UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI
MEDAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPOR BARANG
KONSUMSI DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Oleh:
FEBRINA JULIANTI CHATERIN PARDEDE 040501083
Ekonomi Pembangunan
Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Bapa yang di surga melalui Anak-Nya Yesus Kristus atas berkat dan kasih karunia-Anak-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Impor Barang Konsumsi di Indonesia”
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Drs. John Tafbu Ritongan, M.Ec, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec selaku Ketua Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara
3. Bapak Drs. Rahmat Sumanjaya, Msi selaku Dosen pembimbing penulis yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan.
4. Bapak Paidi Hidayat, SE M.Si, selaku Dosen pembanding I 5. Bapak Drs. Aman Tarigan, SU.
Ekonomi Pembangungan atas pengajaran, bimbingan dan bantuannya pada penulis selama mengikuti perkuliahan.
7. Seluruh Staff dan Pegawai Kantor Bank Indonesia Kota dan Badan Pusat Statistik Medan atas bantuannya dalam memberikan data sehingga skripsi ini dapat diseles3aikan.
8. Kepada orang tua penulis, Ayahanda B.G. Pardede dan T.R. Sibarani serta kakak dan adik-adik penulis, Kakak Rury, Adik Kiki, Sylvia dan Ferdihan dan seluruh Keluarga besar Sibarani atas doa, perhatian serta dorongan moril maupun materil yang terus diberikan dalam penyusunan skripsi.
9. Buat kelompok “AGAVE” yang kukasihi dan sayangi, yaitu Kak Welfa, Titha, Thalia, Valia, Princes-saudaraku, Tina, dan Rita, buat doa, semangat, dan motivasi untuk selalu bersama-sama dalam suka dan duka dan tetap berjuang dalam kebersamaan dan kebahagiaan yang tidak dapat dilupakan. 10. Buat Liasta, Iin, Ida, kru-Bless, buat motivasi, dukungan dan doa. Juga untuk
teman-teman seperjuangan di Departemen Ekonomi Pembangunan stambuk 2004 yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah banyak mendukung melalui bimbingan moril dan juga doa bagi penulis selama mengikuti perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini.
Penulisan skripsi merupakan kewajiban bagi para mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara guna memenuhi syarat dalam memperoleh gelar kesarjanaan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari para pembaca demi penulisan yang lebih sempurna dan dapat bermanfaat dimasa yang akan datang. Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan berkat dan damai sejahtera bagi kita semua dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.
Medan, Maret 2008
Lampiran 1
DATA VARIABEL
Tahun Nilai Impor
Lampiran 2
HASIL REGRESI
Dependent Variable: LOGY Method: Least Squares Date: 03/04/08 Time: 15:11 Sample: 1980 2006
Included observations: 27
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 0.123660 0.673326 0.183656 0.0000
LOGX1 -0.507322 0.171808 -2.952847 0.0105
LOGX2 0.870127 0.132482 6.567882 0.0000
R-squared 0.900865 Mean dependent var 7.671454
Adjusted R-squared 0.886703 S.D. dependent var 0.510564 S.E. of regression 0.171854 Akaike info criterion 0.525562 Sum squared resid 0.413471 Schwarz criterion -0.378524
Log likelihood 7.467277 F-statistic 63.61097
Lampiran 3
Hasil Regresi Variabel Valas (Dollar AS) terhadap PDB
Dependent Variable: X1 Method: Least Squares Date: 03/04/08 Time: 15:17 Sample: 1980 2006
Included observations: 27
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 2391.375 771.7267 3.098734 0.0073
X2 0.002977 0.000511 5.820553 0.0000
R-squared 0.693119 Mean dependent var 5898.294
Adjusted R-squared 0.672660 S.D. dependent var 3475.215 S.E. of regression 1988.297 Akaike info criterion 18.13808 Sum squared resid 59299864 Schwarz criterion 18.23610
Log likelihood -152.1736 F-statistic 33.87884
Lampiran 4
Hasil Regresi Variabel PDB terhadap Valas (Dollar AS)
Dependent Variable: X2 Method: Least Squares Date: 03/04/08 Time: 15:18 Sample: 1980 2006
Included observations: 27
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -195257.4 271748.9 -0.718521 0.4835
X1 232.8173 39.99918 5.820553 0.0000
R-squared 0.693119 Mean dependent var 1177968.
Adjusted R-squared 0.672660 S.D. dependent var 971836.3 S.E. of regression 556022.9 Akaike info criterion 29.40514 Sum squared resid 4.64E+12 Schwarz criterion 29.50316
Log likelihood -247.9437 F-statistic 33.87884
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRACT ... i
ABSTRAK ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR SINGKATAN ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 4
1.3 Hipotesis ... 5
1.4 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 5
BAB II URAIAN TEORITIS ... 7
2.1 Kurs ... 7
2.1.1 Pengertian Kurs ... 7
2.1.2 Mekanisme Pasar Valas ... 10
2.2 Impor ... 15
2.2.1 Pengertian Impor ... 15
2.2.2 Kebijakan Impor ... 15
2.2.3 Rintangan-Rintangan Impor yang Bersifat Teknis ... 21
2.2.4 Tren Perkembangan Tarif dan NTBs Belakangn Ini ... 24
2.3 Produk Domestik Bruto (PDB) ... 28
2.3.1 Pengertian PDB ... 28
2.3.2 Cara Perhitungan PDB ... 29
2.3.3 Manfaat dan Keterbatasan Perhitungan PDB ... 29
2.3.4 Teori Pertumbuhan Ekonomi Modern Rostow ... 31
BAB III METODE PENELITIAN ... 37
3.1 Ruang Lingkup Penelitian . ... 37
3.2 Jenis Dan Sumber Data ... 37
3.3 Pengolahan Data ... 37
3.4 Model Analisis Data ... 38
3.5 Test of Goodness of Fit (Uji Kesesuaian) ... 39
3.6 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 42
3.7 Defenisi Operasional ... 43
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 45
4.1.1 Kondisi Geografis ... 45
4.1.2 Kondisi Iklim dan Topografi ... 45
4.1.3 Kondisi Demografi Indonesia ... 46
4.2 Gambaran Perekonomian Indonesia ... 47
4.3 Perkembangan Impor Barang Konsumsi di Indonesia ... 49
4.4 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar AS ... 54
4.5 Perkembangan PDB Indonesia ... 57
4.6 Analisis Pengumpulan Data ... 60
4.6.1 Interpretasi Model ... 61
4.6.2 Uji Kesesuaian (Test Of Goodness of Fit) ... 62
4.6.3 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 66
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 70
5.1 Kesimpulan ... 70
5.2 Saran ... 71
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
No. Tabel Judul Halaman
2.1 Produk-Produk yang Dilarang Impornya oleh Negara-Negara
yang Terkait
23
2.2 Pemasukan Tarif Impor Secara Kolektif Sebagai Persentase dari
Impor 28
2.3 Batas-Batas Tertinggi dari Tarif Sebagai Persentase dari
Garis-Garis dari Tarif 30
2.4 Ekskalasi Tarif: Rata-Rata Tarif yang Diterapkan Menurut
Tahap dari Proses Produksi (%) 27
4.1 Perkembangan Nilai Impor Barang Konsumsi di Indonesia 52
4.2 Perkembangan Volume Impor Barang Konsumsi di Indonesia 69
4.2 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar AS 55
DAFTAR GAMBAR
No. Gambar Judul Halaman
3.1 Kurva Uji t-Statistik 40
3.2 Kurva Uji F-Statistik 41
3.3 Kurva Uji D-W 43
4.1 Uji-t variabel Nilai Tukar Rupiah Terhadap Valas 62
4.2 Uji-t variabel Produk Domestik Bruto 63
4.3 Uji-F Statistik 65
DAFTAR SINGKATAN
AS : Amerika Serikat
AUD : Australian Dollar
JPY : Japan Yen
MFA : Multi-Fibre Agreement
NTB : Non Tariff Barrier
NSB : Negara sedang berkembang
OLS : Ordinary Least Square
PDB : Produk Domestik Bruto.
UE : Uni Eropa
USD : United State Dollar
UU : Undang-undang
DAFTAR LAMPIRAN
No. LAMPIRAN
1 : Data Variabel
2 : Hasil Regresi
3 : Hasil Regresi Variabel Valas (Dollar AS) terhadap PDB
ABSTRACT
The aim of this search is to analyze the influence exchange rate (Rupiah/US Dollar) and Brutto Domestic Product to the import value of consumption goods in Indonesia.
In general the import value consumption goods of a country is very influenced by the currency exchange rate and the value of Brutto Domestic Product. If currency exchange rate (rupiah) gets a depreciation, it will make the import value of consumption goods go down. This is caused by the import goods price become expensive.
