• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIAPAN PEMBANGUNAN SOSIAL DI WILAYAH PESISIR RAWAN TSUNAMI DI KABUPATEN KULON PROGO YOGYAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KESIAPAN PEMBANGUNAN SOSIAL DI WILAYAH PESISIR RAWAN TSUNAMI DI KABUPATEN KULON PROGO YOGYAKARTA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Pratiwi Nurhabibi |70 Kesiapan Pembangunan Sosial Di Wilayah Pesisir Rawan Tsunami Di Kabupaten Kulon Progo Yogyakarta

KESIAPAN PEMBANGUNAN SOSIAL DI WILAYAH PESISIR RAWAN

TSUNAMI DI KABUPATEN KULON PROGO YOGYAKARTA

Pratiwi Nurhabibi

Ilmu Administrasi Negara FIS UNP wie.noe.habib@gmail.com

Abstract

The coastal area of Kulon Progo Regency has ranked 17 out of 173 districts/cities with a high tsunami threat categories. Regional investment is needed in disaster risk reduction (DRR) to resilience which is the 3rd priority actions in the framework of Sendai (2015-2030). The study of variables are about the implementation of the social development policy – to prevent and reduce the risk of social vulnerability and shocks caused by natural disasters, preparedness and resilience so hopefully the community can be realized. This research aims to study and see the level of preparedness of social development through empowerment of coastal communities that implemented by Government.The method used descriptive qualitative approach. Measurement of preparedness level refers to the head of BNPB Regulation Number 03/2012 about Regional Capacity Assessment Guidelines in disaster mitigation. As a result, the preparedness level of the social development in the coastal area of Kulon Progo is level 4. This means that the region has gained some achievements in terms of policy and program implementation, but there are still limitations in terms of commitment to the sustainability of the program.

Keywords: disaster; social development; coastal area

Abstrak

Wilayah Pesisir Kabupaten Kulon Progo memiliki peringkat ke 17 dari 173 kabupaten/kota dengan kategori ancaman tsunami tinggi. Perlunya investasi daerah dalam pengurangan risiko bencana (PRB) untuk ketangguhan merupakan tindakan prioritas ke-3 pada Kerangka Kerja Sendai (2015-2030). Variabel yang dikaji yaitu mengenai pelaksanaan kebijakan pembangunan sosial yang urgensinya untuk mencegah serta mengurangi risiko dari guncangan dan kerentanan sosial yang disebabkan oleh bencana alam, sehingga diharapkan kesiapsiagaan dan ketangguhan masyarakat dapat diwujudkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan melihat tingkat kesiapan pembangunan sosial melalui program pemberdayaan masyarakat pesisir yang dilaksanakan oleh pemerintah. Metode yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Pengukuran levelisasi tingkat kesiapan program mengacu pada Peraturan Kepala BNPB No. 03/2012 tentang Panduan Penilaian Kapasitas Daerah dalam Penanggulangan Bencana. Hasilnya, kesiapan pembangunan sosial di wilayah pesisir Kulonprogo berada pada level 4, artinya daerah telah memperoleh beberapa pencapaian dari segi kebijakan dan implementasi program, namun diakui masih ada keterbatasan dalam hal komitmen terhadap keberlanjutan program.

Kata Kunci : bencana; pembangunan sosial; wilayah pesisir

e-ISSN: 2579-3195 P-ISSN: 2579-5072

(2)

1. PENDAHULUAN

Ancaman bencana yang cukup berpotensi di Indonesia adalah bahaya geologis berupa gempabumi dan tsunami (BNPB, 2012). Indonesia mempunyai beberapa kelompok pantai yang rawan ancaman tsunami, yaitu kelompok Pantai Barat Sumatera, Pantai Selatan Pulau Jawa, Pantai Utara dan Selatan pulau-pulau Nusa Tenggara, pulau-pulau di Maluku, Pantai Utara Papua dan hampir seluruh pantai di Sulawesi (KKP, 2005). Bencana yang ditimbulkan oleh tsunami merupakan bencana sekunder akibat gempabumi yang berpusat di dasar laut, di lepas pantai, ataupun dekat dengan pantai (Dewi & Dulbahri, 2014).

Ada beberapa contoh gempa yang memicu tsunami dan sebagian besar dari peristiwa tersebut terjadi di Pacifik Rim dan Asia Tenggara, khususnya Indonesia (Tabel 1). Kejadian gempabumi di Pacifik Rim dan Indonesia menggambarkan kejadian semua tsunami dalam sejarah karena posisinya di Circum-Pacifik atau Ring of Fire (NERC, 2000).

