BAB II
TEORI PERUMAHAN DI PERKOTAAN
2.1 Perumahan
2.1.1 Perumahan dan Permukiman
Maslow (1987) dalam Sastra dan Marlina (2006) menjelaskan hierarki kebutuhan manusia terhadap pemenuhan hunian yang terdiri dari: survival needs,
safety and security needs, affliation needs, estem needs, cognitive and aesthetic needs. Teori ini menjelaskan terdapat tahapan dalam memenuhi kebutuhan
manusia. Setelah kebutuhan jasmani manusia terpenuhi, maka tempat berlindung atau rumah menjadi kebutuhan yang dipenuhi manusia sebagai motivasi
pengembangan diri ke arah kehidupan yang lebih baik. Rumah tidak hanya berfungsi sebagai tempat berlindung dari panas dan hujan, namun rumah telah memberikan ketenangan, kesenangan dan kenangan atas segala peristiwa dalam
kehidupan.Hal tersebut seide dengan adanya perbedaan antara rumah sebagai fisik bangunan dan rumah sebagai ruang hidup.
Pasal 1 Undang – Undang Republik Indonesia nomor 1 tahun 2011 tentang perumahan dan kawasan permukiman mendefinisikan perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun
perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni. Sedangkan permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan
UU tersebut merupakan perbaikan dari UU nomor 4 tahun 1992 tentang
Perumahan dan Permukiman yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan perumahan dan permukiman yang layak dan terjangkau dalam
lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur. Berdasarkan visi dari Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman (KSNPP) mengutarakan setiap orang (KK) Indonesia mampu memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan
terjangkau pada lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan dalam upaya terbentuknya masyarakat yang berjatidiri, mandiri, dan produktif.
Doxiadis (1974) dalam Warsono (2006) permukiman adalah penataan kawasan yang dibuat oleh manusia yang tujuannya untuk mempertahankan hidup
secara lebih mudah dan lebih aman, dan mengandung kesempatan untuk pembangunan manusia seutuhnya. Pengertian permukiman juga dapat dirumuskan sebagai suatu kawasan perumahan yang ditata secara fungsional sebagai satuan
sosial, ekonomi, dan fisik tata ruang, dilengkapi dengan prasarana lingkungan, sarana umum, dan fasilitas sosial.
Menurut Doxiadis (1971) dalam Kyo (2011), permukiman atau perumahan
akan berjalan dengan baik jika terkait dengan beberapa unsur, yaitu nature (alam),
man (manusia), society (kehidupan sosial), shell (ruang), dan networks
(hubungan). Sedangkan menurut Charles (1964) dalam Rizki (2010) perumahan merupakan tempat tiap individu yang ada saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain serta memiliki sense of belonging atas lingkungan tempat
suatu kesatuan dan kebersamaan dengan lingkungan alamnya dan dapat juga
mencerminkan taraf hidup, kesejahteraan, kepribadian, dan peradaban manusia penghuninya, masyarakat ataupun suatu bangsa.Pendapat ini di kemukakan
menurut Yudhohusodo (1991) dalam bukunya yang berjudul Rumah Untuk Seluruh Rakyat.
Menurut Kuswartojo dan Salim (1998) dalam bukunya yang berjudul
Perumahan dan Permukiman Yang Berwawasan Lingkungan menjelaskan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, dapat
merupakan kawasan perkotaan dan perdesaan, berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal / hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan
penghidupan. Sumaatmadaja (1981) dalam Aji (2009) mengartikan permukiman sebagai bagian permukaan bumi yang dihuni manusia meliputi pula segala sarana dan prasarana yang menunjang kehidupan penduduk yang menjadi satu kesatuan
dengan tempat tinggal yang bersangkutan.