The data used of this research is time series data from 1980-2006. The independent variables are exchange rate (Rupiah/US Dollar) and Brutto Domestic Product. And the dependent variable is the import value of consumption goods in Indonesia. The method used is OLS (Ordinary Least Square) by using econometric model.
The result shows that exchange rate (Rupiah/US Dollar) has negatively influenced on import value of goods consumption in Indonesia and Brutto Domestic Product has positively influenced on import value of goods consumption in Indonesia.
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganlisa pengaruh nilai tukar (rupiah/dollar AS) dan Produk Domesti Bruto (PDB) terhadap nilai impor barang konsumsi di Indonesia.
Nilai impor barang konsumsi pada suatu negara sangat dipengaruhi oleh nilai tukar dan nilai PDB. Jika nilai tukar (rupiah/dollar AS) mengalami depersiasi maka nilai impor barang konsumsi akan meningkat. Hal ini menyebabkan harga barang-barang konsumsi menjadi mahal.
Data dari penelitian ini menggunakan data berkala dari tahun 1980-2006. variabel-variabel bebasnya adalah nilai tukar dan PDB, sedangkan variabel terikatnya adalah nilai impor barang konsumsi di Indonesia. Metode yang digunakan adalah OLS dengan model ekonometrika.
Hasil estimasi yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai tukar (rupiah/dollar AS) memiliki pengaruh yang negatif terhadap nilai impor barang konsumsi sedangkan PDB memiliki pengaruh positif signifikan terhadap nilai impor barang konsumsi di Indonesia.
ABSTRACT
The aim of this search is to analyze the influence exchange rate (Rupiah/US Dollar) and Brutto Domestic Product to the import value of consumption goods in Indonesia.
In general the import value consumption goods of a country is very influenced by the currency exchange rate and the value of Brutto Domestic Product. If currency exchange rate (rupiah) gets a depreciation, it will make the import value of consumption goods go down. This is caused by the import goods price become expensive.
The data used of this research is time series data from 1980-2006. The independent variables are exchange rate (Rupiah/US Dollar) and Brutto Domestic Product. And the dependent variable is the import value of consumption goods in Indonesia. The method used is OLS (Ordinary Least Square) by using econometric model.
The result shows that exchange rate (Rupiah/US Dollar) has negatively influenced on import value of goods consumption in Indonesia and Brutto Domestic Product has positively influenced on import value of goods consumption in Indonesia.
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganlisa pengaruh nilai tukar (rupiah/dollar AS) dan Produk Domesti Bruto (PDB) terhadap nilai impor barang konsumsi di Indonesia.
Nilai impor barang konsumsi pada suatu negara sangat dipengaruhi oleh nilai tukar dan nilai PDB. Jika nilai tukar (rupiah/dollar AS) mengalami depersiasi maka nilai impor barang konsumsi akan meningkat. Hal ini menyebabkan harga barang-barang konsumsi menjadi mahal.
Data dari penelitian ini menggunakan data berkala dari tahun 1980-2006. variabel-variabel bebasnya adalah nilai tukar dan PDB, sedangkan variabel terikatnya adalah nilai impor barang konsumsi di Indonesia. Metode yang digunakan adalah OLS dengan model ekonometrika.
Hasil estimasi yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai tukar (rupiah/dollar AS) memiliki pengaruh yang negatif terhadap nilai impor barang konsumsi sedangkan PDB memiliki pengaruh positif signifikan terhadap nilai impor barang konsumsi di Indonesia.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Dalam era globalisasi dan perdagangan bebas sekarang ini, manusia dengan ide,
bakat, dan IPTEK beserta barang dan jasa yang dihasilkannya dapat dengan mudah
melewati batas negara. Pergerakan yang relatif bebas, barang dan jasa yang dihasilkan,
ternyata bukan hanya telah menimbulkan saling keterkaitan dan ketergantungan, tetapi
juga menimbulkan persaingan global yang semakin ketat. Adanya keterkaitan dan
ketergantungan serta persaingan global tersebut menyebabkan hampir semua kehidupan
dalan suatu negara terpengaruhi oleh ekonomi internasional. Dengan kata lain, dalam era
globalisasi dan perdagangan bebas, saat ini dapat dikatakan tidak ada lagi negara-negara
yang ”autarki”, yaitu negara yang hidup terisolasi, tanpa mempunyai hubungan ekonomi,
keuangan maupun perdagangan internasional (ekspor-impor).
Kemampuan yang nyata dari suatu bangsa dalam menghasilkan barang-jasa dan
kenikmatan yang diperoleh setiap penduduk (perkapita) atas hasil itu disebut dengan
produktivitas perkapita atau lebih dikenal dengan pendapatan perkapita. Suatu negara
yang memiliki jumlah dan laju pertumbuhan penduduknya juga masih tinggi, mempunyai
tantangan yang lebih besar dibandingkan dengan negara yang penduduknya tergolong
lebih kecil dengan laju pertumbuhan rendah (Suseno Triyanto,1990)
Kemampuan suatu negara untuk menyediakan kebutuhan konsumsi penduduknya
dapat dilihat dari tingkat dan laju pertumbuhan konsumsi perkapita yang merupakan
Perubahan-perubahan yang terjadi (melalui laju pertumbuhan seperti laju pertumbuhan
ekonomi, laju pertumbuhan penduduk, dan laju pertumbuhan perkapita) di dalam tingkat
konsumsi penduduk akan merefleksikan tingkat kehidupan masyarakatnya.
Indonesia merupakan negara sedang berkembang dengan jumlah penduduk sekitar
214.854 (tahun 2005) dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,34% per tahun
(tahun 2005), memiliki tantangan yang cukup besar dalam menghasilkan barang-jasa dan
kenikmatan yang diperoleh oleh setiap penduduk. Dengan tingkat konsumsi masyarakat
yang semakin lama semakin meningkat yang dipicu oleh bertambahnya jumlah penduduk
cenderung mendorong Indonesia untuk melakukan perdagangan internasional dengan
melakukan ekspor maupun impor. Keterbatasan produktivitas barang dan jasa yang
dihasilkan di Indonesia akan mendorong dilakukannya impor dengan tujuan agar
kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi guna mencapai kemakmuran suatu negara.
Faktor-faktor yang mendorong dilakukannya impor adalah:
a. Keterbatasan kualitas sumber daya manusia dan teknologi yang dimiliki untuk
mengolah sumber daya alam yang tersedia agar tercapai efektifitas dan efisiensi
yang optimal dalam kegiatan produksi dalam negeri.
b. Adanya barang-jasa yang belum atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri.
c. Adanya jumlah atau kuantitas barang di dalam negeri yang belum mencukupi.
Barang impor terdiri dari:
a. Barang impor migas, yaitu:
1. Minyak.
b. Barang impor non migas, yaitu:
1. Barang modal.
2. Bahan baku/penolong.
3. Barang konsumsi.
Contoh barang konsumsi terdiri dari:
a. Beras.
b. Tekstil
c. Susu, makanan, minuman dan buah-buahan.
d. Tembakau dan olahannya.
e. Alat-alat rumah tangga.
f. Dsb.
Negara Indonesia tentu memerlukan input untuk menghasilkan produk. Input
yang diperlukan berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Variabel yang
menentukan biaya input adalah harga dan jumlah input tersebut. Dalam kegiatan produksi
tentu saja diperlukan cara produksi yang efektif dan efisien agar menekan biaya produksi.
Hal ini didukung oleh teori klasik yakni teori absolute advantage (keunggulan mutlak)
oleh Adam Smith yang menyatakan bahwa setiap negara akan memperoleh manfaat dari
perdagangan internasional (gain from trade) karena melakukan spesialisasi dengan
produksi dengan mengekspor barang jika negara tersebut memiliki keunggulan mutlak.,
serta mengimpor barang jika negara tersebut memiliki ketidakunggulan mutlak (absolute
disadvantage). Dan juga teori cost comparative dari David Ricardo yang
menyempurnakan teori Adam Smith baik secara cost comparative (labor efficiency)
Faktor-faktor yang mempengaruhi impor barang konsumsi adalah valas (Dollar
AS) dan Produk Domestik Bruto (PDB). Apabila terjadi depresiasi rupiah maka nilai
impor barang konsumsi akan mengalami kenaikan. Hal ini akan mempengaruhi anggaran
pendapatan dan pengeluaran pemerintah. Apabila kenaikan harga ini terjadi
terus-menerus akan memicu terjadinya inflasi sehingga pemerintah perlu melakukan
pengendalian terhadap jumlah impor barang konsumsi agar dampak dari kenaikan nilai
impor barang konsumsi tidak berpengaruh secara universal dan signifikan terhadap laju
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Realisasi barang konsumsi impor pada tahun 2004
bernilai sebesar US$ 3786,5 juta dan mengalami kenaikan pada tahun 2005 dengan nilai
sebesar US$ 4620,5 juta. Kenaikan ataupun penurunan jumlah dan nilai impor barang
konsumsi yang terjadi setiap tahunnya tentu saja dipengaruhi oleh nilai valas negara yang
berkaitan dan PDB.
