commit to user
i
KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN
KOMPLEKS SENI PERTUNJUKAN TRADISIONAL JAWA TENGAH
DI SURAKARTA
TUGAS AKHIR
Diajukan Sebagai Syarat Untuk Mencapai
Gelar Sarjana Teknik Arsitektur
Universitas Sebelas Maret
Disusun Oleh :
MUHAMMAD SYARIF H.
I 0207065
JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
ii
KOMPLEKS SENI PERTUNJUKAN TRADISIONAL JAWA TENGAH
DI SURAKARTA
Disusun Oleh :
MUHAMMAD SYARIF H.
I 0207065
Menyetujui, Surakarta, Januari 2012
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Titis S. Pitana, S.T., M. Trop. Arch. Sri Yuliani, S.T., M. App, Sc. NIP. 19680609 199402 1 001 NIP. 19710706 199512 2 001
Mengesahkan, Ketua Jurusan Arsitektur
Fakultas Teknik UNS
Dr. Ir. Mohammad Muqoffa, M.T. NIP. 19620610 199103 1 001
Ketua Prodi Arsitektur Fakultas Teknik UNS
Kahar Sunoko, S.T., M.T. NIP. 19690320 199503 1 002
Pembantu Dekan I Fakultas Teknik
Kusno Adi Sambowo, S.T, M.Sc, Ph.D. NIP. 19691026 199503 1 002
JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis pajatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan
Konsep Tugas Akhir berjudul “ Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah Di Surakarta“ sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik di
Jurusan Arsitektur Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa penyusunan Konsep Tugas Akhir ini tidak lepas
dari pihak-pihak yang telah memberi bantuan baik bantuan moril maupun materiil.
Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Mohammad Muqoffa, M.T. selaku Ketua Jurusan Arsitektur
2. Kahar Sunoko, S.T., M.T. selaku Ketua Prodi Arsitektur
3. Yosafat Winarto, S.T., M.T. selaku Kordinator Tugas Akhir
4. Ir. Y. Aries Susilo selaku Pembimbing Akademik
5. Dr. Titis Srimuda Pitana, S.T., M.Trop.Arch. selaku Dosen Pembimbing I
6. Sri Yuliani, S.T, M.App.Sc. selaku Dosen Pembimbing II
Penulis menyadari bahwa Konsep Tugas Akhir ini masih memiliki banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun. Semoga Konsep Tugas Akhir ini dapat memberikan manfaat bagi
penulis pribadi dan para pembaca.
Surakarta, 9 Januari 2012
commit to user
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Allah SWT
Puji syukur penulis pajatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan Konsep Tugas
Akhir
Keluarga Tercinta
Terima kasih atas semua dukungan baik moral maupun material.
Dr. Ir. Mohammad Muqoffa, M.T. (Ketua Jurusan Arsitektur)
Kahar Sunoko, S.T., M.T. (Ketua Prodi Arsitektur)
Yosafat Winarto, S.T., M.T. (Kordinator Tugas Akhir)
Ir. Y. Aries Susilo (Pembimbing Akademik)
Terima kasih atas ijin yang anda berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan
Konsep Tugas Akhir.
Dr. Titis Srimuda Pitana, S.T., M.Trop.Arch. (Dosen Pembimbing I)
Sri Yuliani, S.T, M.App.Sc. (Dosen Pembimbing II)
Terima kasih atas bimbingan anda selama hampir satu tahun. Berkat bimbingan
dan arahan anda, penulis dapat menyelesaikan Konsep Tugas Akhir.
Teman-Teman Studio 124
commit to user
v
Bram Sanjaya
Terima kasih atas bantuan Maket Tugas Akhir.
Fatkhurahman, Irfan, Fungki, dan Sukamto
commit to user
vi DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Lembar Pengesahan ii
Kata Pengantar iii
Ucapan Terima Kasih iv
Daftar Isi vi
Daftar Gambar xii
Daftar Tabel xvi
Daftar Diagram xix
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.Judul dan Pemahaman Judul 1
1.2.Latar Belakang 2
1.3.Permasalahan dan Persoalan 7
4.6.1.Permasalahan 7
4.6.2.Persoalan 7
1.4.Tujuan dan Sasaran 8
1.4.1.Tujuan 8
1.4.2.Sasaran 8
1.5.Metode Perencanaan dan Perancangan 9
1.5.1.Penelusuran Masalah 9
commit to user
vii
1.5.3.Pendekatan Konsep Perencanaan dan Perancangan 10
1.5.4.Transformasi dan Rancang Bangun Arsitektur 11
1.6.Sistematika Penulisan 12
BAB 2 TINJAUAN KOMPLEKS SENI PERTUNJUKAN
TRADISIONAL JAWA TENGAH DI SURAKARTA
2.1.Tinjauan Kompleks Seni 13
2.2.Tinjauan Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah 14
2.2.1.Jenis dan Pelaku Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah 14
2.2.2.Fungsi Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah 23
2.2.3.Ruang Pentas Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah 24
2.3.Tinjauan Kehidupan Seniman Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah 27
2.4.Tinjauan Suasana Kampung Sebagai Cerminan Kehidupan
Seniman Yang Bebas 28
2.5.Tinjauan Arsitektur Jawa 29
2.5.1.Arsitektur Jawa Sebagai Wujud
Kearifan Lokal Manusia Jawa 32
2.5.2.Arsitektur Jawa Dalam Tampilan Fisik 32
2.5.3.Arsitektur Jawa Secara Konseptual 34
2.5.4.Aspek Konseptual Arsitektur Jawa Sebagai Pijakan
Dalam Perolehan Bentuk Fisik 42
2.6.Tinjauan Kota Surakarta 43
commit to user
viii
2.6.2.Rencana Pemanfaatan Ruang Kota Surakarta 44
2.6.3.Tinjauan Pariwisata Budaya Kota Surakarta 46
2.6.4.Tinjauan Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah di Surakarta 49
2.6.5.Fasilitas Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah di Surakarta 60
BAB 3 KOMPLEKS SENI PERTUNJUKAN TRADISIONAL
JAWA TENGAH DI SURAKARTA YANG DIRENCANAKAN
3.1.Deskripsi Singkat 62
3.2.Visi, Misi, Peran, Fungsi, Manfaat, dan Sasaran Pelayanan 63
3.2.1.Visi 63
3.2.2.Misi 63
3.2.3.Peran 63
3.2.4.Fungsi 64
3.2.5.Manfaat 64
3.2.6.Sasaran Pelayanan 65
3.3.Eksistensi Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
Yang Direncanakan di Tengah Kondisi Budaya Surakarta 65
3.4.Kegiatan dan Pelaku Kegiatan Yang Direncanakan 67
3.5.Ruang Kegiatan Yang Direncanakan 70
3.6.Lokasi Yang Direncanakan 73
3.7.Suasana Kampung Yang Direncanakan 74
commit to user
ix
BAB 4 PENDEKATAN KONSEP PERENCANAAN DAN
PERANCANGAN KOMPLEKS SENI PERTUNJUKAN
TRADISIONAL JAWA TENGAH DI SURAKARTA
4.1.Analisa Kegiatan dan Pelaku Kegiatan 77
4.1.1.Analisa Kegiatan 77
4.1.2.Analisa Pelaku Kegiatan 79
4.2.Analisa Ruang 81
4.2.1.Analisa Kebutuhan Ruang 81
4.2.2.Analisa Besaran Ruang 90
4.2.3.Analisa Hubungan Ruang 103
4.2.4.Analisa Bentuk, Ekspresi, dan Tata Ruang 108
4.3.Analisa Tapak/Site 112
4.3.1.Analisa Pemilihan Lokasi Tapak/Site 112
4.3.2.Analisa Penentuan Tapak/Site 118
4.3.3.Analisa Pencapaian Tapak/Site 125
4.3.4.Analisa Kebisingan (Noise) 128
4.3.5.Analisa Pandangan (View) di Dalam Tapak/Site 131
4.3.6.Analisa Zoning 133
4.3.7.Analisa Sirkulasi di Dalam Tapak/Site 135
4.4.Analisa Massa Bangunan 137
4.4.1.Analisa Bentuk, Arah, Ekspresi, dan Tata Massa
Bangunan 137
commit to user
x
4.6.Analisa Utilitas 148
4.6.1.Analisa Sistem Pencahayaan dan Penghawaan 148
4.6.2.Analisa Sistem Air 154
4.6.3.Analisa Sistem Penanganan Sampah 156
4.6.4.Analisa Sistem Elektrikal 157
4.6.5.Analisa Sistem Penanggulangan Kebakaran 158
4.6.6.Analisa Sistem Penangkal Petir 160
BAB 5 KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN
KOMPLEKS SENI PERTUNJUKAN TRADISIONAL
JAWA TENGAH DI SURAKARTA
5.1.Konsep Kegiatan dan Pelaku Kegiatan 161
