• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Persepsi - Persepsi Mutu Pelayanan Terhadap Kepuasan Pasien Di Puskesmas Medan Tuntungan Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2014.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Persepsi - Persepsi Mutu Pelayanan Terhadap Kepuasan Pasien Di Puskesmas Medan Tuntungan Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2014."

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Persepsi

Persepsi merupakan proses internal yang bermanfaat sebagai filter dan metode untuk mengorganisasikan stimulus, yang mungkin kita hadapi dilingkungan kita. Proses persepsi menyediakan mekanisme melalui stimulus yang diseleksi dan dikelompokkan dalam wujud yang hampir bersifat otomatik dan bekerja dengan cara yang sama pada setiap individu sehingga secara karakteristik menghasilkan persepsi yang berbeda-beda (Winardi, 2001).

Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (Rakhmat, 1992).

Reaksi dari persepsi terhadap stimulus (rangsangan) dapat terjadi dalam bentuk: 1. Receiving/ attending yaitu semacam kepekaan menerima stimulus dari luar dalam

bentuk masalah, situasi dan gejala.

2. Responding (jawaban) yaitu reaksi yang diberikan oleh seseorang terhadap stimulus yang datang dari luar.

3. Valuing (penilaian) yaitu berkenaan dengan nilai dan kepercayaan terhadap gejala atau stimulus yang diterima.

(2)

4. Organisasi yaitu pengembangan diri dari nilai kedalam suatu sistem organisasi, termasuk hubungan suatu nilai dengan nilai lain, pemantapan dan prioritas nilai yang dimilikinya.

5. Karakteristik nilai atau internalisasi nilai yaitu keterpaduan semua sistem nilai yang dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya, termasuk keseluruhan nilai dan karakteristiknya.

Persepsi yang positif terhadap peningkatan kualitas mengembangkan suatu kesadaran kualitas sebagai elemen penting yang selalu meningkat dalam daya saing, pemahaman keperluan keunggulan kualitas dan pembagian informasi tentang strategi kualitas yang berhasil serta keuntungan yang berasal dari strategi tersebut, akan meningkatkan kinerja karyawan (Notoadmojo,1993).

2.2. Teori Pelayanan

Menurut Lumenta (1989), pelayanan adalah segala upaya kegiatan pencegahan dan pengobatan penyakit, semua upaya dan kegiatan peningkatan dan pemulihan kesehatan yang dilaksanakan atas dasar hubungan individual antara para ahli pelayanan medis dan individu yang membutuhkan.

(3)

2.3.Pengertian Kepuasan Pelanggan / Pasien

Gerson (2002), Kotler (2000), dan Tjiptono (2000) menyatakan kepuasan pelanggan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja (hasil) yang dia rasakan dibandingkan dengan harapannya. Bila kinerja dibawah harapan, pelanggan kecewa. Bila kinerja sesuai harapan, pelanggan puas dan bila kinerja melebihi harapan, pelanggan akan sangat puas, senang atau gembira. Harapan pelanggan dibentuk oleh pengalaman pembelian terdahulu, komentar teman dan kenalannya serta janji dan informasi yang ada.

Dalam pelayanan kesehatan istilah pasien sudah baku dan lebih tepat digunakan dibandingkan dengan klien, pemakai, konsumen atau pelanggan. Menurut Kaswadji (1996), semua orang yang datang kedokter lebih suka disebut pasien.

Sebagai pasien pasti mengharapkan menerima mutu pelayanan yang baik. Pasien senantiasa ingin menjelaskan keluhannya dan mengharapkan perhatian dokter. Pasien juga mengharapkan dokter mempunyai kemampuan teknis diagnosis yang baik agar dapat menyembuhkan penyakit pasien. Kepuasan pasien merupakan hasil pelayanan kesehatan.

Menurut Iskandar (1998), pasien adalah orang sakit yang dirawat dokter dalam pelayanan kesehatan. Pasien memiliki harapan memperoleh perawatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan atas dasar kemampuan dan kecakapan menerapkan ilmu dan teknologi kesehatan.

