UUD 1945
Kegagalan Konstituante untuk menyusun sebuah UUD yang akan menggantikan UUD Sementara yang disahkan 15 Agustus 1950
menimbulkan bahaya bagi keutuhan negara. Untuk itulah pada 5 Juli 1959 Presiden Indonesia saat itu, Sukarno, mengambil langkah mengeluarkan Dekrit Kepala Negara yang salah satu isinya menetapkan berlakunya kembali UUD yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 menjadi UUD Negara Indonesia menggantikan UUD Sementara. Dengan pemberlakuan kembali UUD 1945 maka rumusan Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD kembali menjadi rumusan resmi yang digunakan.
Tap MPR No III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
Rumusan kalimat
“… dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh) 1. Ketuhanan Yang Maha Esa,
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3. Persatuan Indonesia
4. Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5. Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Perubahan Kedua UUD 1945, adalah perubahan kedua pada
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai hasil Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2000 tanggal 7-18 Agustus 2000.
7. Pasal 22A 8. Pasal 22B
9. BAB IXA WILAYAH NEGARA 1. Pasal 25E
10. 10 BAB X WARGA NEGARA DAN PENDUDUK 1. Pasal 26
2. Pasal 27
11. 11 BAB XA HAK ASASI MANUSIA 1. Pasal 28A
2. Pasal 28B 3. Pasal 28C 4. Pasal 28D 5. Pasal 28E 6. Pasal 28F 7. Pasal 28G 8. Pasal 28H 9. Pasal 28 I 10. Pasal 28J
12. BAB XII PERTAHANAN DAN KEAMANAN NEGARA 1. Pasal 30
13. BAB XV BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN
1. Pasal 36A 2. Pasal 36B 3. Pasal 36C
1. Pokok Pikiran Pembukaan Undang
–
Undang Dasar 1945
Pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 adalah :
Teks Proklamasi - Alinea (2) pokok pikiran Keadilan Sosial;
- Alinea (3) pokok pikiran Kedaulatan Rakyat; - Alinea (4) pokok pikiran Ketuhanan.
2. Kedudukan Pembukaan Undang
–
Undang Dasar 1945
- Sebagai tata tertib hukum
Pembukaan UUD 1945 memuat hal-hal fundamen negara, yaitu tujuan negara, bentuk negara, dan asas kerohanian negara. Pembukaan UUD 1945 pada tingkatan tertib hukum tertinggi dan memberikan factor mutlak bagi adanya tertib hukum di Indonesia. Di dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat Pancasila sebagai norma dasar negara. Pembukaan UUD 1945 memuat sendi - sendi mutlak bagi berdirinya negara Republik Indonesia, yaitu Proklamasi 17 Agustus 1945.
Pembukaan UUD 1945 mempunyai dua macam kedudukan terhadap tertib hukum Indonesia, yaitu sebagai berikut :
1. Menjadi dasar tertib hukum karena Pembukaan UUD 1945 memberikan factor – factor mutlak bagi adanya tertib hukum Indonesia.
2. Memasukan diri di dalamnya sebagai ketentuan hukum yang tertinggi sesuai dengan posisinya sebagai dasar hukum tertinggi.
- Sebagai pernyataan kemerdekaan yang terperinci Pembukaan UUD 1945 alinea
III merupakan pernyataan secara terperinci mengenai pernyataan kemerdekaan, sedangkan alinea IV berisi pembentukan pemerintahan negara Republik Indonesia.
Teks proklamasi memiliki makna sebagai pernyataan
Indonesia dan tindakan – tindakan yang harus dilaksanakan berkaitan dengan proklamasi tersebut.
Jadi pembukaan adalah pernyataan kemerdekaan Republik Indonesia secara terperinci yang merupakan penjabaran naskah proklamasi bangsa Indonesia. Menurut Prof. Drs. Notonagoro, S.H., Pembukaan UUD 1945 merupakan pokok kaidah negara yang fundamental, sedangkan Pancasial adalah unsure pokok kaidah negara yang fundamental.
- Berfungsi sebagai perwujudan dasar negara Pancasila; karenanya memiliki supremasi dan integritas filosofis-ideologis secara konstitusional (terjabar dalam Batang Tubuh dan Penjelasan UUD 45), dengan asas imperatif (mengikat, memaksa).
3. Makna Pembukaan Undang – Undang
Dasar 1945
Pembukaan UUD 1945 yang telah dirumuskan dengan padat dan khidmat dalam empat alinea, dimana setiap alinea mengandung arti dan makna yang sangat dalam, mempunyai nilai-nilai yang universal dan lestari.
Mengandung nilai universal artinya mengandung nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh bangsa-bangsa beradab di seluruh dunia, sedangkan lestari artinya mampu menampung dinamika masyarakat dan akan tetap menjadi landasan perjuangan bangsa dan negara selama bangsa Indonesia tetap setia kepada Negara Proklamasi 17 Agustus 1945.
Alinea-alinea Pembukaan UUD 1945 pada garis besarnya adalah:
- Alinea I : terkandung motivasi, dasar, dan pembenaran perjuangan (kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan penjajahan bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan).
Penjajahan oleh Belanda
Makna yang terkandung dalam Alinea pertama ini adalah menunjukkan keteguhan dan kuatnya pendirian bangsa Indonesia menghadapai masalah kemerdekaan melawan penjajah. Alinea ini mengungkapkan suatu dalil obyektif, yaitu bahwa penjajahan
tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan, dan oleh karenanya harus ditentang dan dihapuskan agar semua bangsa di dunia ini dapat menjalankan hak kemerdekaannya sebagai hak asasinya. Disitulah letak moral luhur dari pernyataan kemerdekaan Indonesia. Selain mengungkapkan dalil obyektif, alinea ini juga mengandung suatu pernyataan subyektif, yaitu aspirasi bangsa Indonesia sendiri untuk embebaskan diri dari penjajahan. Dalil tersebut di atas meletakkan tugas kewajiban bangsa/pemerintah Indonesia untuk senantiasa berjuang melawan setiap bentuk penjajahan dan mendukung kemerdekaaan setiap bangsa. Alasan bangsa Indonesia menentang penjajahan ialah karena penjajahan itu bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Ini berarti setiap hal atau sifat yang bertentangan atau tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan juga harus secara sadar ditentang oleh bangsa Indonesia. Pendirian tersebut itulah yang melandasi dan mengendalikan politik luar negeri kita.
- Alinea II : mengandung cita-cita bangsa Indonesia (negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur).
Aline kedua : “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur”
diharapkan oleh para “pengantar” kemerdekaan, ialah Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Nilai-nilai itulah yang selalu menjiwai segenap bangsa Indonesia dan terus berusaha untuk mewujudkannya.
Alinea ini mewujudkan adanya ketetapan dan ketajaman penilaian :
1. Bahwa perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampai pada tingkat yang menentukan;
2. Bahwa momentum yang telah dicapai tersebut harus dimanfaatkan untuk menyatakan kemerdekaan;
3. Bahwa kemerdekaan tersebut bukan merupakan tujuan akhir tetapi masih harus diisi dengan mewujudkan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur
- Alinea III : memuat petunjuk atau tekad pelaksanaannya (menyatakan bahwa
kemerdekaan atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa).
Alinea ketiga : “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan yang luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”
Kalimat tersebut bukan saja menegaskan apa yang menjadi motivasi nyata dan materiil bangsa Indonesia, untuk menyatakan kemerdekaannya, tetapi juga
menjadi keyakinan motivasi spiritualnya, bahwa maksud dan tindakan menyatakan kemerdekaan itu diberkati oleh Allah Yang Maha Kuasa. Hal tersebut berarti bahwa bangsa Indonesia mendambakan kebidupan yang berkeseimbangan material dan spiritual serta keseimbangan kebidupan di dunia dan di akhirat. Alinea ini memuat motivasi spiritual yang luhur dan mengilhami Proklamasi Kemerdekaan (sejak dari Piagam Jakarta) serta menunjukkan pula ketaqwaan bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berkat ridho-Nyalah bangsa Indonesia berhasil dalam perjuangan mencapai kemerdekaannya, dan mendirikan negara yang berwawasan kebangsaan.
bentuk susunan negara yang berkedaulatan rakyat dan dasar negara Pancasila.
Alinea keempat : “Kemudian daripada itu untuk membentuk susunan pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
Alinea ini merumuskan dengan padat sekali tujuan dan prinsip-prinsip dasar, untuk mencapai tujuan bangsa Indonesia setelah menyatakan dirinya merdeka.
Tujuan nasional negara Indonesia dirumuskan dengan “… Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kebidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”
Prinsip dasar yang dipegang teguh untuk mencapai tujuan itu adalah dengan menyusun kemerdekaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan berdasarkan PancasiIa.
Dengan rumusan yang panjang dan padat ini, alinea keempat Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 sekaligus menegaskan:
1. Negara Indonesia mempunyai fungsi yang sekaligus menjadi tujuannya yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial;
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
4. Perubahan Isi Undang – Undang Dasar
1945
a)
Perubahan PertamaPerubahan Pertama UUD 1945, adalah perubahan pertama pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai hasil Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1999 tanggal 14-21 Oktober 1999.
Perubahan Pertama menyempurnakan pasal-pasal berikut:
- Pasal 5
- Pasal 7
- Pasal 9
- Pasal 13
- Pasal 14
- Pasal 15
- Pasal 17
- Pasal 20
- Pasal 21
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Oktober 1999
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Ketua,
Prof. Dr. H.M. Amien Rais, MA.
Wakil Ketua,
H. Matori Abdul Djalil Drs. Kwik Kian Gie
Prof. Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita Drs. H.M. Husnie Thamrin
Ginandjar Kartasasmita Amien Rais Matori Abdul Djalil Kwik Kian Gie
Hari Sabarno
Nazri Adlani
b)
Perubahan Kedua
Perubahan Kedua UUD 1945, adalah perubahan kedua pada
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai hasil Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2000 tanggal 7-18 Agustus 2000.
Perubahan Kedua menyempurnakan dan menambahkan pasal-pasal berikut:
1. Pasal 18 2. Pasal 18A 3. Pasal 18B 4. Pasal 19 5. Pasal 20 6. Pasal 20A 7. Pasal 22A 8. Pasal 22B
9. BAB IXA WILAYAH NEGARA 1. Pasal 25E
2. Pasal 27
11. 11 BAB XA HAK ASASI MANUSIA 1. Pasal 28A
2. Pasal 28B 3. Pasal 28C 4. Pasal 28D 5. Pasal 28E 6. Pasal 28F 7. Pasal 28G 8. Pasal 28H 9. Pasal 28 I 10. Pasal 28J
12. BAB XII PERTAHANAN DAN KEAMANAN NEGARA 1. Pasal 30
13. BAB XV BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN
1. Pasal 36A 2. Pasal 36B 3. Pasal 36C
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Agustus 2000
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Ketua,
Prof. Dr. H.M. Amien Rais
Wakil Ketua,
Drs. Kwik Kian Gie H. Matori Abdul Djalil Drs. H.M. Husnie Thamrin Hari Sabarno, SIP, MBA, MM Prof. Dr. Jusuf Amir Feisal Drs. H.A. Nazri Adlani
c) Perubahan Ketiga
Ir. Sutjipto
Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2001 tanggal 1-9 November 2001.
Perubahan Ketiga menyempurnakan dan menambahkan pasal-pasal berikut:
- Pasal 1
- BAB VIIA DEWAN PERWAKILAN DAERAH
1. Pasal 22C
- BAB VIIIA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
1. Pasal 23E
Pada tanggal 9 November 2001
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Ketua,
Prof. Dr. H.M. Amien Rais, M.A.
Wakil Ketua,
Prof. Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita Ir. Sutjipto
Prof. Dr. Jusuf Amir Feisal, S.Pd. Drs. H.M. Husnie Thamrin
Drs. H.A. Nazri Adlani Agus Widjojo
d)
Perubahan Keempat
Perubahan Keempat UUD 1945, adalah perubahan keempat pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai hasil Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2002 tanggal 1-11 Agustus 2002.
Perubahan Keempat menyempurnakan dan menambahkan pasal-pasal berikut:
6. BAB IV DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG
1. Pasal 23B 2. Pasal 23D
3. Pasal 24
7. BAB XIII PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
1. Pasal 31 2. Pasal 32
Menurut kami alasan dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945 adalah :
Pertama, konstitusi sebaiknya memiliki derajat supremasi atau keunggulan daripada peraturan lain di bawahnya dalam membentuk dan mengatur struktur dasar sistem hukum. Karena itu, konstitusi merupakan puncak tertinggi dari bentuk legislasi dalam sebuah negara.
Kedua, sebaiknya konstitusi yang dibuat diusahakan sedapat mungkin berumur panjang (longevity) sehingga dapat sejauh mungkin mengatur struktur dasar hukum agar tetap relevan sampai generasi di depannya.
Ketiga, konstitusi yang dibuat sebaiknya memiliki ketegaran (rigidity) yang tinggi sehingga tak mudah diubah dengan alasan-alasan tak mendasar. Tanpa ketegaran, sebuah konstitusi tak bisa berumur panjang.
Keempat, konstitusi yang dibuat harus mengandung materi muatan moral (moral content) berisi ajaran yang mengatur struktur dasar pemerintahan dan pemisahannya serta mengatur hak sipil dan hak dasar manusia.
Kelima, konstitusi, khususnya yang terkait hak warga negara, harus dibuat umum dan niskala (general and abstract) agar nilai-nilai yang termuat dalam konstitusi dapat menjangkau ruang publik sejauh mungkin.
SEJARAH PEMBENTUKAN
MAHKAMAH KONSTITUSI
Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali
Suasana sidang MPR pada saat pengesahan Perubahan Ketiga
Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat.
DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan
mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).
Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003.
Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.
Untuk memperlancar tugas dan kerja Setjen dan Kepaniteraan,
susunan organisasi MKRI dibuat terdiri dari empat biro dan satu pusat dengan masing-masing tugas pokok dan fungsinya, yaitu sebagai berikut:
Kontak Staff Mahkamah Konstitusi
Untuk memberikan layanan informasi yang maksimal kepada masyarakat perihal konstitusi, di bawah tercantum staf MK yang bisa dihubungi :
Staf Sekretaris Jenderal MKRI
Staf Panitera MKRI
Staf Humas
Staf Biro Umum
Staf Pusat Penelitian dan Pengkajian
Staf Administrasi Persidangan
Visi Mahkamah Konstitusi adalah tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat.
Misi Mahkamah Konstitusi adalah:
a) Mewujudkan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang terpercaya.
b) Membangun konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar berkonstitusi
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20. Ditinjau dari aspek waktu, negara kita tercatat sebagai negara ke-78 yang membentuk MK sekaligus merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21 yang membentuk lembaga ini.
Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945[2] menetapkan bahwa MahkamahKonstitusi (Constitutional Court) merupakan salah satu lembaga negara yang mempunyai kedudukan setara dengan lembaga-lembaga negara lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung (MA), dan yang terakhir terbentuk yaitu Komisi Yudisial (KY)[3]. MahkamahKonstitusi (MK) merupakan salah satu lembaga yudikatif selain Mahkamah Agung yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pembentukan MahkamahKonstitusi dimaksudkan agar tersedia jalan hukum untuk mengatasi perkara-perkara yang terkait erat dengan
penyelenggaraan negara dan kehidupan politik. Dengan demikian konflik yang terkait dengan kedua hal tersebut tidak berkembang menjadi konflik politik-kenegaraan tanpa pola penyelesaian yang baku, transparan, dan akuntabel, melainkan dikelola secara objektif dan rasional sehingga sengketa hukum yang diselesaikan secara hukum pula. Oleh karena itu
Pengawal Konstitusi atau The Guardian and The Interpreter of The Constitution.
PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Peraturan Mahkamah Konstitusi RI
Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 15/PMK/2008
PEDOMAN BERACARA DALAM PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH
Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 14/PMK/2008
PEDOMAN BERACARA DALAM PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN
PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 008/PMK/2006
Tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara
Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 007/PMK/2005
Tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi
Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 006/PMK/2005
Tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang
Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 005/PMK/2004
Tentang Prosedur Pengajuan Keberatan atas Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004
Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 004/PMK/2004
Tentang Pedoman Beracara dalam Persidangan Hasil Pemilihan Umum
Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 003/PMK/2003
Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 002/PMK/2003
Tentang Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku
Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 001/PMK/2003
Tentang Tata Cara Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi
A.KEWENANGAN
Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menggariskan wewenang Mahkamah
Konstitusi adalah sebagai berikut:
1. MahkamahKonstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa
kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
2. MahkamahKonstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Secara khusus, wewenang MahkamahKonstitusi tersebut diatur lagi
dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi dengan merinci sebagai berikut:
Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945;
Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia tahun 1945;
Memutus pembubaran partai politik; dan
Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
MahkamahKonstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR
tercela, dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
B.
PEMOHON
Dalam berperkara di MahkamahKonstitusi, sebenarnya siapa sajakah yang boleh memohon (legal standing)? Ternyata tidak semua
orang boleh mengajukan perkara permohonan ke MahkamahKonstitusi
dan menjadi pemohon.[9] Adanya kepentingan hukum saja sebagaimana dikenal dalam hukum acara perdata[10] maupun hukum acara tata usaha
negara tidak dapat dijadikan dasar.
Pemohon adalah subjek hukum yang memenuhi persyaratan menurut undang-undang untuk mengajukan permohonan perkara
konstitusi kepada MahkamahKonstitusi. Pemenuhan syarat-syarat tersebut menentukan kedudukan hukum atau legal standing suatu subjek hukum untuk menjadi pemohon yang sah dalam perkara pengujian undang-undang. Persyaratan legal standing atau kedudukan hukum di-maksud mencakup syarat formal sebagaimana ditentukan dalam undang-undang, maupun syarat materiil berupa kerugian hak atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang sedang
dipersoalkan.
Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi yang boleh mengajukan
permohonan untuk berperkara di MK ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003, yang bunyinya sebagai berikut:
1. Perorangan warganegara Indonesia;
2. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang; 3. Badan hukum publik atau privat; atauHal yang perlu diingat bahwa pemohon harus mampu menguraikan dalam permohonannya mengenai hak dan kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah apa yang dimaksud dengan hak dan kewenangan kosntitusional? Seperti telah diuraikan di atas, kepentingan hukum saja tidak cukup untuk menjadi dasar legal
standing dalam mengajukan permohonan di MahkamahKonstitusi,
tetapi terdapat dua hal yang harus diuraikan dengan jelas.
Dua kriteria dimaksud adalah:
Kualifikasi pemohon apakah sebagai (i) perorangan Warga Negara
Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai
kepentingan yang sama); (ii) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; (iii) badan hukum publik atau privat, atau (iv) lembaga negara;
Anggapan bahwa dalam kualifikasi demikian terdapat hak dan/atau
kewenangan konstitusional pemohon yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang.
Perselisihan yang dibawa ke MahkamahKonstitusi sesungguhnya memiliki karakter tersendiri dan berbeda dengan perselisihan yang
dihadapai sehari-hari oleh peradilan biasa.[12] Keputusan yang diminta oleh pemohon dan diberikan oleh MahkamahKonstitusi akan
membawa akibat hukum yang tidak hanya mengenai orang seorang, tetapi juga orang lain, lembaga negara dan aparatur pemerintah atau masyarakat pada umumnya, terutama sekali dalam hal pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (Judicial review).
Nuansa public interest yang melekat pada perkara-perkara
semacam itu akan menjadi pembeda yang jelas dengan perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara yang pada umunya menyangkut
kepentingan pribadi dan individu berhadapan dengan individu lain ataupun dengan pemerintah. Ciri inilah yang akan membedakan
penerapan hukum acara di MahkamahKonstitusi dengan hukum acara
di pengadilan-pengadilan lainnya.
Oleh karena terjadinya praktek hukum acara yang merujuk pada undang-undang hukum acara yang lain timbul karena kebutuhan yang
kadang-kadang dihadapkan kepada MahkamahKonstitusi, maka
ketentuan yang memberlakukan aturan Hukum Acara Pidana, Perdata, dan Tata Usaha Negara secara mutatis mutandis dapat diberlakukan dengan menyesuaikan aturan dimaksud dalam praktek hukum acaranya. Hanya saja jika terjadi pertentangan dalam praktek hukum acara pidana dan TUN dengan aturan hukum acara perdata maka secara mutatis mutandis juga aturan hukum acara perdata tidak akan diberlakukan. Meskipun aturan ini tidak dimuay dalam UU Mahakamah Konstitusi, akan tetapi telah diadopsi dalam Peraturan MahkamahKonstitusi
(PMK), baik sebelum maupun sesudah praktek yang merujuk undang-undang hukum acara lain itu digunakan dalam praktek.
Dari uraian di atas, maka sumber hukum acara MahkamahKonstitusi dapat dikenali sebagai berikut :
Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi;
Peraturan Mahakamah Konstitusi (PMK);
Yurisprudensi MahkamahKonstitusi RI;
Undang-Undang Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Peradilan
Pendapat Sarjana (doktrin);
Hukum Acara dan yurisprudensi MahkamahKonstitusi Negara
lain.
Adapun secara ringkas dan sistematis, prosedur berperkara di
MahkamahKonstitusi dapat penulis simpulkan sebagai berikut:[15]
1. Pengajuan permohonan[16]
Ditulis dalam bahas Indonesia;
Ditandatangani oleh pemohon/kuasanya;
Diajukan dalam 12 rangkap;
Jenis perkara; Sistematika:
- Identitas dan legal standing Posita - Posita Petitum
- Petitum
Disertai bukti pendukung
2. Pendaftaran[17]
Pemeriksaan kelengkapan permohonan panitera:
- Belum lengkap, diberitahukan
- 7 (tujuh) hari sejak diberitahu, wajib dilengkapi - Lengkap
Registrasi sesuai dengan perkara.
7 (tujuh) hari kerja sejak registrasi untuk perkara.
- Pengujian undang-undang:
* Salinan permohonan disampaikan kepada Presiden dan DPR.
* Permohonan diberitahukan kepada Mahkamah Agung.
- Sengketa kewenangan lembaga negara:
* Salinan permohonan disampaikan kepada lembaga negara termohon.
- Pembubaran Partai Politik:
* Salinan permohonan disampaikan kepada Parpol yang bersangkutan.
- Pendapat DPR:
* Salinan permohonan disampaikan kepada Presiden.
3. Penjadwalan Sidang
Dalam 14 hari kerja setela registrasi ditetapkan Hari Sidang I
(kecuali perkara Perselisihan Hasil Pemilu).
Diumumkan kepada masyarakat.
4. Pemeriksaan Pendahuluan
Sebelum pemeriksaan pokok perkara, memeriksa:
- Kelengkapan syarat-syarat Permohonan. - Kejelasan materi Permohonan.
Memberi nasehat:
- Kelengkapan syararat-syarat permohonan. - Perbaikan materi permohonan.
14 hari harus sudah dilengkapi dan diperbaiki.
5. Pemeriksaan Persidangan
Terbuka untuk umum.
Memeriksa: permohonan dan alat bukti.
Para pihak hadir menghadapi sidang guna memberikan keterangan.
Lembaga negara dapat diminta keterangan Lembaga negara
dimaksud dalam jangka waktu tujuh hari wajib memberi keterangan yang diminta.
Saksi dan/atau ahli memberi keterangan.
Pihak-pihak dapat diwakili kuasa, didampingi luasa dan orang lain.
6. Putusan
Diputus paling lambat dalam tenggang waktu:
- Untuk perkara pembubaran partai politik, 60 hari kerja sejak registrasi.
- Untuk perkara perselisihan hasil pemilu:
* presiden dan/atau wakil Presiden, 14 hari kerja sejak registrasi. * DPR, DPD, dan DPRD, 30 hari kerja sejak registrasi.
* Untuk perkara pendapat DPR, 90 hari kerja sejak registrasi.
Sesuai alat bukti, minimal 2 (dua) alat bukti memuat:[18]
- Fakta.
- Dasar hukum keputusan
Cara mengambil keputusan:
- Musyawarah mufakat.
- Setiap hakim menyampaikan pendapat/pertimbangan tertulis. - Diambil suara terbanyak bila tak mufakat.
- Bila tidak dapat dicapai suara terbanyak, suara terakhir ketua menentukan.
Berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum.
Salinan putusan dikirim kepada para pihak 7 (tujuh) hari sejak
diucapkan.
Untuk Putusan perkara:
- Pengujian undang-undang, disampaikan kepada DPR, DPD, Presiden, dan MA.
- Sengketa kewenangan lembaga negara, disampaikan kepada DPR, DPD, dan Presiden.
- Pembubaran partai politik, disampaikan kepada partai politik yang bersangkutan.
- Perselisihan hasil pemilu disampaikan kepada Presiden.
- Pendapat DPR, disampaikan kepada DPR, Presiden dan Wakil Presiden.
E.
BEBERAPA PERKARA YANG TELAH
DIPUTUS OLEH MAHKAMAH
Pada bulan Agustus 2006 kemarin, MahkamahKonstitusi
Republik Indonesia genap berusia 3 (tiga) tahun.[19] Dalam perjalanannya dalam mengawal konstitusionalitas Indonesia dan membangun budaya sadar berkonstitusi, MahkamahKonstitusi terus berusaha menjadi lembaga negara yang dekat dengan publik, dekat dengan rakyat, dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari dinamika kehidupan rakyat dan negara Indonesia. Dengan sistem peradilan yang bersih dan didukung dengan Teknologi Informasi (TI) yang sangat modern,[20] berbagai perkara yang masuk dalam Kepaniteraan Mahakamah Konstitusi telah berhasil diputuskan dan menjadi jalan keluar dari kebuntuan akan ketidakpastian hukum yang selama ini terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Sejak Mahkamah Konsitusi berdiri, penulis mencatat beberapa perkara yang sempat menjadi sorotan di tengah-tengah publik yaitu:
Perkara PHPU Legislatif, berjumlah 273 perkara yang
dikonsolidasikan ke dalam 44 permohonan, diajukan oleh 23 partai politik dan 21 calon anggota DPD.
1 (satu) buah Perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden, diajukan
oleh pasangan calon Presiden Wiranto dan calon Wakil Presiden Salahuddin Wahid.
2. Perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD).[21]
3. Pekara Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (PUU):
UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.
UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
UU No. 24 Tahun 2003 tentang MahkamahKonstitusi.
UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang.
UU No. 24 Tahun 2004 tentang Kamar Dagang Indonesia
(KADIN).
UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran.
UU No. 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Beberapa Provinsi,
Kabupaten/Kota di Irian Jaya.
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(SISDIKNAS).
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
UU No. 36 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) Tahun Anggaran 2005.
UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
F.
PENUTUP
Sebagai lembaga negara yang melaksanakan cabang kekuasaan di bidang yudikatif, Mahkamah Konsitutsi telah berdiri di Indonesia sebagai salah satu buah reformasi yang bergulir sejak tahun 1998.
Sebagai lembaga yudikatif, Mahkamah Konstitusi mempunyai
wewenang dan kewajiban yang cukup berat dan strategis, sebagaimana halnya lembaga sejenis di negara-negara lainnya, yakni sangat terkait erat dengan konstitusi. Dengan mengacu kepada hal tersebut, secara teoritis
MahkamahKonstitusi mempunyai dua fungsi, sebagai pengawal
konstitusi dan penafsir konstitusi.
MahkamahKonstitusi yang dinahkodai oleh sembilan Hakim
Konstitusi[24] dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini telah menunaikan tugas-tugas konstitusionalitasnya, dan dengan jubah
merahnya para Hakim Konstitusi telah berusaha sedemikian rupa untuk mewujudkan Mahkamah Konsitusi sebagai ”rumah konstitusi”
sekaligus penjaga konsitusi (the guardian of the constitution).
Sudah berhasilkah Mahakamah Kosntitusi melaksanakan visinya untuk menciptakan tegaknya kosntitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan
kenegaraan yang mertabat? Memang pada saat ini sesuai dengan usianya yang masih demikian muda, apa yang telah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi masihlah belum terlalu banyak. Bolehlah dikatakan baru beberapa langkah dari ribuan langkah yang akan diayunkan hingga hari-hari esok. Namun langkah-langkah awal ini dipandang merupakan era
peletakan dasar-dasar fundamental bagi perwujudan Mahkamah
pada masa yang akan datang. Bukankah pepatah klasik Cina mengatakan, ”perjalanan beribu-ribu mil dimulai dengan satu langkah keyakinan”
UUD NKRI TAHUN 1945
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau disingkat UUD 1945 atau UUD '45, adalah konstitusi negara Republik Indonesia saat ini.
UUD 1945 disahkan sebagai undang-undang dasar negara oleh PPKI
pada tanggal18 Agustus1945. Sejak tanggal 27 Desember 1949, di Indonesia berlaku Konstitusi RIS, dan sejak tanggal17 Agustus1950 di Indonesia berlaku UUDS 1950. Dekrit Presiden 5 Juli1959 kembali memberlakukan UUD1945, dengan dikukuhkan secara aklamasi oleh
DPR pada tanggal 22 Juli1959.
Pada kurun waktu tahun 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali
perubahan (amandemen), yang mengubah susunan lembaga-lembaga dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
Naskah Undang-Undang Dasar 1945
Sebelum dilakukan Perubahan, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh (16 bab, 37 pasal, 65 ayat (16 ayat berasal dari 16 pasal yang hanya terdiri dari 1 ayat dan 49 ayat berasal dari 21 pasal yang terdiri dari 2 ayat atau lebih), 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasan.
Setelah dilakukan 4 kali perubahan, UUD 1945 memiliki 20 bab, 73 pasal, 194 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan.
Sejarah
Sejarah Awal
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945, adalah Badan yang menyusun rancangan UUD1945. Pada masa sidang pertama yang berlangsung dari
tanggal 28 Mei sampai dengan tanggal 1 Juni 1945 Ir.Sukarno menyampaikan gagasan tentang "Dasar Negara" yang diberi nama
Pancasila. Kemudian BPUPK membentuk Panitia Kecil yang terdiri dari 8 orang untuk menyempurnakan rumusan Dasar Negara. Pada tanggal22 Juni1945, 38 anggota BPUPK membentuk Panitia Sembilan yang terdiri dari 9 orang untuk merancang Piagam Jakarta yang akan menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Setelah dihilangkannya anak kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya" maka naskah Piagam Jakarta menjadi naskah Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada tanggal
29 Agustus 1945. Naskah rancangan UUD1945 Indonesia disusun pada masa Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Nama Badan ini tanpa kata "Indonesia" karena hanya
diperuntukkan untuk tanah Jawa saja. Di Sumatera ada BPUPK untuk Sumatera. Masa Sidang Kedua tanggal10-17 Juli1945. Tanggal 18 Agustus1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
Periode berlakunya UUD 1945 18 agustus 1945- 27 desember 1949
Dalam kurun waktu 1945-1950, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada
tanggal 16 Oktober1945 memutuskan bahwa KNIP diserahi kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum terbentuk. Tanggal14 November
1945 dibentuk Kabinet Semi-Presidensiel ("Semi-Parlementer") yang
pertama, sehingga peristiwa ini merupakan perubahan sistem pemerintahan agar dianggap lebih demokratis.
Pada masa ini sistem pemerintahan indonesia adalah parlementer.
Periode UUDS ' 50 17 agustus 1950 - 5 juli 1959
Pada masa ini sistem pemerintahan indonesia adalah parlementer.
Periode kembalinya ke UUD 1945 5 juli 1959-1966
Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan
UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli1959, Presiden Sukarno
mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan
Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku pada waktu itu.
Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD1945, diantaranya:
Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA
serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara
MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup
Pemberontakan Partai Komunis Indonesia melalui Gerakan 30
September Partai Komunis Indonesia
Periode UUD 1945 masa orde baru 11 maret 1966- 21 mei 1998
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen.
Namun pelaksanaannya ternyata menyimpang dari Pancasila dan UUD
1945 yang murni,terutama pelanggaran pasal 23 (hutang
Konglomerat/private debt dijadikan beban rakyat Indonesia/public debt) dan 33 UUD 1945 yang memberi kekuasaan pada fihak swasta untuk menghancur hutan dan sumberalam kita.
Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat "sakral", diantara melalui sejumlah peraturan:
Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa
MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya
Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang
antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang
merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.
Periode 21 mei 1998- 19 oktober 1999
Pada masa ini dikenal masa transisi.
Periode UUD 1945 Amandemen
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan
(amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan
UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat),
kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" (sehingga dapat menimbulkan mulitafsir), serta kenyataan rumusan UUD1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahanUUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan
dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian
kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa.
PerubahanUUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan
yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
SidangUmumMPR1999, tanggal14-21 Oktober1999 →
Perubahan Pertama UUD 1945
Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal7-18 Agustus2000 →
Perubahan Kedua UUD 1945
Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal1-9 November2001 →
Perubahan Ketiga UUD 1945
Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal1-11 Agustus2002 →
Perubahan Keempat UUD 1945
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nurwahid
1945 harus terus disosialisasikan kepada masyarakat. Penegasan Ketua
MPR, Hidayat Nurwahid itu disampaikan saat memberikan sambutan pembukaan Sosialisasi Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia kepada wartawan yang bertugas di Koordinatariat
MPR/DPR/DPD di Bogor, Sabtu (3/2).
Hidayat menjelaskan sosialisasi UUD Negara RI Tahun 1945 merupakan pengejawantahan tugas MPR. "Masih banyak pihak termasuk pengamat, elite politik yang tidak membaca dan memahami hasil amandemen UUD
negara RI Tahun 1945. untuk itu, MPR melakukan sosialisasi UUD," ujarnya.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengalami empat kali perubahan. Perubahan pertama dimulai pada
SidangUmumMPR tahun 1999 yang berlangsung tanggal 14-21 Oktober1999. MPR menetapkan Perubahan pada Pasal 5 (ayat 1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 (ayat 2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 (Ayat 2 dan 3), Pasal 20, dan Pasal 21.
Sebagai contoh, Pasal 5 (Ayat 1) UUD Negara RI tahun 1945 sebelum dilakukan perubahan menyebutkan: "Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat." Sesudah diamandemen Pasal 5 (Ayat 1) berbunyi: "Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat."
Perubahan Pasal 5 (Ayat 1) UUD Negara RI 1945 ingin membatasi kekuasaan presiden yang bersifat sentralistik dan executive heavy, kurang adanya prinsip checks and balances, kurang menjabarkan HAM, dan sebagainya.
Namun perubahanPertamaUUD Negara RI Tahun 1945 ini masih
memiliki kekurangan dan belum komprehensif sehingga dilakukan
Perubahan Kedua, Ketiga, dan Keempat. Perubahan Kedua ditetapkan dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2000 tanggal 7-18 Agustus 2000;
Perubahan Ketiga, Sidang Tahunan MPR Tahun 2001 tanggal 1-9 November 2001; dan Perubahan Keempat, Sidang Tahunan MPR tahun 2002 tanggal 1-11 Agustus 2002.
Secara umum pasca perubahanUUD Negara RI Tahun 1945 nampak
perubahan seperti penghapusan penyebutan lembaga tertinggi negara yaitu MPR tidak lagi disebut sebagai lembaga tertingi negara.
Agung (DPA) juga dihapus.
Anggota MPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Patrialis Akbar saat memaparkan materi sosialisasi UUD Negara RI tahun 1945, mengatakan, amandemen UUD1945 merupakan tuntutan reformasi yang disponsori mahasiswa tahun 1998. tuntutan reformasi antara lain:
amandemen UUD 1945, penghapusan doktrin Dwi Fungsi ABRI,
Penegakan Hukum, HAM dan Pemberantasan KKN, Otonomi Daerah, Kebebasan pers, Mewujudkan kehidupan demokrasi.
Sementara Wakil Ketua MPR, AM Fatwa menjelaskan rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 18 Agustus 1945 -- ketika
memperbincangkan akan disahkannya UUD 1945 -- Ketua Penyusun
UUD Negara Republik Indonesia Ir Soekarno antara lain menyatakan: "Ini adalah sekadar undang-undang dasar sementara, undang-undang dasar kilat. Barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutiegronwet. Nanti kita membuat undang-undang dasar yang lebih sempurna dan lengkap."Itu menunjukkan bahwa UUD 1945 belum sempurna. Setelah cukup lama dilaksanakan dalam praktik ketatanegaraan, UUD 1945
dipandang kurang memenuhi tuntutan perubahan dan demokratisasi, supremasi hukum, dan penghormatan hak asasi manusia (HAM). Oleh karena itu, ketika reformasi digulirkan, muncul agenda untuk melakukan
perubahanUUD 1945.
Memenuhi tuntutan reformasi, dilaksanakan amandemen secara bertahap dalam empat kali pada sidangMPR1999 sampai tahun 2002.
PerubahanUUD 1945 itu didasarkan pada lima kesepakatan dasar.
Pertama, tidak mengubah Pembukaan UUD1945 karena merupakan pokok kaidah negara yang fundamental (state fundamental norm) yang mempunyai kedudukan tetap, tidak berubah. Artinya, dengan jalan
hukum Pembukaan UUD 1945 tidak dapat diubah atau ditiadakan karena mempunyai kedudukan tetap melekat pada kelangsungan hidup negara yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Kedua, tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ketiga, mempertegas sistem pemerintahan presidensial. Keempat, meniadakan Penjelasan UUD 1945 serta hal-hal normatif dalam Penjelasan dimasukkan ke pasal-pasal. Kelima, melakukan
perubahan dengan cara adendum.
Dengan kesepakatan tersebut dilakukan perubahan untuk lebih menegaskan dan memperjelas beberapa hal. Antara lain untuk
manusia, pemilihan umum, pertahanan dan keamanan, dan sebagainya.
Yang perlu dilakukan lebih lanjut adalah menyempurnakan UUD 1945
hasil amandemen karena memang belum sempurna, walaupun sudah dibuat lebih rinci, agar tidak timbul multitafsir seperti terjadi di masa
Perubahan Isi Undang – Undang Dasar
1945
e)
Perubahan PertamaPerubahan Pertama UUD 1945, adalah perubahan pertama pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai hasil Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1999 tanggal 14-21 Oktober 1999.
Perubahan Pertama menyempurnakan pasal-pasal berikut:
- Pasal 5
- Pasal 7
- Pasal 9
- Pasal 13
- Pasal 14
- Pasal 15
- Pasal 17
- Pasal 20
- Pasal 21
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Oktober 1999
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Ketua,
Prof. Dr. H.M. Amien Rais, MA.
Wakil Ketua,
Ginandjar Kartasasmita Amien Rais Matori Abdul Djalil Kwik Kian Gie
Hari Sabarno
Nazri Adlani
Prof. Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita Drs. H.M. Husnie Thamrin
Hari Sabarno, SIP., M.B.A., M.M. Prof. Dr. Jusuf Amir Feisal, S.Pd. Drs. H.A. Nazri Adlani
f)
Perubahan Kedua
Perubahan Kedua UUD 1945, adalah perubahan kedua pada
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai hasil Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2000 tanggal 7-18 Agustus 2000.
Perubahan Kedua menyempurnakan dan menambahkan pasal-pasal berikut:
22. BAB IXA WILAYAH NEGARA 1. Pasal 25E
23. 10 BAB X WARGA NEGARA DAN PENDUDUK 1. Pasal 26
2. Pasal 27
24. 11 BAB XA HAK ASASI MANUSIA 1. Pasal 28A
25. BAB XII PERTAHANAN DAN KEAMANAN NEGARA 1. Pasal 30
26. BAB XV BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN
1. Pasal 36A 2. Pasal 36B 3. Pasal 36C
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Agustus 2000
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Ketua,
Prof. Dr. H.M. Amien Rais
Wakil Ketua,
g) Perubahan Ketiga
Perubahan Ketiga UUD 1945, adalah perubahan ketiga pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai hasil Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2001 tanggal 1-9 November 2001.
Perubahan Ketiga menyempurnakan dan menambahkan pasal-pasal berikut:
- Pasal 1
- Pasal 3
- Pasal 6
- Pasal 6A
- Pasal 7A
- Pasal 7B
- Pasal 7C
- Pasal 8
- Pasal 11
- Pasal 17
- BAB VIIA DEWAN PERWAKILAN DAERAH
3. Pasal 22C 4. Pasal 22D
- BAB VIIB PEMILIHAN UMUM
5. Pasal 22E 6. Pasal 23 7. Pasal 23A 8. Pasal 23C
- BAB VIIIA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
4. Pasal 23E 5. Pasal 23F 6. Pasal 23G - Pasal 24
- Pasal 24A - Pasal 24B - Pasal 24C
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 9 November 2001
Ir. Sutjipto
REPUBLIK INDONESIA
Ketua,
Prof. Dr. H.M. Amien Rais, M.A.
Wakil Ketua,
Prof. Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita Ir. Sutjipto
Prof. Dr. Jusuf Amir Feisal, S.Pd. Drs. H.M. Husnie Thamrin
Drs. H.A. Nazri Adlani Agus Widjojo
h)
Perubahan Keempat
Perubahan Keempat UUD 1945, adalah perubahan keempat pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai hasil Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2002 tanggal 1-11 Agustus 2002.
Perubahan Keempat menyempurnakan dan menambahkan pasal-pasal berikut:
17. BAB IV DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG
1. Pasal 23B 2. Pasal 23D
3. Pasal 24
18. BAB XIII PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
1. Pasal 31 2. Pasal 32
OPINI
Menurut kami alasan dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945 adalah :
Pertama, konstitusi sebaiknya memiliki derajat supremasi atau keunggulan daripada peraturan lain di bawahnya dalam membentuk dan mengatur struktur dasar sistem hukum. Karena itu, konstitusi merupakan puncak tertinggi dari bentuk legislasi dalam sebuah negara.
Kedua, sebaiknya konstitusi yang dibuat diusahakan sedapat mungkin berumur panjang (longevity) sehingga dapat sejauh mungkin mengatur struktur dasar hukum agar tetap relevan sampai generasi di depannya.
Ketiga, konstitusi yang dibuat sebaiknya memiliki ketegaran (rigidity) yang tinggi sehingga tak mudah diubah dengan alasan-alasan tak mendasar. Tanpa ketegaran, sebuah konstitusi tak bisa berumur panjang.
Keempat, konstitusi yang dibuat harus mengandung materi muatan moral (moral content) berisi ajaran yang mengatur struktur dasar pemerintahan dan pemisahannya serta mengatur hak sipil dan hak dasar manusia.