5.2.Konsep Ruang 164
5.2.1.Kebutuhan dan Besaran Ruang 164
5.2.2.Konsep Hubungan Ruang 172
5.2.3.Konsep Bentuk, Ekspresi, dan Tata Ruang 177
5.3.Konsep Tapak/Site 179
5.3.1.Lokasi Tapak/Site Terpilih 179
5.3.2.Site Terpilih 180
5.3.3.Pencapaian Tapak/Site 183
5.3.4.Respon Terhadap Kebisingan (Noise) dan Angin 184
5.3.5.Pandangan (View) di Dalam Site 185
5.3.6.Zoning 186
commit to user
xi
5.4.Konsep Massa Bangunan 188
5.4.1.Bentuk, Arah, Ekspresi, dan Tata Massa Bangunan 188
5.5.Konsep Sistem Struktur dan Kontruksi 193
5.6.Konsep Utilitas 194
5.6.1. Sistem Pencahayaan dan Penghawaan 194
5.6.2. Sistem Air 195
5.6.3. Sistem Penanganan Sampah 197
5.6.4. Sistem Elektrikal 197
5.6.5. Sistem Penanggulangan Kebakaran 198
5.6.6. Sistem Penangkal Petir 198
Daftar Pustaka 199
Lampiran Lampiran 1
A.Tranformasi Desain Lampiran 1
B.Gambar Kerja Lampiran 18
commit to user
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Pementasan Wayang Kulit di Pendhopo Rumah 26
Gambar 2.2. Pementasan Tari Tradisional di Ruang Terbuka
(Halaman Rumah dan Pasar) 28
Gambar 2.3. Kondisi Rumah-Rumah Seniman Yang Sederhana
dan Menyatu Dengan Alam 28
Gambar 2.4. Suasana Kampung Sumber, Banjarsari, Surakarta
Dengan Pepohonan Pisang, Melinjo, dan Mangga 29
Gambar 2.5. Denah Rumah Tinggal Jawa 39
Gambar 2.6. Posisi Pagelaran Wayang Pada Bangunan Jawa 40
Gambar 2.7. Peta Kota Surakarta 44
Gambar 2.8. Peta Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) 45
Gambar 2.9. Peta Pariwisata Kota Surakarta 46
Gambar 4.1. Bentuk Ruang Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah 109
Gambar 4.2. Ekspresi Ruang Kompleks Seni Pertunjukan
commit to user
xiii
Gambar 4.3. Tata Ruang Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah 112
Gambar 4.4. Daerah Sumber 114
Gambar 4.5. Daerah Mojosongo 115
Gambar 4.6. Daerah Ngarsopuro 116
Gambar 4.7. Alternatif Lokasi Site Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah 117
Gambar 4.8. Lokasi Tapak/Site Terpilih (Daerah Sumber) 118
Gambar 4.9. Alternatif Site 1 120
Gambar 4.10. Alternatif Site 2 121
Gambar 4.11. Kondisi Eksisting Site 1 Dan Site 2
Berupa Persawahan 121
Gambar 4.12. Jalan Kahuripan Utara Terhubung Langsung
Dengan Jalan Kahuripan Barat 122
Gambar 4.13. Kondisi Perkampungan di Sebelah Timur Site 122
Gambar 4.14. Kondisi Lingkungan Site Yang Tenang 122
Gambar 4.15. Saluran Iringasi di Dalam Site 123
Gambar 4.16. Potensi Kedua Alternatif Site 123
Gambar 4.17. Site Terpilih 125
Gambar 4.18. Potensi Pencapaian Site 127
Gambar 4.19. Pencapaian Site 128
Gambar 4.20. Potensi Noise di Sekitar Site 130
Gambar 4.21. Respon Terhadap Noise di Dalam Site 131
commit to user
xiv
Gambar 4.23. Zoning Site 135
Gambar 4.24. Sirkulasi di Dalam Site 137
Gambar 4.25. Bentuk Massa Bangunan Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah 140
Gambar 4.26. Ekspresi Massa Bangunan Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah 141
Gambar 4.27. Tata Massa Bangunan Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah 143
Gambar 4.28. Orientasi Bangunan Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah 144
Gambar 4.29. Pondasi Menerus 145
Gambar 4.30. Pondasi Setempat 146
Gambar 4.31. Pondasi Gabungan 146
Gambar 4.32. Pondasi Plat 146
Gambar 5.1. Bentuk Ruang Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah 177
Gambar 5.2. Ekspresi Ruang Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah 178
Gambar 5.3. Tata Ruang Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah 179
Gambar 5.4. Daerah Sumber 180
Gambar 5.5. Tapak/Site Terpilih 181
Gambar 5.6. Kondisi Eksisting Site 1 (kiri) dan Site 2 (kanan)
commit to user
xv
Gambar 5.7. Jalan Kahuripan Utara Terhubung Langsung
Dengan Jalan Kahuripan Barat 182
Gambar 5.8. Kondisi Perkampungan di Sebelah Timur Site 182
Gambar 5.9. Kondisi Lingkungan Site Yang Tenang 183
Gambar 5.10. Saluran Iringasi di Dalam Site 183
Gambar 5.11. Pencapaian Site 184
Gambar 5.12. Respon Kebisingan dan Angin Pada Site 185
Gambar 5.13. View Bangunan di Dalam Site 186
Gambar 5.14. Zoning Site 187
Gambar 5.15. Sirkulasi di Dalam Site 188
Gambar 5.16. Bentuk Massa Bangunan Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah 190
Gambar 5.17. Ekspresi Massa Bangunan Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah 191
Gambar 5.18. Tata Massa Bangunan Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah 192
Gambar 5.19. Orientasi Bangunan Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah 193
Gambar 5.20. Pondasi Menerus 193
commit to user
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Tipe Arsitektur Jawa 33
Tabel 2.2. Tabel Fungsi Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) 45
Tabel 2.3. Kunjungan Wisatawan (Mancanegara dan Domestik) ke
Obyek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) di Kota Surakarta 48
Tabel 2.4. Kunjungan Wisatawan (Mancanegara dan Domestik) ke
Obyek Wisata di Kota Surakarta 48
Tabel 4.1. Kebutuhan Ruang Panggung Terbuka 82
Tabel 4.2. Kebutuhan Ruang Griya Ageng Tari 83
Tabel 4.3. Kebutuhan Ruang Griya Ageng Musik Tradisional 84
Tabel 4.4. Kebutuhan Ruang Griya Ageng Teater Boneka 85
Tabel 4.5. Kebutuhan Ruang Griya Ageng Teater Orang 85
Tabel 4.6. Kebutuhan Ruang Griya Alit Tari 86
Tabel 4.7. Kebutuhan Ruang Griya Alit Musik Tradisional 87
Tabel 4.8. Kebutuhan Ruang Griya Alit Teater Boneka 87
Tabel 4.9. Kebutuhan Ruang Griya Alit Teater Orang 87
Tabel 4.10. Kebutuhan Ruang Mushola 88
Tabel 4.11. Kebutuhan Ruang Lapangan 88
Tabel 4.12. Kebutuhan Ruang Gazebo 89
Tabel 4.13. Kebutuhan Ruang Angkringan 89
Tabel 4.14. Kebutuhan Ruang Griya Pengelola 89
commit to user
xvii
Tabel 4.16. Besaran Ruang Griya Ageng Tari 92
Tabel 4.17. Besaran Ruang Griya Ageng Musik Tradisional 94
Tabel 4.18. Besaran Ruang Griya Ageng Teater Boneka 95
Tabel 4.19. Besaran Ruang Griya Ageng Teater Orang 96
Tabel 4.20. Besaran Ruang Griya Alit Tari 97
Tabel 4.21. Besaran Ruang Griya Alit Musik Tradisional 97
Tabel 4.22. Besaran Ruang Griya Alit Teater Boneka 98
Tabel 4.23. Besaran Ruang Griya Alit Teater Orang 98
Tabel 4.24. Besaran Ruang Mushola 99
Tabel 4.25. Besaran Ruang Lapangan 99
Tabel 4.26. Besaran Ruang Gazebo 99
Tabel 4.27. Besaran Ruang Angkringan 99
Tabel 4.28. Besaran Ruang Griya Pengelola 100
Tabel4.29. Luas Total Ruang Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah 100
Tabel 4.30. Kode Pola Hubungan Antar Ruang 106
Tabel 4.31. Penilaian Alternatif Site Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah 117
Tabel 4.32. Hubungan Zona Ruang Dengan Pencapaian,
Kebisingan (Noise), Angin, dan Pandangan (View) 134
Tabel 5.1. Kebutuhan dan Besaran Ruang Panggung Terbuka 164
Tabel 5.2. Kebutuhan dan Besaran Ruang Griya Ageng Tari 165
Tabel 5.3. Kebutuhan dan Besaran Ruang Griya Ageng
commit to user
xviii
