• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metodologi Penelitian sosial pokok bahasan (9)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Metodologi Penelitian sosial pokok bahasan (9)"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Saat ini ekspor kayu Indonesia masih banyak mengandalkan pada produksi kayu

hutan alam. Menipisnya cadangan hutan alam yang di panen, yang di sebabkan oleh

penyusutan luasnya, atau oleh sebab lain, merupakan peluang bagi kayu produksi hutan

tanaman untuk menggantikan bagian volume ekspor kayu hutan alam yang tidak dapat

terisi.

Melihat prospek yang bagus ini, sudah selayaknya di lakukan usaha pengelolaan

yang lebih intensif, khususnya jika di kaitkan dengan isu pengoptimalan penggunaan

lahan hutan, mengingat masih banyak titik lemah yang menjadi kendala tercapainya

produksi kayu yang maksimal dan lestari. Dalam perkembangannya hutan telah di

manfaatkan untuk berbagai penggunaan, antara lain pemanfaatan hutan dalam bidang Hak

Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH), dan Hak

Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) (Dephutbun, 1998).

` Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) merupakan salah satu program

yang diprioritaskan dalam pembangunan kehutanan di indonesia dalam rangka

meningkatkan potensi kawasan hutan produksi yang di usahakan, di samping sebagai

alternatif logis untuk mengantisipasi kebutuhan kayu dan olahannya (baik untuk

pemenuhan industri kayu dalam negeri maupun orientasi ekspor) yang dari tahun ketahun

cenderung meningkat. Usaha pemerintah adalah dengan membangun HTI yang bertujuan

untuk meningkatkan pendapatan negara dan penyediaan tenaga kerja, dan juga menjaga

hutan alam dari tekanan – tekanan yang berat dari luar. Hutan Tanaman industri di

kembangkan pada hutan alam yang kurang atau tidak produktif (hutan belukar, bekas

(2)

Indonesia mencanangkan target pembangunan HTI sampai tahun 2020 seluas 4,4

juta hektar, dengan target produksi kayu secara umum 9,7 juta m3 per tahun dan di

tingkatkan menjadi 25 juta m3 per tahun pada tahun 2018 (Soerjani, 2003).

Pemilihan jenis tanaman untuk kegiatan Hutan Tanaman Industri di sesuaikan

dengan jenis kondisi tempat tumbuh ( kesesuaian dengan loka tanah), bernilai tinggi, riap

pertumbuhan yang tinggi dan daur atau siklus tanaman yang relatif pendek ( Anonim

dalam Rubi dkk, 2005). Salah satu jenis tanaman yang memenuhi kriteria tersebut diatas

adalah Acacia mangium Willd, namun demikian dalam usaha mempertahankan dan

menaikkan produktivitasnya sangat tergantung kepada keberhasilan penanaman,

pemeliharaan dan pertumbuhan tanaman itu sendiri (Rubi dkk, 2005).

Berkaitan dengan pertumbuhan tanaman dalam pengelolaan Hutan Tanaman

Industri, penetapan daur atau siklus tanaman hutan menjadi hal penting untuk

meningkatkan produktivitas serta kelestarian sumber daya hutan hutan. Penetapan daur

tanaman tidak hanya di kaitkan dengan kepentingan budidaya atau kelestarian hutan,

tetapi lebih mengacu pada pertimbangan ekonomi. Hal ini perlu mendapatkan perhatian

mengingat Hutan Tanaman Industri adalah suatu usaha agribisnis skala besar yang

didalamnya terkandung harapan-harapan ekonomi; terpacunya pertumbuhan tanaman

yang cepat, yang disertai pula oleh kemampuan tanaman memperbesar volume kayunya

merupakan hal yang sangat diinginkan oleh pengelola Hutan Tanaman Industri.

Pengusahaan Hutan Tanaman Industri sebagai usaha agribisnis yang berkiprah di

sektor produksi sangat terkait dengan sub sektor produksi output (agroindustri) atau

pengelolaan hasil yang merupakan satu kesatuan agribisnis (Sjarkowi, 2004). Sebagai

usaha jangka panjang, pembangunan Hutan Tanaman Industri di satu sisi diartikan bahwa

(3)

sangat menentukan laju pengembangan modal itu dan kerja sama antara sub sektor

agribisnis input, produksi dan output (agroindustri). PT Musi Hutan Persada adalah

perusahaan patungan antara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT INHUTANI V

(persero) dengan Perusahaan Swasta PT Enim Musi Lestari (Barito Pacific Group), yang

terletakdi Sumatera Selatan. Proyek ini memprioritaskan pembuatan tanaman, pada

lahan-lahan kosong bervegetasi alang-alang. Luas areal Hak Pengusahaan Hutan Tanaman

Industri (HPHTI) PT Musi Hutan Persada seluas 296.400 hektar, dimana 193.500 hektar

atau 65,30 persennya adalah luasan Tanaman Hutan Tanaman Industri. PT Musi Hutan

Persada (PT MHP) dalam hal ini bertindak sebagai suppliper atau pemasok kayu bulat

bahan baku serpih kayu (chip) untuk PT Tanjung enim Lestari Pulp & Papper (PT TEL)

yang terletak di Kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan. Dengan kontrak kerja selama

20 tahun (Mulai tahun 1998- 2020) dan pasokan 2.300.000 m3 per tahun kayu bulat

bahan baku serpih kayu (chip).

Penelitian di fokuskan pada Acacia mangium Willd areal Hutan Tanaman Industri

PT Musi Hutan Persada yang saat sekarang pengembangan telah memasuki umur

pemanfaatan kayunya (masa panen), dengan tujuan untuk mengukur waktu tebang

optimum dan Nilai Tegakan Acasia mangium Willd.

1.2. Rumusan Masalah

Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) tidak hanya untuk mengusahakan

tanaman selama satu musim tanam saja, tetapi merupakan suatu usaha erkesinambungan.

Karena itu, kegiatan penanaman awal lahan-lahan Hutan Tanaman ndustri harus

(4)

Perhatian terhadap panjang daur atau siklus tanaman memungkinkan penentuan

panenan atau penebangan dapat dilakuka. Nilai ekonomi sumber daya hutan sebagai aset

ekonomi di dalam proses pembangunan tergantung pada nilai sekarang dari potensi

kemanfaatannya.

Saat ini pohon akasia yang di jadikan bahan baku pabrik pulp PT. Tanjungenim

Lestari (PT.TEL) sebagian besar sudah layak panen. Luas lahan milik perusahaan Group

Barito Pasific ini sekitar 193.000 ha dari 296.000 hektar yang di cadangkan sebelumnya.

Disamping belum siapnya PT Tanjung Enim Lestari menampung pasok kayu sesuai

dengan kontrak 2,3 juta m3/tahun yang menyebabkan masih banyak tegakan kayu yang

siap panen tidak di tebang, sehingga dari segi bisnis tentu mendatangkan kerugian. Juga

karena dalam memasuki usianya ke-10 tahun ini, persoalan lahan PT MHP tidak kunjung

selesai, bahkan sejak reformasi, tuntutan wargapun makin meningkat dengan berbagai

cara, baik melalui surat ke pihak berwenang, dialog, maupun aksi demo (mulai dari

masalah ganti rugi pembebasan lahan, isu lingkungan sampai pada sistem rekruitmen

tenaga kerja yang dinilai tidak transparan), yang juga tentunya menambah kerugian

perusahaan.

Dari keadaan ini, dapat dirumuskan permasalahan berikut:

1. Berapakah umur pertumbuhan volume pohon Acacia mangium Willd yang

optimal secara fisik dapat ditebang?

2. Berapa besar nilai tegakan pohon Acacia mangium Willd di HTI PT Musi

(5)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan

untuk :

1. Mengukur waktu tebang optimum Acacia mangium Willd di HTI PT Musi Hutan

Persada

2. Mendapatkan nilai tegakan Acasia mangium Willd di Hutan Tanaman Industri

PT Musi Hutan Persada (HTI MHP).

1.4 Signifikasi Penelitian

1. Memberikan informasi mengenai umur penebangan yang optimal berdasarkan

aspek biologis dan nilai tegakan berdasarkan aspek ekonomi.