Menurut Sastra dan Marlina (2006) dalam buku Perencanaan dan Pengembangan Perumahan dari segi penanganan dan pengelolaan, dijelaskan
bahwa definisi perumahan dan permukiman berbeda. Biasanya sebuah perumahan hanya dikelola oleh suatu pengembang di bawah koordinasi pemerintah,
sedangkan pengelolaan sebuah permukiman biasanya langsung ditangani oleh pemerintah dan konsep dan rencana pengembangannya sudah ditentukan dalam bentuk konsep pengembangan wilayah secara makro melalui Rencana Umum
2.1.2 Jenis - Jenis Perumahan
Kebijaksanaan lingkungan hunian yang berimbang ditetapkan melalui Surat Keputusan Bersama antara Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum dan
Menteri Negara Perumahan Rakyat, Nomor 648-381 Tahun 1992, 739/KPTS/1992 dan 09/KPTS/1992 tentang Pedoman Pembangunan Perumahan dan Pemukiman dengan Lingkungan Hunian yang Berimbang. Kebijaksanaan ini
bertujuan untuk mewujudkan pembangunan kawasan perumahan dan perumahan layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur, mewujudkan
lingkungan perumahan dengan penghuni yang terdiri atas berbagai profesi, tingkat ekonomi dan status sosial yang saling membutuhkan dengan dilandasi oleh rasa
kekeluargaan, kebersamaan, kegotongroyongan, serta menghindari terciptanya lingkungan perumahan dengan pengelompokan hunian yang dapat mendorong terjadinya kerawanan sosial.
Surat Keputusan Bersama antara Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Negara Perumahan Rakyat, Nomor 648-381 Tahun 1992, 739/KPTS/1992 dan 09/KPTS/1992 tentang Pedoman Pembangunan Perumahan
dan Pemukiman dengan Lingkungan Hunian yang Berimbang mengatur mengenai ketentuan perbandingan antara pembangunan rumah mewah, pembangunan rumah
menengah dan pembangunan rumah sederhana adalah 1 : 3 : 6 dengan ketentuan yang berlaku untuk pembangunan rumah sederhana (RS) :
a) perbandingan antara jumlah rumah sederhana (RS) tipe besar dengan
b) perbandingan antara jumlah rumah sederhana (RS) tipe kecil dengan
rumah sangat sederhana (RSS) dan kapling siap bangun (KSB) yaitu 1 berbanding 3 atau lebih.
Surat Keputusan Bersama antara Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Negara Perumahan Rakyat, Nomor 648-381 Tahun 1992, 739/KPTS/1992 dan 09/KPTS/1992 tentang Pedoman Pembangunan Perumahan
dan Pemukiman dengan Lingkungan Hunian yang Berimbang mengatur mengenai rumah sederhana, rumah menengah dan rumah mewah menurut adalah :
1) rumah sederhana adalah rumah tidak bersusun dengan luas lantai bangunan tidak lebih dari 70 m2 , dibangun diatas kapling tanah seluas 54 m2 sampai
dengan 200 m2 dengan biaya pembangunan per m2 tidak melebihi dari harga satuan per m2 tertinggi untuk pembangunan rumah dinas tipe C yang berlaku.
2) rumah menengah adalah rumah tidak bersusun diatas kapling tanah seluas 54 m2 sampai dengan 600 m2 , biaya pembangunan per meer persegi tidak melebihi dari harga satuan permeterperesegi tertinggi untuk pembangunan
rumah dinas tipe C yang berlaku sampai dengan harga satuan per m2 tertinggi untuk pembangunan perumahan dinas tipe A yang berlaku dan
rumah tidak bersusun yang dibangun diatas tanah 200 m2 sampai dengan 600m2.
