• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perspektif dan Sikap Hakim Dalam Memutus Perkara Mut’ah dan Nafkah Iddah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Perspektif dan Sikap Hakim Dalam Memutus Perkara Mut’ah dan Nafkah Iddah"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

971

lef Musyahadah Rahmah, Noor Asik, Wismaningsih

Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

alefrahma@gmail.com

ABSTRAK

Mut’ah dan nafkah iddah merupakan konsekuensi yang harus diberikan oleh suami ketika terjadi perceraian (talak raj’i) bagi mantan istrinya. Al Qur’an maupun KHI (Kompilasi Hukum Islam) tidak mengatur lebih lanjut besarnya pemberian nafkah mut’ah dan iddah sehingga hakim yang menjadi penentunya. Penelitian ini mengangkat permasalahan tentang perspektif dan sikap hakim dalam memutus perkara mut’ah dan nafkah iddah, dimana dengan perkembangan akan perjuangan hak-hak perempuan memunculkan konsep gender dan mendorong pada wacana tentang perlunya keadilan gender dalam segala aspek kehidupan sehingga putusan hakim dalam memberikan besarnya pemberian mut’ah dan nafkah iddah harus pula mencerminkan keadilan gender. Untuk mewujudkannya maka diperlukan kepekaan hakim (sensitivitas) gender hakim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber hukum utama yang digunakan oleh hakim dalam menyelesaikan perkara mut’ah dan nafkah idddah adalah Al Qur’an dan KHI. Besarnya pemberian mut’ah dan nafkah iddah berdasarkan pada kemampuan suami dan lamanya pernikahan. Hampir sebagian besar hakim sudah mempunyai sensitivitas gender yang ditunjukkan dengan ada upaya yang dilakukan hakim untuk memenuhi pemberian mut’ah dan nafkah iddah oleh suami,serta eksekusi terhadap mut’ah dan nafkah iddah pada saat ikrar talak diucapkan suami.

Kata kunci : sensitivitas gender, hakim, perspektif dan sikap, keadilan gender

ABSTRACT

Mut'ah and livelihood iddah is a consequence that should be given by the husband when divorce occurs (talak raj'i) for his ex-wife. Qur'an and KHI (Compilation of Islamic Law) does not further regulate the extent of the provision of mut'ah and iddah so that the judge becomes the determiner. This research raises the problem of perspective and judge's attitude in deciding mut'ah and iddah matters, in which the development of women's rights struggle raises the concept of gender and encourages the discourse on the need for gender justice in all aspects of life so that the judge's decision in giving the grant mut'ah and livelihood must also reflect gender equality. To make it happen, sensitivity of judges is needed. The results showed that the main sources of law used by judges in solving mut'ah and idddah matters were the Qur'an and KHI. The amount of giving mut'ah and livelihood iddah based on the ability of the husband and the length of marriage. Almost most of the judges already have gender sensitivity indicated by the efforts made by the judge to fulfill the giving of mut'ah and livelihood of the iddah by the husband, and the execution of mut'ah and livelihood of iddah at the time of the vow of the talak pronounced by the husband.

(2)

972

PENDAHULUAN

Pernikahan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Setiap orang menghendaki perkawinan yang

dilaksanakannya bisa kekal/anggeng sepanjang masa hidupnya, akan tetapi tidak dapat dielakkan

perkawinan harus putus di tengah jalan sehingga terjadi perceraian. Bagi mereka yang beragama Islam, ketika terjadi perceraian dengan jatuhnya talak oleh suami kepada istri (talak raj’i), maka terdapat kewajiban bagi suami untuk memberikan mut’ah dan nafkah iddah bagi mantan istrinya. Ketentuan ini terdapat dalam Surat Al Ahzab : 41 dan Al-Baqarah : 256-257. Nafkah Mut'ah

adalah pemberian dari bekas suami kepada istrinya yang dijatuhi talak berupa uang atau benda

lainnya. Sedangkan Nafkah Iddah adalah nafkah yang wajib diberikan kepada istri yang ditalak dan

nafkah ini berlangsung selama 3 bulan s / d 12 bulan tergantung kondisi haid istri yang dicerai. Besarnya pemberian nafkah mut’ah dan iddah Al Qur’an tidak mengatur lebih lanjut besarannya. Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) juga tidak dijelaskan secara rinci berapa kadar

nafkah terhadap istri. Hal itu terdapat pada Pasal 80 Ayat 2 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: “Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala suatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”. Adapun besarannya dalam KHI hanya

menyebutkan disesuaikan dengan kemampuan suami dan kepatutan. Dengan demikian tidak ada aturan yang rinci mengenai besarnya pemberian mut’ah dan nafkah iddah oleh suami kepada istri yang diceraikannya. Kondisi ini terbuka peluang penafsiran bagi hakim dalam memutus perkara

tersebut. Dengan kata lain hakimlah yang menjadi penentu untuk memberikan besarnya pemberian mut’ah dan nafkah iddah.

