SKRIPSI
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPOR BARANG DI SUMATERA UTARA
OLEH
KRISTINA PITURIA BUTAR-BUTAR 080501033
PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
ABSTRAK
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPOR BARANG DI SUMATERA UTARA
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh kurs valuta asing, Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), dan jumlah penduduk terhadap impor barang di Sumatera Utara. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kurs valuta asing, Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), dan jumlah penduduk terhadap impor barang di Sumatera Utara.
Hipotesis dalam penelitian ini adalah kurs valuta asing berpengaruh negatif terhadap impor barang di Sumatera Utara, sedangkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap impor barang di Sumatera Utara.
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mengambil data yang dipublikasikan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara dan Bank Indonesia (BI) Kota Medan. Metode analisis yang digunakan adalah Ordinary Least Square (OLS).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel kurs, PDRB, dan jumlah penduduk dapat menjelaskan variabel impor barang sebesar 95,55%. Sedangkan 4,45% dapat dijelaskan oleh variabel lainnya. Kurs valuta asing berpengaruh negatif terhadap impor barang di Sumatera Utara, sedangkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap impor barang di Sumatera Utara.
Berdasarkan uji asumsi klasik ditemukan multikolinearitas, dan diobati dengan mengeluarkan variabel jumlah penduduk.
ABSTRACK
ANALYSIS OF FACTORS AFFECTING IMPORTS OF GOODS IN NORTH SUMATRA
Formulation of the problem in this study is how the influence of foreign exchange rates, Gross Regional Domestic (GDP), and the population against the importation of goods in North Sumatra. The purpose of this study was to determine the effect of foreign exchange rates, Gross Regional Domestic, and the population against the importation of goods in North Sumatra.
The hypothesis in this study is the foreign exchange rates negatively affect the import of goods in North Sumatra, while the Gross Regional Domestic Product and population of a positive effect on imports of goods in North Sumatra.
Secondary data collection is done by taking the data published by the Central Bureau of Statistics (BPS) of North Sumatra and Bank Indonesia (BI) of Medan. The analytical method used was Ordinary Least Square (OLS).
The results showed that the variable rate, Gross Regional Domestic Product, and population variables can explain 95.55% of imported goods. While 4.45% may be explained by other variables. Foreign exchange rates negatively affect the import of goods in North Sumatra, while the Gross Regional Domestic Product (GDP) and population of a positive effect on imports of goods in North Sumatra.
Under the assumptions of classical test of multicollinearity was found, and were treated by issuing a variable number of people.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas
rahmat dan anugerah yang Ia berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan baik. Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai
salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana ekonomi Departemen Ekonomi
Pembangunan pada Universitas Sumatera Utara.
Skripsi ini berjudul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Impor
Barang di Sumatera Utara”. Penulis telah banyak menerima arahan, bimbingan,
saran, motivasi, dan doa yang sangat membangun dari berbagai pihak selama
penulisan skripsi ini. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan
terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan dan
semangat, yaitu kepada:
1. Orang tua tercinta penulis, Pdt. A. Butar-butar, STh. dan Pdt. Y. Lai, STh.,
juga ketiga saudari penulis, Siska, Trifena, dan Magdalena yang selalu
memberikan motivasi dan doa dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec., selaku Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec., selaku Ketua Departemen S1
Ekonomi Pembangunan dan Bapak Drs. Syahrir Hakim Nasution, M.Si.,
selaku sekretaris Departemen S1 Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi
Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, Ph.D., selaku Ketua Program Studi S1
Program Studi S1 Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas
Sumatera Utara.
5. Bapak Drs. Rahmad Sumanjaya Hasibuan, M.Si., selaku dosen pembimbing
yang telah memberikan banyak masukan dan penjelasan dalam penyelesaian
skripsi ini.
6. Serta seluruh rekan-rekan seperjuangan di Departemen Ekonomi
Pembangunan 2008 yang senantiasa memberikan semangat dan dukungan
kepada penulis.
Penulis sangat mengharapkan skripsi ini memberikan banyak manfaat bagi
para pembaca. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis perlukan, sehingga
untuk penulisan karya-karya ilmiah yang akan datang dapat menjadi lebih baik
lagi.
Medan, 05 Juni 2012
Penulis
DAFTAR ISI
2.1.2.1 Keuntungan Absolut (Absolute Advantage) - Adam Smith ... 11
2.1.2.2 Keuntungan Komparatif (Comparative Advantage) –David Ricardo & J.S Mill .. 13
2.1.3 Teori Modern Perdagangan Internasional – Heckscher-Ohlin ... 18
2.2 Impor ... 23
2.2.1 Komposisi Impor Barang ... 23
2.2.2 Kebijakan Impor ... 24
2.3 Kurs atau Nilai Tukar (Exchange rate) ... 27
2.3.1 Faktor-faktor yang Menentukan Nilai Tukar ... 28
3.5.3 Uji t-Statistik (Uji Parsial) ... 44
4.1 Gambaran Umum Provinsi Sumatera Utara ... 50
4.1.1 Letak Geografis ... 50
4.1.2 Topografi ... 50
4.1.3 Iklim ... 51
4.1.4 Batas Administrasi ... 52
4.1.5 Demografis ... 52
4.2 Gambaran Laju Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara .... 52
4.3 Gambaran Perdagangan Luar Negeri Sumatera Utara ... 53
4.4 Perkembangan Volume Impor Barang Sumatera Utara ... 55
4.5 Perkembangan Kurs atau Nilai Tukar Dollar AS (USD) terhadap Rupiah ... 57
4.6 Perkembangan PDRB Sumatera Utara ... 61
4.7 Perkembangan Jumlah Penduduk Sumatera Utara ... 63
DAFTAR TABEL
No. Tabel Judul Halaman
2.1 Pengunaan tenaga kerja (orang) untuk menghasilkan per unit
output dalam satuan waktu ... 12 2.2 Penggunaan tenaga kerja (orang) untuk menghasilkan
satuan unit output per satuan waktu ... 14 4.1 Perkembangan Perdagangan Luar Negeri Sumatera Utara
tahun 1996 – 2010 ... 54 4.2 Perkembangan Volume Impor Barang di Sumatera Utara
Periode 1986 – 2010 ... 56 4.3 Perkembangan Kurs Dollar AS terhadap Rupiah Periode
1986 – 2010 ... 60 4.4 Perkembangan PDRB Sumatera Utara Periode 1986 – 2010 .... 62 4.5 Perkembangan Jumlah Penduduk Sumatera Utara Periode
DAFTAR GAMBAR
No. Gambar Judul Halaman
1.1 Grafik Perkembangan Ekspor Impor Indonesia tahun
1970 – 2000 ... 3
1.2 Grafik Volume Ekspor Impor Indonesia tahun 1990 – 2011 ... 4
2.1 Evolusi dari Perkembangan Teori-teori Perdagangan Internasional ... 8
2.2 Edgeworth Box ... 21
2.3 Kurva Dua Kemungkinan Produksi ... 23
2.4 Overvaluation dan Undervaluation ... 30
2.5 Kerangka Konseptual ... 38
3.1 Kurva Uji F-statistik ... 44
3.2 Kurva Uji t-statistik ... 45
3.3 Kurva Durbin Watson ... 48
4.1 Kurva Uji F statistik ... 68
4.2 Kurva Uji t-statistik variabel kurs ... 69
4.3 Kurva Uji t-statistik variabel PDRB ... 71
4.4 Kurva Uji t-statistik variabel jumlah penduduk ... 72
4.5 Hasil Uji Normalitas ... 73
DAFTAR LAMPIRAN
No. Lampiran Judul Halaman
ABSTRAK
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPOR BARANG DI SUMATERA UTARA
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh kurs valuta asing, Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), dan jumlah penduduk terhadap impor barang di Sumatera Utara. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kurs valuta asing, Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), dan jumlah penduduk terhadap impor barang di Sumatera Utara.
Hipotesis dalam penelitian ini adalah kurs valuta asing berpengaruh negatif terhadap impor barang di Sumatera Utara, sedangkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap impor barang di Sumatera Utara.