Tabel 1. Rekaman Data Tsunami yang Dipicu oleh Gempabumi

Keterangan :

* Sumber dan tipe tidak pasti, peristiwa ini juga diindikasikan sebagai longsor bawah laut yang dipicu oleh gempabumi

** Kemungkinan merupakan tsunami yang dipicu gempabumi

*** Jumlah kematian tidak pasti karena tidak jelas apakah kematiannya disebabkan oleh gempabumi atau tsunami (Sumber : NERC, 2000.,NGDC, 2009).

Rekaman kejadian tsunami tersebut menunjukan bahwa wilayah pesisir merupakan zona yang rawan bahaya. Marfai & Khasanah (2012) mengemukakan bahwa setiap daerah mempunyai kerawanan terjadi bencana, namun berbagai kejadian bencana alam yang ada di Indonesia secara umum banyak terjadi di kawasan pesisir. Wilayah pesisir merupakan lingkungan yang sangat dinamis dengan berbagai proses fisik, interaksi sosial, dan ekosistem yang kompleks. Berbagai permasalahan lingkungan yang terkait dengan proses-proses fisik (abiotik), permasalahan-permasalahan yang terkait terkait makhluk hidup (biotik), dan interaksi sosial budaya (cultural) terdapat di wilayah pesisir (Marfai et al., 2015).

Aktifitas seismik Indonesia adalah yang terbesar di Asia Tenggara. Salah satu wilayah di Indonesia yang rawan terjadi tsunami adalah Pesisir Selatan Pantai Jawa. Secara geologis, Pesisir Selatan Pantai Jawa berada di jalur subduksi atau pertemuan dua lempeng besar yang saling bertumbukan, yaitu lempeng Eurasia dan lempeng Indo-Australia (Rahmawan, et al., 2012). Sudibyakto (2011) menyatakan bahwa wilayah pesisir D.I Yogyakarta dan Jawa Tengah ancamannya berupa gempabumi dangkal, apabila episentrumnya <60 atau 100 km, maka akan berpotensi menimbulkan tsunami.

(3)

Pratiwi Nurhabibi |72 Kesiapan Pembangunan Sosial Di Wilayah Pesisir Rawan Tsunami Di Kabupaten Kulon Progo Yogyakarta

Kulonprogo adalah 17 dari 173 kabupaten/kota di Indonesia yang memiliki pantai dengan kategori ancaman tsunami tinggi, sementara itu di tingkat Provinsi D.I Yogyakarta, Kulonprogo menduduki posisi pertama dengan kategori kabupaten yang memiliki risiko tinggi bencana tsunami tinggi.

Tabel 2. Tingkat Risiko Tsunami antar Kabupaten di D.I Yogyakarta

Keseriusan masyarakat international dalam menyikapi dampak dari bencana salah satunya dengan mendeklarasikan perlunya membangun ketahanan dan ketangguhan bangsa terhadap bencana, secara normatif tertuang dalam Kerangka Aksi Hyogo yang masa berlakunya mulai tahun 2005 hingga 2015. Kini pasca pemberlakuan Kerangka Aksi Hyogo sekaligus melengkapi penilaian dan review terhadap pelaksanaannya, telah disepakati kerangka PRB yang baru yakni Kerangka Kerja Sendai, hingga 15 tahun kedepan akan digunakan sebagai acuan PRB terhitung sejak 2015.

Kerangka Kerja Sendai menekankan manajemen risiko bencana dengan berfokus pada pencegahan munculnya risiko baru, mengurangi risiko yang ada, dan memperkuat ketahanan, hal ini termasuk tanggung jawab utama negara dan masyarakat. Dalam prioritas aksi ke-3 Kerangka Kerja Sendai, dipaparkan dengan jelas bahwa investasi publik dalam pencegahan dan pengurangan risiko bencana adalah melalui langkah-langkah struktural dan non-struktural untuk meningkatkan ketangguhan perekonomian, sosial, kesehatan dan budaya dari individu, komunitas, negara dan aset-aset mereka, seperti halnya juga lingkungan.

“Ketangguhan Bangsa” merupakan

suatu istilah yang komprehensif karena melibatkan berbagai aspek kehidupan.

