• Tidak ada hasil yang ditemukan

II.A.2 6 Laporan Penelitian Produk Terapan Tahun 2017 Anggota

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "II.A.2 6 Laporan Penelitian Produk Terapan Tahun 2017 Anggota"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

! " # $ % &' (

#& # ) # * $ )% #

#& # + ' * # ) # * ,$ *

, # ) # &'&* **

) * & # ' #

&,& ( -./ 01 2/ /"3 4

,$ ' ,$ & 1 1 1 1

33 33"4535

1 1 & % +1 1 ) , ) 1 1 33"-3 .-36

1 7 # * )# ' ) 1 1 1 33 2355-30

(3)
(4)

Taman Nasional Perairan Laut Sawu merupakan salah satu area konservasi yang memiliki ekosistem terumbu karang. Tekanan ekologis yang kuat akibat aktivitas anthropogenik menyebabkan degradasi terumbu karang. Berbagai metode untuk memulihkan terumbu karang telah dikembangkan, salah satunya adalah dengan melakukan transplantasi karang. Penentuan lokasi transplantasi karang umumnya hanya dengan mempertimbangkan kondisi tutupan terumbu karang hidup di sekitarnya disertai keberadaan biota indikator seperti ikan kupu"kupu. Dibutuhkan sumberdaya manusia dengan kemampuan renang bahkan selam yang cukup tinggi disertai kemampuan identifikasi yang baik serta cepat dalam memperkirakan tutupan karang. Selain itu kegiatan tersbut harus disertai peralatan yang cukup mahal untuk mendukung kegiatan penyelaman. Selama ini keberadaan mikroorganisme yang berasosiasi dengan karang seperti foraminifera bentik belum pernah dijadikan sebagai bahan pertimbangan penentuan lokasi transplantasi karang, padahal foraminifera bentik telah lama digunakan di beberapa negara sebagai bagian yang wajib disertakan dalam pemantauan kondisi kesehatan ekosistem terumbu karang. Selain itu pengambilan data foraminifera bentik lebih aman, lebih mudah, dan mereduksi dampak negatif kerusakan karang saat pengambilan data kondisi karang. Penelitian ini berusaha mengajukan metode baru dalam menentukan lokasi transplantasi karang, yaitu dengan menggunakan proporsi foraminifera bentik yang diperoleh dari sedimen dalam formula

Index. Tujuan jangka panjang dari penelitian ini adalah untuk mengkaji kemungkinan foraminifera bentik sebagai penduga lokasi transplantasi terumbu karang. Target khusus yang akan dicapai yaitu menghasilkan metode yang murah dan ramah lingkungan untuk menentukan lokasi transplantasi terumbu karang, yaitu dengan menggunakan foraminifera bentik. Pada tahun pertama akan dilakukan pengumpulan data lingkungan perairan berupa kualitas air serta identifikasi dan analisa foraminifera bentik dikaitkan dengan keberadaan ekosistem terumbu karang. Pada tahun kedua akan dilakukan transplantasi karang pembentuk terumbu pada lokasi" lokasi yang telah dianalisa berdasarkan keberadaan foraminifera bentik. Luaran yang dihasilkan dari penelitian ini adalah publikasi dalam bentuk jurnal nasional terakreditasi serta seminar nasional dan metode.

Untuk mencapai tujuan tahun pertama, maka kajian dilaksanakan pada delapan lokasi di ekosistem terumbu karang pada bagian barat Kabupaten Kupang. Parameter perairan diukur di lapangan dan di laboratorium. Persen tutupan bentik diukur menggunakan metode Point Intercept Transect pada kedalaman 5 m di bawah permukaan laut. Sebanyak 300 individu sampel foraminifera bentik diambil dan diidentifikasi dari setiap sedimen yang diperoleh dari masing" masing lokasi kajian. Nilai FoRAM Index diperoleh melalui perhitungan pada masing"masing proporsi grup fungsional simbion alga (S), oportunis (O), dan heterotrofik (H). Indeks jarak Euclidean, Indeks similaritas Bray"Curtis, Analisis Komponen Utama, korelasi Pearson, Indeks keragaman Shannon digunakan untuk menjelaskan keterkaitan antar variabel. Perangkat lunak yang digunakan untuk menghitung berbagai formulan adalah Excel 2007 dan PAST 3.0 .

(5)

Foraminifera bentik telah banyak digunakan sebagai bioindikator pada perairan pesisir sampai laut lepas. Pada wilayah ekosistem terumbu karang, proporsi foraminifera bentik dapat menggambarkan kondisi ekosistem perairan. Namun demikian, penggunaan foraminifera bentik selama ini lebih sering digunakan sebagai penduga dampak antropogenik. Kajian ini berusaha mencari jawaban apakah proporsi foraminifera bentik dapat dipakai sebagai penduga lokasi transplantasi karang pada ekosistem terumbu yang telah rusak.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Kemenristek Dikti melalui Lembaga Penelitian, Universitas Nusa Cendana yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian ini.

Oktober 2017

(6)

LEMBAR PENGESAHAN ... i

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Foraminifera …... ... 4

2.2. Asosiasi Foraminifera Dengan Terumbu Karang ... 4

2.3. Konsep Bioindikator Pada Ekosistem Terumbu Karang... 4

2.4. Indeks ... 5

2.5. Transplantasi Karang... 6

BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN... 7

3.1 Tujuan... 7

3.2 Manfaat Penelitian... 7

BAB 4. METODE PENELITIAN ... 8

4.1. Tahapan... 8

4.2. Tempat dan Waktu ... 8

4.3. Pengambilan Sampel ... 9

4.3.1. Pengambilan Contoh Air dan Sedimen Untuk Sampel Foraminifera... 9

4.3.2. Pengukuran dan Analisa Persentase Substrat Perairan ... 9

4.3.3 Pengambilan dan Pengukuran Variabel Perairan... 9

4.3.4 Penjentikan Foraminifera Bentik ... 9

4.4. Analisa Statistik dan Ekologi... 11

4.5 Transplantasi Karang... 14

BAB 5. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI ... 15

5.1. Hasil ... 15

5.1.1 Variabel Lingkungan... 15

(7)

5.1.4 Indeks Keragaman Foraminifera... 19

5.1.5 FoRAM Index ... 20

5.1.6 Relasi FI dan H’ ... 21

5.1.7 Relasi FI dan Tutupan Karang ... 24

5.2. Luaran ... 26

BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA ... 27

BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN ... 29

71. Kesimpulan ... 29

7.2. Saran ... 29

DAFTAR PUSTAKA ... 30

(8)

Tabel

5.1 Variabel Lingkungan Perairan... 15

5.2 Persen Tutupan Bentik ... 17

5.3. Taksa Pada Masing"Masing Grup Fungsional ... 18

5.4. Jumlah taksa dan H’... 19

5.5. Jumlah Individu dan Taksa Pada Setiap Grup Fungsional... 20

5.6. Jumlah Individu dan Taksa Pada Setiap Grup Fungsional yang Telah Dimodifikasi ... 21

5.7. Proporsi Pada Setiap Grup Fungsional dan Nilai FI ... 21

5.8. Korelasi Pearson H’"FI, H’"Fim, dan FI"Fim... 22

(9)

Gambar

4.1 Lokasi Pengambilan Sampel ... 8

4.2. Fisbone Diagram... 12

4.3. Bagan Alir Penelitian ... 13

5.1 Indeks Jarak Euclidean dan AKU Variabel Lingkungan Perairan ... 16

5.2. Pengelompokan Stasiun dan Analisis Komponen Utama Pada Persentase Penutupan Substrat... 18

5.3 AKU Foraminifera Bentik... 19

5.4. Hubungan Jumlah taksa dan nilai H’ ... 19

5.5. Pengelompokan Stasiun Berdasarkan Kelompok Fungsional Foraminifera, a) Tanpa Modifikasi, b) Dengan Modifikasi ... 22

5.6. AKU Kelompok Fungsional Foraminifera, a) Tanpa Modifikasi, b) Dengan Modifikasi 22 5.7. Sebaran Nilai FI, FIm, dan H’ Pada Lokasi Kajian ... 23

5.8. Persentase Tutupan Karang, Nilai FI, dan FI Modifikasi ... 25

(10)

Lampiran

1. Data Foraminifera ... 35

2. Foto Kegiatan ... 37

3. Surat Keterangan Penerimaan Makalah Seminar ... 38

4. Sertifikat Seminar ... 39

5. Artikel Seminar... 40

(11)

1

Ekosistem terumbu karang di Teluk Kupang merupakan salah satu ekosistem pesisir dengan biodiversitas yang tinggi serta memiliki nilai ekonomi, ekologi, bahkan edukasi yang tinggi. Meski berada pada wilayah konservasi perairan Taman Nasional Perairan Laut Sawu, ekosistem terumbu karang terus mengalami degradasi lingkungan akibat dampak antropogenik. Kajian Lauwoie (2010) menunjukkan bahwa persentase tutupan karang hidup di pesisir selatan Teluk Kupang antara 4,33% " 49,66% yang mengindikasikan kondisi ekosistem terumbu karang dari sedang (25,0 " 49,9%) sampai buruk (0 – 24,9%). Dampak ini terjadi akibat eksploitasi manusia terhadap sumberdaya laut tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungannya. Sukmara . (2001) mengemukakan bahwa jenis ancaman terhadap terumbu karang akibat aktivitas manusia melebihi ancaman karena pengaruh alami. Degradasi lingkungan pada wilayah ini akan berpengaruh terhadap eksistensi berbagai ekosistem lain beserta organisme yang berasosiasi. Kondisi tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi kehidupan manusia itu sendiri seperti abrasi, intrusi air laut, serta berkurangnya ikan sebagai salah satu bahan pangan penting yang lezat dan bergizi tinggi.

