0 | P a g e
RESUME DAN CRITICAL REVIEW TESIS
TUGAS AKHIR
Diajukan Sebagai Tugas dalam Mata Kuliah
Pendekatan dan Metodologi Studi Islam (PMSI)
Oleh :
AULIA RAHMAT NIM 10.2.00.01.01.0086
Team Teaching :
Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar, M.S.P.D. Prof. Dr. Abuddin Nata, M.A.
Prof. Dr. A. Rodoni Dr. Muhaimin A.G. Dr. Ahmad Luthfi, M.A. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, M.A.
Dr. Yusuf Rahman, M.A.
KONSENTRASI SYARI’AH
PROGRAM STUDI PENGKAJIAN ISLAM
SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
(SPs UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1 | P a g e RESUME I
HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN : (ANALISIS PUTUSAN TERHADAP PENYELESAIAN HARTA BERSAMA AKIBAT PERCERAIAN)
Oleh : Rini Sidi Astuti (NIM 03.2.00.01.01.0059)
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Konteks hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam tatanan normatifnya adalah sama dengan menerapkan konsep keadilan dan tidak adanya diskriminasi. Hal ini menuntut adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban. Konsep ini dalam politik hukum Indonesia terwujud dalam adanya pengakuan terhadap kesetaraan gender.
Salah satu bentuk diskriminasi yang masih terjadi adalah dalam masalah penyelesaian harta bersama. Contoh yang kasuistik adalah kasus yang menimpa seorang presenter Made Hughesia Dewi dengan Alfin, mantan suaminya. Gugatan komulasi perceraian dengan harta yang diajukannya di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dikabulkan oleh hakim dengan pembagian harta bersama adalah separuh-separuh, berdasarkan ketentuan dalam pasal 97 KHI. Padahal sebagian besar harta tersebut dihasilkan dari aktivitas Hughes di dunia entertainment.
Istilah harta bersama yang dibakukan dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada dasarnya sudah ada sejak lama dalam kehidupan dan adat yang berlaku dalam masyarakat. Pelembagaan harta bersama ini dalam ketentuan hukum positif di Indonesia dijelaskan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI. Konsep harta bersama dalam ketentuan tersebut pun bersifat kontradiksi. Dalam UU No. 1 Tahun 1974, dinyatakan bahwa tidak ada perjanjian antara suami istri terhadap harta, maka harta yang didapat selama masa perkawinan adalah harta bersama. Sebaliknya, dalam KHI dinyatakan bahwa tidak ada harta bersama antara suami istri yang tidak pernah melakukan perjanjian sebelumnya.
Adanya kontradiksi dalam persoalan harta bersama antara UU No. 1 Tahun 1974 dengan KHI kemudian diformulasikan dalam suatu pertanyaan yang menjadi major research question dalam penelitian ini, yaitu; “Bagaimanakah penyelesaian
harta bersama akibat perceraian menurut putusan pengadilan ditinjau dari sudut hukum islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia?”.
Dalam beberapa literatur ditemukan beberapa pendapat, di antaranya
pendapat Hazairin dalam bukunya yang berjudul “Tinjauan mengenai undang-undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974”, yang menegaskan bahwa tidak ada ketentuan yang spesifik dalam kitab-kitab suci agama (Islam, Kristen, Hindu dan Budha). Sementara itu, Bustanul Arifin menyatakan bahwa tidak ditemukan bahasan mengenai harta bersama dalam kitab-kitab fiqih klasik. Di lain sisi, Ismuha dan Sayuti Thalib menyatakan bahwa masalah harta bersama dapat dikategorikan sebagai syirkah dalam rumah tangga secara resmi dan cara-cara tertentu.
B. Rumusan dan Batasan Masalah
1. Rumusan Masalah Major research question :
Bagaimanakah penyelesaian harta bersama akibat perceraian menurut putusan pengadilan ditinjau dari sudut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ?
Minor research question :
2 | P a g e
b. Bagaimanakah kaitan antara hak dan kewajiban suami istri dalam hubungannya dengan harta bersama ?
c. Bagaimanakan defenisi dan konsep harta bersama dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI ?
d. Apa akibat hukum terhadap harta bersama akibat perceraian dari sudut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan di Indonesia ?
2. Batasan Masalah
a. Hukum Islam yang dimaksud dalam pembahasan tesis ini adalah yang berkenaan dengan teori-teori fiqih yang berkaitan dengan kasus harta bersama dalam putusan yang telah diputus oleh majelis hakim.
b. Putusan yang akan diteliti adalah Putusan PA Jakarta Selatan Nomor 45/Pdt.G/2005/PJS; Putusan PA Jakarta Pusat Nomor 10/ 1985; Putusan PA Jakarta Barat Nomor 15/1/1985; dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 380/K/AG/2006.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Mendeskripsikan pandangan hukum Islam terhadap harta bersama akibat perceraian baik dari al-Qur’an, sunnah, ijma’, ataupun qiyas.
b. Mendeskripsikan kaitan antara hak dan kewajiban dalam hubungannya dengan harta bersama dalam perkawinan.
c. Memaparkan defenisi dan konsep harta bersama dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI.
d. Menjelaskan akibat hukum terhadap harta bersama akibat perceraian dari sudut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
a. Sebagai tambahan informasi bagi pemerhati hukum Islam khususnya yang berkaitan dengan harta bersama dalam perkawinan.
b. Memperkaya khazanah ilmu pengetahuan.
D. Kerangka Teori
Berdasarkan pendapat para ahli dalam beberapa literatur, penulis menyimpulkan bahwa harta bersama adalah harta benda yang diperoleh oleh suami istri selama ikatan perkawinan berlangsung, baik yang didapatkan secara sendiri-sendiri ataupun secara bersama tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa.
Pengajuan harta bersama ini biasanya dikomulasikan dengan gugatan perceraian di pengadilan yang berwenang, dalam hal ini adalah Pengadilan Agama. Penjelasan mengenai harta dalam perkawinan, disebutkan dalam ketentuan pasal 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 berikut ;
Fokus pembahasan dalam tesis ini adalah telaah terhadap hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan yang kemudian dikaitkan dengan pembagian harta bersama; dan konsep harta bersama dalam hukum Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
E. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
3 | P a g e
2. Metode Analisis Data
Metode analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah content analysis, dengan menganalisis data menurut isinya. Dalam kajian teoritis tentang harta bersama, ada dua pokok bahasan yaitu; hak dan kewajiban suami istri serta pembagian harta bersama akibat perceraian yang ditinjau dari sudut hukum Islam dan hukum positif Indonesia.
Penarikan kesimpulan dalam penelitian ini dilakukan dengan metode nalar (logika) deduktif dengan berpijak serta bertitik tolak dari ketentuan-ketentuan hukum Islam yang berkaitan dengan harta bersama.
3. Sumber Data a. Data Primer
Data primer adalah data yang berhubungan dengan putusan dan yurisprudensi yang akan diteliti.
b. Data Sekunder
1) Bahan hukum primer seperti; al-Qur’an, hadits dan buku-buku yang ada relevansinya;
2) Bahan hukum sekunder seperti; buku-buku ushul fiqih yang relevan, dan; 3) Bahan hukum tersier seperti; kamus dan ensiklopedi.
4. Metode dan Teknik Penulisan
Metode penulisan tesis ini mengacu kepada buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Desertasi IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: IAIN Press,
2002)”. Penggunaan transliterasi dalam penulisan tesis ini sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan dalam “Panduan Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”.
F. Tinjauan Pustaka
1. Pemikiran Harta Bersama dalam Perspektif Hukum Islam oleh Iskandar
2. Pembagian Harta Bersama Karena Percaraian pada Masyarakat Islam Jakarta Selatan oleh M. Zein
3. Penyelesaian Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian (Studi Kasus di Pengadilan Agama Tembilahan)
4. Pencaharian Bersama Suami Istri Ditinjau dari Sudut Undang-undang Perkawinan dan Hukum Islam.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan tesis ini dibagi dalam lima bab dengan pembahasan yang berbeda. Pada bab satu merupakan pendahuluan. Bab dua memaparkan landasan teori mengenai gambaran umum tentang ketentuan perkawinan di Indonesia. Bab tiga mendeskripsikam dan memposisikan harta bersama dalam perkawinan. Bab empat merupakan analisis terkait pelembagaan harta bersama di Indonesia. Bab lima merupakan kesimpulan dan saran.
BAB II : HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI TERHADAP HARTA DALAM PERKAWINAN
4 | P a g e A. Pengertian Hak dan Kewajiban
1. Pengertian Hak
Secara etimologi, kata “hak” berasal dari akar kata bahasa arab, yaitu
“haqq” yang artinya; kebenaran, lawan dari kata kezhaliman dan bahagian atau peruntukkan tertentu. Secara terminologi, hak didefenisikan berbeda-beda oleh para ahli. Ada yang mendefenisikan dari segi materi, dan tidak sedikit pula yang memandangnya dari segi non materi. Dari beberapa defenisi yang dikemukakan oleh para ahli, penulis menyimpulkan bahwa hak adalah kekuasan khusus yang
dimiliki oleh seseorang yang ia peroleh berdasarkan ketentuan syara’ untuk
mencapai kemashlahatan. 2. Pengertian Kewajiban
Kewajiban adalah perintah yang dituntut oleh pembuat hukum (dalam hal ini adalah Allah SWT) berupa keharusan untuk melakukan sesuatu atau berupa sanksi dosa bagi yang meninggalkannya. Penjelasan mengenai hak dan kewajiban bagi pasangan suami istri dalam perkawinan secara terperinci telah dijelaskan dalam ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI.