Sesuai dengan amanat UUD’45,

ketangguhan bangsa yang dalam hal ini termaktub dalam konsepsi ketahanan nasional merupakan bagian penting dari tujuan pemerintahan negara bersama dengan upaya memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Tangguh merupakan suatu kesadaran yang sudah terinternalisasi dalam sebuah komunitas sehingga menghasilkan kesiapsiagaan dan kapasitas yang tinggi

dalam menghadapi bencana (Ma’arif,

2012).

Gambar 1. Konsep Ketangguhan Bangsa

(Sumber : Ma’arif, 2012)

(4)

Ketangguhan atau ketahanan masyarakat dapat tercipta dari pembangunan sosial. Midgley (1997) mendefinisikan pembangunan sosial sebagai proses perubahan yang direncanakan untuk memastikan kesesuaian antara kebutuhan manusia dengan kebijakan dan program-program sosial. Visi dari pembangunan ketahanan masyarakat perlu diintegrasikan ke dalam visi pembangunan bangsa.

Bencana dapat menimbulkan dampak yang serius pada komunitas sekitar dan bahkan pada negara, baik dalam ruang lingkup struktur sosial maupun perkembangan ekonomi, karena bahaya tidak dipandang sebagai prioritas sosial hingga saat bencana datang melanda, prioritas tersebut ditempatkan pada hal-hal lain seperti penghidupan dan ekonomi dalam agenda pemerintahan dan masyarakat, sehingga dapat dikatakan bahwa dengan mengintegrasikan risiko-risiko bahaya ke dalam agenda pembangunan suatu negara berarti negara tersebut melakukan suatu tindakan yang mengandung nilai strategis (LIPI- UNESCO/ISDR, 2006).

Masyarakat tangguh bencana tidak datang secara tiba-tiba, tetapi harus melalui proses sosial yang panjang untuk membangun dan memperkuat kapasitas atau daya yang dimiliki oleh masyarakat yang sifatnya sangat heterogen. Terdapat empat daya yang paling penting dalam menciptakan masyarakat tangguh diantaranya : 1) daya antisipasi, 2) daya proteksi, 3) daya adaptasi, dan 4) daya

lenting (Ma’arif&Hizbaron, 2015).

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana di Pasal 38 juga menyinggung tentang penguatan ketahanan sosial masyarakat, hal ini selaras dengan kebijakan pemerintah tentang kesejahteraan sosial yang tertuang dalam Undang-undang

Nomor 11 Tahun 2009. Upaya perlindungan sosial masyarakat di daerah rawan bencana harus di aplikasikan ke dalam program-program pembangunan sosial. Pengarusutamaan pengurangan risiko bencana yang bersifat terpadu memiliki manfaat penting, karena masing-masing bidang pemerintahan dapat bersinergi dalam program-program kerjanya.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, dikatakan bahwa pelaksanaan kegiatan kesiapsiagaan dilakukan oleh instansi yang berwenang, baik secara teknis maupun administratif, yang dikoordinasikan oleh BNPB dan/atau BPBD. Program pembangunan sosial Pemerintah Kabupaten Kulonprogo melalui pemberdayaan masyarakat pesisir yang termasuk kawasan bencana, dilaksanakan oleh BPBD, Dinsosnaketrans, dan DKPP.

Peran pemerintah dalam menciptakan masyarakat tangguh menjadi sangat strategis. Penguatan kapasitas masyarakat yang tangguh terhadap bencana dapat didorong dengan mengutamakan kebijakan untuk pengembangan penghidupan berkelanjutan dan pengurangan risiko bencana.

Oleh karena itu, daya antisipasi, daya proteksi, daya adaptasi, dan daya lenting masyarakat terhadap ancaman bencana diperkuat dengan peran negara. Nihilnya peran negara menjadikan upaya untuk menciptakan masyarakat tangguh bencana jauh dari harapan meskipun masyarakat tersebut mempunyai modalitas yang memadai. Jadi, harus ada sinergi dan kontinuitas antara komunitas sosial dengan peran negara dalam menciptakan masyarakat tangguh bencana

(Ma’arif&Hizbaron, 2015).

(5)

Pratiwi Nurhabibi |74 Kesiapan Pembangunan Sosial Di Wilayah Pesisir Rawan Tsunami Di Kabupaten Kulon Progo Yogyakarta

pemberdayaan masyarakat pesisir yang dilaksanakan oleh pemerintah. Penelitian ini dilakukan di wilayah pesisir Kabupaten Kulonprogo yang meliputi 10 Desa dari 4 Kecamatan, dimulai sejak Februari 2015-November 2016.