Berkaitan dengan tugas pokok seorang hakim adalah tidak sekedar memutus perkara yang

diajukan kepadanya akan tetapi sekaligus juga menyelesaikan perkara atau pertikaian tersebut

sehingga masing-masing pihak yang bersengketa merasa puas dan mendapatkan keadilan. Pada

dasarnya, tugas seorang hakim adalah sebuah tugas yang mulia sebagaimana dikatakan Roeslan Saleh bahwa “penjatuhan pidana adalah suatu pergulatan kemanusiaan”. Dikatakan demikian karena pada saat menjalankan tugasnya hakim harus menjalani pergulatan batin dengan harus

membuat pilihan-pilihan yang sering tidak mudah. Pada diri hakim dihadapkan dengan aturan

hukum, fakta-fakta, argumen jaksa, argumen terdakwa/advokat dan lebih dari itu harus meletakkan

telinganya di jantung masyarakat. Hakim bahkan harus mewakili suara rakyat yang unrepresented

dan under-represented (diam, tidak terwakili).2 Muara dari kegiatan pergulatan batin hakim

tersebut adalah dihasilkannya putusan pengadilan yang menjadi penentu kualitas dan kredibilitas

1

Lihat Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

2

(3)

973

seorang hakim, sebagaimana ungkapan bahwa mahkota atau wibawa hakim terletak pada putusan

yang dibuatnya. 3

Seiring dengan perkembangan akan perjuangan hak-hak perempuan yang memunculkan

konsep gender dan mendorong pada wacana tentang perlunya keadilan gender dalam segala aspek

kehidupan baik politik, hukum, ekonomi, sosial budaya dan kesamaan dalam menikmati hasil

pembangun, maka putusan hakim dalam memberikan besarnya pemberian mut’ah dan nafkah iddah

harus pula mencerminkan keadilan gender. Untuk mewujudkannya maka diperlukan kepekaan

hakim (sensitivitas) gender hakim dalam meyelesaiakan permasalahan tersebut. Dengan sensitivitas

gender hakim maka hakim dituntut untuk bersikap arif dan bijaksana dalam arti hakim harus

memperhatikan norma-norma yang adil gender yang hidup dalam masyarakat baik itu norma

hukum, agama, kesusilaan, dan memperhatikan situasi dan kondisi yang ada serta mampu

memperhitungkan akibat dari putusannya. 4

Bertolak dari fakta di atas penulis tertarik untuk mengkaji tentang Perspektif dan Sikap Hakim Dalam Memutus Perksara Mut’ah dan Nafkah Iddah di Pengadilan Agama Purwokerto, Banyumas, Purbalingga.

PERUMUSAN MASALAH

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Bagaimanakah perspketif dan sikap hakim dalam memutus perkara mut’ah dan nafkah iddah?

2. Bagaimanakah analisis sensitivitas gender hakim terhadap penyelesaian perkara mut’ah dan

nafkah iddah?

METODE PENELITIAN

Penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis empiris.

Metode pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan dan wawancara terhadap hakim yang pernah memutus perkara mut’ah dan nafkah iddah. Metode penentuan informan dilakukan dengan purposive sampling. Data dianalisis secara kualitatif dan content analysis.

PEMBAHASAN

Perspektif dan Sikap Hakim Dalam Memutus Perkara Mut’ah dan Nafkah Iddah

Berbicara tentang faktor-faktor yang memengaruhi bekerjanya hakim dalam memutus perkara yang berkaitan dengan perkara mut’ah dan nafkah iddah, maka berdasarkan pendapat

3

Zudan Arif Fakrulloh, Penegakan Hukum Sebagai Peluang Menciptakan Keadilan, Jurnal Jurisprucence, Vol. 2 No. 1, Maret 2005, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, hlm. 24.

