• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS SEDERHANA TERHADAP NILAI TAMBAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS SEDERHANA TERHADAP NILAI TAMBAH"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS SEDERHANA TERHADAP NILAI TAMBAH HASIL

PERKEBUNAN KELAPA DENGAN PENDEKATAN SISTEM

MANAJEMEN RANTAI PASOK TERPADU

Novi Dewi S. (F152130091), Waqif Agusta (F152130141), Mila Siti A. (F152130241) Tugas Pengganti Ujian Akhir Semester MK Teknologi Pengolahan Hasil Perkebunan

Program Studi Teknologi Pascapanen, Institut Pertanian Bogor, Bogor 2014

Abstrak

Indonesia memiliki lahan perkebunan kelapa terluas di dunia. Luas perkebunan kelapa di Indonesia saat ini mencapai 3.8 juta hektar (ha) yang terdiri dari perkebunan rakyat seluas 3.7 juta ha, perkebunan milik pemerintah seluas 4669 ha, serta milik swasta seluas 66189 ha. Penanganan hasil perkebunan kelapa di Indonesia terbilang masinh sangat kurang, sehingga daya saingnya turun dibandingkan produk sawit. Oleh kerena itu, dengan analisis nilai tambah dari hasil perkebunan kelapa serta peranan teknologi pascapanen dalam upaya pembentukan nilai tambah hasil perkebunan kelapa dan mengurangi susut yang terjadi dengan pendekatan sistem manajemen rantai pasok (supply chain management) secara terpadu sangat perlu dilakukan untuk merevitalisasi kondisi salah satu komoditas perkebunan ini. Hasil analisis

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki lahan perkebunan kelapa terluas di dunia. Luas perkebunan kelapa di Indonesia saat ini mencapai 3.8 juta hektar (ha) yang terdiri dari perkebunan rakyat seluas 3.7 juta ha, perkebunan milik pemerintah seluas 4669 ha, serta milik swasta seluas 66189 ha. Selama 34 tahun, luas tanaman kelapa meningkat dari 1.66 juta ha pada tahun 1969 menjadi 3.8 juta ha pada tahun 2011. Persebaran kebun kelapa hampir merata di seluruh Indonesia, dengan sebaran terbanyak berada di Sumatera mencapai 34.5 %, Jawa 23.2 %, Sulawesi 19.6 %, Bali, NTB dan NTT 8.0 %, Kalimantan 7.2 %, Maluku dan Papua 7.5 % (Deptan 2005). Bila dilihat menurut propinsi, kebun kelapa terluas berada di propinsi Riau (15.28 %), disusul Jawa Tengah (7.68 %), Jawa Timur (7.67 %), Sulawesi Utara (7.27 %), Sulawesi Tengah (4.78 %), dan Jawa Barat (4.60 %), serta beberapa derah lainnya.

Total produksi kelapa tahun 2007 mencapai 3.3 juta ton setara kopra, atau sebesar 29.8 % dari total produksi dunia sebesar 10.3 juta ton (APCC 2008). Produksi kelapa terbesar kedua adalah Philipina 2.10 juta ton (18 %), India 1.85 juta ton (17.1 %), Srilangka 0.51 juta ton (5.0 %), Papua Nugini 0.17 juta ton (2.0 %), dan negara lainnya 2.39 juta ton (28.1 %).

(2)

dan dukungan kebijakan. Salah satu permasalahan terbesar adalah kualitas hasil panen yang belum standar dan tidak sepenuhnya sesuai dengan permintaan pasar internasional.

Perbaikan mutu produk hasil perkebunan kelapa dapat ditingkatan mulai level on-farm hingga pascapanen serta pengolahan. Perbaikan kualitas tersebut merupakan faktor yang sangat penting dalam persaingan perdagangan global, sehingga diperlukan teknologi yang tepat untuk memperbaiki, menjaga, atau mengubah mutu hasil pertanian tersebut melalui pendekatan manajemen rantai pasok (supply chain management), sejak saat on-farm hingga off-farm dengan penerapan teknologi pascapanen yang baik dan benar. Manajemen rantai pasok adalah keterpaduan antara perencanaan,

koordinasi, dan kendala seluruh proses dan aktivitas bisnis dalam rantai pasok

untuk memenuhi kebutuhan konsumen dengan biaya termurah (Chopra dan

Meindell 2007). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa integrasi rantai pasokan

bermanfaat untuk memaksimumkan kinerja rantai pasokan, mengurangi biaya pemesanan, mengurangi waktu siklus dan tingkat persediaan serta ketidakpastian bisnis.

Manajemen rantai pasokan produk pertanian berbeda dengan manajemen rantai pasokan untuk produk manufaktur lainnya karena beberapa karakteristik yang khas yaitu (1) produk pertanian bersifat mudah rusak, (2) proses penanaman, pertumbuhan dan pemanenan tergantung pada iklim dan musim (3) hasil panen memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi, (4) produk pertanian bersifat kamba sehingga produk pertanian sulit untuk ditangani (Austin 1992 dan Brown 1994), serta mengurangi ketidakpastian dalam bisnis. Keseluruhan faktor tersebut menjadi bahan pertimbangan dalam desain dan analisis rantai pasokan produk pertanian sehingga manajemen rantai pasok produk pertanian menjadi lebih kompleks daripada manajemen rantai pada umumnya.

Terkait dengan penjelasan di atas, perlu dilakukan adanya analisis terhadap penerapan teknologi pascapanen yang tepat untuk meningkatkan nilai tambah produk agroindustri kelapa dan menurunkan nilai susut produk tersebut dengan pendekatan manajemen rantai pasok. Analisis nilai tambah dan penyusutan dapat dilakukan pada setiap bagian dari rantai pasokan produk agroindustri buah kelapa. Dengan adanya analisis ini diharapkan kualitas produk yang dihasilkan sesuai dengan standar permintaan pasar dengan nilai tambah yang setinggi-tingginya dan nilai susut produk serendah-rendahnya. Sehingga keuntungan yang didapat oleh setiap pelaku bisnis dalam rantai pasokan produk hasil perkebunan kelapa dapat diperoleh secara maksimal.

Tujuan

Tulisan ini bertujuan menganalisis nilai tambah dari hasil perkebunan kelapa serta peranan teknologi pascapanen dalam upaya pembentukan nilai tambah hasil perkebunan kelapa dan mengurangi susut yang terjadi dengan pendekatan sistem manajemen rantai pasok (supply chain management) secara terpadu.

METODE PENULISAN

(3)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kegiatan Budi Daya dan Pemanenan Kelapa (Cocos nucifera L.)

Kelapa adalah salah satu jenis tanaman palem yang tersebar di hampir semua negara tropis, terutama di daerah dekat pantai. Hal ini merupakan petunjuk bahwa tanaman kelapa berasal dari daerah tropis, walaupun sulit menentukan negara mana tepatnya. Kelapa dikenal sebagai tanaman serba guna karena seluruh bagian tanaman ini bermanfaat bagi kehidupan manusia (Palungkun 1998).

Palungkun (1998) menyatakan bahwa pada mulanya hanya ada dua varietas kelapa yang dikenal, yaitu varietas dalam (tall variety) dan varietas genjah (dwarf variety). Setiap tipe kelapa baik kelapa dalam maupun kelapa genjah terdiri atas beberapa kultivar. Kelapa dalam Mapanget, kelapa dalam Tenga, kelapa dalam Palu dan kelapa dalam Bali adalah kultivar-kultivar kelapa dalam unggul (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan 2005). Gambar 1 menunjukkan tampilan buah dan pohon kelapa dalam Tenga dan Gambar 2 menunjukkan tampilan buah dan pohon kelapa Malayan Red Dwarf.

Gambar 1 Buah dan pohon kelapa dalam Tenga (Batugal et al. 2005)

Gambar 2 Buah dan pohon kelapa Malayan Red Dwarf (Batugal et al. 2005)

(4)

1. produksi kopra lebih tinggi, yaitu sekitar satu ton kopra/ha/tahun pada umur sepuluh tahun,

2. daging buah tebal dan keras dengan kadar minyak yang tinggi, dan lebih tahan terhadap hama penyakit.

Kekurangan dari kelapa varietas dalam adalah: 1. lambat berbuah (6-7 tahun setelah tanam),

2. produksi tandan buah sedikit, yaitu sekitar 11 tandan/pohon/tahun, 3. produktivitas sekitar 90 butir/pohon/tahun, dan

4. habitus tanaman lebih tinggi, yaitu sekitar 20 meter pada umur 50 tahun.

Tanaman kelapa varietas genjah berbatang ramping, tinggi batang mencapai 5 meter atau lebih, masa berbuah 3 - 4 tahun setelah tanam, dan dapat mencapai umur 50 tahun. Kelebihan kelapa varietas genjah yaitu lebih cepat berbuah, produksi tandan buah lebih banyak (sekitar 18 tandan/pohon/tahun), habitus tanaman pendek dan produktivitas sekitar 140 butir/pohon/tahun. Kekurangan dari kelapa varietas genjah yaitu produksi kopra rendah (sekitar 0.5 ton/ha/tahun pada umur 10 tahun), daging buah tebal, rapuh dan kandungan minyaknya rendah, serta peka terhadap gangguan hama dan penyakit (Palungkun 1998). Kelapa genjah kultivar unggul yaitu kelapa genjah Salak dan kelapa genjah Raja (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan 2005).