(4)

Kepuasan pelanggan/ pasien Puskesmas atau organisasi pelayanan kesehatan lainnya dipengaruhi banyak faktor, antara lain yang bersangkutan dengan :

1. Pendekatan dari perilaku petugas, perasaan pasien terutama saat pertama datang 2. Mutu informasi yang diterima, seperti apa yang dikerjakan, apa yang diharap 3. Prosedur perjanjian

4. Waktu tunggu

5. Fasilitas umum yang tersedia

6. Outcome terapi dan perawatan yang diterima

2.4. Pengukuran Kepuasan Pasien

Menurut Kottler (2002), terdapat 4 metode untuk mengukur kepuasan pelanggan: - Sistem keluhan dan saran

Setiap perusahaan atau organisasi yang berorientasi kepada pelanggan (customer oriented) memberikan kesempatan yang luas kepada para pelanggannya untuk menyampaikan saran, pendapat dan keluhan mereka. Media yang digunakan adalah melalui kotak saran yang dapat diletakkan ditempat-tempat strategis yang mudah dijangkau, menyediakan kartu komentar yang bisa diisi langsung.

- Ghost shoping

Cara ini mempekerjakan beberapa orang yang berperan atau bersikap sebagai pembeli potensial kemudian melaporkan temuan-temuannya mengenai kekuatan dan kelemahan dari organisasi maupun pesaingnya.

(5)

Dengan cara ini organisasi (Puskesmas) menghubungi para pelanggan yang telah berhenti menggunakan jasa layanan dan mencari tahu alasan hal tersebut. Peningkatan kehilangan pelanggan/pasien lama menunjukkan kegagalan perusahaan dalam memuaskan pelanggan.

- Survey kepuasan pelanggan

Apabila pelanggan tidak puas terhadap suatu produk, kebanyakan pelanggan beralih keproduk lain daripada menyampaikan keluhannya, karena itu perusahaan tidak dapat menggunakan banyaknya keluhan sebagai ukuran kepuasan pelanggan. Perusahaan yang tanggap akan selalu mengukur kepuasan pelanggannya. Dari hasil pengukuran, perusahaan akan mendapat umpan balik secara langsung dari pelanggan.

Survey dapat dilakukan dengan cara: a. Pengukuran secara langsung

Pelanggan diberi daftar pertanyaan secara langsung dan diminta untuk menjawab.

b. Derived satisfaction

Pelanggan diberi pertanyaan menyangkut 2 hal utama, yakni mengenai seberapa besar harapan mereka dan besarnya kinerja yang mereka rasakan.

c. Problem analysis

(6)

d. Importance-performance analysis

Responden diminta untuk membuat ranking dari berbagai elemen pelayanan. Ukuran pembuatan ranking ini didasari oleh kepentingan elemen dimata pelanggan serta seberapa baik kinerja perusahaan dalam memenuhi elemen tersebut.

Menurut Laughin dan Kaluzny (Tjiptono, 2000), terdapat 5 langkah pengukuran kepuasan pelanggan dengan cara survey:

a. Penetapan tujuan

Langkah pertama yang dilakukan dalam membuat suatu survey pelanggan adalah menentukan terlebih dahulu tujuan dari survey tersebut.

b. Seleksi metode

Langkah kedua yaitu dengan memilih metode pengumpulan data yang akan digunakan. Pemilihan didasari oleh kelompok pelanggan yang dijadikan target serta informasi yang ingin didapat sesuai kebutuhan.

c. Pengumpulan dan penyimpanan data

Dalam pembuatan instrumen pengumpulan data harus dihindari kesalahan dalam pengukuran sebelum digunakan instrumen harus diujicobakan reliabilitas dan validitasnya. Disarankan agar segala informasi yang telah didapat disimpan dalam customer information system.

d. Analisis data dan presentasi

(7)

e. Revisi dan evaluasi

Pengukuran kepuasan pelanggan harus senantiasa dilakukan untuk meninjau kembali kinerja untuk meningkatkan kualitas dimasa mendatang.

Parasuraman et al (1990), mengemukakan bahwa kepuasan pelanggan merupakan tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja (hasil) yang ia rasakan dengan harapannya. Sedangkan Kotler (1994) kepuasan pelanggan merupakan evaluasi purna beli, dimana alternative yang dipilih sekuramg-kurangnya sama atau melampaui harapan. Seopranto (1997) mengemukakan bahwa pelanggan merupakan kinerja suatu barang-barang/ jasa sekurang-kurangnya sama dengan apa yang diharapkan.

