• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Impor Barang Konsumsi di Indonesia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Impor Barang Konsumsi di Indonesia."

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

MEDAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPOR BARANG

KONSUMSI DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Oleh:

FEBRINA JULIANTI CHATERIN PARDEDE 040501083

Ekonomi Pembangunan

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Bapa yang di surga melalui Anak-Nya Yesus Kristus atas berkat dan kasih karunia-Anak-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Impor Barang Konsumsi di Indonesia”

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Drs. John Tafbu Ritongan, M.Ec, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec selaku Ketua Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Drs. Rahmat Sumanjaya, Msi selaku Dosen pembimbing penulis yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan.

4. Bapak Paidi Hidayat, SE M.Si, selaku Dosen pembanding I 5. Bapak Drs. Aman Tarigan, SU.

(3)

Ekonomi Pembangungan atas pengajaran, bimbingan dan bantuannya pada penulis selama mengikuti perkuliahan.

7. Seluruh Staff dan Pegawai Kantor Bank Indonesia Kota dan Badan Pusat Statistik Medan atas bantuannya dalam memberikan data sehingga skripsi ini dapat diseles3aikan.

8. Kepada orang tua penulis, Ayahanda B.G. Pardede dan T.R. Sibarani serta kakak dan adik-adik penulis, Kakak Rury, Adik Kiki, Sylvia dan Ferdihan dan seluruh Keluarga besar Sibarani atas doa, perhatian serta dorongan moril maupun materil yang terus diberikan dalam penyusunan skripsi.

9. Buat kelompok “AGAVE” yang kukasihi dan sayangi, yaitu Kak Welfa, Titha, Thalia, Valia, Princes-saudaraku, Tina, dan Rita, buat doa, semangat, dan motivasi untuk selalu bersama-sama dalam suka dan duka dan tetap berjuang dalam kebersamaan dan kebahagiaan yang tidak dapat dilupakan. 10. Buat Liasta, Iin, Ida, kru-Bless, buat motivasi, dukungan dan doa. Juga untuk

teman-teman seperjuangan di Departemen Ekonomi Pembangunan stambuk 2004 yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah banyak mendukung melalui bimbingan moril dan juga doa bagi penulis selama mengikuti perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini.

(4)

Penulisan skripsi merupakan kewajiban bagi para mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara guna memenuhi syarat dalam memperoleh gelar kesarjanaan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari para pembaca demi penulisan yang lebih sempurna dan dapat bermanfaat dimasa yang akan datang. Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan berkat dan damai sejahtera bagi kita semua dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.

Medan, Maret 2008

(5)

Lampiran 1

DATA VARIABEL

Tahun Nilai Impor

(6)

Lampiran 2

HASIL REGRESI

Dependent Variable: LOGY Method: Least Squares Date: 03/04/08 Time: 15:11 Sample: 1980 2006

Included observations: 27

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 0.123660 0.673326 0.183656 0.0000

LOGX1 -0.507322 0.171808 -2.952847 0.0105

LOGX2 0.870127 0.132482 6.567882 0.0000

R-squared 0.900865 Mean dependent var 7.671454

Adjusted R-squared 0.886703 S.D. dependent var 0.510564 S.E. of regression 0.171854 Akaike info criterion 0.525562 Sum squared resid 0.413471 Schwarz criterion -0.378524

Log likelihood 7.467277 F-statistic 63.61097

(7)

Lampiran 3

Hasil Regresi Variabel Valas (Dollar AS) terhadap PDB

Dependent Variable: X1 Method: Least Squares Date: 03/04/08 Time: 15:17 Sample: 1980 2006

Included observations: 27

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 2391.375 771.7267 3.098734 0.0073

X2 0.002977 0.000511 5.820553 0.0000

R-squared 0.693119 Mean dependent var 5898.294

Adjusted R-squared 0.672660 S.D. dependent var 3475.215 S.E. of regression 1988.297 Akaike info criterion 18.13808 Sum squared resid 59299864 Schwarz criterion 18.23610

Log likelihood -152.1736 F-statistic 33.87884

(8)

Lampiran 4

Hasil Regresi Variabel PDB terhadap Valas (Dollar AS)

Dependent Variable: X2 Method: Least Squares Date: 03/04/08 Time: 15:18 Sample: 1980 2006

Included observations: 27

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -195257.4 271748.9 -0.718521 0.4835

X1 232.8173 39.99918 5.820553 0.0000

R-squared 0.693119 Mean dependent var 1177968.

Adjusted R-squared 0.672660 S.D. dependent var 971836.3 S.E. of regression 556022.9 Akaike info criterion 29.40514 Sum squared resid 4.64E+12 Schwarz criterion 29.50316

Log likelihood -247.9437 F-statistic 33.87884

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR SINGKATAN ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Hipotesis ... 5

1.4 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 5

BAB II URAIAN TEORITIS ... 7

2.1 Kurs ... 7

2.1.1 Pengertian Kurs ... 7

2.1.2 Mekanisme Pasar Valas ... 10

(10)

2.2 Impor ... 15

2.2.1 Pengertian Impor ... 15

2.2.2 Kebijakan Impor ... 15

2.2.3 Rintangan-Rintangan Impor yang Bersifat Teknis ... 21

2.2.4 Tren Perkembangan Tarif dan NTBs Belakangn Ini ... 24

2.3 Produk Domestik Bruto (PDB) ... 28

2.3.1 Pengertian PDB ... 28

2.3.2 Cara Perhitungan PDB ... 29

2.3.3 Manfaat dan Keterbatasan Perhitungan PDB ... 29

2.3.4 Teori Pertumbuhan Ekonomi Modern Rostow ... 31

BAB III METODE PENELITIAN ... 37

3.1 Ruang Lingkup Penelitian . ... 37

3.2 Jenis Dan Sumber Data ... 37

3.3 Pengolahan Data ... 37

3.4 Model Analisis Data ... 38

3.5 Test of Goodness of Fit (Uji Kesesuaian) ... 39

3.6 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 42

3.7 Defenisi Operasional ... 43

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 45

(11)

4.1.1 Kondisi Geografis ... 45

4.1.2 Kondisi Iklim dan Topografi ... 45

4.1.3 Kondisi Demografi Indonesia ... 46

4.2 Gambaran Perekonomian Indonesia ... 47

4.3 Perkembangan Impor Barang Konsumsi di Indonesia ... 49

4.4 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar AS ... 54

4.5 Perkembangan PDB Indonesia ... 57

4.6 Analisis Pengumpulan Data ... 60

4.6.1 Interpretasi Model ... 61

4.6.2 Uji Kesesuaian (Test Of Goodness of Fit) ... 62

4.6.3 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 66

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 70

5.1 Kesimpulan ... 70

5.2 Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA

(12)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Halaman

2.1 Produk-Produk yang Dilarang Impornya oleh Negara-Negara

yang Terkait

23

2.2 Pemasukan Tarif Impor Secara Kolektif Sebagai Persentase dari

Impor 28

2.3 Batas-Batas Tertinggi dari Tarif Sebagai Persentase dari

Garis-Garis dari Tarif 30

2.4 Ekskalasi Tarif: Rata-Rata Tarif yang Diterapkan Menurut

Tahap dari Proses Produksi (%) 27

4.1 Perkembangan Nilai Impor Barang Konsumsi di Indonesia 52

4.2 Perkembangan Volume Impor Barang Konsumsi di Indonesia 69

4.2 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar AS 55

(13)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman

3.1 Kurva Uji t-Statistik 40

3.2 Kurva Uji F-Statistik 41

3.3 Kurva Uji D-W 43

4.1 Uji-t variabel Nilai Tukar Rupiah Terhadap Valas 62

4.2 Uji-t variabel Produk Domestik Bruto 63

4.3 Uji-F Statistik 65

(14)

DAFTAR SINGKATAN

AS : Amerika Serikat

AUD : Australian Dollar

JPY : Japan Yen

MFA : Multi-Fibre Agreement

NTB : Non Tariff Barrier

NSB : Negara sedang berkembang

OLS : Ordinary Least Square

PDB : Produk Domestik Bruto.

UE : Uni Eropa

USD : United State Dollar

UU : Undang-undang

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. LAMPIRAN

1 : Data Variabel

2 : Hasil Regresi

3 : Hasil Regresi Variabel Valas (Dollar AS) terhadap PDB

(16)

ABSTRACT

The aim of this search is to analyze the influence exchange rate (Rupiah/US Dollar) and Brutto Domestic Product to the import value of consumption goods in Indonesia.

In general the import value consumption goods of a country is very influenced by the currency exchange rate and the value of Brutto Domestic Product. If currency exchange rate (rupiah) gets a depreciation, it will make the import value of consumption goods go down. This is caused by the import goods price become expensive.

The data used of this research is time series data from 1980-2006. The independent variables are exchange rate (Rupiah/US Dollar) and Brutto Domestic Product. And the dependent variable is the import value of consumption goods in Indonesia. The method used is OLS (Ordinary Least Square) by using econometric model.

The result shows that exchange rate (Rupiah/US Dollar) has negatively influenced on import value of goods consumption in Indonesia and Brutto Domestic Product has positively influenced on import value of goods consumption in Indonesia.