B. Macam-macam Hak dan Kewajiban Suami Istri
1. Hak Istri Terhadap Suami a. Hak Materi
1) Mahar
Mahar merupakan bagian terpenting dalam awal pembentukan rumah tangga dan merupakan pemberian yang wajib diberikan oleh suami kepada istri disebabkan adanya pernikahan. Akad nikah merupakan salah satu penyebab timbulnya hak dan kewajiban di antara kedua belah pihak. 2) Nafkah
Pengaturan masalah nafkah ini dijelaskan dalam al-Qur’an surat
al-Thalaq [65] ayat 7. Ayat ini menjelaskan tentang kewajiban seorang suami untuk memberikan nafkah kepada istrinya, meskipun berapa besarnya tidak ditentukan secara terperinci karena hal ini digantungkan kepada kemampuan.
b. Hak Non Materi
1) Mendapat Perlakuan yang Baik dari Suami
Perkawinan merupakan titik awal pembentukan masyarakat yang kokoh. Oleh sebab itu islam menganjurkan agar suami menunjukkan sikap yang baik dan lemah lembut kepada istrinya. Keduanya diharapakan untuk bisa saling pengertian, saling menghargai dan saling menghormati.
Penulis mengkritik makna hadits yang menyatakan; “Mereka (para istri) adalah orang yang lemah dari segi fisiknya dan membutuhkan orang lain untuk melindunginya”. Karena stereotype wanita seperti itu merugikan, sementara dalam konteks kontemporer tidak sedikit wanita yang menggantikan profesi laki-laki.
2) Mendapat Perlindungan yang Layak dan Wajar
Syari’at Islam mewajibkan suami untuk mencukupi kebutuhan
istrinya, seperti; menjamin nafkah, sandang dan tempat tinggal yang bersifat materi. Tidak hanya sampai di situ, syari’at Islam juga tidak
meremehkan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat kejiwaan (spiritual). 2. Hak Suami Terhadap Istri
Suami mempunyai hak yang ditimbulkan dari kewajiban istri, di antaranya
adalah suami berhak dita’ati dalam hal kebaikan dan tdiak untuk perbuatan
5 | P a g e
dimaksudkan berada dalam konteks rumah tangga yang mengharuskan akan adanya suatu pihak yang memimpin.
3. Hak Timbal Balik antara Suami Istri
Berdasarkan beberapa literatur, penulis menyimpulkan bahwa hak timbal balik antara suami istri adalah melakukan hubungan badan. Hal ini terlihat dari beberapa pernyataan dan argumen yang dikemukakan dalam fiqih yang kemudian diperkuat dengan beberapa dalil. Hal ini juga dijelaskan dalam pasal 34 ayat [3] Undang-undang Perkawinan dan dalam pasal 77 ayat [5] KHI yang menyatakan bahwa salah satu pihak boleh mengadu ke Pengadilan apabila ada salah satu pihak yang melalaikan kewajibannya.
C. Kewajiban Suami Istri Menurut Kompilasi Hukum Islam
1. Kewajiban Suami Terhadap Istri
Kewajiban suami terhadap istrinya adalah; membimbing sitri dalam urusan rumah tangga, melindungi istri dan mencukupi kebutuhannya. Namun, kewajiban suami untuk memberikan nafkah dan tempat tinggal kepada istrinya akan gugur apabila istrinya nusyuz.
2. Kewajiban Istri Terhadap Suami
Kewajiban istri terhadap suami adalah berbakti lahir dan batin kepada suami selama berada dalam batas-batas yang dibenarkan dalam ajaran Islam. Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga dan kebutuhan sehari-hari sebaik-baiknya.
D. Hak Suami Istri Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Mengenai hak suami istri dalam Undang-undang Perkawinan, dijelaskan dalam pasal 31 ayat [1], [2] dan [3]. Demikian juga dalam KHI pada pasal 79 ayat [1], [2] dan [3]. Penulis menyimpulkan bahwa kandungan ayat tersebut inkonsisten dan saling bertentangan. Dalam dua ayat terakhir dinyatakan bahwa kedudukan suami istri adalah seimbang, sementara dalam ayat 1 dinyatakan bahwa suami dipatok sebagai kepala keluarga. Penulis menyimpulkan bahwa pasal-pasal tersebut mengindikasikan pembekuan peran perempuan berdasarkan jenis kelamin, sekaligus mengukuhkan domestikasi perempuan. Sebagai salah satu contoh adalah seorang istri yang ditugaskan untuk mengelola dan mengatur rumah tangga, berimplikasi pada masalah ketenagakerjaan.
BAB III : KONSEP HARTA DALAM PERPSPEKTIF HUKUM INDONESIA
A. Harta Bersama Menurut Hukum Islam
Ajaran Islam tidak menjelaskan secara transparan perihal pembagian harta bersama akibat perceraian. Artinya, Islam tidak mempunyai konsep pembagian harta bersama yang langsung merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah. Namun dapat dipahami dari makna al-Qur’an surat al-Nisa [4] ayat 29. Dari ayat ini ditemukan 3 prinsip dasar dalam pembagian harta bersama.
1. Prinsip Kerjasama
Prinsip kerjasama yang terkait dengan masalah harta adalah hal yang dasar di tengah-tengah masyarakat. Selaku makhluk sosial dan makhluk budaya, manusia mempunyai banyak kekurangan dan membutuhkan orang lain untuk memenuhinya. Hal inilah yang mendorong adanya sikap tolong menolong dan kerjasama guna menutupi kekurangan tersebut.
2. Prinsip Dasar Kepemilikan
6 | P a g e
membutuhkan kepemilikan dari orang lain, suatu kepemilikan tidak akan berfungsi jika tidak dipergunakan untuk orang lain. Untuk pelaksanaanya, diperlukan suatu ketentuan yang baku, agar tidak terjadi kerusakan dan kekacauan.
3. Pendekatan dan Metode
a. Pendekatan Ijma’ (konsensus)
Di Indonesia, sebagian para ahli hukum Islam berpendapat bahwa Undang-undang Perkawinan dan KHI dipandang sebagai fiqih Indonesia. Kesimpulannya, ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut merupakan ijma’ (konsensus/kesepakatan) para ulama di Indonesia.
b. Pendekatan Qiyas (analogi)
Secara umum, metode yang dipergunakan dalam mengkaji harta bersama adalah dengan menggunakan metode analogi (qiyas) antara harta bersama dengan konteks syirkah (perkongsian) dengan didasarkan kepada beberapa hadits.
c. Pendekatan Mashlahah Mursalah
Tidak ada nash dalam al-Qur’an atau sunnah yang melarang akan adanya pembagian harta bersama dalam Islam. Namun di sisi lain, keterbatasan suami dan kerelaan istri untuk berbagi dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga merupakan faktor pendorong terbentuknya harta bersama.
d. Pendekatan Istihsan
Terlepas dari pro dan kontra penggunaan istihsan, metode ini dapat diterapkan dalam mengkaji harta bersama.
e. Pendekatan al-‘Urf (adat kebiasaan)
‘Urf baru bisa diterima apabila telah memenuhi persyaratan tertentu dan tidak berlawanan dengan ketentuan yang sudah ada. Demikian juga halnya dengan harta bersama yang sudah memenuhi persyaratan bisa diterima sebagai hukum.
B. Harta Bersama Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Meskipun dijelaskan dalam istilah yang berbeda, namun ketentuan mengenai
“harta bersama” dalam perkawinan dijelaskan dalam pasal 35, 36, 37 dan pasal 65 ayat [2] dan [3].
1. Pembentukan Harta Bersama
Pada dasarnya, ketentuan mengenai harta bersama telah dijelaskan secara tersirat dalam hukum Islam dan hukum adat yang tidak tertulis. Agar bisa diterapkan dan bersifat mengikat serta memaksa, dibutuhkan suatu legislasi. Bertitik tolak dari kodifikasi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa harta yang diperoleh secara individu atau bersama setelah terjadinya perkawinan, dianggap sebagai harta bersama. Dalam proses selanjutnya, disimpulkan bahwa semua harta yang diperoleh sejak menikah menjadi harta bersama, kecuali warisan dan hibah yang bersifat pribadi bagi penerimanya. Hukum Islam tidak melarang adanya percampuran antara harta pribadi dengan harta bersama, hanya saja dituntut rasa saling pengertian antara suami istri. Oleh sebab itu maka perjanjian dalam perkawinan diperbolehkan.
2. Unsur-unsur dalam Harta Bersama
7 | P a g e
dengan hasil usaha sampingan yang sudah dirintis oleh kedua belah pihak sejak sebelum menikah, apakah ini juga bisa dikategorikan sebagai harta bersama atau tidak.