2.5. Manfaat Mengetahui Kepuasan

Menurut Tjiptono (1999) adanya kepuasan pelanggan / pasien dapat memberikan beberapa manfaat diantaranya :

a. Hubungan antara pemberi pelayanan dan pelanggan menjadi harmonis. b. Memberikan dasar yang baik bagi kunjungan ulang pasien.

c. Dapat mendorong terciptanya loyalitas pelanggan/pasien

d. Membentuk suatu rekomendasi dari mulut ke mulut (word of mouth) yang menguntungkan pemberi pelayanan.

e. Reputasi pemberi pelayanan menjadi baik dimata pelanggan/pasien. f. Dapat meningkatkan jumlah pendapat.

(8)

kepada keluarganya, teman-teman atau tetangganya, sehingga mempengaruhi sikap dan keyakinan orang lain untuk tidak berkunjung ke sarana pelayanan kesehatan tersebut. Untuk itu puskesmas atau sarana kesehatan lainnya harus selalu berupaya untuk mengantisipasi ketidak puasan sekecil apapun dan sedini mungkin (sebelum menjadi buah bibir).

Gerson (2002) menyatakan alasan-alasan mengapa perlu mengukur mutu dan kepuasan pelanggan :

a. Untuk mempelajari persepsi pelanggan

Pelanggan memiliki sifat individual dan setiap orang akan memandang sesuatu secara berbeda dari orang lain, meskipun dalam situasi yang sama. Pengukuran akan mendapatkan gambaran persepsi pelanggan yang menjadi dasar untuk meningkatkan program pelayanan.

b. Untuk menentukan kebutuhan dan harapan pelanggan

Pengukuran kepuasan pelanggan tidak hanya untuk menentukan bagaimana pelanggan menikmati produk atau jasa yang mereka beli dan pelayanan yang mereka terima, tetapi juga harus mengidentifikasi apa yang dibutuhkan dan diinginkan pelanggan keseluruhan proses pelayanan.

c. Untuk menutup kesenjangan

(9)

seharusnya disediakan oleh penyedia jasa dan apa yang seharusnya diterima pelanggan.

d. Untuk memeriksa apakah peningkatan mutu pelayanan dan kepuasan pelanggan sesuai harapan penyedia jasa atau tidak.

Dalam hal ini peningkatan mutu pelayanan berdasarkan harapan pelanggan yang dihubungkan dengan tujuan pelayanan penyedia jasa.

e. Karena peningkatan mutu sejalan dengan peningkatan laba

Peningkatan mutu pelayanan dapat memberikan kepuasan bagi pelanggan dan akan meningkatkan jumlah pelanggan yang membutuhkan jasa pelayanan, sehingga dapat memberikan laba/ keuntungan bagi penyedia jasa pelayanan.

f. Untuk mempelajari bagaimana melakukannya dan apa yang harus dilakukan dikemudian hari.

Alasan ini merupakan yang terpenting untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya pelayanan yang diberikan saat ini dan digunakan sebagai informasi untuk merencanakan apa yang dilakukan di masa mendatang.

g. Untuk menerapkan proses perbaikan berkesinambungan

Semua kegiatan yang terkait dengan pelayanan senantiasa harus ditingkatkan secara berkesinambungan untuk menghindari persaingan dari penyedia jasa pelayanan yang lain.

(10)

2.6. Pengertian Mutu Pelayanan Kesehatan

Menurut Dona Bedian (Wijono, 1999) mengungkapkan bahwa mutu merupakan suatu keputusan yang berhubungan dengan proses pelayanan berdasarkan tingkat dimana pelayanan memberikan konstribusi terhadap outcomes.

Proses pelayanan kesehatan terbagi dalam dua komponen utama, yaitu pelayanan teknis medis dan manajemen hubungan interpersonal anatara pemberi pelayanan kepada klien.

Menurut Jacobalis (1989), mutu pelayanan kesehatan dapat dilihat dari dua pendekatan yaitu :

1. Pendekatan kesehatan masyarakat (public health)

Pendekatan ini menyangkut seluruh sistem pelayanan kesehatan dan derajat kesehatan masyarakat dalam suatu wilayah maupun negara. Derajat mutu dalam hal ini misalnya: kelangsungan hidup, angka morbiditas, angka kecacatan.