Dalam rangka pengelolaan yang bertanggung jawab, pemantauan dan rehabilitasi ekosistem terumbu karang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pemanfaatannya. Beragam metoda telah dikembangkan untuk memantau kondisi kualitas ekosistem terumbu karang baik melibatkan analisa fisika"kimia perairan, organisme makro, maupun organisme mikro. Pemantauan juga dilakukan dari tingkat genetik, populasi, sampai komunitas. Selama ini penggunaan organisme makro yang didukung dengan analisa fisika"kimia perairan merupakan metoda yang sering digunakan meski biayanya yang mahal.

(12)

Keuntungan dari observasi fauna renik seperti foraminifera bentik adalah a). siklus hidup yang singkat sehingga dapat segera merespon perubahan terhadap kondisi perairan, b). peralatan dan bahan sampling yang tidak terlalu mahal dan mudah digunakan dibandingkan parameter fisika – kimia (Gibson ., 1997 Porto Neto, 2003), c). alat dan bahan yang tidak terlalu banyak serta cukup mudah diperoleh. Penelitian tentang foraminifera bentik sebagai bioindikator ekosistem terumbu karang di manca negara telah dilakukan jauh sebelum tahun 2003. Meski demikian, Hallock (2003) menyarankan agar keberhasilan menjadikan foraminifera sebagai bioindikator ekosistem terumbu karang yang telah dilakukan di wilayah Karibia dan beberapa lokasi lain perlu diverifikasi di wilayah lainnya terutama di wilayah Indo"Pasifik.

Hasil penelitian pada tahun 2011 di gugusan Kepulauan Natuna, Provinsi Riau yang dilaksanakan oleh Gitaputri . (2013) menunjukkan hubungan yang positif antara keberadaan foraminifera bentik yang dinyatakan dalam formula Foram Index (FI) dengan kondisi tutupan terumbu karang hidup. Kajian tersebut dan kajian yang telah disebutkan sebelumnya menunjukkan penggunaan foraminifera bentik dapat digunakan untuk menduga kondisi kesehatan ekosistem terumbu karang. Namun demikian, kajian"kajian tersebut baru pada level pemantauan saja.

Setelah pemantauan, rehabilitasi ekosistem terumbu karang menjadi sangat penting dilakukan pada lokasi yang terdegradasi, agar dapat memulihkan ekosistem yang telah terdegradasi. Salah satu upaya merehabilitasi ekosistem terumbu karang adalah dengan melakukan transplantasi terumbu karang. Penentuan lokasi transplantasi karang umumnya dilakukan pada wilayah yang merupakan habitat karang dengan mempertimbangkan luasan tutupan karang sekitar 50% karang hidup (Tulungen ., 2002). Untuk menentukan tutupan karang hidup bukanlah perkara yang mudah dilakukan karena memerlukan kemampuan sumberdaya manusia dan peralatan yang memadai dalam mengestimasi luasannya. Keberadaan mikroorganisme bentik seperti foraminifera selama ini tidak pernah dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan lokasi transplantasi karang padahal foraminifera bentik tertentu memiliki asosiasi yang kuat dengan keberadaan karang dan berperan sebagai bioindikator kesehatan terumbu karang. Selain itu pengambilan data foraminifera bentik lebih aman dan lebih mudah dibandingkan pengambilan data karang.

(13)

Awalnya Hallock . (1995) dan Cockey . (1996) Scott . (2004) memantau adanya hubungan antara kumpulan foraminifera bentik dengan kondisi terumbu karang di Amerika. Pada tahun 1998, EPA telah merekomendasikan penggunaan foraminifera sebagai bioindikator perairan yang mengalami nutrifikasi (Jameson ., 1998), namun pada saat itu belum terdapat indeks yang khusus berkaitan dengan foraminifera. Penelitian lanjutan menghasilkan indeks foraminifera di ekosistem terumbu karang pada wilayah Florida dan Karibia (Hallock ., 2003). Negara Australia telah menggunakan foraminifera sebagai salah satu bagian dari pemantauan kondisi terumbu karang (

) sejak tahun 2008 (Schaffelke ., 2008). Penggunaan foraminifera seperti tersebut di atas belum dilakukan di Indonesia, namun sudah diterapkan oleh Dewi . (2010), Natsir (2010, 2011), serta Natsir dan Subkhan (2011) untuk mendapatkan nilai indeks foraminifera.

(14)

"1 +

"1 & , :

Foraminifera adalah organisme bersel tunggal (uniseluler) yang hidup secara akuatik, memiliki satu atau lebih kamar yang terpisah satu sama lain oleh sekat (septa) yang ditembusi oleh banyak lubang halus (foramen) (Pringgoprawiro dan Kapid, 2000). Organisme ini merupakan fauna renik laut yang memproduksi cangkang yang mengandung kalsium karbonat (Nybakken dan Bertness, 2006).

"1" )&) ) & , : * ,$ *

Sebagian besar foraminifera bentik besar yang hidup di wilayah tropis dan subtropis berasosiasi dengan terumbu karang (Uthicke dan Altenrath, 2010). Cangkang foraminifera bentik berkontribusi penting sebagai material gampingan pada terumbu karang (Castro dan Huber, 2007). Nybakken dan Bertness (2006) menyatakan keberadaan foraminifera bentik dapat meningkatkan proses kalsifikasi terumbu karang antara 20 sampai 40 kali dibandingkan dengan yang tidak berasosiasi dengan foraminifera bentik tersebut. Tiga puluh persen dari hamparan sedimen pasir"karang pada Terumbu Pulau Green di Great Barrier Reef, Australia merupakan hasil kontribusi dari foraminifera bentik. Foraminifera yang mendominasi sedimen tersebut

adalah , , dan (Yamano

., 2000) Peran tersebut menunjukkan betapa eratnya asosiasi foraminifera dengan terumbu karang. Foraminifera yang terdapat di lingkungan terumbu karang umumnya sebagai biota penempel dan sebagai epifauna yang hidup dalam kerangka terumbu seperti

dan Ekosistem terumbu karang yang sehat, akan mendukung kebutuhan berbagai organisme seperti foraminifera termasuk habitat untuk memijah, mencari makan, dan menetap (Bradley, 2010).

"16 & ) 9 & #& &) )# , ,$ *

(15)

Penetapan bioindikator sebagai biokriteria di ekosistem terumbu karang dianggap penting untuk membantu menentukan kelayakan pemanfaatan suatu ekosistem sesuai dengan yang diharapkan (Bradley, 2010). Cooper dan Fabricius (2007) mengemukakan lima kriteria yang digunakan untuk menggolongkan bioindikator yang digunakan dalam mengkaji perubahan

kualitas air di ekosistem terumbu karang: , , , , dan

.

Cooper . (2009) meninjau 21 metode bioindikator yang pernah digunakan untuk memantau terumbu karang, dari tingkat genetik dan koloni, populasi, dan komunitas. Dua bioindikator dengan prioritas tertinggi adalah penggunaan mikro/meiobentik dan kedalaman maksimum pertumbuhan terumbu karang. Penggunaan mikro/meiobentik seperti foraminifera disarankan untuk monitoring jangka panjang dan jangka pendek. Hal yang mendasari keputusan

tersebut karena penggunaan mikro/meiobentik memiliki , , ,

dan yang tinggi, serta yang rendah.