C. Harta Bersama Menurut Kompilasi Hukum Islam
Konsep harta bersama dalam KHI dijelaskan secara rinci dalam Bab XIII mulai dari pasal 85 sampai pasal 97. Dari KHI dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya keberadaan harta bersama tidak menutup kemungkinan adanya harta masing-masing. Bahkan lebih ditegas dinyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran harta yang diakibatkan karena adanya perkawinan dan ketentuan mengenai harta bersama ditentukan berdasarkan perjanjian. Apabila terjadi perselisihan, maka diselesaikan di pengadilan. Inovasi pembagian harta warisan yang ditawarkan oleh KHI dapat diterima dengan baik oleh masyarakat, karena solusi yang ditawarkan tidak berlawanan dengan adat kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat.
D. Perceraian dan Akibat Hukumnya Terhadap Harta Bersama
1. Kemungkinan Tidak Adanya Harta Bersama Dalam Perkawinan
Hukum Islam meberikan hak kepada masing-masing suami istri untuk mempunyai hak atas harta yang dimilikinya masing-masing, tanpa bisa digugat oleh pihak lain. Harta yang dimiliki suami istri itu terpisah satu sama lain. Dalil yang dipergunakan oleh kelompok ini adalah al-Qur’an surat al-Nisa [4] ayat 32 dan al-Baqarah [2] ayat 233.
2. Kemungkinan Adanya Harta Bersama Dalam Perkawinan
Dalil yang dipergunakan oleh kelompok ini adalah al-Qur’an surat an-Nisa [4] ayat 21 yang kemudian dipertegas dengan al-Qur’an surat al-Maidah [5] ayat 8 yang menjelaskan perihal pembagian harta bersama secara adil dan seimbang. a. Waktu Pembagian Harta Bersama
Apabila suatu ikatan perkawinan putus, maka harta bersama selaku institusi yang memenuhi kewajiban bersama juga ikut bubar dan karenanya maka pembagian harta bersama hendaknya dilakukan secepatnya, karena di dalamnya terhadap hak orang lain.
b. Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian
Ajaran Islam menganjurkan untuk melakukan pembagian harta bersama secara adil. Penulis menyatakan bahwa dari beberapa indikasi yang ada dalam ajaran Islam, terlihat bahwa perkawinan merupakan suatu ikatan lahir bathin yang dibangun secara kuat. Meskipun perceraian merupakan perbuatan halal namun dibenci oleh Allah SWT, untuk menggapai tujuannya dibutuhkan harta bersama.
BAB IV : ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN DAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP KASUS HARTA BERSAMA AKIBAT PERCERAIAN
A. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Kasus yang dianalisis adalah kasus antara Made Hughesia Dewi dengan Achmad Hestiafin Tachtiar. Fokus analisis adalah penyebab perceraian, yaitu; terjadinya pertengkaran terus menerus sehingga tidak bisa mewujudkan rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah. Sementara kondisi empiris yang terjadi di lapangan, Made Hughesia Dewi –yang notabene adalah seorang public figure dengan penghasilan yang besar-- ternyata mempunyai saham dan prosentase yang lebih besar dalam pembentukan harta bersama di antara keduanya.
8 | P a g e
maka seolah-olah istri telah dirugikan secara material. Sementara itu penulis merekomendasikan agar hakim menggunakan haknya untuk memutus perkara di luar ketentuan perundang-undangan namun sesuai dengan nilai-nilai keadilan yang ada dalam masyarakat, dengan memperhatikan keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Kasus seperti ini pada dasarnya tidak akan terjadi seandainya ada batasan yang jelas dalam permasalahan harta dalam perkawinan. Namun permasalahan yang mungkin akan ditimbulkan apakah bentuk perjanjian ini dapat diterima oleh budaya dan masyarakat. Kemudian bagaimanakah sistem pengelolaan dan pendistribusiannya. Pendistribusian harta bersama tidak boleh mengeyampingkan hak-hak orang yang terkait di dalamnya. Dibutuhkan niat baik dan rasa kesungguhan melalui musyawarah dengan kesadaran yang tinggi.
Dalam menganalisis pembagian harta bersama, penulis menguraikan permasalahan kebebasan perempuan dalam memilih pasangan, hak dalam nafkah (jaminan kesejahteraan), hak dalam menikmati hubungan seksual, hak dalam urusan reproduksi dan hak dalam memutuskan perkawinan (talak/perceraian). Pertimbangan tersebut, diharapkan pendistribusian dapat dilakukan secara damai dan meminimalisisr rasa ketidak-puasan masing-masing pihak.
B. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat
Dalam membahas kasus ini, penulis tidak menyebutkan secara jelas identitas para pihak yang terlibat di dalamnya. Namun latar belakang masalahnya adalah kebalikan kasus antara Hughes dengan suaminya, namun dalam kasus ini suami lebih mendominasi dari pada istri. Alasan utama perceraian dalam kasus ini adalah tidak terpenuhinya hak dan kewajiban dalam perkawinan. Dalam hal ini, pihak istri melalaikan kewajibannya, sementara suami telah memenuhi kewajibannya, bahkan istri mengancam akan melakukan perbuatan anarkis dengan alasan ketidak-jujuran suaminya perihal statusnya sebelum menikah.
Akibat dari perceraian ini, suami dikenai mut’ah dan biaya pemeliharaan anak
serta adanya pembagian harta bersama dengan porsi setengah-setengah. Penulis menyimpulkan bahwa putusan Pengadilan Agama yang berkaitan dengan pembagian harta bersama tidaklah didasarkan kepada alasan dan penyebab terjadinya perceraian, namun lebih didasarkan kepada kemashlahatan anak dan istri. Jadi, walaupun harta merupakan penghasilan murni dari suami, namun istri-istri dan anak-anaknya tetap mendapatkan harta dengan pembagian yang telah ditentukan dalam putusan.
C. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat
Identitas para pihak dalam kasus ini tidak dijelaskan oleh penulis. Alasan perceraian dalam kasus ini adalah tidak terpenuhinya hak dan kewajiban suami istri di antara keduanya. Istri telah memenuhi kewajiban yang dibebankan oleh Pengadilan Agama kepadanya dan dia tidak terbukti nusyuz, maka ia berhak menerima haknya dari suaminya. Hak yang dimaksud adalah hak untuk mendapatkan mut’ah dan nafkah iddah.
Berkaitan dengan masalah harta bersama, di antara kedua belah pihak tidak terdapat kesepakatan, maka diajukan ke Pengadilan Agama. Pihak Pengadilan Agama memutus perkara ini sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan keduanya berhak atas bersama. Dalam hal ini, penulis mengkritik penggunaan term
“harta bersama” dalam artian luas seperti dalam beberapa tafsir, namun penulis memberikan batasan penggunaan term ini pada harta bersama yang diperoleh selama perkawinan saja.
9 | P a g e
dilanjutkan dengan alat bukti yang dipergunakan dalam pembuktian. Penulis mengaitkan teori yang dipergunakan hakim dengan kasus yang dianalisis.
D. Putusan Mahkamah Agung RI
Kasus perceraian ini adalah kasus antara Susmianah dengan Karmanudin yang pada tingkat pertamanya diputus oleh Pengadilan Agama Muara Enim dengan mengabulkan gugatan Susmianah. Analisis penulis pada tingkat ini difokuskan pada masalah pembagian gaji suami yang merupakan seorang karyawan PTBA yang disamakan dengan PNS. Penulis menganalisisnya dari tiga tinjauan yaitu sosiologis, filosofis dan yuridis. Secara yuridis, tidak ditemukan suatu ketentuan perundangan-undangan yang mengharuskan suami untuk membagi gajinya dengan istri yang telah diceraikannya. Secara sosiologis, seorang suami tidak mempunyai hak apa-apa terhadap istri yang telah diceraikannya, namun ia tetap mempunya kewajiban untuk menafkahi istriya jika berada istrinya keadaan sulit. Secara filosofis, penulis memandang adanya keganjilan dalam dasar filosofis peraturan tersebut. Hal ini terlihat dengan adanya beberapa perbenturan pasal-pasal.
Untuk lebih menguatkan dasar hukum perceraian, kemudian Susmianah mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Palembang dan dikabulkan. Dalam amar putusannya, Susmianah dinyatakan bercerai dengan suaminya dan berhak memperoleh nafkah serta pembagian harta bersama. Tidak puas terhadap putusan PTA Palembang, kemudian Karmanudin mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan ini dengan alasan bahwa pertimbangan pada PTA Palembang sudah tepat dalam menerapkan hukum.
Pertimbangan-pertimbangan lembaga peradilan tersebut sesuai dengan apa yang dimuat ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, penulis juga menganalisis pasal-pasal yang berkaitan dengan masalah perceraian dan harta bersama. Penulis menyimpulkan bahwa sebagian besar aturan yang ada dalam ketentuan perundang-undangan sudah sesuai dengan fiqih. Namun masih dibutuhkan penyempurnaan dalam hal yang berkaitan dengan permasalahan harta bersama. Diharapkan dengan adaya penyempurnaan ini, akan nada kepastian hukum yang menjamin terjaganya hak di antara kedua belah pihak tanpa ada diskriminasi.
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Proses pembagian harta bersama harus dilakukan dengan itikad baik dan tanpa adanya diskriminasi. Pengelolaan harta bersama adalah berdasarkan porsi yang dihasilkan oleh masing-masing pihak dalam rumah tangga. Pemanfaatan harta bersama adalah perwujudan semangat kerjsasama dan nilai gotong royong yang berkembang pada masyarakat Indonesia.