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mengambil data yang dipublikasikan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara dan Bank Indonesia (BI) Kota Medan. Metode analisis yang digunakan adalah Ordinary Least Square (OLS).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel kurs, PDRB, dan jumlah penduduk dapat menjelaskan variabel impor barang sebesar 95,55%. Sedangkan 4,45% dapat dijelaskan oleh variabel lainnya. Kurs valuta asing berpengaruh negatif terhadap impor barang di Sumatera Utara, sedangkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap impor barang di Sumatera Utara.
Berdasarkan uji asumsi klasik ditemukan multikolinearitas, dan diobati dengan mengeluarkan variabel jumlah penduduk.
ABSTRACK
ANALYSIS OF FACTORS AFFECTING IMPORTS OF GOODS IN NORTH SUMATRA
Formulation of the problem in this study is how the influence of foreign exchange rates, Gross Regional Domestic (GDP), and the population against the importation of goods in North Sumatra. The purpose of this study was to determine the effect of foreign exchange rates, Gross Regional Domestic, and the population against the importation of goods in North Sumatra.
The hypothesis in this study is the foreign exchange rates negatively affect the import of goods in North Sumatra, while the Gross Regional Domestic Product and population of a positive effect on imports of goods in North Sumatra.
Secondary data collection is done by taking the data published by the Central Bureau of Statistics (BPS) of North Sumatra and Bank Indonesia (BI) of Medan. The analytical method used was Ordinary Least Square (OLS).
The results showed that the variable rate, Gross Regional Domestic Product, and population variables can explain 95.55% of imported goods. While 4.45% may be explained by other variables. Foreign exchange rates negatively affect the import of goods in North Sumatra, while the Gross Regional Domestic Product (GDP) and population of a positive effect on imports of goods in North Sumatra.
Under the assumptions of classical test of multicollinearity was found, and were treated by issuing a variable number of people.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perdagangan internasional merupakan salah satu bentuk kegiatan ekonomi
bilateral maupun multilateral, di mana sebuah negara mengekspor (menjual)
barang dan jasa ke negara lain, demikian juga dengan negara lain yang
mengimpor (menerima) barang dan jasa. Kegiatan ekspor impor ini dilakukan
untuk memperoleh keuntungan dari mengekspor dan mengimpor.
Jika sebuah negara mendapat keuntungan yang lebih besar pada barang
dan jasa tertentu dengan cara mengekspor, maka negara tersebut akan melakukan
ekspor untuk barang dan jasa tertentu, demikian juga sebaliknya, jika sebuah
negara mendapat keuntungan yang lebih banyak dengan mengimpor, maka negara
tersebut akan berusaha untuk tidak melakukan ekspor pada barang dan jasa
tertentu.
Suatu negara melakukan kegiatan perdagangan internasional, yaitu ekspor
barang dan jasa pada bidang-bidang yang memiliki keuntungan absolut, maupun
yang memiliki keuntungan komparatif yang relatif efisien; serta melakukan impor
barang dan jasa terhadap bidang-bidang yang relatif tidak efisien dalam proses
produksinya.
Menurut Halwani (2005), sebab-sebab umum yang mendorong terjadinya
perdagangan internasional adalah: (1) Sumber daya alam (natural resources), (2)
Sumber daya modal (capital resources), (3) Tenaga kerja (human resources), dan
Oleh karena itu, adanya perbedaan di antara ke empat poin yang
disebutkan di atas membuat negara-negara satu dengan yang lainnya di dunia
melakukan perdagangan ekspor dan impor dengan tetap mencari keuntungan dari
hasil perdagangan yang diperoleh.
Perbedaan-perbedaan itu menimbulkan pula perbedaan barang yang
dihasilkan, biaya yang diperlukan, serta mutu dan kuantumnya. Karena itu mudah
dipahami adanya negara yang lebih unggul dan lebih istimewa dalam
memproduksi hasil tertentu. (Amir, 2000).
Perkembangan kerjasama internasional antarnegara di dunia dalam bidang
perdagangan dapat dilihat dari abad dua puluh yang dibagi menjadi dua periode
yang jelas. Tahun 1914 – 1945 ditandai dengan persaingan yang tidak sehat,
perdagangan internasional yang tidak berkembang, keuangan yang semakin
terisolasi, perang militer yang terbuka, dan depresi ekonomi. Setelah berakhirnya
perang dunia II, sebagian besar warga dunia menikmati berkembangnya
kerjasama ekonomi, luasnya hubungan perdagangan, semakin banyaknya pasar
uang yang terintegrasi, berkembangnya demokrasi, dan pesatnya pertumbuhan
ekonomi.
Integrasi perdagangan antarnegara meningkat pesat terutama pada tahun
1970-an, pada saat banyak negara mulai menerapkan sistem ekonomi terbuka
yaitu perekonomian yang terkait dengan perdagangan internasional (atau era
keterbukaan global), dan setelah itu mengalami sedikit penurunan pada
pertengahan decade 80-an dan suatu akselerasi di tahun 90-an (Krugman, 1995;
Sulit bagi suatu negara untuk memenuhi kebutuhan sendiri tanpa adanya
kerjasama dengan negara lain, dan hal ini didukung pula dengan kemajuan
teknologi yang sangat pesat, distribusi barang dan jasa semakin lancar, serta
perkembangan spesialisasi produksi komoditi yang menjadi semakin luas.
Demikian halnya dengan Indonesia yang harus melakukan kegiatan
perdagangan ekspor impor dalam memenuhi kebutuhan akan barang-barang di
dalam negeri.
Grafik di bawah ini menggambarkan perkembangan nilai ekspor dan
impor Indonesia dalam dollar.
Sumber: Information Blog, 2010
Sumber: Wikipedia, 2012
Gambar 1.2 Grafik Volume Ekspor Impor Indonesia tahun 1990 – 2011 Arus globalisasi yang pada akhir-akhir ini terus mengalami peningkatan,
khususnya dalam bidang ekonomi yang menyebabkan tiap-tiap negara di hampir
seluruh penjuru dunia melakukan kegiatan ekspor impor untuk keperluan pasokan
barang dan jasa dalam negeri. Setiap negara yang terlibat dalam perdagangan
internasional berusaha keras untuk menciptakan produk-produk yang dapat
bersaing dengan negara lain dan hal ini mendorong ekspor di negara itu. Sumber
daya alam dan sumber daya manusia diberdayakan secara penuh untuk menunjang
perdagangan internasional dalam era globalisasi ini. Negara satu dengan yang lain
memiliki rasa saling ketergantungan akibat globalisasi yang mendorong
pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan
multinasional, dan adanya semacam dominasi organisasi seperti WTO (World
Trade Organization).
Negara-negara yang hasil produksi dalam negerinya tidak mampu bersaing
terjangkau, sudah tentu melakukan impor, karena permintaan lokal/domestik
terhadap produk luar yang sangat tinggi.
Di negara Indonesia sendiri, kurang efisiennya perusahaan-perusahaan
local/domestik dalam memproduksi barang-barang komoditi permintaan
masyarakat menimbulkan tingginya permintaan konsumen Indonesia terhadap
barang-barang impor dibanding dengan hasil produksi local itu sendiri. Sebagai
contoh adalah mesin-mesin pabrik, barang-barang elektronik seperti komputer,
laptop, televisi, lemari es, dan sebagainya, kendaraan bermotor seperti mobil,
sepeda motor, truk, dan alat pengangkut berat, peralatan komunikasi seperti
handphone, fax-mail, dan lain sebagainya, yang berasal dari luar negeri lebih
diminati daripada produksi lokal.
Hasil produksi negara Indonesia untuk beberapa barang di atas belum
mampu bersaing dengan negara luar sehingga Indonesia harus mengimpor dari
luar akibat perusahaan yang memproduksi sebagian dari produk-produk tersebut
kurang efisien, ditambah lagi dengan permintaan konsumen yang sangat tinggi.
Kegiatan impor dalam perdagangan internasional di Sumatera Utara
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan barang komoditi yang
produksi domestiknya tidak mencukupi bagi kebutuhan masyarakat Sumatera
Utara dan karena pemenuhan semua kebutuhan local yang tidak bisa dihasilkan
sendiri, atau jika dapat dihasilkan sendiri mungkin tidak efisien atau memerlukan
Beberapa factor yang menjadi penentu bagi impor barang di Sumatera
Utara antara lain adalah nilai tukar (exchange rate), Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB), serta jumlah penduduk Sumatera Utara.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi impor
barang di Sumatera Utara”.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, dapat dirumuskan bahwa masalah
penelitian adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh kurs valuta asing terhadap impor barang di Sumatera
Utara?