"1- )

( ) Index (FI) merupakan hasil

penelitian selama 30 tahun untuk mengkaji hubungan antara foraminifera bentik yang berukuran besar dengan kualitas ekosistem terumbu karang. FI dianggap pantas untuk digunakan dalam menentukan apakah kualitas perairan setempat sesuai untuk komunitas simbion alga yang menopang keberadaan terumbu karang. Hal ini terjadi karena adanya kesamaan prinsip fisiologi antara terumbu karang dan foraminifera bentik besar yaitu ketergantungannya terhadap alga simbion untuk meningkatkan pertumbuhan dan kalsifikasi. Kesimpulan yang dapat ditarik dari nilai FI adalah kondisi foraminifera yang memiliki simbion dan terumbu karang akan baik pada lingkungan oligotrofik dengan pakan yang terbatas (Hallock ., 2003).

(16)

Carnahan . (2009) membuktikan keberhasilan FI untuk mengkaji kualitas perairan estuari di Teluk Biscayne, Florida. Perairan yang dekat dengan pengaruh kontaminasi pemukiman memiliki FI yang rendah (FI=1,8). Pada wilayah yang mejauhi estuari memiliki nilai FI yang lebih tinggi (FI=2,6). Kajian Dewi ., (2010) menunjukkan rendahnya nilai FI yang berada di luar ekosistem terumbu karang pada Pulau: Bidadari, Pramuka, dan Belanda di Kep. Seribu. Hasil penelitian Natsir (2010) pada wilayah Kepulauan Seribu menunjukkan nilai FI yang tinggi di Pulau Kotok Besar (7,57"7,63) yang berada pada ekosistem terumbu karang. Pada Pulau Nirwana nilai FI menjadi rendah (1,57"1,52) karena rendahnya tingkat kecerahan dan nilai pH perairan dibandingkan dengan Pulau Kotok Besar. Gitaputri . (2013) menemukan korelasi yang positif antara tingginya nilai FI dan tutupan karang hidup di Kepulauan Natuna, Riau.

"10 )9' # ) *

(17)

61 +

61 <

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengkaji hubungan proporsi foraminifera bentik terhadap kondisi ekosistem terumbu karang 2. Melakukan transplantasi karang pada lokasi yang telah ditetapkan berdasarkan nilai proporsi

foraminifera bentik yang telah dianalisa

3. Menghasilkan satu metode pendugaan lokasi transplantasi karang yang efisien

61" : #

Manfaat penelitian ini adalah:

1. mengetahui apakah ada korelasi antara foraminifera bentik yang dinyatakan dalam Foram Index dengan tutupan terumbu karang di Teluk Kupang

2. menghasilkan metode baru yang tidak destruktif dan lebih aman dilakukan dalam penentuan lokasi transplantasi karang. Pengambilan sedimen dari atas perahu dapat meminimalisasikan kerusakan biota karang dibandingkan harus berenang atau menyelam, dimana umumnya tangan dan terutama kaki pengambil data sering merusak biota karang, khususnya bagi pengambil data yang tidak mahir dalam berenang atau menyelam. Selain itu metode pendugaan lokasi ini dianggap lebih aman karena pengambil data tidak perlu berenang atau bahkan menyelam untuk menduga lokasi yang baik sebagai tempat transplantasi karang. 3. foraminifera bentik sebagai bioindikator dapat digunakan untuk penilaian cepat (

), murah, dan sebagai pelengkap dari penelitian lain yang berkaitan terhadap perubahan awal lingkungan perairan, sehingga dapat mengurangi penggunaan parameter fisika dan kimia,

4. aplikasi pengamatan foraminifera bentik dapat digunakan bila terdapat keterbatasan alat dan bahan untuk analisa parameter fisika dan kimia untuk menduga lokasi transplantasi terumbu karang,

(18)

-1

-1 9

Penelitian akan dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah mengkaji hubungan antara foraminifera bentik yang dinyatakan dengan formula FI dengan persentase penutupan terumbu karang. Tahap kedua adalah melakukan transplantasi terumbu karang dan pemantauan pada lokasi yang telah ditetapkan berdasarkan analisa FI. Tahapan penelitian dalam bentuk

diagram dan bagan alir penelitian disajikan pada Gambar 4.2 dan Gambar 4.3.

-1" ,9 # #

Pengambilan data dilakukan pada 8 stasiun di perairan pesisir Teluk Kupang (Gambar 4.1). Pada tahapan pertama, identifikasi foraminifera dan analisa parameter fisika"kimia perairan kecuali klorofil"a dilakukan secara " dan di Laboratorium Kering Fakultas Kelautan dan Perikanan, Undana dan BPOM Kupang. Analisa klorofil"a dilakukan di laboratorium Prolink, Institut Pertanian Bogor. Pada tahapan kedua, pembuatan transplantasi karang dan peletakannya dilaksanakan pada lokasi yang telah ditentukan pada tahapan pertama berdasarkan nilai

Index dan persentasi tutupan karang.

(19)

-16 * ,$ ' ,9 '

-161 * ,$ ' 7& #& , # ,9 ' & , :

Contoh air diambil di kolom dekat dasar perairan kecuali pengukuran kecepatan arus dilakukan di kolom permukaan perairan. Sampel foraminifera diperoleh dengan mengambil sedimen permukaan pada dasar perairan (Hallock ., 2003). Peralatan SCUBA digunakan saat melakukan pengukuran persen penutupan substrat dan untuk membantu menyelam saat mengambil contoh air serta sedimen di ekosistem terumbu karang. Pengambilan sedimen menggunakan sekop dan dimasukkan dalam plastik contoh yang telah diberi label.

-161" * ' ) ) # ) $)# #

Analisa persentase penutupan substrat perairan yaitu tutupan karang hidup digunakan untuk membandingkan nilainya dengan nilai FI. Pengukuran persentase penutupan karang menggunakan metode # $ (PIT) (Manuputty dan Djuwariah, 2009).

Pengukuran dengan kedalaman yang tetap pada setiap titik (Hodgson ., 2006) yaitu lima sampai tujuh meter di bawah permukaan laut. Hasil persentase penutupan karang keras selanjutnya dibandingkan dengan nilai FI.

Kriteria baku kerusakan terumbu karang mengacu kepada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 2001, dimana tutupan karang hidup 0"24,9% mengindikasikan kondisi yang buruk, 25"49,9% sedang, 50"74,9% baik, dan 75"100 baik sekali. Persentase luasan tutupan 0"49,9% mengindikasikan kondisi ekosistem karang yang sudah rusak, sedangkan 50" 100% mengindikasikan ekosistem karang yang baik.

-1616 * ,$ ' * 8 $ '

Variabel perairan yang diukur secara " adalah suhu, kecerahan, salinitas, pH. Analisa laboratorium dilakukan untuk parameter oksigen terlarut alkalinitas, kalsium, plankton dalam bentuk klorofil"a, nutrien, klorin, logam berat, karbonat sedimen, dan total organik sedimen.

-161- < # & , : #

(20)

untuk proses identifikasi sampai tingkat genus menggunakan mikroskop binokuler dengan memperhatikan struktur dinding cangkang, bentuk dan jumlah kamar dari tampak dorsal dan ventral, serta penampakan apertura (Dewi , 2010). Pengambilan 300 spesimen ini sesuai dengan kondisi biota bentik lautan tropis (Pezelj ., 2007)

Literatur identifikasi mengacu pada Adisaputra . (2010), Albani dan Yassini (1993), Loeblich dan Tappan (1994), Nobes dan Uthicke (2008). Setelah dipisahkan berdasarkan genusnya, lalu spesimen tersebut dihitung jumlah individunya pada setiap genus, kemudian dilakukan analisa FI (Hallock ., 2003). Analisa FI melalui empat tahapan sebagai berikut: Langkah 1. Masing – masing genus yang telah dipisahkan dicatat dalam lembar data berdasakan

kelompok fungsional.

Langkah 2. Melakukan perhitungan proporsi (P) dari spesimen pada masing"masing grup fungsional dengan cara menjumlahkan seluruh spesimen pada masing – masing genus dalam grup tersebut (N) dan membaginya dengan total seluruh spesimen yang sudah dihitung (T).

) = )/ , (”s” foraminifera yang berasosiasi dengan terumbu karang:

% )

& = &/ , ("o" foraminifera oportunis: & , beberapa genera dari

Famili Trochaminidae, Lituolidae, Bolivinidae, Buliminidae)

= / , (“h" foraminifera kecil lain yang heterotrofik: beberapa genera dari Miliolida, Rotaliida, Textulariida, dan lain"lain)

Langkah 3. Berdasarkan nilai proporsi pada langkah tiga tersebut, maka nilai Index (FI):

= > 3 ;

)

? @ >

&

? @ >" ;

?