Berdasarkan uraian - uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian guna penyelesaian skripsi dengan judul “Analisis Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Impor Barang Konsumsi di Indonesia.”
1.2Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka ada rumusan masalah
yang dapat diambil sebagai kajian dalam penelitian yang akan dilakukan. Hal ini
bertujuan untuk mempermudah dalam penulisan skripsi ini. Selain itu, rumusan masalah
ini diperlukan sebagai suatu cara untuk mengambil keputusan dari akhir penulisan
1. Bagaimana pengaruh valas, dalam hal ini adalah Dollar AS, terhadap
perkembangan nilai impor barang konsumsi di Indonesia.
2. Bagaimana pengaruh Produk Domestik Bruto (PDB) dalam mendorong tingkat
impor barang konsumsi guna mencapai kemakmuran masyarakat.
1.3Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang ada,
dimana kebenarannya masih perlu dikaji dan diteliti melalui data yang terkumpul.
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penulis membuat hipotesis sebagai
berikut :
1. Depresiasi rupiah atas valas (Dollar AS) berpengaruh negatif terhadap
perkembangan nilai impor barang konsumsi Indonesia
2. Produk Domestik Bruto (PDB) berpengaruh positif terhadap nilai impor barang
konsumsi.
1.4Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah menjawab permasalahan yang telah
dirumuskan yaitu mengetahui seberapa besar pengaruh nilai tukar rupiah atas Dollar AS,
pendapatan perkapita dan laju inflasi terhadap besarnya barang konsumsi impor sehingga
diharapkan para pengambil keputusan yang terkait mengetahui, memahami dan
mengambil tindakan guna mengantisipasi segala kemungkinan baik bagi kalangan
Dan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Dapat digunakan sebagai bahan studi atau tambahan literature bagi mahasiswa/i
Fakultas Ekonomi khususnya Departemen Ekonomi Pembangunan.
2. Sebagai bahan referensi dan informasi bagi masyarakat dan mahasiswa/i yang
ingin melakukan penelitian selanjutnya.
3. Untuk menambah dan memperkaya wawasan ilmiah penulis dalam disiplin
ilmu yang penulis tekuni khususnya mengenai faktor - faktor yang mempengaruhi impor
BAB II
URAIAN TEORITIS
2.1 KURS
2.1.1 Pengertian
Kurs valuta asing atau foreign exchange rate diartikan sebagai mata uang asing dan
alat pembayaran lainnya yang digunakan untuk melakukan atau membiayai transaksi
ekonomi dan keuangan internasional atau luar negeri dan biasanya mempunyai catatan
kurs resmi di Bank Sentral atau Bank Indonesia.
Mata uang yang sering digunakan sebagai alat pembayaran dan kesatuan hitung
dalam transaksi ekonomi dan keuangan internasional disebut sebagai hard currency,
yaitu mata uang yang nilainya relatif stabil dan kadang mengalami apresiasi atau
kenaikan terhada[p mata uang lainnya. Umumnya berasal dari negara-negara industri
maju, seperti USD, JPY, EURO, dan AUD.
Sedangkan soft currency adalah mata uang lemah yang jarang digunakan sebagai
alat pembayaran dan kesatuan hitung karena nilainya relative tidak stabil dan sering
mengalami deprsi atau penurunan nilai terhadap nilai mata uang lainnya. Umumnya
berasal dari negara-negara yang sedang berkembang seperti Rupiah-Indonesia,
Peso-Thailand, dan Rupee-India.
Total valas yang dimiliki oleh pemerintah dan swasta dari suatu negara disebut juga
sebagai cadangan devisa. Cadangan tersebut dapat diketahui dari posisi Balance of
Payment (BOP) atau neraca pembayaran internasionalnya. Makin banyak devisa yang
kemampuan negara tersebut dalam melakukn transasksi ekonomi dan keuangan
internasional dan makin kuat pula nilai mata uang negara tersebut. Adapun yang
memperngaruhi nilai kurs adalah:
a. Permintaan dan penawaran mata uang asing tersebut.
b. Tingkat Bunga.
c. Tingkat inflasi
d. Produksi dan pendapatan.
e. Neraca pembayaran internasional.
f. Kebijakan pemerintah
g. Spekulasi
2.1.2 Sistem Kurs
Pada masa kini hampir seluruh negara yang ada di dunia tidak menggunakan sistem
kurs yang murni. Negara-negara yang melakukan hubungan ekonomi internasional
dengan negara lain menggunakan ssstem kurs campuran yang memadukan sebagian
karakteristik sistem kurs baru dan sebagian lagi dengan sistem kurs mengambang yang
masing-masing mnemiliki komposisi paduan karakteristik yang berbeda.
Sistem kurs campuran antara lain:
a. Sistem kurs terbatas.
Sistem kurs ini biasanya memungkinkan fluktuasi kurs sampai batas tertentu.
Sistem kurs yang didasarkan pada batas-batas fluktuasi atau system kurs
terbatas dimana negara-negara dapat menetukan sendiri nilai patokan kursnya,
tersebut secara terbatas. Kelebihan dari sistem kurs terbatas adalah dimana
otoritas moneter di berbagai negara masih tetap memungkinkan untuk
melakukan intervensi. Otoritas moneter hanya perlu sesekali melakukan
intervensi terhadap pasar valuta asing apabila kurs mata uang domestiknya
bergerak terlalu jauh sehingga cenderung melampaui batas-batas yang telah
ditetapkan.
b. Sistem kurs baku yang dapat disesuaikan.
Sistem kurs baku yang dapat disesuaikan (adjustable peg system) lebih
menitikberatkan pada nilai patokan kurs daripada batas-batas nilai inflasi.
Dalam sistem ini yang sering diubah ialah nilai patokannya sehingga sistem ini
mengirim uang bagi negara-negara untuk melakukan devaluasi ataupun
revaluasi (mengoreksi neraca pembayaran).
c. Sistem kurs baku merayap.
Dalam sistem ini nilai patokan masih boleh diubah. Namun setiap perubahan
diusahakan sekecil mungkin. Sistem ini memungkinkan dilakukannya
perubahan nilai patokan dalam frekuensi tinggi bahkan secara berkala.
Misalnya, sekali dalam sebulan perubahan ini dapat dilakukan berulang-ulang
sampai tingkat ekuilibrium.
d. Sistem kurs mengambang terkendali.
Fluktuasi kurs yang terlalu tajam atau terlalu sering terjadi cenderung makin
surutnya arus perdagangan dan investasi internasional. Dalam system kurs
mengambang terkendali (managed floating exchange rate system) ini, otoritas
intervensi terhadap pasar-pasar valas dalam rangka mendukung inflasi jangka
pendek dan mencegah kecenderungan jangka panjangnya. Dalam system kurs
ini masih diperlukan adanya cadangan internasional sedangkam dalam sistem
kurs mengambang bebas tidak diperlukan cadangan internasional karena
ketidakseimbangan dalam neraca pemayaran secara otomatis dikoreksi oleh
perubahan-perubahan kurs. Koreksi ini dapat berjalan secara lancer apabila
pasar valas bersifat stabil sehingga intervensi pemerintah maupun cadangan
internasional sama sekali tidak diperlukan.
2.1.3 Mekanisme Pasar Valas
Bursa atau pasar valas diartikan sebagai suatu tempat atau sistem dimana
perorangan, perusahaan dan bank dapat melakukan transasksi keuangan internasional
dengan jalan melakukan pembelian atau permintaan dan penjualan atau penawaran atas
valas.
Misalnya, Indonesia ingin mengimpor barang konsumsi dari Cina seharga US$1050
juta. Karena pembayaran harus dilakukan dalam bentuk US$, maka Indonesia sebagai
importir, Indonesia harus menggunakan cadangan devisanya untuk melakukan
pembayaran dalam bentuk US$ tersebut. Jumlah nilai yang dibayarkan Indonesia
terhadap Cina harus sesuai dengan kurs US$ yang berlaku pada waktu tersebut.
Transaksi penjualan dan pembelian kurs valas dapat dilakukan dengan cara spot
rate-spot market dan forward rate-forward market. Spot market adalah bursa valas
dimana dilakukan transaksi jual dan beli valas dengan kurs spot dalam jangka waktu 2 x
Tokyo, New York, Paris, Hong Kong, dan di tempat lain, dimana berlaku spot rate, yaitu
nilai kurs valas yang berlaku di tempat-tempat tersebut untuk jangka waktu maksimum
2x24jam. Pada umumnya international spot transaction interbank market untuk US$
dapat berlangsung dengan cara cepat (online and real time) karena diselenggarakan atau
diselesaikan dengan sistem komputer yang dikenal dengan CHIPS (Clearing House
Interbank Payments System) yang dioperasikan oleh New York Clearing House
Association.