Kelapa hibrida adalah hasil silangan antar dua kultivar berbeda dari kedua tipe kelapa (dalam dan genjah) atau antar tipe yang sama (Hengky 1994). Menurut Baudouin (1999), kelapa hibrida komersial adalah hasil persilangan antara tipe genjah dan dalam yang lebih mudah diproduksi dan memungkinkan penggabungan sifat kelapa genjah yang cepat berbuah. Selain Khina-1, Khina-2, dan Khina-3, telah ditemukan 4 hibrida baru yang bisa diterima petani karena low input yaitu Genjah Raja x Dalam Mapanget, Genjah Kuning Bali x Dalam Mapanget, Genjah Kuning Nias x Dalam Tenga, dan Genjah Kuning Bali x Dalam Tenga (Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2006). Salah satu jenis kelapa hibrida yang pernah ditanam di Indonesia yaitu kelapa PB-121, hasil persilangan antara kelapa Malayan Yellow Dwarf dan West African Tall (Batugal et al. 2005). Gambar 3 menunjukkan tampilan buah dan pohon kelapa PB-121.

Gambar 3 Buah dan pohon kelapa hibrida PB-121 (Batugal et al. 2005)

Palungkun (1998) menyatakan bahwa salah satu hasil persilangan adalah kombinasi sifat-sifat yang baik dari kedua jenis kelapa asalnya. Sifat-sifat unggul yang dimiliki oleh kelapa hibrida adalah:

1. lebih cepat berbuah, sekitar 3-4 tahun setelah tanam,

(5)

4. daging buah tebal, keras dan kandungan minyaknya tinggi, 5. habitus tanaman sedang,

6. lebih tahan terhadap gangguan hama dan penyakit.

Tanaman kelapa membutuhkan lingkungan hidup yang sesuai untuk pertumbuhan dan produksinya. Kelapa tergolong tanaman yang menyenangi sinar matahari dan pertumbuhannya akan terhambat jika kekurangan sinar matahari. Lama penyinaran yang dikehendaki adalah 2.000 jam per tahun atau minimal 120 jam per bulan. Pada bulan Mei hingga Agustus, jumlah lama penyinaran per bulan lebih tinggi dari rata-rata penyinaran pada bulan Oktober hingga Maret. Karenanya, pada bulan Mei hingga Agustus jumlah bunga betina lebih banyak dibanding pada bulan Oktober hingga Maret.

Untuk pemanenan kelapa, didasarkan pada umur berbuahnya kelapa. Seperti pada kelapa jenis dalam umur berbuah setelah 8-10 tahun, dan umur bisa mencapai 60 - 100 tahun dengan produksi yang diharapkan adalah kopra. Untuk kelapa jenis genjah berbuah setelah umur 3 - 4 tahun dan berbuah maksimal pada saat umur 9 - 10 tahun, dan bisa mencapai umur 30 - 40 tahun kurang bagus untuk kopra karena daging buahnya yang lunak. Panen buah kelapa dilakukan menurut kebutuhannya. Jika kelapa yang diinginkan dalam keadaan kelapa masih muda kira-kira umur buah 7 -8 bulan dari bunganya. Jika ingin mengambil buah tua untuk santan atau kopra dipanen di saat umur sudah mencapai 12-14 bulan dari berbunga atau jika sudah tidak lagi terdengar suara air di dalam buahnya.

Untuk meningkatkan produktivitas kelapa dan pendapatan petani, kelapa tua perlu diremajakan, kelapa yang relatif muda direhabilitasi. Penanaman baru atau perluasan harus mempertimbangkan kesesuaian lingkungan, dan meningkatkan nilai tambah dari produk yang dihasilkan tidak hanya kelapa butiran, kopra atau minyak akan tetapi aneka ragam produk yang berasal dari tanaman kelapa maupun dari tanaman sela yang ditanam diantara pohon kelapa.

Peremejaan adalah mengganti tanaman tua yang produksinya rendah dengan tanaman baru yang berproduksi tinggi. Kegiatan perluasan adalah menanam tanaman kelapa di areal baru yang lingkungannya sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman kelapa, sehingga produktivitas kelapa dalam sebesar 2.0 – 3.0 kopra atau kelapa hibrida 4.0 – 5.0 ton kopra per hekatar per tahun dapat diperoleh.

Untuk penjualan, petani menjual hasil kebunnya masih dalam bentuk produk primer, yaitu kelapa butir dan kopra serta yang dilakukan secara sendiri-sendiri sebelum diusahakan secara terpadu. Harga produk tersebut sangat berfluktuasi dan harganya sering ditentukan secara sepihak oleh pembeli, karena tidak ada pilihan lain petani tetap menjual hasil kelapanya walaupun berada pada posisi tawar yang lemah. Petani kelapa menjual kelapa hasil panen secara maksimal, buah kelapa yang muda dan buah kelapa yang tua seringkali tidak dibedakan, sehingga apabila ada pedagang yang menginginkan akan dijual. Penjualan dilakukan langsung pada saat kelapa masih di pohon belum dipetik dan pemetikan tidak memperhatikan umur kelapa. Permasalahan petani on farm yaitu tingkat harga kelapa yang berfluktuasi, produktivitas yang rendah dalam kisaran 1 ton/hektar.

Petani/pekebun ini menjual kelapa butiran langsung kepada petani pengolah kopra ataupun petani pengolah minyak kelapa, pedagang pengumpul desa maupun pedagang perantara yang merupakan pedagang di tingkat kecamatan. Distribusi kelapa butiran ini selanjutnya dilakukan kepada pedagang pengumpul kabupaten atau wilayah hingga pedagang antar pulau. Distribusi selanjutnya dilakukan kepada konsumen domestik dan eksportir.

(6)

Gambar 4 Skema struktur jaringan rantai pasokan buah kelapa butiran

Dari skema di atas, tidak ada nilai tambah yang didapatkan dari buah kelapa butiran, karena tidak dilakukan proses pengolahan lebih lanjut. Maka dari itu, untuk meningkatkan nilai tambah tersebut diperlukan diversifikasi pengolahan.

Sejumlah permasalahan yang dihadapi pelaku rantai pasokan agroindustri kelapa yaitu petani, pedagang pengumpul, pedagang perantara dan agroindustri pengolah kelapa. Pedagang pengumpul membayar langsung tunai, kelapa tidak disortasi dan seiring dengan kebutuhan yang mendesak sehingga menginginkan proses sesingkat mungkin. Pedagang perantara yang merupakan pedagang di tingkat wilayah yang melakukan sortasi dengan

Petani/Pekebun

Pedagang pengumpul kecamatan

Pedagang pengumpul desa

Petani pengolah

Pedagang Pengumpul Kabupaten/wilayah

Pengolah

Pialang/makelar

Eksportir

Konsumen Domestik

Konsumen Luar negeri

(7)

melihat volume kelapa dan kadar air. Pedagang juga menginginkan persediaan seminimal mungkin dan seringkali melakukan spekulasi harga. Unit pengolah melakukan sortasi terkait dengan volume, kadar air kelapa dan menimbun persediaan untuk pasar selanjutnya (forward market).

Kondisi yang kurang menguntungkan dalam agroindustri yang mempersulit perdagangan untuk pasar ekspor yaitu permasalahan logistik yang terkait dengan jarak. Jarak tempuh sangat menentukan waktu dan volume transaksi. Waktu akan menunjukkan biaya apabila dikaitkan dengan ketidakpastian dan resiko yang harus dipertimbangkan ke dalam harga. Volume transaksi menentukan kelayakan transportasi (feasibility of transport). Demikian pula kualitas dapat menurun apabila tidak adanya sarana pengangkutan dan kurangnya fasilitas pengangkutan.

Kelembagaan ekonomi belum berperan dengan baik dalam bidang pengolahan dan pemasaran. Pengembangan unit pengolahan dilakukan untuk agroindustri kelapa terpadu, maka keseluruhan bagian dari kelapa yang selama ini terbuang diolah menjadi produk samping yang mempunyai nilai ekonomi sehingga dapat menimbulkan nilai tambah bagi keseluruhan jaringan rantai pasokan. Hal yang diharapkan adalah adanya suatu unit pengolahan kelapa terpadu yang mampu memberdayakan petani/pekebun dan petani pengolah yang terwadahi dalam kelompok tani dan kelembagaan unit pengolah hasil yang mampu mengoperasikan unit tersebut secara kontinyu dan berkesinambungan. Petani/pekebun maupun petani pengolah tidak harus terlibat dalam manajemen pengelolaan usaha, namun setidaknya memiliki peran dan arti penting demi peningkatan taraf hidupnya.