2. Bagaimana pengaruh PDRB Sumatera Utara terhadap impor barang di
Sumatera Utara?
3. Bagaimana pengaruh jumlah penduduk Sumatera Utara terhadap impor barang
di Sumatera Utara?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian:
1. Untuk mengetahui pengaruh nilai kurs atau nilai tukar rupiah terhadap dollar
AS terhadap impor barang.
2. Untuk mengetahui pengaruh PDRB Sumut terhadap impor barang.
Manfaat Penelitian
1. Untuk memperluas wawasan ilmiah penulis mengenai bidang yang diteliti.
2. Sebagai bahan masukan kepada Dinas Perindustrian dan Perdagangan bagi
kebijakan perdagangan ekspor-impor, khususnya dalam bidang impor di
Sumatera Utara.
3. Sebagai tambahan informasi bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Perdagangan Internasional
Sumber: Tulus, 2004
Gambar 2.1
Evolusi dari Perkembangan Teori-teori Perdagangan Internasional Adam Smith: Keunggulan Absolut (1776)
David Ricardo: Keunggulan Komparatif (1817)
Heckscher-Ohlin: Teori Proporsi Faktor
Linder: Kemiripan Negara (1961)
Raymond Vernon: Teori Siklus Produk (1966)
Grubel & Lloyd: Teori Perdagangan Intra (1975)
Krugman & Lancaster: Skala Ekonomis (1979)
Berdasarkan kamus bahasa Indonesia, perdagangan internasional adalah:
Suatu kegiatan jual beli guna memperoleh keuntungan (perdagangan) yang
dilakukan dengan melibatkan unsur-unsur dua negara atau lebih (internasional).
Kalau diperluas makna memperoleh keuntungannya tidak melulu keuntungan
secara finansial tetapi bisa juga keuntungan non finansial seperti untuk
kepentingan promosi, persaingan usaha dan keuntungan strategis lainnya.
Secara teoritis, perdagangan internasional terjadi karena dua alasan utama.
Pertama, negara-negara berdagang karena pada dasarnya mereka berbeda satu
sama lain. Setiap negara dapat memperoleh keuntungan dengan melakukan
sesuatu yang relatif lebih baik. Kedua, negara-negara melakukan perdagangan
dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomi (economies of scale) dalam
produksi. Maksudnya, jika setiap negara hanya memproduksi sejumlah barang
tertentu, mereka dapat menghasilkan barang-barang tersebut dengan skala yang
lebih besar dan karenanya lebih efisien jika dibandingkan kalau negara tersebut
memproduksi segala jenis barang. Pola-pola perdagangan dunia yang terjadi
mencerminkan perpaduan kedua motif ini.
2.1.1 Konsep Pra Klasik (Merkantilisme)
Merkantilisme merupakan suatu kelompok aturan yang merupakan
pencerminan cita-cita atau ideologi kapitalisme komersial. Kebijakan ekonomi
merkantilisme pernah dianjurkan dan dipraktikkan oleh sekelompok
negarawan-negarawan Eropa pada abad keenambelas sampai pertengahan abad
nasional yang kuat dan pemupukan kemakmuran nasional untuk mempertahankan
dan mengembangkan kekuatan negara itu.
Dalam sektor perdagangan luar negeri, kebijakan merkantilis berpusat
pada dua ide pokok, yaitu:
1. Pemupukan logam mulia. Logam mulia dianggap identik dengan
kemakmuran. Pemilikan logam mulia berarti kemakmuran dan juga
kekuasaan. Merkantilisme juga menganjurkan akumulasi emas, karena emas
dianggap sebagai kekayaan negara yang sebenarnya. Pada tingkat analisa yang
lebih canggih, ada alsan-alasan yang lebih rasional. Dengan emas, raja dapat
melengkapi serdadu-serdadu, membeli persediaan-persediaan dan
mempertahankan angkatan laut yang diperlukan untuk mengkonsolidasikan
kekuasaannya dan memperoleh koloni-koloni. Lebih banyak emas berarti
lebih banyak mata uang emas dalam sirkulasi dan lebih besar aktivitas
perekonomian. Untuk mengakumulasikan emas, negara harus mendorong
ekspornya dan membatasi/melarang impor, dengan demikian merangsang
produksi nasional dan memperluas lapangan kerja.
2. Mempertahankan kelebihan nilai ekspor atas nilai impor. Bagi negara-negara
yang tidak memiliki tambang-tambang logam mulia sendiri, sumber logam
mulia adalah kelebihan nilai ekspor atas nilai impor. Karena itu suatu negara
wajib berusaha untuk memperoleh suatu neraca perdagangan yang
menguntungkan (favourable balance of trade). Untuk memperoleh neraca
harus dibatasi. Ekspor logam mulia harus dilarang, karena tujuan utama
perdagangan luar negeri ini adalah untuk memperoleh tambahan logam mulia.
Dengan demikian para merkantilis berpendapat bahwa pemerintah
seharusnya merangsang setiap ekspor dan membatasi impor. Karena tidak semua
negara dapat mempunyai surplus ekspor dalam waktu yang bersamaan dan jumlah
emas yang ada pada suatu tempat adalah tetap, maka suatu negara hanya dapat
memperoleh keuntungan atas pengorbanan negara-negara lain.
2.1.2 Teori Klasik
2.1.2.1 Keuntungan Absolut (Absolute Advantage)– Adam Smith
Pada akhir abad kedelapanbelas berbagai ide baru bermunculan dan
berkembang. Teori klasik dalam perdagangan internasional dimulai dengan kritik
Adam Smith terhadap kebijaksanaan ekonomi yang dilaksanakan oleh golongan
merkantilis.
Adam Smith mengemukakan adanya pembatasan kerja secara territorial
(territorial division of labour) yang menjurus kepada spesialisasi, dan hal ini
membawa pengaruh besar bagi perluasan pasar barang-barang negara tersebut
serta akibatnya yang berupa spesialisasi internasional. Spesialisasi internasional
dapat memberikan hasil berupa manfaat perdagangan (gains from trade) yang
dapat timbul berupa kenaikan produksi serta konsumsi barang dan jasa. Dengan
melakukan spesialisasi internasional, masing-masing negara akan berusaha untuk
menekankan produksinya pada barang-barang tertentu yang sesuai dengan
Keuntungan alamiah (natural advantage) adalah keuntungan yang
diperoleh karena suatu negara memiliki sumber daya alam yang tidak dimiliki
oleh negara lain, baik dalam kualitas maupun kuantitas. Keuntungan yang
diperkembangkan (acquired advantage) adalah keuntungan yang diperoleh karena
suatu negara telah mampu mengembangkan kemampuan dan keterampilan dalam
menghasilkan produk-produk yang diperdagangkan yang belum dimiliki negara
lain.
Singkatnya, masing-masing negara yang melakukan perdagangan
internasional akan didorong untuk melakukan spesialisasi dalam produksi
barang-barang yang mempunyai keuntungan mutlak (absolute advantage).
Keuntungan mutlak diartikan sebagai keuntungan yang dinyatakan dengan
banyaknya jam/hari/kerja yang dibutuhkan untuk membuat barang-barang
tersebut. Keuntungan ini akan diperoleh apabila masing-masing negara mampu
memproduksikan barang-barang tertentu dengan jam/hari/kerja yang lebih sedikit
dibandingkan dengan seandainya barang-barang itu dibuat oleh negara lain.
Adam Smith menyajikan absolute advantage (keunggulan mutlak) dengan
menggunakan ilustrasi secara sederhana sebagai berikut:
Tabel 2.1
Pengunaan tenaga kerja (orang) untuk menghasilkan per unit output dalam satuan waktu
Untuk menciptakan barang X per unit terungkap bahwa Jepang
menggunakan tenaga kerja sebanyak 8 (delapan) orang, lebih sedikit
dibandingkan Indonesia sebanyak 10 (sepuluh) orang tenaga kerja. Dengan
demikian Jepang mempunyai keunggulan mutlak menggunakan tenaga kerja yang
lebih sedikit dibanding Indonesia terhadap barang X.
