commit to user
HUBUNGAN ANTARA TONSILITIS KRONIK
DENGAN PENURUNAN KUALITAS HIDUP
DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
ALIA ADELINA DINA SORAYA
G0008193
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Surakarta
commit to user
vii
DAFTAR ISI
PRAKATA ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 2
C. Tujuan Penelitian ... 3
D. Manfaat Penelitian ... 3
BAB II. LANDASAN TEORI ... 4
A. Tinjauan Pustaka ... 4
1. Tonsil ... 4
2. Tonsilitis... 10
3. Tonsilektomi... 16
4.Kualitas Hidup ... 19
5. Hubungan Tonsilitis Kronik dengan Kualitas Hidup ... 23
B. Kerangka Pemikiran ... 26
C. Hipotesis ... 26
BAB III. METODE PENELITIAN ... 27
commit to user
viii
B.Lokasi Penelitian... 27
C.Subjek Penelitian ... 27
D.Identifikasi Variabel... 30
E. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 30
F. Instrumen Penelitian ... 31
G.Cara Kerja ... 32
H.Teknik Analisis Data ... 32
BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 33
A.Deskripsi Sampel ... 33
B. Analisis Statistika ... 34
BAB V. PEMBAHASAN ... 39
BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 43
A. Simpulan ... 43
B. Saran... 43
DAFTAR PUSTAKA ... 44
commit to user
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Distribusi Sampel Berdasarkan Perlakuan... 33
Tabel 2. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin... 34
Tabel 3. Hasil Uji Normalitas Data dengan Shapiro-Wilk... 35
Tabel 4. Hasil Uji Homogenitas Levene’s Test... 36
commit to user
x
DAFTAR GAMBAR
commit to user
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Kedokteran
Lampiran 2. Surat Pengantar Penelitian dari RSUD dr. Moewardi
Lampiran 3. Informed Consent
Lampiran 4. Kuesioner PedsQL
Lampiran 5. Data Mentah Hasil Penelitian
Lampiran 6. Distribusi Data
Lampiran 7. Hasil Uji Normalitas Data
commit to user
iv
ABSTRAK
Alia Adelina Dina Soraya, G.0008193, 2012. Hubungan antara Tonsilitis Kronik dengan Penurunan Kualitas Hidup di RSUD dr. Moewardi Surakarta. Skripsi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Tujuan Penelitian: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tonsilitis kronik dengan penurunan kualitas hidup manusia.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan case-control yang dilaksanakan di Poliklinik Telinga Hidung Tenggorokan (THT) RSUD dr. Moewardi Surakarta. Subjek penelitian adalah orang yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kualitas Hidup terkait kesehatan diukur menggunakan kuesioner Pediatric Quality of Life Inventory
(PedsQL.) Pengambilan sampel secara Simple Random Sampling. Penelitian ini
diperoleh 30 data dan dianalisis menggunakan Uji normalitas data Shapiro-Wilk dan Uji t-independent melalui program SPSS 17.0 for Windows. Signifikansi yang digunakan adalah p < 0,005.
Hasil Penelitian: Penelitian ini menunjukkan (1) rerata skor kualitas hidup pada penderita tonsilitis kronik sebesar 1.615,7 ± 325,6 dan untuk non tonsilitis kronik sebesar 2.532,3 ± 269,9 (2) hasil uji t-independent menunjukkan p = 0,000.
Simpulan Penelitian: Terdapat hubungan antara gejala klinis tonsilitis kronik dengan penurunan kualitas hidup. Kualitas hidup penderita tonsilitis kronik lebih rendah dari non tonsilitis kronik.
commit to user
v
ABSTRACT
Alia Adelina Dina Soraya, G.0008193, 2012. The Correlation between Chronic Tonsillitis with Decrease Quality of Life in Moewardi Local General Hospital Surakarta. Script, Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta.
Objective: Find The Correlation between Chronic Tonsillitis with decrease Quality of Life
Method: This analytic qualityative observational study uses case-control method, was held in the Ear Nose Throat (ENT) Clinic of Moewardi Hospital Surakarta. Subjects in this study are people with inclusion and exclusion criteria. Health Related Quality of Life (HR-QoL) was assessed using Pediatric Quality of Life Inventory (PedsQL). The sample data collecting is done by using Simple Random Sampling. This study obtained 30 datas and analyzed using data normality test with Shapiro-Wilk and t-independent test through SPSS 17.00 for Widows. Significance was set at p < 0,005.
Result: This research shows (1) a significant mean difference of Quality of Life for patient of Chronic Tonsillitis is 1.615,7 ± 325,6 and for without Chronic Tonsillitis is 2.532,3 ± 269,9 (2) the result of t-independent test is p = 0,000
Conclusion: There are a correlation between clinical symptoms chronic tonsillitis with a decreased quality of life. Quality of life from patient with chronic tonsillitis is lower than without chronic tonsilitis
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Tonsilitis merupakan penyakit umum. Hampir semua anak di Amerika
Serikat setidaknya mengalami satu episode tonsilitis. Antara 2,5% dan 10,9%
anak merupakan carrier. Prevalensi rata-rata status anak sekolah carrier untuk
Streptococcus group A, penyebab tonsilitis, adalah 15,9%. Anak-anak mencakup
sekitar sepertiga dari 45.000 episode peritonsillar abses diperkirakan di Amerika
Serikat pada tahun 1995. Tonsilitis yang kambuh dilaporkan pada 11,7%
anak-anak Norwegia dalam satu penelitian dan diperkirakan dalam penelitian lain
mempengaruhi 12,1% dari anak Turki. Riwayat keluarga atopi dan tonsilitis dapat
memprediksi terjadinya tonsilitis pada anak-anak mereka (Shan, 2009).
Prevalensi tonsilitis di Amerika Serikat adalah 7 per 1000 penduduk dan
rata-rata prevalensi masyarakat Amerika Serikat adalah 1 pada 42 penduduk atau
0,70% dari 1,9 juta penduduk (Paradise dan Bluestone, 1995). Berdasarkan data
epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-1996,
prevalensi tonsilitis kronik tertinggi setelah nasofaringitis akut (4,6%) yaitu
sebesar 3,8%. Insiden tonsilitis kronik di RS dr. Kariadi Semarang 23,36% dan
47% di antaranya pada usia 6-15 tahun. Sedangkan di RSUP dr. Hasan Sadikin
pada periode April 1997 sampai dengan Maret 1998 ditemukan 1024 pasien
commit to user
2
Gejala klinispada tonsilitis kronik didapatkan gejala berupa nyeri tenggorok
atau nyeri telan ringan, mulut berbau, badan lesu, sering mengantuk, nafsu makan
menurun, nyeri kepala dan badan terasa meriang (Soepardi et al., 2009).
Pada tonsilitis kronik hipertrofi dapat menyebabkan apnea obstruksi saat
tidur; gejala yang umum pada anak adalah mendengkur, sering mengantuk,
gelisah, perhatian berkurang dan prestasi belajar menurun (Lipton,2002).
Gangguan fungsi normal pada penderita tonsilitis kronik dan dampaknya
terhadap kualitas hidup. Penderita tonsilitis kronik yang terganggu fungsi respirasi
dan menelan dapak mengalami penurunan kualitas hidup (Hendradewi, 2006).