3) rumah mewah adalah rumah tidak bersusun diatas kapling tanah seluas 54
dari harga satuan per m2 tertinggi untuk pembangunan rumah dinas tipe A
yang berlaku dan rumah tidak bersusun yang dibangun diatas tanah 600m2
Menurut Sastra dan Marlina (2006) dalam buku Perencanaan dan
Pengembangan Perumahan mengutarakan perumahan terbagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1. perumahan sederhana, perumahan sederhana merupakan jenis perumahan
yang biasanya diperuntukkan bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah dan mempunyai keterbatasan daya beli. Jenis perumahan ini memiliki fasilitas
yang masih minim. Hal ini dikarenakan pihak pengembang tidak dapat menaikkan harga jual bangunan dan fasilitas pendukung oprasional seperti
pada perumahan menengah dan mewah, di mana harga dan prasarana perumahan dibebabankan kepda konsumen. Perumahan sederhana biasanya terletak jauh dari pusat kota. Hal tersebut dikarenakan harga tanah di sekitar
pusat kota yang mahal sehingga tidak dapat dibebankan kepada konsumen. 2. perumahan menengah, perumahan menengah merupakan jenis perumahan
yang biasanya diperuntukkan bagi masyrakat yang berpengahsilan menengah
dan menengah ke atas. Jenis perumahan ini sudah dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang oprasional, seperti jalan, open space berikut
tamannya, jalan serta lampu taman dan lampu jalan, bahkan dilengkapi juga dengan fasilitas untuk olah raga seperti lapangan tenis. Perumahan menengah biasanya terletak tidak jauh dari pusat kota yang strategis letaknya terhadap
3. perumahan mewah, perumahan mewah merupakan jenis perumahan yang
dikhusukan bagi masyrakat yang berpenghasilan tinggi. Jenis perumahan ini dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang oprasional yang sudah
sangan lengkap, seperti pusat olah raga, taman dan fasilitas bermain, gedung pertemuan, pusat perbelanjaan, bahkan fasilitas rekreasi. Hal tersebut dikarenakan penghuni rumah tersebut menginginkan kemudahan akses dan
pelayanan sekitar perumahan yang cepat dan lengkap. Perumahan mewah biasanya hanya ada di kota – kota besar dimana lokasinya biasanya berada di pusat kota, karena konsumennya menginginkan kemudahan akses dan pelayanan sekitar perumahan yang serba instan dan lengkap.
2.1.3 Sarana dan Prasarana dalam Perumahan
Menurut Emawati (2011) prasarana adalah kelengkapan dasar fisik yang
memungkinkan lingkungan perumahan dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Sarana adalah fasilitas penunjang yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial, budaya. Pengembangan perumahan
harus menyiapkan sarana dan prasarana pendukung yang sesuai denganklasifikasi perumahan yang dibangun agar keseimbangan lingkungan tetap terjaga.
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-1733-2004 yang termasuk dalam sarana pemerintahan dan pelayanan umum adalah:
1. kantor-kantor pelayanan / administrasi pemerintahan dan administrasi
2. kantor pelayanan utilitas umum dan jasa; seperti layanan air bersih (PAM),
listrik (PLN), telepon, dan pos.
3. pos – pos pelayanan keamanan dan keselamatan; seperti pos keamanan dan pos
pemadam kebakaran.
Standar pelayanan minimal dalam pemenuhan kebutuhan di lingkungan
permukiman diatur dalam Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah No 534/KPTS/M/2001. Berikut merupakan prasaran dan sarana yang menjadi
persyaratan minimal di wilayah perkotaan: 1. prasarana lingkungan meliputi:
a. jalan kota, dan jalan lingkungan
b. air limbah sebagai tempat penyediaan saluran sanitasi c. drainase
d. persampahan 2. sarana lingkungan meliputi
a. sarana niaga, merupakan tempet penyediaan kebutuhan barang
dan jasa.
b. sarana pendidikan
c. sarana pelayanan kesehatan
d. sarana pelayanan umum seperti kantor instansi pemerintahan e. sarana ruang terbuka hijau seperti taman dan pemakaman.
3. utilitas umum meliputi:
a. air bersih
b. pemadam kebakaran
Menurut Jimbro (2010) perumahan juga harus disediakan sarana – sarana seperti sarana pendidikan, kesehatan, peribadatan, perbelanjaan, rekreasi, dan lainnya yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan penduduk.
Budiharjo (1993) dalam Bowo (2006) menyatakan bahwa yang sering terabaikan padahal sangat penting artinya bagi kelayakan hidup manusia penghuni
lingkungan perumahan adalah sarana dan prasarana, yang meliputi:
1. pelayanan sosial (social services), seperti sekolah, klinik, puskesmas,
rumah sakit yang pada umumnya disediakan oleh pemerintah.
2. fasilitasa sosial (social facilities), seperti tempat peribadatan, persemayaman, gedung pertemuan, lapangan olahraga, tempat
bermain/ruang terbuka, pertokoan, pasar, warung, kakilima dan sebagainya.