Sebaliknya untuk untuk barang Y, Indonesia lebih unggul secara mutlak
dari Jepang. Perdagangan internasional antara Indonesia dan Jepang akan
berlangsung dan memberikan keuntungan bagi kedua negara. Berarti pula bahwa
Jepang konsentrasi atau spesialisasi menciptakan barang X dan tentunya terhadap
barang Y. Jepang lebih murah memproduksi barang X sekaligus mengekspornya
ke Indonesia. Sebaliknya, Indonesia lebih murah memproduksi barang Y dan
sekaligus mengekspornya ke Jepang. Hal ini sekaligus member makna bahwa
Jepang mengekspor barang X dan mengimpor barang Y dari Indonesia, begitu pun
Indonesia sendiri akan mengimpor barang X dari Jepang.
Teori Adam Smith mengenai keuntungan absolute tampaknya benar, akan
tetapi hanya menerangkan bagian kecil dari perdagangan internasional. David
Ricardo yang menerangkan bagian terbesar dari perdagangan dunia dengan
hukum keunggulan komparatifnya.
2.1.2.2 Keuntungan Komparatif (Comparative Advantage) – David Ricardo & John Stuart Mill
Sumbangan utama David Ricardo terhadap pemahaman mengenai
perdagangan internasional adalah bahwa menurutnya setiap negara dapat
tidak memiliki atau tidak memiliki keunggulan absolutnya sendiri. Tulisannya di
awal abad-19 menunjukkan gagasan-gagasannya yang sekarang dikenal dengan
sebutan:
Prinsip keunggulan komparatif: yaitu bahwa setiap negara atau bangsa
seperti halnya orang, akan dapat memperoleh hasil dari perdagangannya dengan
mengekspor barang-barang atau jasa yang merupakan keunggulan komparatif
terbesarnya dan mengimpor barang-barang atau jasa yang bukan (kurang)
merupakan keunggulan komparatif.
Kata kunci di sini adalah komparatif, yang artinya relative atau tidak perlu
ada yang dimutlakkan. Bahkan kalau pun ada negara yang lain sangat tidak
produktif, mereka dapat saling menarik keuntungan dari perdagangan di antara
keduanya atau melalui negara ketiga selama keunggulan (ketidakunggulan)
mereka dalam menghasilkan barang atau jasa yang berbeda, itu hanyalah
merupakan perbedaan dalam caranya.
Negara yang kurang efisien akan berspesialisasi dalam produksi ekspor
pada komoditi yang mempunyai kerugian absolute lebih kecil. Dari komoditi
inilah negara tadi mempunyai keunggulan komparatif. Di pihak lain, negara
tersebut sebaiknya mengimpor komoditi yang mempunyai kerugian absolute lebih
besar. Dari komoditi inilah negara tersebut mengalami kerugian komparatif.
Tabel 2.2
Penggunaan tenaga kerja (orang) untuk menghasilkan satuan unit output per satuan waktu
Jepang memiliki keunggulan mutlak pada produksi barang X dan barang
Y, karena untuk kedua komoditas tersebut Jepang lebih sedikit menggunakan
tenaga kerja. Akan tetapi keunggulan mutlak Jepang lebih besar pada barang X
daripada barang Y; terlihat bahwa 2/10 (20 persen) lebih kecil dari ½ (50 persen)
atau kebutuhan tenaga kerja untuk memproduksi barang X di Jepang lebih murah
dibanding produksi barang Y.
Hal ini berarti bahwa Jepang memiliki keunggulan komparatif terhadap
barang X daripada memproduksi barang Y. Sebegitu jauh, sebenarnya Jepang
memiliki keunggulan mutlak atas Indonesia untuk memproduksi barang X dan
barang Y. Untuk memproduksi barang X, Indonesia memerlukan 10/2 dan untuk
barang Y dengan perbandingan 2/1. Menurut David Ricardo perdagangan dapat
terjadi antara Jepang dan Indonesia karena Indonesia memiliki keunggulan
komparatif pada produksi barang Y disebabkan 2/1 atau 2 lebih kecil dari 10/2
atau 5.
Di lain pihak, John Stuart Mill memiliki pendapat mengenai keunggulan
komparatif yaitu:
1. Syarat menurut David Ricardo yang menyatakan bahwa “masing-masing
negara dapat menghasilkan satu satuan barang ekspornya lebih murah dari
pada satu satuan barang yang diimpornya seandainya barang ini hanya
dihasilkan sendiri”, dapat dihilangkan tanpa mengurangi hasil analisisnya.
2. Dasar tukar internasional (Term of Trade) tidak perlu 1:1, tetapi harus terletak
dalam batas-batas yang ditentukan oleh dasar tukar dalam negeri
Teori kaum klasik dalam perdagangan internasional berdasar atas
asumsi-asumsi, sebagai berikut:
1. Dua barang – dua negara. Adam Smith, David Ricardo, dan J.S Smith
menyederhanakan teori keuntungan absolute dan komparatif mereka dengan
menggunakan anggapan ini. Anggapan dua barang dua negara tentunya jaug
dari realistis, namun bukanlah suatu pembahasan yang tidak dapat diperbaiki.
Dengan menggunakan analisa yang lebih kompleks, para ekonomis modern
dapat menghilangkan anggapan ini dan menggantinya dengan n negara, n
barang.
2. Nilai atas dasar tenaga kerja (labor theory of value). Kaum klasik menganggap
bahwa nilai suatu barang tergantung hanya atas jumlah tenaga kerja (dalam
jam/hari kerja) yang dibutuhkan untuk membuat barang itu. Anggapan ini
sudah jelas tidak realistic, David Ricardo juga menyadarinya, tetapi bagi dia,
modal tidaklah memiliki peranan yang penting, lagipula selama modal dan
tenaga kerja dikombinasikan dalam proporsi yang tetap efeknya sama dengan
penggunaan satu factor produksi, dalam hal ini tenaga kerja.
3. Ongkos produksi yang konstan. Ongkos produksi, menurut kaum klasik,
adalah selalu konstan persatuan output, jadi tidak berubah dengan berubahnya
output. Dengan demikian, berapapun sesuatu negara menghasilkan barang X,
ongkos, boleh jadi harga, persatuannya adalah tetap.
4. Ongkos transportasi diabaikan (nol). Ongkos transportasi yang sangat besar
dapat menyebabkan tidak terjadinya perdagangan antarnegara.
antarnegara serta mempersempit jangkauan barang-barang yang
diperdagangkan antarnegara dan memperlebar jangkauan barang-barang yang
dihasilkan dan dijual di pasar dalam negeri.
5. Faktor-faktor produksi dapat bergerak bebas di dalam negeri, tetapi sama
sekali tidak dapat berpindah melalui perbatasan negara. Anggapan ini telah
memaksa kaum klasik untuk menerapkan dua teori yang berlainan untuk pasar
yang berlainan. Untuk pasar dalam negeri, barang yang dipertukarkan
semata-mata atas dasar ongkos produksi/ongkos tenaga kerja dan atas dasar teori
keuntungan/ongkos mutlak, sedangkan untuk perdagangan antarnegara,di
samping ongkos produksi juga masih ditentukan oleh permintaan timbale
balik dan atas dasar teori keuntungan/ongkos komparatif.
6. Persaingan sempurna di pasar barang-barang maupun di pasar factor-faktor
produksi. David Ricardo sebenarnya juga menyadari bahwa persaingan
sempurna di pasar-pasar barang-barang dan factor-faktor produksi tidaklah
benar-benar ada, namun dia mengira bahwa system harga yang berlaku akan
mampu untuk mengatur alokasi barang-barang serta factor-faktor produksi,
sedemikian rupa sehingga factor-faktor produksi itu akan dipakai atas dasar
penggunaanya yang paling baik/paling efisien.
7. Distribusi pendapatan tidak berubah. David Ricardo berpendapat bahwa
perdagangan internasional akan membawa manfaat bagi masing-masing
negara yang ikut berdagang sehingga dengan demikian juga memberikan
8. Perdagangan dilaksanakan atas dasar barter. Bagi ahli ekonomi klasik, uang
hanyalah merupakan cadar yang menutupi hubungan-hubungan ekonomi yang
sebenarnya, walaupun dalam jangka pendek unsure-unsur moneter menduduki
peranan yang sangat penting. Dengan demikian dalam teori perdagangan
internasional, kaum klasik kita dapati dikotomi. Di satu pihak kita dapati
mekanisme penyeimbangan kembali neraca pembayaran yang bersifat dinamis
dan hanya berlaku dalam jangka pendek, dan di lain pihak kita mengenal teori
ongkos komparatif (barter) yang bersifat static dan hanya berlaku dalam
jangka panjang.