Tabel 5.4. Kebutuhan dan Besaran Ruang Griya Ageng
Teater Boneka 167
Tabel 5.5. Kebutuhan dan Besaran Ruang Griya Ageng Tari 168
Tabel 5.6. Kebutuhan dan Besaran Ruang Griya Alit Tari 169
Tabel 5.7. Kebutuhan dan Besaran Ruang Griya Alit
Musik Tradisional 169
Tabel 5.8. Kebutuhan dan Besaran Ruang Griya Alit
Teater Boneka 169
Tabel 5.9. Kebutuhan dan Besaran Ruang Griya Alit
Teater Orang 170
Tabel 5.10. Kebutuhan dan Besaran Ruang Mushola 170
Tabel 5.11. Kebutuhan dan Besaran Ruang Lapangan 171
Tabel 5.12. Kebutuhan dan Besaran Ruang Gazebo 171
Tabel 5.13. Kebutuhan dan Besaran Ruang Angkringan 171
Tabel 5.14. Kebutuhan dan Besaran Ruang Griya Pengelola 171
commit to user
xix
DAFTARDIAGRAM
Diagram 2.1. Kunjungan Wisatawan (Mancanegara dan Domestik)
ke Obyek dan Daya Tarik Wisata (ODTW)
di Kota Surakarta 48
Diagram 4.1. Hubungan Antara Kelompok Ruang Publik
Dengan Kelompok Ruang Semi Publik 103
Diagram 4.2. Hubungan Antara Kelompok Ruang Publik
Dengan Kelompok Ruang Privat 104
Diagram 4.3. Hubungan Antara Kelompok Ruang Publik
Dengan Kelompok Ruang Servis 104
Diagram 4.4. Hubungan Antara Kelompok Ruang Publik
Dengan Kelompok Ruang Pengelola 104
Diagram 4.5. Hubungan Antara Kelompok Ruang
Semi Publik Dengan Kelompok Ruang Privat 104
Diagram 4.6. Hubungan Antara Kelompok Ruang
Semi Publik Dengan Kelompok Ruang Servis 104
Diagram 4.7. Hubungan Antara Kelompok Ruang
Semi Publik Dengan Kelompok Ruang Pengelola 105
Diagram 4.8. Hubungan Antara Kelompok Ruang Privat
Dengan Kelompok Ruang Servis 105
Diagram 4.9. Hubungan Antara Kelompok Ruang Privat
commit to user
xx
Diagram 4.10. Hubungan Antara Kelompok Ruang Servis
Dengan Kelompok Ruang Pengelola 105
Diagram 4.11. Hubungan Antara Kelompok Ruang Seni
Dengan Kelompok Ruang Berhuni 105
Diagram 4.12 Hubungan Antara Kelompok Ruang Seni
Dengan Kelompok Ruang Servis 106
Diagram 4.13. Hubungan Antara Kelompok Ruang Berhuni
Dengan Kelompok Ruang Servis 106
Diagram 4.14. Hubungan Antara Kelompok Ruang
di Dalam Griya Alit 107
Diagram 4.15. Sistem Air Bersih dan Air Kotor Bangunan Kompleks
Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah 155
Diagram 4.16. Sistem Penanganan Sampah Bangunan Kompleks
Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah 157
Diagram 5.1. Hubungan Antara Kelompok Ruang
Publik Dengan Kelompok Ruang Semi Publik 172
Diagram 5.2. Hubungan Antara Kelompok Ruang
Publik Dengan Kelompok Ruang Privat 173
Diagram 5.3. Hubungan Antara Kelompok Ruang
Publik Dengan Kelompok Ruang Servis 173
Diagram 5.4. Hubungan Antara Kelompok Ruang
Publik Dengan Kelompok Ruang Pengelola 173
Diagram 5.5. Hubungan Antara Kelompok Ruang
commit to user
xxi
Diagram 5.6. Hubungan Antara Kelompok Ruang
Semi Publik Dengan Kelompok Ruang Servis 173
Diagram 5.7. Analisa Hubungan Antara Kelompok Ruang
Semi Publik Dengan Kelompok Ruang Pengelola 174
Diagram 5.8. Hubungan Antara Kelompok Ruang Privat
Dengan Kelompok Ruang Servis 174
Diagram 5.9. Hubungan Antara Kelompok Ruang Privat
Dengan Kelompok Ruang Pengelola 174
Diagram 5.10. Hubungan Antara Kelompok Ruang Servis
Dengan Kelompok Ruang Pengelola 174
Diagram 5.11. Hubungan Antara Kelompok Ruang Seni
Dengan Kelompok Ruang Berhuni 174
Diagram 5.12. Hubungan Antara Kelompok Ruang Seni
Dengan Kelompok Ruang Servis 175
Diagram 5.13. Hubungan Antara Kelompok Ruang Berhuni
Dengan Kelompok Ruang Servis 175
Diagram 5.14. Hubungan Antara Kelompok Ruang
di Dalam GriyaAlit 176
Diagram 5.15. Sistem Air Bersih dan Air Kotor Kompleks
Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah 196
Diagram 5.16. Sistem Penanganan Sampah Kompleks
commit to user BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Judul dan Pemahaman Judul
Judul dalam Tugas Akhir ini adalah Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah Di Surakarta. Pemahaman tentang judul tersebut
dapat diperoleh dari penelusuran berikut.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kompleks sebagai
suatu kesatuan, kelompok, daerah, atau lingkungan yang merujuk pada
sekelompok bangunan, seperti kompleks industri yang dipahami sebagai
kelompok atau daerah kegiatan industri. Pemahaman yang sama diperoleh
dari www.wikipedia.org (25 Agustus 2011) yang mendefinisikan kompleks
sebagai suatu kesatuan dari sejumlah bagian yang saling berhubungan dan
dapat merujuk pada gabungan beberapa bangunan dalam suatu wilayah.
Seni pertunjukan adalah segala ungkapan seni yang substansi
dasarnya pergelaran langsung di hadapan penonton (Sedyawati, 2009:1).
Sementara itu, Dwi (2008:187) mengungkapkan bahwa seni tradisional
adalah seni yang telah baku oleh aturan-aturan tertentu. Aturan baku tersebut
diwariskan secara turun menurun dari satu generasi ke generasi berikutnya
dalam kurun waktu yang telah disepakati. Dengan demikian, seni pertunjukan
tradisional Jawa Tengah yakni segala ungkapan seni yang diwariskan secara
turun menurun dalam kehidupan masyarakat Jawa Tengah dan dapat
commit to user
dipergelarkan langsung kepada penonton dengan berpedoman pada
aturan-aturan baku yang telah disepakati.
Dari uraian diatas didapat pemahaman singkat mengenai judul
“Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah Di Surakarta”, yakni
sekelompok bangunan sebagai wadah kegiatan seni pertunjukan tradisional
Jawa Tengah yang menempati wilayah tertentu di Surakarta.
1.2. Latar Belakang
Seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah merupakan salah satu aset
negara yang dapat memperkaya khasanah budaya Indonesia. Keberadaannya
memberi warna tersendiri sehingga dapat menambah nilai seni dan budaya
Jawa Tengah. Selain itu, seni pertunjukan Jawa Tengah mampu memberi
identitas/ciri khas tersendiri terhadap Jawa Tengah. Pesan-pesan moral yang
terkandung di dalam setiap pergelaran seni pertunjukan tersebut menunjukkan
bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang berbudi luhur.
Saat ini minat masyarakat terhadap seni pertunjukan tradisional Jawa
Tengah mulai menurun. Hal itu ditandai dengan gulung tikarnya beberapa
seni pertunjukan seperti ketoprak, wayang wong, dan drama tradisional yang
ditunjukkan dengan bubarnya beberapa kelompok seni yang pernah jaya
dimasa lalu, seperti: kelompok Dagelan Mataram, Sri Mulat, dan lain-lain
(Susatyo, 2008: 4). Selain itu, keberadaan seni pertunjukan ini mulai tergeser
oleh kebudayaan Barat yang lebih canggih dan modern, seperti musik rock,
disco,dan lainya. Hal ini terlihat dari perilaku masyarakat Jawa Tengah
commit to user
seni pertunjukan tersebut. Seperti yang dimuat pada Harian Radar
Tasikmalaya tanggal 17 Oktober 2010 bahwa generasi muda saat ini
cenderung menyukai kebudayaan luar daripada kebudayaan daerah.
Alasannya adalah arus budaya luar begitu gencar masuk ke negara Indonesia
melalui media massa. Sementara itu, filterisasi kebudayaan nyaris tidak ada.
