• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN - Diktat KKN 16.17 GANJIL (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN - Diktat KKN 16.17 GANJIL (1)"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada Pasal 20 ayat 2 dinyatakan : ”Perguruan Tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat”. Pada Pasal 24 ayat 2 disebutkan:”Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian masyarakat”.

Program pengabdian kepada masyarakat merupakan salah satu program yang wajib dilaksanakan, baik oleh dosen maupun oleh mahasiswa, dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip: kompetensi akademik, jiwa kewirausahaan (entrepreneurship), dan profesional, sehingga dapat menghasilkan program pengabdian kepada masyarakat yang bermutu, relevan, dan sinergis dalam meningkatkan pemberdayaan masyarakat.

Kuliah Kerja Nyata (KKN) merupakan salah satu bentuk pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh mahasiswa secara interdisipliner, institusional, dan kemitraan sebagai salah bentuk kegiatan tridharma perguruan tinggi. Seiring dinamika masyarakat, pemerintah daerah, pemerintah pusat maupun dunia global, maka program KKN di Unswagati diarahkan pada pola KKN berbasis pemberdayaan masyarakat.

KKN PKM adalah program KKN mandiri yang yang dilaksanakan di Unswagati dengan fokus yang spesifik yang mempunyai relevansi dengan program pembangunan daerah atau pemerintah pusat, relevan dengan kebutuhan masyarakat, dan relevan dengan visi, misi, renstra, kepakaran, dan IPTEKS yang dimiliki Unswagati.

1.2 Prinsip Dasar dan Pelaksanaan KKN-PKM 1.2.1 Prinsip Dasar

Seperti pola KKN sebelumnya, KKN PKM Unswagati dilaksanakan dengan mengacu pada prinsip :

a. Keterpaduan aspek Tri Dharma Perguruan Tinggi : aspek pendidikan dan pengajaran dan pengabdian kepada masyarakat yang berbasis penelitian menjadi landasan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan tolak ukur evaluasi KKN.

b. Pencapaian Tiga Manfaat Utama KKN : KKN PKM dilaksanakan untuk mencapai pengembangan kepribadian mahasiswa (personality development), pemberdayaan masyarakat (community empowerment) dan pengembangan institusi (institutional development ).

c. Empati - Partisipatif : KKN PKM dilaksanakan untuk menggerakkan masyarakat dalam pembangunan melalui berbagai kegiatan yang dapat melibatkan, mengikutsertakan, dan menumbuhkan rasa memiliki masyarakat terhadap pembangunan. KKN PKM dilaksanakan secara interaktif dan sinergis antara mahasiswa dan masyarakat. Konsekunsinya, keterlibatan kedua belah pihak dalam satiap kegiatan mutlak diperlukan. Keterlibatan itu dimulai sejak perncanaan program kegiatan lapangan, pelaksanaan, dan pengusahaan pendanaan. Untuk itu para mahasiswa dan pengelola KKN KKN PKM harus mampu mengadakan pendekatan sosio-kultural terhadap masyarakat sehingga lebih kooperatif dan partisipatif.

(2)

operasionalnya mahasiswa mengembangkan mekanisme pola pikir dan pola kerja interdisipliner untuk memecahkan permasalahan yang ada di lokasi KKN-PKM.

e. Komperehensif-Komplementatif dan berdimensi luas : KKN PKM berfungsi sebagai pengikat, perangkum, penambah dan pelengkap kurikulum yang ada. Dengan demikian diharapkan mahasiswa mampu mengaktualisasikan diri secara profesional dan proporsional. f. Realistis-Pragmatis : Program-program kegiatan yang direncanakan pada dasarnya

bertumpu pada permasalahan dan kebutuhan nyata di lapangan, dapat dilaksanakan sesuai dengan daya dukung sumber daya yang tersedia di lapangan, dan memberikan manfaat bagi masyarakat, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

g. Enviromental development : KKN PKM dilaksanakan untuk melestarikan dan mengembangkan lingkungan fisik dan sosial untuk kepentingan bersama. KKN mampu mengidentifikasi permasalahan yang ada di masyarakat sesuai dengan sumber daya yang dimiliki. Dengan harapan masyarakat mampu berswadaya, berswakelola dan berswadana dalam pembangunan.