Tabel 3. Desa-desa Pesisir di Kabupaten Kulonprogo

Sumber : BPS Kaupaten Kulonprogo, 2015

2. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan dalam 2 kategori yaitu data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam. Informan kunci terdiri dari aparatur pemerintah daerah yang meliputi BAPPEDA, BPBD, Bagian Hukum Sekretariat Daerah, Dinsosnaketrans (Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi), DKPP (Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan), LSM dan masyarakat. Penentuan jumlah informan menggunakan prosedur sampling non-probabilitas dengan tipe penarikan sampel terpilih (purposive sampling). Data sekunder diperoleh dari dokumen yang relevan dengan penelitian (peraturan perundangan, buku, jurnal ilmiah, dan website).

Investasi daerah dalam pengurangan risiko bencana untuk ketangguhan termasuk dalam tindakan prioritas ke-3 pada Kerangka Kerja Sendai untuk PRB (2015-2030), oleh karena itu variabel yang

dikaji mengacu pada platform tersebut yaitu tentang pelaksanaan kebijakan pembangunan sosial untuk mengurangi kerentanan penduduk yang paling berisiko terkena dampak bahaya. Levelisasi tingkat kesiapan pembangunan sosial di wilayah pesisir kulonprogo diadaptasi dari Perka BNPB No. 3/2012 tentang Panduan Penilaian Kapasitas Daerah dalam Penanggulangan Bencana, yang terbagi ke dalam 5 level (Tabel 4). Identifikasi level, peneliti membuat pertanyaan secara terstruktur dan diibutuhkan maksimum 4 kelompok pertanyaan di setiap variabel (Tabel 5).

Tabel 4. Level Kapabilitas

Tingkatan Pencapaian

Level 1 daerah telah memiliki pencapaian-pencapaian kecil dalam upaya pengurangan risiko bencana dengan melaksanakan beberapa tindakan maju dalam rencana-rencana atau kebijakan. Level 2 daerah telah melaksanakan beberapa

tindakan pengurangan risiko bencana dengan pencapaian-pencapaian yang masih bersifat sporadis yang disebabkan belum adanya komitmen kelembagaan dan/atau kebijakan sistematis.

Level 3 komitmen pemerintah tekait pengurangan risiko bencana di suatu daerah telah tercapai dan didukung dengan kebijakan sistematis, namun capaian yang diperoleh dengan komitmen dan kebijakan tersebut dinilai belum menyeluruh hingga masih belum cukup berarti untuk mengurangi dampak negatif dari bencana

Level 4 dukungan komitmen serta kebijakan yang menyeluruh dalam pengurangan risiko bencana disuatu daerah telah memperoleh capaian-capaian yang berhasil, namun diakui ada masih keterbatasan dalam komitmen,

sumberdaya finansial ataupun kapasitas operasional dalam pelaksanaan upaya pengurangan risiko bencana di daerah tersebut.

Level 5 capaian komprehensif telah dicapai dengan komitmen dan kapasitas yang memadai disemua jenjang

pemerintahan.

(6)

Kebijakan Pembangunan Sosial di Wilayah Pesisir Kulonprogo

Program pembangunan sosial di daerah rawan bencana merupakan bagian dari praktek pengurangan risiko bencana berbasis komunitas. Kebijakan penanggulangan bencana berbasis komunitas telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk mendukung pembangunan dan perlindungan sosial masyarakat. Perlindungan sosial itu sendiri diartikan sebagai upaya yang diarahkan untuk mencegah dan menangani resiko dari guncangan dan kerentanan sosial.

Pembuatan kebijakan pembangunan sosial oleh pemerintah bertujuan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial yang disebabkan oleh bencana alam. Kementerian Sosial RI mengembangkan sebuah konsep Kampung Siaga Bencana yang dilandasi oleh Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 128/ 2011 tentang Kampung Siaga Bencana, BNPB membentuk Desa/Kelurahan Tangguh Bencana berdasarkan Peraturan Kepala BNPB No. 1/2012 tentang Pedoman Umum Desa/kelurahan Tangguh Bencana, sedangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. 2/Permen-KP/2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan Sebagai Dasar Pembentukan Program Desa Pesisir Tangguh (PDPT).