4

(4)

974

Satjipto Rahardjo yang mengutip Chambliss dan Seidman mengenai unsur-unsur yang turut

menyumbang proses peradilan, sebagai berikut : 5

1. Bahan-bahan

Bahan-bahan yang masuk dan kemudian diolah oleh hakim menjadi putusan sesungguhnya

tidak terlepas dari kondisi sosial ekonomi dan latar belakang kultural masyarakat.

2. Kebijakan yang dipilih

Proses yang terjadi dalam persidangan tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan proses sosial

yang berjalan dalam masyarakat, artinya perubahan sosial yang berlangsung dalam masyarakat

juga akan mempengaruhi kebijakan yang dipilih dalam proses persidangan.

3. Ciri sosial dari pribadi hakim

Hakim dalam menjalankan pekerjaannya akan dipengaruhi oleh peranannya sebagai manusia,

yaitu :

a. Latar belakang perorangan, seperti mobilitas geografis, kelas sosialnya dan latar belakang

keluarganya.

b. Pola pendidikan dalam lingkup keluarganya, seperti birokratis, demokratis, liberal dll.

c. Keadaan-keadaan konkrit yang dihadapi hakim pada waktu memutus perkara.

4. Sosialisasi profesional hakim

Kebebasan berpikir hakim pada masa sekarang sudah berkurang sejalan dengan kompleksnya

birokrasi. Hakim banyak diikat oleh acuan-acuan berpikir berupa konsep-konsep,

pengertian-pengertian, konstruksi-konstruksi yang harus dikuasai dalam rangka menjalankan profesinya

yang mengurangi kebebasan hakim dalam berpikir. Tuntutan tersebut mengakibatkan

pentingnya sosialisasi profesional hakim yang merupakan keadaan yang harus dilalui oleh

hakim dalam pembentukan kepribadian dan keahliannya.

5. Kendala keadaan

Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa Hakim di dalam menjalankan tugasnya menghadapi

kendala keadaan seperti: 6 Hakim dalam menjalankan tugasnya didisiplinkan oleh sistem

expected reactions; Hakim menginginkan status, kekuasaan, dan kedudukan istimewa yang

semakin meningkat di masyarakat,

6. Kendala organisasi

Menurut Satjipto Rahardjo, lembaga pengadilan sebagai suatu organisasi mempunyai tujuan

yaitu mencapai sasaran yang dikehendaki dengan cara mengoperasionalkan unsur-unsur

organisasi.

5

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. 84-110.

6

(5)

975

Berkaitan dengan permalahan pertama yaitu tentang perspektif dan sikap hakim dalam memutus perkara mut’ah dan nafkah iddah penulis menggunakan dua indikator. Indikator pertama yaitu sumber hukum yang digunakan oleh hakim dalam memutus perkara mut’ah dan nafkah iddah. Indikator kedua yaitu besarnya pembagian harta waris, harta bersama, mut’ah dan nafkah iddah.

Indikator pertama, sumber hukum yang digunakan oleh hakim dalam memutus perkara mut’ah dan nafkah iddah, maka berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sumber hukum yang digunakan oleh hakim dalam memutus perkara mut’ah dan nafkah iddah adalah : Al Qur’an Surat Al Ahzab ayat 41 dan Al-Baqarah ayat 256-257, Hadis, UU Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam

(KHI), kitab fiqh, SEMA atau PERMA.

Dasar pemikiran hakim menggunakan sumber hukum tersebut antara lain : Dalam Al Qur’an sudah diatur secara jelas mengenai kewajibansuami untuk memberikan mut’ah dan nafkah iddah ketika menceraikan istrinya, tetapi tidak mengatur lebih lanjut besarnya pemberian tersebut

sehingga perlu menggunakan sumber hukum lain seperti Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Kitab

fiqh, Kompilasi Hukum Islam (KHI) menentukan besarnya pembagian harta bersama yang

besarnya disesuaiakan dengan kemampuan suami dan kepatutan.

Kontribusi putusan hakim yang menggunakan sumber hukum lain di luar Al Qur’an dan hadis dapat membuka kemungkinan penafsiran oleh para ahli fiqh sehingga lebih memenuhi unsur

keadilan karena disesuaikan dengan kondisi yang berkembang dalam masyarakat.