Langkah 4. Interpretasi dari langkah tiga tersebut sebagai berikut:

• FI > 4 menunjukkan kondisi lingkungan setempat yang kondusif bagi pertumbuhan terumbu atau merupakan tempat yang sesuai bagi pemulihan terumbu jika pernah rusak

FI yang sangat bervariasi diantara contoh, bervariasi antara 3 sampai 5 memberikan

gambaran mengenai perubahan lingkungan dimana pada kisaran ini merupakan tahapan awal terjadinya penurunan kondisi lingkungan

• 4 > FI > 2 mengindikasikan kondisi lingkungan setempat yang terbatas untuk pertumbuhan terumbu dan tidak cocok untuk pemulihan kembali terumbu yang telah rusak

FI < 2 mengindikasikan kondisi lingkungan yang tertekan sehingga tidak layak untuk

(21)

-1- ' ) # # )# &'&*

Keseluruh parameter yang telah diukur dianalisa secara statistik dan ekologi. Korelasi (r) antara variabel persentase penutupan karang keras dengan variabel nilai FI menggunakan persamaan korelasi (Sudjana, 1989). Indeks jarak Euclidean digunakan untuk mengetahui nilai kesamaan antar stasiun pengamatan berdasarkan variabel fisika"kimia perairan (Legendre dan Legendre, 1998). Bila kesamaan antar stasiun makin tinggi, maka nilai indeks jarak Euclidean akan makin rendah. Indeks Bray"Curtis digunakan untuk mengetahui nilai kesamaan antar stasiun pengamatan berdasarkan variabel tutupan bentik dan foraminifera (Brower , 1990). Pengaruh variabel lingkungan terhadap FI dikaji melalui analisis komponen utama (AKU) (Schueth dan Frank, 2008). AKU tidak dapat dilakukan bila ada data yang hilang, selain itu data dalam AKU tidak perlu dinormalisasikan karena bukan merupakan alat untuk menguji suatu hipotesis (Zuur ., 2007).

Indeks keragaman Shannon"Wiener digunakan untuk mengkaji pola distribusi contoh (Barbosa ., 2009). Nilai keragaman shannon diperoleh dengan menggunakan formula sebagai berikut (Wilhm dan Dorris, 1968)

2 '= −

log dimana

H’ = Nilai indeks keragaman Ni = jumlah individu pada jenis ke"i N= jumlah individu pada seluruh jenis

Wilhm dan Dorris (1968) memberikan petunjuk kualitas perairan berdasarkan kisaran H’ berbasis Log2 dimana perairan yang terpolusi memiliki nilai H’<1, moderat 1"3, dan perairan

(22)

Gambar 4.2. Diagram & ' ) *

# # 9 * 9

< '& )

# )9' # ) *

< &'&*

< &'&* * ,9 ' # $ &# * ,9 ' # $ &#

,$ # 9 ' #

, # )9' # )

, # # $ &#

$' ) # 9

9&

) $ * $ & #&

& ' ) ) # )

# * # 9 # ,$ *

) $ * , #& 9 # '& ) # )9' # ) *

, # ' ' )

9 9 # ,$

9 < * *

&'&* 9 # $' ) # 9 "

(23)

Gambar 4.3. Bagan Alir Penelitian Ekosistem terumbu karang Antropogenik

Perubahan ekosistem

Pengumpulan data biotik Pengumpulan data abiotik

Kajian biologi

Kajian ekologi

Publikasi Jurnal Mikroalga Terumbu karang

Foraminifera Air: salinitas, suhu, kecerahan,

pH, akalinitas, calcium, oksigen

: Formula Index dapat dijadikan sebagai$ & #& kualitas ekosistem terumbu karang di perairan pesisir Teluk Kupang

: Formula Index dapat dijadikan sebagai, #& penduga lokasi transplantasi karang di perairan pesisir Teluk Kupang

(24)

-10 )9' # ) *

Metode transplantasi yang digunakan adalah metode beton. Kelebihan dari beton dibandingkan metode konvensional seperti rak dan jaring karena beton memiliki daya tahan yang lama, dapat membentuk formasi yang stabil, dan mampu menahan koloni karnag yang makin membesar. Stabilitas daerah penempelan membuat karang dapat menempel dan tumbuh dengan baik. Selain itu, beton dapat menjadi media untuk penempelan larva karang (Subhan

., 2014). Karang yang digunakan adalah karang bercabang, seperti dari suku Acroporidae dan Pocilloporidae. Karang tersebut merupakan jenis yang cepat tumbuh dan mudah untuk difragmentasi (atau menemukan patahan alaminya). (Edwards dan Gomez, 2008).

Laju pertumbuhan karang dihitung dari diameter koloni karang yang telah diberi tanda. Perhitungan laju pertumbuhan karang menggunakan modifikasi Sparre dan Venema (1998):

( + )

( )

=

=

Gr = tingkat pertumbuhan

L(t+Pt)= diameter akhir (mm) L(t)= diameter awal (mm) t = waktu (bulan)

Survival rate dihitung dengan menggunakan formula berdasarkan Clark and Edwards (1995):

1 2

log

1"

 

 

 

=

Nt1=jumlah koloni hidup saat awal survei

Nt2= jumlah koloni hidup saat akhir survei, and

(25)

01 7

01 ) '

01 1 8 $ ' * *

Tabel 5.1 menyajikan variabel lingkungan perairan. Variabel fisika menunjukkan kondisi perairan yang masih alami, dimana tidak terjadi perubahan yang berdampak negatif pada perkembangan organisme. Nilai kecerahan 100% menggambarkan penetrasi cahaya matahari bisa sampai ke dasar perairan sesuai dengan masing"masing kedalaman yang terukur. Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 memberikan petunjuk baku mutu kualitas perairan laut bagi organisma, dimana kecerahan pada wilayah terumbu karang lebih besar dari 5 meter, suhu 28"300C. Pengecualian muncul pada variabel Total Suspended Solid yang telah melampaui baku mutu kualitas perairan pada ekosistem karang yaitu 20±2 mg/l.

Rerata salinitas, pH, alkalinitas, dan kalsium menunjukkan kondisi alamiah sebagai ciri perairan laut. Konsentrasi oksigen terlarut menunjukkan perairan masih emadai bagi eksistensi organisme laut. Konsentrasi nutrien, yaitu fosfat telah melampaui baku mutu air laut sampai 7.73 kali dari yang seharusnya. Variabel logam berat pada Cd, Pb, Cu berada di atas ambang baku mutu air laut.

Nilai coliform umumnya tidak melampaui baku mutu air laut, kecuali pada Stasiun G dan H. Baku mutu air laut untuk biota menetapkan batas maksimum nilai coliform adalah 1000 MPN/100 ml. Kontras dengan coliform, seluruh nilai& masih di bawah baku mutu air laut untuk pariwisata. Kepmen LH 51/2004 tidak mengatur baku mutu nilai& untuk organisme laut.

Tabel 5.1 Variabel Lingkungan Perairan

# ) 7 # # A

VARIABEL FISIKA

Suhu/0C 26.5 27.5 27.6 27.7 27.6 27.7 27.7 27.3 27.450 0.407

Kedalaman/ cm 740 600 1000 900 830 1000 700 700 808.750 148.270

Kecerahan/ % 100 100 100 100 100 100 100 100 100.000

TSS/ mg/l 53.50 48.50 49.00 47.50 47.00 44.00 45.00 42.50 47.125 3.420

Color/ PCU 0 0 0 0 0 0 0 0 " "

VARIABEL KIMIA

Salinitas/0/00 33 34 34 34 34 34 34 34 33.875 0.354

pH 8.01 8.27 8.30 8.29 8.25 8.25 8.25 8.28 8.238 0.094

NO3/ ppm 0.006 0.005 0.007 0.006 0.006 0.005 0.003 0.005 0.005 0.001

NO2/ ppm 0.004 0.003 0.002 0.001 0.000 0.004 0.004 0.001 0.002 0.002

NH3/ ppm 0.16 0.19 0.44 0.12 0.31 0.24 0.20 0.34 0.250 0.106

PO4/ ppm 0.021 0.013 0.258 0.119 0.223 0.054 0.073 0.169 0.116 0.092

Si/ ppm 0.53 0.29 0.47 0.41 0.52 0.52 1.03 0.89 0.583 0.249

Alk./ ppm 104 105 144 112 102 106 144 181 124.750 28.679

Cal./ ppm Ca2+ 427 475 427 447 420 439 450 439 440.500 17.370

(26)