9. Tidak ada perubahan teknologi. Dalam pemikiran David Ricardo, ekonomi
dunia adalah statis. Sekali suatu negara mengetahui di mana letak barangnya
yang memiliki ongkos komparatif, maka negara itu akan berusaha untuk
melakukan spesialisasi dalam produksi barang itu, dan mengutamakan
produksi barang itu selama-lamanya. Jadi menurut Ricardo, ongkos
komparatif tidak akan berubah karena adanya pengembangan teknologi atau
karena adanya pembangunan ekonomi.
2.1.3 Teori Modern Perdagangan Internasional – Heckscher-Ohlin
Teori modern dalam perdagangan internasional dikemukakan pertama kali
oleh Bertil Ohlin tahun 1933 dalam bukunya Interregional and International
Trade, yang sebagian tulisannya didasarkan atas tulisan gurunya, Eli Heckscher,
yang ditulisnya dalam sebuah artikel pendek pada tahun 1919. Dengan demikian,
pionir teori modern dalam perdagangan internasional dikenal sebagai
pemberian alam dan harga factor produksi antarnegara sebagai determinan
perdagangan yang paling penting (dengan asumsi bahwa teknologi dan cita rasa
sama).
Mengutip kata-kata Ohlin sendiri, teori Heckscher-Ohlin mengenai pola
perdagangannya itu menyebutkan:
Komoditi yang dalam proses produksinya menuntut lebih banyak [factor
yang melimpah] dan lebih sedikit [factor yang langka] akan diekspor untuk
ditukarkan dengan komoditi yang dalam proses produksinya menuntut
factor-faktor dalam proporsi yang berlawanan. Jadi, secara tidak langsung, factor-factor-faktor
dalam sediaan yang berlebihandiekspor dan factor-faktor dalam sediaan lamgka
diimpor. (Ohlin dalam Lindert, 1933, hal 92).
Untuk menilai secara cermat argument yang tampaknya mudah dimengerti
dan mudah pula diuji kebenarannya itu, kita memerlukan defenisi tentang apa
yang dimaksud dengan kelimpahan factor dan intensitas pemakaian factor-faktor
itu:
Sebuah negara dinyatakan melimpah tenaga kerjanya kalau negara itu
memiliki ratio tenaga kerja yang lebih tinggi dari factor-faktor lain dibandingkan
ratio yang dimiliki negara lain.
Sebuah produk dinyatakan padat karya kalau biaya tenaga kerjanya
mengambil bagian terbesar dari nilai produk itu secara keseluruhan dibandingkan
Heckscher-Ohlin tampaknya lebih cenderung menekankan bahwa
perbedaan dalam biaya komparatif hanya dapat dijelaskan dengan mengetahui
perbedaan dalam proporsi factor-faktor yang digunakan dalam produksi.
Sebagai contoh:
Negara Indonesia yang memiliki relative banyak tenaga kerja, sedang
modal relative sedikit sebaiknya menghasilkan dan mengekspor barang-barang
yang relative padat karya. Sedangkan Amerika Serikat, sebaliknya mengekspor
barang-barang yang relative padat modal dan mengimpor barang-barang yang
relative padat karya. Jadi, kalau harga tenaga kerja (upah) dinyatakan dengan
HTK1 di negara A dan HTK2 di negara B, dan harga modal sebagai HM1 dan
HM2. Maka teori H-O menyatakan bahwa:
���
Proporsi harga tenaga kerja terhadap harga modal di negara A lebih murah
dari pada ratio harga tenaga kerja terhadap harga modal di negara A berarti bahwa
tenaga kerja relative lebih murah di negara A sedang modal relative lebih murah
di negara B, maka negara A akan mengekspor barang yang padat karya, dan
negara B akan mengekspor barang yang padat modal.
Pembuktian teori H-O ini dimulai dengan catatan bahwa selera, harga
barang ditujukan untuk pasar bebas, dan pola konsumsi dari kedua negara harus
sama. Andaikata kedua negara tersebut memproduksi dengan rasio yang sama
dengan yang mereka konsumsi, termasuk dengan yang tidak diperdagangkan
edgeworth box pada Gambar 2.2, yang memperlihatkan bahwa negara A sebagai
negara kecil (berkembang) yang padat karya terletak pada dasar pojok kiri kotak,
sebaliknya bagi negara B (maju) yang melimpah modal.
K* OM*
K
Oc L L*
Sumber: Halwani, 2005
Gambar 2.2 Edgeworth Box
Jelaslah, bahwa apabila C dan D menunjukkan rasio yang sama dari
produksi X/M dalam duan negara, maka garis slopenya dari Ox menuju ke C
harus lebih besar daripada garis OX ke D. Hal ini berarti bahwa rasio K/L untuk
produksi X dari negara B (ditunjukkan oleh garis slope dari Ox ke C) harus lebih
besar daripada rasio negara A. Hal tersebut berarti juga bahwa rasio K/L di negara
B akan lebih besar daripada di negara A untuk produksi M. Dengan kata lain
apabila rasio produksinya sama, maka produksi padat modal akan lebih besar pada
sector industry bagi negara yang melimpah modal. C
OM
Bagi negara yang produksinya lebih padat modal, dengan opportunity cost
lebih rendah, maka pengorbanan yang diperlukan lebih ringan dibanding dengan
barang-barang hasil produksi padat karya dalam memperkuat peningkatan
marginal output dari barang-barang tersebut. Hal ini merupakan opportunity cost
yang lebih tinggi untuk barang yang padat modal dengan rasio K/L lebih besar.
Opportunity cost untuk M harus lebih rendah untuk negara B, sedangkan untuk X
harus lebih rendah di negara A. Apabila rasio produksinya sama, maka sepanjang
garis KKP (Gambar 2.3) menunjukkan opportunity cost-nya lebih rendah untuk
M, ini ditunjukkan dengan lebih tingginya KKP (sepanjang garis OR) yang berarti
bahwa pengorbanan untuk X lebih besar daripada M. Dengan demikian KKP
untuk B lebih tinggi daripada A.
Apabila OR merupakan garis yang mewakili ekuilibrium untuk negara
besar B, berarti social indifference curve-nya menyentuh KKP, titik produksi P
pada A harus terletak sebelah kanan OR.
Walau bagaimana pun, titik konsumsi A harus terletak pada OR (seperti
karakteristik dari harga dan selera), sehingga A harus memproduksi lebih banyak
barang hasil produksi padat karya (untuk barang X) daripada yang dikonsumsi,
kemudian mengekspor lebih banyak barang M (yang padat modal) daripada yang
dikonsumsi. Walaupun dalam gambar tidak meunjukkan perbedaan sifat asumsi
bahwa negara B relative besar daripada negara A seperti distribusi OR sepanjang
M
R
B
K
P
O X
Sumber: Halwani, 2005
Gambar 2.3
Kurva Dua Kemungkinan Produksi 2.2 Impor
Impor adalah arus masuk dari sejumlah barang-barang dan atau jasa ke
dalam sebuah pasar suatu negara, baik untuk keperluan konsumsi ataupun sebagai
barang-barang modal atau bahan baku produksi dalam negeri.
Komoditas impor Indonesia dapat digolongkan dalam dua kelompok, yaitu
impor komoditas migas dan kelompok komoditas non migas.
2.2.1 Komposisi Impor Barang
Berdasarkan laporan indikator Indonesia komposisi impor menurut
golongan penggunaan barang ekonomi dapat dibedakan atas tiga kelompok, yaitu:
1) Impor barang-barang konsumsi, terutama untuk barang-barang yang belum
dapat dihasilkan di dalam negeri atau untuk memenuhi tambahan permintaan
yang belum mencukupi dari produksi dalam negeri, yang meliputi makanan
angkut bukan industri, barang tahan lama, barang setengah tahan lama serta
barang tidak tahan lama.