Kualitas hidup adalah konsep yang mencakup karakter fisik, mental, sosial
dan emosional yang mencakup komplikasi dan efek terapi terhadap suatu
penyakit. Kualitas hidup secara luas dapat menggambarkan kemampuan individu
untuk berperan dalam lingkungannya dan memperoleh kepuasan dari yang
dilakukan. Kualitas hidup berhubungan dengan kesehatan menggambarkan tingkat
kesehatan seseorang yang mengalami suatu penyakit dan mendapatkan
pengelolaan sesuai dengan penyakit tertentu (Loonen, 2001; Richadson,2001).
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang hubungan antara tonsilitis kronik dengan penurunan kualitas
hidup.
B.Perumusan Masalah
commit to user C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui hubungan antara tonsilitis kronik dengan penurunan
kualitas hidup manusia.
D.Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat berupa :
1. Memberikan informasi tentang bahaya dari tonsilitis kronik.
commit to user
4
BAB II
LANDASAN TEORI
A.Tinjauan Pustaka
1. Tonsil
Tonsil adalah kelenjar getah bening di bagian belakang mulut dan
tenggorok bagian atas. Mereka biasanya membantu menyaring bakteri dan
kuman lain untuk mencegah infeksi pada tubuh (Kaneshiro, 2010). Massa
yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan kriptus
didalamnya (Soepardi et al., 2009).
Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsila faringal (adenoid), tonsila palatina
dan tonsila lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut
cincin Waldeyer. Tonsila tuba termasuk kelompok tonsila keempat terletak di
muara tuba auditiva pada faring. Ciri khas tonsil adalah permukaan epitelnya
yang tertekan dan dikelilingi kelompok limfonodus (Lesson, 1995; Soepardi
et al., 2009).
a. Macam –macam tonsil
1) Tonsila Palatina
Tonsil palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak pada
fossa tonsilaris pada kedua sudut orofaring dan merupakan salah satu
bagian dari cincin Waldeyer. Tonsil palatina lebih padat dibandingkan
jaringan limfoid lain. Pada bagian permukaan lateral ditutupi oleh
commit to user
Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang
merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil
biasanya melekat pada dasar lidah. Permukaan median tonsil
bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut
kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga
meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya ditemukan leukosit,
limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan. Permukaan
lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul
tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah
dilakukan diseksi pada tonsilektomi. Tonsil mendapat darah dari arteri
palatina major, arteri palatina asendens, cabang tonsil arteri maksila
eksterna, arteri faring asenden dan arteri ligualis dorsal (Soepardi et
al., 2009).
2) Tonsila Lingual
Tonsila lingual terletak didasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepoglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior
massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang
terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang
menunjukan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan
tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau
kista duktus tiroglosus. Tonsila lingualis mempunyai kripta kecil-kecil
yang tidak terlalu berlekuk-lekuk atau bercabang dibandingkan
commit to user
6
3) Tonsila Faringea
Tonsila faringea merupakan kumpulan jaringan limfoid di dinding
belakang medial nasofaring. Jaringan limfoidnya sama seperti pada
tonsil palatina epitel permukaan berlipat-lipat akan tetapi tidak sampai
membentuk kriptus. Epitel tampak sangat disebuk oleh limfosit.
Pembesaran tonsil faringea, yang berakibat menyumbat ke jalur
hidung, sering kali terjadi, yang dikenal sebagai adenoid(Lesson et al.,
1995).
4) Tonsila tuba
Kadang-kadang tonsila tuba dianggap kelompok tonsila yang
tersendiri. Setiap tonsila tuba terletak di sekeliling muara faringeal
tuba faringo-timpani (auditiva) dan membentuk perluasan tonsila
faringea ke lateral. Tonsila tuba dilapisi epitel silindris berambut getar
(Lesson et al., 1995).
b. Respon imun tonsil
Sebagian besar tonsil adalah organ sel ß dengan ß limfosit yang terdiri
dari 50% - 65% semua limfosit tonsil. Sel T limfosit terdiri dari sekitar 40%
dari limfosit tonsil dan 3% adalah sel plasma matang. Tonsil terlibat dalam
menginduksi kekebalan dan mengatur produksi sekresi imunoglobulin.
Tonsil yang baik berfungsi untuk perlindungan kekebalan saluran
aerodigestive. Selain itu, terdapat 10 - 30 kriptus dalam setiap tonsil yang
ideal untuk mencegah benda asing dan membawanya ke folikel limfoid.
commit to user
sinyal antigenik adalah salah satu fungsi tonsil paling penting. Kekebalan
tonsil paling aktif antara usia 4 sampai 10 tahun. Involusi tonsil dimulai
setelah pubertas, mengakibatkan penurunan populasi sel ß dan peningkatan
relatif. Meskipun secara keseluruhan produksi imunoglobulin berkurang,
tetapi masih cukup besar aktivitas sel ß jika dilihat dari kondisi klinis tonsil
yang sehat. (Campisi dan Tewfik, 2003).
Secara sistematik proses imunologis di tonsil terbagi menjadi 3 kejadian
yaitu :
1) Respon imun tahap I
2) Respon imun tahap II
3) Migrasi limfosit.
Pada respon imun tahap I terjadi ketika antigen memasuki orofaring
mengenai epitel kripte yang merupakan kompartemen tonsil pertama
sebagai barier imunologis.
Sel limfoid ditemukan dalam ruang epitel kripte tonsila palatina
terutama tersusun atas limfosit B dan sel T helper (CD4+). Respon imun
membutuhkan bantuan sitokin berbeda. Sitokin adalah peptida yang terlibat
dalam regulasi proses imun dan dihasilkan secara dominan stimulasi antigen
lokal oleh limfosit intraepitel, sel limfoid lain atau sel non limfoid. Sel T
intraepitel menghasilkan berbagai sitokin antara lain IL –2, IL-4, IL-6,
TNF-α, TNF-β / LT-α, INF γ, dan TGF-β.
Diperkirakan 50-90% limfosit intraepitel adalah sel B, sel B berupa
commit to user
8
terjadinya kontak antara antigen presenting B cells dan T cells,
menyebabkan respon antibodi yang cepat. Beragam isotipe Ig dihasilkan
dalam tonsila palatina, 82 % dari sentrum germinativum menghasilkan Ig D,
55% Ig M, 36% IgG dan 29 % IgA.
IgA merupakan komponen substansial sistem imun humoral tonsila
palatina. Produksi J-chain oleh penghasil Ig sebagai faktor krusial dalam
transpor epitel polimer Ig melalui komponen sekretoris transmembran.
Distribusi J-chain itu sendiri tergantung dari lokasi sel (29% IgA dihasilkan
di sentrum germinativum dan 59% IgA dihasilkan di regio ekstrafolikular).
Ig terbentuk secara pasif ditranspot ke dalam kripte.