(17)

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganlisa pengaruh nilai tukar (rupiah/dollar AS) dan Produk Domesti Bruto (PDB) terhadap nilai impor barang konsumsi di Indonesia.

Nilai impor barang konsumsi pada suatu negara sangat dipengaruhi oleh nilai tukar dan nilai PDB. Jika nilai tukar (rupiah/dollar AS) mengalami depersiasi maka nilai impor barang konsumsi akan meningkat. Hal ini menyebabkan harga barang-barang konsumsi menjadi mahal.

Data dari penelitian ini menggunakan data berkala dari tahun 1980-2006. variabel-variabel bebasnya adalah nilai tukar dan PDB, sedangkan variabel terikatnya adalah nilai impor barang konsumsi di Indonesia. Metode yang digunakan adalah OLS dengan model ekonometrika.

Hasil estimasi yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai tukar (rupiah/dollar AS) memiliki pengaruh yang negatif terhadap nilai impor barang konsumsi sedangkan PDB memiliki pengaruh positif signifikan terhadap nilai impor barang konsumsi di Indonesia.

(18)

ABSTRACT

The aim of this search is to analyze the influence exchange rate (Rupiah/US Dollar) and Brutto Domestic Product to the import value of consumption goods in Indonesia.

In general the import value consumption goods of a country is very influenced by the currency exchange rate and the value of Brutto Domestic Product. If currency exchange rate (rupiah) gets a depreciation, it will make the import value of consumption goods go down. This is caused by the import goods price become expensive.

The data used of this research is time series data from 1980-2006. The independent variables are exchange rate (Rupiah/US Dollar) and Brutto Domestic Product. And the dependent variable is the import value of consumption goods in Indonesia. The method used is OLS (Ordinary Least Square) by using econometric model.

The result shows that exchange rate (Rupiah/US Dollar) has negatively influenced on import value of goods consumption in Indonesia and Brutto Domestic Product has positively influenced on import value of goods consumption in Indonesia.

(19)

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganlisa pengaruh nilai tukar (rupiah/dollar AS) dan Produk Domesti Bruto (PDB) terhadap nilai impor barang konsumsi di Indonesia.

Nilai impor barang konsumsi pada suatu negara sangat dipengaruhi oleh nilai tukar dan nilai PDB. Jika nilai tukar (rupiah/dollar AS) mengalami depersiasi maka nilai impor barang konsumsi akan meningkat. Hal ini menyebabkan harga barang-barang konsumsi menjadi mahal.

Data dari penelitian ini menggunakan data berkala dari tahun 1980-2006. variabel-variabel bebasnya adalah nilai tukar dan PDB, sedangkan variabel terikatnya adalah nilai impor barang konsumsi di Indonesia. Metode yang digunakan adalah OLS dengan model ekonometrika.

Hasil estimasi yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai tukar (rupiah/dollar AS) memiliki pengaruh yang negatif terhadap nilai impor barang konsumsi sedangkan PDB memiliki pengaruh positif signifikan terhadap nilai impor barang konsumsi di Indonesia.

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Dalam era globalisasi dan perdagangan bebas sekarang ini, manusia dengan ide,

bakat, dan IPTEK beserta barang dan jasa yang dihasilkannya dapat dengan mudah

melewati batas negara. Pergerakan yang relatif bebas, barang dan jasa yang dihasilkan,

ternyata bukan hanya telah menimbulkan saling keterkaitan dan ketergantungan, tetapi

juga menimbulkan persaingan global yang semakin ketat. Adanya keterkaitan dan

ketergantungan serta persaingan global tersebut menyebabkan hampir semua kehidupan

dalan suatu negara terpengaruhi oleh ekonomi internasional. Dengan kata lain, dalam era

globalisasi dan perdagangan bebas, saat ini dapat dikatakan tidak ada lagi negara-negara

yang ”autarki”, yaitu negara yang hidup terisolasi, tanpa mempunyai hubungan ekonomi,

keuangan maupun perdagangan internasional (ekspor-impor).

Kemampuan yang nyata dari suatu bangsa dalam menghasilkan barang-jasa dan

kenikmatan yang diperoleh setiap penduduk (perkapita) atas hasil itu disebut dengan

produktivitas perkapita atau lebih dikenal dengan pendapatan perkapita. Suatu negara

yang memiliki jumlah dan laju pertumbuhan penduduknya juga masih tinggi, mempunyai

tantangan yang lebih besar dibandingkan dengan negara yang penduduknya tergolong

lebih kecil dengan laju pertumbuhan rendah (Suseno Triyanto,1990)

Kemampuan suatu negara untuk menyediakan kebutuhan konsumsi penduduknya

dapat dilihat dari tingkat dan laju pertumbuhan konsumsi perkapita yang merupakan

(21)

Perubahan-perubahan yang terjadi (melalui laju pertumbuhan seperti laju pertumbuhan

ekonomi, laju pertumbuhan penduduk, dan laju pertumbuhan perkapita) di dalam tingkat

konsumsi penduduk akan merefleksikan tingkat kehidupan masyarakatnya.

Indonesia merupakan negara sedang berkembang dengan jumlah penduduk sekitar

214.854 (tahun 2005) dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,34% per tahun

(tahun 2005), memiliki tantangan yang cukup besar dalam menghasilkan barang-jasa dan

kenikmatan yang diperoleh oleh setiap penduduk. Dengan tingkat konsumsi masyarakat

yang semakin lama semakin meningkat yang dipicu oleh bertambahnya jumlah penduduk

cenderung mendorong Indonesia untuk melakukan perdagangan internasional dengan

melakukan ekspor maupun impor. Keterbatasan produktivitas barang dan jasa yang

dihasilkan di Indonesia akan mendorong dilakukannya impor dengan tujuan agar

kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi guna mencapai kemakmuran suatu negara.

Faktor-faktor yang mendorong dilakukannya impor adalah:

a. Keterbatasan kualitas sumber daya manusia dan teknologi yang dimiliki untuk

mengolah sumber daya alam yang tersedia agar tercapai efektifitas dan efisiensi

yang optimal dalam kegiatan produksi dalam negeri.

b. Adanya barang-jasa yang belum atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri.

c. Adanya jumlah atau kuantitas barang di dalam negeri yang belum mencukupi.

Barang impor terdiri dari:

a. Barang impor migas, yaitu:

1. Minyak.

(22)

b. Barang impor non migas, yaitu:

1. Barang modal.

2. Bahan baku/penolong.

3. Barang konsumsi.

Contoh barang konsumsi terdiri dari:

a. Beras.

b. Tekstil

c. Susu, makanan, minuman dan buah-buahan.

d. Tembakau dan olahannya.

e. Alat-alat rumah tangga.

f. Dsb.

Negara Indonesia tentu memerlukan input untuk menghasilkan produk. Input

yang diperlukan berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Variabel yang

menentukan biaya input adalah harga dan jumlah input tersebut. Dalam kegiatan produksi

tentu saja diperlukan cara produksi yang efektif dan efisien agar menekan biaya produksi.

Hal ini didukung oleh teori klasik yakni teori absolute advantage (keunggulan mutlak)

oleh Adam Smith yang menyatakan bahwa setiap negara akan memperoleh manfaat dari

perdagangan internasional (gain from trade) karena melakukan spesialisasi dengan

produksi dengan mengekspor barang jika negara tersebut memiliki keunggulan mutlak.,

serta mengimpor barang jika negara tersebut memiliki ketidakunggulan mutlak (absolute

disadvantage). Dan juga teori cost comparative dari David Ricardo yang

menyempurnakan teori Adam Smith baik secara cost comparative (labor efficiency)

(23)

Faktor-faktor yang mempengaruhi impor barang konsumsi adalah valas (Dollar

AS) dan Produk Domestik Bruto (PDB). Apabila terjadi depresiasi rupiah maka nilai

impor barang konsumsi akan mengalami kenaikan. Hal ini akan mempengaruhi anggaran

pendapatan dan pengeluaran pemerintah. Apabila kenaikan harga ini terjadi

terus-menerus akan memicu terjadinya inflasi sehingga pemerintah perlu melakukan

pengendalian terhadap jumlah impor barang konsumsi agar dampak dari kenaikan nilai

impor barang konsumsi tidak berpengaruh secara universal dan signifikan terhadap laju

pertumbuhan ekonomi Indonesia. Realisasi barang konsumsi impor pada tahun 2004

bernilai sebesar US$ 3786,5 juta dan mengalami kenaikan pada tahun 2005 dengan nilai

sebesar US$ 4620,5 juta. Kenaikan ataupun penurunan jumlah dan nilai impor barang

konsumsi yang terjadi setiap tahunnya tentu saja dipengaruhi oleh nilai valas negara yang

berkaitan dan PDB.

Berdasarkan uraian - uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian guna penyelesaian skripsi dengan judul “Analisis Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhi Impor Barang Konsumsi di Indonesia.”