2) Impor bahan baku dan barang penolong, yang meliputi makanan dan minuman
untuk industri, bahan baku untuk industri, bahan bakar dan pelumas, serta
suku cadang dan perlengkapan.
3) Impor barang modal, yang meliputi barang modal selain alat angkut, mobil
penumpang dan alat angkut untuk industri.
2.2.2 Kebijakan Impor
Kebijakan perdagangan internasional di bidang impor diartikan sebagai
berbagai tindakan dan peraturan yang dikeluarkan pemerintah, baik secara
langsung maupun tidak langsung, yang akan mempengaruhi struktur, komposisi
dan kelancaran usaha untuk melindungi/mendorong pertumbuhan industri dalam
negeri dan penghematan devisa.
Tindakan pemerintah ini disebut juga proteksi yang merupakan upaya
pemerintah mengadakan perlindungan pada industri-industri domestik terhadap
masuknya barang impor dalam jangka waktu tertentu. Proteksi bertujuan
melindungi, membesarkan atau mengecilkan kelangsungan industri dalam negeri
yang berlaku dalam perdagangan umum.
Kebijakan perdagangan internasional di bidang impor dapat dikelompokkan
menjadi dua macam kebijakan sebagai berikut:
A. Kebijakan Tariff Barier
Tarif adalah pungutan bea masuk yang dikenakan atas barang impor
Tariff Barier dalam bentuk bea masuk adalah sebagai berikut:
1. Pembebasan bea masuk/tarif rendah antara 0% sampai 5% yang dikenakan
untuk bahan kebutuhan pokok dan vital, seperti beras, mesin-mesin vital,
alat-alat militer, dan lain-lain.
2. Tarif sedang antara >5% sampai 20% yang dikenakan untuk barang
setengah jadi dan barang-barang lain yang belum tentu cukup diproduksi
di dalam negeri.
3. Tarif tinggi di atas 20% dikenakan untuk barang-barang mewah dan
barang-barang lain yang sudah cukup diproduksi di dalam negeri dan
bukan barang kebutuhan pokok.
B. Kebijakan Nontariff Barrier
Kebijakan Nontariff Barrier adalah berbagai kebijakan perdagangan
selain bea masuk yang dapat menimbulkan distorsi, sehingga mengurangi
potensi manfaat perdagangan internasional.
Secara garis besar, kebijakan nontariff barrier dapat dikelompokkan
sebagai berikut:
1. Instrumen Kebijakan Nontariff
a. Pembatasan spesifik (specific limitation), yaitu: larangan impor secara
mutlak, pembatasan impor (quota system), peraturan atau ketentuan
teknis untuk impor produk tertentu, peraturan kesehatan/karantina,
peraturan pertahanan dan keamanan negara, peraturan kebudayaan,
perizinan impor (import lisence), embargo, hambatan pemasaran
b. Peraturan bea cukai (customs administration rules), yaitu: tata laksana
impor tertentu (procedure), penetapan harga pabean (costoms value),
penetapan forex rate (kurs valas) dan forex control (pengawasan
devisa), packaging formalities, labelling regulation, documentation
needed, quality testing, fees, dan tariff classification.
c. Government participation, yaitu: kebijakan pengadaan pemerintah,
subsidi dan insentif ekspor, domestic assistance pro-ams,
trade-diverting.
d. Import charges, yaitu: import deposites, supplementary duties,
variable lasses.
2. Sistem Kuota dan Efek-efek Kuota
Kuota adalah pembatasan fisik secara kuantitatif yang dilakukan
atas pemasukan barang (kuota impor) dan pengeluaran barang (kuota
ekspor) dari atau ke suatu negara untuk melindungi kepentingan industri
dan konsumen. Menurut ketentuan GATT (General Agreement Term of
Trade) atau WTO, sistem kuota ini hanya dapat digunakan dalam hal
sebagia berikut:
a. Untuk melindungi hasil pertanian
b. Untuk menjaga keseimbangan balance of payment
c. Untuk melindungi kepentingan ekonomi nasional
3. Subsidi
Subsidi adalah kebijakan pemerintah untuk menitikberatkan
keringanan pajak, pengembalian pajak, fasilitas kredit, subsidi harga, dan
lain-lain yang bertujuan sebagai berikut: (a) Menambah produksi dalam
negeri, (b) Mempertahankan jumlah konsumsi dalam negeri, (c) Menjual
dengan harga lebih murah daripada produk impor.
2.3 Kurs atau Nilai Tukar (Exchange Rate)
Uang masing-masing negara memiliki harga yang diukur oleh uang
negara-negara lain. Hal inilah yang disebut nilai tukar (exchange rate), yaitu
perbandingan nilai atau harga antara kedua mata uang. Sebagai contoh adalah kurs
antara rupiah dan dollar menunjukkan sejumlah rupiah yang diperlukan untuk
membeli satu dolar, atau Rp/$. Jadi, suatu mata uang dikatakan sebagai valuta
asing tergantung dari siapa yang melihat.
Secara lebih luas, valuta asing dapat diartikan sebagai seluruh kewajiban
terhadap mata uang asing yang dapat dibayar di luar negeri, baik berupa simpanan
pada bank di luar negeri maupun kewajiban dalam mata uang asing. (Berlianta,
2004)
Mata uang yang sering digunakan sebagai alat pembayaran dan kesatuan
hitung dalam transaksi ekonomi dan keuangan internasional disebut sebagai hard
currrency, yaitu mata uang yang nilainya relatif stabil dan kadang-kadang
mengalami apresiasi atau kenaikan nilai terhadap mata uang lainnya. Hard
currency pada umumnya berasal dari negara-negara industri maju, seperti USD,
JPY, DEM, GBP, FRF, AUD, dan SFR.
Sedangkan soft currency adalah mata uang lemah yang jarang digunakan
dan sering mengalami depresi atau penurunan nilai terhadap mata uang lainnya.
Soft currency ini pada umumnya berasal dari negara-negara yang sedang
berkembang, seperti Rupiah – Indonesia, Peso – Filipina, Bath – Thailand, dan
Rupee – India.
2.3.1 Faktor-faktor yang Menentukan Nilai Tukar
Kurs valuta asing akan ditentukan oleh mekanisme perubahan permintaan
(demand) dan penawaran (supply valas) foreign currency.
Mekanisme secara langsung sebagai berikut:
1. Penawaran valuta asing ditentukan oleh:
a. Ekspor barang dan jasa yang dihasilkan valuta asing
b. Impor modal (capital import) dan transfer valas lainnya dari luar negeri ke
dalam negeri.
2. Permintaan atau demand valas akan ditentukan oleh:
a. Impor barang dan jasa yang memerlukan valuta asing
b. Ekspor modal (capital export) dan transfer valas lainnya dari dalam ke
luar negeri.
Sedangkan secara tidak langsung penawaran (supply) dan permintaan
(demand) valas akan dipengaruhi oleh tingkat income, peraturan dan kebijakan
pemerintah, spekulasi / ekspektasi / isu / rumor, serta beberapa hal berikut ini:
1. Posisi BOP (Balance of Payment) dan BOT (Balance of Trade)
Balance of Payment adalah suatu neraca yang terdiri atas keseluruhan aktivitas
transaksi perekonomian internasional suatu negara, baik yang bersifat
BOP ini mencerminkan seluruh transaksi antara penduduk, pemerintah dan
pengusaha dalam negeri dan pihak dalam negeri dan pihak luar negeri, seperti
transaksi ekspor dan impor, investasi portofolio, transaksi antarbank sentral,
dan lain-lain. Indikator umum yang sering digunakan adalah neraca berjalan
(current account) yang terdiri atas BOP, service account, dan uunilateral
account. Transaksi impor pada current account dicatat sebagai transaksi debit
atau negatif karena mengeluarkan devisa.
Dalam BOP dicatat seluruh transaksi ekspor impor dengan ketentuan bahwa
ekspor barang dicatat sebagai transaksi kredit atau positif, dan impor barang
dicatat sebagai transaksi debit atau negatif.
2. Tingkat inflasi (PPP Theory)
Pengaruh tingkat inflasi terhadap kurs valas ini dapat dijelaskan berdasarkan
teori purchasing power parity atau teori paritas daya beli. Penjelasan teori ini
didasarkan pada “the law of one price”, yaitu hukum yang menyatakan bahwa harga produk yang sama di dua negara yang berbeda akan sama pula bila
dinilai dalam mata uang yang sama. Teori ini dikenal sebagai teori purchasing
power parity (PPP) absolute.