Sedangkan nilai kurs yang ditetapkan sekarang atau saat ini disebut dengan kurs
forward, dimana kurs forward ini digunakan dalam kurs market sehingga transasksi
pembelian dan penjualan valas diberlakukan untuk waktu yang akan datang (future
period) antara lebih dari 2 x 24jam hingga biasanya satu tahun atau 12 bulan.
Forward rate dan forward market ini timbul karena adanya ketidakpastian dan
fluktuasi kurs, terutama semenjak berlakunya sistem kurs mengambang (floating
exchange rate system) setelah Dekrit presiden Nixon pada tanggal 15 Agustus 1971 yang
antara lain menyatakan bahwa nilai mata uang US$ tidak dikaitkan lagi dengan emas.
Sebelumnya berdasarkan persetujuan Bretton Woods tahun 1944, sistem moneter
internasional didasarkan pada sistem kurs tetap atau (fixed exchange rate system) dimana
US$ dapat ditukardan dijamin sepenuhnya dengan emas dengan ketentuan US$35 sama
dengan satu ons emas.
Semenjak diberlakukan sistem kurs mengambang tersebut maka banyak perusahaan
dan perbankan, termasuk badan usaha pemerintah yang mengunakan forward market
untuk mengadakan forward contact guna melindungi transaksi perdagangan dan
keuntungan dari fluktuasi kurs. Ada empat pelaku transaksi dalam pasar valas dilihat dari
tingkatan yang berbeda, yaitu:
a. Pada tingkatan yang pertama yaitu para pelaku transaksi tradisional seperti
wisatawan, importir, eksportir, investor dan sebagainya yang melakukan
transaksi secara langsung.
b. Pada tingkatan yang kedua yakni bank-bank komersial yang bertindak sebagai
perantara atau lembaga kliring atau antara pemakai atau sumber
permintaan/para penghimpun sumber penawaran valas. Bank-bank komersial
merupakan inti atau pusat pasar valas karena hampir semua transaksi
internasional dalam nilai yang cukup besar melibatkan kegiatan pencatatan
debet ataupun kredit pada bank-bank komersil di berbagai pusat keuangan
dunia. Perdagangan valas di sesama bank disebut interbank trading yang
nilainya cukup besar sehingga menjadi kegiatan utama dalam pasar valas.
c. Pada tingkatan ketiga adalah para pialang valas yang bertindak sebagai
perantara pada bank-bank komersial untuk menukarkan berbagai jenis mata
uang di kalangan bank-bank itu sendiri. Mereka berperan utama dalam pasar
antar bank atau pasar mata uang asing berskala besar.
d. Pada tingkatan keempat adalah bank sentral yang bertindak sebagai pembeli dan
penjual valas pada suatu negara. Peranan bank sentral adalah untuk mengurangi
atau menambah cadangan valas atau sewaktu-waktu melakukan intervensi di
2.1.4 Sistem Bretton Woods
Satu pelajaran yang diperoleh dari tahun 1930 bahwa sistem nilai tukar yang
berfluktuasi bebas ataupun system nilai tukar tetap akan dimungkinkan setiap Negara
dapat melakukan devaluasi untuk memulihkan keseimbangan neraca pembayarannya,
walaupun tindakan devaluasi ini tidak pasti memulihkan keseimbangan neraca
pembayarannya. Untuk mencapai suatu sistem nilai tukar yang tertib agar memudahkan
arus bebas perdagangan setelah Perang Dunia II, maka banyak wakil berbagai negara
mengadakan pertemuan di Bretton Woods tahun 1944 yang disponsori oleh Amerika
Serikat dan Inggris. Sistem Bretton Woods memiliki tiga sasaran pokok, yaitu:
a. Menciptakan seperangkat aturan yang akan memelihara nilai tukar tetap dalam
waktu jangka pendek.
b. Menjamin bahwa perubahan nilai tukar (nilai tukar mata uang suatu negara)
akan dapat dilakukan bilaman terjadi defisit ataupun surplus yang mendasar
pada neraca pembayarannya.
c. Memastikan bilamana terjadi devaluasi pada suatu negara tidak akan diikuti
oleh devaluasi pada negara lain, sehingga persaingan devaluasi antar negara
dapat dihindarkan.
Sifat yang mendasari system ini adalah Dollar Amerika Serikat, dimana Dollar ini
akan disimpan oleh negara lain sebagai valuta asing yang dapat ditukar langsung dengan
emas pada harga yang telah ditentukan oleh pemerintah Amerika Serikat. Sedangkan
pemerintah negara lain menetapkan harga mata uang negaranya dan membandingkannya
dengan US Dollar. Dasar inilah yang membuat sistem ini merupakan standar emas karena
emas. Bila mata uang suatu negara mengalami penawaran yang lebih besar, penguasa
moneter akan menjual emas, Dollar dan Poundsterling. Sebaliknya, jika suatu negara
mengalami permintaan yang lebih besar, penguasa moneter akan membeli emas, Dollar
dan Poundsterling.
Sistem Bretton Woods bekerja cukup baik selama hampir 20 tahun, kemudian
sistem ini dikacaukan oleh serangkaian krisis yang mencerminkan kelemahan sistem ini.
Runtuhnya sistem ini disebabkan oleh:
a. Spekulasi Poundsterling Inggris.
Pada tahun 1950-an dan 1960-an ekonomi Inggris lebih rawan mengalami
inflasi dibandingkan ekonomi Amerika dan neraca pembayaran Inggris
mengalami defisit. Para pemegang Poundsterlingpun merasa kuatir, mereka
beranggapan bahwa pemerintah Inggris tidak mampu menjaga konvertibilitas
pound terhadap Dollar dengan nilai tukar tertentu. Sehingga timbullah gerakan
spekulasi untuk menjual mata uamg ini sebelum mata uang ini didevaluasi.
Tahun 1967, pounds didevaluasi di tengah krisis spekulasi. Banyak negara yang
mengalami defisit mengikuti jejak devaluasi ini.
b. Spekulasi Dollar Amerika Serikat.
Dalam sistem Bretton woods, apabila Amerika melakukan devaluasi terhadap
mata uangnya maka akan mengakibatkan naiknya harga emas terhadap Dollar.
Devaluasi ini didorong oleh defisitnya neraca pembayaran Amerika tahun 1967
sehingga menghasilkan spekulasi. Pada tahun 1968, negara pedagang utama
terpaksa berhenti mematok harga emas di pasar bebas, akibat tekanan spekulasi
yaitu harga emas resmi dipergunakan penguasa monter untuk menyelesaikan
utang dengan mentransfer emas dan harga emas pasar bebas yang ditentukan
oleh kuatnya permintaan dan penawaran swasta tanpa campur tangan bank
sentral. Dengan adanya harga emas pasar bebas ini, maka para spekulan beralih
ke mata uangnya yang nilainya masih rendah terhadap US$ sehingga
kemampuan bank sentral untuk mempertahankan nilai tukar yang telah dipatok
dalam mengahadapi arus dana yang cepat sangat diragukan.
2.2 Impor.
2.2.1 Pengertian
Impor adalah arus masuk dari sejumlah barang-barang dan atau jasa ke dalam sebuah
pasar suatu negara baik untuk keperluan konsumsi ataupun sebagai barang-barang modal
atau bahn baku produksi dalam negeri. Semakin besar impor suatu negara dari satu sis
dianggap baik guna memenuhi kebutuhan akan barang ataupun jasa. Namun, di sis lain
hal tersebut berpeluang mematikan produksi barang atau jasa sejenis yang ada di dalam
negeri dan juga dapat menguras cadangan devisa negara tersebut.
2.2.2 Kebijakan Impor.
Kebijakan perdagangan internasional di bidang impor diartikan sebagai tindakan dan
peraturan yang dikeluarkan pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung,
terhadap importir dari luar negeri dimana akan mempengaruhi struktur, komposisi, dan
kelancaran usaha dalam negeri yang ditujukan untuk melindungi/mendorong
berlawanan, tujuan utama yaitu kebutuhan masyarakat juga dapat terpenuhi.
Kebijakan-kebijakan tersebut terdiri dari, antara lain:
a. Kebijakan Tariff Barrier:
1. Pembebasan bea masuk/tariff rendah adalah antara 0-5%: dikenakan untuk bahan
kebutuhan pokok dan vital seperti beras, mesin-mesin vital, alat-alat
pertahanan/kemanan militer, dan sebagainya.
2. Tarif sedang antara >5-20%: dikenakan untuk barang setengah jadi dan
barang-barang lain yang belum cukup diproduksi dalam negeri.
3. Tarif tinggi >20%: dikenakan untuk barang-barang mewah dan barang-barang
lain yang sudah cukup diproduksi di dalam negeri dan bukan kebutuhan pokok.