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka ada rumusan masalah

yang dapat diambil sebagai kajian dalam penelitian yang akan dilakukan. Hal ini

bertujuan untuk mempermudah dalam penulisan skripsi ini. Selain itu, rumusan masalah

ini diperlukan sebagai suatu cara untuk mengambil keputusan dari akhir penulisan

(24)

1. Bagaimana pengaruh valas, dalam hal ini adalah Dollar AS, terhadap

perkembangan nilai impor barang konsumsi di Indonesia.

2. Bagaimana pengaruh Produk Domestik Bruto (PDB) dalam mendorong tingkat

impor barang konsumsi guna mencapai kemakmuran masyarakat.

1.3Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang ada,

dimana kebenarannya masih perlu dikaji dan diteliti melalui data yang terkumpul.

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penulis membuat hipotesis sebagai

berikut :

1. Depresiasi rupiah atas valas (Dollar AS) berpengaruh negatif terhadap

perkembangan nilai impor barang konsumsi Indonesia

2. Produk Domestik Bruto (PDB) berpengaruh positif terhadap nilai impor barang

konsumsi.

1.4Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah menjawab permasalahan yang telah

dirumuskan yaitu mengetahui seberapa besar pengaruh nilai tukar rupiah atas Dollar AS,

pendapatan perkapita dan laju inflasi terhadap besarnya barang konsumsi impor sehingga

diharapkan para pengambil keputusan yang terkait mengetahui, memahami dan

mengambil tindakan guna mengantisipasi segala kemungkinan baik bagi kalangan

(25)

Dan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Dapat digunakan sebagai bahan studi atau tambahan literature bagi mahasiswa/i

Fakultas Ekonomi khususnya Departemen Ekonomi Pembangunan.

2. Sebagai bahan referensi dan informasi bagi masyarakat dan mahasiswa/i yang

ingin melakukan penelitian selanjutnya.

3. Untuk menambah dan memperkaya wawasan ilmiah penulis dalam disiplin

ilmu yang penulis tekuni khususnya mengenai faktor - faktor yang mempengaruhi impor

(26)

BAB II

URAIAN TEORITIS

2.1 KURS

2.1.1 Pengertian

Kurs valuta asing atau foreign exchange rate diartikan sebagai mata uang asing dan

alat pembayaran lainnya yang digunakan untuk melakukan atau membiayai transaksi

ekonomi dan keuangan internasional atau luar negeri dan biasanya mempunyai catatan

kurs resmi di Bank Sentral atau Bank Indonesia.

Mata uang yang sering digunakan sebagai alat pembayaran dan kesatuan hitung

dalam transaksi ekonomi dan keuangan internasional disebut sebagai hard currency,

yaitu mata uang yang nilainya relatif stabil dan kadang mengalami apresiasi atau

kenaikan terhada[p mata uang lainnya. Umumnya berasal dari negara-negara industri

maju, seperti USD, JPY, EURO, dan AUD.

Sedangkan soft currency adalah mata uang lemah yang jarang digunakan sebagai

alat pembayaran dan kesatuan hitung karena nilainya relative tidak stabil dan sering

mengalami deprsi atau penurunan nilai terhadap nilai mata uang lainnya. Umumnya

berasal dari negara-negara yang sedang berkembang seperti Rupiah-Indonesia,

Peso-Thailand, dan Rupee-India.

Total valas yang dimiliki oleh pemerintah dan swasta dari suatu negara disebut juga

sebagai cadangan devisa. Cadangan tersebut dapat diketahui dari posisi Balance of

Payment (BOP) atau neraca pembayaran internasionalnya. Makin banyak devisa yang

(27)

kemampuan negara tersebut dalam melakukn transasksi ekonomi dan keuangan

internasional dan makin kuat pula nilai mata uang negara tersebut. Adapun yang

memperngaruhi nilai kurs adalah:

a. Permintaan dan penawaran mata uang asing tersebut.

b. Tingkat Bunga.

c. Tingkat inflasi

d. Produksi dan pendapatan.

e. Neraca pembayaran internasional.

f. Kebijakan pemerintah

g. Spekulasi

2.1.2 Sistem Kurs

Pada masa kini hampir seluruh negara yang ada di dunia tidak menggunakan sistem

kurs yang murni. Negara-negara yang melakukan hubungan ekonomi internasional

dengan negara lain menggunakan ssstem kurs campuran yang memadukan sebagian

karakteristik sistem kurs baru dan sebagian lagi dengan sistem kurs mengambang yang

masing-masing mnemiliki komposisi paduan karakteristik yang berbeda.

Sistem kurs campuran antara lain:

a. Sistem kurs terbatas.

Sistem kurs ini biasanya memungkinkan fluktuasi kurs sampai batas tertentu.

Sistem kurs yang didasarkan pada batas-batas fluktuasi atau system kurs

terbatas dimana negara-negara dapat menetukan sendiri nilai patokan kursnya,

(28)

tersebut secara terbatas. Kelebihan dari sistem kurs terbatas adalah dimana

otoritas moneter di berbagai negara masih tetap memungkinkan untuk

melakukan intervensi. Otoritas moneter hanya perlu sesekali melakukan

intervensi terhadap pasar valuta asing apabila kurs mata uang domestiknya

bergerak terlalu jauh sehingga cenderung melampaui batas-batas yang telah

ditetapkan.

b. Sistem kurs baku yang dapat disesuaikan.

Sistem kurs baku yang dapat disesuaikan (adjustable peg system) lebih

menitikberatkan pada nilai patokan kurs daripada batas-batas nilai inflasi.

Dalam sistem ini yang sering diubah ialah nilai patokannya sehingga sistem ini

mengirim uang bagi negara-negara untuk melakukan devaluasi ataupun

revaluasi (mengoreksi neraca pembayaran).

c. Sistem kurs baku merayap.

Dalam sistem ini nilai patokan masih boleh diubah. Namun setiap perubahan

diusahakan sekecil mungkin. Sistem ini memungkinkan dilakukannya

perubahan nilai patokan dalam frekuensi tinggi bahkan secara berkala.

Misalnya, sekali dalam sebulan perubahan ini dapat dilakukan berulang-ulang

sampai tingkat ekuilibrium.

d. Sistem kurs mengambang terkendali.

Fluktuasi kurs yang terlalu tajam atau terlalu sering terjadi cenderung makin

surutnya arus perdagangan dan investasi internasional. Dalam system kurs

mengambang terkendali (managed floating exchange rate system) ini, otoritas

(29)

intervensi terhadap pasar-pasar valas dalam rangka mendukung inflasi jangka

pendek dan mencegah kecenderungan jangka panjangnya. Dalam system kurs

ini masih diperlukan adanya cadangan internasional sedangkam dalam sistem

kurs mengambang bebas tidak diperlukan cadangan internasional karena

ketidakseimbangan dalam neraca pemayaran secara otomatis dikoreksi oleh

perubahan-perubahan kurs. Koreksi ini dapat berjalan secara lancer apabila

pasar valas bersifat stabil sehingga intervensi pemerintah maupun cadangan

internasional sama sekali tidak diperlukan.

2.1.3 Mekanisme Pasar Valas

Bursa atau pasar valas diartikan sebagai suatu tempat atau sistem dimana

perorangan, perusahaan dan bank dapat melakukan transasksi keuangan internasional

dengan jalan melakukan pembelian atau permintaan dan penjualan atau penawaran atas

valas.

Misalnya, Indonesia ingin mengimpor barang konsumsi dari Cina seharga US$1050

juta. Karena pembayaran harus dilakukan dalam bentuk US$, maka Indonesia sebagai

importir, Indonesia harus menggunakan cadangan devisanya untuk melakukan

pembayaran dalam bentuk US$ tersebut. Jumlah nilai yang dibayarkan Indonesia

terhadap Cina harus sesuai dengan kurs US$ yang berlaku pada waktu tersebut.

Transaksi penjualan dan pembelian kurs valas dapat dilakukan dengan cara spot

rate-spot market dan forward rate-forward market. Spot market adalah bursa valas

dimana dilakukan transaksi jual dan beli valas dengan kurs spot dalam jangka waktu 2 x

(30)

Tokyo, New York, Paris, Hong Kong, dan di tempat lain, dimana berlaku spot rate, yaitu

nilai kurs valas yang berlaku di tempat-tempat tersebut untuk jangka waktu maksimum

2x24jam. Pada umumnya international spot transaction interbank market untuk US$

dapat berlangsung dengan cara cepat (online and real time) karena diselenggarakan atau

diselesaikan dengan sistem komputer yang dikenal dengan CHIPS (Clearing House

Interbank Payments System) yang dioperasikan oleh New York Clearing House

Association.

Sedangkan nilai kurs yang ditetapkan sekarang atau saat ini disebut dengan kurs

forward, dimana kurs forward ini digunakan dalam kurs market sehingga transasksi

pembelian dan penjualan valas diberlakukan untuk waktu yang akan datang (future

period) antara lebih dari 2 x 24jam hingga biasanya satu tahun atau 12 bulan.

Forward rate dan forward market ini timbul karena adanya ketidakpastian dan

fluktuasi kurs, terutama semenjak berlakunya sistem kurs mengambang (floating

exchange rate system) setelah Dekrit presiden Nixon pada tanggal 15 Agustus 1971 yang

antara lain menyatakan bahwa nilai mata uang US$ tidak dikaitkan lagi dengan emas.