2. Ada tiga lingkup dalam harta bersama yang harus dibedakan, namun terkadang juga harus disamakan, meliputi penguasaan, pemilikan dan pengelolaannya. Harta bersama yang terbentuk dalam masyarakat adalah berdasarkan perjanjian yang terbentuk secara diam-diam dalam rumah tangga dan menjadi adat yang berlaku dalam masyarakat.
10 | P a g e B. Saran
1. Perlu diadakan edukasi dan sosialisasi perihal harta bersama di tengah masyarakat. Luasnya makna harta bersama menuntut adanya singkronisasi antar ketentuan perundang-undangan.
2. Pengundang-undangan aturan pengurusan masalah surat-surat tanah antara suami istri oleh Badan Pertanahan Nasional.
11 | P a g e RESUME II
PEMIKIRAN HARTA BERSAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Oleh : Iskandar (NIM 02.2.00.1.01.01.0035)
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keberadaan harta bersama dalam perkawinan di Indonesia pada dasarnya diawali dengan adanya adat kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat yang mengenal tidak adanya pembatasan atas harta antara suami istri. Dalam kondisi ini, hak dan kewajiban rumah tangga terutama yang berkaitan dengan masalah pembelanjaan harta diatur secara ketat. Ketentuan hukum Islam pada dasarnya tidak pernah membahas masalah harta bersama dalam perkawinan. Tidak ada seorang ulama dari mazhab yang masyhur berbicara perihal harta bersama dalam kitab-kitabnya sebagaimana yang dijelaskan dalam adat istiadat.
Ismuha berpendapat bahwa pada dasarnya pelembagaan harta bersama setidaknya dapat dikategorikan ke dalam bahasan mu’amalah. Ketiadaan pembahasan masalah harta bersama dalam kitab fiqih klasik dapat diterima karena melihat kepada latar belakang perkembangan mazhab tersebut yang berada di daerah Arab. Sementara dalam adat daerah Arab, tidak pernah dikenal adanya harta bersama dalam perkawinan. Ismuha dan Sayuti Thalib sama-sama berpendapat bahwa pelembagaan harta bersama bisa digolongkan shirkah.
Praktek harta bersama di Indonesia berbeda-beda sesuai dengan adat dan kebiasaan yang berlaku di daerah masing-masing. Hazairin berpendapat bahwa tidak ditemukan dalam kitab suci agama mana pun perihal harta bersama. Dalam Islam, meskipun pembahasan mengenai harta bersama tidak pernah dijelaskan dalam
al-Qur’an, hal itu bukan berarti praktek harta bersama dilarang. Praktek harta bersama
boleh dilaksanakan dan harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Pembahasan harta bersama di Indonesia dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pembahasan harta bersama dalam tesis ini dibatasi pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Permasalahan pokok yang dibahas dalam tesis ini adalah bagaimanakah pemikiran harta bersama di Indonesia dalam perpsepktif hukum Islam? Pertanyaan ini kemudian dikembangkan dalam 3 minor research question, yaitu; apakah pemikiran harta bersama di Indonesia telah sesuai dengan shar’iyyah Islamiyyah ? ; bagaimana kedudukan shirkah harta bersama suami istri dengan shirkah dalam perdagangan ? ; dan bagaimanakah hukum Islam merespon pemikiran harta bersama di Indonesia ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui kesesuaian pemikiran harta bersama di Indonesia dengan
shar’iyyah Islamiyyah ;
b. Untuk mengetahui hubungan shirkah harta bersama suami istri dengan shirkah dalam perdagangan ;
12 | P a g e
2. Kegunaan Penelitian
a. Sebagai tambahan informasi bagi pemerhati hukum Islam khususnya yang berkaitan dengan harta bersama dalam perkawinan ;
b. Memperkaya khazanah ilmu pengetahuan.
D. Metodologi Penelitian
Penelitian dalam tesis ini adalah library research (kajian kepustakaan) dengan menggunakan metode analisis deskriptif. Metode pendekatan yang dipergunakan adalah sosio-historis dan yuridis normatif. Pendekatan sosio-historis dipergunakan untuk menguraikan konstruksi hukum. Sedangkan pendekatan yuridis normatif dipergunakan untuk melihat dan mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Sumber primer dalam pembahasan tesis ini adalah Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan sumber sekunder adalah buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan harta bersama.
E. Studi Kepustakaan
1. Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Istri Ditinjau dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam (Tesis Doktor yang dibukukan);
2. J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan (1991);
3. Lukman Chatib, Pelaksanaan Pembagian Harta Bersama dalam Perkawinan di Kalangan Masyarakat Minangkabau Sumatera Barat (1981);
4. Tim Peneliti Fakultas Syari’ah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pelaksanaan Pembagian Harta Kekayaan Suami Istri Akibat Putusnya Perkawinan (1994).
F. Kerangka Teori dan Operasional
Pemikiran berarti cara atau hasil dari berpikir secara dalam; pendapat yang telah dipikirkan terlebih dahulu sehingga dapat diterima dan dijadikan bahan ilmiah. Harta bersama adalah harta kekayaan yang didapatkan oleh pasangan suami istri selama perkawinan berlangsung di luar hadiah atau hibah, kedua belah pihak yang bekerja tidak mempersoalkan atas nama siapa harta yang didapatkan.
Peningkatan hukum Islam menjadi hukum positif sesuai dengan ketentuan perundang-undangan mengenai bidang hukum. Perkembangan masyarakat Islam di Indonesia pada abad sekarang telah merubah paradigma berpikir. Pemikiran-pemikiran mengenai harta bersama di Indonesia telah dibahas secara sistematis dan dikategorikan dalam bahasan hukum kekeluargaan.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan tesis ini dibagi dalam lima bab dengan pembahasan yang berbeda. Pada bab satu merupakan pendahuluan. Bab dua memaparkan landasan teori mengenai gambaran umum tentang ketentuan perkawinan di Indonesia. Bab tiga mendeskripsikam dan memposisikan harta bersama dalam perkawinan. Bab empat merupakan analisis terkait pelembagaan harta bersama di Indonesia. Bab lima merupakan kesimpulan dan saran.
BAB II : KETENTUAN HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA
A. Perkawinan Dalam Perspektif Hukum Islam
1. Pengertian Perkawinan
a. Pengertian Nikah Secara Bahasa
13 | P a g e
makna hakiki dan makna majazi. Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah secara hakiki adalah konteks hubungan badan. Sedangkan nikah dalam artian majazi adalah adanya akad.
b. Pengertian Nikah Menurut Ulama Ushul
Ulama kelompok Hanafi mendefenisikan nikah secara hakiki dengan adanya hubungan badan. Sedangkan secara majazi, nikah itu adalah akad yang
menghalalkan hubungan seksual. Ulama kelompok Syafi’i dan Maliki
memberikan defenisi bahwa nikah dalam artian hakiki adalah akad yang terjadi antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan nikah secara majazi adalah adanya hubungan badan. Perbedaan sudut padang ini berakibat pada perbedaan pendapat terhadap nasab anak yang dilahirkan dari hubungan seksual di luar akad. Bertitik tolak dari beberapa ayat al-Qur’an dan kepastian
hukum, penulis lebih cenderung mendukung pendefenisian nikah sebagai akad yang menghalalkan hubungan seksual.
c. Pengertian Nikah Menurut Ulama Fiqih
Para ulama fiqih memberikan defenisi nikah itu dalam bahasa mereka sendiri. Namun dalam pendefenisian ini, mereka berbeda redaksi dalam penyampaian, namun mempunyai substansi yang sama. Defenisi nikakh yang relevan dan mempunyai aspek hukum dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah dalam kitab al-Ahwal asy-Syakhshiyyah, “nikah adalah akad yang
menghalalkan hubungan badan antara laki-laki dan perempuan, saling bantu
membantu dan ada hak serta kewajiban yang diperoleh oleh keduanya”.
2. Hukum Asal Perkawinan
Para ulama sepakat bahwa nikah disyari’atkan dalam ajaran Islam. Perbedaan pendapat terjadi dalam penentuan hukum asal nikah itu sendiri. Dalil-dalil yang dipergunakan adalah QS. al-Nisa’ [4] ayat 3, al-Nur [24] ayat 32, hadits nomor 5066 riwayat Bukhari Muslim dalam kitab Shahih Bukhari, hadits nomor 1402 riwayat Bukhari Muslim dalam kitab Shahih Muslim. Alasan utama yang menyebabkan perbedaan pendapat ulama dalam menentukan hukum asal nikah itu sendiri adalah dikarenakan perbedaan dalam memahami perintah-perintah yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits. Jumhur ulama menyatakan bahwa hukum asal nikah itu adalah sunat, sebagaimana yang dinyatakan Nabi dalam
sabdanya bahwa “nikah itu adalah sunnahku”. Ulama dari golongan al-Dzahiri berpendapat bahwa hokum asal nikah itu adalah wajib, karena perintah nikah yang dijelaskan dalam al-Qur’an menggunakan fi’il amr. Sementara itu, hakikat dari amr itu sendiri adalah wajib.