Pemanfatan Buah Kelapa

Hasil utama tanaman kelapa adalah buahnya yang dapat dijual dalam bentuk segar setelah panen maupunSelama ini produk olahan kelapa yang dihasilkan masih terbatas baikdalam jumlah maupun jenisnya. Padahal, sebagai the tree of life banyaksekali yang dapat dimanfaatkan dari setiap bagian pohon kelapa. Produk-produk yang dapat dihasilkan dari buah kelapa dan banyak diminati karena nilai ekonominya yang tinggi diantaranya adalah adalah

desicated coconut

(DC),

coconut milk

/

cream

(CM/CC),

coconut charcoal

(CCL),

activated carbon

(AC),

brown sugar

(BS),

nata de coco

(ND) dan

coconut fiber

(CF). Yang baru mulai berkembang adalah

virgin coconut

oil

(VCO) dan

coconut wood

(CW). Produk DC, CCL, AC, BS, dan CF sudah

Pohon industri kelapa di bawah menunjukkan bahwa sangat banyak produk yang bisa dihasilkan dari kelapa. Tingkat penyerapan pasar internasional yang tinggi, seharusnya juga mempercerah prospek perkebunan komoditas ini. Namun, tidak semua petani kelapa memiliki kemampuan yang sama dalam memenuhi standar permintaan pasar ekspor karena keterbatasan pengetahuan teknologi penanganan pascapanen yang baik dan benar sehingga memungkinkan susut pascapanen yang tinggi dan perolehan nilai tambah dari hasil olahan kelapa yang kurang maksimal.

(8)

crude coconut oil (CCO) maupun produk jadi lainnya seperti VCO, arang aktif, dan sebagainya. Daya saing produk kelapa pada saat ini tidak lagi terletak pada produk

primernya yakni kopra seperti yang selama ini banyak diusahakan secara

tradisional. Sebagai contoh, produk

desicated coconut

(tepung kelapa) memiliki

daya saing yang jauh lebih tinggi (300 % – 400 %) dibandingkan dengan kopra,

yang terlihat dari indeks paritas ekspornya (nilai ekspor dibandingkan dengan

biaya produksi).

Gambar 5 Pohon industri kelapa

Profil usaha produk-produk akhir kelapa yang sudah mulai berkembang

hingga saat ini antara lain

nata de coco

, serat, arang tempurung, gula merah, dan

desicated coconut

. Selain itu juga telah berkembang

virgin coconut oil

(VCO)

yang merupakan makanan suplemen dan juga obat. Beberapa hambatan yang

diperkirakan muncul seperti kontinuitas pasok bahan baku ternyata dapat diatasi

sehingga industri masih bertahan dengan kondisi yang baik. Bila pengembangan

dapat dilaksanakan secara ”terpadu” maka pasokan bahan baku akan lebih

terjamin.

Pembuatan Kopra dan Minyak Kelapa (Crude Coconut Oil)

Industri pengolahan kelapa pada saat ini masih didominasi oleh produk setengah jadi berupa kopra dan crude coconut oil (CCO). Kopra merupakan bahan baku dalam pembuatan CCO. Minyak kelapa kasar dapat diolah lebih lanjut menjadi minyak goreng atau bahan-bahan oleokimia lain. Kopra yang dihasilkan petani dengan cara pengasapan dengan suhu tinggi dan tidak terkontrol, akibatnya dihasilkan kopra berwarna coklat, berbau asap, berkadar air cukup tinggi dan bagian kopra yang terbakar. Selanjutnya kopra dijual ke pedagang pengumpul tingkat desa dan kecamatan, dan dilakukan pengeringan ulang pada bak pengeringan dan penyimpanan sebelum dijual ke pedagang pengumpul kabupaten atau ke pabrik.

(9)

Menurut Nathanael (1990) minyak kelapa kasar (Crude coconut oil) yang dihasilkan dari kopra yang telah rusak ditandai dengan minyak tengik, warna coklat tua dan kadar asam lemak bebas yang tingi berkisar 1.0 % - 5.0 %. Minyak yang demikian tidak layak dikonsumsi sebagai minyak makan atau minyak goreng, agar minyak layak dikonsumsi harus diproses lanjut yang dikenal dengan proses ripening dan deodorisasi, untuk menghilangkan ketengikan dan warna minyak dan menurunkan kadar asam lemak bebas. Pengolahan kopra putih, secara ringkas sebagai berikut:

a. Penyiapan bahan olah: kelapa matang dikupas dan dibelah, belahan kelapa siap untuk dikeringkan

b. Persiapan pengeringan: Belahan kelapa dimasukkan ruang pengeringan dari unit pengolahan kopra, disusun belahan kelapa dalam satu arah, dengan jumlah susunan sebanyak lima susun dan ruang pembakaran dimasukan bahan bakar untuk berupa sabut atau kayu kering.

c. Pengeringan: Pengeringan kelapa menjadi kopra putih menggunakan suhu 60 – 80 °C, lama pengeringan 12 - 18 jam, didinginkan, dan dikeluarkan daging kelapa dalam bentuk belahan kopra (Ball copra).

d. Pengeringan ulang: Pengeringan ulang dilakukan untuk mengeringkan belahan kopra putih, dengan suhu pengeringan yang sama dengan waktu pengeringan sekitar 6 jam.

Dilaporkan bahwa dalam pengolahan kopra putih, dihindari penggunaan suhu lebih 70 °C, sebaiknya pengeringan kopra putih dilakukan pada suhu 55 - 60°C selama 8 jam/hari, dan proses pengeringan berlangsung selama 3 hari.

Dalam pengeringan buah kelapa menjadi kopra, terjdi susut akibat penguapan air dari dalam daging buah. Susut ini merupakan susut yang diharapkan deimana semakin cepat susut itu terjadi makan pengeringan akan berjalan semakin cepat. Kopra putih yang dihasilkan disimpan dalam karung goni selama 10 hari sebelum diolah menjadi minyak atau produk lain. Kopra putih yang diproses demikian akan menghasilkan minyak kelapa yang berkualitas sangat baik (Rethinam dan Bosco 2003).

Untuk mendapatkan minyak kelapa dengan mutu yang baik, kopra yang digunakan sebagai bahan baku juga harus memiliki mutu yang baik. Mutu kopra yan baik sangat bergantung pada metode pengeringan dan perlakuan selama penyimpanan. Kopra termasuk produk yang mudah rusak. Kerusakan kopra banyak terjadi selama proses pengeringan dan penyimpanan. Kerusakan kopra disebabkan oleh kadar air yang masih tinggi, yaitu lebih dari 6 % (karena pengeringan kurang optimum), serangan hama, serta serangan mikroorganisme (bakteri, cendawan, dan kapang). Oleh karena itu, untuk mempertahankan mutu kopra perlu dilakukan penanganan tertentu. Metode yang biasa digunakan untuk mengawetkan kopra adalah sebagai berikut:

a. Pengawetan dengan gas SO2, metode ini dilakukan untuk mencegah timbulnya

cendawan. Selain itu, gas SO2 dapat membantu mempercepat pengeringan kopra

karena gas tersebut bereaksi dengan dinding sel yang menyebabkan pelunakan pada dinding sel. Pelunakan dinding sel akan mempercepat laju massa uap air yang keluar dari kelapa yang dikeringkan.

b. Proses tapahan, metode ini dilakukan dengan merendam kelapa dalam larusan asam (5 – 7 % asam asetat + 5 % asam sulfat, selama kurang lebih 5 menit). Nilai pH daging buah kelapa adalah 6 – 6.8, kisaran pH tersebut mendekati keadaan netral sehingga sangat cocok bagi pertumbuhan dan perkembangan mikrorganisme. Perendaman buah kelapa dalam lerutan asam bertujuan menurunkan pH dari daging kelapa sehingga kondisi daging kelapa tidak cocok sebagai lingkungan tumbuh dan berkembang yang baik bagi mikroorganisme, terutama cendawan.

c. Perendaman dalam larutan soda (Na2CO3). Bahan garam soda akan bereaksi dengan

(10)

d. Penambahan garam (NaCl), efek pemberian NaCl pada pengawetan antara lain: meningkatkan tekanan osmotik yang akan menyerap kandungan air pada daging buah kelapa maupun mikroorganisme yang ada di sekitarnya sehingga mikroorganisme akan mengalami plasmolysis. Selain itu, unsur klorin yang dihasilkan dari penguraian molekul garam tersebut akan membahayakan keadaan mikroorganisme.

Pembuatan minyak kopra putih

Pengolahan kopra putih menjadi minyak goreng tidak memungkinkan dilakukan secara manual, tetapi dilakukan secara mekanis, karena membutuhkan energi cukup besar dalam penggilingan dan pengepresan. Pengolahan minyak kelapa dengan bahan baku kopra putih sebagai berikut:

a. Penggilingan: Penggilingan dilakukan untuk memperkecil permukaan daging kelapa agar mudah melakukan pengepresan. Penggilingan kopra putih dilakukan secara mekanis, sebaiknya menggunakan mesin penggilingan tipe Hammer, sedangkan penggilingan berdaya kecil dengan tipe silinder tidak memungkan penggilingan kopra putih.

b. Pengeringan: Sebelum kopra putih giling atau parutan kopra putih diparut, harus dikeringkan terlebih dahulu sampai kadar air sekitar 3 %.

c. Pengepresan: Pengepresan kopra putih secara mekanis optimal pada kopra putih berkadar air 3 % atau lebih rendah

d. Penyaringan minyak: Penyaringan dilakukan dalam tiga tahap, yakni tahap pertama menggunakan saringan stainless steel 20 mesh, tahap kedua 50 mesh diikuti dengan pendiaman minyak selama 1-2 hari, dan tahap akhir adalah pemisahan minyak secara manual dengan menggunakan filter, untuk memisahkan endapan berupa sisa bungkil dan blondo yang tercampur dalam minyak kelapa.

e. Pemanasan akhir: pemanasan minyak dilakukan untuk meminimalkan kadar air minyak agar minyak mempunyai daya simpan yang lama, dengan suhu pemanasan berkisar 100 - 105 oC selama 10 - 15 menit.