Sebelumnya berdasarkan persetujuan Bretton Woods tahun 1944, sistem moneter

internasional didasarkan pada sistem kurs tetap atau (fixed exchange rate system) dimana

US$ dapat ditukardan dijamin sepenuhnya dengan emas dengan ketentuan US$35 sama

dengan satu ons emas.

Semenjak diberlakukan sistem kurs mengambang tersebut maka banyak perusahaan

dan perbankan, termasuk badan usaha pemerintah yang mengunakan forward market

untuk mengadakan forward contact guna melindungi transaksi perdagangan dan

(31)

keuntungan dari fluktuasi kurs. Ada empat pelaku transaksi dalam pasar valas dilihat dari

tingkatan yang berbeda, yaitu:

a. Pada tingkatan yang pertama yaitu para pelaku transaksi tradisional seperti

wisatawan, importir, eksportir, investor dan sebagainya yang melakukan

transaksi secara langsung.

b. Pada tingkatan yang kedua yakni bank-bank komersial yang bertindak sebagai

perantara atau lembaga kliring atau antara pemakai atau sumber

permintaan/para penghimpun sumber penawaran valas. Bank-bank komersial

merupakan inti atau pusat pasar valas karena hampir semua transaksi

internasional dalam nilai yang cukup besar melibatkan kegiatan pencatatan

debet ataupun kredit pada bank-bank komersil di berbagai pusat keuangan

dunia. Perdagangan valas di sesama bank disebut interbank trading yang

nilainya cukup besar sehingga menjadi kegiatan utama dalam pasar valas.

c. Pada tingkatan ketiga adalah para pialang valas yang bertindak sebagai

perantara pada bank-bank komersial untuk menukarkan berbagai jenis mata

uang di kalangan bank-bank itu sendiri. Mereka berperan utama dalam pasar

antar bank atau pasar mata uang asing berskala besar.

d. Pada tingkatan keempat adalah bank sentral yang bertindak sebagai pembeli dan

penjual valas pada suatu negara. Peranan bank sentral adalah untuk mengurangi

atau menambah cadangan valas atau sewaktu-waktu melakukan intervensi di

(32)

2.1.4 Sistem Bretton Woods

Satu pelajaran yang diperoleh dari tahun 1930 bahwa sistem nilai tukar yang

berfluktuasi bebas ataupun system nilai tukar tetap akan dimungkinkan setiap Negara

dapat melakukan devaluasi untuk memulihkan keseimbangan neraca pembayarannya,

walaupun tindakan devaluasi ini tidak pasti memulihkan keseimbangan neraca

pembayarannya. Untuk mencapai suatu sistem nilai tukar yang tertib agar memudahkan

arus bebas perdagangan setelah Perang Dunia II, maka banyak wakil berbagai negara

mengadakan pertemuan di Bretton Woods tahun 1944 yang disponsori oleh Amerika

Serikat dan Inggris. Sistem Bretton Woods memiliki tiga sasaran pokok, yaitu:

a. Menciptakan seperangkat aturan yang akan memelihara nilai tukar tetap dalam

waktu jangka pendek.

b. Menjamin bahwa perubahan nilai tukar (nilai tukar mata uang suatu negara)

akan dapat dilakukan bilaman terjadi defisit ataupun surplus yang mendasar

pada neraca pembayarannya.

c. Memastikan bilamana terjadi devaluasi pada suatu negara tidak akan diikuti

oleh devaluasi pada negara lain, sehingga persaingan devaluasi antar negara

dapat dihindarkan.

Sifat yang mendasari system ini adalah Dollar Amerika Serikat, dimana Dollar ini

akan disimpan oleh negara lain sebagai valuta asing yang dapat ditukar langsung dengan

emas pada harga yang telah ditentukan oleh pemerintah Amerika Serikat. Sedangkan

pemerintah negara lain menetapkan harga mata uang negaranya dan membandingkannya

dengan US Dollar. Dasar inilah yang membuat sistem ini merupakan standar emas karena

(33)

emas. Bila mata uang suatu negara mengalami penawaran yang lebih besar, penguasa

moneter akan menjual emas, Dollar dan Poundsterling. Sebaliknya, jika suatu negara

mengalami permintaan yang lebih besar, penguasa moneter akan membeli emas, Dollar

dan Poundsterling.

Sistem Bretton Woods bekerja cukup baik selama hampir 20 tahun, kemudian

sistem ini dikacaukan oleh serangkaian krisis yang mencerminkan kelemahan sistem ini.

Runtuhnya sistem ini disebabkan oleh:

a. Spekulasi Poundsterling Inggris.

Pada tahun 1950-an dan 1960-an ekonomi Inggris lebih rawan mengalami

inflasi dibandingkan ekonomi Amerika dan neraca pembayaran Inggris

mengalami defisit. Para pemegang Poundsterlingpun merasa kuatir, mereka

beranggapan bahwa pemerintah Inggris tidak mampu menjaga konvertibilitas

pound terhadap Dollar dengan nilai tukar tertentu. Sehingga timbullah gerakan

spekulasi untuk menjual mata uamg ini sebelum mata uang ini didevaluasi.

Tahun 1967, pounds didevaluasi di tengah krisis spekulasi. Banyak negara yang

mengalami defisit mengikuti jejak devaluasi ini.

b. Spekulasi Dollar Amerika Serikat.

Dalam sistem Bretton woods, apabila Amerika melakukan devaluasi terhadap

mata uangnya maka akan mengakibatkan naiknya harga emas terhadap Dollar.

Devaluasi ini didorong oleh defisitnya neraca pembayaran Amerika tahun 1967

sehingga menghasilkan spekulasi. Pada tahun 1968, negara pedagang utama

terpaksa berhenti mematok harga emas di pasar bebas, akibat tekanan spekulasi

(34)

yaitu harga emas resmi dipergunakan penguasa monter untuk menyelesaikan

utang dengan mentransfer emas dan harga emas pasar bebas yang ditentukan

oleh kuatnya permintaan dan penawaran swasta tanpa campur tangan bank

sentral. Dengan adanya harga emas pasar bebas ini, maka para spekulan beralih

ke mata uangnya yang nilainya masih rendah terhadap US$ sehingga

kemampuan bank sentral untuk mempertahankan nilai tukar yang telah dipatok

dalam mengahadapi arus dana yang cepat sangat diragukan.

2.2 Impor.

2.2.1 Pengertian

Impor adalah arus masuk dari sejumlah barang-barang dan atau jasa ke dalam sebuah

pasar suatu negara baik untuk keperluan konsumsi ataupun sebagai barang-barang modal

atau bahn baku produksi dalam negeri. Semakin besar impor suatu negara dari satu sis

dianggap baik guna memenuhi kebutuhan akan barang ataupun jasa. Namun, di sis lain

hal tersebut berpeluang mematikan produksi barang atau jasa sejenis yang ada di dalam

negeri dan juga dapat menguras cadangan devisa negara tersebut.

2.2.2 Kebijakan Impor.

Kebijakan perdagangan internasional di bidang impor diartikan sebagai tindakan dan

peraturan yang dikeluarkan pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung,

terhadap importir dari luar negeri dimana akan mempengaruhi struktur, komposisi, dan

kelancaran usaha dalam negeri yang ditujukan untuk melindungi/mendorong

(35)

berlawanan, tujuan utama yaitu kebutuhan masyarakat juga dapat terpenuhi.

Kebijakan-kebijakan tersebut terdiri dari, antara lain:

a. Kebijakan Tariff Barrier:

1. Pembebasan bea masuk/tariff rendah adalah antara 0-5%: dikenakan untuk bahan

kebutuhan pokok dan vital seperti beras, mesin-mesin vital, alat-alat

pertahanan/kemanan militer, dan sebagainya.

2. Tarif sedang antara >5-20%: dikenakan untuk barang setengah jadi dan

barang-barang lain yang belum cukup diproduksi dalam negeri.

3. Tarif tinggi >20%: dikenakan untuk barang-barang mewah dan barang-barang

lain yang sudah cukup diproduksi di dalam negeri dan bukan kebutuhan pokok.

Tarif adalah pungutan bea masuk yang dikenakan atas barang impor yang masuk

untuk dipakai/dikonsumsi habis di dalam negeri. Dalam pelaksanaannya, sistem/cara

pemungutan tariff bea masuk ini dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Bea harga (Ad Volorem Tariff)

Besarnya pemungutan bea masuk atas barang impor ditentukan oleh tingkat

persentase tarif dikalikan harga CIF dari barang tersebut (BM = %tarif x Harga

CIF). Misalnya, harga CIF suatu barang X = $100 dan tariff bea masuknya 10%,

sedangkan kurs = Rp.10000/USD. Maka pungutan bea masuknya = 10% x $100 x

Rp10000 = Rp.100000.

Bea ini memiliki bersifat proporsional.

Keuntungannya adalah:

1. Dapat mengikuti perkembangan tingkat harga/inflasi.

(36)

Kerugiannya adalah:

1. Memberikan beban yang cukup berat bagi administrasi pemerintahan,

khususnya bea cukai karena memerlukan data dan perincian harga barang

yang lengkap.