3. prasarana lingkungan meliputi jalan dan jembatan, air bersih, jaringan
listrik, jaringan telepon, jaringan air kotor dan persampahan.
Sastra dan Marlina (2006) dalam buku Perencanaan dan Pengembangan
Perumahan dalam sebuah lingkungan perumahan harus disediakan prasarana untuk memberikan kemudahan. Berdasarkan Undang – Undang Republik Indonesia nomor 1 tahun 2011 tentang perumahan dan kawasan permukiman
bagian dari permukiman dan rencana kelengkapan prasarana, sarana, dan utilitas
umum perumahan.
Mengacu pada teori perumahan dan kondisi perumahan yang sudah ada saat
ini, maka sarana prasarana yang ada antara lain yaitu :
1. sarana prasarana dengan persyaratan minimal berupa jalan, air limbah, air bersih, penyediaan listrik dan jaringan telepon.
2. sarana prasarana tambahan (biasanya pada perumahan menengah dan mewah) berupa tempat beribadah, sarana kesehatan, sekolah, tempat
perbelanjaan, taman dan tempat olahraga.
2.2 Bentuk Perumahan
2.2.1 Karakteristik Perumahan
Menurut Sidik (2000) dalam Sari (2010), karakteristik perumahan dapat dipandang melalui hal – hal berikut :
1. lokasinya yang tetap dan hampir tidak mungkin dipindah 2. pemanfaatannya dalam jangka panjang
3. bersifat heterogen secara multidimensional, terutama dalam lokasi, sumber daya alam dan preferensinya.
4. secara fisik dapat dimodifikasi.
Lokasinya tetap dapat diartikan bahwa lokasi perumahan memiliki atribut yang khusus tidak saja menyangkut aspek fisik, tetapi juga aspek kenyamanan,
bangunan perumahan. Pada umumnya penghuni rumah melakukan modifikasi
bentuk, interior, eksterior, dan ruangan bangunan perumahan dari bentuk aslinya. Dari sisi pasar perumahan, di lokasi yang lain. Di lain pihak, modifikasi hunian
yang banyak dilakukan oleh individu-individu di suatu lingkungan perumahan tertentu akan mempengaruhi kondisi pasar perumahan di lingkungan tersebut.
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI)03-1733-2004ketentuan dasar
fisik lingkungan perumahan harus memenuhi faktor-faktor berikut ini:
1. ketinggian lahan tidak berada di bawah permukaan air setempat, kecuali
dengan rekayasa/ penyelesaian teknis.
2. kemiringanlahan tidak melebihi 15%dengan ketentuan:
a. tanpa rekayasa untuk kawasan yang terletak pada lahan bermorfologi datarlandai dengan kemiringan 0-8%; dan
b. diperlukan rekayasa teknis untuk lahan dengan kemiringan 8-15%.
De Chiara dan Koppelman (1997) dalam Herasanti (2002) menjelaskan adanya tujuh karakteristik yang harus diperhatikan pada perencanaan kawasan perumahan agar layak huni, adalah :
1. kondisi tanah dan lapisan tanah 2. air tanah dan drainase
3. bebas atau tidaknya dari bahaya banjir permukaan 4. bebas atau tidaknya dari bahaya-bahaya topografi
5. pemenuhan pelayanan kesehatan dan keamanan, pembuangan air
6. potensi untuk pengembangan ruang terbuka, dan
7. bebas atau tidaknya dari gangguan debu, asap, dan bau busuk
2.2.2 Pola Perumahan
Menurut De Chiara J (1989) dalam Indrayani (2012), jalan dilingkungan perumahan adalah elemen yang menentukan pola pergerakan penghuni. Pola
tersebut terjadi dan membentuk pola-pola jaringan jalan sebagai berikut :
1. Pola Grid, yaitu pola jalan yang menghindari monotonitas dan mengurangi
beban lalu lintas menerus dengan cara membangunan persimpangan – persimpangan yang memberikan hambatan terhadap lalu lintas menerus di
dalam lingkungan perumahan.
2. Pola Simpangan, yaitu pola jalan yang hampir sama dengan pola Grid, tetapi lebih menghindari perpotongan jalan dan mempunyai persyaratan titik simpang jalannya berjarak 40 m.