Hasil analisis mutu minyak menunjukkan bahwa minyak kopra putih sama dengan minyak goreng namun berbeda dengan VCO, seperti tertera pada tabel berikut.

Tabel 1 Mutu minyak kelapa

Parameter Minyak kopraputih minyak gorengStandar mutu Standar mutu VCO(APPC 2005)

Kadar air (%) 0.13 – 0.18 - 0.1 – 0.3

Asam lemak bebas (%) 0.43 – 0.45 - < 0.5

Bilangan peroksida

(meq/kg) 1.58 – 1.97 - < 3

Warna Jernih – kuning

muda Kuning - kuning Jernih seperti air

Bau Bebas dari bau

asing Tidak berbau

Bebas dari bau asing

Rasa Agak tengik Tidak tengik Tidak tengik

(11)

Petani penghasil kelapa butiran selaku pemasok bahan baku utama berupa kelapa butiran dapat melakukan pemasokan langsung ke unit pengolahan daging buah kelapa berupa unit pengolahan minyak kelapa. Kelapa butiran yang dihasilkan dari petani dapat langsung didistribusikan ke unit pengolahan untuk memenuhi kapasitas unit pengolah. Petani atau kelompok tani berfungsi sebagai pemasok utama, kekurangan bahan untuk kapasitas olah dipenuhi dari pedagang pengumpul dan atau pedagang perantara dari luar wilayah sentra tersebut.

Agroindustri pengolah merupakan unit yang mentransformasikan bahan baku menjadi produk-produk yang diinginkan. Agroindusri kelapa terpadu yang dikembangkan ini dengan unit pengolah buah kelapa yang menghasilkan minyak kelapa. Buah kelapa butiran yang dipasok dari petani akan langsung diolah ataupun disimpan terlebih dahulu dalam gudang penyimpanan bahan baku sebelum dilakukan proses transformasi. Produk minyak kelapa yang dihasilkan selanjutnya disimpan terlebih dahulu dalam gudang penyimpanan produk sebelum didistribusikan ke konsumen. Hasil samping pemrosesan berupa air kelapa, sabut kelapa dan tempurung kelapa, masing-masing akan ditampung dalam gudang penyimpanan untuk selanjutnya didistribusikan ke unit pengolahan yang lain.

Agroindustri pengolahan kelapa terpadu ini dengan konsep mendistribusikan langsung produk agroindustrinya. Jalur distribusi minyak kelapa dari sentra produksi kelapa yaitu meliputi minyak kelapa dari unit pengolahan daging buah kelapa/ pengusaha didistribusikan ke pedagang di pasar tradisional dan pedagang eceran dan selanjutnya dijual ke konsumen. Konsumen ini merupakan konsumen pengguna langsung atau konsumen rumah tangga dan konsumen industri. Oleh sebab itu model rantai pasokan untuk agroindustri kelapa terpadu ini diharapkan dapat memberikan gambaran nilai tambah kepada petani selaku pemasok bahan baku dan petani atau kelompok tani yang memungkinkan untuk memiliki keterlibatan langsung dalam usaha ini meskipun bukan dari sisi manajerial pengelolaan unit pengolahan.

Gambar 6 Skema rantai pasokan minyak kelapa Konsumen domestik

Pengolah minyak kelapa

Pengumpul

Pedagang pasar tradisional

Pedagang eceran

(12)

Jalur distribusi pemasaran minyak kelapa ini ternyata cukup singkat. Jalur pemasaran/distribusi tersebut dapat dijelaskan dengan gambar di atas. Jalur distribusi minyak kelapa dari sentra produksi kelapa yaitu meliputi minyak kelapa dari unit pengolahan daging buah kelapa/pengusaha didistribusikan ke pedagang di pasar tradisional dan pedagang eceran dan selanjutnya dijual ke konsumen. Minyak kelapa ini juga dapat dijual kepada pedagang pengumpul yang selanjutnya didistribusikan ke konsumen domestik maupun eksportir. Konsumen ini merupakan konsumen pengguna langsung atau konsumen rumah tangga dan konsumen industri.

Jalur pemasaran minyak kelapa dari petani hingga ekportir tidak berbeda dengan komoditi pertanian yang lain. Sarana transportasi yang tidak baik menimbulkan beberapa pelaku pemasaran yang lain seperti pedagang desa, kecamatan dan kabupaten serta pialang/makelar. Hal ini semakin memperpanjang jalur minyak kelapa yang dapat memperkecil keuntungan petani atau produsen menjadi semakin kecil. Keuntungan juga semakin kecil apabila petani kelapa tidak melakukan sendiri kegiatan pengolahan minyak kelapa, hanya menjual hasil panen buah kelapa butir. Secara umum jalur distribusi pemasaran minyak kelapa dapat terjadi melalui jalur pendek hingga jalur panjang. Jalur terpendek terjadi bila petani langsung mengolah sekaligus memasarkan ke konsumen lokal, domestik atau eksportir. Besarnya penerimaan harga minyak kelapa sangat Pengeringan terhadap satu butir kelapa setara dengan 0.275 kg kopra kering. Rendemen minyak kelapa dari pengolahan kopra kering adalah sebesar 58 % - 59 %. Sehingga dari 0.275 kg kopra kering akan dihasilkan minyak kelapa kasar (CCO) sebanyak 0.160 kg – 0.162 kg. Harga internasional minyak kelapa kasar pada Desember 2013 adalah 1296,00 USD/ton yang setara dengan Rp 15300,00/kg. Berdasarkan harga ini, maka nilai CCO dari sebutir kelapa setara dengan Rp 2448,00 – Rp 2500,00. Hasil perhitungan tersebut menunjukkan buah kelapa kelapa diolah menjadi CCO akan mengalami kenaikan nilai harga jual sebesar 36 % - 38 % per butir sebelum pengurangan dengan biaya produksi yang lain.

Nilai tambah masih bisa didapatkan oleh para pelaku lain dalam rantai

pasokan minyak kelapa. Pengumpul dapat memperoleh nilai tambah dengan

menambahkan kemasan dan menyortir minyak kelapa yang akan didistribusikan

kepada eksportir sesuai dengan tingkat mutu yang diinginkan oleh pihak eksportir.

Begitu pula pedagang pasar tradisional, pedangang pasar tradisional dapat

memperoleh nilai tambah dari produk minyak kelapa dengan melakukan

pengemasan ulang dengan ukuran kemasan yang lebih kecil sesuai dengan

kebutuhan pedagang pengecer dan pasar domestik.

Potensi susut pada produk minyak kelapa ini paling besar merupakan susut

mutu dari produk tersebut. Susut mutu yang terjadi dapat berupa berubahan bau

maupun warna yang disebabkan metode pengemasan yang kurang tepat selama

produk breada dalam rantai pasokan. Selain itu, lamanya durasi distribusi antara

satu pelaku ke pelaku lain dalam rantai pasok akan menyebabkan penurunan mutu

produk seiring dengan berjalannya waktu.

(13)

oksigen. Jika minyak mengalami kontak dengan oksigen, akan terjadi reaksi

oksidasi yang menyebabkan bau tengik.

Pemanfaatan Air Kelapa Menjadi Nata de coco

Nata de coco

adalah hidangan penutup yang terlihat seperti jeli, berwarna

putih hingga bening dan bertekstur kenyal. Makanan ini dihasilkan dari fermentasi

air kelapa, dan mulanya dibuat di Filipina.

Nata de coco dibuat dari limbah air kelapa yang bisa menjadi salah satu bentuk minuman segar yang sudah dikenal lama di Indonesia. Nata de coco atau jenis nata yang lain, adalah salah satu bentuk asupan yang berserat tinggi dan menyehatkan bagi pencernaan.

Pembuatan nata de coco

Ada enam tahapan proses dalam pengolahan air kelapa menjadi

nata de

coco

, yaitu: penyaringan, pemasakan, dan pencampuran bahan pembantu,

penempatan dalam nampan dan pendinginan, inokulasi (penanaman/penebaran)

bibit (starter), pemeraman (fermentasi), panen dan pasca panen (pengolahan

lanjut sampai setengah jadi atau siap konsumsi).

1. Penyaringan.

Air kelapa bisa dibasikan selama kurang lebih 4 hari. Kemudian, air kelapa

tersebut disaring dengan menggunakan penyaring lembut untuk memisahkan

air kelapa dengan material-material atau kotoran-kotoran seperti: sabut,

pecahan batok kelapa, cikal/buah kelapa dan lain-lain. Kandungan air kelapa

yang masih segar berkisar antara 400 - 500 ml per butir. Buah kelapa yang

berumur 4 - 5 bulan memiliki volume air yang maksimum. Namun demikian,

kualitas air kelapa yang paling baik adalah ketika buah kelapa berumur

kurang lebih 5 bulan dengan kandungan total padatan maksimal 6 gram per

100 ml. Kandungan gula terlarut biasa diukur dengan menggunakan hand

refractometer (Sutardi 2004)

2. Pemasakan dan pencampuran bahan pembantu

Air kelapa yang sudah disaring selanjutnya dimasukkan ke dalam panci

stainlessteel

untuk dimasak sampai mendidih selama kurang lebih 30 menit.

