TINJAUAN PUSTAKA
Wilayah Konservasi
Menurut Undang-undang no. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, hutan didefinisikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa bahwa Wilayah Konservasi mempunyai fungsi utama yaitu pengembangbiakan dan penyelamatan tumbuhan serta satwa dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. Disamping mempunyai fungsi utama, wilayah konservasi juga berfungsi sebagai tempat pendidikan, peragaan dan penelitian serta pengembangan ilmu pengetahuan. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui kegiatan pengelolaan di dalam habitatnya disebut sebagai konservasi in-situ. Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di dalam habitatnya (in-situ) dilakukan dalam bentuk kegiatan: identifikasi, inventarisasi, pemantauan, pembinaan habitat dan populasinya, penyelamatan jenis, pengkajian, penelitian dan pengembangan. Sedangkan pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya (ek-situ) dilakukan dalam bentuk kegiatan: pemeliharaan, pengembangbiakan, pengkajian, penelitian dan pengembangan, rehabilitasi satwa, penyelamatan jenis. Wilayah Konservasi dapat berbentuk Kebun Binatang, Museum Zoologi, Taman Satwa Khusus, Pusat Latihan Satwa Khusus, Kebun Botani,
Herbanum dan Taman Tumbuhan Khusus.
Pengertian Ekowisata
Ekowisata lebih populer dan banyak dipergunakan dibanding dengan terjemahan yang seharusnya dari istilah ecotourism, yaitu ekoturisme. Yayasan alam mitra Indonesia membuat terjemahan ecotourism dengan ekoturisme. Istilah ekowisata banyak digunakan untuk menggambarkan adanya bentuk wisata yang baru
Kegiatan ekowisata bertumpu pada usahaa pelestarian sumberdaya alam dan
budaya sebagai objek wisata yang dapat dijadikan sumber ekonomi berkelanjutan, dikelola secara adil dan bijaksana bagi bangsa dan negara. Kecenderungan pariwisata di dalam dunia mengarah ke ekowisata, wisatawan menghargai alam asli. Wisatawan ingin mengenal alam, ingin menambah pengalaman dan berkunjung ke hutan asli.
Ekowisata memiliki beberapa pola, yaitu:
1. Ekowisata merupakan salah satu segmen dari wisata alam, yang mengutamakan elemen alam sebagai interaksinya. Aset budaya yang ada dalam kawasan wisata turut dilestarikan.
2. Ekowisata merupakan wisata minat khusus, dan sering merupakan wisata petualangan di kawasan terpencil, dimanaa keadaan alam masih relatif asli. 3. Ekowisata berskala kecil, dengan kelompok wisatawan kecil dan
menggunakan resort yang kecil.
4. Di dalam kawasan lindung, perilaku pengunjung terkendali sesuai dengan peraturan kunjungan. Dampak ekowisata juga kecil, flora tidak dirusak dan fauna tidak diganggu.
5. Untuk menjaga kelestarian alam, maka perilaku wisatawan terus-menerus diatur sesuai dengan peraturan yang ada, maka daya dukung kawasan yang dilintasi wisatawan terus dipantau dan tidak boleh dilampaui.
6. Kawasaan ekowisata membutuhkaan sarana wisata yang dapat memenuhi kebutuhan wisatawan. Sarana wisata ini hendaklah dibangun dan dikelola bersama dengan masyarakat lokal dengan menggunakan tukang dari
masyarakat lokal.
7. Untuk suksesnya wisata minat khusus ekowisata, diperlukan pemandu yang dapat memberikan informasi sehingga wisatawan dapat ikut melestarikan kawasan. Pemandu dengan interpretasi akaan turut meningkatkan nilai
kepuasan wisatawan.
peningkatan konservasi kawasaan yang bersangkutan (Hadinoto, 1996 dalam
Hakim, 2004) .
