i
TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA
TENGAH TAHUN 2008-2012
(Studi Kasus 35 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah)
Skripsi
Diajukan untuk Melengkapi Syarat-Syarat
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh:
ASRIANI KURNIA NINGRUM NIM. F1112006
JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
ii ABSTRAK
ANALISIS PENGARUH UPAH MINIMUM, PENGANGGURAN, KESEHATAN, DAN PENDIDIKAN TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2008-2012
(Studi Kasus 35 Kabupaten/Kota Di Provinsi Jawa Tengah) Asriani Kurnia Ningrum
F1112006
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh upah minimum, pengangguran, kesehatan dan pendidikan terhadap tingkat kemiskinan di 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan alat analisis yang digunakan adalah panel data dengan bantuan eviews, yang terdiri dari data times series selama periode 2008-2012 dan data cross section 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa upah minimum, pengangguran, dan pendidikan berpengaruh negatif terhadap kemiskinan, sedangkan kesehatan berpengaruh positif. Secara bersama sama upah minimum, pengangguran, kesehatan dan pendidikan berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2008-2012.
Berdasarkan hasil analisis tersebut, adapun peranan pemerintah dalam rangka mengurangi tingkat kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2008-2012 yaitu perlu adanya pertimbangan dalam menaikkan upah minimum yang dinilai, diukur, dan didasarkan dengan kebutuhan hidup minimum atau kebutuhan hidup layak. Dalam menurunkan tingkat pengangguran perlu adanya upaya yang berfokus pada perlindungan, pemberdayaan, dan pengembangan kelompok industri pertanian. Peningkatan mutu dan kualitas pada bidang kesehatan dan pendidikan diantaranya peningkatan dalam akses dan pelayanan kesehatan serta pemberian subsidi maupun pendidikan gratis.
iii
ANALYZING THE EFF F ECT OF MINIMUM WAGE, UNEMPLOYMENT,
HEALTH, AND EDUCATION TO POVERTY’S LEVEL IN CENTRAL JAVA
REGION IN 2008-2012
(A Case Study On 35 Regions in Central Java)
Asriani Kurnia Ningrum F1112006
The purpose of this research is to know the influence ofminimum wage, unemployment, health, and education for poverty rate in 35 regencies in Central Java. The research use secondary data analysis while panel data was used in analyzing, are supported by Eviews 6, which consists of times series data over 2008-2012 period and cross section data from 35 regencies in Central Java.
This research is showed that minimum wage, unemployment, and education has negative influence to poverty. Minimum salary, unemployment, health, and education together has influence to poverty rate in 35 regencies of Central Java within 2008-2012 period .
Depend on that analysis, there are government’s role in order to reduce poverty’s level in Central Java Province in 2008-2012, it’s some calculation to increase minimum wage that would be valued, calculated and depended by unemployment’s level needs to do an action which focused on protection, socialization and improvement of farm industrial group. Increasing quality on health and education, for example not only influence improvement in health’s access and service but also subsidiary gift and free education.
iv
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi dengan judul:
ANALISIS PENGARUH UPAH MINIMUM, PENGANGGURAN, KESEHATAN, DAN PENDIDIKAN TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2008-2012
(Studi Kasus 35 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah)
Diajukan Oleh:
Asriani Kurnia Ningrum
F1112006
Disetujui dan diterima oleh Pembimbing
PadaTanggal, 12 September 2014
Surakarta, 12 September 2014
Pembimbing
Dr. Akhmad Daerobi, MS
v Skripsi
ANALISIS PENGARUH UPAH MINIMUM, PENGANGGURAN, KESEHATAN, DAN PENDIDIKAN TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN
DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2008-2012
(Studi Kasus 35 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah)
Diajukan Oleh:
ASRIANI KURNIA NINGRUM
NIM. F1112006
Telah dipertahankan di depan Tim Penguji Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada tanggal, 8 Oktober 2012
Susunan Tim Penguji Skripsi
1. Ketua IZZA MAFRUHAH S.E.,M.Si (………. ) NIP 197203232002122001
2. Sekretaris Drs. SUPRIYONO, M.Si (………. ) NIP 196002211986011001
vi MOTTO
Dia yang tahu, tidak bicara. Dia yang bicara, tidak tahu
( Loo Tse )
Pekerjaan besar tidak dihasilkan dari kekuatan, melainkan oleh ketekunan
(Samuel Johnson)
Untuk meraih sebuah kesuksesan, karakter seseorang adalah lebih penting daripada Intelegensi
(Gilgerte Beaux )
Ingatlah bahwa setiap hari dalam sejarah kehidupan kita ditulis dengan tinta yang tak dapat terhapus lagi
(Thomas Carlyle)
Visi tanpa tindakan hanyalah sebuah mimpi. Tindakan tanpa visi hanyalah membuang waktu. Visi dengan tindakan akan mengubah dunia
vii
Karya ini kupersembahkan untuk
Bapak dan Ibu Tercinta
Ku Tahu Engkau Selalu Berjuang dan Mengasihiku
One Day I will make you Proud, I Promise
Kedua Kakakku
Karena Kalianlah Mampu Mewujudkan Mimpiku
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kemudahan dan bimbingan-Nya kepada penulis sehingga penulisan
Skripsi yang berjudul ”ANALISIS PENGARUH UPAH MINIMUM,
PENGANGGURAN, KESEHATAN, DAN PENDIDIKAN TERHADAP
TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2008-2012
(Studi Kasus 35 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah)” dapat berjalan
dengan lancar.
Dalam penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari beberapa hambatan. Namun
penulis menyadari sepenuhnya, berkat bantuan berbagai pihak hal tersebut dapat
diatasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Wisnu Untoro, M.S selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Drs. Supriyono, M.Si selaku ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan
non reguler Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
3. Bapak Dr. Akhmad Daerobi, MS selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktunya dalam membimbing dan memberikan masukan
kepada penulis. Terima kasih atas segala kritik dan saran yang membangun
selama penyusunan skripsi.
4. Ibu Nurul Istiqomah SE. MSi selaku dosen pembimbing akademik yang
telah memberikan pengarahan selama proses studi kepada penulis.
ix
7. Teman-teman Ekonomi Pembangunan angkatan 2012 yang selalu memberi
dukungan dan dorongan. Terimakasih atas kebersamaannya selama dua
tahun dibangku kuliah ini.
8. Semua pihak yang telah memberikan bantuan yang tidak dapat penulis
cantumkan satu-persatu.
Dalam penyusunan laporan ini penulis menyadari bahwa laporan ini masih
terdapat kelemahan dan kekurangan, sehingga untuk kedepan, dapat menjadi
wacana berarti bagi para pembaca. Semoga hasil laporan ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.