Gambar 2.2 Pola Grid
3. Pola Radial, pola jalan yang dipakai apabila kondisi topografi berkontur. Tujuannya untuk menciptakan pergerakan lalu lintas menerus dengan ciri
geometri jalan dengan berbelok.
4. Pola Culdesac, yaitu bentuk jalan masuk ke persil unit rumah yang diakhiri
dengan putaran yang berbentuk radial memanjang sampai 150 m. Gambar 2.3 Pola Simpangan
Sumber : Chiara J; 1989 dalam Indrayani;2012
Gambar 2.4 Pola Radial
5. Pola Taman, yaitu pola jalan yang mengembangkan Grid dan Culdesac
dengan taman sebagai mediannya.
6. Pola Loop, yaitu pola jalan yang mengembangkan Culdesac dan Taman Gambar 2.5 Pola Culdesac
Sumber : Chiara J; 1989 dalam Indrayani;2012
Gambar 2.6 Pola Taman
2.3 Pemilihan Lokasi Perumahan
Pemilihan dan penentuan lokasi untuk properti perumahan bagi setiap orang berbeda-beda sesuai dengan pertimbangan masing-masing individunya. Beberapa
ahli membuat kesimpulan mengenai pemilihan lokasi properti perumahan sebagai berikut menurut Richadson(1978) dalam Sari (2010):
1. Filter Down Theory Teori ini muncul pada tahun 1920 oleh EW Burgess
untuk menerangkan pola pemukiman di Chicago. Menurut EW. Burgerss, perkembangan CBD yang pesat membuat pusat kota menjadi tidak
menarik (tanah mahal, macet, polusi).
2. Trade off Model oleh Alonso (1964) dan Solow (1972,1973)
Secara sederhana diartikan sebagai adanya trade off aksesibilitas terhadap ruang yang dipilih rumah tangga sebagai lokasi untuk properti perumahan. Model ini juga mengasumsikan bahwa kota melingkar
dengan sebuah pusat tenaga kerja dan transportasi yang tersedia dimana-mana, semua lokasi dipertimbangkan secara homogen kecuali jarak ke pusat kota. Rumah tangga akan bersedia membayar lebih untuk properti
dengan lokasi yang lebih dekat dengan CBD karena biaya commuting lebih rendah.
3. Ellis ( 1967 )
4. Senior dan Wilson (1974)
Senior dan Wilson (1974) menyatakan bahwa untuk beberapa rumah tangga, kemudahan pencapaian ke tempat kerja tidak berarti sama sekali.
5. Little (1974) dan Kirwan & Ball (1974)
Mereka meneliti mengenai implikasi dari keinginan sebagian besar keluarga- keluarga untuk hidup dengan tetangga yang homogen.
6. Social Aglomeration Theory (1985)
Dikemukakan bahwa orang memilih rumah dengan pertimbangan utama
bahwa dia akan nyaman bersama dengan kelompok sosial tertentu dimana kelompok ini bisa terbentukk berdasarkan ras, pendapatan, usia,
dan lain sebagainya, yang kemudian timbul segregasi.
Pilihan lokasi untuk rumah tinggal menggambarkan suatu usaha individu untuk menyeimbangkan dua pilihan yang bertentangan, yaitu kemudhan ke pusat
kota dan luas tanah yang bisa diperoleh. Menurut Synder dan Anthony (1991) dalam Sari (2010) ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan dalam pemilihan lokasi perumahan:
1. perwilayahan (zoning). Peraturan antara lain terkait dengan tipe dan ukuran bangunan, persyaratan ketinggian bangunan, garis sepadan
bangunan.
2. utilitas (utilities) Meliputi ketersediaan dan kondisi saluran pembuangan air hujan, sanitasi, pemasangan gas, listrik, dan telepon.
4. lokasi (location). Ketersediaan di pasar untuk penggunaan yang
diusulkan, aksesibilitas, kondisi pesekitaran, dan kondisi lalu lintas. 5. estetika (eisthetics). Meliputi pemandangan dan bentang alam yang
ada.
6. komunitas (community). Terutama terkait lingkungan termasuk di dalamnya kesehatan dan jasa-jasa yang diselenggarakan pemerintah.