2. Pendekatan institusional atau individu

Pendekatan ini menyangkut mutu pelayanan kesehatan terhadap perseorangan oleh suatu institusi atau fasilitas seperti Puskesmas. Mutu dalam pengertian ini adalah salah satu aspek atau produk dari sumber daya dan kegiatan fasilitas tersebut.

J.M Juran mengemukakan banyak arti tentang mutu namun dua diantaranya sangat penting bagi manajer, meskipun tidak semua pelanggan menyadarinya, yaitu :

1. Mutu sebagai keistimewaan produk.

(11)

2. Mutu berarti bebas dari kekurangan (defisiensi)

Di mata pelanggan semakin sedikit kekurangan, semakin baik mutunya.

Sedangkan kalau menilik dari defenisi mutu asuhan yang dikemukakan oleh Joint Commission on Accreditasi of Healthcare Organizations, yaitu derajat dipenuhinya standar profesi yang baik dalam pelayanan pasien dan terwujudnya hasil akhir yang selayaknya diharapkan, yang menyangkut asuhan pasien, diagnosa, prosedur atau tindakan, pemecahan masalah klinis.

Penelitian yang dilakukan oleh Smith dan Metzner pada tahun 1970 (Azwar, 1993), menunjukkan perbedaan dimensi terhadap pelayanan kesehatan.

1) Bagi Dokter, dimensi mutu pelayanan kesehatan yang dipandang penting adalah pengetahuan ilmiah yang dimiliki oleh dokter, perhatian dokter kepada pasien, keterampilan yang dimiliki oleh dokter, efisiensi pelayanan kesehatan serta kenyamanan pelayanan yang dirasakan oleh pasien.

2) Sedangkan untuk pasien sebagai pemakai jasa dimensi mutu yang dipandang paling penting adalah efisiensi pelayanan kesehatan, perhatian dokter serta kenyamanan yang dirasakan oleh pasien.

Banyak pendapat mengenai ruang lingkup, sasaran serta tujuan dari mutu pelayanan kesehatan, tetapi secara garis besar persepsi operasional tentang mutu pelayanan kesehatan yang baik adalah apabila :

(12)

4. Tepat sumber daya 5. Tepat standar profesi 6. Wajar dan aman 7. Memuaskan pasien

Leebov dan Ersoz, (1991) menyampaikan bahwa suatu pelayanan kesehatan harus melakukan perubahan terus-menerus untuk meningkatkan mutu layanan. Terdapat empat langkah yang dilakukan yaitu: identifikasi pelanggan, identifikasi harapan pelanggan dan standard pelanggan, terapkan harapan dan standard profesi ke langkah operasional yang dibutuhkan, dan tetapkan ukuran out comes. Sementara White (1999), mengemukakan bahwa yang sangat perlu dperhatikan dalam melakukan perubahan yang terus-menerus adalah tanggapan dari pelanggan melalui ketidakpuasan pelanggan.

2.6.1. Konsep Mutu Pelayanan Kesehatan

(13)

pemakai jasa pelayanan kesehatan jika fokus pengembangan pelayanannya ditujukan untuk menjamin kepuasan konsumen sebagai pelanggan.

Pedoman yang menjadi pegangan adalah bahwa penyelenggaraan pelayanan kesehatan untuk memenuhi tuntutan pemakai jasa pelayanan kesehatan, sedemikian rupa sehingga kesehatan para pemakai jasa pelayanan kesehatan tetap terpelihara.

2.6.2. Faktor Yang Mempengaruhi Mutu Pelayanan Kesehatan

Mutu pelayanan kesehatan menunjukkan pada penampilan (performance) dari pelayanan kesehatan. Secara umum disebutkan bahwa makin sempurna penampilan pelayanan kesehatan maka makin sempurna mutunya. Dalam Program Menjaga Mutu, penampilan pelayanan kesehatan disebut dengan keluaran (output). Mutu pelayanan kesehatan Puskesmas akan selalu terkait dengan ketiga unsur tersebut yang membentuk sebuah sistem. Sistem adalah rangkaian komponen yang berhubungan satu sama lain yang mempunyai suatu tujuan yang jelas (Azwar, 1996, Muninjaya, 2004).