Selama mendidih bahan-bahan pembantu seperti: gula pasir, pupuk ZA,

garam inggris, asam sitrat (zitrun zuur) ditambahkan. Sebelum pendidihan

diakhiri, ditambahkan asam asetat glasial/cuka hingga mencapai pH kurang

lebih 3.2 (Sutarminingsih 2004). Tidak terdapat relevansi antara citarasa

dengan pH.

3. Penempatan dalam baki/nampan plastik

Semua peralatan harus bersih dan steril. Nampan plastik yang digunakan

harus terlebih dahulu dibersihkan dan disterilkan. Sterilisasi dapat dilakukan

dengan cara dicelup dalam air mendidih, dijemur, dibasahi dengan alkohol

70% atau spiritus. Media fermentasi (air kelapa dan bahan tambahan yang

dididihkan) dituangkan dalam nampan dan selanjutnya segera ditutup rapat

dengan koran dan diikat karet/elastik. Volume media fermentasi sebanyak 1.2

sampai 1.3 liter untuk setiap nampan tergantung ukurannya. Kemudian,

media fermentasi tersebut dibiarkan sampai hangat-hangat kuku selama satu

malam.

(14)

Setiap nampan yang berisi fermentasi yang telah didinginkan selama satu

malam tersebut ditambahkan bibit (starter) sebanyak dengan perbandingan 10

% bibit (kurang lebih 13 ml) (Sutardi 2004). Inokulasi bibit dengan cara

membuka sedikit tutup kain/koran dan segera ditutup kembali.

5. Fermentasi

Media fermentasi yang sudah ditambahkan bibit selanjutnya diperam selama

6 - 7 hari. Kebersihan tempat pemeraman dengan suhu kamar (28

o

C – 31

o

C)

sangat mutlak diperlukan untuk menghindari kontaminasi dengan mikroba

lain atau serangga yang dapat menggagalkan proses fermentasi (Sutardi

2004). Keberhasilan proses fermentasi ini dapat dilihat dari ada tidaknya

lapisan tipis pada permukaan media fermentasi setelah dua hari dan akan

semakin bertambah tebal dari hari ke hari.

6. Panen dan pasca penen

Setelah pemeraman selama 6 - 7 hari, lapisan

nata de coco

akan memiliki

ketebalan 0.8 – 1.5 cm berbentuk lembaran-lembaran (

slab

) yang asam dalam

bau, cita rasa dan pH-nya. Lembaran-lembaran ini kemudian diangkat dan

lendirnya dibuang melalui pencucian. Lembaran-lembaran ini siap untuk di

jual atau mungkin harus dipotong kecil-kecil berbentuk kubus, tergantung

dari permintaan. Baik dalam bentuk lembaran ataupun potongan kubus harus

direndam dalam air bersih selama 2-3 hari. Air rendaman setiap hari harus

diganti agar bau dan rasa asam hilang. Kemudian,

nata de coco

dicuci

kembali dan direbus untuk mengawetkan dan sekaligus menyempurnakan

proses penghilangan bau dan rasa asam. Pencucian dan perebusan ini pada

hakekatnya dilakukan hingga

nata de coco

menjadi tawar. Penyimpanan

nata

de coco

tawar cukup dilakukan dengan merendamnya dalam air tawar yang

harus sering diganti.

Pada keseluruhan proses pengolahan nata de coco tidak menyisakan susut bahan yang terbuang. Dengan demikian 100 % air kelapa dapat dijadikan nata de coco.

Struktur jaringan rantai pasokan pengolahan air kelapa

Kondisi saat ini menunjukkan bahwa apabila akan diusahakan suatu unit pengolahan sari kelapa atau nata de coco di sentra-sentra penghasil kelapa, justru lebih sulit untuk mendapatkan pasokan air kelapa kecuali dilakukan terintegrasi dengan kegiatan unit pengolahan lain di sentra tersebut. Hal ini juga agar biaya transportasi air kelapa menjadi semakin kecil, karena jarak yang ditempuh relatif pendek.

Kontinyuitas produksi nata de coco ini sangat tergantung pada kontinyuitas penyediaan bahan baku. Penyediaan bahan baku ini diharapkan akan terjamin apabila agroindustri ini dekat dengan sumber pasokan bahan baku. Namun, sumber pemasok utama bahan baku untuk agroindustri nata de coco ini adalah pasar tradisional yang biasanya berada di wilayah pusat-pusat kecamatan dalam suatu kabupaten. Kedekatan dengan sumber pasokan bahan baku ini diharapkan memberikan implikasi biaya transportasi yang lebih murah. Pasar tradisional yang merupakan pusat pemasok air kelapa dapat digantikan perannya oleh unit pengolahan kelapa yang lain yang memiliki hasil sisa berupa air kelapa. Unit pengolahan ini sesuai dengan produk prospektif pilihan unit pengolahan minyak kelapa dan dapat diusahakan di lokasi sentra penghasil kelapa.

(15)

sebesar 700 - 800 liter air kelapa per hari dari 2000 butir kelapa. Pasokan ini dapat dipenuhi dari kebun kelapa seluas 300 ha. Unit pengolahan ini akan menghasilkan 140 – 160 kg sari kelapa per hari atau 4.2 ton sampai dengan 4.8 ton/bulan.

Jalur distribusi pemasaran nata de coco ini ternyata cukup singkat. Jalur pemasaran/distribusi tersebut dapat dijelaskan dengan gambar di atas. Jalur distribusi nata de coco dari sentra produksi kelapa akan didistribusikan ke pedagang di pasar tradisional dan pedagang eceran dan selanjutnya dijual ke konsumen. Nata de coco ini juga dapat dijual kepada pedagang pengumpul yang selanjutnya didistribusikan ke konsumen domestik maupun eksportir. Konsumen ini merupakan konsumen pengguna langsung atau konsumen rumah tangga dan konsumen industri.

Gambar 7 Skema rantai pasokan nata de coco

Sistem pengangkutan akan berdampak pada biaya rantai pasokan dalam struktur rantai pasokan air kelapa. Sistem pengangkutan yang tepat dan hemat akan dapat memperkecil biaya dalam rantai pasokan ini. Semakin panjang jalur pemasaran akan semakin memperkecil margin keuntungan di tingkat produsen. Keuntungan yang diperoleh oleh petani juga semakin kecil apabila tidak terlibat langsung dalam kegiatan pemasokan air kelapa. Secara umum jalur distribusi pemasaran nata de coco dapat terjadi melalui jalur pendek hingga jalur panjang. Jalur terpendek terjadi bila petani langsung mengolah sekaligus memasarkan ke konsumen lokal, domestik atau eksportir. Besarnya penerimaan harga nata de coco sangat tergantung pada panjangnya jalur distribusi rantai pasokan. Semakin pendek jalur distribusi maka semakin tinggi penerimaan harga yang diperoleh petani, demikian sebaliknya.

Pengumpul

Pedagang pasar tradisional

Pedagang eceran

Konsumen domestik

Eksportir

Pengolah nata de coco

(16)

Analisisi nilai tambah rantai pasok

Volume air yang terdapat pada kelapa Dalam sekitar 300 ml, kelapa Hibrida 230 ml, dan kelapa Genjah 150 ml. Air kelapa dimanfaatkan untuk pembuatan minuman ringan, jelly, ragi, alkohol, nata de coco, dextran, anggur, cuka, ethyl acetat, dan sebagainya. Komposisi kimia air kelapa adalah: specific grafity 1.02 %, bahan padat 4.71 %, gula 2.56 %, abu 0.46 %, minyak 0.74 %, protein 0.55 %, dan senyawa klorida 0.17 %.

Suatu analisis finansial terhadap pengolahan air kelapa menjadi nata de coco telah dilakukan oleh Ferry dan Mahmud (2005) dengan asumsi sebagai berikut:

a. Analisis dihitung untuk memproses hasil 1 ha kelapa atau sekitar 6000 butir/tahun yang berisi sekitar 996 liter air kelapa.

b. Produksi yang dihasilkan adalah nata de coco. Setiap 10 liter air kelapa dapat menghasilkan 6 kg nata de coco.

c. Umur usaha dihitung selama 5 tahun sesuai dengan umur ekonomis peralatan pembuat nata de coco.

d. Penyusutan dihitung per tahun berdasarkan estimasi umur ekonomis aset yang digunakan dengan metode garis lurus

e. Modal investasi, harga faktor produksi dan harga jual produk berdasarkan estimasi harga jangka panjang.

f. Discount rate yang digunakan sebesar 18% sesuai dengan estimasi tingkat suku bunga bank jangka panjang.

Perhitungan analisis finansial agroindustri nata de coco rakyat menunjukkan bahwa dengan harga produk nata de coco Rp 2 000,00 per kg memberikan B/C ratio 1.32; NPV sebesar Rp 953 950,00; dan IRR 32% (Tabel 2).