Respon imun tonsila palatina tahap kedua terjadi setelah antigen
melalui epitel kripte dan mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel
limfoid. Pada daerah ekstrafolikular, IDC dan makrofag memproses antigen
dan menampakkan atigen terhadap CD4+ limfosit T. Sel T
FH kemudian
menstimuli limfosit B folikel sehingga berproliferasi dan bermigrasi dari
dark zone ke light zone, mengembangkan suatu antibodi melalui sel memori
B dan antibodi melalui sel plasma. Sel plasma tonsil juga menghasilkan
lima kelas Ig (IgG 65%, IgA 20%, sisanya Ig M, IgD, IgE) yang membantu
melawan dan mencegah infeksi. Lebih lanjut, kontak antigen dengan sel B
memori dalam folikel limfoid berperan penting untuk menghasilkan respon
imun sekunder. Meskipun jumlah sel T terbatas namun mampu
menghasilkan beberapa sitokin (misal IL-4) yang menghambat apoptosis sel
commit to user
Adapun respon imun berikutnya berupa migrasi limfosit. Perjalanan
limfosit dari penelitian didapat bahwa migrasi limfosit berlangsung terus
menerus dari darah ke tonsil melalui HEVdan kembali ke sirkulasi melaui
limfe. Tonsil berperan tidak hanya sebagai pintu masuk tapi juga keluar
limfosit, beberapa molekul adesi selectin), kemokin, dan sitokin. Kemokin
yang dihasilkan kripte akan menarik sel B untuk berperan didalam kripte
(Nave et al., 2001).
c. Fungsi tonsil
Pembuluh darah memasok simpai dan septa tonsila, serta mendarahi
jaringan limfoid. Tonsila tidak mempunyai pembuluh darah limfe aferen.
Pleksus kapiler limfe terdapat di sekitar jaringan limfoid dan bermuara ke
pembuluh darah limfe eferen. Tonsila yang mencapai perkembangan
maksimum pada masa kanak-kanak dan kemudian menyusut, membentuk
lingkaran jaringan limfosid yang terputus-puts di sekeliling faring. Tonsil
turut serta dalam pembentukan limfosit dan membantu melindungi tubuh
terhadap serangan bakteri, virus, dan protein asing lainnya. Seperti di dalam
jaringan limfoid lainnya. Seperti di dalam jaringan limfoid lainnya, protein
asing (antigen) merangsang pembentukan zat anti dalam sel plasma, yang
berasal dari limfosit. Di samping itu, kerusakan epitel tampak memudahkan
masuknya mikroorganisme dan sering kali tonsila diketahui sebagai tempat
commit to user
10
2. Tonsilitis
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang
terdapat di dalam rongga mulut yaitu : tonsil faringeal (adenoid), tonsil
palatina (tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba
Eustachius (lateral band dinding faring/Gerlach’s tonsil). Radang tenggorok
merupakan salah satu penyebab tonsilitis (Soepardi et al., 2009).
Tonsilitis memiliki efek jangka panjang sedikit, tonsilitis berulang
menyebabkan morbiditas yang signifikan dan mengurangi waktu sekolah atau
bekerja. Definisi berulang mungkin agak berbeda, tetapi kriteria yang
digunakan baru-baru ini sebagai ukuran keparahan adalah 5 atau lebih dari
episode yang cocok dari gejala tonsilitis per tahun, gejala berulang setidaknya
satu tahun, dan episode yang menonaktifkan dan yang menghalangi fungsi
normal (Kvestad, 2011).
Tonsil bisa menjadi sangat menghawatirkan oleh karena infeksi bakteri
atau virus sehingga dapat membengkak dan menjadi radang, sehingga dapat
menyebabkan tonsilitis. Infeksi terjadi di tenggorokan dan daerah sekitarnya,
menyebabkan radang di faring (Kaneshiro, 2010).
Penyebaran infeksi melalui udara (air borne droplets), tangan dan
ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak.
Tonsilitis disebabkan oleh infeksi bakteri Streptococcus B hemolitikus,
commit to user
terbanyak, selain itu dapat juga disesbabkan oleh Corybacterium diphteriae,
namun dapat juga disebabkan oleh virus (Mansjoer et al., 2001).
Tonsilitis dapat diklasifikasikan dalam komplikasi supuratif dan non
supuratif. Komplikasi non supuratif termasuk demam berdarah, demam
rematik akut, dan pasca-streptokokus glomerulonefritis. Komplikasi supuratif
termasuk peritonsillar, retropharyngeal parapharyngeal dan pembentukan
abses. Demam scarlet adalah tonsilitis akut sekunder atau Streptococcus
faringitis dengan produksi endotoksin oleh bakteri. Tanda-tanda klinis
termasuk ruam eritematosa, limfadenopati parah, demam, takikardia, dan
eksudat kuning diatas eritematosa tonsil. Demam reumatik akut adalah
sindrom yang terdapat Streptococcus group A. Faringitis selama satu sampai
empat minggu. Abses peritonsillar paling sering terjadi pada pasien dengan
tonsillitis berulang atau tonsilitis kronik yang tidak diobati. Penyebaran
infeksi dari superior pole dari tonsil dengan nanah antara dasar tonsil dan
kapsul ( Campisi dan Tewfik, 2003).
a. Tonsilitis Akut
Tonsilitis bakterialis supuratif akut paling sering disebabkan oleh
Streptococcus B hemolitikus group A, meskipun Pneumococcus,
Staphylococcus, dan Haemophilus influenzae juga virus patogen dapat
dilibatkan(Adams et al., 1997). Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel
jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya
leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini
commit to user
12
patogen dalam kripta (Soepardi et al., 2009). Mungkin adanya perbedaan
dalam strain atau virulensi organisme dapat menjelaskan variasi dari
fase-fase patologis berikut:
1) Peradangan biasa daerah tonsil saja
2) Pembentukan eksudat
3) Selulitis tonsila dan daerah sekitanya
4) Pembentukan abses peritonsilar
5) Nekrosis jaringan (Adams et al., 1997).
Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis
folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur
maka akan terjadi tonsilitis lakunaris. Bentuk detritus ini juga melebar
sehingga terbentuk semacam membran semu (pseudo membrane) yang
menutupi tonsil. Secara klinis detritus ini mengisi kriptus dan tampak
sebagai bercak kuning (Soepardi et al., 2009).
Manisfestasi klinis. Suhu tubuh naik sampai 40oC. Rasa gatal/kering
di tenggorok, lesu, nyeri sendi, odinofagia, anoreksia, dan otalgia. Bila
laring terkena suara akan menjadi serak (Mansjoer et al., 2001).
Pada pemeriksaan tonsil dalam keadaan dini menunjukkan
pembesaran, hipervasikularisasi, dan sebagian tertutup oleh eksudat putih
keabu-abuan yang mudah diangkat (Ballenger, 1994). Masa inkubasi 2-4
commit to user
Terapi pengobatan tonsilitis ini adalah antibiotika spektrum lebar,
penisilin, eritromisin. Antipiretik dan obat kumur yang mengandung
desinfektan (Soepardi et al., 2009).
Pada anak sering menimbulkan kompilkasi otitis media akut,
sinusitis abses peritonsil, abses para faring, bronkitis, glomerulonefritis,
miokardiatis, artritis serta septikemia akibat infeksi vena jugularis
interna.
Akibat hipertrofi akan menyebabkan pasien bernafas melalui mulut,
tidur mendengkur, gangguan tidur karena terjadinya sleep apnea yang
dikenal sebagai Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) (Soepardi et
al., 2009).
b. Tonsilitis Kronik
Tonsilitis kronik umumnya merupakan penyakit pada orang dewasa.
Mungkin terdapat atrofi fisiologis dari tonsil tanpa gejala
(Ballenger,1994)
Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik ialah rangsangan yang
menahun dari rokok, berbagai jenis makanan, higiene mulut yang buruk,
pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak
adekuat (Soepardi et al., 2009).