Surakarta, September 2014
x DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
ABSTRAK ... ii
ABSTRACT ... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv
HALAMAN PENGESAHAN ... v
MOTO ... vi
PERSEMBAHAN ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR GRAFIK ... xiii
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 14
C. Tujuan Penelitian ... 14
D. Manfaat Penelitian ... 15
BAB II TELAAH PUSTAKA A. Pengertian Kemiskinan ... 16
xi
1. Upah Minimum ... 28
2. Pengangguran ... 31
3. Kesehatan ... 35
4. Pendidikan ... 37
E. Penelitian Terdahulu ... 41
F. Kerangka Pemikiran ... 44
G. Hipotesis Penelitian ... 46
BAB III METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian ... 47
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 47
1. Variabel Penelitian ... 47
2. Definisi Operasional Variabel ... 48
C. Jenis dan Sumber Data ... 49
D. Metode Pengumpulan Data ... 50
E. Metode Analisis Data ... 50
1. Estimasi Model Regresi Panel Data ... 54
2. Pemilihan Model ... 54
3. Pengujian Statistik ... 55
BAB IV PEMBAHASAN A. Deskripsi Objek Penelitian ... 58
xii
2. Kondisi Kemiskinan Jawa Tengah ... 59
3. Upah Minimum Kabupaten/Kota ... 61
4. Pengangguran ... 63
5. Kesehatan ... 65
6. Pendidikan ... 67
B. Analisis Data ... 69
1. Hasil Estimasi Model Data Panel ... 69
2. Pengujian Pendekatan Model Data Panel ... 71
3. Hasil Regresi Fixed Effect Model (FEM) ... 73
C. Hasil Uji Statistik ... 75
1. Koefisien Determinasi R2 ... 75
2. Uji F ... 76
3. Pengujian Regresi Parsial (uji t) ... 76
D. Interpretasi Hasil dan Pembahasan ... 78
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 83
B. Saran ... 84
DAFTAR PUSTAKA ... 86
xiii
Halaman
GRAFIK 1.1 : Tingkat Kemiskinan di Indonesia ... 4
GRAFIK 1.2 : Tingkat Kemiskinan di Pulau Jawa ... 6
GRAFIK 1.3 : Tingkat Kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah ... 7
GRAFIK 1.4 : Tingkat Pengangguran di Jawa Tengah ... 9
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
TABEL 1.1 : Upah Minimum Provinsi Jawa Tengah ... 8
TABEL 3.1 : Definisi Operasional Variabel ... 48
TABEL 4.1 : Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota ... 60
TABEL 4.2 : Upah Minimum Kabupaten/Kota ... 62
TABEL 4.3 : Tingkat Pengangguran Terbuka ... 64
TABEL 4.4 : Angka Kematian Bayi ... 66
TABEL 4.5 : Angka Melek Huruf ... 68
TABEL 4.6 : Regresi Data Panel PLS ... 69
TABEL 4.7 : Regresi Data Panel FEM ... 70
TABEL 4.8 : Regresi Data Panel REM ... 70
TABEL 4.9 : Hasil Uji Likehood Ratio Test ... 72
TABEL 4.10 : Hasil Hausman Test ... 73
TABEL 4.11 : Hasil Fixed Effect Model... 74
TABEL 4.12 : Hasil Koefisien Determinasi R2 ... 75
TABEL 4.13 : Hasil Uji F ... 76
xv
Halaman
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN A
LAMPIRAN1 : Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota di Jawa Tengah
LAMPIRAN2 : Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jawa Tengah
LAMPIRAN3 : Tingkat Pengangguran TerbukaKabupaten/Kota
LAMPIRAN4 : Angka Kematian BayiKabupaten/Kota
LAMPIRAN 5 : Angka Melek Huruf Kabupaten/Kota
LAMPIRAN B
LAMPIRAN6 : Regresi Data Panel Pooled Least Squared LAMPIRAN7 : Regresi Data Panel Fixed Effect Model LAMPIRAN 8 : Regresi Data Panel Random Effect Model LAMPIRAN 9 : Hasil Uji Likehood Ratio Test
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan kinerja
perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dan menata
kehidupan yang layak bagi seluruh rakyat yang pada gilirannya akan
mewujudkan kesejahteraan penduduk Indonesia. Salah satu sasaran
pembangunan nasional adalah menurunkan tingkat kemiskinan. Kemiskinan
merupakan salah satu penyakit dalam ekonomi, sehingga harus disembuhkan
atau paling tidak dikurangi. Permasalahan kemiskinan memang merupakan
permasalahan yang kompleks dan bersifat multidimensional. Oleh karena
itu, upaya pengentasan kemiskinan harus dilakukan secara komprehensif,
mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat, dan dilaksanakan secara
terpadu (M. Nasir, dkk (2008) dalam Prastyo (2010: 18)).
Pada dekade terakhir ini, kemiskinan menjadi topik yang dibahas dan
diperdebatkan di berbagai forum nasional maupun internasional, walaupun
kemiskinan itu sendiri telah muncul ratusan tahun yang lalu. Fakta
menunjukkan pembangunan yang telah dilakukan belum mampu meredam
meningkatnya jumlah penduduk miskin di dunia, khususnya negara-negara
berkembang, seperti yang dikemukakan Suryawati (2006: 121).
Azis (2012) mengungkapkan bahwa kemiskinan merupakan tantangan
terbesar dalam proses pembangunan Indonesia. Meski tingkat kemiskinan
2
sangat besar. Ini berarti masih banyak “pekerjaan rumah” yang harus
diselesaikan.
Rahardjo (2006: 162) mengemukakan kemiskinan menjadi masalah
fenomenal sepanjang sejarah Indonesia sebagai nation state, sejarah sebuah negara yang salah memandang dan mengurus kemiskinan. Dalam negara
yang salah urus, tidak ada persoalan yang lebih besar selain persoalan
kemiskinan. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa
mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan,
kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke
pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial,
dan perlindungan terhadap keluarga, dan menguatnya arus urbanisasi ke
kota. Dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat
memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas.
Suharto (2013: 14) menyatakan kemiskinan merupakan masalah sosial
yang bersifat global, artinya kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi
dan menjadi perhatian banyak orang di dunia. Meskipun dalam tingkatan
yang berbeda, tidak ada satupun negara di jagat raya ini yang kebal dari
kemiskinan.
Mudrajat Kuncoro (1997) dalam Widiastuti (2010: 33) mencoba
mengidentifikasikan penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi.
Pertama, secara mikro kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan
pada kepemilikan sumberdaya yang menyebabkan distribusi pendapatan
yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya dalam jumlah
perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya
manusia rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya
upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini karena
rendahnya pendidikan, nasib kurang beruntung, adanya diskriminasi atau
karena keturunan. Ketiga, kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam
modal.
Ketiga penyebab kemiskinan ini bermuara pada teori lingkaran setan
kemiskinan (Vicious circle of poverty). Teori ini ditemukan oleh Ragnar Nurkse (1953), yang mengatakan: “a country is poor because it is poor”
(Negara miskin itu miskin karena dia miskin). Lingkaran kemiskinan
merupakan suatu rangkaian kekuatan yang saling mempengaruhi satu sama
lain, sehingga menimbulkan suatu kondisi di mana sebuah negara akan tetap
miskin dan akan mengalami banyak kesulitan untuk mencapai tingkat
pembangunan yang lebih tinggi.
Keterbelakangan, ketidak sempurnaan pasar, dan kurangnya modal
menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya produktivitas
mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya
pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi.
Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan. Oleh karena itu, setiap
usaha untuk mengurangi kemiskinan seharusnya diarahkan untuk memotong
lingkaran dan perangkap kemiskinan ini (Arsyad (2010: 111)).
Azis mengungkapkan (2012), Indonesia termasuk salah satu negara
sedang berkembang yang paling berhasil dalam pengentasan kemiskinan.
4
dari 60 juta jiwa atau 50,6% pada tahun 1970 menjadi 42,3 juta jiwa 28,6%
pada tahun 1980; 27,2 juta jiwa atau 15,1% pada tahun 1990; 38,7 juta jiwa
atau 19,4% pada tahun 2000 dan 29,13 juta jiwa atau 11,66% pada tahun
2012.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008-2012
kemiskinan di Indonesia selalu mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan
bahwa upaya pemerintah dalam memerangi kemiskinan membuahkan hasil.
Meski diakui bahwa penurunan kemiskinan cenderung melambat. Berikut
Grafik 1.1 menunjukkan tingkat kemiskinan di Indonesia pada tahun
2008-2012.