# ) 7 # # A

Cd/ ppm 0.015 0.008 0.001 0.010 0.003 0.005 0.004 ttd 0.006 0.005

Pb/ ppm 0.071 0.057 0.010 0.049 0.050 0.038 0.045 0.050 0.046 0.018

Cu/ ppm 0.065 0.044 0.043 0.024 0.038 0.034 0.029 ttd 0.035 0.019

Fe/ ppm 0.153 0.048 0.033 0.076 0.067 0.064 0.148 0.050 0.080 0.045

Mn/ ppm 0.046 0.025 0.024 0.023 0.024 0.026 0.021 0.028 0.027 0.008

Hg/ ppm ttd ttd ttd ttd ttd ttd ttd ttd ttd ttd

Sedimen organik/ % 2.16 2.85 2.43 2.60 2.02 2.25 0.97 2.53 2.226 0.573

Sedimen karbonat/ % 24.80 32.00 26.31 33.60 25.46 26.71 24.96 32.21 28.257 3.684 VARIABEL BIOLOGI

Klorofil"a/ mg/l 0.79 0.70 0.48 0.41 0.81 0.16 0.70 0.48 0.567 0.224

Coliform/ x/100ml 49 23 110 350 140 1.8>1600>1600 484.225 697.070

E. coli/ x/100ml <1.8 <1.8 <1.8 2 7.8 7.8 46 <1.8 8.850 15.251

Hasil indeks jarak Euclidean menunjukkan adanya 2 pengelompokan stasiun, yaitu G dan H membentuk satu kelompok, dan A,B,C,D,E,F di kelompok lainnya. Analisis Komponen Utama (AKU) merepresentasikan hasil kesamaan lingkungan dari Euclidean, dimana G dan H berada pada sumbu +x dan lokasi sisanya berada pada sumbu –x. Lokasi G dan H merupakan lokasi yang dipengaruhi oleh konsentrasi Coliform mengingat lokasi ini dekat dengan PLTU dan PT.TOM. Lokasi C,D,dan F dicirikan dengan variabel kedalaman. Lokasi A, B, dan E dicirikan dengan tingginya klorofil"a.

Gambar 5.1 Indeks Jarak Euclidean dan AKU Variabel Lingkungan Perairan

01 1" & ) ,$ *

(27)

kondisi yang baik, namun rerata tutupan karang keras di lokasi kajian menunjukkan kondisi yang sedang karena kriteria kesehatan karang tidak memperhitungkan persentase tutupan karang lunak. Persentase karang mati didominasi oleh patahan karang ( ) dibandingkan karena tutupan alga () ), sedangkan persentase abiotik didominasi oleh Pasir ( ) dibandingkan batu ( !).

Tabel 5.2 Persen Tutupan Bentik

# ) 7 # # A

Karang keras/ % 14.9 8.9 14.9 35.6 67.3 60.4 39.6 24.8 33.292 21.666

Karang lunak/ % 40.6 64.4 39.6 19.8 1.0 5.0 7.9 5.0 22.896 22.895

Rasio

K.Keras:K.Lunak 0.37 0.14 0.38 1.80 68.00 12.20 5.00 5.00 11.610 23.139

Biotik lain/ % 14.9 2.0 5.0 7.9 4.0 7.9 6.9 11.9 7.550 4.199

Karang mati/ % 16.8 14.9 1.0 28.7 15.8 11.9 14.9 20.8 15.594 7.827

Abiotik/ % 13.0 10.0 40.0 8.0 12.0 15.0 31.0 38.0 20.875 13.206

Analisa kluster Bray"Curtis menunjukkan adanya dua pengelompokan lokasi (Gambar 5.2). Analisis Komponen Utama menunjukkan bahwa lokasi E dan F dicirikan dengan tingginya tutupan karang keras, lokasi A dan B dicirikan dengan tingginya tutupan karang lunak, lokasi D dicirikan oleh tutupan karang mati, dan lokasi C dicirikan dengan tingginya persentase tutupan abiotik.. Tutupan karang keras yang rendah umumnya berada pada wilayah yang jauh dari pemukiman masyarakat (wilayah Semau pada lokasi A, B,dan Pulau Timor pada lokasi C). Lokasi H berada di sekitar inlet PLTU yang merupakan areal PT.TOM. Meskipun lokasi D dan G merupakan wilayah yang dekat pemukiman, namun demikian persentase tutupan karang masih lebih baik dibandingkan lokasi A, B, dan C. Lokasi di sekitar PT. TOM menunjukkan persentase tutupan karang keras yang tinggi.

Bila dibandingkan antara AKU variabel perairan dengan AKU tutupan bentik, kesesuaian nampak pada Sta G dan H. Pada stasiun lainnya tidak terdapat kesesuaian antara parameter perairan dengan tutupan bentik. Hal ini masih layak mengingat jarak antar stasiun tidak terlalu jauh sehingga perubahan parameter fisika dan kimia yang fluktuatif tidak serta merta mencerminkan perubahan tutupan bentik yang responnya tidak secepat fluktuasi parameter fisika dan kimia perairan.

01 16 $ & , : #

Total foraminifera yang diperoleh sebanyak 50 genus (Tabel 5.3), dimana rerata jumlah genus yang didapat sebesar 29±3.2 genus. Sebanyak 12 genus foraminifera terdapat di seluruh

lokasi kajian yaitu genus , % , , , & ,

(28)

$ . , , & , dan * + merupakan genus yang mendominasi perairan kajian.

Gambar 5.2. Pengelompokan Stasiun dan Analisis Komponen Utama Pada Persentase Penutupan Substrat

Tabel 5.3. Taksa Pada Masing"Masing Grup Fungsional

+ ,' + ,' + ,'

9 A & ) 9 A & ) 9 A & )

- 1 -- . /0 7

1. 5 / 2 3 - 1

/42 8 1 / -5 4

-. 2 22 6 - 1

2 2 7 1 6 5

% .6 6 2 2 - 1

8 /5 1 2 2 -- 6

6- 6 /0 1 * + 425 8

2/ 6 ) 7 / 2- 7

/-5 5 ) 1 2 -. 7

3 .7 . & 4 / , - 1

& -05 6 5 2

' 56 8 5 5

% 1 1 / 2

9 % 9 3 , / 1

7 3 % 25 2 /. 8

9 6 9 16 3 $ , -25 8

& 307 8 9 , 13 6 $ 31 8

(29)

namun karena cukup merata pada seluruh stasiun, maka bukan sebagai penciri Sta.C. Kelompok ketiga terdiri dari Sta. B, E,F,G,H

Gambar 5.3 AKU Foraminifera Bentik

01 1- ) * , & , :

Nilai keragaman, keseragaman, dan dominansi komunitas foraminifera cenderung stabil (Tabel. 5.4)

Tabel 5.4. Jumlah Taksa dan H’

+ ,' # ) B

27 2.28

33 2.58

7 23 2.28

30 2.51

31 2.79

30 2.66

31 2.62

27 2.60

# 29.00 2.54

) 23"33 2.28"2.79

# A 3.16 0.18

Gambar 5.4. Hubungan Jumlah taksa dan nilai H’

(30)

Namun demikian korelasi pearson antara jumlah taksa dan H’ menunjukkan adanya pengaruh peningkatan jumlah taksa terhadap kenaikan nilai H’ (r=0,72) (Gambar 5.4).

01 10 & ;

Foraminifera bentik pada ekosistem terumbu karang terbagi dalam tiga kelompok fungsional (Tabel 5.5). Pada kelompok fungsional “S”, dan merupakan genus yang mendominasi dari 11 genus. Pada kelompok “O” didominasi oleh& dari 3 genus yang terekam. Jumlah genus serta jumlah individu foraminifera yang bersimbiosis dengan alga (S) dan foraminifera heterotrofik (H) lebih tinggi dibandingkan tipe oportunistik (O). Nilai Foram Index menunjukkan kondisi perairan yang baik bagi pertumbuhan karang pada seluruh lokasi.