Tonsilitis kronis umumnya terjadi akibat komplikasi tonsilitis akut,
terutama yang tidak mendapat terapi adekuat, mungkin serangan mereda
tetapi kemudian dalam waktu pendek kambuh kembali dan menjadi laten.
commit to user
14
berulang setiap enam minggu hingga 3 – 4 bulan. Seringnya serangan
merupakan faktor prediposisi timbulnya tonsilitis kronis yang merupakan
infeksi fokal. Kuman penyebab tonsilitis kronik sama dengan tonsilitis
akut yaitu Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenzae,
Streptococcus B hemolitikus, Streptokokus viridans. Streptococcus B
hemolitikus group A merupakan kuman patogen yang sering dijumpai
dan berhubungan dengan risiko demam rematik dan glumerulonefritis.
Insidensi dari tonsilitis oleh karena Streptococcus B hemolitikus group A
paling tinggi pada umur 6-12 tahun (Shields dan Deskin, 2002; Amarudin
dan Christanto, 2007).
Patologi terjadi karena proses peradangan berulang yang timbul
maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada
proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang
akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Proses berjalan
terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan
perekatan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini
disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula (Soepardi et al.,
2009).
Gejala tonsilitis kronik mungkin tidak ada, namun jika ada biasanya
tidak berat. Pasien akan mengekuh sakit yang menusuk saat menelan
(Ballenger,1994). Tonsilitis kronik merupakan penyakit yang paling
commit to user
1) Gejala lokal, bervariasi dari rasa tidak enak ditenggorok, sakit
tenggorok, sulit sampai sakit menelan
2) Gejala sistematis, perasaan tidak enak di badan, malaise, sakit
kepala, panas badan subfebris, sakit pada otot dan persendian.
3) Tanda klinis, tonsil dengan debris pada kriptenya tonsil udem atau
hipertrofi atau tonsil fibrotik dan kecil, plika tonsilaris anterior
hiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe regional (Soepardi et
al., 2009).
Ukuran tonsil pada tonsilitis kronik dapat membesar (hipertrofi) atau
atrofi. Menurut Brodsky diklasifikasikan menggunakan perbandingan
lebar tonsil dengan lebar orofaring sebagai berikut : (Shields dan Deskin,
2002).
1) Tonsil T1 : kurang dari 25% menempati orofaring
2) Tonsil T2 : 25-50%
3) Tonsil T3 : 50-75%
4) Tonsil T4 : lebih dari 75%
Menurut Mac Kenzy tonsil dapat dukualifikasikan sebagai berikut :
(Prijanto, 1997)
1) Tonsil T1 : pembesaran ¼ jarak arkus anterior – uvula
2) Tonsil T2 : pembesaran ½ jarak arkus anterior – uvula
3) Tonsil T3 : pembesaran ¾ jarak arkus anterior – uvula
Jika gejala mengganggu pasien dan berulang dengan selang waktu
commit to user
16
tanda infeksi pada daerah yang jauh dalam tubuh yang disebabkan oleh
fokal infeksi di tonsil, untuk itu dapat dilakukan pengangkatan tonsil atau
tonsilektomi (Ballenger,1994). Kriteria tonsilitis kronis yang
memerlukan tindakan tonsilektomi, umumnya diambil berdasarkan
frekuensi serangan tonsilitis akut dalam setahun yaitu tonsilitis akut
berulang 3 kali atau lebih dalam setahun atau sakit tenggorok 4-6 kali
setahun tanpa memperhatikan jumlah serangan tonsilitis akut
(Hatmansjah, 1993). Penatalaksanan medis termasuk pemberian penisilin
yang lama, irigasi tenggorok sehari-hari, dan usaha membersihkan kripta
tonsilaris dengan alat irigasi gigi atau oral. Ukuran jaringan tonsil tidak
mempunyai hubungan dengan infeksi kronik atau berulang (Adams et al.,
1997).
3. Tonsilektomi.
Tonsilektomi merupakan tindakan pembedahan tertua, berupa tindakan
pengangkatan jaringan tonsila palatina. Tonsilektomi tindakan operasi yang
sering dilakukan pada anak-anak (Shields dan Deskin, 2002). Tonsilektomi
salah satu prosedur paling umum dilakukan pembedahan di Amerika Serikat.
Tonsilektomi pada orang dewasa telah direkomendasikan untuk tonsilitis
berulang, tonsilitis kronik, atau dengan keadaan Streptokokus carrier. Selain
itu, berbagai kriteria untuk diagnosis tonsilitis kronik telah digunakan,
tergantung pada frekuensi dan tingkat keparahan (Bhattacharyya et al., 2001).
commit to user
baik awam maupun profesi. Bagi yang kontra, tonsilektomi dianggap dapat
menurunkan sistem pertahanan tubuh (Sakka et al., 2011).
Walaupun mungkin terdapat berbagai pendapat tentang indikasi yang
pasti untuk tonsilektomi pada anak-anak, terdapat sedikit perselisihan
pendapat tentang indikasi prosedur ini pada orang dewasa. Tonsilektomi
biasanya dilakukan pada dewasa muda yang menderita episode tonsilitis
berulang, selulitis peritonsilaris, atau abses peritonsilaris. Anak-anak jarang
menderita tonsilitis kronik atau abses peritonsil.
Indikasi absolut dari tonsilektomi adalah :
a. Timbulnya cor pulmunale
b. Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apnea waktu tidur
c. Hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan
berat badan
d. Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan
e. Abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada jaringan
sekitarnya
Indikasi relatif merupakan seluruh indikasi lain untuk tonsilektomi.
Indikasi yang paling sering adalah episode berulang dari infeksi Streptokokus
B hemolitikus grup A.
Menurut The American Academy of Ortolaringology – Head and Neck
Surgery Clinical indicators Compendium tahun 1995 :
a. Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah
commit to user
18
b. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan
menyebabkan angguan pertumbuhan orofasial
c. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan
sumbatan jalan napas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan
bicara, dan cor pulmonale
d. Rinitis adn sinusitis yang kronik, peritonsilitis, abses peritonsil yang
berhasil hilang dengan pengobatan.
e. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
f. Tonsilitis berulang yang di sebabkan streptokokus B hemolitikus
grup A.
g. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
h. Otitis media efusa/otitis media supuratif (Soepardi et al., 1997).
Tonsilektomi secara umum merupakan operasi yang aman, namun dokter
bedah harus mengenali potensi komplikasi yang mungkin terjadi.
Komplikasi tonsilektomi :
a. Mortalitas. Pratt melaporkan bahwa mortalitas dari tonsilektomi,
jika dilakukan ahli bedah dan anestesiolog yang berpengalaman
adalah 0,006%. Penyebab kematian sama banyak di antara anestesi,
henti jantung dan perdarahan.
b. Perdarahan. Pencegahan yang terbaik adalah memastikan pasien
bahwa kompilkasi pernapasan dan kecenderungan perdarahan pada
commit to user
setelah operasi. Juga terdapat peningkatan insiden kira-kira pada
hari 5-7 pasca operasi karena mengendurnya ikatan.
c. Abses paru merupakan komplikasi dari tonsilektomi yang jarang
terjadi yang disebabkan oleh apirasi darah dan debris atau infeksi
yang sudah ada sebelumnya dan manifestasi pasca operasi
(Ballenger, 1994).
d. Komplikasi lainya adalah dehidrasi, demam, kesulitan bernapas,
gangguan terhadap suara (1:10.000), aspirasi, otalgia,
pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis faring,
lesi di bibir, lidah, gigi dan pneumonia. (Hermani et al., 2004).