Keadaan ini diperparah dengan lemahnya bimbingan dari kalangan orang tua
untuk mengenalkan keanekaragaman seni budaya daerah kepada generasi
muda. Padahal, dengan mengetahui dan memahami kesenian tradisional
generasi muda mendapatkan kesempatan untuk melakukan studi banding
dengan kebudayaan tradisional di negara-negara lain. Generasi muda akan
lebih mengetahui bahwa seni budaya Indonesia lebih unggul daripada seni
budaya asing. Keprihatinan terhadap rendahnya daya dukung pemuda
terhadap seni tradisional juga diungkapkan dalam Harian Pelita tanggal 5 Mei
2011 yang menyatakan bahwa sekarang ini generasi muda sangat jauh dari
seni tradisional. Mereka lebih suka dengan kesenian modern termasuk
kesenian yang datangnya dari dunia Barat.
Di balik menurunnya minat masyarakat terhadap seni pertunjukan
tradisional Jawa Tengah masih ada masyarakat Jawa Tengah yang mencoba
mempertahankannya dengan membentuk grup-grup kesenian antara lain grup
kesenian tari, wayang kulit, wayang wong, kethoprak, karawitan, dan
lain-lain. Grup-grup kesenian tersebut ada yang tumbuh melalui lembaga
pelatihan dan ada pula yang tumbuh di lingkungan masyarakat sebagi salah
satu bagian dari kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Keberadaan seni
commit to user
masyarakat tertentu terutama masyarakat di kampung-kampung yang masih
menganggap tradisi sebagai bagian dari kehidupan mereka. Pagelaran wayang
kulit, wayang wong, dan kethoprak dalam acara ruwatan serta pentas Tari
Gambyong dalam upacara pernikahan Jawa merupakan wujud dari
pentingnya seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah bagi masyarakat Jawa.
Keberadaan grup-grup kesenian kurang lengkap tanpa fasilitas yang
mewadahi kegiatan mereka. Oleh karena itu, Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah perlu dibangun sebagai wadah kegiatan seni para
seniman. Kegiatan seni bukanlah kegiatan singkat karena untuk mementaskan
suatu cerita perlu berkali-kali latihan. Selama proses latihan dan pentas
tersebut seniman memerlukan hunian untuk tinggal. Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah direncanakan sebagai wadah kegiatan
seni dan kegiatan berhuni seniman selama mereka mengadakan latihan dan
pentas.
Keberhasilan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
dalam menjalankan fungsinya tentu sangat dipengaruhi oleh lokasi bangunan
tersebut. Surakarta merupakan salah satu kota di Jawa Tengah yang menjadi
tujuan wisata seni dan budaya. Koentjaraningrat (1995:329) menyebut kota
ini sebagai pusat kebudayaan Jawa. Hal ini disebabkan karena Surakarta
memiliki banyak peninggalan seni dan budaya, antara lain Keraton
Kasunanan, Puro Mangkunegaran, bangunan kolonial Belanda, Museum
Radya Pustaka, tari-tarian tradisional, dan masih banyak yang lainnya.
Keberagaman peninggalan seni dan budaya tersebut mampu menarik minat
commit to user
baik wisatawan domestic maupun wisatawan mancanegara yang berkunjung
ke Surakarta untuk mengenal, mempelajari, dan berapresiasi terhadap seni
dan budaya setempat. Data dari Dinas Pariwisata Seni dan Kebudayaan
Surakarta tahun 2003-2010 menunjukkan bahwa kunjungan wisatawan ke
kota Surakarta semakin meningkat setiap tahunnya. Pembangunan Kompleks
Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah di Surakarta merupakan salah satu
upaya menjaga kearifan lokal Surakarta yang sarat akan budaya.
Saat ini Surakarta telah memiliki beberapa wadah kegiatan seni, yakni
Taman Budaya Surakarta, Gedung Wayang Wong Sriwedari, dan Gedung
Kethoprak Balekambang yang lebih berfungsi sebagai tempat latihan dan
pentas. Fasilitas tersebut dinilai kurang konteks dengan seni pertunjukan
tradisional yang lebih cocok dipentaskan di ruang-ruang sederhana. Selain itu,
Taman Budaya Surakarta tersebut kurang mendukung bagi kehidupan berhuni
seniman yang bebas dan bersahabat dengan alam. Wisma seni Taman Budaya
Surakarta lebih difungsikan sebagai tempat tinggal sementara bagi seniman
yang sedang mengadakan latihan dan pentas. Desain wisma seni dinilai
kurang menjiwai karakter para seniman. Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah hadir sebagai fasilitas seni bernuansa kampung,
yakni nuansa kesederhanaan, bebas, akrab, dan menyatu dengan alam.
Kesederhanaan yang dimaksud adalah kesederhanaan dalam pentas dimana
seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah ditampilkan secara non formal
dalam ruang-ruang sederhana sebagaimana mengulang kebiasaan pentas seni
pertunjukan tersebut. Hunian-hunian seniman didesain sebagai respon dari
commit to user
Seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah tumbuh di lingkungan
masyarakat Jawa Tengah dan sering dipentaskan di dalam maupun diluar
bangunan Jawa, seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa dahulu
kesenian wayang, wayang wong, dan kethoprak sering dipentaskan di dalam
salah satu bagian rumah tinggal Jawa seperti pendhopo dan pringgitan
(Soetarno, 2005 dan Padmodarmaya, 1988:35). Dengan demikian, alangkah
baiknya jika bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
dirancang dengan konsep arsitektur Jawa agar lebih kontekstual dengan
kegiatan yang diwadahi di dalamnya.
Sebagai Kota Budaya, Surakarta hendaknya mampu mempertahankan
hasil karya budaya yang tumbuh dan diwariskan oleh masyarakat Jawa.
Arsitektur Jawa merupakan salah satu hasil karya budaya yang dimiliki
Surakarta. Hal ini dapat dilihat pada bangunan-bangunan bersejarah di
Surakarta yang hingga kini masih terpelihara dengan baik seperti Keraton
Kasunanan, Puro Mangkunegaran, dan Museum Radya Pustaka yang masih
bercirikan arsitektur Jawa. Tampilan arsitektur Jawa juga menjadi ciri khas
perkampungan di Surakarta karena sebagian besar kampung di Surakarta
memiliki tampilan fisik arsitektur Jawa, seperti Kampung Baluwarti,
Kampung Kauman, Kampung Laweyan, dan lain-lain. Oleh karena itu,
konsep arsitektur Jawa pada Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah yang direncanakan sangat diperlukan sebagai salah satu usaha untuk
commit to user
1.3.Permasalahan dan Persoalan
1.3.1.Permasalahan
Bagaimana konsep perencanaan dan perancangan Kompleks
Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah di Kota Surakarta sebagai
wadah kegiatan seni dan kegiatan berhuni para seniman dalam suasana
ruang yang bebas, alami, dan sederhana seperti suasana di suatu
kampung berarsitektur Jawa.
1.3.2.Persoalan
Berdasarkan permasalahan yang ada muncul beberapa persoalan
sebagai berikut.
1) Jenis kegiatan seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah apa yang
diwadahi dan bagaimana wujud wadah kegiatan tersebut agar tujuan
pelestarian seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah dapat tercapai.
2) Bagaimana program ruang yang mampu menampung kegiatan seni
dan kegiatan berhuni para seniman.
3) Bagaimana lokasi yang berpotensi dan mendukung keberadaan serta
operasional Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
yang akan didirikan.
4) Bagaimana bentuk dan tata massa bangunan yang mencerminkan
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah sebagai wadah
kegiatan seni dan kegiatan berhuni dengan suasana ruang bebas,
alami, dan sederhana seperti suasana di suatu kampung berarsitektur
commit to user
5) Bagaimana struktur dan kontruksi bangunan Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah agar dapat berdiri kokoh
dalam menahan beban yang mengenainya sehingga terjamin
kenyamanan dan keselamatan penggunanya.
6) Bagaimana utilitas bangunan yang mendukung fungsi Kompleks
Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah.
1.4.Tujuan dan Sasaran
1.4.1.Tujuan
Terwujudnya konsep perencanaan dan perancangan Kompleks
Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah di Kota Surakarta sebagai
wadah kegiatan seni dan kegiatan berhuni para seniman dalam suasana
ruang yang bebas, alami, dan sederhana seperti suasana di suatu
kampung berarsitektur Jawa.
1.4.2.Sasaran
Sasaran dalam penyusunan konsep perencanaan dan
perancangan fisik Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
Di Surakarta yakni sebagai berikut.
1) Konsep kegiatan dan pelaku kegiatan
2) Konsep kebutuhan, besaran, dan hubungan ruang
3) Konsep lokasi dan site
4) Konsep bentuk dan tata massa bangunan berarsitektur Jawa
5) Konsep sistem struktur dan kontruksi bangunan
commit to user
1.5.Metode Perencanaan dan Perancangan
Metode perencanaan dan perancangandilakukan dengan memaparkan,
mengidentifikasi, dan mendeskripsikan tentang Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah Di Surakarta dengan pendekatan arsitektur Jawa
melalui beberapa prosedur, yaitu penelusuran masalah, pengumpulan data,
pendekatan konsep perencanaan dan perancangan, transformasi dan rancang
bangun.