Suatu kegiatan wisata dapat dikatakan sebuah kegiatan ekowisata bila memenuhi beberapa komponen, yaitu :
1. Memberikan kontribusi bagi konservasi biodiversitas;
2. Memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat lokal; 3. Adanya kegiatan belajar
4. Adanya kegiatan-kegiatan yang dapat dipertanggungjawabkan oleh wisatawan dan industri pariwisata;
5. Dilakukan oleh kelompok-kelompok bisnis sekala kecil;
6. Penggunaan seminimal mungkin sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui; dan
7. Penekanan pada partisipasi, kepemilikan, dan kesempatan berusaha bagi masyarakat lokal (Hakim,2004).
Wisata Dan Konservasi
Wisata sifatnya dikondisikan untuk mendukung kegiatan konservasi, defenisinya selalu memfokuskan pada :
1. Wisata yang bertanggung jawab terhadap lingkungan. 2. Memberikan dampak langsung terhadap konservasi kawasan
3. Berperan dalam usaha-usaha pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal. 4. Mendorong konservasi, pembangunan berkelanjutan dan sebagainya
1. Adanya manajemen lokal dalam pengelolaan
2. Adanya produk perjalanan dan wisata yang berkualitas 3. Adanya penghargaan terhadap budaya
4. Pentingnya pelatihan-pelatihan
5. Bergantung dan berhubungan dengan sumberdaya alam dan budaya
6. Adanya integrasi pembangunan dan konservasi.
Di banyak kawasan negara berkembang, pembiyayaan terhadap kawan konservasi seringkali rendah sehingga fungsi yang dijalankan tidak maksimal. Penelitian-penelitian untuk menilai sumberdaya kawasan konservasi eksitu dan insitu
jarang dilakukan karena keterbatasan sumber daya. Dalam hal ini, ekowisata dengan sebuah mekanisme tertentu, harus mapu menyumbangkan aliran dana dari penyelenggaraannya untuk melakukan konservasi habitat. Tujuan utama, yakni memelihara integritas fungsi-fungsi ekosistem dari destinasi wisata. Tidak ada rumusan baku atau mekanisme khusus untuk mengembangkan pola ini. Namun banyak contoh dapat digunakan sebagai model, bagaimana seharusnya wisata dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi konservasi.(Hakim. L, 2004).
Penilaian Ekonomi Sumber Daya Alam
Penilaian adalah penentuan nilai manfaat suatu barang ataupun jasa bagi manusia atau masyarakat. Adanya nilai yang dimiliki oleh suatu barang dan jasa (sumber daya dan lingkungan) pada gilirannya akan mengarahkan perilaku pengambilan keputusan yang dilakukan oleh individu, masyarakat maupun organisasi. Jika nilai sumber daya (ekosistem) hutan, ataupun lebih spesifik barang dan jasa hutan telah tersedia informasinya, seperti halnya harga berbagai produk yang ada di pasar, maka pengelolaan hutan dapat memanfaatkannya untuk berbagai keperluan seperti pengambilan keputusan pengelolaan, perencanaan dan lain-lain (Bahruni, 1999). Tidak tersedianya informasi nilai (harga) dari produk/jasa hutan maka diperlukan suatu usaha kreatif untuk menduga nilai sumber daya hutan. Belum tersedianya informasi nilai (harga) dari hutan disebabkan karena produk barang/jasa
harga standar yang berlaku umum. Oleh karena diperlukan suatu usaha untuk
menduga nilai dari sumber daya hutan (Bahruni, 1999). Penilaian ekonomi merupakan suatu peralatan ekonomi yang menggunakan teknik penilaian sumberdaya untuk mengestimasi nilai uang dari barang dan jasa yang diberikan oleh suatu kawasan. Bahruni (1999) menjelaskan penilaian hutan bukan berusaha untuk
mengadakan nilai yang tidak ada, tetapi suatu upaya bagaimana memunculkan nilai nilai sesungguhnya yang dimiliki oleh hutan, yang secara nyata dirasakan manfaatnya oleh individu atau masyarakat, yang oleh berbagai sebab besar nilai tersebut belum diketahui. Penilaian sumberdaya hutan secara total melalui penilaian hasil hutan baik yang marketable maupun non-marketable secara lengkap merupakan upaya peningkatan informasi yang dapat memberikan kontribusi terhadap manajemen sumberdaya hutan yang lestari.