Grafik 1.1
Tingkat Kemiskinan Di Indonesia Tahun 2008 - 2012
Kemiskinan Provinsi Kemiskinan Nasional
Sumber: BPS, Statistik Indonesia 2014
Tingkat kemiskinan di Indonesia cenderung mengalami penurunan
setiap tahunnya, Grafik 1.1 di atas menunjukkan pada tahun 2008 tingkat
kemiskinan di Indonesia sebesar 15,42 persen, kemudian menurun menjadi
14,15 persen pada tahun 2009. Sama halnya di tahun 2010 – 2012 tingkat
kemiskinan terus mengalami penurunan hingga mencapai 13,33 persen
;12,49 persen dan 11,66 persen.
Perlindungan sosial merupakan elemen penting dalam strategi
kebijakan sosial untuk menurunkan tingkat kemiskinan serta memperkecil
kesenjangan multidimensional. Dalam arti luas perlindungan sosial
mencakup seluruh tindakan, baik yang dilakukan oleh pemerintah, pihak
swasta, maupun masyarakat, guna melindungi dan memenuhi kebutuhan
dasar, terutama kelompok miskin dan rentan dalam menghadapi kehidupan
yang penuh dengan risiko, serta meningkatkan status sosial dan hak
kelompok marginal di setiap negara ( Suharto ( 2012: 3).
Menurut Suharto (2013: 3) perlindungan sosial merupakan saran
penting untuk meringankan dampak kemiskinan dan kemeralatan yang
dihadapi oleh kelompok miskin. Namun demikian, perlindungan sosial
bukan merupakan satu-satunya pendekatan dalam strategi penanggulangan
kemiskinan. Guna mencapai hasil yang efektif dan berkelanjutan, dalam
pelaksanaan strategi ini perlu dikombinasikan dengan pendekatan lain,
seperti penyediaan pelayanan sosial, pendidikan, dan kesehatan secara
terintegrasi dengan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Jika dilihat dari tingginya tingkat kemiskinan di Indonesia, Provinsi
Jawa Tengah termasuk Provinsi yang memiliki persentase tingkat
6
Grafik l.2 Provinsi Jawa Tengah termasuk peringkat pertama jika
dibandingkan dengan Provinsi lain di Pulau Jawa.
Grafik 1.2
Tingkat Kemiskinan Di Pulau Jawa Tahun 2008-2012
Sumber: Jawa Tengah Dalam Angka, Berbagai Tahun Terbitan.
Meskipun persentase tingkat kemiskinan Provinsi Jawa Tengah dari
tahun 2008-2012 terus mengalami penurunan, angka tersebut cukup besar
bila disandingkan dengan Provinsi lain seperti DI Yogyakarta, Jawa Timur,
Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta.
Tingkat kemiskinan Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah
dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu kategori hampir miskin, kategori
miskin, dan kategori sangat miskin. Kategori hampir miskin yaitu kategori
yang tingkat kemiskinan di bawah angka Nasional yaitu sebesar 13,33%.
Kategori miskin adalah kategori yang tingkat kemiskinannya di atas angka
Nasional dan di bawah angka Provinsi yaitu sebesar 16,11%. Sedangkan
Grafik 1.3
Tingkat Kemiskinan Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008-2012
19.23
Sumber: Jawa Tengah Dalam Angka, Berbagai Tahun Terbitan.
Grafik 1.3 di atas menunjukkan pada tahun 2008-2010 Provinsi Jawa
Tengah termasuk dalam kategori miskin. Namun pada tahun 2011 dan 2012
mengalami peningkatan dimana termasuk dalam kategori hampir miskin,
dengan tingkat kemiskinan 12,43% dan 11,66% yang berada di bawah angka
Nasional. Dengan demikian, penurunan angka kemiskinan masih tetap
menjadi agenda utama pembangunan Indonesia. (BPS: 2014).
Banyak data dan hasil penelitian yang membuktikan bahwa
kemiskinan sangat berhubungan dengan tingginya angka kesakitan dan
kematian, tingkat pendapatan di bawah garis kemiskinan dan rendahnya
kesempatan memperoleh berbagai fasilitas kesejahteraan sosial akan
mempersulit terpenuhinya berbagai keperluan pangan bergizi atau
kemampuan untuk menangkis penyakit seperti yang dijelaskan oleh
8
Pendapatan yang rendah dan standar hidup yang buruk yang dialami
oleh golongan miskin, yang tercermin dari kesehatan, gizi, dan pendidikan
yang rendah dapat menurunkan produktivitas ekonomi mereka dan
akibatnya secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan
pertumbuhan ekonomi melambat. (Todaro dan Smith (2006: 264)).
Menurut Todaro dan Smith (2006: 299) peningkatan pendapatan
golongan miskin akan mendorong kenaikan permintaan produk kebutuhan
rumah tangga buatan lokal. Bukti teoritis menunjukkan bahwa distribusi
pendapatan yang lebih merata dapat menyebabkan terjadinya perbaikan gizi,
lapangan kerja yang lebih luas, dan pertumbuhan output yang lebih tinggi.
Tabel 1.1
Upah Minimum Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008-2012 (Rupiah)
Tahun UMP
2008 602.214
2009 679.939
2010 736.948
2011 784.352
2012 837.856
Sumber: BPS, Jawa Tengah Dalam Angka Berbagai Tahun Terbitan, Diolah
Tabel 1.1 menunjukkan sampai tahun 2012 tingkat upah minimum di
Provinsi Jawa Tengah terus mengalami peningkatan disetiap tahunnya.
Pada tahun 2008 tingkat upah minimum sebesar Rp. 602.214 kemudian
naik menjadi Rp. 679.939 pada tahun 2009 dan Rp. 736.948 di tahun 2010
sama halnya di tahun 2011 upah minimum naik sebesar Rp. 784.352.
Menurut Sukirno (2004) dalam Prastyo (2010: 64) pengangguran
merupakan salah satu faktor penyebab kemiskinan suatu daerah. efek
buruk dari pengangguran adalah mengurangi pendapatan masyarakat yang
pada akhirnya mengurangi tingkat kemakmuran yang telah dicapai
seseorang. Semakin turunnya kesejahteraan masyarakat karena
menganggur tentunya akan meningkatkan peluang mereka terjebak dalam
kemiskinan karena tidak memiliki pendapatan. Apabila pengangguran di
suatu negara sangat buruk, kekacauan politik dan sosial selalu berlaku dan
menimbulkan efek yang buruk bagi kesejahteraan masyarakat dan prospek
pembangunan ekonomi dalam jangka panjang. Berikut tingkat
pengangguran di Jawa Tengah dapat dilihat pada Grafik 1.4 di bawah ini.
Grafik 1.4
Tingkat Pengangguran Di Jawa Tengah Tahun 2008-2012
Sumber: TKPK Jawa Tengah 2008-2012.
Grafik 1.4 menunjukkan tingkat pengangguran terbuka Provinsi Jawa
10
kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah tetap lebih unggul dibandingkan
dengan provinsi lain yang berada di pulau Jawa.
Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan
menurut Suryawati (2005: 126) adalah kesehatan. Banyak data dan hasil
penelitian yang membuktikan bahwa kemiskinan sangat berhubungan
dengan tingginya angka kesakitan dan kematian. Tingkat pendapatan di
bawah garis kemiskinan dan rendahnya kesempatan memperoleh berbagai
fasilitas kesejahteraan sosial akan mempersulit terpenuhinya berbagai
keperluan pangan bergizi atau kemampuan untuk menangkis penyakit,
sehingga tidak mengherankan apabila di lingkungan mereka tingkat
kematian bayi tinggi. Berbagai macam penyakit mengancam mereka,
seperti: malaria, tuberkulosis, penyakit mata, kwasioskor, dan lainnya
sebagai akibat lemahnya daya resistensi. Hal ini menyebabkan usia harapan
hidup mereka pendek dan tingkat kematian mereka tinggi.