1.5.1.Penelusuran Masalah
Masalah yang timbul berangkat dari adanya isu-isu yang sedang
berkembang tentang kelestarian seni pertunjukan tradisional Jawa
Tengah. Kemudian isu-isu tersebut ditelusuri tentang kebenarannya
dengan mencari data-data yang relevan dan dapat dipercaya melalui
buku, media cetak, dan media elektronik.
1.5.2.Pengumpulan Data
Data yang dibutuhkan dalam penyusunan konsep ini
dikumpulkan dengan cara sebagai berikut.
1) Studi Literatur
Studi literatur dipergunakan untuk mendapatkan data-data
sekunder, meliputi tinjauan kompleks seni, tinjauan seni pertunjukan
tradisional Jawa Tengah sebagai obyek pelestarian, tinjauan kehidupan
seniman, tinjauan suasana kampung, tinjauan arsitektur Jawa, dan
tinjauan Kota Surakarta sebagai lokasi berdirinya Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah yang diperoleh dari buku, jurnal,
commit to user
2) Wawancara
Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak yang terkait, yakni
seniman seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah, wisatawan di
Surakarta, dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Surakarta untuk
memperoleh informasi tentang kondisi seni pertunjukan tradisional
Jawa Tengah saat ini dan tingkat kunjungan wisatawan di Surakarta.
1.5.3.Pendekatan Konsep Perencanaan dan Perancangan
Pendekatan perumusan konsep perencanaan dan perancangan
melalui metoda induktif, yaitu pendekatan berdasarkan data empiric dan
metoda deduktif, yaitu pendekatan berdasarkan teoritik yang membantu
mengarahkan pembahasan sesuai dengan perencanaan yang diinginkan.
Cara yang digunakan yakni sebagai berikut.
1) Analisa
Merupakan metode penguraian dan pengkajian data-data dan
informasi yang akan digunakan sebagai data relevan bagi perencanaan
dan perancangan. Metode yang digunakan adalah metode analisa
deskriptif yaitu metode penguraian data dan informasi yang disertai
gambar sebagai media berdasar pada teori normatif yang ada. Pada
tahapan analisa ini dilakukan pengolahan data-data yang telah
terkumpul dan dikelompokan berdasarkan program fungsional,
performasi, dan arsitektural sebagai berikut.
a) Program fungsional untuk mengidentifikasi penggunaan bangunan
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah meliputi
commit to user
b) Program performasi yang membahas tentang persyaratan atau
kriteria pemilihan site, program ruang, dan persyaratan lain yang
berhubungan dengan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah.
c) Program arsitektural merupakan tahap penggabungan dari hasil
analisa fungsional dan performasi yang dilakukan dengan
menganalisa masalah pengolahan site, ruang, massa, tampilan,
struktur, kontruksi, dan utilitas bangunan dengan memperhatikan dan
menyesuaiakan dengan kebutuhan dan aktivitas pengguna serta
persyaratan-persyaratan lain yang berhubungan dengan perencanaan
dan perancangan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah.
2) Sintesa
Hasil analisa tersebut kemudian diolah dan disimpulkan untuk
mendapatkan pendekatan konsep perencanaan dan perancangan yang
sesuai sehingga siap ditransformasikan ke dalam bentuk ungkapan fisik
yang dikehendaki.
1.5.4.Transformasi dan Rancang Bangun Arsitektur
Berdasarkan deskripsi pendekatan konsep perencanaan dan
perancangan kemudian dilakukan transformasi untuk memperjelas apa
yang dideskripsikan menjadi wujud gambaran yang berisi ide-ide
rancangan Kompleks yang dihendaki (konsep diagramatik dan
commit to user
Ide-ide rancangan tersebut kemudian dikembangkan menjadi
produk desain berupa gambar-gambar dua dimensi dan tiga dimensi
serta dilengkapi dengan maket sebagai pelengkap informasi desain.
1.6.Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan konsep perencanaan dan perancangan
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah Di Surakarta sebagai
berikut.
1) Tahap pertama menguraikan tentang judul, pemahaman judul, latar
belakang, permasalahan, persoalan, tujuan, sasaran, metode perencanaan
dan perancangan, serta sistematika penulisan.
2) Tahap kedua menyajikan data-data terkait yang diperoleh melalui studi
literatur yang nantinya akan menjadi bahan untuk membuat analisa guna
memecahkan permasalahan Kota Surakarta sebagai lokasi Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah yang direncanakan.
3) Tahap ketiga memberi gambaran mengenai Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah Di Surakarta yang direncanakan.
4) Tahap keempat menyajikan analisa-analisa dan alternatif penyelesaian
permasalahan perencanaan dan perancangan Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah Di Surakarta.
5) Tahap kelima menyajikan hasil-hasil analisa yang dirumuskan dalam
konsep perencanaan dan perancangan Kompleks Seni Pertunjukan
commit to user
13
BAB 2
TINJAUAN
KOMPLEKS SENI PERTUNJUKAN TRADISIONAL JAWA TENGAH
DI SURAKARTA
2.1.Tinjauan Kompleks Seni
Sebagaimana telah disebutkan di Bab I bahwa kompleks dapat
dipahami sebagai sekelompok bangunan yang saling berhubungan dalam
suatu wilayah. Dengan demikian, kompleks seni dapat dipahami sebagai
sekelompok bangunan yang saling berhubungan dalam menjalankan fungsi
yang sama, yakni mewadahi kegiatan seni. Salah satu fasilitas yang dapat
disebut sebagai Kompleks seni adalah Taman Budaya Surakarta (TBS) yang
terdiri dari sekelompok bangunan, yakni pendhopo, gedung teater arena,
wisma seni, dan bangunan lainnya. Bangunan-bangunan tersebut memiliki
fungsi yang sama, yakni mewadahi kegiatan seni. Pendhopo dan gedung
teater arena merupakan fasilitas utama, wisma seni sebagai fasilitas
penunjang, kantor pengelolaan sebagai fasilitas pengelolaan, dan kantin
sebagai fasilitas servis. Dengan fasilitas yang beraneka ragam seperti yang
dimiliki oleh TBS tersebut dapat diketahui bahwa kompleks seni mewadahi
berbagai jenis kegiatan dengan kegiatan seni sebagai salah satu kegiatan yang
dominan dan utama. Kompleks seni dalam proyek ini mewadahi kegiatan seni
pertunjukan tradisional Jawa Tengah meliputi kegiatan latihan, pentas hingga
commit to user
2.2.Tinjauan Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
Seni pertunjukan adalah segala ungkapan seni yang substansi
dasarnya pergelaran langsung di hadapan penonton (Sedyawati, 2009:1).
Sementara itu, Dwi (2008:187) mengungkapkan bahwa seni tradisional
adalah seni yang telah baku oleh aturan-aturan tertentu. Aturan baku tersebut
diwariskan secara turun menurun dari satu generasi ke generasi berikutnya
dalam kurun waktu yang telah disepakati. Dengan demikian, seni pertunjukan
tradisional Jawa Tengah yaitu segala ungkapan seni yang diwariskan secara
turun menurun dalam kehidupan masyarakat Jawa Tengah dan dapat
dipergelarkan langsung kepada penonton dengan berpedoman pada
aturan-aturan baku yang telah disepakati.
2.2.1.Jenis dan Pelaku Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
Dalam buku “Sejarah Kebudayaan Indonesia Seni Pertunjukan
Indonesia” yang ditulis oleh Sedyawati (2009:28-29) disebutkan
tentang pembagian seni musik tradisional berdasarkan pelaku,
penikmat, dan lingkup penyajiannya. Dari pembagian tersebut dapat
disimpulkan bahwa seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah dapat
dibagi menjadi seni pertunjukan rakyat dan seni pertunjukan klasik atau
seni pertunjukan budaya tinggi (high culture). Seni pertunjukan rakyat
yaitu seni pertunjukan tradisional yang banyak hidup di lingkungan
masyarakat pedesaan (rural) dan memiliki hubungan erat dengan
masyarakat petani atau nelayan sedangkan seni pertunjukan klasik atau
seni pertunjukan budaya tinggi (high culture) yaitu seni pertunjukan
commit to user
lingkungan pusat-pusat kekuasaan, religi, kerajaan, maupun
pemerintahan. Seni pertunjukan klasik biasa disajikan dalam
upacara/peringatan siklus hidup manusia, upacara atau hajatan keluarga,
kemasyarakatan, keagamaan, kenegaraan, dan sebagainya. Di beberapa
lokasi tertentu seni pertunjukan rakyat dan klasik sering memiliki
repertoriar yang sama. Salah satu contohnya adalah Ketawang
Puspawarna ciptaan Mangkunegaran. Selain disajikan sebagai
gendhing setiap Adipati Mangkunegaran tampil di publik dalam acara
resmi, Puspawarna juga disajikan dalam bentuk gendhing tayub yang
populer sampai di wilayah Banyumas.