Tabel 2 Analisis finansial pengolahan nata de coco tahun 2004 (5 tahun)

Uraian Aktual

Harga minimal nata de coco 1475,00 Sumber: Mahmud et al.(2004)

Keterangan: *) Setiap perubahan satu variable, variable lain tetap

Analisis sensitivitas agroindustri ini menunjukkan bahwa dengan asumsi variabel yang lain tetap, harga minimal nata de coco Rp 1475,00 / kg agar usaha tetap layak. Kendala dalam pengembangan agroindustri nata de coco rakyat ini adalah dalam pemasaran retail produk nata yang memerlukan kepercayaan konsumen terhadap produk dan merek dagang produk yang dihasilkan serta keterandalan jaringan pemasaran mengingat konsumen nata de coco ini adalah konsumen akhir. Agroindustri nata de coco rakyat yang ada umumnya hanya skala kecil dengan pasar lokal disekitar lokasi usaha. Untuk itu pengembangan agroindustri nata de coco rakyat ini perlu diiringi dengan perjanjian kerjasama dengan pengusaha besar atau menengah yang telah memiliki merek dagang yang dipercaya konsumen dan jaringan pemasaran yang baik. Agroindustri nata de coco rakyat dapat memasok produk lembaran nata yang selanjutnya diolah oleh pengusaha besar atau menengah.

(17)

kg, sehingga didapat Rp 12 000,00 untuk 6 kg nata de coco. Asumsi untuk pembelian bahan-bahan tambahan pembuat nata de coco adalah Rp 1 500,00. Dilihat dari perhitungan tersebut, ada keuntungan yang diraih sebesar Rp 8 500,00 untuk pembuatan 10 liter air kelapa, dengan modal bahan baku Rp 3 500,00.

Bila dibandingkan dengan harga saat ini (2013 - 2014), harga air kelapa per liter adalah Rp 600,00 sehingga untuk 10 liter air kelapa dikeluarkan biaya Rp 6 000,00. Sedangkan harga nata de coco saat ini adalah Rp 6 000/kg, sehingg akang terjual Rp 36 000,00 untuk 6 kg. Asumsi biaya untuk bahan tambahan adalah Rp 3 000,00. Sehingga keuntungan yang didapat untuk kondisi saat ini adalah Rp 27 000,00. Bila kita simpulkan, keuntungan yang didapat setelah air kelapa tersebut diolah menjadi nata de coco adalah sebesar 3 kali biaya modal bahan baku. Hal ini merukan nilai tambah yang luar biasa bila petani pun bisa memanfaatkan kesempatan ini.

Bila analisa nilai tambah ini dikaitkan dengan rantai pasoknya, maka nilai tambah dalam hal harga penjualan nata de coco terakhir ke tangan konsumen akan semakin besar. Hal ini dikarenakan adanya kemungkinkan pengumpul atau distributor itu menambahkan kemasan yang lebih baik ataupun grading kualitas, sehingga kisaran harga yang ditawarkan kepada konsumen bervariasi dan bisa berkali-kali lipat dari harga produsennya.

Pemanfaatan Sabut Kelapa

Sabut kelapa merupakan bagian terluar buah kelapa yang membungkus tempurung kelapa. Ketebalan sabut kelapa berkisar 5 - 6 cm yang terdiri atas lapisan terluar (eksokarpium) dan lapisan dalam (endokarpium). Endokarpium mengandung serat-serat halus yang dapat digunakan sebagai bahan pembuat tali, karung, pulp, karpet, sikat, keset, isolator panas dan suara, filter, bahan pengisi jok kursi/mobil dan papan hardboard. Satu butir buah kelapa menghasilkan 0.4 kg sabut yang mengandung 30 % serat. Komposisi kimia sabut kelapa terdiri atas selulosa, lignin, pyroligneous acid, gas, arang, ter, tannin, dan potasium (Rindengan et al.1995).

(18)

Berdasarkan studi kasus di Kabupaten Ciamis, harga serat sabut kelapa di tingkat produsen berkisar antara Rp 500,00 – Rp 600,00 per kg, sedangkan harga di tingkat pembeli (Jakarta) berkisar antara Rp 900,00 – Rp 1 200,00 per kg, yang tergantung kepada kualitas sabut yang dihasilkan. Jika diambil sampel pada tahun 2004 bahwa harga sabut kelapa Rp 50,00 maka nilai tambah sabut kelapa meningkat hingga 90.00 % - 91.67 %.

Struktur jaringan rantai pasokan pengolahan sabut kelapa

Serat sabut kelapa, atau dalam perdagangan dunia dikenal sebagai Coco fibre, Coir fibre, coir yarn, coir mats, dan rugs, merupakan produk hasil pengolahan sabut kelapa. Secara tradisional serat sabut kelapa hanya dimanfaatkan untuk bahan pembuat sapu, keset, tali dan alat-alat rumah tangga lain. Perkembangan teknologi, sifat fisika-kimia serat, dan kesadaran konsumen untuk kembali ke bahan alami, membuat serat sabut kelapa dimanfaatkan menjadi bahan baku industri karpet, jok dan dashboard kendaraan, kasur, bantal, dan hardboard. Serat sabut kelapa juga dimanfaatkan untuk pengendalian erosi. Serat sabut kelapa diproses untuk dijadikan Coir fibre sheet yang digunakan untuk lapisan kursi mobil, spring bed dan lain-lain.

Serat sabut kelapa bagi negara-negara tetangga penghasil kelapa sudah merupakan komoditi ekspor yang memasok kebutuhan dunia yang berkisar 75,7 ribu ton per tahun. Indonesia walaupun merupakan negara penghasil kelapa terbesar di dunia, pangsa pasar serat sabut kelapa yang dimiliki masih sangat kecil. Kecenderungan kebutuhan dunia terhadap serat kelapa yang meningkat dan perkembangan jumlah dan keragaman industri di Indonesia yang berpotensi dalam menggunakan serat sabut kelapa sebagai bahan baku bahan pembantu, merupakan potensi yang besar bagi pengembangan industri pengolahan serat sabut kelapa. Karakteristik produk yang bersifat heat retardant

(19)

dan biodegradable, serta kecenderungan konsumen produk industri dalam penggunaan bahan alami mendorong peningkatan permintaan terhadap serat sabut kelapa.

Kendala dan masalah yang dihadapi dalam pengembangan usaha kecil/menengah industri pengolahan serat sabut kelapa adalah keterbatasan modal, akses terhadap informasi pasar dan pasar yang terbatas, serta kualitas serat yang dihasilkan masih belum memenuhi persyaratan. Oleh sebab itu dalam menunjang pengembangan industri serat sabut kelapa yang potensial ini, diperlukan berbagai kemudahan agar dapat diimplementasikan dalam pengembangan usaha serat sabut kelapa. Usaha ini awalnya dapat berkembang sebagai wujud kemitraan.

Negara tujuan ekspor serat sabut kelapa Indonesia adalah Inggris, Jerman, Belgia, Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Singapura, Malaysia dan Australia. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari responden pengusaha sabut kelapa, setiap bulan diperkirakan China membutuhkan sekitar 50.000 ton serat sabut kelapa per bulan untuk memenuhi kebutuhan industrinya.

Kecenderungan permintaan dunia terhadap serat sabut kelapa yang meningkat, serta kontribusi Indonesia yang masih sangat kecil dalam perdagangan dunia, serat sabut kelapa Indonesia mempunyai keunggulan komparatif (berdasarkan potensi produksi sabut kelapa) dan mempunyai peluang yang besar. Peluang tersebut dapat diraih dengan syarat adanya perbaikan dan pengembangan teknologi proses sehingga menghasilkan serat yang memenuhi persyaratan kualitas yang diinginkan pasar.

Serat sabut kelapa Indonesia dihadapkan kepada negara-negara pesaing yang lebih maju dalam hal teknologi produksi serat sabut kelapa dari segi persaingan, sehingga mempunyai kualitas yang lebih unggul. Persaingan tersebut juga dihadapi oleh karena perkembangan aplikasi teknologi yang lebih maju dalam membuat produk industri dengan bahan baku serat sabut kelapa. Negara-negara pesaing Indonesia tersebut antara lain adalah Srilanka, India, Thailand dan Philipina.

Jalur distribusi pemasaran serat sabut kelapa dengan melihat uraian di atas dapat digambarkan seperti pada skema rantai pasokandi bawah ini. Jalur distribusi ini juga cukup singkat. Jalur distribusi serat sabut kelapa dari unit pengolahan serat sabut di sentra produksi kelapa hampir lebih dari 95% didistribusikan ke pedagang pengumpul dan selanjutnya ke eksportir. Serat sabut kelapa yang didistribusikan untuk pasaran domestik hanya sedikit sekali. Konsumen untuk pasar domestik ini merupakan konsumen perusahaan besar.

Biaya pada struktur rantai pasokan ini dipengaruhi oleh biaya transportasi dan sistem pengangkutan. Sistem pengangkutan yang tepat dan hemat akan dapat memperkecil biaya dalam rantai pasokan ini. Semakin panjang jalur pemasaran akan semakin memperkecil margin keuntungan di tingkat produsen. Keuntungan yang diperoleh oleh petani juga semakin kecil apabila tidak terlibat langsung dalam kegiatan pemasokan sabut kelapa. Namun, sabut kelapa ini jelas tidak dapat dipasok hanya dari petani saja namun juga dari pengumpul. Secara umum jalur distribusi pemasaran serat sabut merupakan jalur yang cukup singkat. Jalur ini terjadi karena petani dapat langsung turut andil dalam kegiatan pengolahan dan sekaligus memasarkan ke konsumen lokal, domestik atau eksportir. Besarnya penerimaan harga serat sabut sangat tergantung pada panjangnya jalur distribusi rantai pasokan. Semakin pendek jalur distribusi maka semakin tinggi penerimaan harga yang diperoleh petani, demikian sebaliknya.