Selanjutnya berdasarkan indikator yang kedua, yaitu besarnya pemberian mut’ah dan nafkah iddah, maka berdasarkan hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa dalam menentukan besarnya pemberian mut’ah dan nafkah iddah Hakim tidak mendasarkan pada ketentuan dalam Al Qur’an sebab hanya mengatur mengenai kewajiban suami untuk memberikna mut’ah dan nafkah iddah kepada istrinya yang dicerai. Adapun ketentuan yang mengatur mengenai dasar pertimbangan dalam memberikan mut’ah dan nafkah iddah terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam yaitu berdasarkan kemampuan suami, kepatutan, lamanya pernikahan.

Analisis Sensitivitas Gender Hakim Terhadap Penyelesaian Perkara Mut’ah dan Nafkah

Iddah

Sensitivitas gender (gender sensitivity) hakim adalah kemampuan hakim untuk

memahami, merasakan, dan berpikir tentang adanya kesenjangan dalam hubungan antara

perempuan dan laki-laki. Sensitivitas gender diharapkan mampu menjadi alat untuk melihat

ketidakadilan yang muncul berkaitan dengan hubungan antara perempuan dan laki-laki baik di

ranah domestik maupun publik.7 Sejumlah Hakim di Mahkamah Syar’iyah Aceh menyusun

parameter sensitivitas gender yang dapat diadopsi dan diadaptasikan ke dalam konteks lain di luar Aceh. Salah satu parameter sensitivitaqs gender hakim dalam kaitannya dengan masalah mut’ah

7

(6)

976

dan nafkah iddah adalah meminta pihak suami untuk segera memenuhi kewajibannya sebelum ikrar

talak diucapkan. Kecuali untuk kasus-kasus KDRT yang membahayakan isteri/anak jika masih ada

dalam ikatan perkawinan itu. 8

Bertolak dari parameter yang disusun oleh Mahkamah Syariah Aceh, maka untuk

menjawab permasalahan kedua, yaitu analisis sensitivitas gender hakim terhadap penyelesaian perkara mut’ah dan nafkah iddah, penulis menggunakan indikator sebagai berikut : (1) Upaya hakim dalam pemenuhan mut’ah dan nafkah iddah oleh suami, (3) Eksekusi mut’ah dan nafkah iddah oleh suami.

Berdasarkan indikator yang pertama yaitu upaya hakim dalam pemenuhan mut’ah dan

nafkah iddah oleh suami, maka berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa hampir

semua hakim sudah mempunyai sensitivitas gender. Hal ini ditunjukkan dengan bentuk upaya

hakim antara lain :

(1) Suami yang tidak bekerja atau pengangguran sehingga dia tidak punya nafkah, tetap dibebani oleh hakim untuk memberikan mut’ah dan nafkah iddah, misalnya dia mempunyai harta warisan dari orang tuanya; Hakim akan memberikan sesuai dengan

kemampuan suami ;

(2) Hakim selalu memberikan mut’ah dan nafkah iddah meskipun istri tidak hadir dalam

persidangan;

(3) Hakim melakukan ultra petita dengan melipatkan dua sampai tiga kali mut’ah dan nafkah

iddah yang diminta istri.

Adapun dasar pemikiran hakim antara lain :

(1) Menurut hakim betapapun tidak mampunya seorang suami akan tetapi dia adalah laki-laki

yang diberikan kemampuan untuk berpikir dan melangkah melebihi perempuan.

(2) Mut’ah dan nafkah iddah adalah kewajiban yang harus diberikan oleh suami kepada

istrinya baik diminta maupun tidak.

Selanjutnya untuk indikator yang kedua, yaitu eksekusi mut’ah dan nafkah iddah, maka

berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa seluruh hakim sudah mempunyai sensitivitas gender. Hal ini ditunjukkan dengan hakim mewajibkan pembayaran mut’ah dan iddah harus sudah lunas ketika tahap pembacaan ikrar talak olah suami/eksekusi. Jika hal tersebut belum dilaksanakan

oleh suami maka hakim bisa menunda tahap eksekusi tersebut. Dasar pemikiran hakim antra lain ;

untuk melindungi kepentingan perempuan, hanya melalui tahap pembacaan ikrar talak hakim dapat memantau eksekusi mut’ah dan nafkah iddah; jika nilai nominal mut’ah dan iddah kecil kasian perempuan dapat dirugikan kalau harus mengajukan permohonan eksekusi karena harus mulai dari

awal lagi.