7. pelayanan kota (city service). Penyediaan pendidikan, layanan kesehatan, dan jasa-jasa yang diselenggarakan pemerintah.
8. biaya (cost). Biaya dan keterjangkauan penyewa
Menurut Kuswartojo (1998) dalam bukunya yang berjudul Perumahan dan
Permukiman Yang Berwawasan Lingkungan menjelaskan bahwa persyaratan lokasi umumnya mengacu kepada hal – hal yang menyangkut kesesuaian dengan peraturan dan keamanan serta keselamatan penghuni, seperti misalnya sesuai
dengan rencana kota tentang peruntukan lahan, mudah dicapai, harus bebas banjir, kondisi lahan stabil, tidak di dekat pencemar, aksesbilitas baik dan ada sumber air.
Pemilihan tapak melalui lokasi dalam suatu kegiatan pembangunan
perumahan adalah penting untuk memperoleh tapak yang sesuai bagi pembangunan fisik maupun utilitas, rumah, sistem sirkulasi, serta fasilitas
2.4 Peraturan Perundang – Undangan di Indonesia
Standar Nasional Indonesia (SNI)03-1733-2004 Tata cara perencanaan lingkungan perumahan di perkotaan harus memenuhi kententuan umum, yaitu :
1. lingkungan perumahan merupakan bagian dari kawasan perkotaan sehingga dalam perencanaannya harus mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) setempat atau dokumen rencana lainnya yang ditetapkan
oleh Pemerintah Kota/ Kabupaten.
2. untuk mengarahkan pengaturan pembangunan lingkungan perumahan
yang sehat, aman, serasi secara teratur, terarah serta berkelanjutan / berkesinambungan, harus memenuhi persyaratan administrasi, teknis dan
ekologis, setiap rencana pembangunan rumah atau perumahan, baik yang dilakukan oleh perorangan maupun badan usaha perumahan.
3. perencanaan lingkungan perumahan kota meliputi perencanaan sarana
hunian, prasarana dan sarana lingkungan serta utilitas umum yang diperlukan untuk menciptakan lingkungan perumahan perkotaan yang serasi, sehat, harmonis dan aman. Pengaturan ini dimaksudkan untuk
membentuk lingkungan perumahan sebagai satu kesatuan fungsional dalam tata ruang fisik, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya.
4. perencanaan pembangunan lingkungan perumahan harus dilaksanakan oleh kelompok tenaga ahlinya yang dapat menjamin kelayakan teknis, yang keberadaannya diakui oleh peraturan yang berlaku.
perencanaannya harus dipadukan dengan perencanaan lingkungan
perumahan dan kawasan-kawasan fungsional lainnya.
6. perencanaan pembangunan lingkungan perumahan harus menyediakan
pusat-pusat lingkungan yang menampung berbagai sektor kegiatan (ekonomi, sosial, budaya), dari skala lingkungan terkecil (250 penduduk) hingga skala terbesar (120.000 penduduk), yang ditempatkan dan ditata
terintegrasi dengan pengembangan desain dan perhitungan kebutuhan sarana dan prasarana lingkungan.
7. pembangunan perumahan harus memenuhi persyaratan administrasi yang berkaitan dengan perizinan pembangunan, perizinan layak huni dan
sertifikasi tanah, yang diatur oleh Pemerintah Kota/Kabupaten setempat dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. 8. rancangan bangunan hunian, prasarana dan sarana lingkungan harus
memenuhi persyaratan teknis kesehatan dan keselamatan sesuai Standar Nasional Indonesia atau ketentuan-ketentuan lain yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah serta Pedoman Teknis yang
disusun oleh instansi terkait.
9. perencanaan lingkungan perumahan juga harus memberikan kemudahan
bagi semua orang, termasuk yang memiliki ketidakmampuan fisik atau mental seperti para SNI 03-1733-2004 11 dari 52 penyandang cacat, lansia, dan ibu hamil, penderita penyakit tertentu atas dasar pemenuhan
a. kemudahan, yaitu setiap orang dapat mencapai semua tempat atau
bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan,
Kegunaan, yaitu setiap orang harus dapat mempergunakan semua
tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan.
b. keselamatan, yaitu setiap bangunan yang bersifat umum dalam
suatu lingkungan terbangun, harus memperhatikan keselamatan bagi semua orang; dan
c. kemandirian, yaitu setiap orang harus dapat mencapai, masuk dan mempergunakan semua tempat atau bangunan yang bersifat umum
dalam suatu lingkungan dengan tanpa membutuhkan bantuan orang lain.