Era desentralisasi ditandai dengan adanya pelimpahan kekuasaan dan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pemerintah daerah dinilai paling paham tentang rasa lokalitas daerahnya masing-masing, sehingga program-program pelayanan publik daerah menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam konteks ini, sesuai dengan arahan platform

(7)

Pratiwi Nurhabibi |76 Kesiapan Pembangunan Sosial Di Wilayah Pesisir Rawan Tsunami Di Kabupaten Kulon Progo Yogyakarta

Tabel 6. Perbandingan Program

Pembangunan Sosial antar-SKPD di Wilayah Pesisir

No. Variabel Kampung Siaga

Bencana

Desa Tangguh Bencana Desa Pesisir Tangguh

1. Instansi penanggung jawab program

Kemensos/Dinsosnakterans BNPB/BPBD KKP/DKPP

2. Konsep desa/ kelurahan dan kampung

Kampung hanya sebatas merek dan mengacu pada kelembagaan

penanggulangan bencana yang berbasis masyarakat yang dapat berkedudukan di kecamatan/ desa/ kelurahan/dusun

Konsep mengacu pada definisi

desa sebagai wilayah admistratif

Konsep mengacu pada definisi desa sebagai wilayah admistratif

3. Tujuan Memberikan pemahaman

dan kesadaran masyarakat, membentuk jejaring dan memperkuat interaksi sosial, mengorganisasikan, menjamin kesinambungan, mengoptimalkan potensi dan sumber daya

Terwujudnya masyarakat tangguh, mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi ancaman, serta mampu memulihkan diri dengan segera dari dampak bencana

Meningkatkan ketangguhan desa pesisir terhadap bencana dengan berbasiskan pada kolektifitas, kesukarelaan dan gotong royong untuk mewujudkan program aksi yang langsung menyentuh kebutuhan prioritas berdasarkan kondisi aktual dan sumberdaya yang ada di desa.

4. Bentuk Kegiatan Menginisiasi adanya suatu prasarana penanggulangan bencana tingkat komunitas seperti Lumbung Sosial Penanggulangan Bencana, Gardu Sosial yang didalamnya dilengkapi cara-cara lokal (setempat) dalam menanggulangi bencana serta identifikasi potensi dan sumberdaya lokal untuk

penanggulangan bencana

Membentuk dan mengembangkan komponen dasar kesiapsiagaan dan mitigasi bencana yang meliputi: 1) kajian dan peta risiko,2) rencana penanggulangan bencana/rencana aksi masyarakat, 3) peringatan dini, 4) rencana evakuasi, 5) rencana kontingensi serta penguatan organisasi desa.

Fokus PDPT meliputi 5 bina kegiatan yakni:1) bina infrastruktur dan lingkungan,2) bina sumberdaya pesisir,3) bina siap siaga bencana dan perubahan iklim, 4) bina usaha, dan 5) bina sumberdaya manusia.

5. Pelaksana Relawan Tagana dan unsur masyarakat

Perwakilan kelompok siaga bencana atau

perseorangan (relawan penanggulangan bencana berbasis masyarakat)

Seluruh kegiatan yang berkaitan dengan PDPT dilaksanakan oleh Kelompok Masyarakat Pesisir (KMP) yang di dukung oleh tenaga pendamping dan tim pemberdayaan desa. 6. Mitra

masyarakat dan Organisasi

Mengutamakan kemitraan dan kerjasama

antara kelompok atau organisasi untuk melaksanakan kegiatan dan mencapai tujuan bersama.

Mengutamakan kemitraan dan kerjasama

antara individu, kelompok atau organisasi

untuk melaksanakan kegiatan dan

mencapai tujuan bersama.

Kerjasama antar semua pemangku kepentingan (pemerintah,swasta,

masyarakat,perguruan tiggi,dan LSM).

7. Lokasi program Bugel (2015) Glagah (2012), Jangkaran (2014), dan Karangwuni (2014)

Bugel,Karangsewu, dan Banaran (2012-2014)

Implementasi Program Pembangunan Sosial di Wilayah Pesisir Kulonprogo

Adapun dari ketiga program pembangunan sosial tersebut dalam tupoksinya berbeda operasionalnya antara satu sama lain, namun tetap memiliki satu tujuan yaitu menciptakan masyarakat tangguh, mandiri, dan mampu beradaptasi dengan ancaman. Keterlibatan dari pemangku kepentingan lainnya turut membantu berjalanya proses kegiatan menjadi lebih efektif. Dinas PU didapuk

(8)

Pada fokus kegiatan PDPT dari ke-5 bina yang diprogramkan hanya 4 yang terlaksana. Satu kegiatan yang tidak terlaksana adalah Bina Manusia. Kegiatan Bina Manusia berkaitan dengan peningkatan kualitas SDM pesisir yang diharapkan mampu meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Sebenarnya secara tidak langsung, dengan terlaksananya empat kegiatan lainnya yaitu Bina Siaga Bencana dan Perubahan Iklim, Bina Sumber Daya,

Bina Lingkungan dan Infrastruktur, serta Bina Usaha maka akan berpengaruh kepada peningkatan kualitas SDM yang menjadi bagian dari fokus Bina Manusia. Dengan demikian, penggunaan anggaran dapat digunakan dengan efisien karena dialokasikan kepada kegiatan yang menjadi prioritas utama. Berikut ini akan dijabarkkan dalam Tabel 7. implementasi dari program-program pembangunan sosial tersebut.