Tarif adalah pungutan bea masuk yang dikenakan atas barang impor yang masuk
untuk dipakai/dikonsumsi habis di dalam negeri. Dalam pelaksanaannya, sistem/cara
pemungutan tariff bea masuk ini dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Bea harga (Ad Volorem Tariff)
Besarnya pemungutan bea masuk atas barang impor ditentukan oleh tingkat
persentase tarif dikalikan harga CIF dari barang tersebut (BM = %tarif x Harga
CIF). Misalnya, harga CIF suatu barang X = $100 dan tariff bea masuknya 10%,
sedangkan kurs = Rp.10000/USD. Maka pungutan bea masuknya = 10% x $100 x
Rp10000 = Rp.100000.
Bea ini memiliki bersifat proporsional.
Keuntungannya adalah:
1. Dapat mengikuti perkembangan tingkat harga/inflasi.
Kerugiannya adalah:
1. Memberikan beban yang cukup berat bagi administrasi pemerintahan,
khususnya bea cukai karena memerlukan data dan perincian harga barang
yang lengkap.
2. Sering menimbulkan perselisihan dalam penetapan harga untuk
perhitungan bea masuk antara importer dan bea cukai, sehingga dapat
menimbulkan kemacetan stagnasi/kemacetan arus barang di pelabuhan
a. Bea spesifik (Specific Tariff)
Pungutan bea masuk ini didasarkan pada ukuran atau satuan tertentu dari barang
impor. Di Indonesia sistem tarif ini digunakan sebelum tahun 1991. misalnya bea
masuk untuk:
•Semen : Rp.3000 per ton.
•Sepatu : Rp.14500 per pasang. •Piring : Rp.5000 per lusin.
•Jeruk :Rp.500 per kg.
Keuntungannya adalah:
1. Mudah dilaksanakan karena tidak memerlukan perincian harga barang
sesuai kualitasnya.
2. Dapat digunakan sebagai alat nkontrol proteksi industri dalam negeri.
Kerugiannya adalah:
1. Pengenaan tarif dirasakan kurang-tidak adil karena tidak membedakan
harga/kualitas.
b. Bea campuran (Compound Tariff)
Pungutan bea masuk ini merupakan campuran antara system bea spesifik dan bea
harga.
Menurut tujuannya, kebijakan tarif bea masuk dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Tarif proteksi, yaitu pengenaan tariff bea masuk yang tinggi untuk
mencegah/membatasi impor barang tertentu.
b. Tarif revenue, yaitu pengenaan tarif bea masuk yang bertujuan untuk
meningkatkan penerimaan negara.
Berdasarkan tujuan tersebut maka fungsi tarif bea masuk adalah:
a. Fungsi mengatur (regulerend), yaitu untuk mengatur perlindungan
kepentingan/ekonomi industri dalam negeri.
b. Fungsi budgeter, yaitu sebagai salah satu sumber penerimaan negara.
c. Fungsi demokrasi, yaitu penetapan tarif bea masuk melalui persetujuan DPR.
d. Fungsi pemerataan, yaitu untuk pemerataan distribusi pendapatan nasional,
misalnya dengan pengenaan tarif bea masuk yang tinggi untuk barang mewah.
b. Kebijakan Nontariff Barrier:
Kebijakan nontariff barrier adalah berbagai kebijakan perdagangan selain bea masuk
yang dapat menimbulkan distorsi, sehingga mengurangi potensi manfaat perdagangan
internasional. Secara garis besar Nontariff Barrier dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Pembatasan Spesifik (specific limtitation):
a. Larangan impor secara mutlak.
b. Pembatasan impor atau quota system.
d. Peraturan kesehatan/karantina.
e. Peraturan pertahanan dan kemanan negara.
f. Peraturan kebudayaan.
g. Perizinan impor/import licenses.
h. Embargo
2. Peraturan bea cukai (customs administration rules)
a. Tatalaksana impor tertentu (procedure).
b. Penetapan harga pabean (customs value).
c. Penetapan kurs valas dan pengawasan devisa.
d. Consulat formalities
e. Packaging/labeling regulations.
f. Documentations needed.
g. Quality and testing standard.
h. Pungutan administrasi
i. Tariff classification.
3. Government participation
1. Kebijakan pengadaan pemrintah.
2. Subsidi dan insentif impor.
3. Countervailing duties.
4. Domestic assistance programs.
5. Trade-diverting.
4. Import charges
2. Suplementary duties
. 3. Variable levies
Kuota adalah pembatasan fisik secara kuantitatif yang dilakukan atas pemasukan
barang (kuota impor) dan pengeluaran barang (kuota ekspor) dari ke suatu negara untuk
melindungi kepentingan industri dan konsumen. Menurut ketentuan GATT/WTO, sistem
kuota ini hanya dapat digunakan dalam hal sebagai berikut:
1. Untuk melindungi hasil pertanian.
2. Untuk menjaga keseimbangan Balance of Payment.
3. Untuk melindungi kepentingan ekonomi nasional.
Macam-macam kuota impor:
1. Absolute/unilateral quota, yaitu sistem kuota yang ditetapkan secara sepihak
(tanpa negoisasi).
2. Negotiated/bilateral quota, yaitu sistem kuota yang ditetapkan atas kesepakatan
atau perjanjian.
3. Tarif kuota, yaitu pembatasan impor yang dilakukan dengan mengkombinasikan
sistem tarif dan sistem kuota.
4. Mixing quota, yaitu pembatasan impor bahan baku tertentu untuk melindungi
industri dalam negeri.
Subsidi adalah kebijakan pemerintah untuk memberikan perlindungan atau bantuan
kepada industri dalam negeri dalam bentuk keringanan pajak, fasilitas kredit, subsidi
harga, dan lain-lainh yang bertujuan:
1. Menambah produksi dalam negeri.
3. Menjual dengan harga yang lebih murah daripada produk impor.
Kebijakan subsidi ini merupakan proteksi terhadap industri dalam negeri yang
tentunya mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan cara proteksi lainnya, yaitu:
1. Subsidi biasanya diberikan untuk barang kebutuhan pokok masyarakat banyak.
2. Subsidi biasanya bersifat transparan dan dapat dikontrol oleh masyarakat.
2.2.3 Rintangan-Rintangan Impor yang Bersifat Teknis.
Walaupun sekarang ini sudah banyak dilakukan penurunan tariff proteksi oleh banyak
Negara yang terkait dengan penerapan era perdagangan bebas, termasuk dalam
perdagangan antarnegara ASEAN (AFTA), namun sebenarnya apakah perdagangan yang
betul-betul bebas akan terwujud masih merupakan suatu pertanyaan. Masalahnya adalah
bahwa sekarang ini semakin banyak negara atau kelompok negara (Uni Eropa) yang
menghalangi kelancaran impor yang disebut rintangan-rintangan non-tarif.
Misalnya, baru-baru ini suatu peraturan di dalam perdagangan internasional yang
dikaitkan dengan keamanan adalah undang-undang antiterorisme biologi oleh pemerintah
AS. Dengan ketentuan ini, produk-produk makanan dan minuman yang akan masuk ke
AS harus diseleksi dulu oleh pemrintah AS. Tujuannya adalah untuk memastikan apakah
produk-produk tersebut membawa virus yang dapat mengakibatkan wabah penyakit
tertentu. UU tersebut dikeluarkan pada tanggal 12 Juni 2002. ketentuan ini tentu akan
menghambat kelancaran atau bahkan mengurangi volume ekspor produk-produk
makanan dan minuman atau komoditas-komoditas pertanian ke AS, termasuk dari
Sebenarnya, hambatan terhadap impor dengan alasan keselamatan konsumen di
negara pengimpor akan semakin banyak, selain UU tersebut, termasuk baru-baru ini flu
burung. Hal ini akan mengahmbat perdagangan internasional untuk ayam dan bahkan
produk-produk turunannya.
Juga ekspor udang dari Indonesia mengalami NTB, khususnya ke pasar Jepang dan
UE. Pemerintah Jepang dan UE menerapkan kebijakan yang mengharuskan udang yang
diimpor dari Asia terbebas dari kandungan antibiotic chlorampenicol, oxytetracylin,
chlortetracycline, nitrofuransi dan furazolidon. Bahkan pemerintah Jepang mulai 1
Januari 2004 semakin memperketat impor udang dari Indonesia. Kandungan antibiotic
oxytetracylin dan chlortetracycline pada komoditas itu yang biasanya hanya 0.05 part per
million (ppm) akan ditekan lebih rendah menjadi 0.01 ppm guna melindungi konsumen
udang di negara tersebut.
Masalah yang sama juga dialami oleh ekspor kayu dari Indonesia untuk keperluan
konstruksi ke pasar Eropa. Para eksportir diwajibkan mencantumkan EC Marking mulai 1
April 2004. EC Marking merupakan pernyataan bahwa produk manufaktur yang
diproduksi telah memenuhi persyaratan fundamental mengenai kesehatang, kemanan
serta proteksi lingkungan.