2. Memberikan masukan bagi unit Pelaksana HTI yang ada, khususnya PT. Musi

Hutan Persada.

3. Menambah kajian optimalisasi penebangan hutan tanaman, baik berdasarkan

aspek biologis maupun aspek ekonomi.

4. Memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Magister Sains pada program

(6)

II. KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Teori

2.1.1. Hutan Tanaman Industri (HTI)

Sumber daya hutan harus dikelola secara berkelanjutan untuk memenuhi

kebutuhan sosial, ekonomi, ekologi, budaya dan spiritual generasi kini dan mendatang.

Peranan hutan tanaman perkebunan sebagai sumber energi terbaharui dan bahan baku

industri yang berkelanjutan serta berwawasan lingkungan harus diakui dan di tingkatkan

peranannya (Prinsip- prinsip Kehutanan, 2003).

Kegiatan pembangunan dan pengembangan hutan melalui usaha Hutan Tanaman

Industri (HTI) mulai di terapkan sejak di keluarkannya Surat Keputusan (SK) Menteri

Kehutanan No. 142 tahun 1986. Selanjutnya di perbaharui melalui surat keputusan

Menteri Kehutanan No. 10/Kpts-II/1986 dan Peraturan Pemerintah (PP) Republik

Indonesia No.7 tahun 1990. Hutan Tanaman Industri adalah hutan tanaman yang

dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan

menerapkan sistem silvikultur intensif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri

hasil hutan (Peraturan Pemerintah Repiblik Indonesia (PPRI) No.7 tahun 1990).

Tujuan pengusahaan Hutan Tanaman Industri secara umum adalah;

1. Menunjang pengembangan industri hasil hutan dalam negeri guna

meningkatkan nilai tambah dan devisa.

2. Meningkatkan produktivitas lahan dan kualitas lingkungan hidup.

(7)

Sedangkan HTI dikelola secara profesional dan di usahakan berdasarkan asas

manfaat, asas kelestarian dan asas perusahaan (profit oriented). Berdasarkan analisis

permintaan dan penawaran, diperkirakan sekitar tahun 2010 Hutan Tanaman Industri akan

menjadi pemasok utama bagi industri perkayuan di indonesia (Hakilla, 2004). Lebih

lanjut Hakilla membagi HTI menjadi dua kelompok, pertama HTI untuk pulp dan yang

kedua HTI untuk non pulp.

Dalam melaksanakan pengusahaan HTI tidak terlepas dari prinsip- prinsip

manajemen kehutanan, yaitu meliputi aspek ekonomi, sosial dan pemecahan

permasalahan mengenai areal hutan. Sementara itu aspek-aspek utama yang tercakup

adalah silvikultur, perlindungan serta pengaturan hutan dalam arti luas (Leuschner, 2010).

Sistem silvikultur adalah proses penanaman, pemeliharaan, penebangan, pergantian suatu

egakan hutan untuk menghasilkan produksi kayu atau hasil hutan dalam bentuk tertentu.

Secara tradisional ekonomi kehutanan berkaiatan dengan pengelolaan hutan untuk

menghasilkan kayu yang di gunakan untuk industri perumahan, industri kertas/ pulp serta

kegunaan lainnya. Disamping itu hutan juga dapat digunakan untuk keperluan

peternakan, pemeliharaan hewan liar dan ikan, rekreasi serta penyimpan air (tata air).

Keuntungan lainnya adalah hasil hutan dapat di kombinasikan dengan bahan-bahan lain

untuk diolah lebih lanjut. Beberapa kegunaan lainnya, khususnya untuk keperluan

rekreasi dan lingkungan hidup semakin penting dalam beberapa tahun terakhir

(Pearse, 2010).

Hutan Tanaman Industri dapat digolongkan pada “Regulated Forest” dimana

menggambarkan kesamaan pada volume, ukuran dan kualitas pohon pada setiap areal

penanaman. Karena itu disebut juga mempunyai tegakan yang sama atau homogen

(EveAged Stands) dimana hampir tidak terdapat perbedaan pada umur pohon (Leuschner,

(8)

ekonomi, baik pada saat persiapan maupun penanaman. Disamping itu dapat pula

dilakukan penebangan dengan menggunakan mesin karena areal penanaman relatif

teratur.

Pengelolaan hutan tanaman secara umum meliputi aspek penanaman dan

penebangan secara rutin, sedangkan di pihak lain pengelola di hadapkan pada masalah

perkembangan diameter pohon yang ditanam relatif lambat. Pengelola tidak hanya

memutuskan untuk memaksimalkan hasil dari tanah yang digunakan, tetapi juga

menyangkut kapan untuk melakukan penebangan dan penanaman kembaki (Tientenberg,

2012).

Prinsip hasil yang lestari (Sustained Yield Principles) telah sejak lama dianut

dalam pengelolaan hutan produksi. Prinsip hasil lestari dapat diukur melalui dua

pendekatan. Pendekatan pertama berdasarkan pada aspek fisik (areal, volume kayu)

sedangkan pendekatan yang kedua dari segi ekonomi (Endang, 1993). Pendapat ini

sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Tienteberg, bahwa pengelolaan hutan

menyangkut aspek biologis dan ekonomis. Pearse mengungkapkan bahwa pengelola

hutan yang profesional harus menggabungkan pengetahuan b iologis jenis tumbuhan yang

diusahakan dengan ilmu pasti yang lainnya, ilmu terapan dan ilmu sosial antara lain ilmu

ekonomi.

Menurut Alam Setia (2005), jenis pohon yang diusahakan dalam pembangunan

Hutan Tanaman Industri haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut;

1. Kesesuaian dengan tempat tumbuhnya (iklim, tipe tanah, kesuburan).

(9)

4. Dikuasai teknologi budidaya

Disamping bertujuan untuk merehabilitasi lahan kritis, HTI juga untuk

mengantisipasi kelebihan permintaan kayu industri yang dibutuhkan oleh industri hasil

hutan. Secara prosedural pihak- pihak yang berminat untuk menanamkan modal pada

kegiatan Hutan Tanaman Industri baik swasta, BUMN maupun koperasi dapat

mengajukan permohonan kepada menteri Kehutanan dan Perkebunan disertai

rekomendasi dari Kepala Kanwil Departemen Kehutanan setempat. Luas areal HTI uintuk

industri pulp maksimal seluas 300.000 hektar, sedangkan untuk industri kayu pertukangan

dan energi maksimal seluas 60.000 hektar.

Kegiatan agribisnis HTI tentu tidak hanya “Farming Oriented” tapi akan berlanjut

dengan pengelolaan hasil, misalnya berupa agroindustri kayu/chip dan juga berupa

agroindustri bubur kertas dan pulp, disamping hasil sampinganya berupa tanaman

tumpang sari atau tanaman sela pada areal Hutan Tanaman Industri.

PT Musi Hutan Persada merupakan perusahaan yang mengusahakan HTI dengan

komposisi permodalan 60% dari PT Tanjung Enim Musi Lestari (Barito Pasific Group)

dan PT INHUTANI V (Persero) 40%. Luas areal HPHTI PT Musi Hutan Persada adalah

296.400 ha, dimana areal tanaman HTI seluas 193.500 hektar dengan tujuan untuk

memproduksi kayu bulat sebagai bahan baku industri pulp. Perusahaan Hutan Tanaman

Industri yang dikelola PT MPH dari aspek ekonomis relatif lebih menguntungkan, karena

disamping mengusahakan kayu serat yang relatif berdaur pendek juga didukung oleh

tersedianya industri pulp. Hasil hutan yang dipungut oleh PT MHP berupa Acacia

mangium Willd ini dikirim atau di jual kepada PT Tanjung Enim Lestari (PT TEL Pulp &

(10)

Pabrik bubur kertas pulp PT Tanjung Enim Lestari yang berkedudukan di

kecamatan Gunung Megang (Muaraenim) ini dioperasikan untuk memenuhi kebutuhan

pulp dunia, dengan perkiraan produksi awal pabrik sekitar 450.000 ton pulp per tahun,

dan untuk setiap ton pulp akan menggunakan bahan kayu akasia sebanyak 4,5 m3 . Pulp

yang dihasilkan akan diekspor ke negara Eropa dan negara tetangga indonesia.