2. Sering menimbulkan perselisihan dalam penetapan harga untuk

perhitungan bea masuk antara importer dan bea cukai, sehingga dapat

menimbulkan kemacetan stagnasi/kemacetan arus barang di pelabuhan

a. Bea spesifik (Specific Tariff)

Pungutan bea masuk ini didasarkan pada ukuran atau satuan tertentu dari barang

impor. Di Indonesia sistem tarif ini digunakan sebelum tahun 1991. misalnya bea

masuk untuk:

•Semen : Rp.3000 per ton.

•Sepatu : Rp.14500 per pasang. •Piring : Rp.5000 per lusin.

•Jeruk :Rp.500 per kg.

Keuntungannya adalah:

1. Mudah dilaksanakan karena tidak memerlukan perincian harga barang

sesuai kualitasnya.

2. Dapat digunakan sebagai alat nkontrol proteksi industri dalam negeri.

Kerugiannya adalah:

1. Pengenaan tarif dirasakan kurang-tidak adil karena tidak membedakan

harga/kualitas.

(37)

b. Bea campuran (Compound Tariff)

Pungutan bea masuk ini merupakan campuran antara system bea spesifik dan bea

harga.

Menurut tujuannya, kebijakan tarif bea masuk dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Tarif proteksi, yaitu pengenaan tariff bea masuk yang tinggi untuk

mencegah/membatasi impor barang tertentu.

b. Tarif revenue, yaitu pengenaan tarif bea masuk yang bertujuan untuk

meningkatkan penerimaan negara.

Berdasarkan tujuan tersebut maka fungsi tarif bea masuk adalah:

a. Fungsi mengatur (regulerend), yaitu untuk mengatur perlindungan

kepentingan/ekonomi industri dalam negeri.

b. Fungsi budgeter, yaitu sebagai salah satu sumber penerimaan negara.

c. Fungsi demokrasi, yaitu penetapan tarif bea masuk melalui persetujuan DPR.

d. Fungsi pemerataan, yaitu untuk pemerataan distribusi pendapatan nasional,

misalnya dengan pengenaan tarif bea masuk yang tinggi untuk barang mewah.

b. Kebijakan Nontariff Barrier:

Kebijakan nontariff barrier adalah berbagai kebijakan perdagangan selain bea masuk

yang dapat menimbulkan distorsi, sehingga mengurangi potensi manfaat perdagangan

internasional. Secara garis besar Nontariff Barrier dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Pembatasan Spesifik (specific limtitation):

a. Larangan impor secara mutlak.

b. Pembatasan impor atau quota system.

(38)

d. Peraturan kesehatan/karantina.

e. Peraturan pertahanan dan kemanan negara.

f. Peraturan kebudayaan.

g. Perizinan impor/import licenses.

h. Embargo

2. Peraturan bea cukai (customs administration rules)

a. Tatalaksana impor tertentu (procedure).

b. Penetapan harga pabean (customs value).

c. Penetapan kurs valas dan pengawasan devisa.

d. Consulat formalities

e. Packaging/labeling regulations.

f. Documentations needed.

g. Quality and testing standard.

h. Pungutan administrasi

i. Tariff classification.

3. Government participation

1. Kebijakan pengadaan pemrintah.

2. Subsidi dan insentif impor.

3. Countervailing duties.

4. Domestic assistance programs.

5. Trade-diverting.

4. Import charges

(39)

2. Suplementary duties

. 3. Variable levies

Kuota adalah pembatasan fisik secara kuantitatif yang dilakukan atas pemasukan

barang (kuota impor) dan pengeluaran barang (kuota ekspor) dari ke suatu negara untuk

melindungi kepentingan industri dan konsumen. Menurut ketentuan GATT/WTO, sistem

kuota ini hanya dapat digunakan dalam hal sebagai berikut:

1. Untuk melindungi hasil pertanian.

2. Untuk menjaga keseimbangan Balance of Payment.

3. Untuk melindungi kepentingan ekonomi nasional.

Macam-macam kuota impor:

1. Absolute/unilateral quota, yaitu sistem kuota yang ditetapkan secara sepihak

(tanpa negoisasi).

2. Negotiated/bilateral quota, yaitu sistem kuota yang ditetapkan atas kesepakatan

atau perjanjian.

3. Tarif kuota, yaitu pembatasan impor yang dilakukan dengan mengkombinasikan

sistem tarif dan sistem kuota.

4. Mixing quota, yaitu pembatasan impor bahan baku tertentu untuk melindungi

industri dalam negeri.

Subsidi adalah kebijakan pemerintah untuk memberikan perlindungan atau bantuan

kepada industri dalam negeri dalam bentuk keringanan pajak, fasilitas kredit, subsidi

harga, dan lain-lainh yang bertujuan:

1. Menambah produksi dalam negeri.

(40)

3. Menjual dengan harga yang lebih murah daripada produk impor.

Kebijakan subsidi ini merupakan proteksi terhadap industri dalam negeri yang

tentunya mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan cara proteksi lainnya, yaitu:

1. Subsidi biasanya diberikan untuk barang kebutuhan pokok masyarakat banyak.

2. Subsidi biasanya bersifat transparan dan dapat dikontrol oleh masyarakat.

2.2.3 Rintangan-Rintangan Impor yang Bersifat Teknis.

Walaupun sekarang ini sudah banyak dilakukan penurunan tariff proteksi oleh banyak

Negara yang terkait dengan penerapan era perdagangan bebas, termasuk dalam

perdagangan antarnegara ASEAN (AFTA), namun sebenarnya apakah perdagangan yang

betul-betul bebas akan terwujud masih merupakan suatu pertanyaan. Masalahnya adalah

bahwa sekarang ini semakin banyak negara atau kelompok negara (Uni Eropa) yang

menghalangi kelancaran impor yang disebut rintangan-rintangan non-tarif.

Misalnya, baru-baru ini suatu peraturan di dalam perdagangan internasional yang

dikaitkan dengan keamanan adalah undang-undang antiterorisme biologi oleh pemerintah

AS. Dengan ketentuan ini, produk-produk makanan dan minuman yang akan masuk ke

AS harus diseleksi dulu oleh pemrintah AS. Tujuannya adalah untuk memastikan apakah

produk-produk tersebut membawa virus yang dapat mengakibatkan wabah penyakit

tertentu. UU tersebut dikeluarkan pada tanggal 12 Juni 2002. ketentuan ini tentu akan

menghambat kelancaran atau bahkan mengurangi volume ekspor produk-produk

makanan dan minuman atau komoditas-komoditas pertanian ke AS, termasuk dari

(41)

Sebenarnya, hambatan terhadap impor dengan alasan keselamatan konsumen di

negara pengimpor akan semakin banyak, selain UU tersebut, termasuk baru-baru ini flu

burung. Hal ini akan mengahmbat perdagangan internasional untuk ayam dan bahkan

produk-produk turunannya.

Juga ekspor udang dari Indonesia mengalami NTB, khususnya ke pasar Jepang dan

UE. Pemerintah Jepang dan UE menerapkan kebijakan yang mengharuskan udang yang

diimpor dari Asia terbebas dari kandungan antibiotic chlorampenicol, oxytetracylin,

chlortetracycline, nitrofuransi dan furazolidon. Bahkan pemerintah Jepang mulai 1

Januari 2004 semakin memperketat impor udang dari Indonesia. Kandungan antibiotic

oxytetracylin dan chlortetracycline pada komoditas itu yang biasanya hanya 0.05 part per

million (ppm) akan ditekan lebih rendah menjadi 0.01 ppm guna melindungi konsumen

udang di negara tersebut.

Masalah yang sama juga dialami oleh ekspor kayu dari Indonesia untuk keperluan

konstruksi ke pasar Eropa. Para eksportir diwajibkan mencantumkan EC Marking mulai 1

April 2004. EC Marking merupakan pernyataan bahwa produk manufaktur yang

diproduksi telah memenuhi persyaratan fundamental mengenai kesehatang, kemanan

serta proteksi lingkungan.

NTB lainnya yang muncul sejak tahun lalu adalah peraturan yang dikeluarkan oleh

pemerintah AS mengenai penggunaan bahan kemasan dari kayu bagi produk-produk

yang masuk ke pasar Negara tersebut, walaupun sebagian produsen telah menggunakan

kemasan bukan kayu. Peraturan baru yang telah dinotifikasi ke WTO pada Mei 2003 itu

mewajibkan setiap produk kayu untuk kemasan yang tidak diproses atau dimanufaktur

(42)

untuk mencegah wabah kumbang jenis pine shoot beetle dan longhorned beetle, yang

memilih kayu sebagai wadah untuk berkembang biak. AS dan Kanada serta Meksiko

menerapkan peraturan ini secara serentak sejak 1 Januari 2004. bahkan UE berencana

menerapkan pertauran tersebut sebelum akhir tahun 2003 lalu.