Misalnya, harga 1 kg buah apel – USA pada dua tempat sebagai berikut:
Jakarta
Rp8.
New York $
Ini berarti bahwa harga 1 kg apel – USA = Rp 8.000 = $ 1
Dengan demikian, kurs valas Rp/$ berdasarkan paritas daya beli dari
masing-masing mata uang adalah sebesar Rp 8.000,-/$. Namun pada kenyataannya
absolut tersebut tidak sesuai dengan kurs valas yang ditetapkan pemerintah.
Dalam hal demikian, terjadi apa yang dikenal dengan overvavaluation dan
undervaluation seperti yang ditunjukkan oleh grafik di bawah ini.
Kurs Rp/$
Rp 9000/$ S$
Rp 8000/$
Rp 7.000/$
D$
0 $1 $2 $3 Q$
Gambar 2.4
Overvaluation dan Undervaluation
Keterangan: Q $ = Kuantitas USD S $ = supply USD D $ = demand USD
Berdasarkan teori PPP absolut kurs valas adalah Rp 8.000,-/$.
Namun, apabila pemerintah menetapkan atau mempertahankan kurs valas
sebesar Rp 7.000,-/$ maka dikatakan nilai rupiah overvaluation,
sedangkan USD undervaluation.
Sebaliknya, apabila pemerintah menetapkan atau mempertahankan kurs
valas sebesar Rp 9.000,-/$ maka dikatakan nilai rupiah undervaluation,
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penilaian overvaluation ataupun
undervaluation suatu mata uang harus dilihat dari aspek domestic currency
(Rp) maupun foreign currency (USD).
3. Tingkat bunga (IRP Theory)
Interest Rate Parity (IRP) adalah salah satu teori yang paling dikenal dalam
keuangan internasional yang menerangkan bagaimana hubungan antara bursa
valas (forex market) dan pasar uang internasional (money market). Teori IRP
menyatakan bahwa perbedaan tingkat bunga (sekuritas) pada international
money market akan cenderung sama dengan forward rate premium atau
discount. Dengan kata lain, berdasarkan teori IRP akan dapat ditentukan
berapa perubahan kurs forward atau forward rate (FR) dibandingkan dengan
spot rate (SR) bila terdapat perbedaan tingkat bunga antara home country dan
foreign country.
2.3.2 Penyesuaian Kurs
Perubahan nilai kurs yang terjadi pada prinsipnya disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran valuta asing pada suatu
tingkat harga tertentu. Perubahan ini tidak dapat dihindari sehingga dijumpai
pihak yang dirugikan dan diuntungkan, untuk itu diperlukan penyesuaian.
System penyesuaian kurs atau disebut juga system penyesuaian
internasional, dalam perkembangannya meliputi:
1. Sistem nilai tukar yang diadakan di Bretton Woods, New Hampshire Amerika
dalam negeri tunduk pada tekanan keuangan global. Beberapa hal yang telah
disepakati dalam sistem ini antara lain adalah sebagai berikut:
a. Amerika Serikat (AS) akan mengaitkan mata uangnya USD dengan
sejumlah tertentu emas. Waktu itu ditetapkan sebanyak 35 USD per ounce
emas.
b. Negara-negara lain dapat mengaitkan nilai mata uangnya dengan emas
atau mata uang USD. Mata uang negara lain berfluktuasi sebesar 1%
terhadap USD.
c. Negara-negara lain dapat menyimpan cadangannya dalam bentuk emas
maupun dalam bentuk mata uang USD. Biasanya mereka menyimpan
cadangan mereka dalam bentuk USD dengan pertimbangan bahwa
menyimpan dalam bentuk USD mendapat bunga dibandingkan dalam
bentuk emas yang tidak mendapatkan apa-apa.
d. Amerika Serikat akan menjual emas dalam jumlah tertentu yang tetap
kepada pemilik uang dollar yang sah.
e. Begitu mata uang negara lain ditentukan nilai tukarnya, maka pemerintah
wajib memelihara nilai tukar tersebut sehingga nilainya tetap. Cara yang
ditempuh adalah dengan mengadakan intervensi pada pasar valuta asing.
Sebagai contoh apabila nilai tukar mata uangnya jatuh maka pemerintah
akan menjual cadangan devisa negara tersebut.
f. Didirikan International Monetary Fund (IMF) guna membantu bank
sentral yang mengalami kesulitan keuangan dengan memberikan pinjaman
Meskipun mempunyai beberapa kelemahan, sistem ini memberikan stabilitas
keuangan yang memadai dan pertumbuhan ekonomi selama periode tertentu.
2. Fixed Exchange Rate System (gold standard)
Suatu negara yang memakai standar emas adalah bilamana nilai mata
uangnya didasarkan pada nilai sejumlah emas tertentu. Standar emas
sebenarnya tidak dirancang secara sengaja, standar ini terjadi dengan
sendirinya dalam perekonomian. Emas menjadi standar moneter karena
komoditi ini secara umum dapat diterima dan banyak negara menggunakan
sebagai mata uang. Selama semua negara menggunakan standar emas,
masyarakat akan dapat melakukan pembayaran kepada orang lain di negara
lain.
Standar emas diharapkan dapat memelihara keseimbangan pembayaran
internasional dengan penyesuaian tingkat harga pada suatu negara. Bila suatu
negara yang mengalami defisit neraca pembayaran karena impornya
(pembelian) dari negara lain melebihi nilai ekspornya (penjualan) ke negara
lain.
Sistem nilai tukar standar emas menggolongkan tingkat nilai tukar mata
uang sebagai berikut:
a. Kurs mint parity, menunjukkan perbandingan berat emas yang
dikandung mata uang-mata uang yang berbeda.
b. Kurs ekspor emas, nilai tukar pada titik ini merupakan kurs tertinggi
dalam sistem standar emas yang ditandai adanya aliran emas keluar
c. Kurs titik impor emas, ditandai adanya aliran emas masuk ke negara
tersebut dan merupakan kurs terendah dalam sistem standar emas.
d. Kurs valuta asing yang terjadi, merupakan tingkat nilai tukar yang
benar-benar terjadi.
3. Fluctuating/Floating Exchange Rate System (paper standard)
Sistem ini disebut juga sebagai sistem kurs mengambang, dan
membiarkan kurs bergerak menurut mekanisme pasar. Bahwa perubahan nilai
kurs terjadi disebabkan oleh kekuatan permintaan di satu sisi dan kekuatan
penawaran di sisi lain, berarti semata-mata kurs ditentukan oleh kedua pelaku
tersebut.
Perubahan harga barang ekspor dan impor pada pasar perdagangan
internasional mengakibatkan perubahan nilai ekspor dan impor yang akan
mempengaruhi harga barang di dalam negeri. Konsekuensi perubahan harga
barang ini mengakibatkan terjadinya perubahan nilai kurs secara langsung.
Mekanisme penyesuaian melalui sistem ini merupakan sistem penyesuaian
jangka pendek, terjadi apabila permintaan terhadap valuta asing tertentu
meningkat lebih besar daripada penawaran maka nilai kurs akan naik atau
sebaliknya.
Pada sistem ini diharapkan bahwa apabila kurs valuta asing terus naik,
maka diharapkan impor akan berhenti sendiri, karena dengan naiknya kurs
valuta asing barang-barang impor menjadi mahal sehingga menjadi kurang
harganya lebih tinggi. Sistem ini tidak mempunyai alat penghalang seperti
emas pada sistem standar emas. Biasanya valuta-valuta ini tidak konvertibel.
Dalam praktek terdapat dua jenis Floating Exchange Rate System,
yaitu:
1. Free Floating Exchange Rate System.
Dalam sistem nilai tukar dibiarkan bergerak bebas. Pergerakannya
sepenuhnya tergantung dari kekuatan penawaran dan permintaan di pasar.
Bank sentrl tidak melakukan intervensi ke pasar guna mempengaruhi nilai
tukar mata uangnya. Pada sistem ini, perubahan nilai tukar tidak akan
mempengaruhi cadangan devisa negara itu karena begitu ada perubahan
penawaran atau permintaan akan berdampak langsung pada naik-turunnya
nilai tukar valuta.