3. Hukum Perkawinan Dilihat dari Kondisi Seseorang
a. Wajib, apabila ia telah mampu untuk membiayai kehidupan rumah tangga dan ia tidak bisa lagi menahan gejolak nafsunya untuk melakukan hubungan badan, sementara ia takut berbuat dosa.
b. Sunat, apabila seseorang dihukum sunat untuk menikah apabila ia telah mampu untuk berumah tangga dan memikul beban dalam perkawinan, namun ia mampu menahan nafsunya. Namun ia lebih diutamakan untuk nikah.
c. Haram, apabila seseorang yang tidak mempunyai kemampuan untuk membiayai kehidupan rumah tangga namun ia sangat ingin menikah. Ia yakin jika seandainya ia menikah, ia akan aniaya.
d. Makruh, apabila seseorang yang sudah mampu untuk menikah dan tidak takut akan godaan berzina, namun ia khawatir tidak akan mampu memenuhi kewajibannya kepada istrinya.
14 | P a g e
4. Sahnya Perkawinan a. Rukun Perkawinan
1) Akad nikah, adanya ijab dan qabul;
2) Adanya pasangan calon mempelai laki-laki dan perempuan; 3) Adanya wali dari calon mempelai perempuan;
4) Adanya dua orang saksi b. Syarat Perkawinan
1) Syarat yang berhubungan dengan akad, seperti kronologis akad, materi akad, tidak muhrim;
2) Syarat yang harus disempurnakan sebagai suatu susunan, seperti tanpa batasan waktu, kerelaan di antara keduanya, adanya mahar;
3) Syarat yang berkaitan dengan keabsahan akad, seperti; kemerdekaan suami dan adanya izin dari wali perempuan;
4) Syarat yang berkaitan dengan kelestarian akad (menurut ulama kelompok Hanafi saja), seperti; hierarki perwalian dan kafaah.
5. Hak dan Kewajiban Suami Istri
a. Hak dan Kewajiban Bersama Suami Istri
1) Hak bersama suami istri, meliputi hak saling mewarisi setelah berlangsungnya akad nikah, hak untuk saling bergaul dengan baik.
2) Kewajiban bersama suami istri adalah membina hubugan rumah tangga yang harmonis yang didasari kepada rasa kasih sayang.
b. Hak istri dalam rumah tangga merupakan kewajiban suami, meliputi hak materil seperti kebutuhan rumah tangga (pangan, sandang, papan) dan non materil seperti bergaul dan menghormati istrinya.
c. Hak suami dalam rumah tangga merupakan kewajiban istri, meliputi kepatuhan istri terhadap suami dengan penuh keikhlasan, dan kesabaran. 6. Nafkah Rumah Tangga
Nafkah dalam konteks ini adalah nafkah dalam bentuk materi berupa pangan, sandang dan papan. Suami diharuskan memenuhi kebutuhan dalam rumah tangga dengan cara yang baik (ma’ruf). Prinsip pemisahan harta dalam perkawinan merupakan kosekuensi logis dari pembebanan pemenuhan nafkah kepada suami, sekalipun istri berasal golongan yang mampu. Dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, harta yang diperoleh setelah menikah menjadi harta bersama, tanpa membedakan siapa yang mencarinya. Kondisi dan situasi masyarakat Indonesia sekarang menghendaki adanya batasan dan ketentuan pencaharian bersama.
7. Tujuan dan Hikmah Perkawinan
a. Ditinjau dari aspek agama, perkawinan merupakan ikatan yang teguh bukan saja antara dua orang saja, ia merupakan penyatuan dua keluarga.
b. Ditinjau dari segi hukum, perkawinan merupakan ikatan kontrak dalam konteks hubungan perdata yang menimbulkan hak dan kewajiban.
c. Dalam konteks sosial, perkawinan merupakan ikatan persaudaraan dan rasa kasih sayang sehingga akan menguatkan hubungan masyarakat.
B. Perkawinan Dalam Perspektif Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa (pasal 1).
15 | P a g e
namun lebih ke arah hubungan jangka panjang yang bahagia dan kekal sejahtera dengan didasarkan kepada prinsip Ketuhanan.
2. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Maksudnya adalah pembinaan rumah tangga secara sah merupakan tanggung jawab kedua belah pihak dengan tujuan untuk memperoleh kebahagiaan dari sisi materil dan spiritual. Nilai-nilai ketuhanan yang dimaksudkan bertujuan untuk mencapai kondisi rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
3. Sahnya Perkawinan
Perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing, sepanjang tidak bertentangan dan tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini (pasal 2 ayat [1]). Maksud pasal ini adalah, apabila sebuah perkawinan dilakukan dengan menyalahi ketentuan agama, maka perkawinan itu dianggap tidak sah dan dianggap belum pernah terjadi sehingga tidak menimbulkan akibat hukum apapun dan juga tidak mengikat bagi pihak manapun. Perkawinan juga harus dicatatkan (pasal 2 ayat [2]) yang merupakan bukti otentik telah terjadinya hubungan kontrak keperdataan yang berguna untuk melindungi hak-hak kedua belah pihak.
4. Syarat Sah Perkawinan
Berbeda dengan konsep fiqih, undang-undang perkawinan tidak memberikan penjelasan dan batasan mengenai rukun perkawinan ia hanya memberikan batasan dalam bentuk syarat-syarat. Keabsahan perkawinan yang digantungkan kepada ketentuan keagamaan merupakan inti dalam undang-undang ini. Ketiadaan pembahasan mengenai rukun perkawinan tidak berarti undang-undang ini “lepas tangan” dalam konteks ini. Ia tetap memberikan batasan-batasan tertentu.
a. Syarat Materil yang Berlaku Umum
1) Harus ada persetujuan dari kedua mempelai (pasal 6 ayat [1]) 2) Usia minimal pria 19 tahun dan wanita 16 tahun (pasal 7 ayat [1]) 3) Tidak berada dalam ikatan perkawinan (pasal 9), poligami lain hal. 4) Tidak sedang ber-iddah (pasal pasal 11)
b. Syarat Materil yang Berlaku Khusus
1) Tidak melanggar larangan perkawinan (pasal 8-10)
2) Izin dari orang tua bagi yang di bawah usia minimal (pasal 6 ayat [2]) c. Syarat Formil
1) Melaksanakan pencatatan perkawinan (pasal 2 ayat [2])
2) Mengadakan pemberitahuan kehendak perkawinan (pasal 3 ayat [1]) 3) Pelaksanaan pengumuman oleh pengawai pencatat perkawinan 4) Penandatanganan akta perkawinan (pasal 11 ayat [1])
5. Hak dan Kewajiban Suami Istri
Penjelasan mengenai hak dan kewajiban suami istri dijelaskan dalam ketentuan pasal 30-34. Suami istri dibebani kewajiban untuk menegakkan rumah tangga yang merupakan sendi dasar masyarakat. Suami istri mempunyai kedudukan yang seimbang dalam rumah tangga, dan masing-masing mempunyai kesempatan yang sama dalam bertindak hukum. Suami menjadi kepala keluarga dan istri menjadi ibu rumah tangga.
6. Perjanjian Perkawinan
16 | P a g e
juga harus diketahui oleh Pencatat Perkawinan, dan mengikat para pihak yang disebutkan di dalamnya.
C. Perkawinan Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam
1. Dasar-dasar Perkawinan
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqa ghalidha untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah (pasal 2). Tujuan perkawinan adalah membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah (pasal 3).
2. Rukun dan Syarat Perkawinan
KHI menjelaskan rukun dan syarat perkawinan yang diakomodasi dari ketentuan fiqih klasik. Rukun perkawian dijelaskan dalam pasal 14, yaitu; calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi serta ijab kabul. Sedangkan syarat nikah disesuaikan dengan undang-undang. Dalam KHI, batasan minimal bagi calon mempelai laki-laki adalah 21 tahun dan 19 tahun bagi perempuan.
3. Perjanjian Perkawinan
Berbeda dengan undang-undang, KHI mengatur perjanjian kawin secara panjang lebar dalam pasal 45-52. Taklik talak dikategorikan sebagai perjanjian kawin. Berkaitan dengan harta, boleh dilaksanakan perjanjian.
BAB III : SUMBER DAN KEDUDUKAN HARTA BERSAMA DI INDONESIA
A. Ruang Lingkup Harta Kekayaan Bersama
1. Penghasilan Suami Istri
Harta dalam perkawinan dijelaskan dalam pasal 35 undang-undang perkawinan. Harta yang dihasilkan oleh masing-masing individu setelah berlakunya akad perkawinan menjadi harta yang dikuasai secara bersama. Harta pencaharian suami istri menjadi harta bersama sesuai dengan ketentuan dalam Keputusan Mahkamah Agung Nomor 454 K/Sip/1970 tanggal 11 Maret 1971. 2. Harta Benda yang Dibeli Selama Perkawinan
Semua harta benda yang dimiliki dengan pembelian setelah perkawinan menjadi harta bersama. Objek batasan dalam konsep ini adalah waktu pembelian harta tersebut, bukan dengan harta masing-masing pihak. Hal ini sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung No. 803 K/Sip/1970 tanggal 5 Mei 1970.
3. Penghasilan Harta Pribadi
Dalam konteks harta pribadi yang telah dimiliki sejak sebelum perkawinan, maka yang menjadi harta bersama hanyalah penghasilan yang didapatkan setelah akad, objek pokok dari harta tersebut tetap milik pribadi.