4. Kualitas Hidup
Kualitas hidup seringkali diartikan sebagai komponen kebahagiaan dan
kepuasan terhadap kehidupan. Akan tetapi pengertian kualitas hidup tersebut
seringkali bermakna berbeda pada setiap orang karena mempunyai banyak
sekali faktor yang mempengaruhinya seperti keuangan, keamanan, atau
kesehatan. Untuk itulah di bidang kedokteran digunakan istilah kualitas hidup
terkait kesehatan atau health-related quality of life (HRQoL) (Fayers and
Machin, 2007).
Dalam kesehatan masyarakat dan kedokteran, konsep yang berhubungan
dengan kualitas hidup terkait kesehatan mengacu pada orang atau kelompok
dengan kesehatan fisik dan mental yang dinamis dari waktu ke waktu. Dokter
sering melakukan penilaian kualitas hidup terkait kesehatan untuk mengukur
commit to user
20
integritas biologis pasiennya untuk lebih memahami bagaimana dampak
suatu penyakit terhadap kualitas hidup seseorang. Demikian pula, lembaga
kesehatan masyarakat profesional, menggunakan kualitas hidup terkait
kesehatan untuk mengukur efek dari berbagai gangguan, cacat jangka pendek
dan jangka panjang, dan penyakit pada populasi yang berbeda. Pelacakan
kualitas hidup terkait kesehatan di populasi yang berbeda dapat
mengidentifikasi kelompok dengan kesehatan fisik atau mental untuk
kemudian dapat membantu kebijakan panduan atau intervensi untuk
meningkatkan kesehatan (CDC, 2010; Fallowfield, 2009).
Kualitas hidup merupakan suatu pengertian multidimensional yang
sampai saat ini belum ada definisi yang secara universal diterima. Definisi
kualitas hidup diambil dari definisi sehat menurut WHO. Sehat adalah
keadaan baik atau sejahtera secara fisik, mental, sosial dan bukan
semata-mata terbebas dari penyakit atau kecacatan. Sehat menurut Undang-undang
Kesehatan no. 23 tahun 1992 adalah kesejahteraan baik badan, jiwa dan sosial
yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi
( Depkes RI, 1992). Tidak hanya berarti tidak ada kelemahan atau penyakit,
demikian juga mengenai kualitas hidup, kualitas hidup bukan berarti hanya
tidak ada keluhan saja, akan tetapi masih ada hal-hal lain yang dirasakan oleh
penderita, bagaimana perasaan penderita sebenarnya dan apa yang sebenarnya
menjadi keinginannya (Silitonga, 2007).
Kualitas hidup terkait kesehatan berbeda dengan status fungsional.
commit to user
dampak dari penyakit beserta pengobatannya dalam hubungannya dengan
tujuan, nilai dan pengharapan yang hendak dicapai seseorang. Sedangkan
status fungsional memberikan suatu penilaian objektif dari kemampuan fisik
dan emosional seseorang (Haan, 1993).
Secara umum terdapat 5 bidang (domains) yang dipakai untuk mengukur
kualitas hidup terkait kesehatan berdasarkan kuesioner yang dikembangkan
oleh World Health Organization (WHO), bidang tersebut adalah kesehatan
fisik, kesehatan psikologik, keleluasaan aktivitas, hubungan sosial dan
lingkungan, sedangkan secara rinci bidang-bidang yang termasuk kualitas
hidup adalah sebagai berikut :
a. Kesehatan fisik (physical health): kesehatan umum, nyeri, energi
dan vitalitas, aktivitas seksual, tidur dan istirahat.
b. Kesehatan psikologis (psychological health): cara berpikir, belajar,
memori dan konsentrasi.
c. Tingkat aktivitas (level of independence): mobilitas, aktivitas
sehari-hari, komunikasi, kemampuan kerja.
d. Hubungan sosial (sosial relationship): hubungan sosial, dukungan
sosial.
e. Lingkungan (environment), keamanan, lingkungan rumah,
kepuasan kerja (Hermann, 1993).
Kualitas hidup pada dasarnya bersifat subjektif, multidimensional dan
dinamis. Subjektif karena pengukuranya yang terbaik adalah dilakukan oleh
commit to user
22
multidimensional karena kualitas mencakupi berbagai aspek kehidupan
penderita secara fisik, kemampuan fungsional, keadaan emosi dan sosial.
Bersifat dinamis, hal ini disebabkan sering terjadinya perubahan dalam
perjalanan waktu dan situasi (Eiser, 1997; Kaplan, 2002 ).
Kualitas hidup anak secara umum dipengaruhi oleh banyak faktor, antara
lain:
a. Kondisi global, berupa kebijakan pemerintah dan asas-asas
dalam masyarakat yang memberikan perlindungan pada
anak-anak.
b. Kondisi eksternal, meliputi tempat tinggal, status ekonomi
keluarga, pelayanan kesehatan dan pendidikan orang tua.
c. Kondisi interpersonal, meliputi hubungan sosial dalam keluarga,
teman sebaya
d. Kondisi personal, meliputi dimensi fisik, mental, dan spiritual
pada diri anak sendiri, yaitu umur, jenis kelamin, status gizi,
pendidikan anak.
Pediatric Quality of Life Inventory (PedsQL) merupakan salah satu
instrument untuk mengukur kualitas hidup anak. PedsQL mempunyai 2
model: generik dan spesifik PedsQL generik didesain untuk digunakan pada
berbagai penyakit anak, instrumen ini dapat membedakan kualitas hidup anak
sehat dengan anak yang menderita suatu penyakit kronik. PedsQL spesifik
dikembangkan untuk mengukur kualitas hidup secara spesifik suatu penyakit
commit to user
Konsep PedsQL generik adalah menilai kualitas hidup sesuai dengan
persepsi penderita terhadap dampak penyakit dan pengelolaan pada berbagai
bidang penting kualitas hidup anak, terdiri dari 30 pertanyaan, yaitu : fisik (8
pertanyaan), emosi (5 pertanyaan), sosial (5 pertanyaan), sekolah (5
pertanyaan), kesehatan (6 pertanyaan) dan persepsi kesehatan secara
menyeluruh (1 pertanyaan). Sedangkan konsep PedsQL spesifik terdiri atas
37 pertanyaan: fisik (5 pertanyaan), emosi (4 pertanyaan), sosial (3
pertanyaan), sekolah (3 pertanyaan) dan 22 pertanyaan pendek tentang
spesifik penyakit (Varni, 1999).
Kehandalan masing-masing instrument ini ditunjukkan dengan
konsistensi internal yang baik, dengan koefisien alpha secara umum antara
0,70 - 0,92. PedsQL genrik dan spesifik praktis digunakan pengisian
pertanyaan memerlukan waktu 10 menit, rasio kesalahan data kira-kira 001,
penilaian sangat mudah memberi nilai 0-4 pada setiap pertanyaan dan di
konversikan dalam skala 0-100 untuk interprestasi standar (Varni, 1999).
5. Hubungan tonsilitis kronik dengan kualitas hidup
Pada tonsilitis kronik telah terjadi penurunan fungsi imunitas dari tonsil.