Grafik 1.5
Angka Kematian Bayi Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008-2012
Sumber: Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2012
Grafik 1.5 Angka Kematian Bayi di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012
tahun 2011 sebesar 10,34/1.000 kelahiran hidup. Angka Kematian Bayi di
Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 sudah cukup baik karena telah melampaui
target.
Angka kematian dari waktu ke waktu menggambarkan status
kesehatan masyarakat secara kasar. Angka Kematian Bayi menggambarkan
tingkat permasalahan kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan faktor
penyebab kematian bayi, tingkat pelayanan antenatal, status gizi ibu hamil,
tingkat keberhasilan program KIA dan KB, serta kondisi lingkungan dan
sosial ekonomi (Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2012: 9).
Suryawati (2005: 127) mengungkapkan bahwa selain kesehatan faktor
lain yang berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan adalah pendidikan.
Keterkaitan kemiskinan dan pendidikan sangat besar karena pendidikan
memberikan kemampuan untuk berkembang lewat penguasaan ilmu dan
keterampilan. Pendidikan juga menanamkan kesadaran akan pentingnya
martabat manusia. Mendidik dan memberikan pengetahuan berarti
menggapai masa depan. Hal tersebut harusnya menjadi semangat untuk terus
melakukan upaya mencerdaskan bangsa.
Ditinjau dari pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan,
Indonesia menghadapi masalah serius di sektor pendidikan, terutama di
tingkat pendidikan sekolah menengah pertama dan tingkat selanjutnya. Latar
belakang sosio-ekonomi adalah komponen utama untuk mengevaluasi
pendidikan di Indonesia.
Pendidikan adalah suatu sarana yang paling efektif untuk
12
tinggi anak-anak dari keluarga miskin dapat memperoleh pekerjaan yang
lebih baik, sehingga memungkinkan mereka mematahkan mata-rantai
kemiskinan. Fakta bahwa banyak anak-anak dari keluarga miskin tidak
mampu melanjutkan sekolah setelah menyelesaikan pendidikan sekolah
dasar menjadi tantangan serius dalam menghapus kemiskinan di masa yang
akan datang.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka pengetahuan dan
keahlian juga akan meningkat sehingga akan mendorong peningkatan
produktivitas kerjanya. Perusahaan akan memperoleh hasil yang lebih
banyak dengan memperkerjakan tenaga kerja dengan produktivitas yang
tinggi, sehingga perusahaan juga akan bersedia memberikan gaji yang lebih
tinggi bagi yang bersangkutan.
Di sektor informal seperti pertanian, peningkatan ketrampilan dan
keahlian tenaga kerja akan mampu meningkatkan hasil pertanian, karena
tenaga kerja yang terampil mampu bekerja lebih efisien. Pada akhirnya
seseorang yang memiliki produktivitas yang tinggi akan memperoleh
kesejahteraan yang lebih baik, yang diperlihatkan melalui peningkatan
pendapatan maupun konsumsinya. Rendahnya produktivitas kaum miskin
dapat disebabkan oleh rendahnya akses mereka untuk memperoleh
pendidikan (Rasidin K. Sitepu dan Bonar M. Sinaga (2004) dalam Prastyo
(2010: 26)).
Bagi pemerintah keuntungan yang akan diperoleh dari investasi di
bidang pendidikan antara lain bahwa pendidikan merupakan salah satu cara
dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Sedangkan bagi masyarakat,
pendidikan yang semakin baik merupakan modal dalam memperebutkan
kesempatan kerja. Sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan.
Secara umum telah terjadi peningkatan di bidang pendidikan pada
Provinsi Jawa Tengah. Peningkatan terjadi pada tingkat pendidikan SMP
dan SMU. Hal ini terjadi karena digalaknnya program sekolah gratis bagi
jenjang SD dan SMP serta program-program pendidikan lainnya.
Peningkatan tersebut berimbas pada kemampuan baca tulis penduduk yang
tercermin dari angka melek huruf. Persentase penduduk yang dapat
membaca dan menulis huruf pada tahun 2011 sebesar 91,22%, sedangkan
yang buta huruf sebesar 8,78%. Bila dilihat dari jenis kelaminnya, maka
penduduk laki-laki lebih banyak yang melek huruf dibandingkan dengan
penduduk perempuan, angka melek huruf penduduk laki-laki sebesar
94,94% dan perempuan sebesar 87,61% (BPS, 2012).
Meskipun tingkat kemiskinan provinsi Jawa Tengah mengalami
penurunan apabila dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Jawa,
rata-rata tingkat kemiskinan provinsi Jawa Tengah tetap paling unggul.
Kemiskinan memang masalah berat yang bisa membawa cost mahal bila tak segera ditangani. Berangkat dari permasalahan yang diuraikan di atas, untuk
itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai ANALISIS PENGARUH
UPAH MINIMUM, PENGANGGURAN, KESEHATAN, DAN
PENDIDIKAN TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI
JAWA TENGAH TAHUN 2008-2012 (Studi Kasus 35 Kabupaten/Kota di
14
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, masalah
yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Seberapa besar pengaruh upah minimum terhadap tingkat kemiskinan
di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2008-2012?
2. Seberapa besar pengaruh tingkat pengangguran terhadap tingkat
kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2008-2012?
3. Seberapa besar pengaruh kesehatan terhadap tingkat kemiskinan di
Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2008-2012?
4. Seberapa besar pengaruh pendidikan terhadap tingkat kemiskinan di
Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2008-2012?
5. Seberapa besar pengaruh upah minimum, pengangguran, kesehatan,
dan pendidikan secara bersama-sama terhadap tingkat kemiskinan di
Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2008-2012?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang penulis kemukakan di atas, maka
penelitian ini bertujuan:
1. Menganalisis besarnya pengaruh upah minimum terhadap tingkat
kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2008-2012.
2. Menganalisis besarnya pengaruh tingkat pengangguran terhadap
tingkat kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2008-2012.
3. Menganalisis besarnya pengaruh kesehatan terhadap tingkat
4. Menganalisis besarnya pengaruh pendidikan terhadap tingkat
kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2008-2012.
5. Menganalisis besarnya pengaruh upah minimum, pengangguran,
kesehatan, dan pendidikan secara bersama-sama terhadap tingkat
kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2008-2012
D. Manfaat Penelitian
Tercapainya tujuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat dalam bidang akademis maupun dalam bidang pemerintahan.
1. Bagi Akademis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi terhadap
pengembangan teori khususnya mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah dan
diharapkan dapat memberikan tambahan informasi serta referensi
bacaan bagi mahasiswa sebagai bahan untuk penelitian selanjutnya.
2. Bagi Pemerintah
Penelitian ini diharapkan berguna dalam memberikan informasi serta
menjadi bahan masukan untuk merumuskan berbagai kebijakan di
masa yang akan datang dan melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan
16 BAB II
TELAAH PUSTAKA
A. Pengertian Kemiskinan
Karakteristik kemiskinan Indonesia menurut Azis (2012), secara
umum dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Sebagian besar penduduknya rentan dengan kemiskinan. Kondisi ini
ditunjukkan dengan banyaknya penduduk yang berpenghasilan di
sekitar garis kemiskinan. Bila digunakan garis kemiskinan US$ 1 PPP,
hanya sekitar 6% penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Namun, bila digunakan garis kemiskinan US$ 2 PPP per kapita per
hari, hampir setengah penduduk Indonesia masuk kategori miskin.