NTB lainnya yang muncul sejak tahun lalu adalah peraturan yang dikeluarkan oleh
pemerintah AS mengenai penggunaan bahan kemasan dari kayu bagi produk-produk
yang masuk ke pasar Negara tersebut, walaupun sebagian produsen telah menggunakan
kemasan bukan kayu. Peraturan baru yang telah dinotifikasi ke WTO pada Mei 2003 itu
mewajibkan setiap produk kayu untuk kemasan yang tidak diproses atau dimanufaktur
untuk mencegah wabah kumbang jenis pine shoot beetle dan longhorned beetle, yang
memilih kayu sebagai wadah untuk berkembang biak. AS dan Kanada serta Meksiko
menerapkan peraturan ini secara serentak sejak 1 Januari 2004. bahkan UE berencana
menerapkan pertauran tersebut sebelum akhir tahun 2003 lalu.
Berdasarkan data dari Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup RI, tabel di bawah
ini memberikan informasi mengeani produk-produk yang dilarang impornya karena isu
lingkungan, termasuk kayu lapis dari Indonesia. Hal ini sangat merugikan Indonesia
karena kayu lapis merupakan salah satu produk ekspor unggulan dari Indonesia dari
kategori nonmigas selama ini. UE menganggap bahwa hutan di Indonesia nyaris hilang,
dan oleh sebab itu negara-negara anggota UE dilarang membeli kayu dan
produk-produknya dari Indonesia.
Tabel 2.1: Produk-Produk yang Dilarang Impornya oleh Negara-Negara yang
Terkait
dengan Kebijakan Pelestarian Lingkungan
Produk Larangan Negara yang
Melarang
Negara
Produsen
Ikan tuna (dan produknya) Impor/dibatasi AS Kanada,
Meksiko
Udang dan produknya Impor AS -
Ikan herring dan salmon yang
belum diproses
Ekspor Kanada -
Rokok dan tembakau Impor Thailand -
disuntik hormon pertumbuhan
Ikan salmon Impor Australia -
Produk pertanian Impor Jepang -
Kayu Impor UE Indonesia
Kayu lapis Impor Jepang Indonesia
Sumber: Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup
Walupun belum ada suatu studi yang komprehensif hingga saat ini mengenai ekstra
biaya yang muncul dari penerapan NTBs seperti di atas bagi eksportir, namun dapat
diduga sebagai suatu hipotesis bahwa biaya ekonomi tersebut sangat besar, bahkan pada
tingkat makro bisa melebihi kerugian akibat pengenaan tarif impor. Alasannya dalam
sistem tarif ada kepastian sehingga si eksportir dari awal sudah bisa menyesuaikan
dengan harga jualnya. Dalam kata lain, selama barabgnya tetap laku walaupun harga
jualnya di negara importir meningkat akibat dikenakan bea masuk, tidak ada masalah
bagi eksportir, ekspornya jalan terus. Sedangkan dalam sistem NTBs yang sangat
bervariasi, bisa sangat menyulitkan si penjual, dan bahkan akibat terlalu ketatnya
peraturan di negara pembeli bisa membuat ekspornya terhenti atau ditolak sama sekali.
2.2.4 Tren Perkembangan Tarif dan NTBs Belakangan Ini.
Dengan berakhirnya peraturan Uruguay (PU) yang ditandai dengan berdirinya WTO
pada tahun 1994, maka dapat dikatakan bahwa secara resmi dunia memulai proses
menuju era perdagangan bebas, yang akan diberlakukan di seluruh dunia paling lambat
tahun 2020. sebenarnya, jauh sebelum tercapainya kesepakatan WTO tersebut, sudah
tarif impor di dunia sebagai suatu pangsa dari nilai impor di semua wilayah dalam 25
tahun terakhir, tetapi lebih nyata di negara-negara dari kelompok OECD. Di
wilayah-wilayah lainnya tidak ada perubahan yang nyata hingga akhir tahun 1980-an, dan setelah
itu semua wilayah menunjukkan suatu penurunan.
Tabel 2.2: Pemasukan Tarif Impor Secara Kolektif Sebagai Persentase dari Impor
Wilayah
Keterangan: *NSB yang sudah maju seperti India, Cina, Indonesia, Malaysia, Thailand.
Sedangkan NSB yang masih terbelakang seperti di Afrika dan Asia Selatan selain India.
Sumber: World Development Indicators CD Rom 2003, dikutip dari de Cordoba dkk
Dua hal penting yang disepakati bersama di dalam PU adalah pemotongan tarif impor
terhadap produk-produk pertanian dan menhilangkan rintangan-rintangan terhadap
perdagangan internasional untuk tekstil dan produk-produk lainnya, khususnya pakaian
jadi di dalam Multi-Fibre Agreement (MFA) paling lambat pada akhir tahun 2004.
Kesepakatan tersebut mengharuskan negara-negara maju memotong bea masuk impor
sebesar 1/3 dan NSB yang sudah maju sebesar 1/4, dan ini dicapai dengan negoisasi garis
per garis dari tarif. Pada akhirnya, negara maju dan NSB yang sudah maju memotong
sekitar 30% dari garis-garis tarif mereka (Tulus Tambunan, 2004)
Akan tetapi, dalam kenyataan, hasil yang muncul dari kesepakatan di dalam PU
adalah kelangsungan bias yang tidak proporsional dalam proteksi terhadap ekspor dari
NSB (yang sudah maju maupun belum) lewat batas-batas tertinggi dan ekskalasi dari
tariff (UNTACD, 2003c ). Pentingnya batas-batas maksimum dari tarif atas
produk-produk yang penting bagi ekspor dari NSB tetap menjadi suatu prioritas di dalam agenda
perdagangan multilateral. Hasil penelitian dari de Cordoba dkk (2004) menunjukkan
hampir 10% dari garis-garis tarif negara-negara maju tiga kali lebih besar dari rata-rata
nasional.
Tabel 2.3: Batas-Batas Tertinggi dari Tarif Sebagai Persentase dari Garis-Garis
dari Tarif
Skenario Batas Tertinggi Yang Diterapkan
Negara-negara maju 8.2 9.9
NSB yang sudah maju 0.4 3.5
NSB yang belum maju 0.4 0.7
Hasil dari studi mereka juga menunjukkan bahwa ekskalasi tarif merupakan suatu
fenomena yang umum dan signifikan pada ekspor dari NSB yang muncul dari PU. NSB
yang sangat tergantung pada ekspor dari komoditi-komoditi primer menghadapi
mengahadapi suatu beban di dalam usaha mereka ke produk-produk dengan nilai tambah
yang lebih tinggi. Peningkatan dalam tarif-tarif sepanjang rantai produksi terutama sangat
berpengaruh pada tahap tengah yang menghasilkan produk-produk setengah jadi.
Tabel 2.4: Ekskalasi Tarif: Rata-Rata Tarif yang Diterapkan Menurut Tahap dari
Proses Produksi (%)
Primer Tengah Akhir
Negara-negara maju 0.6 3.0 3.4
NSB yang sudah maju 6.0 9.1 8.0
NSB yang belum maju 6.9 18.0 12.0
2.3 Pendapatan Domestik Bruto (PDB)
2.3.1. Pengertian.
Produk Domestik Bruto menghitung hasil produksi suatu perekonomian tanpa
memperhatikan siapa pemilik faktor produksi tersebut. Semua faktor produksi yang
beralokasi dalam perekonomian tersebut outputnya diperhitungkan dalam PDB.
Akibatnya, PDB kurang memberikan gambaran tentang berapa sebenarnya output yang
dihasilkan oleh faktor-faktor produksi miliki perekonomian domestik.
Nilai PDB suatu periode tertentu sebenarnya merupakan hasil perkalian antara harga
2000 adalah hasil perkalian antara harga barang pada tahun 2000 dengan jumlah produksi
tahun 2000. Contoh, dalam perekonomian yang hanya memproduksi satu jenis produk
yaitu baju. Selama tahun 2000 baju diproduksi sebanyak 1000 potong. Bila harga jual
baju per potong Rp 120,00, maka PDB 2000 sebesar Rp 120.000,00.
Jika PDB tahun 1999 nilainya adalah Rp 100.000,00 dapatkah diambil kesimpulan
bahwa perekonomian tahun 2000 lebih baik disbanding tahun 1999? Atau dapatkah
dikatakan telah terjadi pertumbuhan output sebesar 20% per tahun? Dalam hal ini, kita
harus berhati-hati! Nilai PDB yang lebih besar tidaklah berarti jumlah output otomatis
lebih besar. Perekonomian 2000 dikatakan lebih baik dibanding perekonomian 1999, bila
jumlah output yang dihasilkan di tahun 2000 lebih banyak disbanding tahun 1999.