Penurunan fungsi tonsil ditunjukkan melalui peningkatan deposit antigen
persisten pada jaringan tonsil sehingga terjadi peningkatan regulasi sel-sel
imunokompeten berakibat peningkatan insiden sel yang mengekspresikan
IL-1β, TNF-α, IL-6, IL-8, IL-2, INF-γ, IL-10, dan IL-4 (Agren et al., 1995).
Kualitas hidup pasien dewasa terhadap tonsilitis kronik adalah
commit to user
24
otorhinolaryngological yang paling umum dan tonsilektomi merupakan
tindakan operasi tersering dalam mengobati tonsilitis. Faktor penentu kualitas
hidup pasien dengan tonsilitis kronik multidimensi terutama setelah hasil
terapi bedah dari intervensi terapeutik merupakan faktor utama yang terkait
dengan perubahan kualitas hidup dalam pasien. Tidak ada definisi standar
kualitas hidup, tetapi pelayanan kesehatan sepakat bahwa kualitas hidup harus
diukur dari perspektif pasien. Sebuah hasil yang positif untuk peningkatan
kualitas hidup pasien terutama tergantung pada pengurangan jumlah dan
frekuensi gejala, kunjungan dokter, penggunaan antibiotik dan juga, secara
tidak langsung, pada penghematan keuangan jangka panjang (Skevas et al.,
2010).
Di luar negeri penelitian kualitas hidup anak untuk tonsilitis kronik telah
dipublikasikan antara lain oleh Howel et al.(2002), menganalisa 1190 orang
tua yang anaknya menderita tonsilitis kronik, dengan hasil seorang anak yang
menderita penyakit ini akan berdampak pada seluruh keluarganya. Anak yang
mengalami gangguan tidur dan sekolah yang akhirnya memberikan dampak
sosial, emosional dan keluarga. Status kesehatan dan kualitas hidup anak
yang menderita tonsilitis kronik telah di teliti memakai Child Health
Questionaire version PF 28, secara signifikan lebih buruk dibandingkan
dengan anak sehat (Stewart et al., 2000). Kualitas hidup penderita
adenotonsilitis kronik oleh karena Obstructive Sleep Disorder hampir 90%
mengalami peningkatan 4 sampai 5 minggu setelah tonsilektomi (de Serres,
commit to user
Di samping tonsilitis kronik menurunkan kualitas hidup penderitanya,
rangsangan bakteri yang terus-menerus terhadap tonsil menyebabkan
imunitas tertekan karena menurunnya respon imunologis limfosit darah tepi
dan perubahan epitel akan mengurangi reseptor antigen (Mubarika,1995).
Gangguan fungsi normal pada pasien penderita tonsilitis kronik dan
dampaknya terhadap kualitas hidup. Penderita tonsilitis kronik yang
terganggu fungsi respirasi dan menelan dapat mengalami penurunan kualitas
hidup, meningkatkan biaya perawatan dan kehilangan waktu belajar atau
commit to user
26
B.Kerangka Pemikiran
C.Hipotesis
Terdapat hubungan antara gejala dari tonsilitis kronik dengan penurunan
kualitas hidup.
Tonsilitis Tonsil
Kualitas hidup Tonsilitis
kronik
Terapi Penyebab
tonslitis
Gejala dan tanda
commit to user
27
BAB III
METODE PENELITIAN
A.Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan
pendekatan cross sectional. Rancangan cross sectional adalah suatu rancangan
penelitian di bidang kedokteran dan kesehatan yang paling sering digunakan
karena secara metodelogik paling mudah dilakukan dan hanya diobservasi
hanya sekali pada saat yang sama (Taufiqurrahman, 2004).
B.Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Poliklinik THT RSUD dr. Moewardi Surakarta
C.Subjek Penelitian
1. Populasi Sumber
Pasien yang berobat di Poliklinik THT RSUD dr. Moewardi Surakarta.
2. Besar Sampel
Penentuan jumlah sampel pada penelitian ini menggunakan patokan
umum rule of thumb. Yaitu digunakan ukuran sampel sebanyak minimum
30 pasien setelah dilakukan restriksi dengan kriteria yang telah ditentukan.
Selanjutnya 30 sampel tersebut akan dibagi menurut jumlah kelompok
penelitian, sehingga masing-masing kelompok terdiri atas 15 sampel
commit to user
28
3. Kriteria Inklusi
a. Penderita tonsilitis kronik umur 5-15 tahun.
b. Memenuhi diagnosis tonsilitis kronik.
1) Gejala lokal : rasa tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit
sampai sakit menelan.
2) Gejala sistemik : perasaan tidak enak badan, malaise, sakit kepala,
panas subfebris.
3) Tanda klinis : tonsil hipertropi atau atrofi, pembengkakan kelenjar
limfe regional, kriptus membesar dan terisi detritus, hiperemis.
c. Bersedia mengikuti penelitian.
4. Kriteria eksklusi
Penderita mempunyai penyakit sinusitis kronik, rhinitis alergi dan
otitis media kronik.
5. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah berdasarkan
peluang (Simple Random Sampling). Dengan cara mengurutkan data
berdasarkan urutan registrasi. Kemudian diambil sebanyak 30.
6. Pengumpulan Data
Pengumpulan data penelitian cross sectional bersifat analitis
dilakukan dengan menggunakan kuesioner/angket. Angket adalah daftar
pertanyaan yang diberikan kepada orang lain yang bersedia memberikan
respon sesuai dengan permintaan pengguna dengan tujuan mencari
commit to user
khawatir bila responden memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan
kenyataan dalam pengisian daftar pertanyaan, selain itu responden
mengetahui informasi tertentu yang diminta (Riduwan, 2003).
7. Rancangan Penelitian
Tonsilitis kronik ( + )
kualitas hidup
Analisis data
Tonsilitis kronik ( - )
kualitas hidup Populasi
Sampel
commit to user
30
D.Identifikasi Variabel
1. Variabel bebas: Frekuensi penderita tonsilitis kronik
2. Variabel terikat: Kualitas hidup
3. Variabel luar:
a. Dapat dikendalikan : usia
b. Tidak dapat dikendalikan dan tidak diteliti : ekonomi orang tua
E. Definisi Operasional Variabel
1. Tonsilitis kronik adalah infeksi pada tonsila palatina yang berlangsung
setidaknya 3 bulan dengan gejala klinik adalah keluhan yang dirasakan
penderita antara lain rasa tidak enak ditenggorok, sakit tenggorok, sulit
sampai sakit menelan, tidak enak badan, malaise, sakit kepala, pembesaran
kelenjar leher di submandibula yang menetap dan sakit.
2. Kualitas hidup untuk mengukur kualitas hidup penderita. Menggunakan
PedsQL generik terdiri dari 30 pertanyaan, yaitu : fisik (8 pertanyaan),
emosi (5 pertanyaan), sosial (5 pertanyaan), sekolah (5 pertanyaan),
kesehatan (6 pertanyaan) dan persepsi kesehatan secara menyeluruh (1
pertanyaan). Penilaian :
a. 0 : tidak ada masalah
b. 1 : hampir tidak ada masalah
c. 2 : kadang-kadang ada masalah
d. 3 : sering ada masalah
commit to user
Interprestasi standart :
a. 0 : 100
b. 1 : 75
c. 2 : 50
d. 3 : 25
e. 4 : 0
Nilai total dihitung dengan menjumlahkan nilai pertanyaan yang
mendapat jawaban dibagi dengan jumlah pertanyaan pada semua
bidang.