Jakob Sumarjo (1992:18-19) mengemukaan ciri-ciri seni
pertunjukan tradisional Jawa Tengah yakni nilai dan laku dramatik
dilakukan secara spontan, mengandung unsur lawakan, menggunakan
tetabuhan atau musik tradisional, penonton mengikuti pertunjukan
secara santai dan akrab, menggunakan bahasa daerah, tempat
pertunjukan terbuka dalam bentuk arena, penyajian dilakukan dengan
dialog, tarian, dan nyanyian
Sedyawati (2009:1) membagi seni pertunjukan menjadi tiga
bentuk, yaitu seni musik (vokal, instrumental, gabungan), seni tari
(representasional dan non-representasional), dan seni teater (dengan
orang atau boneka/wayang sebagai dramatis personae). Berikut adalah
commit to user
a) Seni Musik
Salah satu contoh seni musik tradisional Jawa adalah seni
karawitan. Berdasarkan sumber dari www.wikipedia.org yang diakses
pada tanggal 10 Oktober 2010 pukul 20.30 WIB disebutkan bahwa seni
karawitan merupakan seni menabuh gamelan. Sementara itu, gamelan
didefinisikan sebagai ensembel musik yang biasanya menonjolkan
metalofon, gambang, gendang, dan gong. Seperangkat gamelan dapat
terdiri dari beberapa alat musik dengan berbagai ukuran yang
jumlahnya bisa mencapai 75 buah. Di dalam seni karawitan terdapat
penabuh gamelan (pengrawit), penyanyi wanita solo (pesindhen), dan
penyanyi lelaki membawa suara unisono (gerong).
b) Seni Tari
Tari dapat diartikan sebagai ekspresi jiwa manusia yang
diungkapkan melalui gerak ritmis yang indah. Pola dan struktur alur
gerak ritmis tersebut harus berirama dan diselaraskan dengan bunyi
musik atau gamelan (Soedarsono dan Soeryodiningrat dalam Setiawati,
2008:19). Seni tari tradisional Jawa Tengah dapat dibagi lagi menjadi
dua, yakni sebagai berikut.
1) Seni tari klasik (Wartono, 1989), contohnya:
-Tari Bedhaya, yaitu tari yang dimainkan oleh sembilan penari putri
untuk menjamu tamu raja dan menghormati Nyi Roro Kidul. Tari
Bedhaya Ketawang jarang disajikan di luar Kraton karena tari tersebut
sangat sakral. Beberapa jenis tari Bedhaya yang belum mengalami
commit to user
Bedhaya Duradasih, Bedhaya Mangunkarya, Bedhaya Sinom,
Bedhaya Endhol-endhol, Bedhaya Gandrungmanis, Bedhaya Kabor,
Bedhaya Tejanata.
-Tari Srimpi, yaitu tari yang dimainkan oleh empat penari putri.
Masing-masing penari mendapat sebutan sebagai air, api, angin, dan
bumi/tanah sebagai lambang terjadinya manusia dan lambang empat
penjuru mata angin.
-Tari Bondan, yaitutari yang tidak memiliki ketentuan jumlah penari.
2) Seni tari rakyat (Wartono, 1989 dan Muryantoro, 2007:234),
contohnya:
-Tari di dalam teater wayang wong.
-Tari Srandul, dimainkan oleh lima penari.
- Langendriyan, dimainkan oleh dua penari atau lebih.
- Langen Wanara, yaitu tari yang meniru gerak kera (gerak wanara)
dan dapat dimainkan secara tunggal atau massal.
- Wireng, yaitu tari yangmengisahkan tentang perang dua kesatria.
-Tari Tayub, yaitu tari yang sangat terkenal di Pati, Blora, Jepara,
Grobogan, Sragen dan Tuban sebagai sarana ritual yang ditarikan saat
mulai panen. Tari ini dimainkan oleh para wanita cantik (tledhek) dan
diiringi oleh para penjoget pria.
-Tari Dolalak dari Purworejo, yaitu tari yang dimainkan oleh beberapa
orang penari yang berpakaian menyerupai pakaian prajurit Belanda
atau Perancis dan diiringi dengan kentrung, rebana, kendang, kencer,
commit to user
-Tari Patolan (Prisenan) dari Rembang, yaitu jenis olahraga gulat
rakyat yang dimainkan oleh dua orang pegulat dipimpin oleh dua
orang gelandang (wasit) dari masing-masing pihak. Tari ini biasa
dimainkan di tempat-tempat yang berpasir seperti di tepi pantai.
- Kuda Kepang, Barongan, dan Wayang Krucil dari Blora.
- Kuntulan dan Sintren dari Pekalongan. Kuntulan merupakan kesenian
bela diri yang dilukiskan dalam bentuk tarian dengan iringan
bunyi-bunyian seperti bedug, terbang, dan lain-lain. Sintren merupakan seni
tari yang dimainkan oleh seorang penari (gadis) dalam keadaan tidak
sadarkan diri. Sebelum tarian dimulai tangan penari diikat kemudian
penari dimasukkan ke dalam tempat tertutup bersama peralatan
bersolek. Selang beberapa lama penari selesai berdandan dan siap
untuk menari. Atraksi ini dapat disaksikan pada waktu malam bulan
purnama setelah panen.
- Obeg dan Begalan dari Cilacap. Obeg merupakan seni tari yang
dimainkan oleh beberapa orang wanita atau pria dengan menunggang
kuda yang terbuat dari anyaman bambu (kepang) dan diiringi dengan
bunyi-bunyian tertentu. Pertunjukan ini dipimpin oleh seorang pawang
(dukun) yang dapat membuat pemain dalam keadaan tidak sadar.
Begalan adalah salah satu acara dalam rangkaian upacara perkawinan
adat.
- Kuda Lumping (Jaran Kepang) dari Temanggung, yaitu tari yang
sering dipentaskan untuk menyambut tamu -tamu resmi atau biasanya
commit to user
- Lengger dari Wonosobo, yaitu tari yang dimainkan oleh dua orang
laki-laki untuk memerankan tokoh dalam cerita Dewi Chandrakirana
yang sedang mencari suaminya. Seni tari ini diiringi dengan alat
musik angklung.
- Jatilan dari Magelang, yaitu tari yang dimainkan oleh delapan orang
pemain. Tari ini dipimpin oleh seorang pawang dan diiringi dengan
bunyi-bunyian berupa bende, kenong, dan lain-lain.
- Jlantur dari Boyolali, yaitu tari yang dimainkan oleh 40 orang pria
dengan memakai ikat kepala gaya Turki dan menaiki kuda kepang
dengan senjata tombak dan pedang. Tarian ini menggambarkan
prajurit yang akan berangkat ke medan perang.
- Ketek Ogleng dari Wonogiri, yaitu tari yang mengisahkan percintaan
antara Endang Roro Tompe dengan ketek ogleng.
c) Seni Teater
Santoso (2008:1) dalam bukunya “Seni Teater Jilid 1 Untuk
Sekolah Menengah Kejuruan” menjelaskan tentang definisi dan fungsi
seni teater. Di dalam buku tersebut disebutkan bahwa teater berasal dari
kata Yunani, yaitu “theatron” yang artinya tempat atau gedung
pertunjukan. Dalam pengertian yang lebih luas kata teater diartikan
sebagai segala hal yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Teater
dapat berfungsi sebagai manifestasi dari aktivitas naluriah seperti
anak-anak bermain sebagai ayah dan ibu, bermain perang-perangan, dan lain
sebagainya. Selain itu, teater merupakan manifestasi pembentukan
commit to user
seperti upacara adat maupun upacara kenegaraan dimana keduanya
memiliki unsur-unsur teatrikal dan bermakna filosofis. Harymawan
dalam Santoso (2008:1) membatasi seni teater dari sudut pandang
sebagai berikut.
“Tidak ada teater tanpa aktor, baik berwujud riil manusia maupun boneka, terungkap di layar maupun pertunjukan langsung yang dihadiri penonton, serta laku di dalamnya merupakan realitas fiktif.”
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa seni teater adalah
pertunjukan lakon yang dimainkan di atas pentas dan disaksikan oleh
penonton. Beberapa contoh seni teater tradisional di Jawa Tengah,
yakni sebagai berikut.