2. Kemiskinan yang terjadi di Indonesia merupakan permasalahan yang
multidimensi. Kemiskinan bukan hanya karena rendahnya pendapatan,
namun juga disebabkan oleh masih terbatasnya akses terhadap
pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, serta akses terhadap
infrastruktur dasar seperti air bersih dan sanitasi.
3. Adanya ketimpangan yang besar antar wilayah, baik antar provinsi
maupun antar perdesaan-perkotaan.
4. Pengeluaran terbesar masyarakat miskin adalah untuk belanja
makanan.
5. Mayoritas masyarakat miskin bekerja di sektor pertanian sebagai
Kemiskinan merupakan masalah pendapatan yang rendah, namun hal
ini bukanlah satu-satunya yang menjadi sumber kemiskinan yang
merupakan sebuah permasalahan yang kompleks. Dengan memasukkan
pertimbangan-pertimbangan yang lebih komprehensif seperti kesehatan dan
pendidikan, PBB mendefinisikan kemiskinan sebagai sebuah kondisi dimana
individu-individu tidak memiliki pilihan dan kesempatan di dalam
mengembangkan kapabilitas hidupnya, dengan kata lain kemiskinan
merupakan sebuah kondisi pronounced deprivation in well-being atau penurunan kualitas secara terus menerus.
Kemiskinan dalam dimensi ekonomi diartikan sebagai kekurangan
sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan
sekelompok orang, baik secara finansial maupun semua jenis kekayaan yang
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dikategorikan miskin
bilamana seseorang atau keluarga tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok
minimnya, seperti: sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan
seperti yang diungkapkan oleh Suryawati (2005: 123).
Piven dan Cloward (1993) dan Swanson (2001) dalam Suharto (2013:
15) menyatakan bahwa kemiskinan berhubungan dengan kekurangan materi,
rendahnya penghasilan, dan adanya kebutuhan sosial.
1. Kekurangan materi
Kemiskinan menggambarkan adanya kelangkaan materi atau
barang-barang yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti
18
dipahami sebagai situasi kesulitan yang dihadapi orang dalam
memperoleh barang-barang yang bersifat kebutuhan dasar.
2. Kekurangan penghasilan dan kekayaan yang memadai
Makna “memadai” di sini sering dikaitkan dengan standar atau
garis kemiskinan (poverty line) yang berbeda-beda dari satu negara ke negara lainnya. Badan Pusat Statistik (BPS) di Indonesia menetapkan
garis kemiskinan untuk wilayah pedesaan dan perkotaan setiap
Provinsi berbeda-beda.
3. Kesulitan memenuhi kebutuhan sosial
Dalam hal ini kaitannya dengan keterkucilan sosial (social exclusion), ketergantungan, ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi
kelangkaan pelayanan sosial dan rendahnya aksesibilitas
lembaga-lembaga pelayanan sosial, seperti lembaga-lembaga pendidikan, kesehatan, dan
informasi.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi seseorang atau sekelompok
masyarakat baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak mampu memenuhi
hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan
yang bermartabat, hak-hak dasar masyarakat antara lain: kebutuhan pangan,
kesehatan, pendidikan, pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan, perumahan,
air bersih, pertanahan, sumber daya alam, lingkungan yang sehat, rasa aman
Nasikun dalam Suryawati (2005: 122) mengemukakan hidup dalam
kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan tingkat
pendapatan rendah, tetapi juga banyak hal lain, seperti: tingkat kesehatan,
pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap
ancaman tindak kriminal, ketidakberdayaan menghadapi kekuasaan, dan
ketidak berdayaan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri. Kemiskinan
dapat dibagi dalam empat bentuk, yaitu:
1. Kemiskinan absolut
Bila pendapatannya di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup
untuk memenuhi pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan
pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja.
2. Kemiskinan relatif
Kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang
belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan
ketimpangan pada pendapatan.
3. Kemiskinan kultural
Mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang
disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha
memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif
meskipun ada bantuan dari pihak luar.
4. Kemiskinan struktural
Situasi miskin yang disebabkan karena rendahnya akses terhadap
20
politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi
seringkali menyebabkan suburnya kemiskinan.
Berbagai pihak telah sepakat bahwa kemiskinan mempunyai banyak
dimensi. Agar dapat memahami watak kemiskinan secara utuh, tidak cukup
sekedar mendefinisikan kemiskinan sebagai miskin yang diukur dari tingkat
pendapatan atau konsumsi. Kemiskinan tidak semata-mata dibatasi pada
masalah pendapatan dan konsumsi, tetapi juga berkaitan dengan kesehatan,
pendidikan, kerentanan terhadap goncangan, partisipasi dalam kegiatan
sosial dan politik, dan banyak aspek kehidupan lainnya. Hal ini
diungkapakan oleh lembaga penelitian SMERU (2001).
Berdasarkan berbagai definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan secara
umum menurut Rahardjo (2006: 12), bahwa kemiskinan adalah suatu
kondisi seseorang atau sekelompok masyarakat yang mengalami berbagai
kekurangan baik secara material maupun spiritual menuju kehidupan yang
layak bagi kemanusiaan. Ketidakberdayaan tersebut meliputi:
1. Kebutuhan dasar yang standar (sandang, pangan, dan papan)
2. Kesehatan
3. Pendidikan
4. Kesempatan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan
5. Akses informasi
6. Kesempatan dalam berusaha dan menjalankan kegiatan ekonomi
7. Penguasaan sumber daya ekonomi
8. Pelayanan pemerintahan
10. Rasa aman
11. Lingkungan hidup
12. Budaya masyarakat
B. Kriteria Kemiskinan
Sesuai konsep kemiskinan menurut Data dan Informasi Kemiskinan
Jawa Tengah (2007-2011: 14) penduduk miskin adalah penduduk yang
memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis
Kemiskinan. Penduduk dengan rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di
bawah Garis Kemiskinan miskin terbagi atas dua kriteria yaitu penduduk
sangat miskin dan penduduk miskin. Penduduk sangat miskin adalah
penduduk yang berada di bawah 0,8 Garis Kemiskinan, sedangkan
penduduk miskin pada kriteria ini adalah penduduk miskin yang berada pada
0,8 Garis Kemiskinan ke atas tetapi masih di bawah Garis Kemiskinan.
Selain itu untuk penduduk yang berada pada Garis Kemiskinan sampai
dengan 1,2 Garis Kemiskinan masuk pada kriteria penduduk hampir miskin,
sedangkan penduduk yang berada di atas 1,2 Garis Kemiskinan merupakan
penduduk tidak miskin.
Berdasarkan studi SMERU dalam Suharto (2013: 15) menunjukkan
Sembilan kriteria yang menandai kemiskinan, diantaranya:
1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan,
sandang, papan).
22
3. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar,
wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok
marjinal dan terpencil).
4. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia (buta huruf, rendahnya
pendidikan dan ketrampilan, sakit-sakitan) dan keterbatasan sumber
alam (tanah tidak subur, lokasi terpencil, ketiadaan infrastruktur jalan,
listrik, air).
5. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual (rendahnya
pendapatan dan asset), maupun massal (rendahnya modal sosial,
ketiadaan fasilitas umum).
6. Ketiadaan akses terhadap lapangan-lapangan kerja dan mata
pencaharian yang memadai dan berkesinambungan.
7. Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan,
pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi).
8. Ketiadaan jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk
pendidikan dan keluarga atau tidak adanya perlindungan sosial dari
negara dan masyarakat).