Untuk menyamakan persepsi ditentukan:
a. Hampir selalu : lebih dari 3 kali dalam seminggu
b. Sering : 1 kali dalam seminggu
c. Kadang-kadang : 1 kali dalam 2 minggu
d. Hampir tidak pernah : 1 kali dalam 3 minggu
e. Tidak pernah : dalam satu bulan terakhir tidak pernah
Skala yang digunakan adalah variabel berskala numerik.
F. Instrumen Penelitian
Alat dan bahan
1. Lembar persetujuan mengikuti penelitian.
2. Peralatan.
3. Kuesioner PedsQL Generic Core Scale versi 4.0
Kuesioner ini digunakan untuk anak umur 2-4, 5–7, 8–12 dan 13–
commit to user
32
questionnaire dimana jawaban diberikan didampingi oleh orang tua
atau wali. Kuesioner untuk anak usia 13 -18 tahun merupakan assisted
delivery questionnaire yang dijawab langsung oleh anak.
4. Kuesioner gejala tonsilitis kronik pada anak.
G.Cara Kerja
1. Mendata penderita umur 5-15 tahun
2. Memilih subjek berdasarkan kriteria inklusi dan eklusi melakukan
random untuk mendapatkan sampel selama bulan Mei-Juni.
3. Melakukan informed consent kepada subjek yang akan diteliti,
menjelaskan tentang tata laksana penelitian dan meminta izin.
4. Meminta orang tua penderita menjawab kuesioner PedsQL generik dan
kuesioner karakteristik umum untuk mencari faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap kualitas hidup
5. Menganalisis data.
H.Teknik Analisis Data Statistik
Data yang diperoleh dalam penelitian ini kemudian dianalisis dengan teknik
commit to user
33
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Sampel
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2011 di Poliklinik Telinga
Hidung Tenggorokan (THT) RSUD dr. Moewardi Surakarta. Subjek penelitian
adalah pasien yang menderita tonsilitis kronik umur 5-15 tahun, bersedia
menjadi responden penelitian kriteria kasus.
Sampel penelitian berjumlah 30 responden yang terdiri dari 15 responden
dari kelompok pasien yang menderita tonsilitis kronik dan 15 responden dari
kelompok yang tidak menderita tonsillitis kronik.
Setelah melalui proses berdasarkan kriteria inklusi dan esklusi, didapatkan
30 responden. Selanjutnya dilakukan simple random sampling pada kelompok
tonsilitis kronik dan non tonsilitis kronik.
Tabel 1. Distribusi Sampel Berdasarkan Perlakuan
commit to user
34
Tabel 2. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin
No Kelompok
Tabel di atas menunjukkan bahwa jenis kelamin laki-laki pada penderita
tonsilitis kronik memiliki persentase yang lebih besar dibandingkan dengan
perempuan, sedangkan non tonsilitis kronik jenis kelamin perempuan memiliki
presentase lebih besar dari pada laki-laki. Kelompok tonsilitis kronik memiliki
jumlah sampel laki-laki sebanyak 8 anak (53,3%) dari 15 anak. Pada kelompok
non tonsiliitis kronik memiliki jumlah sampel perempuan sebanyak 8 anak
(53,3%) dari 15 anak.
B. Analisis Statistika
Data penelitian yang telah diperoleh kemudian dianalisis dengan uji
t-independent yang merupakan uji parametrik dengan program SPSS 17.00. Uji
ini digunakan bila skor kedua kelompok tidak berhubungan satu sama lain.
Adapun syarat uji t-independent adalah data berskala numerik, terdistribusi
secara normal, dan variansi kedua kelompok dapat sama atau berbeda (untuk 2
kelompok). Untuk mengetahui bahwa data terdistribusi normal atau tidak,
maka dilakukan uji normalitas. Suatu data dikatakan mempunyai sebaran
commit to user
Uji normalitas yang dilakukan pada masing-masing sebaran data dapat
dilakukan dengan cara deskriptif ataupun analitik. Cara analitik memiliki
tingkat objektivitas dan sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan
deskriptif sehingga dalam penelitian ini dilakukan dengan uji Shapiro-Wilk
(Dahlan, 2005).
Tabel 3.Hasil Uji Normalitas Data denganShapiro-Wilk
Data Nilai p Keterangan
Tonsilitis Kronik 0,595 Distribusi normal
Non Tonsilitis Kronik 0,348 Distribusi normal
Sumber : Data primer, 2011
Tabel di atas menunjukkan sebaran data yang di uji normalitas datanya
dilakukan dengan Shapiro-Wilk Test,dengan ketentuan bila signifikan hitung >
0,05 maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut terdistribusi secara normal,
demikian sebaliknya bila nilai signifikan hitung < 0,05 maka data tidak
terdistribusi secara normal. Karena nilai p untuk nilai tonsilitis kronik adalah
0,595 (p > 0,05) dan non tonsilitis kronik adalah 0,348 (p > 0,05) maka sebaran
commit to user
36
Tabel. 4. Hasil Uji Homogenitas
Data
Uji Homogenitas Levene’s Test
Keterangan
F P
Tonsilitis Kronik 0,802 0,378 Data homogeny
Sumber: Data primer 2011
Hasil uji homogenitas dengan Levene’s Test dengan ketentuan bila
signifikan hitung > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut
diasumsikan homogen, demikian sebaliknya bila signifikan < 0,05 data
diasumsikan tidak homogen atau mempunyai perbedaan varians.
Berdasarkan uji tersebut dapat diketahui bahwa F = 0,802 (p = 0,108).
Karena p > 0,05 maka dapat dikatakan bahwa tidak terdapat perbedaan varians
antara skor kualitas hidup antara penderita tonsilitis kronik dan non tonsilitis
kronik. Gambar di bawah ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rerata
commit to user Gambar 1. Boxplots Skor Kualitas Hidup
Berdasarkan gambar tersebut diketahui bahwa rerata kualitas hidup
tonsilitis kronik adalah 1.615,7 ± 325,6, sedangkan pada non tonsilitis kronik
adalah 2.532,3 ± 269,9.
Tabel 5. Hasil Uji t-independent
Sumber: Data primer 2011
Kelompok Mean Skor
Kualitas Hidup STD
Analisis Uji t-independent
Tonsilitis Kronik
Non Tonsilitis Kronik
1.615,7
2.532,3
325,6
269,9
commit to user
38
Tabel di atas menunjukkan hasil bahwa terdapat perbedaan rerata skor
kualitas hidup yang jelas dari penderita tonsilitis kronik dan non tonsilitis
kronik. Di mana hasil uji t-independent p = 0,000. Jadi dapat disimpulkan
terdapat perbedaan yang signifikan antara rerata nilai kualitas hidup penderita
tonsilitis kronik dan non tonsilitis (Dahlan, 2005). Selain itu juga dapat dilihat
bahwa rerata skor kualitas hidup penderita tonsilitis kronik lebih rendah
dibandingkan dengan non tonsilitis kronik. Selain itu, karena p < 0,05 juga
commit to user
39
BAB V
PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tonsilitis kronik
dengan penurunana kualitas hidup. Tonsilitis kronik adalah infeksi pada tonsila
palatina yang berlangsung setidaknya 3 bulan dengan gejala klinik adalah keluhan
yang dirasakan penderita antara lain rasa tidak enak ditenggorok, sakit tenggorok,
sulit sampai sakit menelan, tidak enak badan, malaise, sakit kepala. Berdasarkan
data hasil penelitian pada Tabel 1 diketahui jumlah sampel yang dapat dianalisis
dalam penelitian ini adalah 30 anak. Didapatkan dari anak usia antara 5-15 tahun
yang terdiri dari 15 anak penderita tonsilitis kronik dan 15 anak non tonsilitis
kronik. Penentuan batas usia antara 5-15 tahun dikarenakan periode tersering pada
anak yang mengalami tonilitis kronik, selain itu anak juga mengalami masa
pertumbuhan sehingga kondisi fisik, emosi dan psikologi secara umum hampir
sama, rntang umur cukup lebar ini tidak mempengaruhi kualitas hidup.