(20)

Gambar 7 Skema rantai pasokan sabut kelapa

Pemanfaatan Tempurung Kelapa Menjadi Arang aktif

Arang aktif adalah suatu jenis karbon yang memiliki luas permukaan yang sangat besar. Hal ini bisa dicapai dengan mengaktifkan karbon atau arang tersebut. Hanya dengan satu gram dari karbon aktif, akan didapatkan suatu material yang memiliki luas permukaan kira-kira sebesar 500 m2 (didapat dari pengukuran adsorpsi gas nitrogen).

Biasanya pengaktifan hanya bertujuan untuk

memperbesar luas permukaannya saja,

namun beberapa usaha juga berkaitan dengan meningkatkan kemampuan adsorpsi

karbon aktif itu sendiri.

Proses pengolahan arang aktif

Tempurung kelapa yang dulu hanya digunakan sebagai bahan bakar, sekarangsudah merupakan bahan baku industri cukup penting. Produk yang dihasilkan dari pengolahan tempurung adalah arang, arang aktif, tepung tempurung dan barang kerajinan. Arang aktif dari tempurung kelapa memiliki daya saing yang kuat karena mutunya tinggi dan tergolong sumber daya yang terbarukan.

Berat dan tebal tempurung sangat ditentukan oleh jenis tanaman kelapa. Kelapa Dalam mempunyai tempurung yang lebih berat dan tebal daripada kelapa Hibrida dan kelapa Genjah. Tempurung beratnya sekitar 15 – 19 % bobot buah kelapa dengan ketebalan 3 - 5 mm. Komposisi kimia tempurung terdiri atas: selulosa 26.60 %, pentosan 27.70 %, lignin 29.40 %, abu 0.60 %, solvent ekstraktif 4.20 %, uronat anhidrat 3.50 %, nitrogen 0.11 %, dan air 8.00 % (Ibnusantoso 2001).

Tempurung kelapa yang dulu hanya digunakan sebagai bahan bakar, sekarang sudah merupakan bahan baku industri cukup penting. Produk yang dihasilkan dari pengolahan tempurung adalah arang, arang aktif, tepung tempurung dan barang kerajinan. Arang aktif dari tempurung kelapa memiliki daya saing yang kuat karena mutunya tinggi dan tergolong sumber daya yang terbarukan.

(21)

Arang merupakan suatu padatan berpori yang mengandung (85 – 95) % karbon dan dihasilkan dari bahan-bahan yang mengandung karbon dengan pemanasan pada suhu tinggi. Ketika pemanasan berlangsung, diusahakan agar tidak terjadi kebocoran udara didalam ruang pemanasan sehingga bahan yang mengandung karbon tersebut hanya terkarbonisasi dan tidak teroksidasi. Arang aktif adalah arang yang sudah dipanaskan selama beberapa jam dengan menggunakan uap atau udara panas.

Arang aktif banyak digunakan oleh berbagai kalangan industri. Hampir 60% produksi arang aktif di didunia ini dimanfaatkan oleh industri-industri gula, pembersihan minyak dan lemak, kimia dan farmasi, juga sebagai penjernih air. Adapun kegunaan arang aktif secara umum adalah sebagai berikut:

a. Industri obat dan makanan untuk menyaring dan menghilangkan bau dan rasa pada obat dan makanan

b. Industri gula untuk penghilangan zat-zat warna dan menyerap proses penyaringan menjadi lebih sempurna

c. Industri minuman keras dan ringan untuk menghilangkan bau dan warna pada minuman

d. Pembersih air untuk penghilangan bau, warna dan resin

e. Katalisator untuk reaksi katalisator vinil chloride dan vinil acetate

f. Budi daya udang untuk pemurnian, penghilangan amonia dan logam berat g. Kimia perminyakan untuk penyulingan bahan mentah

h. Pemurnian gas untuk menghilangkan sulfur, gas beracun dan bau asap i. Pelarut yang digunakan kembali untuk penarikan kembali berbagai pelarut j. Pengolahan pupuk untuk pemurnian dan penghilangan bau.

Pembuatan arang aktif dari tempurung kelapa terdiri dari 2 tahapan, yaitu: a. Proses pembuatan arang dari tempurung kelapa

Kebutuhan tempurung kelapa 1 ton/hari. Tempurung kelapa harus yang sudah tua, kayunya keras, kadar air rendah, sehingga dalam proses pengarangan, pematangannya akan berlangsung baik dan merata. Jika kadar air tinggi berarti kelapa belum cukup tua, proses pengarangan akan berlangsung lebih lama.

b. Proses pembuatan arang aktif dari arang

(22)

Gambar 8 Bagan proses pembuatan arang aktif

Selain digunakan dalam industri farmasi, pertambangan, dan penjernihan, arang aktif juga digunakan untuk penyaring atau penjernih ruangan untuk menyerap polusi dan bau tidak sedap dalam ruangan. Berdasarkan data ekspor tahun 2003, Indonesia ternyata lebih banyak mengekspor dalam bentuk arang tempurung (56%), sedangkan negara lain dalam bentuk arang aktif (APCC 2000; APCC 2001; APCC 2003). Menurut Standard Industri Indonesia (SlI No. 0258-79) persyaratan mutu arang aktif adalah sebagai berikut:

Tabel 3 Syarat mutu arang aktif

Jenis uji Persyaratan

Bagian yang hilang pada pemanasan 950 °C < 15 %

Air < 10 %

Abu < 2.5 %

Bagian yang tidak mengarang 0 %

Daya serap terhadap larutan I2 < 20 %

Keseluruhan proses pengolahan arang aktif dari tempururng kelapa tidak menyisakan susut bahan yang terbuang. Namun jika dilihat dari rendemennya yang sebesar 25 % dan tar 6%, maka disini terjadi susut bobot, namun susut bobot ini adalah susut yang diinginkan sebagai akibat dari kehilangan air saat pengeringan.

Struktur jaringan rantai pasokan pengolahan tempurung kelapa

Struktur jaringan rantai pasokan tempurung kelapa menunjukkan bahwa bahan baku tempurung kelapa dapat diperoleh dari berbagai wilayah. Pedagang pengumpul dapat ditemui dari pelosok Banyuwangi sampai ke ujung selatan Pandeglang. Hal ini disebabkan terdapat limbah tempurung yang siap untuk diolah langsung menjadi bahan baku arang tempurung. Petani kelapa menjual kelapa dalam bentuk butiran dengan atau tanpa sabut kelapa. Limbah tempurung akan terbawa di pasar-pasar kota dan ada yang menampung limbah tempurung di lokasi-lokasi tersebut.

Struktur jaringan rantai pasokan menunjukkan bahwa bahan baku tempurung diperoleh dari berbagai wilayah terutama dari pengumpul tempurung di pasar-pasar tradisional dan juga dari petani pengolah minyak kelapa ataupun petani pengolah kopra. Bahan baku tempurung ini juga diperoleh dari pedagang antar pulau yang melakukan distribusi pasokan bahan baku tempurung. Kontribusi harga tempurung semakin meningkat karena transportasi tempurung ke lokasi tanur pengarangan yang semakin jauh.

Pengumpul

Pedagang pasar tradisional

Pedagang eceran

Konsumen domestik

Eksportir

Pengolah arang tempurung

(23)

Gambar 9 Skema rantai pasokan tempurung kelapa

Jalur distribusi pemasaran arang tempurung kelapa dengan melihat uraian di atas dapat digambarkan seperti pada skema rantai pasokan di atas. Jalur distribusi ini juga cukup singkat. Jalur distribusi arang tempurung dari unit pengolahan arang tempurung di sentra produksi kelapa hampir lebih dari 85% didistribusikan ke pedagang pengumpul dan selanjutnya ke eksportir. Arang tempurung kelapa yang didistribusikan untuk pasaran domestik hanya sedikit sekali. Konsumen untuk pasar domestik ini merupakan konsumen di pasar-pasar tradisional. Arang tempurung yang dipasarkan di pasar tradisional ini juga merupakan arang tempurung dengan kualitas yang kurang bagus dibandingkan dengan arang tempurung yang dipasarkan ke pedagang pengumpul dan selanjutnya ke perusahaan-perusahaan kosmetika, farmasi maupun eksportir luar negeri.

Biaya pada struktur rantai pasokan ini dipengaruhi oleh biaya transportasi dan sistem pengangkutan. Sistem pengangkutan yang tepat dan hemat akan dapat memperkecil biaya dalam rantai pasokan ini. Semakin panjang jalur pemasaran akan semakin memperkecil margin keuntungan di tingkat produsen. Keuntungan yang diperoleh oleh petani juga semakin kecil apabila tidak terlibat langsung dalam kegiatan pemasokan arang tempurung. Namun, arang tempurung kelapa ini jelas tidak dapat dipasok hanya dari petani saja mengingat jumlah yang diperlukan cukup banyak, namun juga dari pengumpul. Secara umum jalur distribusi pemasaran arang tempurung merupakan jalur yang cukup singkat. Jalur ini terjadi karena petani dapat ikut serta dalam kegiatan pengolahan dan sekaligus memasarkan ke konsumen lokal, domestik atau eksportir. Besarnya penerimaan harga arang tempurung juga sangat tergantung pada panjangnya jalur distribusi rantai pasokan. Semakin pendek jalur distribusi maka semakin tinggi penerimaan harga yang diperoleh petani, demikian sebaliknya.