Kajian Troelstra . (1996) dan Renema (2008) menunjukkan bahwa kelompok Calcarinid melimpah pada perairan dengan kandungan nutrien yang tinggi seperti pada kelompok oportunis. Hal ini berbeda dengan teori yang disampaikan oleh Hallock . (2003), mengingat respon Calcarinid di Florida berbeda dengan di Indonesia. Bila dilakukan modifikasi dengan memindahkan kelompok Calcarinid yaitu genus dan3 ke dalam grup fungsional oportunis (O), maka sebaran jumlah individu dan jumlah taksa pada grup fungsional “S” dan “O” menjadi berubah, namun pada grup “H” tetap (Tabel 5.6). Uji t pada jumlah individu “S” dan “S” yang telah dimodifikasi serta pada jumlah “O” dan “O” modifikasi menunjukkan adanya perbedaan akibat perpindahan kelompok Calcarinid antar grup fungsional (df=7, p = 0,002). Hal yang sama terjadi pada jumlah taksa (df"8, p= 4,79x10"5).

Tabel 5.5. Jumlah Individu dan Taksa Pada Setiap Grup Fungsional

& ) 7 # # A &# ' # )

(31)

Tabel 5.6. Jumlah Individu dan Taksa Pada Setiap Grup Fungsional yang Telah Dimodifikasi

Tabel 5.7. Proporsi Pada Setiap Grup Fungsional dan Nilai FI

& ) 7 # A # *

Similaritas Bray"Curtis menunjukkan kesamaan pola pengelompokan fungsional antara FI dan FIm pada tingkat kesamaan 85% meskipun dalam masing"masing kelompok terdapat pola yang berbeda (Gambar 5.5). Meski dalam hasil analisis AKU menunjukkan pola pengelompokan yang serupa dengan similaritas Bray"Curtis, namun komposisi pada kelompok ternyata berbeda (Gambar 5.6). Pada proporsi tanpa modifikasi, Sta. A dan C dicirikan oleh kelompok simbion alga (S), sedangkan pada proporsi yang telah dimodifikasi Sta. A dicirikan oleh kelompok oportunis (O). Bila dikaitkan dengan pola sebaran karang keras (Gambar 5.2), maka pada Sta. E,F,G,H yang seharusnya dicirikan oleh kelompok simbion alga, namun ternyata saat ini terjadi pertukaran penciri dimana kelompok heterotrofik menjadi penciri lokasi"lokasi tersebut.

01 1. ' ) C

(32)

Gambar 5.5. Pengelompokan Stasiun Berdasarkan Kelompok Fungsional Foraminifera, a) Tanpa Modifikasi, b) Dengan Modifikasi

Gambar 5.6. AKU Kelompok Fungsional Foraminifera, a) Tanpa Modifikasi, b) Dengan Modifikasi

Tabel 5.8. Korelasi Pearson H’"FI, H’"Fim, dan FI"FIm 8 $ ' B

" 0.87 " , " 0.40 0.34

Indeks keragaman Shannon telah lama digunakan dalam kajian foraminifera bentik (Buzas, 1969 dan Muruganantham ., 2017). Wilhm and Dorris (1968) dan Hallock (2003) memiliki konsep yang serupa berkaitan dengan nilai indeks yang diberikan sebagai cerminan kualitas perairan. Perairan yang makin baik akan memberikan nilai indeks yang makin tinggi. Namun pada ekosistem terumbu karang, penggunaan indeks keragaman memiliki potensi mis"interpretasi (Hallock, 2012) karena H’ hanya menghitung jumlah taksa dan jumlah individu dalam masing"masing taksa namun tidak mempertimbangkan fungsi organisme dalam ekosistem tersebut, terutama kaitannya sebagai bio"indikator.

$

(33)

Terumbu karang berada pada ekosistem yang oligotrofik, dimana kandungan nutrien pada ekosistem tersebut sangat rendah dibandingkan area meso"eutrofik. Pada perairan yang miskin nutrien tersebut, maka jumlah jenis dan total individu foraminifera akan lebih rendah dibandingkan area meso"eutrofik karena suplai pakan sangat terbatas. Jumlah jenis foraminifera bentik yang bersimbiosis dengan alga (S) lebih sedikit dibandingkan kelompok heterotrofik (H). Meningkatnya jumlah jenis dan jumlah individu pada kelompok O dan H dan berkurangnya kelompok S akan menurunkan nilai FI (Tabel 5.9). Hal ini merefleksikan menurunnya kualitas ekosistem terumbu karang. Problema ini tidak diperhitungkan dalam perhitungan H’, karena dalam kajian ini meningkatnya nilai H’ lebih dikarenakan peran kelompok H yang memiliki jumlah taksa yang cukup besar dibandingkan kelompok S dan O. Perbedaan perhitungan ini yang menyebabkan meingkatnya nilai H berbanding terbalik dengan nilai FI. Nilai H’ menunjukkan kondisi perairan yang moderat cenderung tidak terpolusi, namun pada nilai FIm menunjukkan telah terjadi degradasi ekosistem pada beberapa lokasi akibat meningkatnya nutrifikasi sebagai dampak antropogenik.

Gambar 5.7. Sebaran Nilai FI, FIm, dan H’ Pada Lokasi Kajian

(34)

sebanyak kelompok H. Pemahaman ini dapat meminimalisir tingkat kesalahan dibandingkan menggunakan indek H’.

Tabel 5.9. Keterkaitan Fluks Nutrien atau Suplai Karbon Organik Terhadap Variabel Lingkungan

* ' *&# &: )&# &: # &: 9 # &:

! Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah

% + ) Sedang Tinggi Sedang Rendah atau tidak ada

' ,9 Sedang Tinggi Tertinggi Rendah atau tidak ada

& ; Tinggi: >4 Sedang: ~3"5 Rendah: ~1"3 <2 atau tidak ada Hallock (2012)

01 14 ' ) # 9 *

Korelasi pearson antara tutupan karang dengan masing"masing grup fungsional foraminifera tidak menunjukkan hubungan erat (Tabel 5.10). Pada karang keras yang digunakan sebagai indikator kesehatan karang, ditemukan hubungan yang terbalik dengan grup simbion alga (Ps dan Psm) yang seharusnya merupakan penciri ekosistem karang yang sehat, di sisi lain Ph dan Phm sama"sama memiliki korelasi yang positif terhadap tutupan karang keras. Hubungan yang positif ditemukan pada karang lunak dan grup Ps serta Psm. Hallock (2003) tidak menjelaskan batasan penggunaan FoRAM Index hanya bagi karang keras, melainkan mengaitkannya dengan ekosistem karang, sedangkan kondisi kesehatan karang selama ini hanya dikaitkan dengan tutupan karang keras (Clark and Edwards, 1995). Dengan demikian perlu ada kajian lebih lanjut mengenai peran masing"masing grup funsional foraminifera terhadap jenis tutupan karang agar diperoleh gambaran lebih spesifik mengenai indikasi kesehatan karang yang sesungguhnya, apakah hanya untuk karang keras atau kseluruhan ekosistem karang yang meliputi karang keras dan karang lunak.

Tabel 5.10Korelasi Pearson Antara Tutupan Karang Terhadap Proporsi Grup Fungsional, FI, dan FIm

& ' ) )& ) & ), &, , ,

* ) "0.40 0.32 0.30 "0.31 "0.16 0.30 "0.41 "0.27 * ' 0.32 "0.47 "0.17 0.16 0.11 "0.17 0.33 0.14 * , # "0.14 0.81 "0.09 "0.35 0.32 "0.09 "0.17 "0.41 &# ' * "0.11 "0.28 0.18 "0.23 "0.08 0.18 "0.10 "0.21

(35)

Hanya lokasi C dan E yang kondusif untuk dilakukan pemulihan ekosistem terumbu karang (Gambar 5.8).

! "#$ %#&#'( ")&#$ %#&#'( *+'#"

Gambar 5.8. Persentase Tutupan Karang, Nilai FI, dan FI Modifikasi

Analisis AKU baik pada proporsi foraminifera yang belum dan telah dimodifikasi menunjukkan adanya pergeseran habitat proporsi fungsional (Gambar 5.9). Berdasarkan Hallock . (2003), grup S merupakan penciri karang keras, namun pada kajian ini karang keras didominasi oleh grup H. Sayangnya belum ada kajian yang spesifik melihat relasi antar karang lunak dan foraminifera bentik. Di sisi lain kelompok S mendominasi habitat yang persentase tutupan karang lunaknya tinggi. Pergeseran ini memberikan dugaan telah terjadinya degradasi lingkungan pada habitat karang keras.

Sebagai bagian dari Taman Nasional Perairan Laut Sawu dari 10 kabupaten di Propinsi NTT, ekosistem terumbu karang di bagian barat Kabupaten Kupang termasuk dalam region I. Seluruh luasan terumbu karang di Kabupaten Kupang sebesar 2096,40 Ha. Karang lunak cukup sering ditemukan pada wilayah yang berdekatan dengan bagian barat Pulau Semau. Meskipun demikian, bila berdasarkan tutupan karang keras, kondisi perairan di Kabupaten Kupang umumnya dalam kondisi sedang"buruk (Giyanto ., 2015).