Pada tabel 2 menunjukkan distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin, .
Tabel tersebut menunjukkan bahwa jenis kelamin laki-laki pada penderita
tonsilitis kronik memiliki persentase yang lebih besar dibandingkan dengan
perempuan, sedangkan non tonsilitis kronik jenis kelamin perempuan memiliki
presentase lebih besar dari pada laki-laki. Kelompok tonsilitis kronik memiliki
jumlah sampel laki-laki sebanyak 8 (53,3%) anak dan perempuan sebanyak 7 anak
(46,7%) anak dari 15 anak. Pada kelompok non tonsiliitis kronik memiliki jumlah
commit to user
40
(53,3%) anak dari 15 anak. Pada penelitian ini tidak mengkategorikan jenis
kelamin ke dalam variabel luar yang dapat dikendalikan.
Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa Karena nilai p untuk nilai tonsilitis kronik
adalah 0,595 (p > 0,05) dan non tonsilitis kronik adalah 0,348 (p > 0,05) maka
sebaran data kelompok tonsilitis kronik dan non tonsilitis kronik tersebut normal.
Sebaran yang di uji normalitas datanya dilakukan dengan Shapiro-Wilk Test,
dengan ketentuan bila signifikan hitung > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa
data tersebut terdistribusi secara normal, demikian sebaliknya bila nilai signifikan
hitung < 0,05 maka data tidak terdistribusi secara normal.
Pada uji homogenitas yang ditunjukkan hasilnya pada tabel 4, berdasarkan uji
tersebut dapat diketahui bahwa F = 0,802 (p= 0,108). Karena p > 0,05 maka dapat
dikatakan bahwa tidak terdapat perbedaan varians antara skor kualitas hidup
antara penderita tonsilitis kronik dan non tonsilitis kronik.
Kualitas hidup berdasarkan yang dikembangkan oleh World Health
Organization (WHO), terdapat 5 bidang (domains) yaitu kesehatan fisik,
kesehatan psikologik, keleluasaan aktivitas, hubungan sosial dan lingkungan
Kualitas hidup pada anak secara umum meliputi beberapa faktor seperti
kondisi global, kondisi eksternal, kondisi interpersonal dan kondisi personal.
Berdasarkan Australian Centre for Asthma Monitoring (ACAM) faktor yang
berhubungan dengan kualitas hidup adalah kondisi fisik, psikologi, sosial,
ekonomi dan spiritual (ACAM, 2004). Untuk mengukur kualitas hidup pada anak
menggunakan PedsQL. Penggunanan Pediatric Quality of Life Inventory
commit to user
diuji dan memiliki kehandalan. PedsQL ini sudah mencakup mengenai fisik, emosi,
sosial, sekolah, kesehatan dan persepsi kesehatan secara menyeluruh pada anak
(Varni, 1999; Suharto 2005).
Pada penelitian ini menggunakan Uji t-independent yang merupakan uji
parametrik yang memiliki syarat data berskala numerik, terdistribusi secara
normal, data homigen dan variansi kedua kelompok dapat sama atau berbeda
(untuk 2 kelompok). Dari hasil Uji t-independent menunjukan bahwa terdapat
perbedaan rerata skor kualitas hidup yang jelas dari penderita tonsilitis kronik dan
non tonsilitis kronik. Hasil p = 0,000. Maka dapat disimpulkan perbedaan yang
signifikan antara rerata kualitas hidup penderita tonsilitis kronik dan non tonsilitis
(Dahlan, 2005). Selain itu juga dapat dilihat bahwa rerata skor kualitas hidup
penderita tonsilitis kronik lebih rendah dibandingkan dengan non tonsilitis kronik.
Hasil penelitian yang telah dilakukan ini juga didukung oleh penelitian
sebelumnya, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Stewart, et al. (2000), kesehatan
umum pada anak-anak dengan tonsilitis serupa dengan kesehatan umun untuk
anak yang menderita asma dan arthritis. Namun, untuk anak-anak yang mederita
tonsilitis kronik, memiliki beberapa skor lebih rendah (status kesehatan yang
rendah), termasuk yang berkaitan dengan dampak emosional, perilaku, dan
penyakit pada anak.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Goldstein, et al. (2008), secara
signifikan perbandingan skor yang diperoleh pada populasi anak yang menderita
tonsilitis memiliki kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan dengan
commit to user
42
tonsilitis dan adenoid hampir sama dengan kualitas hidup anak-anak yang
mengalami hipertrofi dan ganguan pernafasan pada sleep disordered, selain itu
juga sebanding dengan dua penyakit pada anak yaitu asma dan rheumatoid
arthritis. Menurut de Serres, et al. (2000), status kesehatan pada anak yang
menderita tonsilitis kronik lebih rendah daripada anak yang sehat, termasuk dari
kesehatan umum, fungsi fisik, perilaku, rasa sakit dan emosional. Penilaian klinis
dari ukuruan tonsil, obstruksi hidung dan kualitas bicara memiliki korelasi yang
buruk, fakto-faktor tersebut mempunyai efek pada kualitas hidup.
Berdasarkan Mitchell, et al. (2004), perawatan adenotonsilektomi dapat
meningkatkan kualitas hidup jangka panjang, sedangkan untuk OSA
adenotonsilektomi lebih jelas kelihatan untuk jangka pendek daripada jangka
panjang. Adapun pendapat dari Lianne, et al. (2000), bahwa tonsilektomi dapat
meningkatkan kualitas hidup pada penderita tonsilitis kronik.
Menurut de Serres, et al. (2004) semakin tinggi gejala penyakit akan
menurunkan aktivitas anak, maka dari itu gejala klinik mempengaruhi kualitias
hidup. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan yaitu
terdapatnya hubungan antara semakin meningkatnya gejala dari tonsilitis kronik
dapat menurunkan kualitas hidup. Tetapi penelitian ini mempunyai kelemahan
commit to user
43
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A.Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian rerata kualitas hidup tonsilitis kronik adalah
1.615,7 ± 325,6, sedangkan pada non tonsilitis kronik adalah 2.532,3 ± 269,9.
Maka disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara tonsilitis kronik dengan
penurunan kualitas hidup.
B.Saran
1. Perlu penelitian prospektif untuk mempelajari/membuktikan pengaruh tonsilitis
kronik terhadap penurunan kualitas hidup dengan mempertimbangkan variabel
dan memperhatikan faktor-faktor perancu lain yang belum diteliti dalam
penelitian ini.
2. Perlu melakukan penelitian lebih lanjut tentang hubungan tonsilektomi dengan
kualitas hidup. Untuk mengetahui tonsilektomi dapat meningkatkan atau