9. Ketidak terlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat.
C. Ukuran Kemiskinan
Kemiskinan dalam dimensi ekonomi paling mudah untuk diamati,
diukur, dan diperbandingkan. Menurut World Bank (2007: 53) ada beberapa
1. Indeks angka Kemiskinan (Poverty Headcount Index, P0)
Indeks ini adalah jumlah penduduk yang memiliki tingkat
konsumsi di bawah garis kemiskinan. Indeks ini kadang-kadang
disebut sebagai angka insiden kemiskinan (Poverty Incidence), adalah ukuran kemiskinan yang paling populer. Namun, ukuran ini tidak
dapat membedakan di antara sub-kelompok penduduk miskin, dan juga
tidak menunjukkan jangkauan tingkat kemiskinan. Ukuran ini tidak
berubah meskipun seorang penduduk miskin menjadi lebih miskin atau
menjadi lebih sejahtera, selama orang tersebut berada di bawah garis
kemiskinan. Oleh karena itu, untuk mengembangkan pemahaman yang
lebih komprehensif mengenai kemiskinan, indeks tersebut penting
dengan dilengkapi dengan dua ukuran kemiskinan lainnya dari
Fooster, Green dan Thorbecke (FGT).
2. Indeks Kesenjangan Kemiskinan (Poverty Gap Index, P1)
Penurunan rata-rata konsumsi agregat terhadap garis kemiskinan
untuk seluruh penduduk, dengan nilai nol (0) diberikan kepada mereka
yang berada di atas garis kemiskinan. Kesenjangan kemiskinan dapat
memberikan indikasi tentang berapa banyak sumber daya yang
dibutuhkan untuk menanggulangi kemiskinan melalui bantuan tunai
yang ditujukan secara tepat kepada rakyat miskin. Indeks ini dapat
menggambarkan tingkat kedalaman kemiskinan (the Depth of Poverty) dengan lebih baik, tetapi tidak menunjukkan tingkat keparahan
24
akan berubah, meski terjadi peralihan bantuan dari seseorang
penduduk miskin kepada penduduk lainnya yang lebih miskin.
3. Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index, P2)
Ukuran ini memberi bobot yang lebih besar bagi penduduk yang
sangat miskin dengan menguadratkan jarak garis kemiskinan. Angka
ini dihitung dengan menguadratkan penurunan relatif konsumsi per
kapita terhadap garis kemiskinan, dan kemudian nilai tersebut
dirata-ratakan dengan seluruh penduduk sambil memberikan nilai nol (0)
bagi penduduk yang berada di atas garis kemiskinan. Ketika bantuan
dialihkan dari orang miskin ke orang lain yang lebih miskin, hal ini
akan menurunkan angka kemiskinan secara keseluruhan.
4. Ukuran Kemiskinan PPP 1 dan 2 dolar AS per hari
Untuk membandingakan kemiskinan antarnegara. Bank Dunia
menggunakan perkiraan konsumsi yang dikonversikan ke dollar
Amerika dengan menggunakan paritas (kesetaraan) daya beli
(Purchasing Power Parity, PPP), bukan dengan nilai tukar mata uang. Nilai tukar PPP menunjukkan jumlah satuan mata uang suatu negara
yang dibutuhkan untuk membeli barang dan jasa dalam jumlah yang
sama di negara itu, yang nilainya sama dengan niali 1 dolar AS yang
dibelanjakan di Amerika Serikat. Nilai PPP ini dihitung berdasarkan
harga dan jumlah untuk masing-masing negara yang dikumpulkan
ke waktu dengan tingkat inflasi relatif, dengan menggunakan indeks
harga konsumen (Consumer Price Indext, CPI).
Untuk mengindikasikan ukuran kemiskinan selama ini yang lazim
digunakan adalah garis kemiskinan (poverty line), yaitu menunjukkan ketidak mampuan seseorang melampaui ukuran garis kemiskinan. Garis
kemiskinan adalah ukuran yang didasarkan pada kebutuhan konsumsi
minimum, konsumsi makanan dan non makanan.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) (2003) garis kemiskinan adalah
besarnya nilai pengeluaran (dalam rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar
minimum makanan dan non makanan. Nilai garis kemiskinan yang
digunakan mengacu pada kebutuhan minimum 2100 kilo kalori per kapita
per hari ditambah dengan kebutuhan minimum non makanan yang
merupakan kebutuhan dasar untuk papan, sandang, sekolah, transportasi
serta kebutuhan rumah tangga dan individu yang mendasar lainnya. Garis
kemiskinan yang ditetapkan BPS sendiri akan selalu mengalami
penyesuaian, karena harga kebutuhan itu berubah-ubah.
Sajogyo (1977) juga memberikan alternatif untuk mengukur
kemiskinan dengan pendekatan kemiskinan absolut adalah dengan
memperhitungkan standar kebutuhan pokok berdasarkan atas kebutuhan
beras dan gizi (kalori dan protein) dengan mengungkapkan masalah garis
kemiskinan dan tingkat pendapatan petani. Ada tiga golongan orang miskin,
yaitu golongan paling miskin yang mempunyai pendapatan per kapita per
tahun beras sebanyak 240 kg atau kurang, golongan miskin sekali yang
26
lapisan miskin yang memiliki pendapatan per kapita per tahun beras
sebanyak lebih dari 360 kg tetapi kurang dari 480 kg.
Fooster , Green dan Thorbecke (FGT) telah merumuskan suatu ukuran
yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan (BPS, 2007-2011: 14):
Dimana:
α = 0,1,2
z = Garis kemiskinan
yi = Rata-rata pengeluaran perkapita sebulan penduduk yang berada di
bawah garis kemiskinan (i=1,2,3, . . ., q), yi < z
q = Banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan
n = Jumlah penduduk
Jika:
α = 0, maka diperoleh Head Count Index (P0), yaitu persentase
penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan.
α = 1, maka diperoleh Poverty Gap Index (P1), yaitu indeks kedalaman α = 2, maka diperoleh Poverty Severity (P2), yaitu indeks keparahan
kemiskinan.
D. Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan
Beberapa faktor yang dinilai sebagai sebab-sebab kemiskinan menurut
1. Kesempatan kerja, dimana seseorang itu miskin karena menganggur,
sehingga tidak memperoleh penghasilan atau kalau bekerja tidak
penuh, baik dalam ukuran hari, minggu, bulan, maupun tahun.
2. Upah gaji di bawah minimum.
3. Produktivitas yang rendah.
4. Ketiadaan aset.
5. Diskriminasi.
6. Tekanan harga.
7. Penjualan tanah.
Menurut Kartasasmita dalam Rahmawati (2006) dalam Nurhayati
(2007: 16), kondisi kemiskinan dapat disebabkan oleh sekurang-kurangnya
empat penyebab, yaitu :
1. Rendahnya taraf pendidikan
Dimana taraf pendidikan yang rendah mengakibatkan
kemampuan pengembangan diri terbatas dan menyebabkan sempitnya
lapangan kerja yang dapat dimasuki. Taraf pendidikan yang rendah
juga membatasi kemampuan untuk mencari dan memanfaatkan
peluang.
2. Rendahnya derajat kesehatan
Taraf kesehatan dan gizi yang rendah menyebabkan rendahnya
28
3. Terbatasnya lapangan kerja
Keadaan kemiskinan karena kondisi pendidikan dan kesehatan
diperberat oleh terbatasnya lapangan pekerjaan. Selama ada lapangan
kerja atau kegiatan usaha, selama itu pula ada harapan untuk
memutuskan lingkaran kemiskinan itu.
4. Kondisi keterisolasian
Banyak penduduk miskin secara ekonomi tidak berdaya karena
terpencil dan terisolasi. Mereka hidup terpencil sehingga sulit atau
tidak dapat terjangkau oleh pelayanan pendidikan, kesehatan dan gerak
kemajuan yang dinikmati masyarakat lainnya.