Aspek- aspek mutu pelayanan di Puskesmas dapat diklasifikasikan dengan beberapa komponen (Donabedian, 1980) yaitu :

1) Struktur

Yaitu sarana fisik, perlengkapan dan peralatan, organisasi dan menejemen keuangan, sumber daya manusia dan sumber daya lain di Puskesmas Tuntungan. 2) Proses

(14)

3) Outcome (keluaran)

Yaitu hasil akhir kegiatan dan tindakan dokter dan tenaga profesi lainnya terhadap pasien.

Hubungan ketiga unsur tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : struktur

Keluaran Masukan proses

Gambar : Hubungan keterkaitan dari unsur Masukan, Proses dan struktur dalam pelayanan kesehatan / keluaran (Azwar, 1996).

2.7. Penyelenggaran Pelayanan Kesehatan

(15)

Menurut Judge (1993), karakteristik pasien berhubungan dengan kepuasan pasien. Karakteristik pasien yang dimaksud antara lain: umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan. Jenis kelamin lebih mudah merasakan kepuasan terhadap pelayanan dibandingkan wanita. Pasien berumur cenderung lebih mudah puas dibandingkan pasien berumur muda. Masyarakat yang terdidik karena pengetahuan yang dimilikinya menuntut pelayanan yang lebih baik. Demikian pula pada pasien dengan pekerjaan yang berhubungan dengan tingkat ekonomi yang tinggi menuntut pelayanan yang lebih baik dan cenderung untuk tidak puas. Hal ini juga telah diteliti oleh Muhammad (1999), bahwa karakteristik pasien berhubungan dengan kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan.

Sering terjadi bahwa pelayanan kesehatan dinilai telah memuaskan pasien, tetapi karena penyelenggaraannya tidak sesuai standar atau etika profesi yang telah disepakati, sulit disebut sebagai pelayanan kesehatan yang bermutu. Sebagai contoh, mutu pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh institusi kesehatan swasta hampir selalu dapat memuaskan pasien dan disebut sebagai pelayanan kesehatan yang bermutu, tetapi bila dilihat dari standar dan etika profesi tidak sesuai karena banyak dari kegiatan pelayanan kesehatan tersebut sebenarnya tidak diperlukan dan atau diselenggarakan secara berlebihan. Menurut Azwar (1996), untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan pembatasan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, yaitu :

1. Ditujukin pada derajat kepuasan pasien

(16)

rata-rata penduduk (sebagian besar penduduk) yang menjadi sasaran utama institusi kesehatan. Mutu pelayanan kesehatan dinilai baik, apabila pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dapat menimbulkan rasa puas pada diri setiap pasien yang sesuai tingkat kepuasan rat-rata penduduk yang menjadi sasaran pelayanan kesehatan tersebut.

2. Ditujukan pada upaya yang dilakukan

Dilakukan untuk melindungi kepentingan pemakai jasa pelayanan kesehatan yaitu penyelenggaraan pelayanan kesehatan harus sesuai dengan standard dan kode etik profesi. Mutu pelayanan sesuai dengan standard dan kode etik profesi yang telah ditetapkan.

2.8. Harapan Pelanggan Terhadap Mutu Pelayanan

Kotler (2000) menyatakan bahwa mutu jasa harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan. Hal ini berarti bahwa mutu yang baik bukanlah berdasarkan persepsi pihak penyedia jasa, melainkan berdasarkan persepsi pelanggan. Persepsi pelanggan terhadap mutu jasa merupakan penilaian menyeluruh atas keunggulan suatu jasa (Tjiptono, 2000, Rangkuti, 2003). Persepsi pelanggan terhadap mutu pelayanan dipengaruhi oleh situasi / momen pelayanan, yaitu tenaga yang memberikan pelayanan, proses pelayanan dan lingkungan fisik dimana pelayanan diberikan (Rangkuti, 2003).

(17)

keyakinan pelanggan sebelum mencoba atau membeli suatu produk yang dijadikan standar/ acuan dalam menilai kinerja produk tersebut (Tjiptono, 2000).

2.9. Model Pengukuran Mutu Pelayanan

Salah satu cara agar pelayanan jasa suatu perusahaan (Puskesmas) lebih unggul dibandingkan pesaingnya adalah dengan memberikan pelayanan yang bermutu, yang dapat memenuhi kepentingan pelanggan. Pengukuran mutu pelayanan yang paling sering digunakan oleh organisasi atau unit pelayanan kesehatan adalah dengan cara (Azhari, 2000).