Manfaat kawasan hutan terdiri dari nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung, nilai masa depan dan nilai non konsumtif. Nilai guna langsung meliputi makanan yang dihasilkan dari kawasan, produk laut atau hutan dan manfaat rekreasi. Manfaat ini sudah dihitung sebagai manfaat ang diperoleh kawasan hutan (seperti tiket masuk, produk hutan dan non hutan yang dipanen) dan biaya kehilangan-kehilangan (seperti hilangnya hak atas sumberdaya atau dalam ilmu ekonomi disebut
opportunity cost). Nilai guna tidak langsung terdiri dari manfaat-manfaat fungsional dari proses ekologi yang secara terus menerus memberikan peranannya kepada masyarakat dan ekosistem. Sebagai contoh hutan dataran tinggi yang utuh secara terus menerus memberikan perlindungan pengendalian banjir (Natural Resources
Management Program, 2001).
Berbagai teknik penilaian sumberdaya non marketable berdasarkan Ichwandi (1996) telah banyak dikembangkan, yang secara umum dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Teknik Berdasarkan Harga Pasar
contohnya, kerusakan hutan akan menyebabkan meningkatnya erosi yang
mengakibatkan menumpuknya sedimen pada lahan pertanian di daerah hilirnya, dan akibatnya selanjutnya adalah menurunnya produksi pertanian sehingga pendapatan para petani menurun pula.
2. Teknik Berdasarkan “Surrogate/Implicit Market Price
Merupakan teknik penilaian yang menggunakan informasi pasar secara tidak langsung. Ketika “surrogate good” merupakan subsitusi yang semurna bagi barang/jasa lingkungan. Teknik ini akan menghasilkan informasi penilaian yang sangat akurat. Tetapi secara umum bahwa tidak ada barang/jasa yang mempunyai subsitusi secara sempurna, sehingga pendekatan-pendekatan harus dibuat.
3. Pendekatan Berdasarkan “ Survey” (Survey Base Approach)
Pendekatan ini disebut juga metode pendekatan penilaian menggunakan pasar yang dibangun hanya berdasarkan hipotetik.
4. Pendekatan Berdasarkan Biaya
Penilaian berdasarakan pendekatan biaya terdiri dari “opportunity cost approach” dan “ expenditure based approach”.
Kesediaan Membayar (Wilingness To Pay)
Penilaian manfaat hutan maupun peranan (keterkaitan) ekonomi sumberdaya hutan terhadap sektor ekonomi lainnya dalam pembangunan ekonomi wilayah dan nasional pada dasarnya ada dua yaitu: metode atas dasar pasar dan metode pendekatan terhadap pasar atau pendekatan terhadap kesediaan membayar (willingness to pay/willingness to accept).
Menurut Yakin (1997) definisi dari willingness to pay/willingness to accept
adalah nilai dari perubahan kondisi lingkungan atau biaya dari kerusakan lingkungan yang ditentukan oleh semua individu baik secara langsung maupun tidak langsung yang bisa dinyatakan dalam bentuk uang.
Teknik penilaian manfaat, didasarkan pada kesediaan konsumen membayar
lingkungan dalam sistem alami serta kualitas lingkungan sekitar (Hufschmid, 1987).
Kesediaan membayar atau kesediaan menerima merefleksikan preferensi individu, kesediaan membayar dan kesediaan menerima adalah ‘bahan mentah’ dalam penilaian ekonomi. Pearce dan Moran (1994) dalam Hufschmidt (1987) menyatakan kesediaan membayar dari rumah tangga ke i untuk perubahan dari kondisi lingkungan
awal (Qo) menjadi kondisi lingkungan yang lebih baik (Q1) dapat disajikan dalam bentuk fungsi, yaitu :
WTPi = f(Q1 – Qo, Pown,i, Psub,i, Si, )
Keterangan :
WTPi = Kesediaan membayar dari rumah tangga ke i
Pown = Harga dari penggunaan sumberdaya lingkungan
Psub,i, = Harga subtitusi untuk penggunan sumberdaya Lingkungan
Si, = Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga ke i
Kesediaan membayar berada di area di bawah kurva permintaan. Kurva permintaan mengukur jumlah yang akan dibayar oleh konsumen untuk tiap unit yang dikonsumsi. Kurva permintaan merupakan jadwal keinginan konsumen untuk membayar jumlah sumberdaya yang dikonsumsi. Total bidang dibawah kurva permintaan (OREM) menunjukan total utilitas yang diperoleh atas konsumsi suatu barang atau merupakan ukuran kemauan membayar total, karena jumlah tersebut adalah hasil penjumlahan nilai-nilai marginal Q dari 0 sampai M. dengan menmgurangkan biaya suatu barang bagi konsumen (ONEM), nilai surplus konsumen ditunjukan sebagai bidang segitiga NRE dan merupakan ukuran kemauan membayar
di atas pengeluaran kas untuk konsumsi (Hufschmidt, 1987).