(36)

Gambar 5.9 AKU Pada Kelompok Fungsional dan Tutupan Bentik

Madduppa (2016) memberikan rekomendasi terhadap proses pemilihan teknik rehabilitasi karang yang membagi tutupan karang keras dalam dua bagian, yaitu lebih kecil dari 25% dan lebih besar dari 50%. Berdasarkan pembagian tersebut, maka lokasi A, B, C, dan H mengindikasikan kondisi yang rusak, sedangkan E dan F kondisinya baik. Bila membandingkan dengan nilai FIm, maka lokasi A,B, C, dan H merupakan lokasi prioritas yang layak untuk dilakukan restorasi ekosistem. Lokasi D dan G dapat dilakukan restorasi meski tidak diprioritaskan. Lokasi E dan F belum perlu dikakukan restorasi, meski demikian perlu dilakukan pengawasan dan pengelolaan agar tidak terjadi kerusakan, mengingat nilai FIm belum melampaui 4.0.

01"

(37)

.1 7

Pada tahun pertama, tujuan yang sudah dicapai adalah: Mengkaji hubungan proporsi foraminifera bentik terhadap kondisi ekosistem terumbu karang. Dua tujuan terakhir dari penelitian ini dilakukan pada tahap kedua. Kedua tujuan itu adalah:

1. Melakukan transplantasi karang pada lokasi yang telah ditetapkan berdasarkan nilai proporsi foraminifera bentik yang telah dianalisa

2. Menghasilkan satu metode pendugaan lokasi transplantasi karang yang efisien

Setelah data FoRAM Index diperoleh dan dibandingkan dengan data tutupan karang, maka pada tahun kedua direncanakan akan dilakukan kegiatan transplantasi karang pada lokasi"lokasi kajian. Kondisi perairan, kelulus"hidupan, dan tingkat pertumbuhan akan dipantau sebanyak dua kali setelah dilakukan transplantasi untuk melihat kondisi karang yang ditransplantasi. Hasil kajian akan memberikan informasi apakah FoRAM Index dapat digunakan sebagai bagian dalam penentuan lokasi transplantasi karang atau hanya sebatas indikator kesehatan ekosistem terumbu karang.

Metode transplantasi

1. Bahan yang digunakan untuk transplantasi adalah beton, agar media transplantasi dapat tahan lama

2. Laju pertumbuhan karang dihitung dari diameter koloni karang yang telah diberi tanda. Perhitungan laju pertumbuhan karang menggunakan modifikasi Sparre dan Venema (1998): (+ ) ( )

=

=

Gr = tingkat pertumbuhan L(t+Pt)= diameter akhir (mm)

L(t)= diameter awal (mm) t = waktu (bulan)

3. Survival rate dihitung dengan menggunakan formula berdasarkan Clark and Edwards (1995):

Nt1=jumlah koloni hidup saat awal survei

Nt2= jumlah koloni hidup saat akhir survei, and

(38)

Gambar 6.1 Bagan Alir Kegiatan Tahun ke Dua Kajian penentuan lokasi

transplantasi karang

Pembuatan

transplantasi karang

Pemantauan kondisi transplantasi karang

Metode dan Publikasi Seminar

' (

Evaluasi

: Formula Index dapat dijadikan sebagai, #& penduga lokasi transplantasi karang di perairan pesisir Teluk Kupang

(39)

41

41 ) ,9 '

Kualitas perairan pesisir pada bagian barat Kabupaten Kupang sudah mengalami penurunan akibat peningkatan kandungan logam berat dan fosfat. Hubungan antara nilai Foram Indeks dan tutupan persentase karang, baik karang keras, karang lunak dan gabungannya tidak erat diduga mengindikasikan kondisi ekosistem yang marjinal. Namun demikian restorasi masih dapat dilakukan pada seluruh ekosistem dengan persentase karang di bawah 60%

41"

(40)

Adisaputra MK, Hendrizan M, Kholiq A. 2010. < # . Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral. Badan Litbang Energi dan Sumberdaya Mineral. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan. vi + 198 hlm.

Albani AD, Yassini I. 1993. $ , ) $ $

& ( > . Technical Contribution No.5. Australia:

University of New South Wales. 51 hlm.

Ammar MSA., El"Gamal F, Nassar M, Belal A, Farag W, El"Mesirt G, El"Hadad K, Orabi A, Abdelreheem A, Shaaban A. 2013. Review: Current Trends in Coral Transplantation – An Approach to Preserve Biodiversity. Biodiversitas Vol.14 No. 1: 43"53.

Atrigenio, M.P. and Alino, P.M., 1996. Effects of the soft coral Xenia puertogalerae on the

recruitment of scleractinian corals.: &, & ,

20/(2), pp.179"189.

Barbosa CF, Prazeres MF, Ferreira BP, Seoane JCS. 2009. Foraminiferal assemblage and reef check census in coral reef health monitoring of East Brazilian Margin.

73: 62"69.

Bradley P, Fore L, Fisher W, Davis W. 2010 ? @

> 3 $ . U.S. Environmental Protection Agency, Office

of Research and Development, Narragansett, RI. EPA/600/R"10/054 July 2010.

Brower JE, Zar JH, von Ende CN. 1990. 9 ' & . 3rd

Ed. Dubuque, IA. USA: Wm. C. Brown Publishers. xi + 237 hlm.

Buzas, M.A., Hayek, L.A.C. and Culver, S.J., 2007. Community structure of benthic foraminifera in the Gulf of Mexico. ,1.(1), pp.43"53.

Carnahan EA, Hoare AM, Hallock P, Lidz BH, Reich CD. 2009. Foraminiferal assemblages in Biscayne Bay, Florida, USA: Responses to urban and agricultural influence in a subtropical

estuary. 59: 221"233.

Castro P, Huber ME. 2007. . 6thed. Boston: McGraw Hill. xix + 460 hlm.

Clark, S. and Edwards, A.J. 1995. Coral transplantation as an aid to reef rehabilitation: evaluation of a case study in the Maldive Islands. Coral reefs Vol 14: 201"213

Clark, S. and Edwards, A.J., 1995. Coral transplantation as an aid to reef rehabilitation: evaluation of a case study in the Maldive Islands. ,-4(4), pp.201"213.

Cooper TF, Fabricius KE. 2007. " # > *

3 $ ' . Unpublished report to Marine and

Tropical Sciences Research Facility. Cairns: Reef and Rainforest Research Centre Limited. 31 hlm.

(41)

Dewi KT, Natsir SM, Siswantoro Y. 2010. Mikrofauna (Foraminifera) terumbu karang sebagai indikator perairan sekitar pulau"pulau kecil.# < . Vol. 1. Ed. Khusus: 1"9.

Dewi KT, Natsir SM, Siswantoro Y. 2010. Mikrofauna (Foraminifera) terumbu karang sebagai indikator perairan sekitar pulau"pulau kecil.# < . Vol. 1. Ed. Khusus: 1"9.

Edwards AJ, Gomez ED. 2008. Konsep dan panduan restorasi terumbu: membuat pilihan bijak di antara ketidakpastian. Terj. dari Reef Restoration Concepts and Guidelines: making sensible management choices in the face of uncertainty. Oleh: Yusri, S., Estradivari, N. S. Wijoyo, & Idris. Yayasan TERANGI, Jakarta: iv + 38 hlm.

Fichez R, Adjeroud M, Bozec Y, Breau L, Chancerelle Y, Chevillon C, Douillet P, Fernandez J, Frouin P, Kulbicki M, Moreton B, Ouillon S, Payri C, Perez T, Sasal P, Thébault J. 2005. A review of selected indicators of particle, nutrient and metal inputs in coral reef lagoon

systems. + 9 18: 125"147.

Fox, H.E., Pet, J.S., Dahuri, R. and Caldwell, R.L., 2003. Recovery in rubble fields: long"term impacts of blast fishing. ,41(8), pp.1024"1031.

Gitaputri K, Kasmara H, Erawan TS, Natsir SM. 2013. Foraminifera Bentonik Sebagai Bioindikator Kondisi Perairan terumbu Karang Berdasrakan Foram Index Di Gugusan Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. Vol .5 No.1: 26"35.