Program Pembangunan Sosial

Fokus Kegiatan Hasil

Desa Pesisir Tangguh Bina Siaga Bencana dan Perubahan Iklim

 Pembangunan jalan untuk jalur evakuasi : 2.322 meter di Desa Banaran, Desa Karangsewu, dan Desa Bugel;

 Bangket/talud jalan jalur evakuasi : 750 meter di Desa Bugel;

 Sarana informasi mitigasi bencana : 3 unit di Desa Banaran dan Desa Bugel.

Bina Sumber Daya  Penanaman vegetasi pantai : 6.850 bibit di Desa Banaran, Desa Karangsewu, dan Desa Bugel;  Penanaman vegetasi sungai : 5.000 bibit di Desa

Banaran.

Bina Lingkungan dan Infrastruktur  Rabat beton jalan : 357 meter di Desa Banaran dan Desa Karangsewu;

 Pembangunan mushola : 1 unit (6 x 5 meter) di Desa Bugel.

Bina Usaha  Motor roda tiga : 2 unit di Desa Banaran dan Desa Bugel;

 Pompa air : 10 unit di Desa Banaran dan Desa Bugel;

 Kios usaha bersama : 1 unit (8 x 3 meter) di Desa Karangsewu.

Desa Tangguh Bencana

 Penyusunan Peta Risiko Bencana;  Penyusunan Kajian Risiko;  Penyusunan draf rencana

penanggulangan bencana;

 Penyusunan Rencana Aksi Komunitas (RAK) untuk PRB;

 Pembentukan relawan penanggulangan bencana (termasuk forum pengurangan risiko bencana);

 Penyusunan peringatan dini berbasis masyarakat;

 Penyusunan Rencana Kontijensi (termasuk evakuasi).

 Peta risiko;

 Dokumen Kajian Risiko;  Terbentuknya FPRB;  Dokumen RAK;  Peta Jalur Evakuasi;

 Dokumen Rencana Kontijensi.

Kampung Siaga Bencana

 Kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana;

 Penyiapan SDM relawan;  Penyiapan logistik;

 Terdapat 4 divisi dalam aktivitas penanganan bencana yaitu : divisi shelter yang mengurusi tenda, divisi dapur umum, divisi pertolongan pertama gawat darurat (PPGD), divisi transportasi dan telekomunikasi.

 Simulasi Bencana Alam di Balai Desa Bugel;  Gardu Logistik (perlengkapan tandu, tenda, alat

masak) yang ditempatkan di balai desa;  Gardu Siaga yang ditempatkan di dekat pantai;  Terbentuknya gardu sosial yakni semacam tempat

pertemuan;

 Setiap pedukuhan mengirimkan 15 warga untuk mengikuti sosialisasi siaga bencana;

(9)

Pratiwi Nurhabibi |78 Kesiapan Pembangunan Sosial Di Wilayah Pesisir Rawan Tsunami Di Kabupaten Kulon Progo Yogyakarta Keterangan gambar :

Gambar 1 : jalur evakuasi di Desa Bugel Gambar 2 : peta evakuasi di Desa Jangkaran Gambar 3 : jalur evakuasi di Desa Karangwuni Gambar 4 : jalur evakuasi di Desa Banaran

Gambar 3. Jalur dan Peta Evakuasi di Desa-desa Pesisir

(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2015)