2.1.2. Karakteristik Acasia mangium Willd.

Acacia mangium Willd. termasuk kedalam famili leguminosae, sub famili

mimosoideae (Benson dalam Benny, 1995), dan mempunyai nama daerah yang disebut

akasia. Jenis ini merupakan tumbuhan asli yang tumbuh dan menyebar secara alami di

negara bagian Queensland (Australia), Papua Nugini (PNG) bagian barat daya dan pulau

Torres Strai. Sedangkan di indonesia di kepulauan Aru (Maluku Selatan), daerah Irian

Jaya dan pulau Seram (Soebarjo, 2011).

Menurut Soebarjo (2011) akasia merupakan jenis yang tergolong cepat tumbuh,

dan dapat tumbuh baik pada ketinggian kurang dari 500 meter di atas permukaan laut

pada tanah yang cukup subur dan jenis ulfisol (podsolik merah kuning) tanaman ini

mencapai tinggi hingga 23 meter dengan diameter lebih dari 20 cm. Secara alami jenis ini

tumbuh di daerah tropis dengan curah hujan tinggi lebih dari 2000mm/ tahun dan suhu

rata-rata yang optimum bagi pertumbuhannya adalah 26,7oC (merata sepanjang tahun)

terutama di dataran rendah dan beriklim basah, jenis tanah yang di tempati pada

umumnya bersifat masam, jarang terdapat pada tanah yang berasal dari batuan induk,

dapat tumbuh pada tanah berlempung dan alluvium (Davidson, 2002) namun jenis ini

(11)

bekas perladangan, lereng-lereng terjal, lahan alang-alang, juga pada tanah yang lapuk

karena hujan. Hal ini di sebabkan karena jenis ini berasoisasi dengan jasad renik yang

hidup secara simbiotis mutualisme pada akarnya yang berfungsi sebagai pengikat

nitrogen. Jenis tanaman ini termasuk pioner dan memerlukan cahaya untuk

pertumbuhannya secara baik. Permudaan dan perbanyakan jenis ini dapat di lakukan

dalam dua cara yaitu dengan perbanyakan secara generatif yaitu penyerbukan dan cara

vegetatif yaitu stek, sambungan atau kultur jaringan (Nicholson, 2002).

Musim berbuah di mulai pada bulan maret sampai dengan buklan juni setiap

tahunnya. Pemungutan benih di lakukan padabulan april sampai dengan bulan juni.

Pemungutan yang paling tepat, yaitu pada buah mencapai tingkat kemasakan fisiologis

karena akan menghasilkan benih yang bermutu baik dan mudah diekstraksi. Benih akasia

termasuk ortodok, berkulit biji keras, dan mempunyai tingkat dormansi biji yang cukup

panjang. Untuk keperluan persemaian, sebelum benih di tabur di rendam dulu dalam air

dingin selama 24 jam , kemudian setelah 4 sampai 8 hari, di tanam di dalam polybeg

dengan media tanah, pasir dan kompos selama 3 bulan, kemudian bibit siap dipindah ke

lapangan dengan jarak tanam 4m X 2m, 4m X 3m dan 4m X 4m (Syarif, 2012).

Penyakit yang sering menyerang akasia pada umumnya adalah penyakit busuk

akar terutama pada tanaman yang masih muda ( 1 tahun) dengan tandsa- tanda daun layu,

rontok, akarnya busuk bewarna hitam dam akhirnya mati.Di duga penyebab penyakit ini

adalah jamur Fusarium sp, sedangkan yang biasa menyerang anakan adalah

Colletothricum sp. Upaya pencegahan dan pengendalian adalah melalui penyemprotan

fungisida Dithane M- 45 atau Conin dengan interval 10 - 15 hari. Hama yang paling

sering menyerang anakan di persemaian adalah ulat Barket Worr, dan upaya

(12)

2.1.3. Pertumbuhan dan Volume Tanaman Industri

Pertumbuhan tanaman adalah perkembangan yang dinyatakan dalam

pertumbuhan ukuran suatu sistem organik selama jangka waktu tertentu atau di sebut riap

pertumbuhan (Sudiono dalam Ruby, 1997). Riap pertumbuhan pohon dapat di ukur dari

penambahan diameter, tinggi atau volumenya (Lap. BTR 2004).

Fungsi pertumbuhan melukiskan hubungan antara input dan ouput (produk).

Kekhususan dari fungsi pertumbuhan dapat di identifikasikan dan di ukur dalam riap

pertumbuhan. Riap pertumbuhan yang dapat diukur dan diidentifikasikan meliputi riap

pertumbuhan volume, riap pertumbuhan diameter dan riap pertumbuhan tinggi yang

dikukur dengan satuan tertentu (Pramono, 2007).

Pertumbuhan diameter pohon adalah perkembangan dimensi diameter pohon

sejak ditanam hingga mencapai ukuran maksimum. Diameter merupakan salah satu

parameter pohon mempunyai arti penting dalam pemantauan potensi hutan untuk

keperluan pengelolaan. Sebagai benda hidup banyak aspek yang mempengaruhi

pertumbuhan pohon selama hidupnya. Sifat genetik yang dibawa dan kondisi lingkungan

akan menentukan pertumbuhan pohon. Kondisi lingkungan diantaranya adalah iklim,

tanah, topografi beserta sifat fisik dan kimia serta interaksinya. Spurr dan Barnes (2002)

menamakan kualitas tempat tumbuh untuk menyatakan gabungan dari seluruh

faktor-faktor lingkungan. Sifat pertumbuhan diameter pohon dipengaruhi oleh kerapatan

tegakan, peka terhadap perubahan tempat tumbuh, serta korelasi erat dengan

pertumbuhan voluume tegakan. Kurva volume tegakan tanaman adalah suatu model

matematik kurva yang menggambarkan pertumbuhan tanaman atau pohon ditinjau dari

aspek perkembangan dimensi pohon- pohon dalam tegakan mulai dari tumbuh ditanam

(13)

Pola pertumbuhan tegakan hutan tanaman sejenis dan seumur dapat digambarkan

ke dalam kurva yang berbentuk sigmoid (Leuschner, 2010). Kurva dimulai pada titik nol,

mula-mula naik secara pelan, pada tahap berikutnya kurva akan meningkat dengan cepat

hingga berikutnya kurva akan meningkat secara cepat hingga berikutnya mencapai titik

belok. Setelah melalui titik belok, laju kurva menurun secara pelan sampai kurva secara

asimptotis menuju nilai maksimum tertentu. Laju pertumbuhan diameter dan tinggi

tegakan merupakan turunan pertama dari model matematik kurva pertumbuhan diameter

tanaman atau pohon mengikuti bentuk parabolis. Kurva laju pertumbuhan diameter

tanaman dapat dipakai untuk meihat pola pertumbuhan diameter atau titik optimum

pertumbuhan diameter.

Kurva pertumbuhan volume pohon menggambarkan perubahan yang terjadi pada

volume pohon berdasarkan perubahan waktu. Bentuk kurva pertumbuhan yang sigmoid

atau concave telah digunakan selama bertahun-tahun untuk menjelaskan pertumbuhan

volume pohon, khususnya menyangkut pengukuran tegakan pohon (Nautiyal dan

Williams, 2010).

Data riap pertumbuhan diperlukan untuk meramalkan waktu dan volume produksi

serta tindakan- tindakan silvikultur yang diperlukan untuk meningkatkan produksi

(Buletin Penelitian Kehutanan, 2004).

Berdasarkan pendekatan biologis menurut Tietenberg (2012) perkembangan

volume pohon dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu;

1. Fase awal, yaitu pada fase ini pohon masih sangat muda sedangkan riapnya agak lambat tetapi terus bertambah.

2. Fase pertumbuhan, pada fase ini riap pohon mengalami peningkatan yang relatif lebih cepat.

(14)

Dari kurva pertumbuhan volume dapat diturunkan kurva pertumbuhan volume rata-rata tahunan (MAI = Mean Annual Increamental) dan kurva pertumbuhan volume tahunan (PAI = Periodic Annual Increamental).