1) Wayang kulit
Wayang kulit merupakan seni pertunjukan tradisional Jawa yang
mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana (Susatyo,
2008:13). Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang sebagai narrator
dan diiringi dengan musik gamelan yang dimainkan sekelompok
nayaga. Dalang memainkan wayang kulit pada sebuah layar yang
terbuat dari kain putih (kelir). Di atas dalangdipasang lampu listrik atau
lampu minyak (blencong) sehingga para penonton yang berada di sisi
lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir
(www.wikipedia.org diakses pada tanggal 10 Oktober 2010 pukul 20.30
WIB).
Di dalam buku yang berjudul “Pertunjukan Wayang Purwa dan
Makna Simbolisme” yang ditulis oleh Soetarno (2005) disebutkan
commit to user
yakni orang yang bertindak sebagai pemain figure;
pesindhen/waranggana, yakni penyanyi orkes (gamelan) yang
mengiringi pertunjukan wayang kulit; pengrawit/pradangga/niyaga,
yakni pemain gamelan; dan penggerong, yakni vokalis pria berupa koor
yang mengiringi gendhing.
2) Wayang wong (wayang orang)
Wayang wong merupakan pertunjukan wayang yang dimainkan
oleh manusia yang berperan sebagai tokoh dalam cerita Mahabharata
dan Ramayana. Para pemain memakai pakaian sama seperti
hiasan-hiasan yang dipakai pada wayang kulit agar muka mereka menyerupai
wayang kulit kalau dilihat dari samping (www.wikipedia.org diakses
pada tanggal 10 Oktober 2010 pukul 20.30 WIB).
3) Kethoprak
Kethoprak merupakan pertunjukan wayang yang dimainkan
oleh manusia yang berperan sebagai tokoh dalam cerita legenda atau
sejarah Jawa. Tema cerita dalam kethoprak tidak pernah diambil dari
repertoar cerita epos (wiracarita) Ramayana dan Mahabharata
(www.wikipedia.org diakses pada tanggal 10 Oktober 2010 pukul 20.30
WIB).
R.M.A. Harymawan (1993:231) mengemukakan tentang ciri-ciri
kethoprak sebagai berikut. Kethoprak menggunakan bahasa Jawa
sebagai bahasa pengantar dalam dialog. Ceritanya tidak terikat pada
salah satu pakem tetapi ada tiga kategori pembagian jenis, yaitu
commit to user
Roro Mendut Pronocitro. Musik pengiring kethoprak adalah gamelan
Jawa. Seluruh cerita kethoprak dibagi-bagi dalam babak besar dan kecil
dengan perkembangan yang sangat urut dan tidak mengenal flash back
seperti dalam film. Dalam cerita kethoprak selalu ada peranan dagelan
yang mengikuti tokoh-tokoh protagonis maupun antagonis.
Handung Kus Sudyarsana (1989:15) menuliskan periodisasi
kethoprak sebagai berikut. Tahun 1887- 1925 merupakan periodisasi
kethoprak lesung yakni kethoprak yang menggunakan iringan tetabuhan
lesung. Untuk mementaskan ketoprak lesung dibutuhkan pendukung
sebanyak ± 22 orang, yaitu 15 orang untuk pemain (pria dan wanita)
dan 7 orang sebagai pemusik. Dalam pertunjukan ini tidak dikenal
adanya vokalis khusus atau waranggana. Vokal untuk mengiringi musik
dilakukan bersama-sama baik oleh pemusik maupun pemain.
Tahun 1925-1927 merupakan periodisasi kehoprak peralihan
yakni kethoprak yang menggunakan iringan tetabuhan campuran
(lesung, rebana, dan alat musik Barat). Tahun 1927 sampai sekarang
merupakan periodisasi kethoprak gamelan yakni kethoprak yang
menggunakan iringan tetabuhan gamelan. Untuk mementaskan
kethoprak gamelan diperlukan pendukung sebanyak kurang lebih 34
orang pemain, penabuh gamelan, waranggana, dan dalang.
Salah satu perbedaan ketoprak lesung dengan ketoprak gamelan
adalah adanya unsur tari. Pada waktu masuk atau keluar panggung atau
kegiatan lain pemain ketoprak lesung melakukan tarian yang bersifat
commit to user
2.2.2.Fungsi Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
Pada umumnya kehidupan berkesenian merupakan salah satu
perilaku budaya manusia baik secara individu maupun sebagai sebuah
kelompok masyarakat. Oleh karena itu, setiap bentuk kesenian memiliki
fungsi sendiri-sendiri dalam kehidupan masyarakat. Soedarsono dalam
Darsiharjo (2009:6-7) mengemukakan bahwa seni pertunjukan memiliki
fungsi primer dan sekunder. Fungsi primer tersebut antara lain sebagai
sarana ritual, sarana hiburan, dan presentasi estetis. Sedangkan fungsi
sekundernya antara lain sebagai pengikat kebersamaan, media
komunikasi, interaksi, ajang gengsi, bisnis, dan mata pencaharian.
Dengan kata lain, tiap tarian bisa mempunyai beberapa fungsi yang
menentukan fungsi primer dan fungsi sekundernya sehingga fungsinya
belum tentu abadi dari waktu ke waktu (Anya, 1980: 85).
Seni pertunjukan sebagai sarana ritual dapat ditemui di beberapa
daerah Jawa Tengah yang masih menyelenggarakan upacara-upacara
ritual. Pergelaran wayang merupakan salah satu contoh media ritualisasi
masyarakat pada zaman dahulu yang ingin meruwat anaknya. Ritual
tersebut masih dapat ditemui pada masa sekarang. Contoh lain dari
fungsi seni pertunjukan sebagai sarana ritual adalah pergelaran Tari
Bedhaya Ketawang pada upacara sakral Tingalandalem Jumenengan
(upacara ulang tahun penobatan raja). Hadiwijaya (1974:12-15)
mengungkapkan bahwa Nyi Loro Kidul selalu hadir dan ikut menari
commit to user
2.2.3.Ruang Pentas Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
Pementasan seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah tak
mungkin dapat lepas dari kebutuhan akan sebuah panggung.
Padmodarmaya (1988:34) menyebutkan bahwa panggung adalah suatu
ketinggian yang dibuat dari benda-benda ala kadarnya. Jadi, peran
sebuah panggung disini adalah sebagai pembatas antara ruang gerak
pemain dan ruang penonton yang biasanya diwujudkan dalam bentuk
perbedaan ketinggian.
Padmodarmaya (1988:35-95) mengelompokan panggung di
Indonesia menjadi tiga macam bentuk, antara lain: panggung arena,
panggung proscenium, dan panggung campuran. Pembahasan dari
masing-masing bentuk panggung tersebut yakni sebagai berikut.
1) Panggung Arena
Panggung arena merupakan bentuk panggung yang paling
sederhana. Panggung ini biasanya digunakan untuk pertunjukan seni
yang tidak memerlukan pelayanan khusus, misalnya menggunakan
skeneri yang realistis atau tiap pergantian adegan harus dilayani dengan
skeneri berbeda. Di dalam panggung arena batas antara pemain dan
penonton biasanya tersamarkan. Hubungan pemain dan penonton sangat
akrab bahkan terkadang penonton dapat ikut menjadi pemain. Panggung
arena dapat berupa halaman Pura, halaman rumah, pendhapa, balai
banjar, balai rakyat, dan lain-lain. Panggung bentuk ini biasanya tidak
commit to user
2) Panggung Proscenium
Panggung proscenium merupakan bentuk panggung yang
biasanya digunakan untuk pertunjukan seni yang memerlukan
pelayanan khusus, misalnya menggunakan skeneri yang realistis atau
tiap pergantian adegan harus dilayani dengan skeneri berbeda. Di dalam
panggung arena batas antara pemain dan penonton dibuat sangat jelas.
Keakraban antara pemain dan penonton tidak ditemui pada panggung
ini karena masing pihak telah sadar akan perannya
masing-masing, yaitu pemain hanya bermain seni sedangkan penonton hanya
berhak menonton pertunjukan.
Bagian-bagian sebuah panggung proscenium antara lain
proscenium (dinding yang memisahkan antara panggung dengan ruang
penonton), sayap/sebeng (sekat di belakang proscenium), pintu muatan
(pintu lebar di belakang panggung untuk keluar masuk peralatan
panggung yang berukuran besar), ruang layang (ruang di bagian atas
panggung), serta pintu menuju ruang peralatan, ruang kontrol lampu,
dan ruang tata rias.
3) Panggung Campuran
Panggung campuran merupakan penggabungan bentuk
panggung pentas dan proscenium.
Padmodarmaya (1988:35) juga mengungkapkan bahwa dalam
menentukan bentuk panggung hendaknya menyesuaikan dengan jenis
pertunjukan yang akan dipentaskan. Namun, terkadang pementasan seni
commit to user
Pada awalnya sebagian besar seni pertunjukan tradisional Jawa
Tengah sering dipentaskan secara non formal di atas panggung arena.