1. Model Kesenjangan (Gap)

Parasuraman et.al. (1988) melakukan penelitian terhadap mutu pelayanan dengan membandingkan harapan pelanggan dengan persepsi pelayanan yang diterima. Hasil penelitian menemukan 5 dimensi utama yang paling menentukan, yaitu:

a. Tangible, yaitu : bukti langsung yang dapat dilihat, meliputi fasilitas fisik, kelengkapan dan sarana komunikasi.

b. Reliability, yaitu : kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan.

c. Responsiveness, yaitu : keinginan untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan yang tanggap.

(18)

e. Empati, yaitu : kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi dan memahami kebutuhan pasien.

Dari hasil penelitian dinyatakan, bahwa setiap unit yang memberikan pelayanan harus berusaha menghilangkan kesenjangan (gap) antara harapan pelanggan dengan persepsi terhadap pelayanan yang diterima.

2.10. Dimensi Mutu Layanan

Kepuasan merupakan salah satu indikator untuk mengukur mutu layanan banyak dimensi mutu layanan yang dikembangkan untuk mengukur tingkat kepuasan pelanggan. Parasuratman et al (1985) mengembangkan 10 dimensi mutu layanan yaitu : tangible (dapat dilihat), realibility (kehandalan), responsiveness (anggapan), competence (berkompeten), courtesy (keramahan), credibility (kredibilitas), security (kemanan), access (ketercapaian), communication (komunikasi), understanding (pengertian).

Pada perkembangan penelitian berikutnya, Parasuraman et al (1990) merasakan adanya dimensi mutu pelayanan tersebut yang tumpang tindih satu sama lainnya yang dikaitkan dengan kepuasan pasien. Berdasarkan hal itulah Parasuraman et al (1990) memandang perlu untuk memfokuskan mutu dimensi layanan menjadi 5 (lima) dimensi yaitu :

1. Bukti langsung (tangible), yang meliputi keadaan fasilitas fisik misalnya :

(19)

2. Kehandalan (Realibility) yakni kemampuan untuk memberi pelayanan yang dijanjikan dengan segera dan memuaskan, misalnya: kecepatan dalam memberikab pelayanan, ketepatan waktu pelayanan.

3. Ketanggapan (responsiveness) yakni keinginan para karyawan/ petugas dalam memberikan pelayanan kepada pasien dengan tanggapan .misalnya : menanggapi keluhan pasien, membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien.

4. Jaminan (assurance) yakni jaminan yang mencakup kemampuan ketrampilan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya (kejujuran), bebas dari bahaya, resikoatau keragu-raguan dalam bertindak misalnya: keramahan, kesabaran, menjaga privacy.

5. Empati (empathy) yakni kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi perhatian jalinan hubungan dan memahami kebutuhan para pelanggan /pasien. Selanjutnya dimensi mutu yeng telah disederhanakan tersebut digunakan untuk mengembangkan instrument dalam pengukuran mutu pelayanan kesehatan.

2.11. Puskesmas

2.11.1. Pengertian puskesmas

Puskesmas adalah unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan disuatu wilayah kerja.

a. Unit pelaksana teknis

(20)

dinas kesehatan Kabupaten /Kota dan merupakan unit pelaksana tingkat pertama serta ujung tombak pembangunan di Indonesia.

b. Pembangunan kesehatan

Pembangunan kesehatan adalah penyelenggara upaya kesehatan oleh bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal.

c. Pertanggungjawaban Penyelenggara

Penanggung jawab utama penelenggaraan seluruh upaya pembangunan kesehatan di wilayah kabupaten/kota adalah dinas kesehatan kabupaten/kota, sedangkan puskesmas bertanggung jawab hanya sebagian upaya pembangunan kesehatan yang dibebankan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota sesuai dengan kemampuannya.

d. Wilayah kerja

e. Secara nasional standar wilayah kerja Puskesmas adalah satu kecamatan. Tetapi apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari satu puskesmas maka tanggung jawab wilayah kerja (Desa/Kelurahan atau RW). Masing-masing puskesmas tersebut secara operasional bertanggung jawab langsung kepada Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota.

(21)

Kesehatan Masyarakat menurut Azwar (2010) , Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat disamping memberi pelayanan secara menyeluruh terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. Serta Puskesmas menurut Syafrudin (2009) unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan disuatu wilayah.

