
konvensional, modern
atau wacana
kontemporer, yang
penting adalah
mampuhkah kita
memberikan "roh" yang
punya "nafas" Indonesia
sebagai satu wacana
membangun seni rupa
Indonesia. Konsepsi
modern yang universal
memang penting, maka
tidak hanya sekedar kita
pelajari, tetapi harus
mampu menguasainya.
Konsep "modern" harus
11 Wacana Seni Rupa Jurnal Seni Rupa & Desain Vol.2 No.4 Mei 2002
alat untuk membedah
wacana yang sedang
berkembang. Untuk
memberikan "nafas"
Indonesia, kita harus
mampu beradaptasi
dengan lingkup
budayanya, dan menjadi
manusia yang mampu
mengejawantahkan
ajaran budaya yang
membumi. Sikap dan
tingkah laku harus
mencerminkan ajaran
budayanya, sehingga
pada gilirannya nafas
kita akan mengalir dan
menghidupi seni rupa
kita dengan nafas yang
sesuai dengan ajaran
budayanya. Nafas
budaya yang membumi
akan muncul sebagai
visual culture dalam