4. Harta yang Dibuktikan Diperoleh dalam Perkawinan
Semua harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan dikategorikan sebagai harta bersama. (Mahkamah Agung No. 808 K/Sip/1974). 5. Harta yang Dibeli Sesudah Perceraian
Suatu harta atau benda bisa dikategorikan sebgai harta bersama apabila harta tersebut dibeli dengan menggunakan harta bersama, sekalipun telah terjadi perceraian. Hal ini sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung No. 803/Sip/1972 tanggal 5 Mei 1970.
B. Perkawinan dan Harta Bersama Dalam Perspektif Hukum Adat
1. Bentuk Perkawinan
a. Bentuk Perkawinan Masyarakat Patrilineal
17 | P a g e
Dalam perkawinan ini, pihak keluarga istri menyerahkan perempuan sebagai magis-religious sehingga istri terlepas dari pertalian darah keluarganya dan masuk dalam keluarga suaminya secara utuh dan tidak ada pemisahan harta. Harta yang diperoleh istri dari orang tuanya menjadi hak milik dan dikuasai oleh suaminya. Di daerah Lampung, juga berlaku konsep patrilineal beralih-alih.
b. Bentuk Perkawinan Masyarakat Matrilieal
Konsep perkawinan dalam masyarakat ini adalah, laki-laki yang mengawini perempuan tetap berada dalam clan atau kekeluargaan masing-masing, namun keturunan akan ditarik dari garis ibu, seperti yang berlaku di daerah Minangkabau Sumatera Barat (corak exogami).
c. Bentuk Perkawinan Masyarakat Parental
Konsep masyarakat parental adalah keturunan yang dilahirkan menjadi bagian dari keluarga kedua belah pihak.
2. Harta Bersama Menurut Hukum Adat a. Harta Bawaan Suami Istri
Masyarakat patrilineal dalam kawin jujur, harta bawaan masing-masing pihak dikategorikan harta bersama yang dikuasai oleh suami. Berbeda dengan masyarakat matrilineal.
b. Harta Penghasilan Suami Istri
Berbagai istilah dipergunakan dalam mendefenisikan harta bawaan di Indonesia. Harta ini tetap menjadi milik pribadi setelah perkawinan.
c. Harta Pemberian yang Ditujukan Kepada Suami Istri
Masyrakat patrilineal mengenal harta bawaan yang termasuk di dalamnya hibah atau warisan sebagai harta milik pribadi yang tidak akan berpidah penguasaannya. Pada masyarakat matrilineal Minangkabau, tidak harta warisan yang dapat dimiliki secara pribadi. Harta atau “pusako” adalah
milik suatu keluarga, dan hanya bisa dipakai, tidak dimiliki pribadi. Pada masyarakat patrilineal Batak, harta yang diperoleh istri akan menjadi milik bersama di bawah penguasaan suami.
d. Harta pencaharian bersama suami istri
Ada berbagai istilah yang dipergunakan untuk harta jenis ini. Namun dalam pembagiannya tetap secara adil dengan membagi dua harta tersebut. Hal ini diperkuat dengan yurisprudensi Mahkamah Agung No. 393 K/Sip/1958 tanggal 7 Maret 1959.
C. Harta Bersama Dalam Perspektif Burgerlijk Wetboek (BW)
Pembahasan harta bersama dalam BW dijelaskan dalam bab VI pasal 119-138. Harta bersama dalam perkawinan tergantung dari ada atau tidaknya perjanjian yang dibuat sebelumnya (huwelijkse voorwaarden). Perkawinan merupakan institusi peleburan harta secara bulat, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian. Keberadaan perjanjian mengenai harta diperbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan norma susila dan dilaksanakan di hadapan notaries dalam bentuk akte. Meskipun harta tersebut adalah harta bersama, dalam penggunaannya istri harus mendapatkan persetujuan suami karena ia tidak cakap hokum (albekwaam).
D. Harta Bersama Dalam Perspektif Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
18 | P a g e
memperhatikan siapa yang mencarinya. Suami dan istri diberikan hak dan kewajiban untuk menjaga dan menggunakannya.
E. Harta Bersama Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam
KHI mengakui adanya pelembagaan harta bersama suami istri dalam perkawinan (pasal 85-97). Keberadaan harta bersama dengan harta bawaan adalah terpisah, meskipun ada percampuran harta. Harta bawaan tetap dikuasai secara pribadi, sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian. Apabila terjadi perselisihan yang berkaitan dengan masalah harta, harus diselesaikan di Pengadilan Agama. Suami istri bertanggung jawab untuk menjaga harta tersebut dan merhak untuk menggunakan harta kekayaan bersama.
Harta bersama dapat dijadikan barang jaminan (borg) yang meliputi benda bergerak dan tidak bergerak serta surat berharga. Hutang keluarga terpisah dengan hutang pribadi. Harta bersama dalam perkawinan poligami dihitung berdasarkan tanggal pelaksanaan perkawinan. Kedua belah pihak berhak untuk mengajukan sita jaminan terhadap harta bersama. Ketentuan pembagian harta bersama akibat cerai hidup ataupun cerai mati adalah seperdua.
BAB IV : PELEMBAGAAN HARTA BERSAMA DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Kedudukan Harta Bersama dalam Hukum Islam
1. Tidak Ada Harta Bersama Suami Istri dalam Perkawinan
Hukum Islam memberikan hak secara bebas kepada masing-masing individu untuk memiliki harta tanpa digugat oleh siapapun. Dalil yang dipergunakan adalah QS al-Nisa; [4] ayat 32, yang kemudian dipertegas dengan QS al-Baqarah [2] ayat 233 dan QS al-Thalaq [65] ayat 7. Ketiadaan pelembagaan harta bersama itu merupakan konsekuensi logis dari tanggung jawab suami selaku kepala keluarga dalam memenuhi kebutuhan dalam keluarganya dalam hal nafkah. Usaha pemenuhan kebutuhan rumah tangga, semuanya harus dilaksanakan dengan mufakat. Hanya saja, suami harus menyadari bahwa pemenuhan nafkah keluarga adalah tanggung jawabnya.
2. Tidak Ada Harta Bersama Suami Istri Kecuali dengan Shirkah
Kewajiban seorang suami adalah memberikan sebagian hartanya dalam konteks nafkah kepada keluarganya. Percampuran harta yang diperoleh suami dengan harta istri dalam perkawinan dinamakan dengan shirkah, yang dapat terjadi secara resmi dan mengikuti persyaratan tertentu. Sayuti Thalib menyatakan bahwa shirkah ini sangat penting mengingat dalam kenyataan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Ismuha menyatakan bahwa harta bersama suami istri dikategorikan dengan shirkah ‘abdan al-muwafad}ah.
3. Ada Harta Bersama Suami Istri dalam Perkawinan
Pendapat ini menyatakan bahwa ada harta bersama dalam perkawinan meskipun sebelumnya tidak diadakan perjanjian dalam bentuk shirkah, sebagaimana yang dimaksud dalam QS al-Nisa’ [4] ayat 21. Penentuan mengenai harta bersama dalam perkawinan merupakan kewenangan masyarakat untuk menentukan dengan catatan tidak menyalahi ketentuan yang ada. Keberadaan harta bersama berpijak dari kebiasaan (‘urf).
B. Pencaharian Bersama Antara Suami Istri Ditinjau dari Sudut Syirkah
1. Istilah dan Pengertian Shirkah
19 | P a g e
orang atau lebih dalam usaha di mana kedua belah pihak mempunyai kontribusi dan berkomitmen untuk menanggung laba dan rugi bersama dengan syarat dan ketentuan tertentu.
2. Dasar Hukum Shirkah
Dasar hukum pelaksanaan shirkah adalah QS al-Nisa’ [4] ayat 12 dan
hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, hadits nomor 3383 dalam kitab Sunan Abu Daud.
3. Bentuk-bentuk Shirkah
a. Sharikatu al-Inan (perserikatan terbatas), merupakan perserikatan harta antar dua orang atau lebih dalam pembentukan suatu usaha. Pengelolaan dilakukan secara bersama dengan pembagian yang sudah ditentukan, tanpa harus disyaratkan persamaan modal.
b. Sharikatu al-Muwafad}ah (perserikatan tak terbatas), merupakan perserikatan antara dua pihak atau lebih dengan porsi yang tidak ditentukan, baik dalam modal ataupun pengelolaannya.
c. Sharikatu al-‘Abdan (perserikatan tenaga), merupakan perserikatan yang yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam mengelola dan mengerjakan suatu pekerjaan dengan pembagian yang disepakati.
d. Sharikatu al-Wujuh (perserikatan kepercayaan), merupakan perserikatan antara dua pihak atau lebih dengan modal yang diberikan dari pihak luar. e. Sharikatu al-Mud}arabah, merupakan kerjasama antara pemilik modal dengan
orang mempunyai keahlian dalam berdagang, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan dan rugi ditanggung oleh pemilik modal.
C. Wewenang Suami Istri Terhadap Harta Bersama
Berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam pasal 36 UUP, dapat disimpulkan bahwa suami dapat bertindak atas harta bersama dengan persetujuan istri dan demikian juga sebalikya. Wewenang suami dan istri terhadap harta bersama adalah menjaganya, dan menggunakannya secara bertanggung jawab (KHI pasal 89-90). Harta bersama merupakan harta yang dalam pengaturannya harus dilakukan secara bersama guna menjaga keserasian dan keseimbangan dalam keluarga.