2.11.2. Tujuan Puskesmas

Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional yakni meningkatkan kesadaran, kemauan, kemampuan hidup sehat bagi setiap orang yang bertempat tinggal diwilayah kerja puskesmas agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dalam rangka mewujudkan Indonesia Sehat.

2.11.3. Fungsi Puskesmas

1. Pusat Penggerakan Pembangunan Berwawasan Kesehatan

Puskesmas selalu berupaya menggerakkan dan memantau penyelenggaraan pembangunan lintas sektor termasuk oleh masyarakat dan dunia usaha diwilayah kerjanya, sehingga berwawasan serta mendukung pembangunan kesehatan. Di samping itu Puskesmas aktif memantau dan melaporkan dampak kesehatan dari penyelenggaran setiap program pembangunan diwilayah kerjanya. Khusus untuk pembangunan kesehatan, upaya yang dilakukan Puskesmas adalah mengutamakan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.

(22)

Puskesmas selalu berupaya agar perorangan terutama pemukiman masyarakat, keluarga dan masyarakat termasuk dunia usaha memiliki kesadaran, kemauan dan kemampuan melayani diri sendiri dan masyarakat untuk hidup sehat, berperan aktif dalam memperjuangkan kepentingan kesehatan termasuk sumber pembiayaannya, serta ikut menetapkan, menyelenggarakan dan memantau pelaksanaan program kesehatan. Pemberdayaan perorangan, keluarga dan masyarakat ini diselenggarakan dengan memperhatikan kondisi dan situasi, khususnya sosial budaya masyarakat setempat.

3. Pusat pelayanan kesehatan strata pertama

Puskesmas bertanggung jawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menjadi tanggung jawab puskesmas meliputi :

a. Pelayanan kesehatan perorangan

Pelayanan kesehatan perorangan adalah pelayanan yang bersifat pribadi (private goods) dengan tujuan utama menyembuhkan penyakit dan pemulihan kesehatan perorangan, tanpa mengabaikan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit.

b. Pelayanan kesehatan masyarakat

Pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan yang bersifat publik (public goods) dengan tujuan utama memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.

(23)

2.11.4. Upaya dan azas penyelenggaraan puskesmas

Untuk tercapainya visi pembangunan kesehatan di kota Medan melalui Medan sehat 2010 (Sehat Sejahtera, 2010). Puskesmas bertanggung jawab menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat yang keduanya jika ditinjau dari sistem kesehatan nasional merupakan pelayanan kesehatan tingkat pertama. Upaya kesehatan tersebut dikelompokkan menjadi dua yaitu:

1. Upaya Kesehatan wajib

Upaya kesehatan wajib adalah upaya yang ditetapkan berdasarkan komitment nasional, regional, global serta yang mempunyai daya ungkit yang tinggi untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Upaya kesehatan wajib ini harus diselenggarakan oleh setiap puskesmas yang ada di wilayah Indonesia.

2. Upaya kesehatan wajib tersebut adalah : a. Upaya promosi kesehatan

b. Upaya kesehatan lingkungan

c. Upaya kesehatan ibu dan anak serta keluarga Berencana d. Upaya perbaikan gizi

e. Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular f. Upaya pengobatan

3. Upaya Kesehatan Pengembangan

(24)

dengan kemampuan Puskesmas. Upaya pengembangan kesehatan dipilih dari daftar upaya kesehatan pokok Puskesmas yang telah ada yakni :

a) Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut b) Upaya Kesehatan Mata

c) Upaya Kesehatan Kerja d) Upaya Kesehatan Sekolah e) Upaya Kesehatan Olah Raga f) Upaya Perawatan

g) Upaya kesehatan usia lanjut h) Upaya kesehatan jiwa

i) Upaya kesehatan pengobatan tradisional.

2.12. Pelayanan Kesehatan di Puskesmas

Penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan di poliklinik Puskesmas merupakan upaya kesehatan yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, merata dan pemulihan, yang ditujukan pada semua golongan, umur maupun jenis kelamin (Herijulianti, 2002).

(25)

1. Pelayanan Administrasi/Penerimaan

Bagian ini merupakan tempat di mana pasien mendaftarkan diri dan memperoleh kartu sebelum memasuki ruang poli. Bagian penerimaan pasien juga merupakan wajah dari suatu Puskesmas serta merupakan tempat dimana kesan pertama tentang puskesmas yang ditemui pasien, untuk itu diperlukan petugas-petugas yang dapat menggunakan prosedur kerja dengan baik, sopan, ramah, simpatik dan terampil.