Tingkat Kesiapan Pembangunan Sosial di Wilayah Pesisir Kulonprogo

Tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua wilayah pesisir yang rawan terhadap bencana mendapatkan program pembangunan sosial seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Desa-desa seperti Palihan, Sindutan, Garongan, dan Pleret adalah contohnya. Sosialisasi pernah diberikan di Desa Palihan dan Sindutan namun hanya sebatas pada pengetahuan kebencanaan. BPBD Kulonprogo pernah mengusulkan agar Desa Garongan dan Desa Pleret dijadikan desa tangguh, namun usulan tersebut tidak dikabulkan oleh pemerintah, mengingat adanya keterbatasan dana. Dana APBN untuk pembentukan desa tangguh masih diprioritaskan pada daerah yang rawan longsor. Pembangunan sosial di wilayah pesisir yang mulai dirintis sejak tahun 2012 hingga saat ini, dapat dipastikan tidak dapat berkelanjutan, mengingat hampir semua wilayah pesisir tersebut akan digusur untuk pembangunan proyek bandara dan pasir besi. Wilayah tersebut meliputi Desa Banaran, Desa Karangsewu, Desa Garongan, Desa Bugel, Desa Karangwuni, Desa Jangkaran bagian timur,

Desa Glagah, Desa Palihan, dan Desa Sindutan.

(10)

Tabel 8. Level Kesiapan Pembangunan Sosial di Daerah Rawan Bencana

No. Poin Penilaian Uraian Capaian

1. Telah ada kebijakan pembangunan sosial yang terintegrasi dengan PRB

 Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 128 Tahun 2011;

 Peraturan Kepala BNPB Nomor 1 Tahun 2012;

 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013.

Level 4

2. Telah ada implementasi program pembangunan sosial di masyarakat

 Kampung Tangguh Bencana dilaksanakan di Desa Bugel (2015);

 Desa Tangguh Bencana dilaksanakan di Desa Glagah (2012), Jangkaran (2014), dan Karangwuni (2014);

 Program Desa Pesisisir Tangguh dilaksanakan di Desa Bugel,Karangsewu, dan Banaran (2012-2014).

3. Telah ada aksi sosial untuk mengurangi kerentanan penduduk oleh berbagai pemangku kepentingan yang telah ditentukan dalam kebijakan pembangunan sosial

Aksi-aksi sosial telah dilakukan oleh para pemangku kepentingan sesuai dengan tupoksi (BPBD, DKKP, Dinsosnaketrans, dan PU)

4. Program pembangunan sosial belum diaplikasikan secara berkelanjutan di seluruh daerah pesisir yang rawan bencana

Hampir semua wilayah pesisir terkena dampak proyek pembangunan bandara dan pasir besi sehingga masyarakat harus direlokasi, hal ini berdampak pada keberlanjutan program.

4. PENUTUP Kesimpulan

Kesiapan pembangunan sosial di wilayah pesisir Kulonprogo yang merupakan variabel dari tindakan prioritas ke-3 Kerangka Kerja Sendai yakni investasi daerah dalam pengurangan risiko bencana tsunami untuk ketangguhan berada pada level 4, artinya daerah telah memperoleh beberapa pencapaian dari segi kebijakan dan implementasi program, namun diakui masih ada keterbatasan dalam hal komitmen terhadap keberlanjutan program karena adanya relokasi pemukiman penduduk pesisir yang disebabkan pembangunan proyek bandara dan pasir besi. Dibutuhkan komitmen politik yang tinggi dari pemerintah daerah yang diterjemahkan ke dalam perhatiannya terhadap pembangunan yang benar-benar berkelanjutan. Artinya menempatkan

manusia dalam posisi utama dalam proyek pembangunan untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan penghidupan tanpa menafikan tata sosial dan modal sosial. Fenomena yang terjadi adalah penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan sebagai sarana pelayanan publik, dalam kenyataan masih rentan untuk penyalahgunaan dan tindakan-tindakan yang merugikan publik. Kasus

yang “mengatasnamakan pembangunan” dan “kesejahteraan masyarakat” tersebut,

(11)

Pratiwi Nurhabibi |82 Kesiapan Pembangunan Sosial Di Wilayah Pesisir Rawan Tsunami Di Kabupaten Kulon Progo Yogyakarta Saran

Diperlukan pendekatan multi-sektoral dalam pembangunan yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan. Evaluasi kembali apa yang menjadi tujuan pembangunan serta dampak proyek yang akan dikembangkan. Semakin luas kekuasaan dan kewenangan pemerintah daerah untuk mengelola wilayahnya, maka akan semakin berpeluang besar terjadinya konflik kepentingan. Oleh karena itu, pemerintah hendaknya memiliki kemampuan dan strategi yang efektif untuk mengintegrasikan manajemen konflik ke dalam setiap kebijakan yang hendak diambil. Kemampuan dalam pengelolaan konflik bermanfaat untuk meningkatkan kepekaan pemerintah daerah dalam merespon aspirasi publik terhadap kinerja pemerintah.