Hal itu dapat ditunjukkan oleh beberapa sumber sebagai berikut.
1) Soetarno (2005) menyebutkan bahwa wayang purwa (ringgit) sering
digelar di dalam salah satu bagian rumah tinggal Jawa yang disebut
dengan pringgitan (panggung arena). Mulai tahun 1960 pertunjukan
wayang purwa sudah dilakukan di atas panggung di luar ruangan.
2) Padmodarmaya (1988:35) menyebutkan bahwa pada mulanya
kethoprak dan wayang wong dipentaskan di dalam pendhapa
(panggung arena). Namun, sekarang sudah banyak dipentaskan di
atas panggung proscenium.
3) Seni tari rakyat Patolan (Prisenan) dari Rembang biasa dimainkan di
tempat-tempat yang berpasir seperti di tepi pantai (panggung arena). Gambar 2.1. Pementasan Wayang Kulit di Pendhopo Rumah
commit to user
2.3.Tinjauan Kehidupan Seniman Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah
Kebebasan seniman tidak hanya terbatas pada saat mereka
memerankan suatu lakon dalam pentas tetapi juga cara mereka hidup
sehari-hari. Bagi seniman seni merupakan bagian dari kehidupan. Beberapa wujud
dari kebebasan hidup para seniman dapat dilihat pada kehidupan grup
Kethoprak Tobong yang hidup bebas dan berpindah-pindah menyesuaikan
tempat mereka mengadakan pentas. Contoh lainnya adalah grup Kethoprak
Ngampung dari Kadipiro, Banjarsari, Surakarta yang mengadakan pentas
dengan berkeliling kampung.
Kebebasan hidup para seniman berpengaruh terhadap ruang hidup
mereka. Para seniman umumnya lebih memilih tempat tinggal yang menyatu
dengan alam, sederhana, dan tidak terkekang oleh hiruk pikuk keramaian
kota. Kondisi lingkungan tersebut dirasa lebih mendukung dalam berkarya.
Salah satu wujud dari pengaruh kehidupan para seniman terhadap ruang
hidupnya dapat ditemui di Kampung Seni Nitiprayan Yogyakarta. Di
kampung ini seniman tinggal di rumah-rumah yang sederhana dengan
material alam sehingga menyatu dengan lingkungan sekitar. Kegiatan pentas
tari tradisional dilakukan di ruang-ruang publik kampung yang sangat
sederhana, yakni di pasar dan halaman rumah. Kegiatan gotong-royong,
unggah-ungguh/tepo seliro (sopan-santun atau budaya saling menghormati),
commit to user
2.4.Tinjauan Suasana Kampung Sebagai Cerminan Kehidupan Seniman
Yang Bebas
Kehidupan seniman seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah yang
bebas membawa mereka ke dalam ruang hidup alami seperti yang telah
diuraikan pada pembahasan Kampung Seni Nitiprayan di atas. Dari uraian
tersebut dapat disimpulkan bahwa ruang hidup alami bagi seniman
berhubungan erat dengan konsep hidup di dalam suatu kampung.
Berdasarkan konsep ruang hidup alami suatu kampung maka suasana
kampung dapat tercipta dengan pemakaian material-material yang berasal dari
alam sekitar. Pemilihan material ini berkaitan dengan kearifan lokal sebagai
hasil interaksi masyarakat setempat terhadap keberadaan material bangunan Gambar 2.3. Kondisi Rumah-Rumah Seniman Yang Sederhana dan Menyatu Dengan Alam
Sumber: www.jogjatrip.com diakses 1 Oktober 2011 Pukul 20.00 WIB Gambar 2.2. Pementasan Tari Tradisional di Ruang Terbuka (Halamn Rumah dan Pasar)
commit to user
di sekitar mereka. Lokasi proyek yang direncanakan berada di Surakarta
sehingga material alami yang dipakai mudah ditemui dan digunakan untuk
bangunan-bangunan di Surakarta, yakni batu bata, kayu, bambu, gedeg, dan
lain-lain. Suasana kampung juga dapat diwujudkan dengan menanam
pohon-pohon yang biasa ditanam di kampung seperti yang diilustrasikan pada
gambar di bawah ini.
Berdasarkan studi pada Kampung Seni Nitiprayan didapatkan suasana
kampung yang ditunjukkan dengan ciri-ciri fisik sebagai berikut.
1) Tata massa bangunan kampung cenderung acak/organis.
2) Kampung mempunyai ruang komunal.
3) Fasilitas-fasilitas sosial kampung menyatu dengan hunian.
4) Kampung Ruang terbuka hijau yang cukup.
5) Sirkulasi kampung cenderung tegas dan majemuk.
2.5.Tinjauan Arsitektur Jawa
Pengetahuan tentang arsitektur Jawa dapat digali dari pendapat
Prijotomo dan Kawruh Kalang yang dikutip oleh Pitana bahwa pada dasarnya
arsitektur Jawa merupakan perwujudan dari arsitektur pernaungan dimana Gambar 2.4. Suasana Kampung Sumber, Banjarsari, Surakarta Dengan Pepohonan Pisang,
commit to user
orang yang masuk ke dalam bangunan bagaikan bernaung (berteduh) di
bawah pohon (niatan) yang besar (Pitana, 2010:138). Sebagai wadah kegiatan
bernaung (berteduh), tentu salah satu bagian bangunan arsitektur Jawa yang
terpenting adalah atap yang berfungsi sebagai peneduh dari panas dan hujan.
Begitu pentingnya keberadaan sebuah atap hingga manusia Jawa menetapkan
ukuran bangunan (pemidhangan) dengan menunjuk bagian atap seperti
blandar dan pengeret sebagai titik berangkatnya. Di atas blandar dan pengeret
tersebut dapat bertumpu berbagai bentuk atap seperti tajug, juglo (joglo),
limansap (limasan), dan kapung (kampung) yang selanjutnya dijadikan
sebagai sebutan atau nama bagi bangunan Jawa (Pitana, 2010:140-141).
Pengetahuan tentang arsitektur Jawa juga dapat dijumpai dalam
disertasi Prijotomo (2006:180-183) yang kurang lebih dapat dijabarkan
sebagai berikut.
1) Arsitektur Jawa merupakan representasi bagi cita penghuninya/pemiliknya
yang berkenaan dengan kehidupan duniawi orang Jawa yang dinyatakan
sebagai angsar atau watak kayu. Cita penghuni griya Jawa mencakup
kesejahteraan dan kesehatan keluarga, rejeki, dan karier dalam bekerja.
Masing-masing kehidupan duniawi menjadi daya dari kayu yang
memotivasi penghuni untuk menjalankan dan mengarahkan kehidupannya.
2) Arsitektur Jawa dapat disebut sebagai dhapur griya karena memiliki
kekayaan tipe bangunan yaitu tajug, joglo, limasan, dan kampung dengan
berbagai varian/ragam bentuknya.
3) Arsitektur Jawa menjadikan dirinya sebagai penaung kegiatan. Kerangka
commit to user
penaung sehingga komponen atap menjadi ketetapan dalam menyertakan
dan menyandangkan berbagai guna-griya. Lantai bangunan di mana
aktivitas berlangsung merupakan daerah ternaungi yang sepenuhnya
menggantumgkan diri pada keberadaan atap (luasan atap dan
jauh-dekatnya atap dari tanah/lantai menjadi faktor bagi luasan lantai).
4) Arsitektur Jawa dapat dimengerti sebagai rakitan (assemblage) cita
arsitektur sebagai pernyataan idealisasi kehidupan duniawi, fungsi sebagai
penaung, dan rupa arsitektur sebagai penyedia daya/kekuatan struktural
bangunan serta sebagai penciri rupa.
Arsitektur Jawa tidak hanya dipandang sebagai perwujudan bentuk
fisik bangunan saja. Tetapi lebih dari itu, arti non fisik bangunan memiliki
tingkat prioritas yang sangat tinggi. Dua aspek dominan dari arti non fisik ini
adalah aspek arah dan lambang tubuh manusia (Silas dalam Muhammad dan
Santosa, 2008:51). Aspek lain yang tidak kalah penting adalah pandangan
manusia Jawa terhadap makrokosmos (jagad gede = jagad raya) dan
mikrokosmos (jagad cilik = diri manusia) (Pitana, 2010:131).
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa arsitektur Jawa dapat
dipahami dalam dua aspek, yaitu aspek fisik dan non fisik. Secara fisik
arsitektur Jawa merupakan perwujudan dari arsitektur pernaungan yang
memiliki kekayaan tipe dan varian atap sebagai penaung kegiatan di
bawahnya sehingga dikenal sebagai dhapur griya. Sedangkan secara non fisik
arsitektur Jawa merupakan representasi bagi cita dan pandangan hidup
penghuninya/pemiliknya yang menjunjung tinggi nilai-nilai kosmologi.