Hubungan antara volume pohon dengan pertumbuhan volume pohon rata-rata dan pertumbuhan volume tahunan di perlihatkan pada Gambar 2.

Volume

c

b

a

0 Umur (tahun)

Gambar 1. Fungsi Pertumbuhan Volume Pohon

M3/ha

volum

PAI

(15)

* Penebangan Optimum

Gambar 2. Hubungan Kurva Volume Pohon, Pertumbuhan rata-rata dan

Pertumbuhan Tahunan.

Penebangan kayu secara optimal berdasarkan pendekatan biologis menurut

Titenberg akan di tebangkan pada saat Mean Annual Increamental (MAI) nilainya

maksimum. Hal ini di ungkapkan juga oleh Avery dan Burkhart (1983) serta Leuschner

(1990), bahwa nilai MAI maksimum sering di tetapkan sebagai masa rotasi penebangan

optimal.

Pendekatan biologi dapat digunakan untuk mendukung pendekatan ekonomi.

Banyak aspek yang berkaitan dengan pendekatan ekonomi, seperti tingkat harga kayu,

suku bunga, volume kayu, biaya penanaman dan penebangan yang lebih lanjut akan

menentukan tingkat pendapatan.

Pertumbuhan rata-rata

PAI

MAI

0 Umur (Tahun)

(16)

2.1.4. Nilai Tegakan Pohon Hutan Tanaman Industri

Menurut definsi operasioanal, dipandang dari kepentingan manajemen hutan,

tegakan merupakan suatu hamparan lahan hutan yang secara geografis terpusat dan

memiliki ciri-ciri kombinasi dari sifat-sifat vegetasi (komposisi jenis, pola pertumbuhan ,

kualitas pertumbuhan), sifat-sifat fisik (bentuk lapangan, kemiringan lapangan dll) yang

relatif homogen serta memiliki luasan minimal tertentu sebagaimana yang diisyaratkan.

Secara operasional lagi, ke dalam pengertian tegakan ini sering di tambahkan pula

persyaratan keseragaman dalam sifat-sifat pengembangan (saran prasarana untuk

pengusahaan hutan). Dengan definisi operasional seperti ini, ditinjau dari kepentingan

silvikultur, tegakan dapat berfungsi sebagai kesatuan perlakuan silvikultur, yaitu kesatuan

tempat di berlakukan satu atau lebih perlakuan silvikultur yang seragam dalam waktu

yang sama. Jadi apabila pada suatu waktu tertentu pada suatu tegakan diadakan

penebangan , maka seluruh areal pada tegakan ini harus mendapat perlakuan sama dan

selesai pada periode jangka waktu tertentu . Jangka waktu pelaksanaan kegiatan setiap

tegakan biasanya di ambil satu tahun.

Berkaitan dengan aspek ekonomi Tietenberg mengasumsikan terdapat dua biaya

pengelolaan lahan yaitu biaya penanaman dan biaya penebangan. Nilai Tegakan

(stumpage value) merupakan nilai penghasilan hutan pada posisi nilai sekarang (present

value) dan meliputi tegakan pohon di hutan, lahan dan input kapital.

Sementara itu menurut Pearse (2010) pada umur berapa pohon akan ditebang

merupakan salah satu permasalahan pokok dari pengelolaan hutan berdasarkan aspek

(17)

pearse, di mana diungkapkan perlu untuk menghitung nilai tegakan (Stumpage value) dari

pohon. Secara sederhana mengembangkan pendekatan nilai tegakan, dimana nilai tegakan

pohon adalah nilai hasil dari pengurangan antara seluruh penerimaan penjualan kayu

dengan biaya yang dikeluarkan.

Dalam teori overturn methord-nya, Davis (1994) dalam Hidayat (2012),

mendefinisikan nilai tegakan atau stumpage value sebagai nilai penjualan dari produk

(selling value of products sold) dikurangi dengan biaya produksi (production cosis

termasuk depretation ) dikurangi margin for profit and risk yang diukur dari persentase

biaya produksi. Stumpage yang dimaksud di sini adalah kayu-kayu dalam hutan , apa

adanya dalam hutan (Worrel, 1999 dalam Hidayat 2012). Berdasarkan definisi Worrel

tersebut dapat mendefinisikan stumpage value sebagai harga yang dibayar oleh pembeli

untuk pohon berdiri yang siap panen.

Dalam beberapa literatur mengenai pengelolaan hutan istilah penerimaan wajar

pengusaha disebut sebagai the margin of and risk (Chapman and Mayer, 1997 dalam

Hidayat, 2012), dimana didalamnya mengandung pengertian tingkat suku bunga umum

dalam modal yang dinvestasikan di tambah pengamanan untuk resiko berusaha (risk).

Istilah tersebut oleh Davis dan Jhonson, 1997 dalam Hidayat (2012) disebut margin

allowance for profit and risk. Besarnya margin keuntungan dan resiko bagi usaha HTI

adalah pendapatan normal pengusaha yang dialokasikan dalam unsur biaya total

produksi. Besarnya margin keuntungan dan resiko ini berbeda- beda sesuai kesepakatan

antara pemilik sumber daya dan penyewa.

Davis (1994) menetapkan besarnya margin keuntungan dan resiko ini sebesar

15% dari biaya total produksi, Chapman dan Mayer (1994) menetapkan 48%, US fores.

(18)

– 13 % (Davis and Jhonson, 1997) dalam Hakila (2004). Dalam penelitian ini margin

keuntungan dan resiko ditetapkan sebesar 25%.

Nilai tegakan pohon (S) dapat meningkat disebabkan oleh tiga faktor yaitu;

1. Volume kayu yang dijual mengalami peningkatan yang disebabkan oleh

meningkatnya tinggi pohon per hektar.

2. Bila pohon semakin tua dan bertambah besar volumenya maka kayu yang

dihasilkan akan semakin bertambah besar nilainya.

3. Pohon yang lebih besar biasanya dapat di tebang dengan biaya per meter kubik

yang lebih rendah.

Secara terperinci Pearse (2010) mengungkapkan bahwa dalam kenyataannya

terdapat banyak variabel- variabel yang mempengaruhi optimasi penebangan antara lain,

tingkat bunga, biaya penanaman , produktivitas tanah, biaya tahunan, pajak, pendapatan

non kayu serta prediksi harga dan biaya.

Perubahan- perubahan variabel- variabel ini akan berpengaruh terhadap besarnya

nilai tegakan pohon (stumpage value) dan selanjutnya akan menentukan pelaksanaan

kebijaksanaan penebangan di lapangan.

Perubahan tingkat bunga mempunyai hubungan yang negatif dengan optimalisasi

penebangan. Bila suku bunga meningkat maka waktu penebangan akan diperpendek agar

pengelola hutan tanaman tidak mengalami kerugian , karena semakin besarnya beban

biaya yang harus ditanggung pengelola bila masa penebangan tidak diperpendek.

Sedangkan jika tingkat bunga turun umur penebangan akan diperpanjang. Tindakan ini

(19)

bertambahnya umur pohon, volumenya akan meningkat dan nilai tegakan juga

meningkat.

Meningkatnya biaya penanaman mengakibatkan umur penebangan akan

diperpanjang. Hal ini disebabkan dengan meningkatnya biaya maka nilai tegakan menjadi

lebih rendah, sedangkan bila biaya penanaman turun nilai tegakan meningkat maka masa

penebangan akan diperpendek.

Sementara itu produktivitas tanah mempunyai hubungan yang negatif dengan

optimalisasi penebangan. Semakin tinggi produktivitas tanah, umur penebangan akan

diperpendek karena pertumbuhan volume kayu lebih cepat dan biaya penanaman akan

turun mengakibatkan nilai tegakan meningkat. Sedangkan bila produktivitas tanah rendah

mempunyai hubungan sebaliknya .

Biaya tahunan tidak akan mempengaruhi optimalisasi penebangan, karena biaya

tahunan diasumsikan tidak mempunyai hubungan langsung dengan pengelolaan hutan.

Sementara itu antara pajak dengan optimalisasi penebangan bisa positif atau

negatif, dimana tergantung pada jenis pajaknya. Pajak terhadap tanah tidak ada pengaruh

karena pajak tanah tidak berhububgan langsung dengan pengelolaan hutan.