10.dalam menentukan besaran standar untuk perencanaan lingkungan
perumahan kota yang meliputi perencanaan sarana hunian, prasarana dan sarana lingkungan, menggunakan pendekatan besaran kepadatan penduduk.
11.dalam merencanakan kebutuhan lahan untuk sarana lingkungan, didasarkan pada beberapa ketentuan khusus, yaitu:
a. besaran standar ini direncanakan untuk kawasan dengan kepadatan penduduk 200 jiwa/ha
b. untuk mengatasi kesulitan mendapatkan lahan, beberapa sarana
c. untuk kawasan yang berkepadatan >200 jiwa/ha diberikan reduksi
15-30% terhadap persyaratan kebutuhan lahan; dan
d. perencanaan prasarana lingkungan, utilitas umum dan sarana
lingkungan harus direncanakan secara terpadu dengan mempertimbangkan keberadaan prasarana dan sarana yang telah ada dengan tidak mengurangi kualitas dan kuantitas secara
menyeluruh.
12.dalam menentukan besaran standar untuk perencanaan kawasan
perumahan baru di kota/new development area yang meliputi perencanaan sarana hunian, prasarana dan sarana lingkungan, pengembangan desain
dapat mempertimbangkan sistem blok / grup bangunan/ cluster untuk memudahkan dalam distribusi sarana lingkungan dan manajemen sistem pengelolaan administratifnya. Apabila dengan sistem blok / grup
bangunan/ cluster ternyata pemenuhan sarana hunian, prasarana dan sarana lingkungan belum dapat terpenuhi sesuai besaran standar yang ditentukan, maka pengembangan desain dapat mempertimbangkan sistem radius
pelayanan bagi penempatan sarana dan prasaran lingkungan, yaitu dengan kriteria pemenuhan distribusi sarana dan prasarana lingkungan dengan
memperhatikan kebutuhan lingkungan sekitar terdekat.
13.perencanaan lingkungan permukiman untuk hunian bertingkat (≈ rumah susun) harus mempertimbangkan sasaran pemakai yang dilihat dari tingkat
Pola Perumahan
Perumahan
Doxiadis,1971; Yudhohusodo,1991; Sastra dan Marlina,2006; Kuswartojo
dan Salim,1998;
Pola Bentuk Perumahan
De Chiara,1989;
Jenis Perumahan
SKB,1992; Sastra dan Marlina;2006;
Pola Bentuk Perumahan
De Chiara,1989; 2.6 Diagram Kepustakaan
2.7 Studi Kasus Sejenis
2.7.1 Pola Perumahan Dan Pemukiman Desa Tenganan Bali, Veronica
A. Kumurur & Setia Damayanti,2009
Rumah dalam arsitektur tradisional Bali, adalah satu kompleks rumah yang terdiri dari beberapa bangunan, dikelilingi oleh tembok yang disebut tembok
penyengker.Perumahan adalah kumpulan beberapa rumah di dalam kesatuan wilayah yang disebut banjar adat atau desa adat, juga merupakan kesatuan keagamaan dengan pura kayangan tiga yakni; pura desa, pura puseh, pura dalem
(Dewa Nyoman Wastika 2005). Desa Tenganan mempunyai susunan pemukiman yang merupakan pola kompleks yang terkurung (terbentengi oleh beton), dengan
masing-masing memiliki satu pintu keluar/masuk pada masing-masing pekarangan untuk setiap posisi mata angin.
Masyarakat Bali dan alam semesta adalah suatu hal yang tidak dapat
dipisahkan, begitu pula dengan arsitekturnya. Masyarakat Bali tradisional tinggal di sebuah perkampungan yang ditata dengan pola-pola tertentu mengikuti
kaidah-kaidah tertentu yang mengacu pada alam semesta, yaitu kaidah-kaidah arah angin Kaja-Kelod, Kauh-Kangin. Kaidah sumbu Utama Gunung Agung diyakini sebagai tempat bersemayamnya para dewa dan leluhur suci mereka.