Andaikan harga sepotong baju tahun 1999 adalah Rp 80,00, maka jumlah pakaian
yang diproduksi tahun 1999 adalah 1250 unit (Rp 100000,00 : Rp 80,00). Ternyata,
walaupun nilai PDB 2000 lebih besar daripada nilai PDB 1999, namun outputnya lebih
sedikit. Naiknya nilai PDB 2000 disebabkan oleh naiknya harga baju selama tahun 2000
dari RP 80,00 menjadi Rp 120,00 per potong. Kenaikan harga sebesar 50%. Inilah yang
disebut dengan perhitungan PDB berdasarkan harga berlaku. Karene menambahkan laju
inflasi pada tahun tersebut. Sedangkan perhitungan PDB berdasarkan harga konstan
menghilangkan pengaruh inflasi. Dimana, harga konstan yang dimaksud adalah harga
yang dianggap berubah. Untuk memperoleh PDB harga konstan, maka kita harus
menentukan tahun dasar yang merupakan tahun dimana perekonomian berada dalam
2.3.2. Cara Perhitungan PDB.
Rumus umum untuk PDB dengan pendekatan pengeluaran adalah:
PDB = C + I + G + ( X – M )
Dimana, C (konsumsi) adalah pengeluaran yang dilakukan oleh rumah tangga, I
(investasi) oleh sektor usaha, G (government) adalah pengeluaran oleh pemerintah dan
(X-M) melibatkan luar negeri.
Sementara rumus umum dengan pendekatan pendapatan dari faktor produksi:
PDB = sewa + upah + bunga + laba
Dimana, sewa adalah pendapatan pemilik modal dan laba untuk pengusaha. Secara teori,
PDB dengan pendekatan pengeluaran dan pendapatan harus menghasilkan hasil yang
angka sama. Namun, karena dalam praktek menghitung PDB dengan pendekatan
pendapatan sulit dilakukan maka yang sering digunakan adalah pendekatan pengeluaran.
2.3.3. Manfaat dan Keterbatasan Perhitungan PDB.
Perhitungan PDB akan memberikan gambaran ringkas tentang tingkat kemakmuran
suatu negara, dengan cara membaginya dengan jumlah penduduk. Angka tersebut dikenal
dengan PDB perkapita. Biasanya makin tinggi angka PDB perkapita, kemakmuran rakyat
dianggap makin tinggi. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga menggunakan PDB
perkapita untuk menyusun kategori tingkat kemakmuran suatu negara. Berdasarkan
standar tahun 1992, sebuah negara dikatakan miskin bila PDB perkapitanya lebih kecil
daripada US$ 450,00. Berdasarkan standar ini, maka sebagian negara-negara di dunia
perkapitanya lebih besar daripada US$ 8000,00. Jika menggunakan standar ini, hanya
sebagian kecil negara-negara di dunia ini yang dianggap kaya.
Perhitungan PDB ataupun PDB perkapita juga dapat digunakan untuk menganalisis
tingkat kesejahteraan sosial masyarakat. Umumnya ukuran tingkat kesejahteraan yang
dipakai adalah tingkat pendidikan, kesehatan dan gizi, kebebasan memilih pekerjaan dan
jaminan masa depan yang lebih baik. Ada hubungan yang positif antara PDB perkapita
dengan kesejahteraan sosial. Makin tinggi PDB perkapita maka kesejahteraan sosial
makin membaik. Jika PDB perkapita makin tinggi, maka daya beli masyarakat,
kesempatan kerja serta masa depan perekonomian makin membaik, sehingga gizi,
kesehatan, pendidikan dan kebebasan memilih pekerjaan dan masa depan kondisinya
akan semakin meningkat, apabila disertai dengan pemerataan distribusi pendapatan.
Namun dalam perhitungan PDB maupun PDB perkapita juga terdapat kelemahan
yang tidak dapat menjamin seratus persen kebenarannya dalam realita. Kelemahan
tersebut adalah:
1. PDB kurang memberikan gambaran yang lebih rinci tentang kondisi kemakmuran
suatu negara dan tidak terlalu memperhatikan aspek distribusi pendapatan.
Misalnya, walaupun perekonomian Amerika Serikat salah satu negara termakmur
di dunia dengan PDB (tahun 1997) sebesar US$ 29.080,00 (64 kali lebih tinggi
dari batas ukuran miskin), namun negara tersebut masih bergelut dalam masalah
kemiskinan dan pengangguran. Faktor utama yang memicu masalah tersebut
adalah distribusi pendapatan. Pada tahun 1996 sekitar 46% aset finansial dikuasai
oleh sekitar 1% penduduk. Karena untuk faktor produksi nontenaga kerja,
2. Masalah mendasar perhitungan PDB adalah tidak diperhatikannya dimensi non
material. Sebab PDB hanya menghitung output yang dianggap memenuhi
kebutuhan fisik/materi yang dapat diukur dengan uang. PDB tidak menghitung
output yang tidak terukur dengan uang, misalnya ketenangan batin yang diperoleh
dengan menyandarkan hidup pada norma-norma agama/spiritual.
3. PDB Indonesia, pada khususnya, yang dicatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS)
hanya mencatat kegiatan-kegiatan ekonomi formal. Karena itu, statistik PDB
belum mencerminkan seluruh kegiatan perekonomian suatu negara. Misalnya
sektor informal, seperti upah pembantu rumah tangga, kegiatan petani buah yang
langsung menjual produknya ke pasar.
2.3.5 Teori Pertumbuhan Ekonomi Modern oleh W.W Rostow
Tahap-tahap pertumbuhan ekonomi menurut Profesor W.W Rostow merupakan tahap
pertumbuhan ekonomi yang memakai pendekatan sejarah dalam menjelaskan proses
perkembangan ekonomi. Ia membedakan adanya lima tahap pertumbuhan ekonomi,
yaitu:
1. Masyarakat tradisional.
Pada masa ini, umumnya, banyak tanah dapat digarap, skala dan pola
perdagangan dapat diperluas, manufaktur dapat dibangun dan produktivitas
pertanian dapat ditingkatkan sejalan dengan peningkatan penduduk dan
pendapatan nyata. Tetapi fakta menunjukkan bahwa keinginan untuk
menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi modern secara teratur dan
perkapita yang dapat dicapai. Bukan karena tidak adanya daya cipta dan
pemabaharuan, namun karena tidak adanya saranan dan pandangan terhadap hal
tersebut. Struktur sosial masyarakat seperti itu bersifat jenjang, hubungan darah
dan keluarga memainkan peranan yang menentukan., kekuasaan politik terpusat
di daerah, di tangan bangsawan pemilik tanah yang didukung oleh sekelompok
serdadu dan pegawai negeri. Lebih dari 75% penduduk bergerak di bidang
pertanian. Pertanian biasanya menjadi sumber utama pendapatan negara dan
bangsawan, yang kemudian dihamburkan untuk pembanguan candi atau
monumen lain serta pesta penguburan atau perkawinan atau untuk perang.
2. Prasyarat untuk tinggal landas.
Tahap kedua ini merupakan masa transisi dimana prasyarat-prasyarat
pertumbuhan swadaya dibangun atau diciptakan dan secara perlahan diciptakan.
Prasyarat tinggal landas didorong atau didahului oleh empat kekuatan yaitu
renesans/era pencerahan, kerajaan baru, dunia baru dan agama baru/reformasi.
Kekuatan ini menempatkan “penalaran” (reasoning), dan “ketidakpercayaan”
(scepticism) sebagai pengganti “kepercayaan” (faith) dan “kewenangan”
(authority), mengakhiri feodalisme dan membawa ke kebangkitan negara
kebangsaan, menanamkan semangat pengembaraan yang menghasilkan berbagai
penemuan baru dan pembaharuan serta timbulnya kaum borjuasi-golongan elit- di
kota-kota dagang baru. Kekuatan ini bersifat instrumental di dalam melahirkan
perubahan sikap, harapan, struktur dan nilai-nilai social. Singkatnya,
prasyarat-prasyarat tersebut muncul tidak dari dalam tapi merupakan desakan dari luar.
Manusia –manusia baru yang mau bekerja keras muncul memasuki sektor
ekonomi swasta atau pemerintah atau kedua-duanya, manusia baru yang bersedia
menggalakkan tabungan dan mengambil resiko dalam mengejar keuntungan
modernisasi. Investasi meningkat di bidang perhubungan, pengankutan dan di
bidang bahan mentah yang mempunyai daya tarik bagi negara lain sehingga
jangkauan ke dalam dan keluar negeri meluas. Dimana-dimana muncul
perusahaan manufaktur yang menggunakan metode baru. Hal-hal ini dipengaruhi
moleh perluasan modal, revolusi teknologi di bidang pertanian dan perluasan
impor (termasuk impor modal yang dibiayai oleh produksi yang efisien dan
pemasaran sumber alam untuk ekspor). Peranan faktor sosial dan politik berfungsi
sebagai kekutan potensial dalam melakukan masa transisi tersebut.