Berdasarkan data dari Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup RI, tabel di bawah

ini memberikan informasi mengeani produk-produk yang dilarang impornya karena isu

lingkungan, termasuk kayu lapis dari Indonesia. Hal ini sangat merugikan Indonesia

karena kayu lapis merupakan salah satu produk ekspor unggulan dari Indonesia dari

kategori nonmigas selama ini. UE menganggap bahwa hutan di Indonesia nyaris hilang,

dan oleh sebab itu negara-negara anggota UE dilarang membeli kayu dan

produk-produknya dari Indonesia.

Tabel 2.1: Produk-Produk yang Dilarang Impornya oleh Negara-Negara yang

Terkait

dengan Kebijakan Pelestarian Lingkungan

Produk Larangan Negara yang

Melarang

Negara

Produsen

Ikan tuna (dan produknya) Impor/dibatasi AS Kanada,

Meksiko

Udang dan produknya Impor AS -

Ikan herring dan salmon yang

belum diproses

Ekspor Kanada -

Rokok dan tembakau Impor Thailand -

(43)

disuntik hormon pertumbuhan

Ikan salmon Impor Australia -

Produk pertanian Impor Jepang -

Kayu Impor UE Indonesia

Kayu lapis Impor Jepang Indonesia

Sumber: Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup

Walupun belum ada suatu studi yang komprehensif hingga saat ini mengenai ekstra

biaya yang muncul dari penerapan NTBs seperti di atas bagi eksportir, namun dapat

diduga sebagai suatu hipotesis bahwa biaya ekonomi tersebut sangat besar, bahkan pada

tingkat makro bisa melebihi kerugian akibat pengenaan tarif impor. Alasannya dalam

sistem tarif ada kepastian sehingga si eksportir dari awal sudah bisa menyesuaikan

dengan harga jualnya. Dalam kata lain, selama barabgnya tetap laku walaupun harga

jualnya di negara importir meningkat akibat dikenakan bea masuk, tidak ada masalah

bagi eksportir, ekspornya jalan terus. Sedangkan dalam sistem NTBs yang sangat

bervariasi, bisa sangat menyulitkan si penjual, dan bahkan akibat terlalu ketatnya

peraturan di negara pembeli bisa membuat ekspornya terhenti atau ditolak sama sekali.

2.2.4 Tren Perkembangan Tarif dan NTBs Belakangan Ini.

Dengan berakhirnya peraturan Uruguay (PU) yang ditandai dengan berdirinya WTO

pada tahun 1994, maka dapat dikatakan bahwa secara resmi dunia memulai proses

menuju era perdagangan bebas, yang akan diberlakukan di seluruh dunia paling lambat

tahun 2020. sebenarnya, jauh sebelum tercapainya kesepakatan WTO tersebut, sudah

(44)

tarif impor di dunia sebagai suatu pangsa dari nilai impor di semua wilayah dalam 25

tahun terakhir, tetapi lebih nyata di negara-negara dari kelompok OECD. Di

wilayah-wilayah lainnya tidak ada perubahan yang nyata hingga akhir tahun 1980-an, dan setelah

itu semua wilayah menunjukkan suatu penurunan.

Tabel 2.2: Pemasukan Tarif Impor Secara Kolektif Sebagai Persentase dari Impor

Wilayah

Keterangan: *NSB yang sudah maju seperti India, Cina, Indonesia, Malaysia, Thailand.

Sedangkan NSB yang masih terbelakang seperti di Afrika dan Asia Selatan selain India.

Sumber: World Development Indicators CD Rom 2003, dikutip dari de Cordoba dkk

(45)

Dua hal penting yang disepakati bersama di dalam PU adalah pemotongan tarif impor

terhadap produk-produk pertanian dan menhilangkan rintangan-rintangan terhadap

perdagangan internasional untuk tekstil dan produk-produk lainnya, khususnya pakaian

jadi di dalam Multi-Fibre Agreement (MFA) paling lambat pada akhir tahun 2004.

Kesepakatan tersebut mengharuskan negara-negara maju memotong bea masuk impor

sebesar 1/3 dan NSB yang sudah maju sebesar 1/4, dan ini dicapai dengan negoisasi garis

per garis dari tarif. Pada akhirnya, negara maju dan NSB yang sudah maju memotong

sekitar 30% dari garis-garis tarif mereka (Tulus Tambunan, 2004)

Akan tetapi, dalam kenyataan, hasil yang muncul dari kesepakatan di dalam PU

adalah kelangsungan bias yang tidak proporsional dalam proteksi terhadap ekspor dari

NSB (yang sudah maju maupun belum) lewat batas-batas tertinggi dan ekskalasi dari

tariff (UNTACD, 2003c ). Pentingnya batas-batas maksimum dari tarif atas

produk-produk yang penting bagi ekspor dari NSB tetap menjadi suatu prioritas di dalam agenda

perdagangan multilateral. Hasil penelitian dari de Cordoba dkk (2004) menunjukkan

hampir 10% dari garis-garis tarif negara-negara maju tiga kali lebih besar dari rata-rata

nasional.

Tabel 2.3: Batas-Batas Tertinggi dari Tarif Sebagai Persentase dari Garis-Garis

dari Tarif

Skenario Batas Tertinggi Yang Diterapkan

Negara-negara maju 8.2 9.9

NSB yang sudah maju 0.4 3.5

NSB yang belum maju 0.4 0.7

(46)

Hasil dari studi mereka juga menunjukkan bahwa ekskalasi tarif merupakan suatu

fenomena yang umum dan signifikan pada ekspor dari NSB yang muncul dari PU. NSB

yang sangat tergantung pada ekspor dari komoditi-komoditi primer menghadapi

mengahadapi suatu beban di dalam usaha mereka ke produk-produk dengan nilai tambah

yang lebih tinggi. Peningkatan dalam tarif-tarif sepanjang rantai produksi terutama sangat

berpengaruh pada tahap tengah yang menghasilkan produk-produk setengah jadi.

Tabel 2.4: Ekskalasi Tarif: Rata-Rata Tarif yang Diterapkan Menurut Tahap dari

Proses Produksi (%)

Primer Tengah Akhir

Negara-negara maju 0.6 3.0 3.4

NSB yang sudah maju 6.0 9.1 8.0

NSB yang belum maju 6.9 18.0 12.0

2.3 Pendapatan Domestik Bruto (PDB)

2.3.1. Pengertian.

Produk Domestik Bruto menghitung hasil produksi suatu perekonomian tanpa

memperhatikan siapa pemilik faktor produksi tersebut. Semua faktor produksi yang

beralokasi dalam perekonomian tersebut outputnya diperhitungkan dalam PDB.

Akibatnya, PDB kurang memberikan gambaran tentang berapa sebenarnya output yang

dihasilkan oleh faktor-faktor produksi miliki perekonomian domestik.

Nilai PDB suatu periode tertentu sebenarnya merupakan hasil perkalian antara harga

(47)

2000 adalah hasil perkalian antara harga barang pada tahun 2000 dengan jumlah produksi

tahun 2000. Contoh, dalam perekonomian yang hanya memproduksi satu jenis produk

yaitu baju. Selama tahun 2000 baju diproduksi sebanyak 1000 potong. Bila harga jual

baju per potong Rp 120,00, maka PDB 2000 sebesar Rp 120.000,00.

Jika PDB tahun 1999 nilainya adalah Rp 100.000,00 dapatkah diambil kesimpulan

bahwa perekonomian tahun 2000 lebih baik disbanding tahun 1999? Atau dapatkah

dikatakan telah terjadi pertumbuhan output sebesar 20% per tahun? Dalam hal ini, kita

harus berhati-hati! Nilai PDB yang lebih besar tidaklah berarti jumlah output otomatis

lebih besar. Perekonomian 2000 dikatakan lebih baik dibanding perekonomian 1999, bila

jumlah output yang dihasilkan di tahun 2000 lebih banyak disbanding tahun 1999.

Andaikan harga sepotong baju tahun 1999 adalah Rp 80,00, maka jumlah pakaian

yang diproduksi tahun 1999 adalah 1250 unit (Rp 100000,00 : Rp 80,00). Ternyata,

walaupun nilai PDB 2000 lebih besar daripada nilai PDB 1999, namun outputnya lebih

sedikit. Naiknya nilai PDB 2000 disebabkan oleh naiknya harga baju selama tahun 2000

dari RP 80,00 menjadi Rp 120,00 per potong. Kenaikan harga sebesar 50%. Inilah yang

disebut dengan perhitungan PDB berdasarkan harga berlaku. Karene menambahkan laju

inflasi pada tahun tersebut. Sedangkan perhitungan PDB berdasarkan harga konstan

menghilangkan pengaruh inflasi. Dimana, harga konstan yang dimaksud adalah harga

yang dianggap berubah. Untuk memperoleh PDB harga konstan, maka kita harus

menentukan tahun dasar yang merupakan tahun dimana perekonomian berada dalam

(48)

2.3.2. Cara Perhitungan PDB.

Rumus umum untuk PDB dengan pendekatan pengeluaran adalah:

PDB = C + I + G + ( X – M )

Dimana, C (konsumsi) adalah pengeluaran yang dilakukan oleh rumah tangga, I

(investasi) oleh sektor usaha, G (government) adalah pengeluaran oleh pemerintah dan

(X-M) melibatkan luar negeri.