Ditemui bahwa desa Tenganan memiliki 3 kelompok perumahan, yaitu: (1) kelompok pola menetap, (2) kelompok pola perkebunan, dan (3) kelompok
persawahan. Pada pola menetap terdapat sebuah jalan besar yang disebut
awangan yang sebenarnya adalah rangkaian halaman depan yang masing-masing
merupakan bagian dari unit-unit rumah pada kompleks tersebut. Awangan tersebut berundak-undak, makin ke utara makin tinggi. Terdapat dua awangan, yang batasnya ke dua awangan ini adalah sebuah selokan. Jumlah awangan yang
membujur dari Utara ke Selatan ada 3, yaitu: awangan Barat, awangan Tengah dan awangan Timur.
Tanah pekarangan tempat menetap itu adalah hak milik desa (hak ulayat).
Bentuk pola-pola menetap satu sama lain seragam, karena luas dan struktur bangunannya mirip. Bangunan dalam pekarangan berupa “bale boga” dan “bale tengah”. Keduanya merupakan bangunan yang bersyarat yang ditentukan letak,
2.7.2 Model Perkembangan Perumahan di Wilayah Peri Urban Kota
Surabaya, Dewa Made Frendika Septanaya dan Putu Gde
Ariastita, 2012
Wilayah peri urban merupakan suatu zona yangdidalamnya terdapat pencampuran antara strukturlahan kedesaan dan lahan kekotaan. Sementara itu Pyor mengemukakan bahwa wilayah peri urbandiistilahkan sebagai daerah rural –
urban fringe, yaituwilayah peralihan mengenai pemanfaatan lahan, karakteristiksosial dan demografis dan wilayah ini terletak antara (a) lahan
kekotaan kompak terbangun yang menyatu denganpusat kota dan (b) lahan kedesaan yang disana hampir tidakditemukan bentuk – bentuk lahan kekotaan dan permukimanperkotaan.
Sebagian besar fenomena peri urbanisasi berkembang dikawasan – kawasan metropolitan yang tumbuh dengan pesat. Secara umum fenomena perkembangan
wilayah periurban (transformasi spasial) ditunjukkan dengan pertambahanluas permukiman atas inisiasi pengembang dalam jumlahbanyak (real estate) atau yang biasa dikategorisasikansebagai proses formatif yang bersifat invasif
Bahkan di area perkotaan besar khususnya di belahan Asia Timur,pembangunan perumahan skala besar juga sangat mendominasi area peri
urban. Kecenderungan dan fenomena secara umum yangmenunjukkan pesatnya pertumbuhan kawasan perumahanternyata tidak terjadi di wilayah peri urban Kota Surabaya,khususnya beberapa kecamatan yang ada di KabupatenSidoarjo. Data
Penurunan jumlah pengadaan perumahan yangterjadi di Kabupaten Sidoarjo
berimplikasi padakeseimbangan antara penyediaan (supply) dan kebutuhan(demand) atas rumah bagi masyarakat. Kebutuhan rumahdiprediksi
akan terus meningkat sejalan dengan angka rataratapertumbuhan penduduk di Kabupaten Sidoarjo sebesar 3,53%.Bahkan permasalahan ini semakin mendesaktatkala di dalam laporan RP4D menunjukkan bahwa padatahun 2015
kebutuhan rumah akan mencapai 107.277 unitrumah. Oleh sebab itu studi ini secara komprehensifbertujuan untuk meneliti faktor yang mempengaruhi
penurunan jumlah pengadaan perumahan di wilayah periurban Kota Surabaya yang ada di Kabupaten Sidoarjo.Pendekatan yang digunakan adalah melalui
pemodelanGeographically Weighted Regression (GWR). Pemodelan inisecara holistik dapat menggambarkan keterkaitan/ hubungankausalitas antar faktor secara holistik serta mampumerefleksikan realitas atau fenomena yang telah terjadi.
Berikut tabel yang membahas studi kasus sejenis.