Analisisi Nilai Tambah Rantai Pasok

Analisis finansial pengolahan tempurung menjadi arang tempurung telah dilakukan oleh Ferry dan Mahmud (2004) dengan asumsi sebagai berikut:

a. Analisis dihitung untuk memproses hasil 1 ha kelapa atau sekitar 6000 butir tempurungkelapa/ tahun.

b. Produksi yang dihasilkan adalah arang tempurung. Setiap 1 kg arang tempurung membutuhkan 24 butir tempurung kelapa.

(24)

d. Penyusutan dihitung per tahun berdasarkanestimasi umur ekonomis aset yang digunakan dengan metode garis lurus

e. Modal investasi, harga faktor produksi dan harga jual produk berdasarkan estimasi harga jangka panjang.

f. Discount rate yang digunakan sebesar 18% sesuai dengan estimasi tingkat suku bunga bank jangka panjang

Perhitungan analisis finansial agroindustri arang tempurung rakyat menunjukkan bahwa dengan harga produk arang tempurung Rp 500,00/kg memberikan B/C ratio 1.11, NPV sebesar Rp 69 249,00; dan IRR 23% (Tabel 4).

Tabel 4 Analisis finansial pengolahan arang tempurung tahun 2004 (5 tahun)

Uraian Aktual

Luas lahan kelapa bahan baku (ha) 1

Harga arang tempurung(Rp/kg) 500

Keterangan: *) Setiap perubahan satu variable, variable lain tetap

Analisis sensitivitas agroindustri ini menunjukkan bahwa dengan asumsi variabel yang lain tetap, harga minimal arang tempurung Rp 352,5 /kg agar usaha tetap layak. Analisis ini juga menunjukkan bahwa dengan asumsi variabel lain tetap maka luas areal tanaman kelapa minimal yang diperlukan sebagai pendukung bahan baku sebesar 0,8 ha yang setara dengan 80 tanaman kelapa agar usaha tetap layak.

Dari hasil perhitungan diatas, untuk mendapatkan 1kg arang aktif dibutuhkan 24 butir tempurung kelapa yaitu sebanding dengan 10 kg tempurung kelapa. Harga tempurung kelapa pada tahun 2004 adalah 200/10kg , sedangkan harga arang aktifnya 500/kg. Begitupula jika harga ini dibandingkan dengan harga sekarang, tahun 2013 harga tempurung kelapa adalah 1200/10 kg, dan haraga arang aktifnya adalah 3500/kg. Bila kita lihat dari perbandingan tersebut makan ada kenaikan nilai tambah sebesar kurang lebih 2 kali lipat dari biaya modal bahan baku.

Bila analisa nilai tambah ini dikaitkan dengan rantai pasoknya, maka nilai tambah dalam hal harga penjualan arang aktif terakhir ke tangan konsumen akan semakin besar. Hal ini dikarenakan adanya kemungkinkan pengumpul atau distributor itu menambahkan kemasan yang lebih baik ataupun grading kualitas, sehingga range harga yang ditawarkan kepada konsumen bervariasi dan bisa berkali-kali lipat dari harga produsennya.

(25)

Hasil analisis sensitivitas industri ini menunjukkan harga minimal arang Rp 352,5/kg dan dibutuhkan kebun kelapa penyedia bahan baku seluas minimal 0,8 ha atau setara dengan 80 tanaman.

Selama ini industri pengolahan arang aktif di dalam negeri kurang berkembang. Ekspor

dilakukan dalam bentuk arang tempurung oleh pengusaha menengah dengan melakukan sortasi arang yang diperoleh dari masyarakat. Hal ini menyebabkan nilai tambah yang diperoleh sangat rendah, dibandingkan jika mengolah arang sampai menjadi arang aktif; nilai tambahnya dapat mencapai lebih dari 300%.

Struktur Rantai Pasokan Agroindustri Kelapa Terpadu

Analisis terhadap rantai pasokan agroindustri kelapa dilakukan secara kualitatif. Hasil yang diperoleh dari analisis ini adalah gambaran umum struktur rantai pasokan yang dirinci berdasarkan aspek-aspek rantai nilai dan performa rantai pasokan. Tinjauan terhadap struktur rantai pasokan dimulai dari rantai pasokan kelapa butiran untuk bahan baku agroindustri pengolah daging buah kelapa, yang diintegrasikan dengan unit pengolah air kelapa, dan unit pengolah sabut kelapa serta unit pengolah tempurung kelapa. Unit pengolahan ini merupakan unit pengolahan dasar dalam agroindustri kelapa untuk mendapatkan manfaat dari setiap bagian dari buah kelapa yang telah dipanen. Sejumlah permasalahan yang dihadapi pelaku rantai pasokan agroindustri kelapa yaitu pemasok, agroindustri pengolah kelapa dan distributor merupakan komponen dalam analisis kebutuhan pendukung yang digunakan dalam perancangan model rantai pasokan. Secara skematis dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 10 Tinjauan struktur rantai pasokan (Van der Vorst 2005)

Tanda panah pada gambar di atas menunjukkan adanya keterkaitan aliran

rantai pasokan Proses Bisnis Rantai pasokan

(26)

Nilai Tambah Hasil Perkebunan Kelapa dengan Pendekatan Sisitem Manajemen Rantai Pasok Terpadu

Buah kelapa memiliki bagian-bagian lain yang masih dapat dimanfaatkan sehingga menjadi nilai tambah. Hal Tersebut telah dijelaskan dengan detail pada sub bab sebelumnya. Berikut tabel keseluruhan nilai tambah dari masing-masing bagian buah kelapa yang masih dapat dimanfaatkan dapat dilihat pada Tabel 5. Perhitungan nilai tambah dilakukan secara sederhana tanpa memperhitungkan faktor-faktor produksi yang lain.

Tabel 5 Nilai tambah dari masing-masing bagian buah kelapa Komoditas Bagian Biaya Bahan Baku(Rp) Harga Produk(Rp) Selisih %

Buah kelapa

Daging 1800 2500 700 38,89

Batok 1200 3500 2300 191,67

Air 6000 36000 30000 500,00

Sabut 50 600 550 1100,00

Butir 1800 1800 0 0,00

Tabel diatas memberikan gambaran bahwa bagian lain dari buah kelapa memiliki nilai tambah yang signifikan dibandingkan jika buah kelapa tersebut hanya diolah satu bagian saja atau bahkan hanya dijual dalam bentuk butiran buah kelapa segar. Begitu pula jika nilai tambah ini dikaitkan dengan sistem manajemen rantai pasok terpadu, artinya pengolahan masing-masing produk tambahan tersebut diproduksi langsung oleh petani kelapa. Maka nilai tambah akan luar biasa besar, tentunya hal ini sebanding dengan tenaga kerja yang dibutuhkan bagi pengolahan produk tersebut.

SIMPULAN

Pengolahan buah kelapa dan bagian-bagiannya memberikan nilai tambah yang besar terhadap komoditas perkebunan ini. Dengan pendekatan sistem manajemen rantai pasok terpadu, analisis nilai tambah dapat dilakukan pada setiap bagian dari pelaku dalam rantai pasok tersebut secara parsial maupun secara keseluruhan. Analisis susut yang terjadi pada setiap rantai akan lebih memudahkan dalam menentukan kebijakan dalam penentuan teknologi yang tepat untuk mengatasi permasalahan yang ada.

Gambar

Gambar 2  Buah dan pohon kelapa Malayan Red Dwarf (Batugal et al. 2005)
Gambar 3  Buah dan pohon kelapa hibrida PB-121 (Batugal et al. 2005)
Gambar 4  Skema struktur jaringan  rantai pasokan buah kelapa butiran
Gambar 5  Pohon industri kelapa
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ketika ia diam dan keadaan sunyi, aku pun berkata kepadanya, “Aku memohon kepadamu dengan sunguh-sungguh agar Anda berkenan memberitahukan sebuah hadits (khusus) yang

Nilai Sig.(2-tailed) sebesar 0,000 jadi hipotesis yang diajukan diterima dan termasuk dalam signifikasi tinggi. Sehingga dapat disimpulkan ada pengaruh kemampuan awal terhadap

Data sekunder dalam penelitian ini meliputi pendidikan (rata-rata lama sekolah), PDRB per kapita harga konstan 2000, tingkat pengangguran terbuka dan jumlah

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa investor yang lebih pesimis memiliki pengaruh yang lebih tinggi terhadap volume perdagangan daripada investor yang lebih optimis dan

KANTOR KESYAHBANDARAN DAN OTORITAS PELABUHAN KELAS II BENOA PEMBANGUNAN GAPURA CANDI BENTAR, PENGASPALAN JALAN MASUK PELABUHAN. (1.200 M2) DAN PENATAAN RUANG TUNGGU TAHUN

memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap minat beli konsumen karena. sebagian besar mahasiswa dan semua biaya itu masih ditanggung

Tidak kala penting, tema pemikiran ekonomi Abu Yusuf adalah penekanan terhadap tanggung jawab penguasa terhadap rakyatnya dan kitab al-Kharaj merupakan bukti

Hasil penelitian ini menunjukkan (1) kemampuan penalaran matematis siswa kelas eksperimen pada materi SPLDV yang dikenai pembelajaran Model-Eliciting Activities setting pendekatan