8

Abd. Moqsith Ghazali,dkk.Kumpulan Referensi Standar Evaluasi Hakim Dalam Menerapkan Sensitivitas

(7)

977

KESIMPULAN

1. Sumber hukum yang digunakan oleh hakim dalam menyelesaikan perkara mut’ah dan nafkah

idddah menggunakan sumber hukum Al Qur’an Surat Al Ahzab ayat 41 dan Al-Baqarah ayat

256-257, Hadis, UU Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI), kitab fiqh, SEMA atau

PERMA. Dalam menentukan besarnya pemberian mut’ah dan nafkah iddah Hakim tidak mendasarkan pada ketentuan dalam Al Qur’an sebab hanya mengatur mengenai kewajiban suami untuk memberikna mut’ah dan nafkah iddah kepada istrinya yang dicerai. Adapun ketentuan yang mengatur mengenai dasar pertimbangan dalam memberikan mut’ah dan

nafkah iddah terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam yaitu berdasarkan kemampuan suami,

kepatutan, lamanya pernikahan.

2. Hampir semua hakim sudah mempunyai sensitivitas gender yang ditunjukkan dengan ada upaya yang dilakukan hakim untuk memenuhi pemberian mut’ah dan nafkah iddah oleh suami, eksekusi terhadap mut’ah dan nafkah iddah pada saat ikrar talak diucapkan suami. Bentuk upaya yang dilakukan hakim antara lain : Suami yang tidak bekerja atau pengangguran sehingga dia tidak punya nafkah, tetap dibebani oleh hakim untuk memberikan mut’ah dan nafkah iddah, misalnya dengan harta warisan dari orang tuanya; Hakim selalu memberikan mut’ah dan nafkah iddah meskipun istri tidak hadir dalam persidangan; Hakim melakukan ultra petita dengan melipatkan dua sampai tiga kali mut’ah dan nafkah iddah yang diminta istri.

DAFTAR PUSTAKA

Ghazali, Abd. Moqsith,dkk. 2009, Kumpulan Referensi Standar Evaluasi Hakim Dalam

Menerapkan Sensitivitas Jender di Mahkamah Syar’iyah Aceh,Mahkamah Syar’iyah Aceh.

Mulia, Siti Musdah ed., 2001. Keadilan dan Kesetaraan Jender (Perspektif Islam), Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Departemen Agama Republik Indonesia, Jakarta.

Rahardjo, Satjipto, 2006, Membedah Hukum Progresif, Buku Kompas, Jakarta.

..., 2009, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta.

Zudan Arif Fakrulloh, Penegakan Hukum Sebagai Peluang Menciptakan Keadilan, Jurnal Jurisprucence, Vol. 2 No. 1, Maret 2005, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.

UUD 1945 Amanden

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

(8)

Referensi

Dokumen terkait

14 Dewi Yulianti dengan judul “Analisis Ijtihāt Hakim Dalam Menentukan Kadar Mut‟ah dan Iddah Studi Pengadilan Agama Kelas 1 A Tanjung Karang)”, Skripsi.. Skripsi ini

Sehingga dalam kasus ini yakni pemberian nafkah iddah dan mut’ah meskipun istri tidak menuntut atau meminta, maka majelis hakim tetap mencantumkan karena pembayaran nafkah

Berdasarkan tabel 14, hasil pengujian regresi hipotesis 4 diperoleh nilai r-square sebesar 0,038 yang menunjukkan bahwa besar pengaruh sensitivitas etika (SE)

Sedangkan untuk variabel status pekerjaan yang tidak memiliki hubungan signifikan tetapi memiliki nilai signifikan p < 0,25 selanjutnya di analisis multivariat

Kemudian pada birama 43 hingga bagian akhir komposisi dimainkan oleh combo band secara lengkap, yaitu; paduan suara dan solo vokal pria yang menggambarkan

(b) jika terjadi kesalahan hasil pengalian antara volume dengan harga satuan pekerjaan maka dilakukan pembetulan, dengan ketentuan volume pekerjaan sesuai dengan

Mengenal konsep penjumlahan dan perkalian dalam peluang Membedakan “kejadian saling lepas” dan ‘kejadian saling bebas” Menghitung peluang bersyarat dan menggunakan

Dari semua kompetensi inti (KI) dan kompetensi dasar (KD) yang harus dicapai, peneliti hanya mengkajiKD 3.12 menelaah struktur dan kebahasaan teks ulasan (film,