Hubungan antara pendapatan non kayu dengan optimalisasi

penebangandidasarkan pada beberapa faktor, sebagai contoh jika peranannya besar, maka

hubungannya negatif. Bila pendapatannya non kayu turun, maka nilai tegakan akan turun

dan penebangan dipercepat. Selain itu dapat dilihat berdasarkan waktu pertambahan

diameter pohon. Bila pertambahannya relatif besar pada saat pohon berusia tua maka

(20)

Prediksi harga dimasa mendatang mempunyai hubungan yang negatif dengan

penebangan optimum. Bila harga diperkirakan akan meningkat, maka nilai tegakan akan

meningkat dan umur penebangan akan diperpendek. Bila harga kayu diprediksi akan

turun maka umur penebangan akan diperpanjang.

Volume pohon Nilai Tegakan

Nilai

Volume Pohon

0 (a) Umur (Tahun)

Gambar 4. Hubungan kurva Volume Pohon, Nilai Tegakan dengan Umur Pohon

Pendugaan nilai lahan hutan (nilai tegakan) dinilai dari pohon yang di hasilkan,

karenanya pendugaan nilainya memerlukan pengukuran terhadap pohon- pohon tersebut

dalam rentang waktu tertentu (Davis dalam Sianturi, 1998).Masalahnya adalah

bagaimana menentukan nilai pendapatan masa mendatang atau kontribusi lahannya

sendiri. Empat nilai pendapatan masa mendatang perlu di perhitungkan yaitu;

1. Bonita (site quality)

(21)

3. Nilai pasar dari proiduk yang dihasilkan

4. Selang waktu untuk mengukur tingkay bunga

Untuk menduga nilai lahan hutan secara langsung selalu dimulai dengan sebidang

lahan gundul serta memperhatikan perkembangan pembangunan tegakan diatasnya.

Secara sederhana tegakan tumbuh hingga masak tebang dan panen serta tegakan yang

baru muncul dengan tanpa batas waktu dalam suatu proses produksi kayu. Menurut

Mangundikoro (1973) dalam Sianturi (1998) cara- cara penilaian terhadap tegakan dalam

penerapannya umunya berliku-liku dan tidak mudah di lakukan. hal ini disebabkan karena

tegakan mempunyai variasi yang luas dalam bentuk, ukuran dan kualitas kayu yang

dihasilkan. Penafsiran nilai tegakan bisa dengan “Capitalization approach”, Cost

approach” dan “Conversion approach”.

Capitalization Approach dilakukan dengan taksiran nilai tegakan – tegakan

sekarang melalui perhitungan hasil netto masa depan yang secara layak diharapkan. cara

ini menghasilkan apa yang di sebut “nilai harapan” (expectation value).

Pada Cost Approach diadakan taksiran nilai netto tegakan sekarang berdasarkan

perhitungan biaya netto yang di keluarkan dari saat hutan di tanam sampai pada saat

penebangan akan dilakukan.

Conversion Approach mendasarkan taksasi nilai tegakan atas harga jual kayu di

pasaran dikurangi biaya produksi dan keuntungan (profit) serta resiko yang

diperhitungkan. Cara ini oleh Djajapertjunda dalam Sianturi (1998) di anjurkan untuk

digunakan pada Hutan Tanaman Industri.

Dalam studi ini dilakukan perhitungan berdasarkan kondisi aktual dari tegakan

(22)

ketras (pulp), dengan memperhatikan kelas umur, jenis tanaman Hutan Tanaman Industri

(Acacia mangium Willd) dan intensitas manajemen atau pengelolaan HTI serta nilai

pasar (harga jual) kayu.

Mangundikoro dalam Sianturi (1998) mengemukakan tiga alasan mengapa

penggunaan conversion approach lebih baik yaitu;

1. PT Musi Hutan Persada sebagai pengelola Hutan Tanaman Industri di

Sumatera Selatan mempunyai kekuatan yang mengarah pada sifat

monopolistis. Pada keadaan demikian penentuan harga di lakukan berdasarkan

biaya yang di keluarkan.

2. PT MHP sebagai perusahaan swasta murni yang bekerja sama dengan BUMN

Inhutani V tidaklah hanya bertujuan semata-mata mencari keuntungan tanpa

memperhatikan kepentingan masyarakat, dengan pendekatan biaya dapat

dikendalikan besarnya keuntungan tanpa merugikan perusahaan.

3. Merupakan dasar yang rasional untuk menekan biaya (cost minimization) dari

seluruh kegiatan.

Dalam memproduksi tegakan diperlukan berbagai kegiatan dimulai dari kegiatan

penanaman, pemeliharaan tanaman , perlindungan hutan , dan pengelolaan. Kegiatan

penanaman terdiri dari persemaian, penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, proteksi

atau perlindungan tanaman, dan pemanenan (logging). Kegiatan pemeliharaan dilakukan

pada tahun pertama dan pada tahun kedua. Penjarangan tidak dilakukan karena tujuan

pengembangan HTI ini sendiri sebagai bahan baku untuk industri bubur kertas (pulp),

jadi jumlah pohon tanam akan sama saat panenan dilakukan, dengan catatan tidak

(23)

90%) . Perlindungan hutan dan pengelolaan hutan merupakan kegiatan rutin yang

dilakukan sepanjang tahun, atau dari tanam sampai penebangan dilakukan. Semua

kegiatan tersebut harus tercermin dalam model yang digunakan untuk menduga atau

menghitung nilai suatu tegakan.

2.2. Penelitian Sebelumnya

Pertumbuhan pohon umumnya dapat diukur dari penambahan diameter, tinggi

atau volume terhadap umur pohon (Chapman dan Mayer, 1999). Secara umum

permasalahan klasik mengenai prediksi volume dari hutan seumur dapat dijelaskan dalam

bentuk hubungan berikut (Amateis dan Mc. Dill, 1989).

Y = f ( Hd, N, A )

Y = Volume pohon rata-rata per hektar

Hd = Tinggi tegakan dominan

N = Jumlah pohin per areal

A = Umur tegakan

Dari berbagai penelitian mengenai pertumbuhan pohon umumnya belum

dijelaskan secara lengkap mengenai volume pohon seperti diungkapkan oleh Avery dan

Burkhart. Dimana Avery dan Burkhart menjelaskan secara lengkap baik berdasarkan

pendekatan ekonometrik maupun grafis.

Dalam Wahjono (2004) dikemukakan bahwa pembahasan mengenai model

pertumbuhan dipelopori oleh Mc. Kinney dan Chaiken’s (1939) dengan menggunakan

teknik perhitungan regresi berganda untuk memprediksi hasil yang di dapat. Kemudian

(24)

pembuatan model tegakan dinamis dari aspek phisik- biologis. Selanjutnya pembahasan

mengenai pertumbuhan volume pohon di lanjutkan oleh Husch (1963), Loetsch et al

(1973), Goulding dan Murray (1975) dan Laasasenaho (1982). Dalam penelitiannya

mengenai meranti merah di kalimantan hanya diestimasi hubungan antara volume pohon

dengan diameter dan tinggi pohon dengan menggunakan persamaan “regresi taper”

Begitu pula penelitian yang dilakukan oleh Riyanto dan Kusnandar (1994) pada

Balitbang Kehutanan Balai Teknologi Reboisasi (BTR) Palembang. Dalam penelitian

mereka hanya di bahas hubungan antara pertumbuhan diameter terhadap umur pohon

dengan menggunakan “regresi Chapman dan Mayer”. Walaupun begitu dalam penelitian

mereka telah dibahas mengenai penebangan optimal. Masa penebangan yang optimal

didapat dengan cara menerapkan “metode diferensial” pada persamaan regresi diameter

pohon . Berdasarkan penelitian mereka terhadap jenis Paraserinathes falcataria ini

penebangan optimal dilakukan pada saat tegakan berumur sekitar dua tahun. Sementara

itu Widodo, Hulser dan Suharti yang melakukan penelitian pada jenis pinus mendapatkan

hasil pertumbuhan diameter maksimum pada saat umur 25 tahun (dalam Suhartati, 2003).

Suhartati dalam penelitiannya menggunakan “persamaan regresi munez dan wiroatmojo”.