D. Pembagian Harta Bersama
Pelembagaan harta bersama yang dimaksud undang-undang merupakan perwujudan dari kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan adat masyarakat. Apabila suatu perkawinan putus, maka pembagian harta ditentukan oleh masing-masing (pasal 37). Ketentuan pasal ini ternyata sangat kontradiktif dengan berbagai ketentuan yang sudah disahkan sebelumnya. Yahya Harahap dan Hazairin menghendaki adanya penafsiran yang lebih rinci terhadap pasal ini. Mahkamah Agung pun dalam putusan No. 51K/Sip/1956 dan 424 K/Sip/1959 menyatakan bahwa pembagian harta bersama adalah seimbang. Bagi warga Negara yang beragama Islam, pasal 97 KHI merupakan pelaksanaan dari paal 37 UUP.
E. Implikasi Harta Bersama Terhadap Warisan
20 | P a g e F. Analisa Pelembagaan Harta Bersama di Indonesia
UUP merupakan salah satu bentuk unifikasi peraturan yang bersifat nasional yang di dalamnya ditentukan pelembagaan harta bersama. Meskipun tidak ada anjuran atau larangan dalam al-Qur’an dan hadits yang membahas masalah harta
bersama, namun kebutuhan pengaturan untuk pemagian harta bersama sangat dibutuhkan dalam masyarakat untuk membangkitkan tanggug jawab dalam rumah tangga. Ketentuan ini mengakui adanya harta bawaan yang dikuasai sepenuhnya secara pribadi dan keberadaan harta bersama. Hazairin memandang bahwa
pengaturan ini sudah sesuai dengan syari’at Islam. Ismuha berpendapat bahwa
kehidupan masyarakat Indonesia yang agraris mengakibatkan adanya pembentukan
shirkah ‘abdan al-muwafad}ah dalam harta. Pemikiran ini perlu dikaji ulang mengingat semakin berkembangnya lapangan pekerjaan, sehingga dibutuhkan suatu solusi yang adil dan berimbang. Pelembagaan harta bersama ini menghilangkan pandangan bahwa istri kurang atau bahkan tidak berperan dalam pembentukan harta bersama.
Keberadaan KHI pasal 89-97 merupakan bentuk ijtihad kontemporer untuk mengisi kekosongan hukum yang terjadi selama ini di Indonesia, yang kemudian menjadi terobosan baru dalam pembanguan hukum di Indonesia. Pertimbangannya adalah kemashlahatan dalam rumah tangga dan dapat dibuktikan.
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan
1. Pelembagaan harta bersama dalam UUP dan KHI merupakan hasil ijtihad umat
Islam yang sejalan dengan ajaran dalam syari’at Islam.
2. Shirkah ini tidak bisa disamakan dengan shirkah dalam mu’amalah. Penelitian Ismuha hanya mencari landasan hukumnya saja, bukan dalam rumah tangga. 3. Pelembagaan harta bersama di Indonesia merupakan terobosan baru dalam
menjamin hak-hak suami istri dalam rumah tangga.
B. Saran-saran
1. Pemikiran perkembangan hukum Islam juga harus berorientasi kepada konteks sosial agar bisa menjawab permasalahan kontemporer masyarakat.
2. Penyebarluasan peraturan yang berkaitan dengan pelembagaan harta bersama dibutuhkan agar dipahami oleh kalangan masyarakat.
3. Diharapkan Departemen Agama –sekarang Kementerian Agama—mengadakan sosialisasi UUP dan KHI terhadap masyarakat.
4. Diharapkan kepada mahasiswa Fakultas Syari’ah agar bisa menjadi lokomotif
21 | P a g e RESUME III (CRITICAL REVIEW)
KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM SISTEM PERADILAN AGAMA (Studi Kasus di PA Wilayah Sumatera Utara Medan)
Oleh : Sahliah Hasibuan (NIM 295 PTU 115)
BAGIAN PERTAMA PENDAHULUAN
Critical review ini merupakan tugas akhir dalam mata kuliah Pendekatan dan Metodologi Studi Islam (PMSI) pada Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tesis yang reviewer pilih adalah tesis karya Sahliah Hasibuan NIM 295 PTU 115 dengan
judul “Kedudukan Anak Angkat dalam Sistem Peradilan Agama (Studi Kasus di PA Wilayah Sumatera Utara Medan)” dengan tebal 135 + vi halaman. Tesis ini diselesaikan
tahun 1999 dengan Pembimbing I Prof. Dr. Chuzaimah T. Yanggo dan Pembimbing II Dr. Nurhadi Magetsari.
Reviewer sengaja memilih tesis ini karena memiliki tema yang sama dengan proposal tesis yang sedang reviewer garap. Dari hasil penelusuran reviewer pada katalog tesis di Perpustakaan Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, hanya tesis yang membahas permasalahan hukum Islam dengan tema pengangkatan anak atau adopsi.
Dalam mengkritisi tesis ini, penulis membagi menjadi empat bagian. Bagian pertama berisikan pendahuluan, bagian kedua berisikan resume tesis, bagian ketiga berisikan kritik terhadap teori dan metodologi serta alternative design. Sedangkan bagian keempat berisikan penutup.
BAGIAN KEDUA RESUME TESIS
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Tradisi pengangkatan anak pada dasarnya sudah dikenal sejak zaman pra-Islam, tidak hanya terbatas pada daerah Romawi dan Yunani kuno saja, hal ini juga terjadi di Arab sendiri. Nabi Muhammad sendiri pernah melakukan adopsi sebelum masa kerasulannya. Beliau mengadopsi Zaid ibn Haritsah dan memberikannya nasab ibn Muhammad. Namun, setelah masa kerasulannya, turun firman Allah surat al-Ahzab [33] ayat 4-5 yang melarang pengangkatan anak menjadi anak kandung. Ketiadaan hubungan nasab ini juga dijelaskan dengan kebolehan menikahi bekas istri anak angkat dalam surat al-Ahzab [33] ayat 37.
Penyelesaian masalah adopsi dalam konteks Indonesia, merupakan kompetensi peradilan agama sebagaimana yang dijelaskan dalam UU No.7/1989. Sebagai landasan teknis pelaksanaannya, kemudian diadakan kodifikasai Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sebelum adanya KHI, sering terjadi perbedaan putusan antara hakim dalam substansi perkara yang sama. Hal ini dikarenakan dasar hukum yang dipergunakan adalah 13 kitab fiqih yang berbeda berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama Departemen Agama RI No. B/1/735 yang kemudian diikuti oleh UU No. 1/1974 dan PP No. 28/1977.
22 | P a g e B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Masalah yang diteliti dalam tesis ini hanya pada Pengadilan Agama Kotamadya Medan dengan 4 rumusan masalah berikut; apakah anak angkat bisa menjadi ahli waris dari orang tua angkat ?; apakah orang tua angkat dapat mewarisi dari anak angkatnya ?; bagaimana status terhadap orang tua angka angkat, apakah saling mewarisi ?; bagaimana persepsi hakim terhadap eksistensi anak angkat ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data otentik tentang kedudukan dan eksistensi orang tua angkat dan anak angkat dalam hal hak dan kewajiban sehingga bisa dijadikan rujukan masyarakat luas. Diharapkan tulisan ini juga memberikan sumbangan bagi masyarakat luas.
D. Telaah Pustaka
Sepengetahuan penulis, belum ada tesis yang membahas eksistensi anak angkat dalam sistem peradilan agama.
E. Metode Penelitian
1. Penentuan Subjek Penelitian
Subjek penelitian dalam tesis ini adalah hakim-hakim di Pengadilan Agama di Sumatera Utara, karena berhak untuk memutus perkara adopsi.
2. Pemilihan Setting Penelitian
Penelitian dilakukan di Pengadilan Agama yang berada di wilayah Sumatera Utara.
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara, berkenaan dengan persepsi subjek penelitian terhadap topik. b. Observasi terhadap persepsi hakim dalam memutus perkara adopsi. 4. Analisa Data
a. Reduksi data, merupakan pengelompokkan dan penyusunan data. b. Display data, pengelompokan data dalam konteks hubungannya. c. Verifikasi data, merupakan pengambilan kesimpulan.
F. Sistematika Pembahasan
Pembahasan lebih rinci dijelaskan dalam beberapa bab berikut. Bab pertama berisikan pendauluan, bab kedua menjelaskan keadaan geografi dan demografi daerah penelitian, bab ketiga berisikan kajian tentang anak angkat dan permasalahannya, bab keempat berisikan bahasan mengenai anak angkat dalam system Undang-undang Negara dan bab kelima merupakan penutup.
BAB II : GEOGRAFI DAN DEMOGRAFI A. Keadaan Daerah
Secara geografis, Kotamadya Medan berada di 3 30˚ - 3 43˚ LU dan 98 35˚ - 98 44˚ BT. Sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah barat, timur dan selatan dengan Dati II Deli Serdang. Secara topografis, miring ke Utara pada ketinggian 2.5 – 37.5 m di atas permukaan laut, dengan suhu udara berkisar antara 23˚-32˚
Celsius, dengan kelembaban serta curah hujan relatif tinggi.
23 | P a g e B. Keadaan Penduduk
Berdasarkan data Pusat Statistik Kotamadya Medan, jumlah penduduk pada tahun 1996/1997 adalah 1.947.017 jiwa (7.344 jiwa/km2) yang didominasi oleh
generasi muda berusia antara 0-14 tahun. Pembangunan kependudukan di Medan adalah pengendalian kuantitas dan peningkatan kualitas untuk mewujudkan kualitas hidup yang lebih baik.