2. Managed (Dirty) Floating Exchange Rate System
Berbeda dengan sistem di atas maka pada sistem ini bank sentral dapat
melakukan intervensi ke pasar guna mempengaruhi pergerakan nilai tukar
valuta. Bank sentral melakukan intervensi ini biasanya disebabkan karena
pergerakan kurs valuta dipandang tidak menguntungkan bagi
perekonomian negara tersebut sehingga perlu dilakukan intervensi untuk
mencegah akibat yang lebih buruk lagi. Pada sistem ini naiki turunnya
cadangan devisa ditentukan oleh ada tidaknya intervensi bank sentral ke
3. Exchange Control System (pengawasan devisa)
Dalam keadaan/situasi tertentu pemerintah merasa perlu untuk
mengadakan peraturan-peraturan yang membatasi kebebasan lalu lintas
devisa. Tindakan pemerintah langsung ditujukan kepada tingginya kurs dan
kepada jumlah devisanya. Alasan untuk restriksi atau membatasi di dalam
kebebasan lalu lintas devisa adalah:
a. Untuk menghemat pemakaian devisa
b. Untuk menjamin pelaksanaan impor barang-barang esensial
c. Untuk mencegah pelarian modal
d. Untuk menjamin pelaksanaan debt service pemerintah
e. Untuk stabilisasi kurs
f. Untuk memiliki kekuatan dalam perundingan-perundingan
politik/ekonomi dengan negara lain.
g. Untuk dipakai sebagai alat pengatur/pengarah kegiatan ekonomi nasional.
2.4 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah seluruh nilai tambah
yang ditimbulkan oleh berbagai sektor/lapangan usaha yang melakukan kegiatan
usahanya di suatu wilayah/region (dalam hal ini provinsi) dihitung dan
dimasukkan, tanpa memperhatikan kepemilikan atas faktor produksi.
Dengan demikian PDRB secara agregatif menunjukkan kemampuan suatu
daerah dalam menghasilkan pendapatan/balas jasa kepada faktor-faktor produksi
Hubungan antara pendapatan dan impor ini untuk berbagai negara, dan
termasuk provinsi adalah sangat besar/kuat. Namun, untuk beberapa negara
(umumnya negara transisi) atau provinsi dapat sangat kecil/lemah sekali, tetapi
pada umumnya pendapatan dan impor bergerak sejajar. Dengan pendapatan yang
bertambah, orang mendapatkan kesempatan untuk membeli lebih banyak
keperluannya di luar negeri. Sebaliknya dengan pendapatan yang bertambah,
orang mendapatkan kesempatan untuk membeli lebih banyak keperluannya di luar
negeri.
2.5 Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk dipandang sebagai kumpulan manusia, dan
perhitungannya disusun menurut bentuk statistik tertentu. Jumlah penduduk yang
semakin bertambah pada suatu negara ataupun provinsi akan berpengaruh pada
permintaan akan barang-barang impor.
2.6 Neraca Perdagangan Barang
Neraca ini merupakan ukuran pembayaran yang paling sempit serta paling
spesifik, mencerminkan nilai barang komersial yang diekspor dan diimpor ke
dalam suatu negara. Atau disebut juga surplus netto suatu negara dari ekspor
barang terhadap impor barang. Neraca perdagangan adalah komponen utama dari
neraca berjalan (current account).
Jika ekspor barang lebih besar dari impor barang, maka dikatakan terjadi
surplus neraca perdagangan. Sebaliknya, jika impor barang lebih besar dari ekspor
Defisit neraca perdagangan yang terjadi tidak selalu menjadi masalah,
karena hal itu memungkinkan konsumen negara tersebut memperoleh manfaat
karena produk impor menjadi lebih murah dibandingkan dengan produk domestik.
Namun, pembelian produk impor menyebabkan berpindahnya ketergantungan
pada produk domestik menjadi ketergantungan terhadap produk asing, sehingga
dapat dikatakan bahwa defisit neraca perdagangan yang besar menyebabkan
pindahnya lapangan kerja ke negara asing. Karena itu pemerintahan suatu negara
berupaya untuk memperbaiki defisit neraca perdagangan.
2.7 Kerangka Konseptual
Gambar 2.5 menunjukkan model kerangka konseptual yang
menggambarkan hubungan ataupun pengaruh kurs valuta asing, PDRB, dan
jumlah penduduk terhadap impor barang.
Gambar 2.5 Kerangka Konseptual
Kurs Valuta Asing
(X
1)
PDRB (Produk Domestik
Regional Bruto)
(X
2)
Jumlah Penduduk
(X
3)
2.8 Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap suatu permasalahan yang
dirumuskan untuk pengertian sementara dan perlu diuji kebenarannya melalui
data yang terkumpul. Berdasarkan uraian perumusan masalah di atas, maka
hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1. Nilai kurs valuta asing berpengaruh negative terhadap impor barang di
Sumatera Utara, ceteris paribus.
2. PDRB berpengaruh positif terhadap impor barang di Sumatera Utara, ceteris
paribus.
3. Jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap impor barang di Sumatera
BAB III
METODE PENELITIAN
Metodologi penelitian adalah langkah dan prosedur yang akan dilakukan
dalam mengumpulkan data atau informasi empiris guna memecahkan
permasalahan dan menguji hipotesis penelitian. Dalam mengumpulkan data yang
diperlukan menyusun skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai
berikut.
3.1 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini menggunakan tiga variable yang dianggap
mempengaruhi impor barang, yaitu:
Nilai tukar atau kurs valuta asing
PDRB
Jumlah penduduk
3.2 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat kuantitatif
yaitu data yang berbentuk angka-angka. Sedangkan sumber data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari Biro Pusat Statistik
(BPS) Sumatera Utara. Selain itu data-data lainnya yang mendukung penelitian ini
diperoleh dari jurnal-jurnal, buku-buku bacaan, dan situs-situs yang berkaitan
dengan penelitian ini. Berdasarkan kurun waktunya, data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah times series (tahunan), dengan kurun waktu 1986-2010
3.3 Pengolahan Data
Untuk mengolah data, penulis menggunakan program E-Views 5.1
3.4 Model Analisis Data
Spesifikasi model analisis data yang akan dijadikan sebagai model penelitian
merupakan fungsi matematis dengan parameter berbentuk linear. Model analisis
yang dipakai adalah metode Kuadrat Terkecil (Ordinary Least Square/OLS).
Hubungan antara variabel-variabel independen dengan variabel dependen
dirumuskan dengan fungsi sebagai berikut:
Impor barang: f (nilai tukar, PDRB, jumlah penduduk)
Y = f ( X1, X2, X3)...(1)
Kemudian fungsi tersebut ditransformasikan ke dalam model persamaan regresi
berganda sebagai berikut:
Y = α + β1 X1+ β2 X2 + β3 X3 + µ...(2)
Dimana:
Y = Impor barang Sumatera Utara α = Intercept
β1,β2 ,β3= Koefisien Regresi
X1 = Nilai tukar Dollar AS terhadap Rupiah X2 = Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) X3 = Jumlah Penduduk
�
� > , artinya jika terjadi kenaikan pada X2 (PDRB) maka Y (Impor
barang Sumatera Utara) mengalami kenaikan, ceteris paribus.
�
� > , artinya jika terjadi kenaikan pada X3 (jumlah penduduk Sumatera
Utara) maka Y (impor barang Sumatera Utara) mengalami kenaikan,
ceteris paribus.
3.5 Uji Kesesuaian (Test Of Goodness Of Fit) 3.5.1 Koefisien Determinasi ( R – Square )
Koefisien Determinasi (R – Square) dilakukan untuk melihat seberapa besar kemampuan variabel independen secara bersama-sama mampu memberikan
penjelasan terhadap variabel dependen dimana nilai koefisien determinasi (R2)
adalah antara 0 sampai 1 (0≤R2≤1).
Koefisien Determinasi bernilai nol tidak berarti tidak ada hubungan antara
variabel-variabel bebas dengan variabel terikat, sebaliknya nilai koefisien
determinasi 1 berarti tidak ada hubungan sempurna antara variabel bebas dengan
variabel terikat.
�� = ∑ � √ � √
Dimana: