• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBERDAYAAN BURUH MIGRAN PEREMPUAN BERBASIS AGAMA DI KABUPATEN CILACAP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PEMBERDAYAAN BURUH MIGRAN PEREMPUAN BERBASIS AGAMA DI KABUPATEN CILACAP"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

- 1 -

PEMBERDAYAAN BURUH MIGRAN PEREMPUAN

BERBASIS AGAMA DI KABUPATEN CILACAP

LAPORAN PENELITIAN

Oleh

Ahmad Muttaqin

DINAS SOSIAL TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI KABUPATEN CILACAP

KERJASAMA DENGAN

(2)

- 2 - ABSTRAK

Kabupaten Cilacap merupakan salah satu wilayah dengan tingkat buruh migran perempuan yang tinggi. Seiring dengan jumlah tersebut, kasus-kasus yang terkait dengan masalah hukum, kekerasan, dan sengketa hubungan kerja juga tinggi. Akar persoalannya lebih banyak berada di dalam negeri yang terbentang dari pusat hingga daerah (kabupaten dan desa). Masalah ini menjadi hal klasik dalam isu buruh migran dan belum terurai secara konprehensip. Sementara itu, kontribusi buruh migran terhadap negara dan daerah sangat signifikan.

Di Kabupaten Cilacap, remitansi atau kiriman uang dari luar negeri mencapai angka lebih dari 500 M. Angka ini apabila diperbandingkan dengan APBD Kab. Cilacap mencapai 50 %. Namun demikian, apresiasi dari pemerintah daerah relatif rendah dengan indikator alokasi APBD yang secara khusus diperuntukkan untuk pemenuhan kebutuhan buruh migran perempuan minim. Dalam realitasnya, kapasitas buruh migran perempuan masih dikategorikan rendah. Hal ini dapat dilihat dari jenjang pendidikan yang rata-rata SMP dan kemampuan teknis pekerjaan yang bersifat informal. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya alokasi dari Pemerintah Daerah utuk program-program pemberdayaan. Situasi yang lain adalah komunitas buruh migran perempuan di Cilacap belum terkoneksikan secara organisatoris. Hal inilah yang ditengarai menjadi akar munculmnya masalah-masalah yang dihadapi buruh migran. Lebih ironis apabila maslah tersebut melibatkan pihak lain, buruh migran perempuan cenderung menjadi pihak yang dirugikan. Untuk menggali informasi dan menganalisis isu di atas, metode yang digunakan adalah kajian lapangan dengan analisis kualitatif deskriptif. Pendekatan yang dilakukan adalah sosiologi kritis yang mencoba mengungkap relasi kuasa antarburuh migran dan pihak-pihak terkat. Titik masuk kajian ini adalah peran agama dalam proses pemberdayaan buruh migran perempuan.

Hasil kajian yang ditampilkan adalah bahwa buruh migran memiliki spirit keagamaan (religiusitas) yang tinggi. Spirit ini kemudian menjadi amunisi atau basis bagi proses pemberdayaan yang dilakukan. Persoalannya adalah kontruk religiusitas buruh migran bersifat tradisional-doktrin sehingga membentuk karakter yang naif. Kenaifan ini kemudian dirubah dengan spirit keagamaan kritis yang bersifat progresif-emansipatoris. Amunisi yang digunakan sama, yaitu religiusitas yang bersifat total. Agama berperan dalam proses penyadaran sosial yang kemudian menggugah semangat kritis dan produktif melalui tafsir ulang dan kajian-kajian kritis atas teks dan ajaran keagamaan.

(3)

- 3 - DAFTAR ISI

ABSTRAK ... DAFTAR ISI ...

BAB I PENDAHULUAN ... BAB II KONSEP PEMBERDAYAAN DAN SIGNIFIKASI AGAMA ... A. Konsep Pemberdayaan ... B. Signifikansi Agama ...

BAB III METODE PENELITIAN...

BAB IV HASIL PENELITIAN ... A. Buruh Migran Cilacap ... B. Penguatan Kapasitas Buruh Migran Perempuan Cilacap... C. Peran Agama dalam Pemberdayaan Buruh Migran ...

BAB IV KESIMPULAN...

(4)

- 4 - BAB I PENDAHULUAN

Beragam kasus yang menimpa buruh migran Indonesia (BMI) yang secara khusus buruh migran perempuan (BMP) menunjukkan bahwa sistem perlindungan yang dibangun pemerintah tidak cukup protektif. Hal ini karena sistem yang dibagun tidak antisipatif terhadap persoalan-persoalan yang kemungkinan muncul pada seluruh proses penyelenggaraan kerja luar negeri. Kesan reaktif sangat terlihat terutama setelah kasus-kasus hukum yang menimpa BMI/BMP terpublikasi oleh media. Kasus Darsem misalnya, BMP asal Kabupaten Kuningan yang terancam hukuman pancung di Arab Saudi ini baru mendapat perhatian dari pemerintah setelah dilansir oleh media-media nasional.1

Secara nasional jumlah BMI mencapai angka 6 juta yang tersebar di 52 negara. Setiap tahunnya, BMI menyumbang remitansi sebesar 100 triliyun atau berkontribusi sebesar 2 % dari total GDP (Gross National Product) atau pendapatan negara per tahun yang berjumlah 6.500 triliyun.2 Apabila dikontekstualkan dengan jumlah angkatan kerja yang mencapai 120 juta, maka buruh migran berkontribusi menyerap 5%. Angka ini sangat signifikan dalam mengurai persoalan pengangguran di Indonesia.

Namun demikian, kontribusi BMI yang sangat besar tersebut belum mendapat imbalan yang sebanding dari pemerintah sebagai pihak yang paling banyak memperoleh manfaat. Kewajiban-kewajiban pemerintah terutama dalam bidang perlindungan hukum masih jauh dari harapan. Pelanggaran hukum yang diterima BMI di negara tempat bekerja banyak yang tidak tercover oleh pemerintah. Rendahanya kontrol dan sistem perlindungan yang dijalankan pemerintah ditengarai sebagai sebab utama kelalaian tersebut.

Salah satu daerah yang menjadi basis BMI adalah kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Berdasar data Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans), jumlah buruh migran asal Cilacap mencapai lebih dari 7.000. jumlah ini akan bertambah apabila digabung dengan burum migran asal Cilacap yang berangkat tidak melalui jalur formal atau legal. Jumlah yag besar ini berdampak secara langsung terhadap tingkat remitansi yag dalam 3 (tiga) tahun terakhir mengalami peningkatan signifikan. Tahun 2007, remitansi masih ada di bawah 300 M, pada tahun 2008 meningkat menjadi 324 M, tahun 2009 meningkat lagi menjadi 370 M, dan di tahun 2010 sebesar 570 M.

Namun demikian, kontribusi besar terhadap daerah ini tidak dibarengi dengan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada BMI. Berdasar laporan Local Budget Index (LBI) Lakpesdam dan Fitra Indonesia tahun 2010, alokasi APBD yang diproyeksikan secara khusus bagi kelompok BMI hanya sebesar 250 juta untuk mata anggaran pendidikan latihan kerja luar negeri. Nilai ini sangat tidak sebanding dengan kontribusi BMI menggerakkan ekonomi daerah yang apabila diperbandingkan dengan APBD Cilacap tahun 2012 sebesar 1,2

1 Kompas, 14 Juli 2011.

(5)

- 5 -

triliyun mencapai 50%.3 Ketidakhadiran negara dalam situasi ini secara moral menggerakkan ormas keagamaan untuk memberikan tanggungjawabnya terhadap jama’ah-nya.

Nahdlatul Ulama (NU) melalui lembaga di bawahnya yaitu Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) melakukan inisiatif pemberdayaan terhadap komunitas buruh migran terutama perempuan untuk lebih produktif dan kritis atas situasi yang melingkupinya. Sebagai ormas keagamaan, nilai-nilai yang menjadi basis pemberdayaan adalah ajaran agama dalam hal ini Islam.

Agama sebagai basis nilai pemberdayaan dalam banyak sisi tidak secara langsung bisa operasional. Nilai agama membutuhkan proses transformasi dan interpretasi-interpretasi ideologis untuk mendukung gerakan progresif pemberdayaan. Persoalan kemudian adalah bahwa agama selama ini relatif masih dipahami secara naif sebagai sesuatu yang final mutlak, dan transenden sehingga tidak dikritik atau dikontekstualisasikan dengan situasi kekinian. Dengan demikian, proses pemberdayaan berbasis agama melalui 2 (dua) ahap sekaligus, yaitu transformasi nilai keagamaan dan operasionalisasi nilai agama dalam kegiatan-kegiatan produktif pemberdayaan.

3 Laporan penelitian Local Budget Index (LBI) Lakpesdam dan Fitra Indonesia di Cilacap.

(6)

- 6 - BAB II

KONSEP PEMBERDAYAAN DAN SIGNIFIKASI AGAMA

A. Konsep Pemberdayaan

Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan

paradigma baru pembangunan yang bersifat “people-centered, participatory,

empowering, and sustainable”.4 Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata

memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safetynet).

Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa konsepsi pembangunan alternatif (alternative development) yang

menghendaki “inclusive democracy, appropriate economic growth, gender

equality and intergenerational equity”.5 Konsep pemberdayaan tidak

mempertentangkan pertumbuhan dengan pemerataan, karena keduanya tidak

harus diasumsikan sebagai “incompatible or antithetical”. Konsep ini mencoba melepaskan diri dari perangkap “zero-sum game” dan “trade off”. Ia bertitik tolak dari pandangan bahwa dengan pemerataan tercipta landasan yang lebih luas untuk pertumbuhan dan yang akan menjamin pertumbuhan yang berkelanjutan.6

Lahirnya konsep pemberdayaan merupakan antitesa terhadap model pembangunan yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun dari kerangka logik sebagai berikut : (1) bahwa proses pemusatan kekuasaan terbangun dari pemusatan kekuasaan faktor produksi; (2) pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat pengusaha pinggiran; (3) kekuasaan akan membangun bangunan atas atau sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan sistem ideologi yang manipulatif untuk memperkuat legitimasi; dan (4) pelaksanaan sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan ideologi secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya.7

Terminologi pemberdayaan dikenal dengan istilah empowerment yang berawal dari kata daya (power). Daya dalam arti kekuatan berasal dari dalam tetapi dapat diperkuat dengan unsur–unsur penguatan yang diserap dari luar. Ia merupakan sebuah konsep untuk memotong lingkaran setan yang menghubungkan power dengan pembagian kesejahteraan. Keterbelakangan dan kemiskinan yang muncul dalam proses pembangunan disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam pemilikan atau akses pada sumber–sumber power.

4 Ginandjar Kartasasmita, Pembangunan untuk Rakyat,Memadukan Pertumbuhan dan

Pemerataan, (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1996), hlm. 19.

5 J. Friedmann, Empowerment: The Politics of Alternative Development, (Cambridge:

Balckwell, 1992), hlm. 31.

6 Ginandjar Kartasasmita, Pembangunan untuk Rakyat, Memadukan Pertumbuhan dan

Pemerataan (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1996), hlm. 21.

7A. M. W. Pranarka dan Vidhandika Moeljarto, “ Pemberdayaan (Empowerment)”, dalam

(7)

- 7 -

Proses historis yang panjang menyebabkan terjadinya power dis powerment, yaitu peniadaan power pada sebagian besar masyarakat, akibatnya masyarakat tidak memiliki akses yang memadai terhadap akses produktif yang umumnya dikuasai oleh mereka yang memiliki power. Pada gilirannya keterbelakangan secara ekonomi menyebabkan mereka makin jauh dari kekuasaan.

Oleh karena itu, pemberdayaan bertujuan dua arah. Pertama, melepaskan belenggu kemiskinan, dan keterbelakangan. Kedua, memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur ekonomi dan kekuasaan. Secara konseptual, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.

Dalam konteks buruh migran, pemberdayaan diarahkan untuk mengurai persoalan-persoalan mendasar yang dihadapinya. Dari identifikasi persoalan tersebut, buruh migran diarahkan untuk mengenali dan mengoptimalkan potensinya agar bisa secara produktif mengurai persoalan-persoalan secara mandiri. Dari sisi persoalan-persoalan dasar buruh migran, 3 (tiga) area utamanya adalah pra keberangkatan (persiapan), penempatan, dan kepulangan. Dari 3 fase tersebut, buruh migran relatif tidak mandiri dalam arti memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pihak-pihak lain.

Selama ini, ketergantungan tersebut mengarah pada situasi ketidakberdayaan di mana buruh migran mengalami kteerbatasan mengatasi masalah-masalahnya. Situasi menjadi lebih memprihatinkan karena pihak-pihak lain tersebut justeru mengambil keuntungan-keuntungan tertentu. Situasi ketidakberdayaan menjadi peluang tersendiri bagi kelompok lain. Karena menguntungkan, kelompok lain relatif menjadikan situasi ini sebagai status quo.

B. Signifikansi Agama

Durkheim berpendapat agama merupakan perwujudan dari collective

consciousness (kesadaran kolektif) sekalipun selalu ada

perwujudaan-perwujudan lainnya. Tuhan dianggap sebagai simbol dari masyarakat itu sendiri yang sebagai collective consciouness kemudian menjelma ke dalam collective representation. Tuhan itu hanyalah idealisme dari masyarakat itu sendiri yang menganggapnya sebagai makhluk yang paling sempurna. Tuhan adalah personifikasi masyarakat dan melebihi apa yang dimiliki oleh manusia. Dalam hal ini Durkheim mengemukakan dua hal pokok dalam agama yaitu kepercayaan dan ritus/ upacara-upacara. Keyakinan adalah pikiran dan ritus adalah tindakan.8

Agama merupakan lambang collective representation dalam bentuknya yang ideal. Agama adalah sarana untuk memperkuat kesadaran kolektif seperti ritus-ritus agama. Orang yang terlibat dalam upacara keagamaan maka kesadaran mereka tentang collective consciouness semakin bertambah kuat. Sesudah upacara keagamaan suasana keagamaaan dibawa dalam kehidupan

8 Hotman Siahaan, Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi, (Jakarta: Penerbit

(8)

- 8 -

sehari-hari, kemudian lambat laun collective consciousness tersebut semakin lemah kembali. Jadi ritual-ritual keagamaan merupakan sarana yang dianggap berperan dalam menciptakan kesadaran kolektif di antara masyarakat, atau dengan kata lain ritual agama merupakan charge bagi manusia untuk mendekatkan diri kembali kepada Tuhannya.

Sebagai collective representation, agama hadir sebagai hal yang sentral dalam kehidupan masyarakat. Orientasi dasarnya adalah membangun colektivitas dalam bentuk solidaritas dan keteraturan sosial (social order). Melalui solidaritas inilah manusia bisa mengembangkan dirinya secara manusiawi dan memberikan manfaat dan fungsinya bagi yang lain.

Secara dikotomis, Durkheim membagi tipe solidaritas dalam 2 (dua) bentuk, yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik.9 Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu kesadaran kolektif (collective consciousness) yang menunjuk pada totalitas kepercayaan dan sentimen bersama yang umumnya ada pada masyarakat homogen. Solidaritas model ini tergantung pada individu-individu yang memiliki sifat-sifat yang sama dan menganut kepercayaan dan pola normatif yang sama pula. Individualitas tidak berkembang karena terus-menerus dilumpuhkann oleh tekanan untuk mencapai konformitas. Namun demikian, individu-individu tersebut tidak mengalaminya sebagai tekanan karena mereka tidak memiliki kesadaran lain selain kolektivitas.10

Indikator paling umum dari solidaritas mekanik adalah ruang lingkup dan hukum yang bersifat menekan (repressive). Hukum ini mendefinisikan setiap perilaku sebagai sesuatu yang jahat, mengancam atau melanggar kesadaran kolektif yang sudah kuat. Hukuman tidak harus mencerminkan pertimbangan rasional mengenai jumlah kerugian secara obyektif yang menimpa suatu masyarakat. Hal ini karena hukuman merupakan ekspresi dan penyataan kemarahan kolektif atas pelanggaran atau ancaman yang muncul. Ciri lain yang khas dari solidaritas mekanik adalah tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen, dan lainnya. Homogenitas hanya mungkin terjadi pada masyarakat yang pembagian kerjanya minim.

(9)

- 9 -

Ciri khas masyarakat bertipe solidaritas organik adalah keberadaan hukum yang bersifat memulihkan (restitutive). Hukum restitutif bertujuan mempertahankan atau melindungi pola saling ketergantungan yang kompleks antara berbagai individu yang terspesialisasi dalam fungsi-fungsi yang berbeda. Karena itu hukuman yang diberikan kepada individu yang dianggap melanggar bertujuan memulihkan dan mengembalikan individu tersebut pada fungsi spesialisasinya.

Posisi agama pada masyarakat dengan dua model solidaritas ini sangat berbeda. Walaupun secara prinsip agama tetap memiliki posisis sentral, tetapi dari sisi operasionalisasi dan manifestasi agama dalam masyarakat berbeda. Pada masyarakat bertipe solidaritas mekanik, agama dan atura-aturan yang didasarkannya dikuasai atau didominasi oleh seseorang atau sekelompok individu yang memerankan diri sebagai pemimpin. Tafsir dan pemahaman agama yang berlangsung adalah tafsir pemimpin masyarakat. Individu anggota masyarakat tidak memiliki otoritas yang legal uantuk memahami dan menafsirkan agama.

Sebaliknya pada masyarakat bertipe solidaritas organik, partisipasi individu dalam masyarakat tinggi yang secara fungsional berkontribusi pada kontruksi pemahaman agama. Masing-masing individu yang memiliki spesialisasi memberikan kontribusinya terhadap konstruk umum secara fungsional yang diferentiatif.

Melalui perspektif teoretis di atas, agama penting pada saat manusia menghadapi persoalan-persoalan yag tidak bisa diurai oleh pengetahuan dan sistem teknologinya. Semakin masyarakat berkembang ke arah situasi modern maka semakin kompleks pula kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Teknologi dan pengetahuan pada masyarakat modern sangat strategis, namun pada saat yang sama keduaya berpotensi mencapai pada titik nadir. Pada saat itulah manusia kembali pada suatu nilai transenden yang hanya dimiliki oleh agama.

Berbeda dengan Durkheim, Karl Marx melakukan kritik terhadap eksistensi agama sebagai sumber alienasi. Namun demikian Marx tidak lantas memposisikan agama sebagai hal yang tidak penting. Kritik agama oleh Karl Marx dijadikan titik masuk (entry point) bagi kritik masyarakat secara menyeluruh. Pemanfaatan agama sebagai titik masuk ini mengindikasikan bahwa Karl Marx menempatkan agama sebagai entitas penting bagi proses sosial yang berlangsung di masyarakat.12

Melalui kritik agama inilah Karl Marx megembangkan analisis kritisnya terhadap masyarakat atas belenggu-belenggu yang membuatnya tidak produktif. Salah satu yang menjadi sebab tidak produktifnya masyarakat adalah tingkat pemahaman masyarakat yang cenderung menempatkan agama secara ideologis. Pada saat agama telah menjelma menjadi ideologi maka agama menjadi anti kritik. Pada posisi inilah agama berubah orientasinya dari instrumen transformatif menjadi status quo.

Revitalisasi merupakan kunci agar agama terurai dari belenggu-belenggu ideologis. Salah satu caranya adalah menarik agama menjadi lebih

12 Malcolm Hamilton, Sociology of Religion,Teoretical dan Comparative Perspectives,

(10)

- 10 -

operasional melalui tindakan nyata atau praxis kehidupan.13 Agar bisa mentransformasikan diri sebagai instrumen praxis kehidupan, agama harus

di-breakdown menjadi formula-formula praktis dalam kehidupan nyata yang oleh

Karl Marx dideterminasi oleh persolan material. Agama bermetamorfosisis menjadi instrumen bagi masyarakat menguasai dan memiliki instrumen material sebagai basis kegiatan ekonomis.

Dalam sejarahnya, secara sosiologis agama muncul untuk menjawab persoala-persoalan yang tidak bisa diselesaikan oleh pengetahuan dan sistem teknologi yang dimiliki manusia. Sebagai makhluk yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, manusia terus mencari jawaban atas persoalan-persoalan tersebut hingga ditemukan apa yang disebut dengan transendensi.14 Transendensi merupakan salah satu pendekatan teologi kontekstual yang melihat bahwa realitas bukan sebagai yang "ada di luar" dan lepas dari pengenalan manusia melainkan berada pada dinamika kesadaran diri. Model transendental bukan berpusat pada pewartaan kitab suci atau tradisi tetapi bertolak pada pengalaman religius dan pengalaman yang menyangkut diri sendiri.

Spirit transendensi inilah yang kemudian dijadikan titik kritik Karl Marx atas kondisi masyarakat. Agama sesungguhnya memiliki semangat progresif untuk merubah dunia, namun karena manusia terjebak pada transendensi dalam arti melampaui rasionalitas (beyond rationality) perilaku-perilaku yang muncul bertolak belakang dengan kondisi sesungguhnya yang bersifat material. Sebaliknya Karl Mark menarik spirit transendensi untuk merubah situasi material masyarakat yang penuh dengan penindasan, eksploitasi, dan ketimpangan.

Setiap agama memiliki pola transendensi yang secara moral dan ideologi mengikat para pemeluknya. Loyalitas pemeluk tidak bersandar pada otoritas pemimpin atau elite agama lainnya melainkan pada sumber moral yang dimiliki agama tertentu yang diyakini menjadi penjamin atau solusi atas persoalan-persoalan yang dihadapi. Melalui nilai transendensi ini, pemeluk agama dapat berkomunikasi langsung dengan Tuhan yang transenden dalam arti tak terbatas.

Dalam konteks Islam, transendensi diterjemahkan menjadi hak-hak Tuhan yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun. Kekuatan transendental yang dimiliki Tuhan dapat merubah apapun terutama yang dianggap tidak masuk akal dari sisi pengetahuan dan sistem teknologi manusia. Kekuatan transendensi Tuhan dalam Islam terformula dalam 99 sifat baik Tuhan (asma

al-husna) yang mencakup seluruh kebutuhan dan kemungkinan-kemungkinan

yang terjadi dalam kehidupan manusia di dunia. Melalui asma al-husna ini,

13 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, alih bahasa MZ. Lawang,

(Jakarta: Gramedia, 1988), hlm. 139-141.

14 Kata Transendental mengacu pada metode transendental yang diungkapkan oleh

(11)

- 11 -

pemeluk Islam menyandarkan diri atas persoalan-persoalan yang dihadapinya baik yang bersifat material maupun non material.

(12)

- 12 - BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan studi lapangan yang bersifat kualitatif deskriptif, yaitu penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai (diperoleh) dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau cara-cara lain dari kuantifikasi (pengukuran). Penelitian kualitatif deskriptif ini secara umum digunakan untuk penelitian tentang kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsionalisasi organisasi, aktivitas sosial, dan lain-lain.

Penelitian berlokasi di 3 (tiga) kecamatan di Kabupaten Cilacap, yaitu Adipala Binangun, dan Nusawungu. Lokasi ini dipilih karena memiliki populasi buruh migran yang relatif tinggi di banding dengan kecamatan-kecamatan lain di Kabupaten Cilacap. Selain itu, jarak yang berdekatan memberi nuansa tersendiri bagi komunitas buruh migran di mana interaksi antarkomunitas terutama keluarga di daerah asal berlangsung intens. Interaksi ini memberi dinamika berbeda terutama dari sisi progres material sebagai indikator utama kesuksesan seorang uruh migran. Dinamika seperti ini tidak terjadi di kecamatan lain terutama karena intensitas komunikasi tidak berlangsung intensif sebagaimana terjadi di tiga kecamatan lokasi penelitian. Penelitian dilaksanakan bulan April – Juli 2012.

Subjek penelitian ini adalah komunitas buruh migran perempuan di kecamatan Adipala, Binangun, dan Nusawungu Kabupaten Cilacap. Komunitas ini secara organisasi berbentuk forum yang memiliki keanggotaan eksklusif, yaitu keluarga buruh migran. Objek atau masalah yang akan diteliti adalah pola relasi agama dan masyarakat serta teknik-teknik pemberdayaan komunitas buruh migran yang mendasarkan pada nilai dan ajaran-ajaran agama.

1. Metode Pengumpulan Data

a. Observasi partisipatif; merujuk pada proses studi yang mensyaratkan interaksi sosial antara peneliti dengan subjek penelitian dalam lingkungan subjek penelitiannya sendiri.15 Tekhnik ini dilakukan untuk memperoleh data secara sistematis. Data yang diharapkan terkumpul melalui teknik ini adalah pola-pola umum terkait dengan relasi agama dan aktivitas komunitas buruh perempuan, aktivitas pemberdayaan, dan pola interaksi antaranggota komunitas buruh migran perempuan.

b. Deep Interview; merupakan teknik pengumpulan data melalui interaksi

langsung antara peneliti dengan subjek penelitian dalam rangka memahami pandangan subjek mngenai hidupnya, pengalamannya, atau situasi sosial yang diungkapkan dalam bahasanya sendiri.16 Suasana

dalam deep interview cendeung informal, akrab, dan seimbang. Situasi informal ini memungkinkan subjek penelitian dapat mengekspresikan informasi-informasi terkait secara terbuka dan sadar. Data yang ingin

15 Lexy J Moleong, Metode Penelitia Kualitatif, (Bandung: Rosdakarya, 1989), hlm. 14. 16 SJ Taylor dan R Bogdan, Introduction to Qualitative Research Methods, The Search

(13)

- 13 -

diperoleh melalui teknik deep interview adalah persepsi subjek atas agama yang dianutnya. Perspesi ini mencakup pandangan-pandangan transendental (eskatologis), keterkaitan antara agama dan kehidupan sosial, dan ikatan-ikatan spiritual antara subjek dengan agama. Data persepsional bersifat kualitatif sehingga konklusi atas data berupa narasi-narasi.

c. Dokumentasi; teknik pengumpulan data yang mendasarkan pada ketersediaan dokumen atau arsip terkait dengan fokus penelitian. Dalam konteks penelitian ini, data yang ingin diperoleh melalui metode dokumentasi adalah kebijakan publik tentang buruh migran baik pada level daerah maupun pusat, arsip dari kliping media massa, dan dokumen kependudukan berbasis pekerjaan di level desa dan kabupaten.

d. Focus Group Discussion; merupakan teknik multistakeholders terkait

dengan fokus penelitian. Melalui FGD ini, klarifikasi, penjelasan, hingga penarikan kesimpulan dilakukan secara bersama oleh peserta sehingga akurasi data terjamin dan dapat meminimalisasi kesalahpahaman penafsiran. Beberapa data yang ingin diperoleh melalui FGD adalah pemanfaatan nilai-nilai agama sebagai basis gerakan pemberdayaan, hubungan antara pemerintah dan komunitas buruh migran, dan posisi agama dalam komunitas.

2. Pendekatan

Pendekatan merupakan cara memperlakukan sesuatu (a way of

dealing with something). Pendekatan menempatkan obyek sebagai sesuatu

yang bersifat aktif. Pendekatan membutuhkan sejumlah ilmu bantu untuk memahami obyek secara mnyeluruh. Dalam fokus masalah peran agama dalam pemberdayaan buruh migran, pendekatan yang akan digunakan adalah sosiologi kritis. Sosiologi memandang segala sesuatu sebagai fenomena atau gejala sosial yang memiliki 2 (dua) indikasi utama yaitu observable dan measurement. Pendekatan kritis berasumsi bahwa persoalan yang muncul karena pola relasi kuasa yang tidak seimbang. Pemberdayaan dalam perspektif kritis hanya bisa dilakukan dengan mengurai pola relasi tersebut dan diarahkan pada perubahan-perubahan pola relasi baru yang lebih seimbang.

Pendekatan sosiologi kritis pada penelitian ini diaplikasikan dengan menempatkan agama dan persoalan buruh migran sebagai gejala sosial yang bisa dipahami berdasar kecenderungan yang ada. Dari kecenderungan tersebut kemudian bisa disimpulkan pola relasi yang berlangsung. Pola relasi ini yang kemudian dianalisis secara kritis untuk menemukan pola relasi baru yang lebih seimbang. Pendekatan kritis mengadaptasi teori strukturalisme konflik.

3. Analisis Data

(14)

- 14 -

reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.17 Reduksi data dipahami sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan lapangan. proses ini berlangsung terus-menerus selama penelitian berlangsung bahkan sebelum data terkumpul sebagaimana yang terdesain dalam kerangka konseptual penelitian, permasalahan penelitian, dan pendekatan pengumpulan data yang dipilih peneliti.

Proses reduksi yang akan dilakukan dalam proses analisis data penelitian ini meliputi meringkas data, menelusur tema dan membuat gugus-gugus analisis. Reduksi data dimaksudkan untuk menajamkan, mengklasifikasi, mengarahkan dan membuang data yang tidak relevan, serta mengorganisasikan data sehingga bisa ditarik kesimpulan yang memadai. Cara reduksi data dilakukan dengan seleksi ketat atas data, ringkasan atau uraian singkat, dan mengklasifikasi dalam pola yang berdasar rumusan masalah yang ditetapkan, yaitu fungsi agama dan kontribusinya bagi proses pemberdayaan masyarakat.

Penyajian data merupakan kegiatan penyusunan informasi sehingga memberi kemungkinan bagi penarikan kesimpulan. Dalam penelitian ini, penyajian data dilakukan dalam dua bentuk, yaitu teks naratif dan tabel. Teks naratif merupakan catatan-catatan lapangan, sedang tabel merupakan klasifikasi data sesuai dengan gugs analisis yang dilakukan. Melalui teks naratif dan tabel ini dapat diketahui apakah kesimpulan sudah bisa dilakukan atau sebaliknya melakukan analisis kembali. Prosesnya dilakukan dengan cara menampilkan data, membuat hubungan 2 (dua) fenomena, yaitu pemahaman agama dan aktivitas pemberdayaan. Proses ini dimaksudkan untuk memaknai apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang perlu ditindaklanjuti untuk mencapi tujuan penelitian.

Penarikan kesimpulan sesungguhnya sudah dilakukan selama proses penelitian di lapangan. Kesimpulan diverifikasi dengan cara memikir ulang selama penulisan dan tinjauan ulang catatan lapangan. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah bila ditemukan bukti-bukti buat yang mendukung tahap pengumpulan data berikutnya. Peneliti akan menyampaikan kesimpulan yang paling kredibel, yaitu kesimpulan yang didukung oleh bukti-bukti kuat dalam arti konsisten dengan kondisi yang ditemukan saat peneliti kembali ke lapangan untuk tahap ke-2 dan seterusnya.

Langkah verifikasi yang dilakukan peneliti bersifat terbuka untuk menerima masukan data, walaupun data tersebut adalah data yang tergolong tidak bermakna. Namun demikian peneliti pada tahap ini sudah memutuskan antara data yang mempunyai makna dengan data yang tidak diperlukan atau tidak bermakna. Data yang dapat diproses dalam analisis lebih lanjut adalah data dalam kategori absah, berbobot, dan kuat. Sedang

17 MB Miler dan AM Huberman, Qualitative Data Analysis; A Sourcebook of New

(15)

- 15 -

data lain yang tidak menunjang, lemah, dan menyimpang jauh dari kebiasaan dipisahkan.

Verifikasi data dilakukan dengan cara: mengecek representativeness atau keterwakilan data, mengecek data dari pengaruh peneliti, mengecek melalui triangulasi, melakukan pembobotan bukti dari sumber data-data yang dapat dipercaya, dan membuat perbandingan atau mengkontraskan data.

(16)

- 16 - BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Buruh Migran Cilacap

Kabupaten Cilacap merupakan daerah terluas di Propinsi Jawa Tengah. Dengan luas 234.522 Ha, kab Cilacap terbagai dalam 24 kecamatan, 269 desa dan 15 kelurahan.18 Pada tahun 2010 jumlah penduduk Cilacap adalah 2.094.095 (1.040.684 berjenis kelamin perempuan). Kabupaten Cilacap mer19upaan salah satu daerah industri yang sedang berkembang. Dari sisi kesejahteraan masyarakat, progresnya dari tahunn ke tahun mengalami peningkatan. Indikator untuk mengukur kesejahteraan adalah Indek Pembangunan Manusia (IPM).20 Pencapaian IPM Kabupaten Cilacap tahun 2008 sebesar 70,81, tahun 2009 mengalami peningkatan menjaadi 71,39, dan tahun 2010 sebesar 71,73 dengan rincian pencapaian Angka Harapan Hidup (AHH) sebesar 70,51 tahun, rata-rata lama sekolah sebesar 6,72 tahun, angka melek huruf penduduk dewasa sebesar 90,28 % dan paitas daya beli sebesar Rp. 634.500,/orang/bulan.21

Tahun 2009, jumlah kepala keluarga miskin (KKM) sebanyak 150.707 atau 32,31% dari total penduduk, menurun dari tahun 2008 yang berjumlah 156.936 atau 35,56%. Artinya selama satu tahun berkurang sebanyak 6,229 KKM atau sebesar 3,97%.22

Dari sisi ketenagakerjaan, berdasar RKPD Kabupaten Cilacap tahun 2013, jumlah tenaga kerja Kabupaten Cilacap tahun 2010 sebanyak 47.445 orang, terdiri dari 41.144 laki-laki dan 6.301 perempuan. Jumlah tenaga kerja tersebut apabila dikategorisasi berdasar pendidikan adalah SD sebnyak 911 orang, SMP sebanyak 7.030 orang, SMA sebanyak 9.490 orang, D1/D2 sebanyak 334 orang, D3 sebanyak 1.314 orang, dan sarjana sebanyak 2.513 orang.

Kabupaten Cilacap merupakan daerah pemasok buruh migrant terbesar di jawa Tengah. Menurut data di Dinsosnakertrans Cilacap tahun 2011 terdapat lebih dari 7.000 buruh migrant yang masih aktif bekerja di luar

18 BPS tahun 2005 19

20 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) / Human Development Index (HDI) adalah

pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup. IPM mengukur pencapaian rata-rata sebuah negara dalam 3 dimensi dasar pembangunan manusia: (1) hidup yang sehat dan panjang umur yang diukur dengan harapan hidup saat kelahiran, (2) Pengetahuan yang diukur dengan angka tingkat baca tulis pada orang dewasa (bobotnya dua per tiga) dan kombinasi pendidikan dasar , menengah , atas gross enrollment ratio (bobot satu per tiga), (3) standard kehidupan yang layak diukur dengan logaritma natural dari produk domestik bruto per kapita dalam paritasi daya beli. Setiap tahun Daftar negara menurut IPM diumumkan berdasarkan penilaian diatas. Pengukuran alternatif lain adalah Indeks Kemiskinan Manusia yang lebih berfokus kepada kemiskinan.

(17)

- 17 -

negeri. Jumlah tersebut adalah jumlah buruh migrant yang berangkat melalui prosedur legal. Di Kabupaten Cilacap, buruh migran yang berangkat dari jalur tidak legal terindikasi cukup banyak. Indikasi lain Kabupaten Cilacap sebagai pemasok buruh migran adalah keberadaan lembaga/organisasi yang bergerak di bidang jasa penempatan tenaga kerja ke luar negeri. Tahun 2010 tercatat secara resmi oleh Dinsosnakertrans sebanyak 71 perusahaan.

Tren remitensi atau kiriman uang dari luar negeri ke Cilacap terus meningkat setiap tahunnya. Bahkan di tahun 2010 peningkatan tersebut mencapai 54% dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2007 remitensi buruh migran Cilacap masih ada di bawah 300 M, pada tahun 2008 sebesar 324 M dan pada tahun 2009 sebesar 372 M dan di tahun 2010 sebesar 577 M. peningkatan remitensi rata-rata tiap tahun sebesar 34,97%.23

Secara rinci, penempatan angkatan kerja antarnegara (luar negeri) Kabupaten Cilacap dari tahun 2006 – 2010 adalah sebagai berikut:

No Tahun Angkatan Kerja Luar Negeri

Laki-Laki Perempuan

Posisi buruh migran terhadap stakeholders lain dalam penyelenggaraan kerja luar negeri relatif tersubordinasi. Artinya bahwa buruh migran secara politik berada pada posisi yag lemah dan kurang memiliki daya tawar yang proporsional dengan unsur dan lembaga terkait. Kondisi ini menyebabkan buruh migran asal Cilacap seringkali menjadi kelompok yang dirugikan baik secara material maupun kerugian lainnya.

Secara umum, mayoritas persoalan buruh migran berada di dalam negeri mulai dari sumber informasi yang kurang valid, tidak transparansinya biaya penempatan, pendidikan untuk buruh migran yang tidak memadai, serta merebaknyanya calo-calo perekrut para pekerja migran yang semakin tidak terkontrol.

Berkaitan dengan masalah pertama, sumber informasi yang diperoleh oleh buruh migran, hasil penelitian Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) tahun 2009 menunjukkan bahwa penyebab sebagian besar buruh migran bermasalah salah satunya adalah karena sumber informasi yang dijadikan acuan tidak memadai. Informasi yang didapatkan para buruh migran untuk bisa bekerja di luar negeri umumnya berasal dari calo, yaitu sekitar 53%. Selanjutnya, 30 % buruh migran mendapatkan informasi dari teman-teman mereka yang sebelumnya sudah mempunyai pengalaman sebagai pekerja migran dan kemudian pulang ke kampung halaman. Sedangkan buruh migran yang mendapatkan informasi dari pemerintah hanya sekitar 2 %.

(18)

- 18 -

Calo-calo perekrut ketika memberikan informasi pada buruh migran, umumnya hanya menyampaikan sisi bagus bekerja di luar negeri saja bahkan cenderung dilebih-lebihkan, tapi aspek resiko yang mungkin terjadi tidak diinformasikan. Dari data yang ada menunjukkan bahwa peran pemerintah dalam penyampaian informasi kepada pekerja migran masih sangatlah kurang. Padahal informasi mengenai gambaran bekerja di luar negeri sangatlah penting dimana iklim, budaya, dan aturan yang berlaku berbeda jauh dari Indonesia dan sangat asing bagi para buruh migran. Terlebih kebanyakan buruh migran berasal dari daerah pinggiran yang mungkin masih belum terbiasa dengan kehidupan kota.

Undang-undang No 39 tahun 2004 mengatur dengan jelas bahwa pemerintah dan PJTKI ketika akan melakukan perekrutan, wajib memberikan informasi melalui dinas-dinas. Pemerintah daerah wajib memberikan informasi kepada calon-calon TKI secara langsung. Namun karena pemerintah daerah kurang optimal dalam menyampaikan informasi, peran tersebut kemudian diambil-alih oleh para calo. Dalam penyampaiannya, para calo lebih berorientasi agar calon buruh migran yakin bahwa informasinya adalah benar. Dengan demikian, calon buruh migran tersebut memastikan berangkat ke luar negeri. Dari sinilah keuntungan diperoleh oleh calo berupa fee atau uang komisi lainnya. Pemerintah daerah tidak bisa berbuat banyak untuk memberantas calo-calo, dikarenakan Undang-undang No 39 Tahun 2004 bersifat sentralistik, sehingga kewenangan ada di pemerintah pusat yang membatasi kewenangan pemerintah daerah.

Kedua, persoalan yang dihadapi buruh migran adalah transparansinya

cost structure (biaya penempatan). Cost Structure ini diatur oleh Dirjen Bina

Penta, isinya mengenai pengaturan biaya yang harus dikeluarkan TKI untuk bisa bekerja di luar negeri. Padahal, jika dikaji lagi, biaya yang harus dikeluarkan oleh para calon buruh migran tentunya berbeda-beda, antara satu negara tujuan dengan neagra tujuan yang lainnya. Akan tetapi peraturan yang ada memberlakukan nilai cost structure yang sama antara negara satu dengan lainnya.24

Ketiga, penegakan hukum di dalam negeri masih lemah. Pemerintah

daerah tidak serius memberantas calo. Meskipun kebijakan mengenai TKI bersifat sentralistik, seharusnya tidak menutup kemungkinan bagi pemerintah daerah untuk mengeluarkan Perda yang mengatur bagaimana tata cara penempatan buruh migran di daerah asalnya. Pada Undang-undang no 39 tahun 2004, tergambar bahwa peran PJTKI lebih besar daripada peran

24 Pemerintahan SBY mengeluarkan kebijakan KUR (Kredit Usaha Rakyat) untuk

menyokong biaya penempatan. Akan tetapi kebijakan ini justru dimanfaatkan oleh calo-calo ataupun PJTKI. Contoh seorang TKI mendapatkan fasilitas peminjaman di bank senilai Rp 16 juta untuk biaya keberangkatan, oleh perusahaan PJTKI diberlakukan aturan bahwa setelah sesampainya di negara tujuan dan bekerja disana, maka akan dipotong gaji 7 bulan. Padahal gaji satu bulan dengan penempatan Hongkong misalnya, sebesar 3,5-4 juta. Hal ini menyebabkan buruh migran harus mengembalikan cost structure yang begitu banyak, hampir 21 juta, melebihi

(19)

- 19 -

pemerintah khususnya dalam penempatan buruh migran tersebut. Hanya 8 pasal yang mengatur tentang perlindungan, sisanya berkaitan dengan penempatan. Berbicara tentang penempatan orientasinya adalah bisnis. Dalam konteks ini, peran pemerintah itu lebih rendah dibanding PPTKIS. Padahal seharusnya peran pemerintah itu yang utama, PPTKIS hanya sebagai mitra. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya, PPTKIS tetap mendominasi dalam hal penempatan dan pendidikan buruh migran.

Keempat adalah terkait dengan pendidikan dan pelatihan para buruh

migran. Selama ini pelatihan dan pendidikan buruh migran sepenuhnya diserahkan kepada swasta yang elum ada instrumen dan mekanisme kontrol yang jelas.25 Pemerintah menetapkan masa pendidikan selama 200 jam, akan tetapi fakta yang terjadi di lapangan sangat berbeda. Hal ini dikarenakan sertifikasi bisa dipalsukan. Banyak diantara calon buruh migran sebenarnya tidak lulus, tapi justru diluluskan. Akhirnya sesampainya di Negara tujuan, kemudian buruh-buruh tersebut bermasalah. Lepasnya tanggung jawab pemerintah dalam hal pendidikan yang kemudian diserahkan kepada pihak swasta banyak merugikan para buruh migran. Pendidikan yang didapatkan oleh para buruh migran terkesan asal-asalan, sehingga bekal pengetahuan yang mereka bawa ke negara tujuan menjadi tidak cukup dan cenderung merugikan diri mereka sendiri. Sementara itu setiap pemerintah daerah memiliki Balai Latihan Kerja (BLK) yang saat ini tidak terpakai. Pemerintah daerah bisa merevitalisasi BLK tersebut sehingga bisa dioptimalkan untuk pendidikan buruh migran. Jadi pendidikan tidak perlu harus ke daerah lain ataupun kota-kota besar yang notabene jauh dari tempat tinggal. Selama ini banyak buruh migran yang mengalami kekerasan karena masalah pendidikan.

Selain itu, nasib buruh migran juga tergantung kebijakan di Negara-negara penempatan. Misalnya di Hongkong, kebijakan disana cukup bagus. Hampir 70% TKI di Hongkong bekerja pada sektor domestic worker. Buruh migran yang bekerja di sektor rumah tangga di Hongkong masuk dalam kategori perlindungan undang-undang ketenagakerjaan Hongkong. Perlindungan hukum terhadap para pekerja pun berjalan cukup bagus. Pemerintah Hongkong menganggap bahwa buruh migran juga termasuk kelompok yang harus dilindungi dalam undang-undang tersebut. Penegakan hukumnya pun jelas. Bahkan jika terjadi kekerasan, dan kemudian terjadi pelaporan pada polisi ataupun departemen-departemen yang melindungi tenaga kerja, para majikan yang melakukan kekerasan tersebut menajdi takut. Para buruh migran meskipun hanya sebagai pekerja rumah tangga, tapi juga memiliki hak sebagai pekerja yang harus dilindugi hak-haknya.

Kelima, persoalan yang dihadapi buruh migran saat pulang ke

Indonesia. Para buruh migran yang pulang harus melalui terminal 4 Bandara Soekarno Hatta. Terminal 4 ini dikhususkan sebagai jalur pemulangan buruh

25 Sebagai contoh adalah Sumiyati dan Kikim Komala yang mengalami penganiayaan oleh

(20)

- 20 -

migran yang kembali ke tanah air. Turun di terminal 2, mereka harus menghadapi porter. Bagi TKI awam, mereka akan menghadapi pemerasan oleh para porter, termasuk para penjaja jasa penukaran uang asing yang berbaris begitu banyak dengan mengambil keuntungan yang sangat besar. Selain itu, terkadang pelecehan juga dilakukan oleh para oknum travel yang membawa mereka pulang sampai ke kampung halaman. Belum lagi uang pungutan di luar biaya resmi yang harus mereka bayarkan pada pihak travel tersebut.

Selain lima masalah dasar buruh migran secara nasional di atas, buruh migran asal Kabupaten Cilacap memiliki masalah tambahan yang khas, yaitu kompetisi individu dan keluarga antarburuh migran di tingkat lokal (desa). Kompetisi terutama dalam hal kepemilikkan material (kekayaan) antarkeluarga buruh migran melalui ekspose harta benda bai bergerak maupun tetap. Seorang keluarga buruh migran akan dianggap sukses bermigrasi apabila memiliki kekayaan material yang secara umum diakui sebagai indikatornya, yaitu rumah, sawah, dan kendaraan pribadi.

Kondisi ini terjadi karena Kabupaten Cilacap merupakan daerah industri yang interaksi sosialnya cenderng mengarah kepada hal-hal pragmatis. Ukuran-ukuran sosialnya berkembang ke arah materialisme sebagai karakteristik utama masyarakat industri. Perubahan ini tidak lepas dari tingginya mobilitas manusia dari dan keluar daerah sebagai konsekuensi daerah industri. Masyarakat lokal kemudian secara tidak langsung mengikuti

trend sosial yang muncul dalam proses mobilitas manusia yang umumnya

derasal dari luar daerah dengan tradisi bawaannya yang merepresentasikan budaya metropolitan.

Persoalan persaingan lokal ini menjadikan komunitas buruh migran di Cilacap tidak mngorganisasikan dirinya dalam sebuah lembaga formal yang secara khusus mengakomodasi kepentingan-kepentingan komunitas. Implikasinya adalah komunitas buruh migran baik secara sosial maupun politik terposisikan sebagai komunitas yang terabaikan. Secara politik anggaran, komunitas buruh migran dianggap buka sebagai kelompok yang mendesak untuk dialokasikan pembiayaannya. Secara sosial, komunitas buruh

migran dianggap sebagai komunitas “tiruan” yang secara frontal

mentransformasikan dirinya dengan budaya asing dari negara tempat bekerja. Kedua implikasi tersebut tidak menguntungkan bagi komunitas buruh migran dan secara sistematik menghambat komunitas mengurai persoalan-persoalan yang mengitarinya.

B. Penguatan Kapasitas Buruh Migran Perempuan Cilacap

(21)

- 21 -

migran diharapkan mampu memahami, memetakan, dan mengurai persoalan sendiri yang secara sustainable akan berlangsung setiap saat.

Dar beberapa masalah diatas, secara sistematis dapat dipetakan menjadi 3 (tiga) hal mendasar, yaitu tidak adanya pengorganisasian komunitas sebagai akibat tingginya tingkat persaingan individu dan keluarga di tingkat lokal, rendahnya akses pengetahuan dan informasi yang berakibat pada rentannya buruh migran mendapatkan masalah baik di dalam maupun negara tujuan, dan rendahnya manajemen kerja atau pengelolaan hasil usaha buruh migran.

1. Pengorganisasian Komunitas

Persoalan yang menggurita dalam komuitas buruh migran disebabkan yang pertama karena tidak adanya sebuah organisasi atau lembaga yang merepresentasikan komunitas terutama di tingkat lokal. Buruh migran merepresentasikan dirinya secara personal dalam berinteraksi dengan institusi lain yang terkait dengan penyelenggaraan kerja luar negeri. Insttitusi tersebut secara struktural telah terorganisasi dengan baik yang dalam proses kerjanya merepresentasikan lembaga tertentu. Dari sisi ini, buruh migran menempati posisi yang kurang strategis terutama dalam hal membangun daya tawar terhadap institusi di luarnya. Daya tawar persoanl terhadap institusi yang terorganisasi cenderung subordiat.

Persoalan yang muncul dalam interaksi penyelenggaraan kerja luar negeri adalah lemahnya daya tawar buruh migran terhadap institusi di luarnya. Hal ini terjadi karena buruh migran belum terorganisasi secara struktural yang secara formal merepresentasikan komunitas. Atas kondisi ini, pemberdayaan buruh migran pada tahap pertama adalah pengorganisasian komunitas dalam satu wadah yang secara formal mengakomodasi kepentingan dan merepresentasikan tindakan-tindakannya.

Di kabupaten Cilacap, penguatan kapasitas buruh migran 3 (tiga) kecamatan dilakukan dengan mengkonsolidasikan komunitas dalam

bentuk “Forum Warga” yang secara eksklusif beranggotakan buruh migran

dan keluarganya. Pengorganisasian Forum Warga bersifat semi formal. Artinya secara struktural, Forum Warga buruh migran tersusun formal berdasar fungsi dan kebutuhan-kebutuhan komunitas. Namun demikian, tradisi kerja yang dikembangkan bersifat fleksibel yang tidak mendasarkan sepenuhnya pada struktur organisasi yang ada. Hal ini dilakukan untuk membangun partisipasi anggota dalam agenda-agenda komunitas.

Selain itu, bentuk Forum Warga dipilih untuk membangun integrasi dengan Forum Warga lain di Kabupaten Cilacap yang muncul dalam komunitas-komunitas berbasis sektor dan wilayah.26 Dengan

26 Wawancara dengan Akhmad Fadli, koordinator program pemberdayaan keluarga buruh

(22)

- 22 -

berintegrasi kepada Forum Warga lain, komunitas buruh migran menambah proses mainstreaming gerakan pro poor dalam advokasi kebijakan publik daerah.

Pengorganisasian Forum Warga buruh migran di 3 (tiga) kecamatan berlangsung di 30 desa, masing-masing kecamatan 10 desa. Masing-masing Forum Warga terdiri minimal 10 anggota yang secara intensif membangun komunikasi dengan keluarga buruh migran lain.

Fokus Forum Warga komunitas buruh migran ini adalah pertama membangun komunikasi antarkeluarga buruh migran di tingkat lokal (desa). Melalui proses komunikasi yang intensif ini Forum Warga kemudian menginisiasi agenda bersama dalam rangka membangun kapasitas komunitas dengan kelompok-kelompok lain terutama pada prpses-proses awal bermigrasi ke luar negeri.

Kedua, mengidentifikasi persoalan-persoalan lokal (desa) yang

dihadapi buruh migran. Melalui identifikasi ini, komunitas buruh migran diarahkan untuk melalukan analisis dan pemetaan masalah yang muncul. Melalui proses ini komunitas buruh migran mampu secara partisipatif memunculkan alternatif-alternatif yang bisa dipilih dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi.

Ketiga, merepresentasikan dan mengawal anggota komunitas buruh

migran berinteraksi dengan institusi-institusi terkait penyelenggaraan kerja luar negeri. Forum Warga memiliki legitimasi merepresentasikan anggota karena secara sosial menerima mandat langsung dari anggota-anggotanya. Bahkan Forum Warga bisa menekan terhadap institusi lain untuk berhenti atau meneruskan proses negosiasi dalam rangka kerja luar negeri.

Keberadaan Forum Warga buruh migran mampu meningkatkan kapasitas komunitas terutama dalam hal bernegosiasi dan membangun kesepakatan dengan PJTKI. Kondisi ini sangat berbeda sebelum Forum Warga dideklarasikan tahun 2011, di mana PJTKI dominan dan menentukan proses negosiasi yang berlangsung.

2. Penguasaan Teknologi Informasi

Masalah mendasar kedua yang dihadapi buruh migran dan keluarganya adalah kepemilikkan informasi tentang kerja luar negeri. Umumnya mereka memperoleh informasi kerja luar negeri dari para calo yang orientasi utamanya adalah merekrut calon buruh migran. Dengan demikian informasi yang disampaikan berpotensi besar bias dan relatif tidak disampaikan secara proporsional yang memungkinkan calon buruh migran melakukan pertimbbangan-pertimbangan secara rasional.

Penyampaian informasi dari para calo ini menjadi referensi utama calon buruh migran karena mereka tidak memiliki alternatif lain. Sumber informasi lain seperti media massa, pengumuman dari pemerintah (Dinsosnakertrans), atau media online tidak bisa diakses sewaktu-waktu. Persoalannya adalah calo buruh migran tidak memiliki infrastruktur yang

(23)

- 23 -

mendukung dalam rangka memperoleh informasi dari sumber lain yang lebih berkualitas. Selain itu, penguasaan pengetahuan dan teknik informasi di kalangan buruh migran relatif rendah. Akibatnya akses informasi yang sesungguhnya bisa dilakukan lagsung belum menjadi tradisi sebagai referensi kerja luar negeri. Dalam konteks inilah, informasi yang datang dari para calo sangat sentral dalam penyelenggaraan kerja luar negeri di Cilacap.

Terkait dengan kondisi ini, Lakpesdam NU Cilacap bersama komunitas yang terorganisasi dalam bentuk Forum Warga meningkatkan kapasitas buruh migran melalui teknologi informasi. Melalui teknologi informasi, akses informasi yang sebelumnya tersentral pada para calo tergeser media yang diupayakan partisipatif dan mandiri oleh komunitas. Penguasaan informasi ini berdampak langsung terhadap posisi tawar buruh migran dan keluarganya terhadap pihak-pihak terkait terutama calo dan PJTKI.

Persoalan kemudian adalah bagaimana komunitas buruh migran menguasai teknologi informasi yang relatif masih asing dan tidak populer. Selain itu, tingkat pendidikan yang relatif rendah memungkinkan bahwa pengetahuan tentang teknologi informasi serta bagaimana memfungsikannya sebagai media komunikasi menyeluruh belum dimiliki. Dengan demikian, teknologi informasi selain menjadi alternatif sumber informasi juga memunculkan persoalan baru, yaitu kemampuan teknis mengoperasionalkan alat dan kemampuan mengisi content sebagai bagian dari manajemen informasi.

Dua masalah komunitas itu kemudian diintervensi dengan dua program yaitu pelatihan komputer dan internet serta pelatihan menulis dan membuat pusat informasi. Pelatihan komputer dan internet diarahkan untuk mengenalkan teknologi informasi kepada komunitas buruh migran daerah dari sisi fungsi. Dengan melihat fungsi teknologi informasi, komunitas buruh migran memahami tentang keberadan teknologi yang bisa digunakan untuk membantu pemenuhan kepentingan-kepentingannya dalam rangka penyelenggaraan kerja luar negeri.

Teknologi informasi secara mendasar diarahkan untuk mengurai persoalan mendasar yang dihadapi buruh migran terkait informasi kerja luar negeri. Teknologi informasi dikenalkan dengan berbagai fitur (fasilitas) yang terkait seperti mesin pencari (search machine), web, blog, email, social media, dll. Fasilitas-fasilitas tersebut bisa dimanfaatkan untuk membantu buruh migran mengurai persoalan informasi.

(24)

- 24 -

Pengusaan teknologi informasi bagi komunitas buruh migran dikenalkan pada tahap pertama melalui penyampaian informasi secara utuh tentang fungsi dan perangkat keras. Dari pemahaman ini buruh migran memiliki kesadaran baru tentang keberadaan teknologi informasi yang bisa dimanfaatkan untuk mendukung pencapaian kepentingannya. Selain itu kesan bahwa teknologi informasi hanya terkait dengan pekerjaan tulis elektronik dan memiliki tingkat kesulitan tinggi terklarifikasi secara proporsional. Artinya buruh migran memahami pentingnya komputer bagi komunitasnya yang sebelumnya menganggapnya sebagai teknologi yang eksklusif bagi kelompok tertentu. Melalui pemahaman ini komunitas buruh migran memiliki motivasi yang tinggi untuk belajar teknologi informasi sebagai bagian dari penguatan kapasitas komunitas dalam penyelenggaraan kerja luar negeri.

Beberapa pelatihan pengenalan teknologi informasi yang dilakukan adalah MS Word, Exel, membuat email, blog, social media (Facebook dan Twitter), chatting, video conference, dan information searching. Materi-materi pelatihan ini disesuaikan kebutuhan buruh migran dalam konteks penyelenggaraan kerja luar negeri yaitu akses informasi yang menyeluruh dan valid.

Penguasaan teknologi informasi akan memiliki fungsi yang kurang optimal dalam rangka peningkatan kapasitas komunitas apabila tidak diikuti kemampuan mengisi content. Terkait dengan situasi ini, Lakpesdam NU Cilacap bersama komunitas buruh migran menindaklanjutinya dengan pelatihan menulis di media. Karakteristik menulis di media, terutama media online berbeda dengan menulis pada umumnya. Hal ini karena menulis di media di baca bukan hanya oleh dirinya tetapi juga masyarakat umum lainnya. Oleh karena itu terdapat beberapa teknik dan kode etik yang harus diikuti dan menjadi pedoman penulis sebelum tulisannya terpublikasi di media.

Pelatihan menulis bagi komunitas buruh migran mengambil materi-materi sederhana, yaitu bahasa tulis, mendokumentasi pengalaman, manajemen isu dan informasi, menyebarluaskan gagasan, dan jurnalisme warga (citizen journalism).

3. Pengembangan Ekonomi Produktif

Kecederungan komunitas buruh migran berperilaku konsumtif relatif tinggi. Hal ini dapat terlihat dari prosentase yang tinggi bagi seorang buruh migran kembali bermigrasi keluar negeri setelah migrasi yang pertama. banyak terdapat faktor yang mempengaruhi keputusan bermigrasi untuk kedua dan seterusnya. Salah satu yang dominan adalah hasil-hasil bekerja sebagai buruh migran belum dikelola secara produktif.27

27 Secara umum motivasi seseorag menjadi buruh migran adalah ekonomi. Kemiskinan,

(25)

- 25 -

Konsumtifisme secara khusus menunjuk pada pengertian keinginan seseorang untuk mengkonsumsi suatu barang atau produk secara berlebihan atau tidak didasarkan pada kebutuhan mendasar. Dengan perkataan lain konsumtif diartikan sebagai suatu tindakan menggunakan produk dengan tidak tuntas. Artinya belum habis suatu produk digunakan, seseorang membeli produk yang sama dengan merek yang berbeda, atau membeli barang karena tertarik hadiahnya, atau membeli produk karena banyak orang yang menggunakannya.28

Watak dasar manusia adalah ingin berkuasa. Linier dengan konsumtifisme yang menganggap bahwa membeli dan memiliki suatu produk berarti menguasai dan mengontrol objek tersebut.29 Melalui proses pengontrol atas objek inilah seseorang kemudian mengembangkan potensi kekuasaannya terhadap orang lain yang dari sisi kepemilikkan lebih rendah. Artinya melalui penguasaan terhadap objek tertentu seseorang bermaksud melakukan kontrol atau penguasaan yang sama terhadap orang lain.

Pola inilah yang berlaku pada komunitas buruh migran di Kab. Cilacap. Komunitas memiliki motivasi besar untuk segera keluar dari persoalan-persoalan klasik tentang kemiskinan. Pada saat kesempatan keluar dari kemiskinan muncul, maka perilaku konsumtif menjadi pilihan sebagai lompatan dari status kemiskinan dan keterbelakangan lainnya.

Perilaku yang cenderung emosional dan sporadis ini berakibat pada rendahnya produktivitas komunitas. Komunitas akan kembali pada situasi awal (kemiskinan) yang apabila dilihat dari psikologis justeru memberi beban yang lebih besar. Hal ini karena komunitas buruh migran sempat merasakan kehidupan material dalam perilaku-perilaku konsumtif. Alternatif terakhir atas situasi ini adalah bermigrasi kembali ke luar negeri. Siklus ini terus berputar selama komunitas belum mengembangkan kegiatan-kegiatan produktif atas hasil kerja sebagai buruh migran.

Situasi ini kemudian menjadi basis bagi proses pemberdayaan buruh migran di Cilacap. Transformasi dari perilaku konsumtif ke produktif. Dalam konteks ini, terdapat dua hal utama yaitu manajemen hasil dan perubahan pola pikir (mind set).

bertransformasi pada bentuk baru, tetapi justeru mengalami apa yang disebut keterkejutan budaya. Dalam kondisi ini, perilaku yang muncul umumnya mendasarkan pada imaginasi yang biasa muncul pada poor society seperti kelimpahan material, kebahagiaan hedonistik, dll. Weisband, Edward, (ed), Poverty Amidst Plenty, (London : Westview Press, 1989), hlm. 70-71.

28 Sumartono, Terperangkap dalam Iklan, Meneropong Imbas Iklan Televisi, (Bandung:

Alfabeta, 2002), hlm. 25.

29 Objek dimuati makna-makna yang digunakan untuk mengkomunikasikan atau menandai

(26)

- 26 -

Manajemen hasil diarahkan untuk memanfaatkan hasil-hasil bermigrasi berupa kiriman uang dari luar negeri yang selama ini lebih diperuntukkan memenuhi kebutuhan-kebutuhan konsumsi. Manajemen pengelolaan hasil mengalami beberapa hambatan, yaitu pertama, keluarga buruh migran umumnya tidak memiliki penghasilan lain yang cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Suami yang ditinggal isteri bermigrasi ke luar negeri umumnya menggantikan perannya di sektor domestik. Kegiatan ini praktis menghabiskan menghilangkan kesempatan untuk bekerja di luar rumah yang bisa memberikan penghasilan lain selain dari migrasi isterinya.

Kondisi ini umum terjadi mengingat motivasi umum migrasi keluar negeri yang dilakukan oleh kelompok perempuan adalah persoalan ekonomi. Pada masyarakat yang bertradisi patriarkhi, peran suami sebagai pencari nafkah sangat besar. Isteri akan berpartisipasi pada pemenuhan nafkah material apabila suami dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan. Dengan berpartisipasinya isteri pada pemenuhan nafkah ekonomi, maka suami berganti peran dengan isteri untuk melaksanakan tugas-tugas domestik seperti mengurus rumah dan anak-anak.