Penelitian yang dilakukan oleh Suhartati hasilnya nyata pada uji 0,001, tetapi hanya

terbatas pada persamaan regresi saja. Dalam persamaaan regresi tersebut diestimasi

hubungan antara diameter dan tinggi pohon belum dibahas mengenai rotasi penebangan

optimal. Penelitian ini setelah dilakukan uji statistik hasilnya nyata pada taraf 0,001.

Penelitian mengenai penebangan optimal secara ekonomis untuk hutan tegakan

seumur telah bnayak di lakukan. Menurut Nautiyal dan William (1990) sudah sewajarnya

bila teori mengenai rotasi penebangan di tetapkan sebagai sentral dari ekonomi

(25)

teori penebangan optimal adalah Fausman (1849). Penelitiannya mengenai tegakan hutan

sejenis, dimana pemilik hutan diasumsikan mempunyai tujuan untuk memaksimalkan

sewa laahn. Dalam penelitiannya Fausman menggunakan pendekatan “ Comperative

Statics”, dimana perubahan suatu parameter akan mempengaruhi variabel lainnya.

Sebagai contoh kenaikan tingkat bunga akan menyebabkan umur penebangan

diperpendek karena biaya meningkat otomatis nilai tegakan akan semakin rendah. dalam

penelitian ini diasumsikan harga kayu tidak tergantung pada besarnya kayu,

variabel-variabel ekonomi rill konstan dan tidak ada usaha-usaha yang dilakukan oleh Nautiyal

dan Pearse (1967), hallanger (1973) dan Scheurman (1977), nilai tegakan dikaitkan dngan

pendapatan atau penerimaan, biaya persiapan dan penanaman, biaya pupuk, biaya logging

dan angkutan serta volume dan luas areal penebangan. Sedangkan Caulfield (1988)

mengungkapkan dari aspek ekonomis maupun biologis, berdasarkan penelitian yang

dilakukan rotasi penebangan optimal pada saat umur pohon “Loblooolly Pine” berusia 26

tahun. Sementara itu brazee dan mandelsohn (1998) melakukan penelitian terhadap

‘Douglash fir dan Loblolly Pine” yang dikaitkan dengan kebijakan penebangan. Dalam

penelitiannya diasumsikan bagaimana penyesuaian dilakukan bila terjadi perubahan pada

tingkat harga yang tidak dapat diprediksi. Harga diasumsikan sebagai variabel eksogen.

Selanjutnya Dennis (2009) membahas mengenai keputusan penebangan yang

dilakukan oleh pengusaha hutan di Amerika, dimana hutan di asumsikan memilikinilai

guna keindahan dan pendapatan (untuk mengkonsumsi barang-barang). Untuk

menyelesaikan permasalahan yang teliti dengan mempergunakan analisa “Tobit” dimana

melalui analisa melalui analisa ini dihitung hubungan antara penebangan, pemilik dan

variabel- variabel ekonomi. Model yang digunakan pada teori ekonomi mikro.

Hasil penelitian yang dilakukan memperlihatkan bahwa perubahan harga tegakan

(26)

(1989) menganalisis mengenai kebijakan penebangan dalam ketidakpastian harga dan

kebijakan perkreditan lebih jauh akan mempengaruhi distribusi pendapatan untuk periode

ini dan yang akan datang. Akhirnya kondisi ini akan berpengaruh terhadap kebijakan

penebangan yang dilakukan. Pengaruh ini disebut juga ‘Liquidity effect”. Perubahan

variabel ekonomi lain yang diteliti adalah pajak. Penebangan optimal menurut

Kuuluvanen dan Salo (1991) tergantung pada tingkat harga kayu, tingkat bunga dan stok

yang ada. Dalam penelitiannya diasumsikan “utility” pengusaha akan dimaksimumkan

pada periode sekarang dan yang akan datang. Di asumsikan juga tingkat harga, tingkat

bunga dan pendapatan di luar kayu konstan.

Lebih lanjut yang diestimasi adalah penawaran kayu jangka pendek, seperti yang

dilakukan oleh Amacher (1991). Pada penelitiannya di asumsikan tingkat harga tegakan,

biaya investasi dan timgkat bunga adalah merupakan variabel –variabel ekonomi

eksogen. Perubahan-perubahan yang terjadi pada variabel-variabel ekonomi tersebut

dipengaruhi penebangan. Pada saat tingkat bunga tinggi, pajak akan memperpendek

umur penebangan. Sedangkan pajak pendapatan penebangan dan pajak perubahan

kehutanan juga memperpendek umur penebangan. Haight (1992) mengungkapkan bahwa

perkembangan tanaman yang terbaik di lihat dari dua aspek yaitu aspek ekonomi dan

aspek volume kayu (fisik). Dengan mempergunakan “Augmented problem” bisa

memecahkan dua permasalahan pertama, memaksimalkan present value dan kedua

volume kayu. Sedangkan pemecahan mengenai optimalisasi menggunakan metode

Hooke dan Jeeve. Penelitian yang dilakukan terhadap beberapa jenis pohon bertujuan

untuk mendapatkan diameter kayu yang terbaik untuk ditebangkan dalam masa rotasi 20

tahun. Sedangkan variabel-variabel ekonomi dalam penelitian ini, seperti tingkat bunga,

(27)

2.3. Hipotesis

Berdasarkan latar belakang, masalah, tujuan penelitian dan kerangka pemikiran

yang telah di kemukakan, diajukan hipotesis penelitian ini, yaitu;

1. Volume pohon dapat didekati melalui penetapan umur pohon optimal.

2. Nilai tegakan pohon diperkirakan sensitif terhadap suku bunga, volume kayu

dan umur pohon.

2.4. Batasan Operasional

Variabel-variabel yang akan diukur dan dianalisis dalam penelitian ini diberi

batasan sebagai berikut;

1. Hutan adalah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon yang secara

keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam

lingkungannya dan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan.

2. Hutan Tanaman Industri (HTI) adalah hutan tanaman yang dibangun dalam

rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan

silvikultur intensif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil

hutan.

3. Sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana mengenai pengelolaan

hutan yang meliputi penebangan, pemeliharaan tegakan hutan guna menjamin

keberlanjutan dan kelestarian produksi kayu

4. Penebangan adalah kegiatan pemungutan kayu dari pohon-pohon berdiameter

(28)

5. Optimalisasi biologis adalah optimalisasi umur fisik pohon yang optimal untuk

ditebangkan berdasarkan pertumbuhan volume pohon, yang pada saat nilai

MAI maksimal.

6. Rotasi tebing adalah jangka waktu yang menunjukan lama waktu antara satu

penebangan pertama dengan penebangan berikutnya pada suatu blok kerja

tahunan yang sama.

7. Tegakan merupakan suatu hamparan lahan hutan yang secara geografis

terpusat dan memiliki ciri-ciri kombinasi dari sifat-sifat vegetasi, sifat fisik,

yang relatif homogen, serta memiliki luasan minimal tertentu sebagaimana

yang diisyaratkan.

8. Pohon adalah tumbuhan berkayu yang mempunyai sebuah batang utama

dengan dahan atau ranting jauh diatas tanah.

9. Volume pohon adalah perkembangan pohon rata-rata per hektar yang di

pengaruhi oleh umur pohon.

10. Kurva pertumbuhan volume pohon adalah menggambarkan pertumbuhan

pohon ditinjau dari aspek perkembangan volume pohon terhadap umur

pohon mulai dari tumbuh hingga mencapai dewasa. Umumnya kurva ini

berbentuk sigmoid atau stricly concave.

11. PAI (Periodic Annual Increment) adalah pertumbuhan volume pohon

tahunan. Diperoleh dari rumus;

Vt = F(t), maka

(29)

tn – tn-1

12. MAI (Mean Annual Incremental) adalah pertumbuhan rata-rata volume

pohon. Persamaan MAI adalah;

MAI = Vt u

13. Riap (Incremental) adalah perubahan diameter, tinggi , volume, kualitas atau

tegakan yang dikaitkan dengan waktu.

14. Biaya penanaman adalah biaya satuan pembangunan HTI yang terdiri dari

biaya persiapan, perencanaan serta pelaksanaan.