Bagi pemerintah keuntungan yang akan diperoleh dari investasi di
bidang pendidikan antara lain bahwa pendidikan merupakan salah satu cara
dalam rangka memerangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan
dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Sedangkan bagi masyarakat,
pendidikan semakin baik merupakan modal dalam memperebutkan
kesempatan kerja, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan
mereka.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan yang digunakan
dalam penelitian ini menurut Rahardjo (2006) dan Kartasasmita dalam
Faturrohmin (2006) seperti yang diungkapkan di atas meliputi:
1. Upah Minimum
Upah pada dasarnya merupakan sumber utama penghasilan
seseorang, sebab itu upah harus cukup untuk memenuhi kebutuhan
181) upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha
kepada karyawan untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan
dilakukan dan dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang
ditetapkan atas dasar suatu persetujuan atau peraturan
perundang-undangan serta dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara
pengusaha dengan karyawan termasuk tunjangan, baik untuk karyawan
itu sendiri maupun keluarga.
Kebijakan upah minimum di Indonesia tertuang dalam Peraturan
Menteri Tenaga Kerja Nomor: Per-01/Men/1999 dan UU Ketenagakerjaan
No. 13 tahun 2003. Upah minimum sebagaimana dimaksud adalah upah
bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap.
Yang dimaksud dengan tunjangan tetap adalah suatu jumlah imbalan yang
diterima pekerja secara tetap dan teratur pembayarannya, yang tidak
dikaitkan dengan kehadiran ataupun pencapaian prestasi tertentu. Tujuan
dari penetapan upah minimum adalah untuk mewujudkan penghasilan yang
layak bagi pekerja. Beberapa hal yang menjadi bahan pertimbangan
termasuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja tanpa menafikkan
produktifitas perusahaan dan kemajuannya, termasuk juga pertimbangan
mengenai kondisi ekonomi secara umum.
Menurut Todaro dan Smith (2006: 267) menyatakan bahwa tingkat
pendapatan per kapita yang rendah dan distribusi pendapatan yang tidak
merata akan menghasilkan kemiskinan absolut yang parah. Pada tingkat
distribusi pendapatan tertentu, semakin tinggi pendapatan per kapita yang
30
Adapun empat elemen pokok yang merupakan penentu utama atas baik
tidaknya kondisi distribusi pendapatan di negara berkembang menurut
Todaro dan Smith (2006: 276):
a. Mengubah distribusi fungsional
Tingkat hasil yang diterima dari faktor-faktor produksi
tenaga kerja, tanah, dan modal, yang sangat dipengaruhi oleh
harga dari masing-masing faktor produksi tersebut, tingkat
pendayagunaannya, dan bagian atau persentase dari pendapatan
nasional yang diperoleh para pemilik masing-masing faktor
tersebut.
b. Memeratakan distribusi ukuran
Distribusi pendapatan fungsional dari suatu perekonomian
yang dinyatakan sebagai distribusi ukuran, yang didasarkan pada
kepemilikan dan penguasaan atas aset produktif serta ketrampilan
sumber daya manusia yang terpusat dan tersebar ke segenap
lapisan masyarakat. Distribusi kepemilikan aset dan ketrampilan
pada akhirnya akan menentukan merata atau tidakna distribusi
pendapatan secara perorangan.
c. Meratakan (mengurangi) distribusi ukuran golongan penduduk
berpenghasilan tinggi.
Melalui pemberlakuan pajak progresif terhadap pendapatan
dan kekayaan pribadi mereka. Pajak tersebut diharapkan dapat
meningkatkan penerimaan pemerintah dan dapat mengubah
sepenuhnya oleh kekuatan-kekuatan pasar dan kepemilikan aset
menjadi pendapatan disposabel (disposable income)
d. Meratakan (meningkatkan) distribusi ukuran golongan penduduk
berpenghasilan rendah
Melalui pengeluaran publik yang dananya bersumber dari
pajak untuk meningkatkan pendapatan kaum miskin secara
langsung (misalnya melalui pembayaran transfer atau disebut
money transfer) atau tidak langsung (misalnya melalui penciptaan lapangan kerja, pembebasan uang sekolah, pemberian
subsidi pendidikan dasar, dan pelayanan kesehatan bagi pria
maupun wanita). Segenap kebijakan publik semacam itu akan
meningkatkan pendapatan riil bagi masyarakat miskin di atas
tingkat pendapatan semula yang semata-mata ditentukan oleh
mekanisme pasar.
2. Pengangguran
Pengangguran (unemployment) adalah suatu keadaan dimana seseorang yang tergolong dalam kategori angkatan kerja tidak
memiliki pekerjaan dan secara aktif sedang mencari pekerjaan.
Pengangguran terjadi karena ketidak sesuaian antara permintaan dan
32
Jenis-jenis pengangguran menurut Sumarsono (2009: 251) dapat
dibagi menjadi:
a. Pengangguran Friksional
Pengangguran yang terjadi karena kesulitan temporer dalam mempertemukan pencari kerja dan lowongan kerja yang
ada. Kesulitan temporer ini dapat berbentuk: (1) tenggang waktu
yang diperlukan selama proses/prosedur pelamaran dan seleksi,
atau terjadi karena faktor jarak atau kurangnya informasi, (2)
kurangnya mobilitas pencari kerja di mana lowongan pekerjaan
justru terdapat bukan disekitar tempat tinggal si pencari kerja, (3)
pencari kerja tidak mengetahui di mana adanya lowongan
pekerjaan dan demikian pula pengusaha tidak mengetahui di
mana tersedianya tenaga-tenaga yang sesuai.
b. Pengangguran Musiman
Pengangguran yang terjadi karena pergantian musim. Di luar
musim panen dan turun kesawah, banyak orang yang tidak
mempunyai kegiatan ekonomis, mereka hanya sekedar
menunggu musim yang baru. Selama masa menunggu tersebut
mereka digolongkan sebagai penganggur musiman.
c. Pengangguran Siklikal
Sebenarnya macam pengangguran seperti ini, mirip dengan
pengangguran musiman. Namun hal ini terjadi dalam jangka
d. Pengangguran Struktural
Pengangguran struktural adalah pengangguran yang terjadi
karena perubahan dalam struktur atau komposisi perekonomian.
Perubahan struktur yang demikian memerlukan perubahan dalam
ketrampilan tenaga kerja yang dibutuhkan, sedangkan pihak
pencari kerja tidak mampu menyesuaikan diri dengan
ketrampilan baru tersebut. Keadaan ini menyebabkan terjadinya
pengangguran pekerja akibat penggunaan alat-alat dan teknologi
maju.
e. Pengangguran Teknologis
Dalam pertumbuhan industri, bahwa teknologi yang dipakai
dalam proses produksi selalu berubah. Perubahan teknologi
merupakan bagian bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan sehari-hari.
Perubahan teknologi produksi membawa dampak
kesempatan kerja berbagai arah. Kekuatan substitutive dan kekuatan merombak spesifikasi jabatan yang ditimbulkan
membawa dampak negatif bagi kesempatan kerja berupa
pengangguran.
f. Pengangguran karena kurangnya permintaan agregat
Permintaan total masyarakat merupakan dasar untuk
dilaksanakannya kegiatan investasi. Pengeluaran investasi
memberikan peluang untuk tumbuhnya kesempatan kerja. Bila
34
timbul pula kelesuan pada permintaan tenaga kerja. Kurangnya
permintaan agregat di sini diartikan sebagai mendasar bukan
sementara bulanan atau sementara tahunan, tetapi merupakan
kondisi yang berlaku dalam jangka panjang. Profil yang perlu
diketahui adalah tempat terjadinya pengangguran menurut sektor
ekonomi, apakah disektor pertanian, pertambangan dan
seterusnya. Selanjutnya distribusinya menurut pendidikan perlu
juga diketahui pengangguran tidak terdidik atau berpendidikan
rendah dapat lebih mudah ditangani karena biasanya, kesempatan
kerja bagi tenaga berketrampilan mudah lebih besar, sehingga
kemungkinan untuk memperoleh pekerjaan lebih besar. Akan
tetapi sebaliknya dapat juga terjadi yaitu bahwa acapkali orang
yang berpendidikan rendah susah menyesuaikan diri dengan
ketrampilan baru.