C. Keadaan Sosio-Kultural
Masyarakat Kotamadya Medan adalah multi-etnis yang mempertahankan budayanya masing-masing. Meskipun demikian, budaya Melayu terlihat sangat dominan dan mempengaruhi masyarakat setempat. Hal ini terlihat dari beberapa kebiasaan perayaan yang dilakukan dengan adat Melayu. Adat istiadat masyarakat Melayu sangat kental dengan nuansa Islam, bahkan sebagian dari adat itu terbentuk karena ajaran Islam. Hal ini terlihat dari adanya acara kelahiran dan rangkaian adat perkawinan. Dalam hal pengangkatan anak, adat ini mengenal tiga bentuk adopsi, yaitu; anak angkat pulang buntal; anak angkat pulang nama; dan anak angkat pulang serasi. Pelaksanaan adopsi ini juga disertai dengan adanya kenduri, dimana orang tua kandung dari anak angkat juga dihadirkan dalam pesta tersebut. Adopsi yang dilaksanakan di daerah ini tidaklah memutus hubungan orang tua kandung dengan anak yang diadopsi. Usia anak yang diadopsi adalah kurang dari 10 tahun.
D. Keadaan Sosio-Keagamaan
Penduduk Kotamadya Medan mayoritas beragama Islam (51%). Masyarakat Melayu yang sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam yang mereka anut dan tercermin dari sikap dalam pergaulan keseharian. Pengaruh ajaran Islam juga ditemukan dalam tata cara mendidik anak yang mewajibkan untuk bisa membaca al-Qur’an. Secara garis besar, ditarik kesimpulan bahwa penghayatan orang Melayu terhadap Islam sudah membudaya.
BAB III : ANAK ANGKAT DAN PERMASALAHANNYA A. Pengertian Anak Angkat
1. Adopsi
Secara bahasa (adoptie: Belanda, adopt: Inggris) berarti pengangkatan/ mengangkat anak sebagai anak kandung sendiri. Dalam Kamus Arab Mahmud Yunus (tabanniy) diartikan dengan mengambil anak angkat, dalam al-Munjid berarti (ittikhadafu ibban) menjadikan sebagai anak.
Dalam KHI dijelaskan bahwa anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya berlaih tanggungjawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan. Mahmud Syaltut membagi dua defenisi tersebut. Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih saying tanpa memberi status sebagai anak kandung, namun diperlakukan seperti anak kandung. Kedua, mengambil anak orang lain untuk dijadikan anak kandung sehingga ia berhak memakai nasab orang tua angkatnya, saling mewarisi dan hak-hak lainnya.
2. Tabanny
24 | P a g e
3. Luqatha’
Luqatha’ (al-laqith) berarti pemungutan anak yang belum dewasa yang ditemukan dijalan dan tidak diketahui keturunannya. Dalam konteks ini, anak angkat diberlakukan layaknya anak kandung sendiri namun tidak dalam hal kewarisan.
B. Prosedur Pengangkatan Anak
1. Menurut Hukum Barat (Burgerlijk Wetboek)
Dalam BW, penjelasan mengenai prosedur pengangkatan anak didasarkan kepada Staatsblad 1917-129 lampiran III buku ke-4, pasal 5-15. Kemudian dilanjutkan dengan Ketetapan PN Istimewa Jakarta tanggal 17 Oktober 1963 No. 588/63 dan Ketetapan PN Bandung tanggal 26 Februari 1970 No. 32/1970. Pelaksanaan adopsi berdasarkan BW berakibat pada pemutusan hubungan antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya. Mengenai batasan umur, tidak dijelaskan dalam ketentuan ini, namun digariskan jarak umur antara orang tua angkat dengan anak angkat adalam 18 tahun dan 15 tahun.
2. Menurut Hukum Adat
Secara umum disimpulkan bahwa anak yang akan diadopsi disyaratkan; masih bayi atau berumur 3-16 tahun dan lebih muda daripada yang mengangkatnya serta belum diadopsi oleh orang lain. Di daerah Melayu Deli, dikenal 3 bentuk pengangkatan anak, yaitu; anak angkat pulang buntal (keseluruhan menjadi tanggung jawab orang tua angkat); anak angkat pulang nama (anak bertanggung jawab kepada orang tua kandungnya); dan anak angkat pulang serasi (berkaitan dengan masalah kesehatan anak). Pengangkatan anak yang dilakukan secara hukum adat tidaklah sama seperti yang diberlakukan pada masa jahiliyah, karena tidak terjadi perpindahan nasab.
3. Menurut Hukum Islam
Persyaratan pengangkatan anak dijelaskan dalam Pendapat MUI Nomor U-335/MUI/1982 tanggal 10 Juni 1982 yang secara singkat menjelaskan bahwa pengangkatan anak tidak memutus hubungan antara anak dengan orang tua kandungnya, sehingga tidak ada kemungkinan salng mewarisi dengan orang tua angkat. Tujuannya adalah untuk pemeliharaan yang dilaksanakan oleh orang tua angkat yang seagama dengan anak tersebut.
Dalam sejarah, Nabi Muhammad SAW sebelum menerima wahyu pernah melakukan praktek adopsi terhadap Zaid ibn Haritsah dan mengganti nasabnya menjadi Zaid ibn Muhammad yang dilakukan di khalayak ramai dan disertai dengan adanya perpindahan hak dalam hal mewarisi. Namun kemudian turun
wahyu yang menyatakan larangan status “anak kandung” terhadap anak angkat
(QS al-Ahzab [33]; 4-5).
C. Hak dan Kewajiban Anak dan Bapak Angkat dalam Pandangan Islam
1. Melihat kepada kedekatan kondisi psikologis antara anak angkat dengan orang tua angkatnya, maka di antara kedua pihak berhak menerima hibah dan wasiat. 2. Penerapan “wasiat wajibah” antara kedua belah pihak karena kedekatan emosi
mereka dan tiadanya hubungan nasab.
3. Sebagai jaminan di antara keduanya, maka dibentuklah institusi “wasiat wajibah”
untuk menumbuhkan rasa keadilan.
4. Anak angkat wajib melindungi dan merawat orang tua angkatnya pada masa tua nantinya sebagai ungkapan terima kasih.
25 | P a g e D. Akibat Hukum Pengangkatan Anak
Berdasarkan ketentuan yang termuat dalam BW dan sebagian ketentuan hukum adat, dapat disimpulkan akibat pengangkatan anak sebagai berikut;
1. Anak tersebut berhak memakai nama keluarga angkatnya;
2. Anak angkat menemati kedudukan yang sama dengan anak kandung; 3. Terputusnya hubungan anak angkat dengan orang tua kandungnya.
Hubungan yang kekeluargaan yang timbulkan seperti yang dijelaskan di atas, tidak dibenarkan dalam ajaran Islam dan diharamkan, dengan alasan:
1. Mengangkat anak adalah suatu kebohongan di hadapan Allah dan di hadapan manusia, dan hanya merupakan kata-kata yang diulang pengucapannya namun tidak akan menimbulkan kasih sayang seperti layaknya orang tua kandung;
2. Mengangkat anak seringkali dijadikan sebagai salah satu cara untuk menipu dan meyusahkan kaum keluarga (dalam masalah harta).
3. Mengangkat anak dan menetapkan status anak kandung akan menjadi tugas dan beban yang berat bagi keluarga ayah angkatnya, karena seandainya ayah angkat ini meninggal, maka kewajiban menafkahi anak tersebut pindah kepada keluarga ayah angkat yang sama sekali tidak mempunyai hubungan darah.
BAB IV : ANAK ANGKAT DALAM SISTEM UNDANG-UNDANG NEGARA
A. Anak Angkat dalam Kompilasi Hukum Islam
Pasal 171 point h dalam KHI menjelaskan bahwa anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya berlaih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan. Dalam hal pembagian warisan sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 176-193 KHI, pembagian untuk angkat dijelaskan dalam pasal 209 ayat [1] dan [2]. Wasiat wajibah yang dimaksud dalam pasal ini adalah wasiat yang diwajibkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang diperuntukkan bagi anak angkat dengan jumlah maksimal 1/3 dari harta.
Wasiat wajibah yang dijelaskan dalam KHI lahir sebagai respon terhadap fenomena yang terjadi di tengah masyarakat. Pengangkatan anak yang lazim terjadi dalam masyarakat dan sangat dihargai hanyalah pemeliharaan dan pemenuhan kebutuhan sebagaimana layaknya orang tua, tanpa adanya pengalihan nasab. Konsep pengangkatan anak yang berbeda dengan konsep tabanny yang dikenal selama ini pada akhirnya menimbulkan pengakuan terhadap lembaga pengangkatan anak dan
mendorong adanya institusi “wasiat wajibah” di Indonesia. Keberadaan wasiat wajibah
merupakan salah satu bentuk jaminan untuk menikmati harta peninggalan yang merupakan konsekuensi logis adanya kedekatan hubungan psikologis di antara orang tua angkat dan anak angkat. Wasiat wajibah hanya akan diterima apabila pihak yang ditinggalkan tidak menerima wasiat biasa dari harta peninggalan.
B. Penetapan Anak Angkat di Pengadilan Agama