15. Suku Bangsa adalah bunga pinjaman yang dikenalkan yang dikenakan

apabila modal yang digunakan untuk mengelola Hutan Tanaman Industri

(HTI) merupakan dana pinjaman yang berasal dari pihak lain.

16. Harga kayu adalah harga ekspor kayu dalam bentuk pulp

17. Areal penanaman adalah kawasan hutan yang dibebani HPHTI.

18. Pulp adalah bahan serat yang didapat dari hasil pengolahan bahan selulosa

dengan cara mekanik, kimia, semi kimia dan di gunakan sebagai bahan dasar

(30)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada areal Hutan Tanaman Industri PT. Musi Hutan

Persada (HTI MHP-BPG), yang secara administrasi pemerintahan terletak di desa Suban

Jeriji, Kecamatan Rambang Dangku, Kabupaten Muara Enim Propinsi Sumatera Selatan,

tepatnya 180 kilometer sebelah barat daya kota Palembang. Berdasarkan Daerah Aliran

Sungai Musi (DAS), termasuk dalam wilayah Sub DAS Lematang, DAS Musi. Secara

geografis, lokasi penelitian terletak antara 30 44’ 40” lintang Selatan 1030 58’ 40” Bujur

Timur (Lampiran 1).

Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kasus, dimana

PT Musi Hutan Persada dijadikan sebagai kasus.

Berdasarkan aspek biologis di teliti mengenai umur optimal pertumbuhan

volume pohon secara fisik untuk ditebang berdasarkan estimasi fungsi pertumbuhan

melalui persamaan yang diperoleh.

Sementara itu berdasarkan aspek ekonomi diteliti mengenai variabel –variabel

ekonomi yang mempengaruhi nilai tegakan Acacia mangium willd. Variabel-variabel

tersebut meliputi suku bangsa, struktur biaya, harga kayu dan luas areal penanaman dan

daur tanaman.

3.2. Pengambilan Data

Data yang dikumpulkan adalah data sekunder. Data sekunder meliputi informasi

areal penanaman dan pengukuran volume pohon. Data volume pohon diperoleh dari

(31)

hubungan volume pohon terhadap umur pohon. Hasil estimasi selanjutnya digunakan

untuk penebangan yang optimal serta dapat menghitung incremental volume pohon per

hektar per tahun, sehingga hasil incremental volume dapat dianalisa.

Sementara itu untuk mengestimasi nilai tegakan pohon diperlukan juga data lain.

Antara lain; biaya persemaian/ bibit per hektar, biaya pengelolaan dan persiapan lahan

(land preparation) per hektar, biaya penanaman , biaya pemeliharaan selama daur (berapa

kali), biaya penebangan, jumlah batang dan volume pohon per hektar, harga kayu

permeter kubik, biaya tetap, pajak, administrasi, data produksi.

Data-data tersebut diperoleh dari PT MHP, Dinas dan Kanwil Departemen

Kehutanan dan Perkebunan, dan studi literatur yang ada hubungannya dengan penelitian

ini.

3.3. Analisa Data

Seperti yang dijelaskan dalam kerangka teori strategi pengelolaan Hutan

Tanaman Industri yang baik adalah dengan memadukan pengetahuan biologis jenis

tanaman dengan petimbangan ekonomis serta teknik pengelolaan yang lazim dilakukan

pada hutan tanaman. Peralatan analisis yang digunakan terdiri dari dua bagian , pertama

model biologis untuk menentukan umur tebang optimum dan kedua adalah model

ekonomi untuk menghitung nilai tegakan yang diperoleh pada akhir daur.

3.3.1. Model Biologis

Salah satu tugas pokok pengelola HTI adalah menentukan waktu penebangan

optimal yang berkaitan erat dengan umur pohon dan volume pohon yang dapat

diproduksi. Dalam realita penentuan umur penebangan optimal sering mendominasi

(32)

dengan umur pohon dapat digunakan analisis regresi. Analisis regresi menggambarkan

hubungan antara dua atau lebih variabel yang digunakan untuk mengestimasi “dependent

variabel” berdasarkan dua atau lebih “independent variabel” (Walpole, 1986). Dalam

penelitian ini analisis regresi digunakan untuk mengestimasi hubungan antara volume

pohon (dependent variabel) terhadap umur pohon (indenpendent variabel). Berdasarkan

persamaan regresi volume pohon terhadap umur pohon terhadap umur pohon dapat

diturunkan grafik pertumbuhan volume sebagai fungsi umur sedangkan dari data

pertumbuhan. volume pohon bisa diperoleh Incremental (perubahan /pertambahan)

berupa kurva Pertumbuhan Volume Tahunan (PAI= Periodic Annual Incremental) dan

kurva Pertumbuhan Volume Rata-rata (MAI= Mean Annual Incremental). Penebangan

optimal dilakukan pada saat nilai Mean Annual Incremental (MAI) maksimum dan

berpotongan dengan kurva Periodic Annual Incremental (PAI).

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan yang dikemukakan oleh Avery dan

Burkhart, serta Leuschner. Data-data yang diperoleh dikumpulkan, ditabulasikan dan

kemudian dilakukan estimasi dan dianalisis.

Untuk melihat hubungan antara volume pohon dengan umur pohon dengan umur

pohon dilakukan pendugaan menggunakan persamaan regresi dengan peramalan non

linear.

Hubungan antara pertumbuhan volume pohon, kurva pertumbuhan volume

rata-rata (MAI) dan kurva pertumbuhan volume tahunan (PAI) dijelaskan dengan rumus

sebagai berikut;

MAI = V t ...(3.1) U

(33)

U ... umur pohon (tahun)

Vt ... volume pohon rata-rata per hektar pada umur t

PAI = Vtn –

Vt

n-1 ...(3.2) Un – U n-1

Selanjutnya untuk mendapatkan masa penebangan optimal dijelaskan dalam

langkah-langkah berikut. Langkah pertama dengan membuat persamaan regresi

sederhana dari volume pohon (yield) terhadap umur pohon.

V = α + β 1 ∪ + β 2 ∪ 2 + β 3 ∪ 3

...(3.3)

dimana;

V ... volume pohon

U ... umur pohon

Selanjutnya dari persamaan (3) dapat dibuat persamaan pertumbuhan volume

pohon rata-rata tahunan dengan menggunakan metode differensial.

PAI = dV ...(3.4) dU

dimana;

PAI ... pertumbuhan volume pohon tahunan

Dari persamaan (4) bisa di peroleh pertumbuhan volume pohon maksimal

dengan jalan menurunkan kembali persamaan tersebut.

MaxPAI = dPAI = d2V = o ... (3.5)

(34)

dimana;

MaxPAI... Pertumbuhan volume pohon maksimal

Selanjutnya untuk mendapatkan nilai MAI dengan jalan membagi persamaan

(3.3) terhadap umur pohon, sedangkan nilai MAI maksimal dapat di peroleh dengan

menurunkan persamaan (3.6).

MAI = V . ...(3.6) U

MAIm α x = dMAI = 0... (3.7)

dU 3.3.2. Model Ekonomi

Penggabungan antara pendekatan biologis dan ekonomi dilakukan oleh Pearse,

dimana diungkapkan perlu untuk menghitung nilaiu tegakan (Stumpage value) dari pohon

berdiri. Bila nilai tegakan disimbolkan dengan S, maka nilainya dapat dihitung dengan

menggunakan persamaan;

S = R – C – M...(3.8)

Dimana;

S... Nilai tegakan pohon

R... Penerimaan

C... Biaya

(35)

Perubahan-perubahan pada tingkat bunga, biaya penanaman, harga kayu akan

mempengaruhi nilai tegakan pohon (S). Di samping itu perubahan pada luas areal

penanaman juga mempengaruhi nilai tegakan pohon (cateris paribus). Model ekonomi

mengenai nilai tegakan yang digunakan adalah model dinamis untuk hutan tanaman

seumur atau seragam yang dikaitkan dengan konsep ekonomi. Dalam memproduksi

tegakan diperlukan berbagai kegiatan seperti penanaman, pemeliharaan, perlindungan

hutan dan pengelolaan.