Kedua, hambatan yang juga dihadapi komunitas buruh migran di

daerah asal adalah tidak memiliki wahana usaha yang dikelola secara produktif. Kondisi ini terjadi karena komunitas belum terorganisasi dan antaranggota komunitas terjadi persaingan yang terselubung. Kegiatan produktif umumnya berasis pada lahan dengan mengelola sawah atau ladang yang dari sisi manajemen bersifat subsisten.30

Atas situasi ini, pemberdayaan komunitas buruh migran diarahkan untuk mengembangkan model ekonomi produktif. Infrastruktur yang relatif minim, baik dari sisi pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan praktik ekonomi menjadikan proses pemberdayaan ini dilakukan dari hulu. Langkah pertama yang dilakukan adalah proses penyadaran dan transfer pengetahuan untuk mengenal dan memahami pentingnya kegiatan ekonoi produktif yang mandiri. Kegiatan ini dilakukan melalui diskusi-diskusi komunitas di tingkat kampung, inetraksi dengan beberapa

stakeholdres seperti dinas koperasi Pemda Cilacap, lembaga keuangan

mikro dan BMT, dan fasilitasi Corporate Social Responsibility (CSR). Tahap kedua pemberdayaan ekonomi adalah penguatan kapasitas keterampilan berwirausaha. Kegiatan ini lebih pada penguatan karakter dan mental wirausaha yang umumnya komunitas belum memiliki kepercayaan untuk berusaha secara mandiri. Kekhawatiran tidak sukses, bangkrut, atau tidak berkembang merupakan hal yang menjadi alasan

30 Ekonomi subsisten lebih berproyeksi peenuhan kebutuhan konsumsi harian. pengelolaan

(27)

- 27 -

utama komunitas tidak mengambil sikap berwiraswasta. Kegiatan penguatan skill berwirausaha ditekankan pada 3 (tiga) hal utama, yaitu menemukan peluang usaha, manajemen keuangan, dan pengembangan usaha.

Menemukan peluang menjadi hal utama pada saat seseorang akan memulai usaha. Oleh karena itu, kegiatan penguatan keterampila usaha dimulai dengan pencarian peluang yang secara metodologis dilakukan dengan Focus Group Discussion (FGD). Metode FGD diperkenalkan kepada komunitas sebagai cara menemukan sekaligus melakukan

assesment terhadap peluang-peluang yang ditemukan di lingkungan lokal.

Maajemen keuangan ditekankan untuk merubah tradisi kegiatan usaha di masyarakat umum. Biasanya, keuangan pada praktik ekonomi masyarakat tidak dilakukan secara terpisah dengan keuangan keluarga. Akibatnya kegiatan usaha yang dilakukan sulit dievaluasi dari sisi perkembangannya. Manajemen keuangan disampaikan dalam prinsip-prinsip modern seperti pencatatan dalam buku terpisah, total investasi, dan transaksi harian.

Penguatan skill yang ketiga adalah pengembangan usaha. Pemahaman saat ini umumnya bertumpu pada modal. Semakin banyak modal yang diinvestasikan maka usaha dapat dikembangkan dengan cepat. Pemahaman itu yang kemudian diperkaya bahwa modal bukan satu-satunya alat mengembangkan usaha. Faktor lain yang penting adalah jaringan kerja. Dari sinilah kemudian masuk pemberdayaan lain dalam bentuk teknologi informasi, pengorganisasian komunitas buruh migran, dan pusat informasi komunitas.

C. Peran Agama dalam Pemberdayaan Buruh Migran

Dalam kajian sosiologi, agama lahir karena situasi-situasi khas yang dialami manusia. Pada dasarnya semua masyarakat yang dikenal di dunia ini bersifat religius. Sifat religius ini tidak tiba-tiba muncul tetapi menjadi pilihan setelah manusia mengalami peristiwa di mana pengetahuan dan sistem teknologi yang dimiliki tidak mampu menjelaskannya.31 Agama merupakan ekspresi suatu bentuk ketergantungan pada kekuatan di luar diri manusia, yaitu kekuatan yang dapat dikatakan sebagai kekuatan spiritual atau kekuatan moral. Ekspresi ketergatungan kemudian termanifestasikan dalam bentuk peribadatan.

Situasi-situasi khas tersebut adalah ketidakpastian, ketidakberdayaan, dan kelangkaan.32Atas situasi yang khas ini, manusia kehilangan pegangan

31 Betty R. Scharf, Sosiologi Agama, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 33-34.

32 Semua manusia memiliki orientasi kebahagiaan. Namun untuk mencapainya, manusia

(28)

manusia-- 28 manusia--

dan referensi yang selama ini diperankan oleh pengetahuan (rasio) dan teknologi. Manusia kemudian mengambil hipotesis bahwa peristiwa-peristiwa yang tidak terpecahkan oleh pengetahuan dan teknologi bisa diurai dengan kekuatan yang melampaui batas-batas realitas. Kekuatan ini yang kemudian disebut dengan kekuatan transendental.33 Peristiwa-peristiwa keduniawian kemudian ditransendensikan (beyond reality) agar tidak berdampak buruk bagi kehidupan manusia.

Dengan posisi ini, agama menjadi kekuatan sentral bagi manusia terutama pada saat menghadapi persoalan berat yang belum terurai secara manusiawi. Bahkan dalam beberapa masyarakat, agama menjadi orientasi utama baik dalam hal yang bersifat keduniawian maupun keakhiratan (eskatologis).

Dalam sejarahnya, agama pernah menjadi ideologi yang moralnya melegitimasi setiap gerakan sosial dan politik. Hubungan gereja dengan negara merepresentasikan upaya mengideologisasikan agama bagi kehidupan sehari-hari. Pada saat agama menjelma menjadi ideologi, ia menjadi anti kritik dan tidak produktif.

Kondisi ini yang kemudia memunculkan kritik dari beberapa tokoh. Dari kalangan teoretikus klasik, Karl Mark mengkritik agama sebagai candu yang menjadikan masyarakat tidak produktif. Karena beragama, manusia bertindak atas dasar dan perintah kekuatan di luar dirinya. Manusia menjadi tidak berdaya dan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap kekuatan luar tersebut.34 Tokoh posmodern muncul Friedrich Nietzsche yang mengeluarkan

pernyataan provokatif bahwa Tuhan telah mati.35 Pernyataan ini lebih sebagai upaya Nietzsche menyadarkan masyarakatnya yang telah terbelenggu oleh keyakinan-keyakinan ideologis dalam agama.

Keduanya melakukan kritik agama sebagai titik masuk kritik terhadap masyarakat. Agama dijadikan titik masuk karena posisi sentralnya dalam kehidupan manusia. Merubah pandangan masyarakat terhadap agama sama halnya merubah konstruksi dan mind set masyarakat atas kehidupan dunia. Semangat ideologis agama dirubah menjadi spiritualitas untuk kehidupan dunia yang lebih produktif.

Dalam koteks kritik agama inilah konsepsi pemberdayaan masyarakat berbasis agama diformulakan. Agama memiliki nilia-nilai spiritualitas yang tidak mengenal batas. Artinya agama memiliki semangat progresif untuk melakukan perubahan dan perbaikan atas kualitas hidup manusia yang tidak berujung. Konsepsi ini paralel dengan sejarah kemunculan agama yang secara sosiologis hadir membantu manusia saat mengalami keterputusan rasio dan

bangsa modern maupun yang terbelakang. D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, Cet. 20, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 30-31.

33 The assertion of “what must be the case” on the presupposition that we do have

knowledge the world. Thus Kant claimed to have established the concept and principles that organize all our experience and are logically prior to this experience. David Jary and Julia Jary,

Collins Dictionary of Sociology, (Glasgow: harper Collins Publisher, 1991), hlm. 667.

34 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Penerjemah MZ Lawang,

(Jakarta: Gramedia, 1988), hlm. 140-141.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian tentang Pengarun infeksi Mycobacterium tuberculosis terhadap nilai Laju Endap Darah (LED) di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat

Siswa sebagai generasi penerus, seyogyanya memiliki kemampuan untuk terus belajar menjadi diri sendiri dengan tetap meningkatkan percaya diri terhadap kegiatan yang positif

Harun Alrasyid Dama- nik, SpPD, SpGK, menjadi internis Sumatera Utara yang paling sibuk dengan diadakannya Kongres Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (KOPAPDI)

Pada Negeri lain di Nusalaut yaitu Titawai, terdapat pula Wisata Bahari Pantai Sirimata, mata air waiputih, perigi tujuh, maupun gua Kaluyu serta Pusat Pulau yang

(2) faktor yang mempengaruhi para pedagang untuk berdagang adalah besarnya pangsa pasar dan lokasi yang stategis yang menjanjikan banyak keuntungan bagi para

Kawasan padat penduduk Kelurahan Naikoten I, Kecamatan Oebobo, Kota Kupang setiap terjadi hujan dengan intensitas yang cukup tinggi selalu terjadi banjir/genangan air. Hal

Pa& umur 1 BSP tinggi bibit kopi antar perlakuan pupuk organik tid& berbeda satu dengan lainnya, sedangkan pada umur 3 BSP, bibit yang diberi EMAS + % d.p.a

Kesimpulan dari penelitian ini menjelaskan bagaimana cara penggunaan media papan ulat kata dan mendapatkan tanggapanyang positif dari siswa bahwa media ini dapat diterima siswa