Pengangguran terdidik dapat berbahaya karena golongan terdidik
merupakan golongan yang sangat peka, sehingga dapat mempengaruhi yang
berpendidikan tinggi. Namun mereka juga lebih gampang diarahkan dan
dicarikan penyelesaian, di samping itu golongan senior ini justru diminta
untuk mampu menciptakan pekerjaan tersendiri.
Menurut Sukirno (2004), menyatakan bahwa efek buruk dari
pengangguran adalah berkurangnya tingkat pendapatan masyarakat yang
pada akhirnya mengurangi tingkat kemakmuran/kesejahteraan.
Kesejahteraan masyarakat yang turun karena menganggur akan
memiliki pendapatan. Apabila pengangguran di suatu negara sangat buruk,
maka akan timbul kekacauan politik dan sosial dan mempunyai efek yang
buruk pada kesejahteraan masyarakat serta prospek pembangunan ekonomi
dalam jangka panjang.
Terdapat kaitan yang erat antara tingkat pengangguran dengan luasnya
kemiskinan dan distribusi pendapatan, bagi sebagian masyarakat yang tidak
mempunyai pekerjaan tetap atau bahkan tidak mamiliki perkerjaan, maka
tidak ada pendapatan yang diperolah, semakin banyak masyarakat yang
tidak memiliki pekerjaan maka semakin banyak masyarakat tidak
mendapatkan pendapatan, dengan demikian hanya sebahagian masyarakat
saja yang menikmati pandapatan. Masyarakat yang bekerja part-time atau bahkan tidak memiliki pekerjaan selalu berada dalam kelompok yang rentan.
Pendidikan juga memiliki andil dalam kemiskinan, banyak orang miskin
karena mengalami kebodohan. Karena itu penting untuk dipahami oleh
pengambil kebijakan bahwa kebodohan akan menyebabkan kemiskinan.
penyebab Untuk memutus mata rantai kemiskina maka pendidikan
merupakan salah satu solusi yang harus dilakukan oleh pemerintah
(BUSRA: 7).
3. Kesehatan
Menurut Arsyad (2010: 307) kesehatan masyarakat merupakan
salah satu alat kebijakan penting dalam memerangi kemiskinan.
Terdapat tiga faktor utama yang mendasari kebijakan ini, diantaranya:
a. Berkurangnya beban penderitaan secara langsung dapat
36
b. Perbaikan kesehatan akan meningkatkan produktivitas golongan
miskin, kesehatan yang lebih baik akan meningkatkan daya kerja.
c. Penurunan tingkat kematian bayi dan anak-anak secara tidak
langsung berperan dalam mengurangi kemiskinan, tingkat
kematian yang semakin rendah tidak saja membantu para orang
tua untuk mencapai jumlah keluarga yang mereka inginkan,
namun membuat mereka menginginkan keluarga yang lebih
kecil.
Kesehatan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
36 Tahun 2009 adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual
maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif
secara sosial dan ekonomis.
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang
agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya,
sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang
produktif secara sosial dan ekonomis.
Akses terhadap perawatan kesehatan merupakan faktor penting
bagi pembangunan ekonomi. Oleh karenanya perlu adanya jaminan
kesehatan. Dalam hal ini jaminan kesehatan merupakan pendorong
pembangunan dan strategi penting dalam penanggulangan kemiskinan
(Suharto 2013: 59).
Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan alah satu faktor dari
kesehatan seperti pelayanan kesehatan dan ketersediaan sarana dan
prasarana kesehatan, melainkan juga dipengaruhi faktor ekonomi,
pendidikan, lingkungan sosial, keturunan dan faktor lainnya.
Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan jumlah kematian bayi
(0-11 bulan) per 1000 kelahiran hidup dalam kurun waktu satu tahun.
Angka Kematian Bayi (AKB) menggambarkan tingkat permasalahan
kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan faktor penyebab
kematian bayi, tingkat pelayanan antenatal, status gizi ibu hamil,
tingkat keberhasilan program KIA dan KB, serta kondisi lingkungan
dan sosial ekonomi. Apabila Angka Kematian Bayi (AKB) di suatu
wilayah tinggi, berarti status kesehatan di wilayah tersebut rendah
(Profil Kesehatan Jawa Tengah, 2011: 9).
4. Pendidikan
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Pendidikan merupakan salah satu bentuk modal manusia
(human capital) yang menunjukkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Pendekatan modal manusia berfokus pada kemampuan tidak
38
pendapatan. Investasi dalam modal manusia akan terlihat lebih tinggi
manfaatnya apabila kita bandingkan antara total biaya pendidikan yang
dikeluarkan selama menjalani pendidikan terhadap pendapatan yang
nantinya akan diperoleh ketika mereka sudah siap bekerja.
Orang-orang yang berpendidikan tinggi akan memulai kerja penuh waktunya
pada usia yang lebih tua, namun pendapatan mereka akan cepat naik
daripada orang yang bekerja lebih awal (Widiastuti, 2010: 49).
Pendidikan formal maupun non formal berperan penting dalam
mengurangi kemiskinan, baik secara langsung maupun secara tidak
langsung, melalui pelatihan dengan bekal ketrampilan yang dibutuhkan
untuk meningkatkan produktivitas yang pada akhirnya mampu
meningkatkan pendapatan (Arsyad, 2010:307).
Jalur pendidikan berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 adalah sebagai berikut:
a. Pendidikan Formal
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur
dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, menengah dan
tinggi. Jenjang pendidikan formal meliputi:
1) Pendidikan Dasar
Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang
melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar
berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah
Menengah Pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah
(MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
2) Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan
dasar. Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan
menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan.
Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas
(SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK),
atau bentuk lain yang sederajat.
3) Pendidikan Tinggi
Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan
setelah pendidikan menengah yang mencakup program
pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor
yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi. Perguruan
tinggi dapat berbentuk akademik, politeknik, sekolah
tinggi, institut, atau universitas.
b. Pendidikan Nonformal
Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar
pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan
berjenjang. Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga
masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi
sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan
40
Pendidikan ini meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan
anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan
pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, dan lain-lain.
c. Pendidikan informal
Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan
lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Hasil
pendidikan formal diakui sama dengan pendidikan formal dan
nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan
setandar nasional pendidikan.
Suryawati (2005: 128) mengemukakan penduduk miskin dalam
konteks pendidikan sosial mempunyai kaitan terhadap upaya
pemberdayaan, partisipasi, demokratisasi, dan kepercayaan diri,
maupun kemandirian. Pendidikan nonformal perlu mendapatkan
prioritas utama dalam mengatasi kebodohan, keterbelakangan, dan
ketertinggalan sosial ekonominya. Pendidikan informal dalam rangka
pendidikan sosial dengan sasaran orang miskin selaku kepala keluarga
(individu) dan anggota masyarakat tidak lepas dari konsep learning society adult education experience learning yang berupa pendidikan luar sekolah, kursus keterampilan, penyuluhan, pendidikan dan latihan,
penataran atau bimbingan, dan latihan.
Salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk mewujudkan
manusia berkualitas dan mempunyai penghasilan secara berkelanjutan
adalah peningkatan pendidikan dan ketrampilan yang diarahkan untuk