2. Pelayanan Tenaga Medis/ Dokter

Tenaga Medis atau Dokter merupakan unsur yang memberikan pengaruh paling besar dalam menentukan kualitas pelayanan yang di berikan pada pasien di Puskesmas. Dokter dapat juga dianggap sebagai jantung disebuah Puskesmas. Fungsi utamanya adalah memperikan pelayanan medik kepada pasien dengan mutu sebaik-baiknya dengan menggunakan tata cara dan teknik berdasarkan ilmu kedokteran.

3. Pelayanan Tenaga Para Medis/ Perawat

Tenaga para medis/perawat adalah orang yang telah dekat hubunganya dengan pasien karena pada umumnya pasien lebih sering berkomunikasi dengan perawat sebelum bertemu dengan dokter.

(26)

2.13. Kerangka Konsep

v

Gambar 2.1. Kerangka Konsep

Kerangka konsep yang dikembangkan dalam penelitian ini, mengacu pada latar belakang dan teori yang digunakan untuk mengukur kepuasan adalah Parasuraman et.al (1990). Kerangka konsep diatas menunjukkan bahwa dimensi mutu pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh indikator dimensi mutu pelayanan kesehatan yang juga mempengaruhi tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan yang diterima di Puskesmas. Puas atau tidak puas merupakan hak pasien untuk mengutarakannya. Kepuasan pasien juga dipengaruhi oleh karakteristik pasien dilihat dari umur pasien yang biasanya pasien yang lebih tua lebih peduli terhadap kesehatannya. Karakteristik inilah yang mempengaruhi tingkat pengetahuan pasien terhadap konsep sehat dan sakit kemudian mempengaruhi sikap pasien itu sendiri terdahap pelayanan yang sudah diterimanya. Melalui sikap tersebut maka mereka mampu dan mau mengungkapkan seperti apa pelayanan yang diterima dan seperti apa pula pelayanan yang sebenarnya mereka harapkan. Adanya komunikasi interpersonal antara petugas dengan pasien merupakan hal yang sangat penting pada saat memberikan pelayanan. Hal ini yang sangat mempengaruhi tingkat kepuasan pasien itu sendiri. Apakah mereka puas atau tidak terhadap pelayanan yang diberikan.

Dimensi Mutu Pelayanan Kesehatan 1. Reliability (Kemampuan)

2. Responsiveness (Daya Tanggap) 3. Assurance (Jaminan)

4. Empathy (Empati)

5. Tangible (Bukti Langsung)

Gambar

Gambar : Hubungan keterkaitan dari unsur Masukan, Proses dan struktur dalam pelayanan kesehatan / keluaran (Azwar, 1996)
Gambar 2.1. Kerangka Konsep

Referensi

Dokumen terkait

Rusunawa Kota Binjai dibangun 5 lantai yang terdiri dari 98 hunian.. Setiap blok rumah susun diberi tangga untuk turun

[r]

Seperti yang terjadi pada penghuni Rusunawa Kota Binjai, secra fisik tempat hunian mereka mengalami perubahan dari lingkungan pemukiman horizontal menjadi lingkungan

Konsumen tidak selalu memiliki informasi yang lengkap mengenai atribut-atribut produk. Namun, umumnya konsumen memiliki informasi tentang produk secara tidak

Penelitian ini juga menunjukkan sebelum dilakukan terapi bermain peran terdapat 7 orang (23,4%) anak yang memiliki tingkat sosialisasi cukup, anak yang memiliki

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Kapasitas dan kecepatan laju infiltrasi pada sistem OTI lebih tinggi dibandingkan dengan sistem TOT; (2) Perlakuan sistem OTI maupun TOT

dalarrl bent~rk; kolnitnien, 1,:ocle etil: dnn program etilc bngi PDM-DKE yang bcrlilki~ untuk sernria baik pengelola, rnmaupun m;l~yarakat siisnrzn.. Fenomena yatlg

In view of the complex interaction among L1 MA, L2 MA, L2 linguistic knowledge, and L2 word meaning inferencing, and the potential influence of word properties on the ease with