Giyanto; W. Kiswara; Suyarso; I.N. Edrus; I.W.E. Dharmawan; R.S. Utama; A. Budiyanto; A. Salatalohy; S. Unyang; K.Y. Pratama and Y. Lapon. 2015. Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di Taman Nasional Perairan Laut Sawu, COREMAP"CTI Tahun 2015 (Baseline). COREMAP"CTI Pusat Penelitian Oseanografi" LIPI.

Hallock P, Lidz BH, Cockey"Burkhard EM, Donnelly KB. 2003. Foraminifera as bioindicators in coral reef assessment and monitoring: The Index.& A

: 81: 221"238.

Hallock, P., 2012, July. The FoRAM Index revisited: uses, challenges, and limitations. In

-2 # (pp. 9"13)

Hodgson G, Hill J, Kiene W, Maun L, Mihaly J, Liebeler J, Shuman C, Torres R. 2006.

! # ? ' ! . California,

USA: Reef Check Foundation, Pacific Palisades. 86 hlm. Jameson SC, Erdmann MV, Gibson Jr GR, Potts KW. 1998.)

& . Washington, DC: US Environmental Protection

Agency, Office of Science and Technology, Health and Ecological Criteria Division. iv + 102 hlm.

Lauwoie I. 2010. Keterkaitan Kondisi Terumbu Karang Dengan Kelimpahan Ikan Herbivora di Pesisir Selatan Teluk Kupang, Provinsi Nusa tenggara Timur. Tesis. IPB. Bogor.

Legendre P, Legendre L. 1998. 3 & . 2nd English Ed. Amsterdam: Elsevier Science B.V. xv + 853 hlm.

(42)

Madduppa, H, B. Subhan , D. Arafat , N Pzamani. 2016. Riset dan Inovasi Terumbu Karang dan Proses Pemilihan Teknik Rehabilitasi Sebuah Usulan Menghadapi Gangguan Alami Dan Antropogenik Kasus Di Kepulauan Seribu. Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan, Vol. 3 No. 2,Hal:130"139

Manuputty AEW, Djuwariah. 2009. Panduan Metode Point Intercept Transect (PIT) untuk masyarakat. COREMAP II"LIPI. Jakarta. iv+66 Hal.

Muruganantham, M., Ragavan,P., and Mohan, P.M. 2017. Diversity and distribution of living Larger Benthic Foramnifera From Coral Reef environments, South Andaman Island, India. Journal of Foraminiferan Research Vol 47 No.3: 252"257.

Natsir SM, Subkhan M. 2010.< ! $

< . Di dalam: Nababan ., editor. Prosiding Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan VII ISOI 2010, Hotel Santika dan Hotel Merkuri, Oangkal Pinang, 6"7 Oktober 2010. Jakarta: Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia. Hlm. 143"152.

Natsir SM, Subkhan M. 2011. Foraminifera bentik sebagai indikator kualitas perairan ekosistem terumbu karang di Pulau Bidadari dan Ringgit, Kepulauan Seribu.9 ! $ 5(1): 1"10.

Natsir SM. 2010. Foraminifera bentik sebagai indikator kondisi lingkungan terumbu karang Perairan Pulau Kotok Besar dan Pulau Nirwana, Kepulauan Seribu. 8

9 # 36(2): 181"192.

Nobes K, Uthicke S. 2008. ' ?

> * # Report to the Marine and Tropical Sciences Research Facility. Reef and Rainforest Research Centre Limited, Cairns. 44 hlm.

Nybakken JW, Bertness MD. 2006. ? & . 6th ed. San

Fransisco: Pearson education. Inc. xi + 579 hlm.

Pezelj D, Sremac J, Sokac A. 2007. Palaeoecology of the late badenian foraminifera and ostracoda from the SW Central Paratethys (Medvednica Mt., Croatia). '

60(2): 139"150.

Porto Neto FF. 2003.B ! & * $ $

C " D E? # # (

. [disertasi]. Zentrum fur Marine Tropenokologie (ZMT). Universitat Bremen. German. 124 hlm

Pringgoprawiro H, Kapid R. 2000. ? ! A !

. Bandung: Penerbit ITB. 112 hlm.

Renema W. 2008. Habitat selective factors influencing the distribution of larger benthic foraminiferal assemblages over the Kepulauan Seribu. 68: 286" 298.

Schaffelke B, Thompson A, Carleton J, Cripps E, Davidson J, Doyle J, Furnas M, Gunn K, Neale S, Skuza M, Uthicke S, Wright M, Zagorskis I. 2008.> * &

> * . Final Report 2007/08.

(43)

Schueth JD, Frank TD. 2008. Reef foraminifera as bioindicators of coral reef health; Low Isles Reef, Northern Great Barrier Reef, Australia.: 38(1): 11" 22.

Scott DB, Schafer CT, Medioli FS. 2004. & @

$ # . UK: Cambridge University Press. xiii + 177 hlm.

Soedharma D, Arafat D. 2007. Perkembangan Transplantasi Karang di Indonesia. h.1"7. In Soedharma D, Rahardjo M. F., Sri Eko Susilawati, S.E., dan Arafat, D. Prosiding Seminar Transplantasi Karang. Bogor, 8 September 2005 Pusat Penelitian Lingkungan Hidup "IPB dan Fisheries Diving Club Institut Pertanian Bogor. Bogor. iv + 54 hlm.

Sparre P, Venema SC. 1998. Introduction to Tropical Fish Stock Assesment. Part 1. Manual FAO Fisheries Technical Paper No.306/1. Rev. 2. FAO. Rome. xiv+438 hlm

Subhan B, Madduppa H, Arafat D, Soedharma D. 2014. Bisakah Transplantasi karang Perbaiki Ekosistem Terumbu Karang? Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan. Vol. 1 No. 3: 159"164.

Sudjana. 1989. ! . Bandung: Tarsito. x + 508 hlm

Sukmara A, Siahainenia AJ, Rotinsulu C. 2001. $ <

" ! ) $ (. Proyek Pesisir. Publikasi Khusus.

Rhode Island, USA: University of Rhode Island, Coastal Resources Center, Narragansett. ix + 48 hlm.

Troelstra SR, Jonkers H.M, de Rijk S. 1996. Larger foraminifera from the Spermonde Archipelago (Sulawesi, Indonesia). ' 113: 93"120.

Tulungen JJ., Bayer TG, Crawford BR, Dimpudus M, Kasmidi M, Rotinsulu C, Sukmara A, Tangkilisan N. 2002. Panduan Pembentukan dan pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat. CRC Technical Report Nomor 2236. Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dan University of rhode Island, Coastal Resources Center., Narragansett Rhode Island, USA. 77 hlm.

Uthicke S, Altenrath C. 2010. Water column nutrients control growth and C:N ratios of symbiont"bearing benthic foraminifera on The Great Barrier Reef, Australia. 9

8 55(4): 1681"1696.

Wilhm, J.L. and Dorris, T.C. 1968. Biological parameters for water quality criteria. , pp.477"481

Yamano H, Miyajima, Koike I. 2000. Importance of foraminifera for the formation and maintenance of a coral sand cay: Green Island, Australia. 19: 51"58.

Referensi

Dokumen terkait

Kombinasi aromatase inhibitor (AI), anti dopamian (AD) dan ovaprim dengan proporsi yang berbeda pada pemijahan ikan sumatra mampu mempercepat pematangan gonad dan

Sebelumnya kalian telah mempelajari grafik fungsi kuadrat. Daerah Sebelumnya kalian telah mempelajari grafik fungsi kuadrat. Daerah grafik fungsi kuadrat berupa

261 SANGGAR TARI DHARMA CADU JAYA PUTU ADI KRISTYANI DESA TUKADMUNGGA PURA,T.UMUM 0362 41348 AKTIF. 262 SANGGAR TARI SANTHI BUDAYA I GUSTI

MAHASISWA DALAM PENGISIAN KRS HARUS MENGISI KELAS SUPAYA NAMANYA TERCANTUM DALAM DAFTAR ABSEN KULIAH MAUPUN DAFTAR ABSEN

Tata kerja kelompok ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari aturan besar kelompok SHK Lestari Muara Tiga sebagai acuan atau landasan pelaksanaan kerja kelompok dalam

Strategi dari pengumpulan data tersebut adalah pengumpulan dokumen dari studi literatur maupun studi komparatif dan data dari pemerintah daerah, wawancara informal

SIMPUS sebagai sistem pengelolaan data berbasis tehnologi yang digunakan Puskesmas Sawangan telah membantu sistem kerja Puskesmas dalam pengolahan, akses dan trasfer

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian beberapa sumber bahan organik dan masa inkubasi terhadap pH, C-organik, N-total, P-total dan K-dd pada tanah