Kegiatan penanaman terdiri dari persemaian , penyiapan lahan, penanaman,

perlindungan tanaman dan permanenan. Perlindungan hutan dan pengelola hutan

merupakan kegiatan rutin yang dilakukan sepanjang tahun. Semua komponen biaya harus

tercermin dalam model yang akan digunakan dalam menduga nilai tegakan adalah sbb;

ST = PNt - TC – 0,25 (TC)

Dimana;

TC = R(1+ r)t +

k=1 4

P

(

1

+

r

)

t – k +A

¿

(

1+

r

)

t

r

Keterangan ;

STt = Nilai Tegakan pada akhir rotasi tanaman t (Rp/ha)

PNt = Penerimaan kayu (Volume x harga kayu) (Rp/ha)

R = Biaya penanaman termasuk biaya persemaian (Rp/ha)

Pk = Biaya pemeliharaan pada umur tanaman k (Rp/ha)

A = Biaya tahunan yang meliputi perlindungan hutan, pajak dan

(36)

r = Suku bunga atau discount faktor yang dipakai (%)/100

t = Daur tanaman (tahun)

TC = Total cost (total biaya)

0,25(TC)= Margin keuntungan dan resiko

(Sianturi, 1998)

Untuk mendapatkan nilai tegakan per m3 maka nilai tegakan per hektar harus

dijadikan nilai tegakan per m3 dengan jalan membagi ST dengan produksi (volume) pada

akhir rotasi dengan volume yang diperoleh dalam satu hektarnya. Dalam bentuk rumus

nilai ini dapat dinyatakan sebagai berikut ;

Svt = STt. ...(3.10) Vt

Dimana;

STt = sama dengan penjelasan rumus (10)

Svt = Nilai tegakan (stumpage value) pada umur t tahun (Rp/m3)

Vt = Volume tegakan pada umur t (m3/ha)

nn

(37)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1990. Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1990. Departemen Kehutanan. Palembang.

Anonim. 1997. Pola Umum Unit HTI. Sekretariat pengendalian Pembangunan Hutan Tanaman Industri. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Anonim. 1998. Pembangunan Hutan Tanaman Industri. PT Musi Hutan Persada Barito Pacific Group. Sumatera Selatan

Anonim. 1999. PT TEL Beroperasi November 2000. Sriwijaya Pos 7 Oktober 1999.Palembang.

Anonim. 2004. Kurva Pertumbuhan dan Laju Pertumbuhan Diameter. BTR Departemen Kehutanan. Palembang.

Anonim. 2008. Benih Unggul Kunci Produktivitas Tegakan hutan di PT Musi Hutan Persada. PT MHP-BPG. Palembang.

Anonim. 2008. Pedoman Pembangunan Hutan Tanaman Industri. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Palembang.

Alam, S. 2005. Hukum Lingkungan; Kaidah-kaidah Pengelolaan Hutan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Avery, T. dan H. Burkart. 1993. Forest Management. Mc Graw Hill Inc. USA

(38)

Buongirno, J. dan J.Gilles. 1997. Forest Management and Economics. Mc Millan Publising Company. New York.

Chapman, H. dan WH. Meyer. 1999. Forest Meansuration. Mc Graw- Hill. USA

Caulfied, JP. 1998. A Stochastic Efficiency Approach For Determinating The Economic Rotation Of A Forest Stand. For Scie Volume 34. USA

Dariyatno dan H. Prahasto. 2010. Beberapa aspek finansial HTI Daur Pendek ; Rangkuman Makalah Diskusi HTI dan Industri Perkayuan. Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah. Semarang.

Davidson, J. 2002. Acacia mangium, Eucalyptus and Forestry Service. Forest Scientific and Consultasi artidale. NSW, Australia.

Greory, G. R. 1997. Resource Economics For Foresters. John Willey and Son Inc. Canada

Haeruman, H .2002. Masalah Sosial Dalam Pembangunan Kehutanan. Media Pesakti; Pengurus Pusat Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia Edisi I-II/MP-6/92. Jakarta.

Hakilla, P. 2004. The Development and Small Log Harvesting For The Indonesian Pulp & Paper Industries. Enso Forest Limeted. Finlandia.

Hidayat, S. 2012. Sifat Pengelolaan Beberapa Jenis Kayu HTI. Media Persaki edisi; I-II/MP-6/1992. Pengurus Pusat Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia.

(39)

Nicholson, W. 2002. Microeconomic Theory; Basic Principles And Extensions. Fith Edition. The Dryden Press. USA.

Poerwowidodo, 1991. Gatra Tanah dalam Pembangunan Hutan Tanaman Industri di indonesia. Rajawali Press. Jakarta.

Pearse, P. 2010. Introduction To Forest Economics. Unuversity of British Columbia Press. Vancouver.

Ruby, K. H. Supriyo, dan R. Sutanto. 2005. Evaluasi Indeks Loka pada Tegakan Acacia mangium Willd di HTI PT Arara abadi di Propinsi Riau. Universitas Gadja Mada. Jogyakarta.

Soedjarwo. 1996. Pidato menteri Kehutanan; Prosiding Seminar Nasional Ancaman Terhadap Hutan Tanaman Industri. FMIPA Universitas Indonesia dan Departemen Kehutanan. Jakarta.

Soebarjo. 2011. Status hara pada Tanaman Industri Jenis Acacia mangium Willd dalam Berbagai Tingkat Umur di PT Musi Hutan Persada. Sumatera Selatan. Tesis S-2 Fakultas Pascasarjana UGM. Yogyakarta.

Sjarkowi, F dan L. Bakir. 2004. Manajemen Agribisnis. Universitas Sriwijaya. Palembang.

Silitonga, T. 1993. Arah Kebijaksanaan Penebangan hutan Tanaman pada PJPT II. Dua Riba Thn. XIX 1994.

Soerjani, M. 2003. Hutan Tropika; Potensi Permasalahan dan Upaya Pengelolaannya. PSL Universitas Indonesia. Jakarta.

(40)

Sianturi, A. 1998. Penentuan Nilai tegakan dan Harga Dasar jati di Perum Perhutani. Proseding Balai Teknologi Reboisasi (BTR). Departemen Kehutanan palembang.

Suhartati, T. 2003. Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup Pada PJPT II dan Upaya-upaya Konservasi hutan, Tanah dan Air. KMNLH. Jakarta.

Suhendang, E. 1993. Prinsip Kelestarian Hasil Pengusahaan Hutan Alam Produksi; Menguak Permasalahan Pengelolaan Hutan Alam Tropis di Indonesia. Forum Pengkajian Hutan Tropis. UGM. Yogyakarta.

Tietenberg, T. 2012. Enviromental and Natural resources Economics. Harper Collin Publisher. USA.

Gambar

Gambar 1. Fungsi Pertumbuhan Volume Pohon
Gambar  3.  Kurva  Hubungan  Pertumbuhan  rata-rata  volume  (M.A.I)  denganPertumbuhan Volume Tahunan (P.A.I)
Gambar 4. Hubungan kurva Volume Pohon, Nilai Tegakan dengan Umur Pohon

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan pada penelitian ini variabel bebasnya ialah variabel bebasnya ialah paritas, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, persepsi, sosial budaya, dukungan

[r]

Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2014 tercatat sebesar 5,1 persen (angka sementara), lebih rendah dari target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja

Menunjuk Penetapan Pemenang Seleksi Sederhana Nomor : 027/3822/PJK.ULP.Aset tanggal 24 Agustus 2011, dengan ini Pokja Pengadaan Jasa Konsultansi Unit Layanan

Fisika-kimia air yang diperoleh selama masa pemeliharaan dapat dilihat bahwa bertambahnya perlakuan padat penebaran akan meningkatkan kebutuhan konsumsi oksigen ikan

Berdasarkan uraian tentang hasil penelitian terdahulu, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian dengan judul “Konflik Batin Tokoh Kabul dalam Novel Orang-orang Proyek Karya

Dalam hal ini penulis mengambil Tesis yang berjudul: “ Upaya Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Matematika Dengan Pendekatan

Apakah anda dapat menyebutkan macam-macam larutan standar primer yang dapat digunakan dalam titrasi reduksi oksidasi?.!. Apakah anda menyebutkan macam-macam larutan standar