5. DAFTAR PUSTAKA

BPS Kulonprogo. (2015). Kabupaten Kulonprogo dalam Angka. Kulonprogo : Badan Pusat Statistik.

BNPB. (2012). Pengenalan Karateristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di Indonesia Edisi II. Jakarta : BNPB. BNPB. (2015). Kerangka Kerja Sendai

untuk Pengurangan Risiko Bencana 2015-2030. Jakarta : BNPB.

Dewi, R.S. & Dulbahri. (2014). Bencana Tsunami, dalam Penaksiran Multirisiko Bencana di Wilayah Kepesisiran Parangtritis : Suatu Analisis Serbacakup untuk

Membangun Kepedulian

Masyarakat Terhadap Berbagai Kejadian Bencana. Yogyakarta : UGM Press.

Djunaedi, A. (2011). Peningkatan Ketahanan terhadap Bencana dalam Pengelolaan Bencana Merapi 2010. Diselenggarakan MPBA FT UGM-HATHI-MSD Network.

KKP. (2005). Pedoman Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Cetakan Kedua Edisi Revisi. Jakarta : Kementerian Kelautan dan Perairan.

LIPI-UNESCO/ISDR. (2006). Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana Gempa Bumi dan Tsunami. LIPI-UNESCO/ISDR.

Ma’arif, S. (2012). Pikiran dan Gagasan Penanggulangan Bencana di Indonesia. Jakarta : BNPB.

Ma’arif, S.& Hizbaron, D.R. (2015).

Strategi Menuju Masyarakat Tangguh Bencana dalam Perspektif Sosial. Yogyakarta : UGM Press. Marfai, M.A,Khasanah, RR.T.J. (2012)

Kerawanan dan Kemampuan Adaptasi Masyarakat Pesisir Terhadap Bahaya Banjir Genangan dan Tsunami : Integrasi Kajian Kebencanaan dan Sosial Budaya, dalam Konstruksi Masyarakat Tangguh Bencana, Diedit oleh Indiyanto A. dan Kuswanjono A. Bandung : PT Mizan Pustaka. Marfai, M.A., Rahayu, E.,Triyanti, A.

(2015). Peran Kearifan Lokal dan Modal Sosial dalam Pengurangan Risiko Bencana dan Pembangunan Pesisir : Integrasi Lingkungan, Kebencanaan, dan Sosial Budaya. Yogyakarta : UGM Press.

Midgley, J. (1997). Social Welfare in Global Context. California : SAGE Publications.

NERC. (2000). The Tsunami Risk Project. Retrieved 04 Mei 2016 www.nerc-bas.ac.uk/tsunami-risks/.

(12)

content/uploads/2012/10/12810603 -sec.pdf (diunduh 03 Oktober 2015).

Sudibyakto. (2011). Manajemen Bencana di Indonesia Kemana?. Yogyakarta : UGM Press.

Daftar Peraturan Perundangan-undangan

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun

2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.

Peraturan Kepala BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh. Peraturan Kepala BNPB Nomor 3 Tahun

Gambar

Gambar 1. Konsep Ketangguhan Bangsa  (Sumber : Ma’arif, 2012)
Tabel 4. Level Kapabilitas
Tabel 6. Perbandingan Program
Gambar 1 : jalur evakuasi di Desa Bugel
+2

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, adapun hasil analisis pada implementasi kebijakan publik berupa program inovasi capil online pada Dinas Kependudukan dan

Indikator: 3.12 anak dapat menyebutkan nama alat dan bahan untuk membuat makanan ayam. Skor

Tarigan (1987) menjelaskan, “Membaca adalah gudang ilmu dan ilmu yang tersimpan dalam buku harus digali dan dicari melalui membaca”. “Membaca merupakan salah satu

Begitu pula dalam pemberitaan Rapublika mengenai kasus Ba’asyir ini, framing dipakai sebagai cara untuk mengetaui perspektif atau cara pandang awak redaktur Harian Republika

Dari setiap nilai pada subindikator, didapatkan nilai keselamatan konstruksi pada pekerjaan pilar ditinjau terhadap dimensi keselarnatan publik adalah 49 %, nilai

1) Pembelajaran Bertujuan mengembangkan atau mengubah tingkah laku peserta didik. 2) Kegiatan pembelajaran berupa pengorganisasian lingkungan. Lingkungan diartikan secara luas

Hasil analisis univariat pada penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan faktor genetis jumlah ibu hamil dengan pre-eklamsi sebagian besar tidak mempunyai riwayat