Sementara rumus umum dengan pendekatan pendapatan dari faktor produksi:

PDB = sewa + upah + bunga + laba

Dimana, sewa adalah pendapatan pemilik modal dan laba untuk pengusaha. Secara teori,

PDB dengan pendekatan pengeluaran dan pendapatan harus menghasilkan hasil yang

angka sama. Namun, karena dalam praktek menghitung PDB dengan pendekatan

pendapatan sulit dilakukan maka yang sering digunakan adalah pendekatan pengeluaran.

2.3.3. Manfaat dan Keterbatasan Perhitungan PDB.

Perhitungan PDB akan memberikan gambaran ringkas tentang tingkat kemakmuran

suatu negara, dengan cara membaginya dengan jumlah penduduk. Angka tersebut dikenal

dengan PDB perkapita. Biasanya makin tinggi angka PDB perkapita, kemakmuran rakyat

dianggap makin tinggi. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga menggunakan PDB

perkapita untuk menyusun kategori tingkat kemakmuran suatu negara. Berdasarkan

standar tahun 1992, sebuah negara dikatakan miskin bila PDB perkapitanya lebih kecil

daripada US$ 450,00. Berdasarkan standar ini, maka sebagian negara-negara di dunia

(49)

perkapitanya lebih besar daripada US$ 8000,00. Jika menggunakan standar ini, hanya

sebagian kecil negara-negara di dunia ini yang dianggap kaya.

Perhitungan PDB ataupun PDB perkapita juga dapat digunakan untuk menganalisis

tingkat kesejahteraan sosial masyarakat. Umumnya ukuran tingkat kesejahteraan yang

dipakai adalah tingkat pendidikan, kesehatan dan gizi, kebebasan memilih pekerjaan dan

jaminan masa depan yang lebih baik. Ada hubungan yang positif antara PDB perkapita

dengan kesejahteraan sosial. Makin tinggi PDB perkapita maka kesejahteraan sosial

makin membaik. Jika PDB perkapita makin tinggi, maka daya beli masyarakat,

kesempatan kerja serta masa depan perekonomian makin membaik, sehingga gizi,

kesehatan, pendidikan dan kebebasan memilih pekerjaan dan masa depan kondisinya

akan semakin meningkat, apabila disertai dengan pemerataan distribusi pendapatan.

Namun dalam perhitungan PDB maupun PDB perkapita juga terdapat kelemahan

yang tidak dapat menjamin seratus persen kebenarannya dalam realita. Kelemahan

tersebut adalah:

1. PDB kurang memberikan gambaran yang lebih rinci tentang kondisi kemakmuran

suatu negara dan tidak terlalu memperhatikan aspek distribusi pendapatan.

Misalnya, walaupun perekonomian Amerika Serikat salah satu negara termakmur

di dunia dengan PDB (tahun 1997) sebesar US$ 29.080,00 (64 kali lebih tinggi

dari batas ukuran miskin), namun negara tersebut masih bergelut dalam masalah

kemiskinan dan pengangguran. Faktor utama yang memicu masalah tersebut

adalah distribusi pendapatan. Pada tahun 1996 sekitar 46% aset finansial dikuasai

oleh sekitar 1% penduduk. Karena untuk faktor produksi nontenaga kerja,

(50)

2. Masalah mendasar perhitungan PDB adalah tidak diperhatikannya dimensi non

material. Sebab PDB hanya menghitung output yang dianggap memenuhi

kebutuhan fisik/materi yang dapat diukur dengan uang. PDB tidak menghitung

output yang tidak terukur dengan uang, misalnya ketenangan batin yang diperoleh

dengan menyandarkan hidup pada norma-norma agama/spiritual.

3. PDB Indonesia, pada khususnya, yang dicatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS)

hanya mencatat kegiatan-kegiatan ekonomi formal. Karena itu, statistik PDB

belum mencerminkan seluruh kegiatan perekonomian suatu negara. Misalnya

sektor informal, seperti upah pembantu rumah tangga, kegiatan petani buah yang

langsung menjual produknya ke pasar.

2.3.5 Teori Pertumbuhan Ekonomi Modern oleh W.W Rostow

Tahap-tahap pertumbuhan ekonomi menurut Profesor W.W Rostow merupakan tahap

pertumbuhan ekonomi yang memakai pendekatan sejarah dalam menjelaskan proses

perkembangan ekonomi. Ia membedakan adanya lima tahap pertumbuhan ekonomi,

yaitu:

1. Masyarakat tradisional.

Pada masa ini, umumnya, banyak tanah dapat digarap, skala dan pola

perdagangan dapat diperluas, manufaktur dapat dibangun dan produktivitas

pertanian dapat ditingkatkan sejalan dengan peningkatan penduduk dan

pendapatan nyata. Tetapi fakta menunjukkan bahwa keinginan untuk

menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi modern secara teratur dan

(51)

perkapita yang dapat dicapai. Bukan karena tidak adanya daya cipta dan

pemabaharuan, namun karena tidak adanya saranan dan pandangan terhadap hal

tersebut. Struktur sosial masyarakat seperti itu bersifat jenjang, hubungan darah

dan keluarga memainkan peranan yang menentukan., kekuasaan politik terpusat

di daerah, di tangan bangsawan pemilik tanah yang didukung oleh sekelompok

serdadu dan pegawai negeri. Lebih dari 75% penduduk bergerak di bidang

pertanian. Pertanian biasanya menjadi sumber utama pendapatan negara dan

bangsawan, yang kemudian dihamburkan untuk pembanguan candi atau

monumen lain serta pesta penguburan atau perkawinan atau untuk perang.

2. Prasyarat untuk tinggal landas.

Tahap kedua ini merupakan masa transisi dimana prasyarat-prasyarat

pertumbuhan swadaya dibangun atau diciptakan dan secara perlahan diciptakan.

Prasyarat tinggal landas didorong atau didahului oleh empat kekuatan yaitu

renesans/era pencerahan, kerajaan baru, dunia baru dan agama baru/reformasi.

Kekuatan ini menempatkan “penalaran” (reasoning), dan “ketidakpercayaan”

(scepticism) sebagai pengganti “kepercayaan” (faith) dan “kewenangan”

(authority), mengakhiri feodalisme dan membawa ke kebangkitan negara

kebangsaan, menanamkan semangat pengembaraan yang menghasilkan berbagai

penemuan baru dan pembaharuan serta timbulnya kaum borjuasi-golongan elit- di

kota-kota dagang baru. Kekuatan ini bersifat instrumental di dalam melahirkan

perubahan sikap, harapan, struktur dan nilai-nilai social. Singkatnya,

prasyarat-prasyarat tersebut muncul tidak dari dalam tapi merupakan desakan dari luar.

(52)

Manusia –manusia baru yang mau bekerja keras muncul memasuki sektor

ekonomi swasta atau pemerintah atau kedua-duanya, manusia baru yang bersedia

menggalakkan tabungan dan mengambil resiko dalam mengejar keuntungan

modernisasi. Investasi meningkat di bidang perhubungan, pengankutan dan di

bidang bahan mentah yang mempunyai daya tarik bagi negara lain sehingga

jangkauan ke dalam dan keluar negeri meluas. Dimana-dimana muncul

perusahaan manufaktur yang menggunakan metode baru. Hal-hal ini dipengaruhi

moleh perluasan modal, revolusi teknologi di bidang pertanian dan perluasan

impor (termasuk impor modal yang dibiayai oleh produksi yang efisien dan

pemasaran sumber alam untuk ekspor). Peranan faktor sosial dan politik berfungsi

sebagai kekutan potensial dalam melakukan masa transisi tersebut.

3. Tinggal landas.

Tahap tinggal landas merupakan titik yang menentukan di dalam kehidupan suatu

masyrakat. Rostow juga mendefinisikan tinggal landas sebagai revolusi industri

yang bertalian secara langsung dengan perubahan radikal di dalam metode

produksi yang dalam jangka waktu singkat menimbulkan konsekuensi yang

menentukan periode tinggal landas diduga tidak memakan waktu yang lama,

kira-kira hanya dua dasawarsa. Syarat tinggal landas adalah:

a. kenaikan laju investasi produktif, misalnya 5-10% dari pendapatan

nasional/produk nasional neto.

b. Perkembangan salah satu atau beberapa sector manufaktur penting dengan

(53)

c. Hadirnya secara cepat kerangka politik, sosial, dan organisasi yang

menampung hasrat ekspansi di sektor modern tersebut dan memberikan

daya dorong pertumbuhan.

Syarat lain tinggal landas adalah perkembangan salah satu atau bebrapa sektor

penting dalam perekonomian. Rostow menganggap perkembangan sektor penting

itu sebagai “tulang punggung analitis” dari tahap pertumbuhan ekonomi tersebut.

Biasanya ada tiga sektor di dalam suatu perekonomian, yaitu:

a. Sektor pertanian primer : kemungkinan inovasi atau menggarap sumber

baru atau yang belum tergarap menghasilkan laju pertumbuhan yang lebih

tinggi daripada sektor ekonomi lainnya.

b. Sektor pertanian suplementer : pertumbuhan pesat terjadi sebagai

konsekuensi perkembangan sektor pertanian primer tersebut.

Pembangunan kereta api, misalnya adalah suatu sektor pertumbuhan

primer dan perluasan industri di bidang besi, batu bara dan baja dapat

dianggap sebagai sektor suplementer.

c. Sektor pertanian turunan : pertumbuhan terjadi dalam kaitan yang agak

tetap dengan pertumbuhan di bidang pendapatan nasional, penduduk,

produksi industri atau beberapa variabel lain yang secara keseluruhan

meningkat agak cepat.

4. Dorongan menuju kedewasaan.

Rostow mendefinisikan sebagai tahap ketika masyarakat telah dengan efektif

menerapkan serentetan teknologi modern terhadap keseluruhan sumber daya

(54)

merentang melebihi masa empat dasawarsa. Teknik produksi baru menggantikan

teknik yang lama. Berbagai sector penting baru tercipta, tingkat investasi neto

lebih dari 10% pendapatan nasional dan perekonomian mampu menahan segala

goncangan yang tak terduga. Pada waktu suatu negara berada dalam tahap

kedewasaan teknologi ada tiga perubahan penting terjadi, yaitu:

a. Sifat tenaga kerja berubah. Ia berubah menjadi terdidik, orang lebih suka

tinggal/hidup di kota daripada didesa, upah nyata mulai meningkat dan

para pekerja mengorganisasikan diri untuk mendapatkan jaminan sosial

dan ekonomi yang lebih besar.

b. Watak para pengusaha berubah. Pekerja kasar berubah menjadi manajer

efisien yang halus dan sopan.

c. Masyarakat merasa bosan pada kewajiban internasioanl dan

menginginkan sesuatu yang baru menuju perubahan yang lebih jauh.

5. Era konsumsi tinggi.

Abad konsumsi massa besar-besaran ditandai dengan migrasi ke pinggiran kota,

pemakaian mobil secara meluas, barang konsumsi dan peralatan rumah tangga

yang tahan lama. Pada tahap ini, keseimbangan perhatian masyarakat beralih dari

penawaran kepada permintaan, dari persoalan produksi kepada persoalan

konsumsi dan kesajahetraan dalam arti luas. Tetapi ada tiga kekuatan yang

nampak cenderung meningkatkan kesejafteraan di dalam tahap purna-dewasa ini,

yaitu:

a. Penerapan kebijaksanaan nasional guna meningkatkan kekuasaan dan

(55)

b. Ingin memiliki satu negara dengan kesejahteraan dengan pemerataan

pendapatan nasional yang lebih adil melalui pajak progresif, peningkatan

jaminan sosial dan fasilitas hiburan bagi para pekerja.

c. Keputusan untuk membangun pusat perdagangan dan sektor penting

seperti mobil, rumah murah dan berbagai peralatan rumah tangga yang

menggunakan listrik dan sebagainya.

Kecenderungan kepada konsumsi besar-besaran, barang yang tahan lama,

ketiadaan pengangguran dan peningkatan kesadaran akan jaminan sosial

(56)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan langkah dan prosedur yang akan dilakukan dalam

pengumpulan data atau informasi empiris guna memecahkan permasalahan dan menguji

hipotesis penelitian.

3.1 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini memfokuskan kajian pada tiga variabel utama yaitu kurs valas, laju

inflasi dan pendapatan perkapita.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dikumpulkan dan digunakan serta diolah dalam rangka penulisan

skripsi ini ialah data sekunder. Data sekunder diperoleh dalam bentuk Time Series dalam

kurun waktu tahunan. Sumber data adalah data dari Biro Pusat Statistik (BPS) kota

Medan, Bank Indonesia (BI) Kota Medan. Di samping itu, data lainnya yang mendukung

penelitian ini diperoleh dari sumber bacaan seperti, buletin penelitian, jurnal, majalah,

dan buku bacaan.

3.3Pengolahan Data

Penulis menggunakan program komputer E-Views 4.1 untuk mengolah data

(57)

3.4 Model Analisis Data

Model analisis yang digunakan dalam menganalisa data adalah fungsi linier

berganda, dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) untuk

meregresikan variabel - variabel yang ada. Fungsi yang digunakan dalam penelitian ini

adalah:

Y = f (X1,X2)

Kemudian dari fungsi tersebut ditransformasikan ke dalam model persamaan

regresi linear dengan spesifikasi model, yakni:

Y= α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + µ

Bentuk Hipotesisnya secara matematis adalah sebagai berikut :

artinya jika terjadi kenaikan pada X1 (valas/dollar AS), maka Y (barang

(58)

, 2

Ο 〈 Χ

∂∂Υ artinya jika terjadi kenaikan pada X2 (PDB) maka Y (barang konsumsi

impor) mengalami kenaikan, ceteris paribus.

3.5. Test of goodness of fit (Uji Kesesuaian)

3.5.1. Koefisien Determinan (R2)

Koefisien Determinasi dilakukan untuk melihat seberapa besar variabel-variabel

independen secara bersama mampu memberi penjelasan mengenai variabel dependen.

Nilai R2 digunakan antara 0 sampai 1 (0<R2<1).

3.5.2. Uji t-Statistik

Uji t merupakan suatu pengujian yang bertujuan untuk mengetahui apakah

masing-masing koefisien regresi signifikan atau tidak terhadap variabel dependen.

Dengan menganggap variabel independen lainnya konstan. Dalam uji ini digunakan

hipotesis sebagai berikut:

Ho : bi = b

Ha : bi ≠ b

Dimana bi adalah koefisien variabel independen pertama nilai parameter

hipotesis, biasanya b dianggap = 0. Artinya tidak ada pengaruh variabel Xi terhadap Y.

Bila nilai t-hitung > t-tabel maka pada tingkat kepercayaan tertentu ho ditolak. Hal ini

berarti bahwa variabel independen yang diuji berpengaruh secara nyata (signifikan)

terhadap variabel dependen. Nilai t-hitung diperoleh dengan rumus:

t-hitung =

(bi-b)

(59)

Dimana:

bi : koefisien variabel independen ke-i

b : Nilai hipotesis nol

Sbi : Simpangan baku dari variabel independen ke-i

Kriteria Pengambilan Keputusan :

H0 : β = 0 H0 diterima (t*< t tabel) artinya variabel independen secara

parsial tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.

Ha : β≠ 0 Ha diterima (t*> t tabel) artinya variabel independen secara parsial berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.

H0

Kurva Uji t statistic

3.5.3. Uji F-Statistik

Uji F digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel independen

secara bersama-sama (serempak) terhadap variabel dependen.

Rumus untuk mencari F hitung (F*) adalah:

Ho ; b1 = b2 =b3………...= bk = 0 (tidak ada pengaruh)

Ho ; bi =

(60)

Nilai F-hitung diperoleh dengan rumus:

F-hitung = R2/(k-1)

(1-R2)/(n-k)

Dimana:

R2 = koefisien determinasi

K = jumlah variabel independen

N = jumlah sample

Kriteria pengambilan keputusan :

H0: β1 = β2 = β3 = 0

Ho diterima (F*< F tabel), artinya variabel independen secara bersama-sama

tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.

Ha: β1 ≠ β2≠ β3≠ 0 Ha Diterima (F*> F tabel

H

), artinya variabel independen secara bersama-sama

berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.

0 diterima

Ha

Gambar 3.2

Kurva Uji F statistic

diterima

Gambar

Tabel 2.1: Produk-Produk yang Dilarang Impornya oleh Negara-Negara yang
Tabel 2.2: Pemasukan Tarif Impor Secara Kolektif Sebagai Persentase dari Impor
Tabel 2.3: Batas-Batas Tertinggi dari Tarif Sebagai Persentase dari Garis-Garis
Tabel 2.4: Ekskalasi Tarif: Rata-Rata Tarif yang Diterapkan Menurut Tahap dari
+7

Referensi

Dokumen terkait

– Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang tidak sesuai dengan kawasan hutan yang ditetapkan oleh Kementerian Kehutanan saat ini;.. – Kawasan hutan yang ditetapkan oleh

Penolakan yang dilakukan oleh Menteri Perdagangan Indonesia Gita Wirjawan menggambarkan bahwa keterlibatan Indonesia dalam perjanjian Trans-pacific Partnership (TPP)

Hal ini berarti melalui dasar pengetahuan, dan sikap yang dimiliki maka ibu akan memberikan stimulasi dini motorik halus pada anaknya sehingga anak dapat berkembang motorik

Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan ( file histories ), ceritera, biografi, peraturan, kebijakan (Sugiyono, 2010:82). Data-data tersebut

neck bunga di mana tampak bahwa serapan hara yang tinggi pada tanaman mawar mini yang ditanam pada media tanam moss dan arang sekam (4:1 v/v) memengaruhi pertumbuhan

(3) terdapat pengaruh antara kecerdasan spiritual dan penanaman budaya religius terhadap prestasi belajar mata pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti (PABP) siswa

Guru memberikan pengayaan bagi siswa yang telah mencapai kompetensi sebelum waktu yang telah ditetapkan dengan memberikan beberapa kegiatan terkait masalah

keadaan penderita yang tidak mampu menjalain relasi yang baik dengan anggota. keluarga dan lingkungan