3. Tinggal landas.
Tahap tinggal landas merupakan titik yang menentukan di dalam kehidupan suatu
masyrakat. Rostow juga mendefinisikan tinggal landas sebagai revolusi industri
yang bertalian secara langsung dengan perubahan radikal di dalam metode
produksi yang dalam jangka waktu singkat menimbulkan konsekuensi yang
menentukan periode tinggal landas diduga tidak memakan waktu yang lama,
kira-kira hanya dua dasawarsa. Syarat tinggal landas adalah:
a. kenaikan laju investasi produktif, misalnya 5-10% dari pendapatan
nasional/produk nasional neto.
b. Perkembangan salah satu atau beberapa sector manufaktur penting dengan
c. Hadirnya secara cepat kerangka politik, sosial, dan organisasi yang
menampung hasrat ekspansi di sektor modern tersebut dan memberikan
daya dorong pertumbuhan.
Syarat lain tinggal landas adalah perkembangan salah satu atau bebrapa sektor
penting dalam perekonomian. Rostow menganggap perkembangan sektor penting
itu sebagai “tulang punggung analitis” dari tahap pertumbuhan ekonomi tersebut.
Biasanya ada tiga sektor di dalam suatu perekonomian, yaitu:
a. Sektor pertanian primer : kemungkinan inovasi atau menggarap sumber
baru atau yang belum tergarap menghasilkan laju pertumbuhan yang lebih
tinggi daripada sektor ekonomi lainnya.
b. Sektor pertanian suplementer : pertumbuhan pesat terjadi sebagai
konsekuensi perkembangan sektor pertanian primer tersebut.
Pembangunan kereta api, misalnya adalah suatu sektor pertumbuhan
primer dan perluasan industri di bidang besi, batu bara dan baja dapat
dianggap sebagai sektor suplementer.
c. Sektor pertanian turunan : pertumbuhan terjadi dalam kaitan yang agak
tetap dengan pertumbuhan di bidang pendapatan nasional, penduduk,
produksi industri atau beberapa variabel lain yang secara keseluruhan
meningkat agak cepat.
4. Dorongan menuju kedewasaan.
Rostow mendefinisikan sebagai tahap ketika masyarakat telah dengan efektif
menerapkan serentetan teknologi modern terhadap keseluruhan sumber daya
merentang melebihi masa empat dasawarsa. Teknik produksi baru menggantikan
teknik yang lama. Berbagai sector penting baru tercipta, tingkat investasi neto
lebih dari 10% pendapatan nasional dan perekonomian mampu menahan segala
goncangan yang tak terduga. Pada waktu suatu negara berada dalam tahap
kedewasaan teknologi ada tiga perubahan penting terjadi, yaitu:
a. Sifat tenaga kerja berubah. Ia berubah menjadi terdidik, orang lebih suka
tinggal/hidup di kota daripada didesa, upah nyata mulai meningkat dan
para pekerja mengorganisasikan diri untuk mendapatkan jaminan sosial
dan ekonomi yang lebih besar.
b. Watak para pengusaha berubah. Pekerja kasar berubah menjadi manajer
efisien yang halus dan sopan.
c. Masyarakat merasa bosan pada kewajiban internasioanl dan
menginginkan sesuatu yang baru menuju perubahan yang lebih jauh.
5. Era konsumsi tinggi.
Abad konsumsi massa besar-besaran ditandai dengan migrasi ke pinggiran kota,
pemakaian mobil secara meluas, barang konsumsi dan peralatan rumah tangga
yang tahan lama. Pada tahap ini, keseimbangan perhatian masyarakat beralih dari
penawaran kepada permintaan, dari persoalan produksi kepada persoalan
konsumsi dan kesajahetraan dalam arti luas. Tetapi ada tiga kekuatan yang
nampak cenderung meningkatkan kesejafteraan di dalam tahap purna-dewasa ini,
yaitu:
a. Penerapan kebijaksanaan nasional guna meningkatkan kekuasaan dan
b. Ingin memiliki satu negara dengan kesejahteraan dengan pemerataan
pendapatan nasional yang lebih adil melalui pajak progresif, peningkatan
jaminan sosial dan fasilitas hiburan bagi para pekerja.
c. Keputusan untuk membangun pusat perdagangan dan sektor penting
seperti mobil, rumah murah dan berbagai peralatan rumah tangga yang
menggunakan listrik dan sebagainya.
Kecenderungan kepada konsumsi besar-besaran, barang yang tahan lama,
ketiadaan pengangguran dan peningkatan kesadaran akan jaminan sosial
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan langkah dan prosedur yang akan dilakukan dalam
pengumpulan data atau informasi empiris guna memecahkan permasalahan dan menguji
hipotesis penelitian.
3.1 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini memfokuskan kajian pada tiga variabel utama yaitu kurs valas, laju
inflasi dan pendapatan perkapita.
3.2 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dikumpulkan dan digunakan serta diolah dalam rangka penulisan
skripsi ini ialah data sekunder. Data sekunder diperoleh dalam bentuk Time Series dalam
kurun waktu tahunan. Sumber data adalah data dari Biro Pusat Statistik (BPS) kota
Medan, Bank Indonesia (BI) Kota Medan. Di samping itu, data lainnya yang mendukung
penelitian ini diperoleh dari sumber bacaan seperti, buletin penelitian, jurnal, majalah,
dan buku bacaan.
3.3Pengolahan Data
Penulis menggunakan program komputer E-Views 4.1 untuk mengolah data
3.4 Model Analisis Data
Model analisis yang digunakan dalam menganalisa data adalah fungsi linier
berganda, dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) untuk
meregresikan variabel - variabel yang ada. Fungsi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
Y = f (X1,X2)
Kemudian dari fungsi tersebut ditransformasikan ke dalam model persamaan
regresi linear dengan spesifikasi model, yakni:
Y= α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + µ
Bentuk Hipotesisnya secara matematis adalah sebagai berikut :
artinya jika terjadi kenaikan pada X1 (valas/dollar AS), maka Y (barang
, 2
Ο 〈 Χ
∂∂Υ artinya jika terjadi kenaikan pada X2 (PDB) maka Y (barang konsumsi
impor) mengalami kenaikan, ceteris paribus.
3.5. Test of goodness of fit (Uji Kesesuaian)
3.5.1. Koefisien Determinan (R2)
Koefisien Determinasi dilakukan untuk melihat seberapa besar variabel-variabel
independen secara bersama mampu memberi penjelasan mengenai variabel dependen.
Nilai R2 digunakan antara 0 sampai 1 (0<R2<1).
3.5.2. Uji t-Statistik
Uji t merupakan suatu pengujian yang bertujuan untuk mengetahui apakah
masing-masing koefisien regresi signifikan atau tidak terhadap variabel dependen.
Dengan menganggap variabel independen lainnya konstan. Dalam uji ini digunakan
hipotesis sebagai berikut:
Ho : bi = b
Ha : bi ≠ b
Dimana bi adalah koefisien variabel independen pertama nilai parameter
hipotesis, biasanya b dianggap = 0. Artinya tidak ada pengaruh variabel Xi terhadap Y.
Bila nilai t-hitung > t-tabel maka pada tingkat kepercayaan tertentu ho ditolak. Hal ini
berarti bahwa variabel independen yang diuji berpengaruh secara nyata (signifikan)
terhadap variabel dependen. Nilai t-hitung diperoleh dengan rumus:
t-hitung =
(bi-b)
Dimana:
bi : koefisien variabel independen ke-i
b : Nilai hipotesis nol
Sbi : Simpangan baku dari variabel independen ke-i
Kriteria Pengambilan Keputusan :
H0 : β = 0 H0 diterima (t*< t tabel) artinya variabel independen secara
parsial tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.
Ha : β≠ 0 Ha diterima (t*> t tabel) artinya variabel independen secara parsial berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.
H0
Kurva Uji t statistic
3.5.3. Uji F-Statistik
Uji F digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel independen
secara bersama-sama (serempak) terhadap variabel dependen.
Rumus untuk mencari F hitung (F*) adalah:
Ho ; b1 = b2 =b3………...= bk = 0 (tidak ada pengaruh)
Ho ; bi =
Nilai F-hitung diperoleh dengan rumus:
F-hitung = R2/(k-1)
(1-R2)/(n-k)
Dimana:
R2 = koefisien determinasi
K = jumlah variabel independen
N = jumlah sample
Kriteria pengambilan keputusan :
H0: β1 = β2 = β3 = 0
Ho diterima (F*< F tabel), artinya variabel independen secara bersama-sama
tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.
Ha: β1 ≠ β2≠ β3≠ 0 Ha Diterima (F*> F tabel
H
), artinya variabel independen secara bersama-sama
berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.
0 diterima
Ha
Gambar 3.2
Kurva Uji F statistic
diterima