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
1. Pengunjung datang ingin bersenang-senang
2. Pengunjung mempunyai karakteristik/sifat/ciri yang berbeda-beda berdasarkan latar belakang masing-masing
3. Tiap-tiap pengunjung mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda
Pengunjung pada umumnya bervariasi, sehingga untuk memahami pengun jung,
perlu dilakukan pengelompokan terhadap pengunjung untuk mengetahui ciri dan kebutuhannya. Pengelompokan ini dapat dilakukan berdasarkan umur maupn kondisi fisik. Anak-anak termasuk remaja memiliki sifat ingin tahu yang besar, mampu memahami logika sederhana tapi pengalaman langsung masih penting (Rahayu dan Hermawan, 2001).
Sinaga (2003) dalam Marnaek (2005) menggolongkan tingkat umur seseorang dari golongan sangat muda sampai dengan golongan sangat tua. Golongan umur tersebut dibagi menjadi 5 (lima) kategori, yaitu:
1. Golongan sangat muda berusia kurang dari 20 tahun
2. Golongan berusia muda berusia 21 tahun sampai dengan 30 tahun 3. Golongan dewasa berusia 31 tahun sampai dengan 40 tahun 4. Golongan tua berusia 41 tahun sampai dengan 50 tahun 5. Golongan sangat tua berusia lebih dari 50 tahun
Menurut Van Den Ban dan Hawkins (1999) dalam Marnaek (2005) bahwa secara teoritis pendidikan dapat mempengaruhi sikap dan pandangan manusia. Pendidikan pada prinsipnya memberikan nilai-nilai tertentu bagi manusia, terutama dalam membuka pikirannya untuk menerima hal-hal yang masih baru sekaligus dapat
berpikir secara ilmiah. Pendidikan dapat juga mengakibatkan seseorang dalam masyarakat memilih fakta yang berkenaan dengannya serta menjadi pendorong pelaksanaan perubahan terhadapnya.
Menurut Sukirno (1985) dalam Marnaek (2005) bahwa besar kecilnya
moral yang pada akhirnya akan bermuara pada terbentuknya perilaku menyimpang.
Hal ini yang menjadi titik awal terjadinya penyimpangan perilaku akibat dorongan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Selanjutnya Yusnawati (2003) dalam Marnaek (2005) membagi tingkat pendapatan kedalam 4 (empat) kategori, yaitu:
1. Golongan berpenghasilan rendah sebesar Rp.0,- sampai dengan Rp.400.000,-
2. Golongan berpenghasilan sedang sebesar Rp.401.000,- sampai dengan Rp.800.000,-
3. Golongan berpenghasilan tinggi sebesar Rp.801.000,- sampai dengan Rp.1.200.000,-
4. Golongan berpenghasilan sangat tinggi dengan pendapatan lebih dari Rp1.200.000,-
Hipotesis pendapatan permanen menyatakan bahwa orang lebih menyukai memiliki pola konsumsi yang relatif stabil untuk tingkat pendapatan yang berbeda-beda. Pada umumnya orang-orang yang memiliki pendapatan tidak stabil memilih pola pengeluaran mengikuti pendapatan permanen. Hal ini berarti tidak seluruh pendapatan yang ia terima merupakan dasar bagi penentuan tingkat konsumsi yang dilakukan, tetapi lebih berdasarkan tingkat pendapatannya tersebut akan permanen (Kelana, 1996).
Metode Valuasi Kontingensi
Menurut Yakin (1997) Metode Valuasi Kontingen (MVK) adalah metode
teknik survei untuk menanyakan penduduk tentang nilai atau harga yang mereka berikan terhadap komoditi yang tidak memiliki pasar seperti barang lingkungan. Prinsip yang mendasari metode ini adalah bahwa orang yang mempunyai preferensi yang besar tetapi tersembunyi terhadap seluruh jenis barang lingkungan, kemudian