Mengacu pada prinsip-prinsip tersebut, maka diharapkan mahasiwa KKN PKM mampu mengidentifikasi permasalahan secara cermat yang ada di masyarakat dan bersama masyarakat menyusun langkah penyelesaiannya sesuai dengan sumber daya yang dimiliki. Dengan harapan, masyarakat mampu berswadaya, berswakelola, dan berswadana dalam pembangunan.

1.2.2. Prinsip Pelaksanaan

Pelaksanaan kegiatan KKN PKM dilakukan dengan karakteristik sebagai berikut :

a. Co-creation (gagasan bersama) : KKN PKM dilaksanakan berdasar pada suatu tema dan program yang merupakan gagasan bersama antara universitas (dosen, mahasiswa, Pusat Studi) dengan pihak Pemerintah Daerah (Lingkungan, Desa atau Kecamatan), mitra kerja dan masyarakat setempat.

b. Co-financing/co-funding (dana bersama) : KKN PKM dilaksanakan dengan pendanaan bersama antara mahasiswa pelaksana, universitas dengan pihak Pemerintah Daerah, mitra kerja dan masyarakat setempat, disesuaikan dengan tema dan program yang telah disepakati.

c. Flexibility (keluwesan) : KKN PKM dilaksanakan berdasarkan pada suatu tema dan program yang sesuai dengan situasi dan kebutuhan Pemerintah Daerah, mitra kerja dan masyarakat dalam proses pembangunan di daerah. Mahasiswa dapat memilih tema dan waktu pelaksanaan KKN PKM yang ditawarkan universitas sesuai dengan keinginannya.

d. Sustainability (berkesinambungan) : KKN PKM dilaksanakan secara berkesinambungan berdasarkan suatu tema dan program yang sesuai dengan tempat dan target tertentu.

e. KKN PKM sedapat mungkin dilaksanakan berbasis riset (Research based Community Services).

1.3. Tujuan, Khalayak Sasaran dan Manfaat 1.3.1. Tujuan Umum

Sebagai program kurikuler, pelaksanaan KKN PKM sebagai transformasi pola KKN di Unswagati mempunyai tujuan :

(3)

2. Menstransformasi pola KKN Reguler dengan paradigma berbasis pembangunan (development) menjadi KKN berbasis pembelajaran dan pemberdayaan (learning and empowerment).

3. Menerapkan KKN PKM sebagai pola KKN baru di Unswagati.

4. Melatih mahasiswa dalam menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya yang diperoleh di bangku kuliah untuk diterapkan dalam memecahkan masalah-masalah yang ada di masyarakat.

5. Melatih dan mengembangkan softskills dan karakter mahasiswa,

6. Melatih mahasiswa untuk memahami kondisi masyarakat khususnya di lokasi KKN, sehingga mahasiswa memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap masyarakat

7. Menyiapkan calon pemimpin bangsa yang berpihak kepada kejujuran, keadilan, dan kebenaran.

1.3.2. Tujuan Khusus

Sebagai bagian dari program pengabdian kepada masyarakat maka KKN PKM memiliki tujuan khusus sebagai berikut:

1. Meningkatkan empati dan kepedulian mahasiswa.

2. Melaksanakan terapan Ipteks, seni dan budaya secara teamwork dan interdisipliner kepada masyarakat.

3. Melatih dan menanamkan nilai kepribadian mahasiswa

- Nasionalisme dan jiwa Pancasila

- Keuletan, etos kerja dan tangung jawab

- Kemandirian, kepemimpinan dan kewirausahaan

- Meningkatkan daya saing nasional

- Menanamkan jiwa peneliti

- Eksploratif dan analisis

- Mendorong learning community dan learning society.

4. Melatih mahasiswa dalam memecahkan masalah pembangunan di masyarakat, serta menggali berbagai kondisi masyarakat sebagai umpan balik (feed back) bagi universitas dalam pengembangan tridharma perguruan tinggi.

5. Melatih mahasiswa dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi suatu program di masyarakat.

1.3.3. Khalayak Sasaran

Sasaran KKN PKM adalah masyarakat umum mulai pranata sosial yang kecil (RT, RW, Lingkungan, dan desa/kelurahan), masyarakat industri terutama kelompok pengusaha mikro, kecil dan menengah, pemerintah daerah.

1.3.4. Manfaat

KKN PKM diharapkan dapat memberikan manfaat kepada mahasiswa, masyarakat dan pemerintah daerah, perguruan tinggi sebagai berikut :

(1) Mahasiswa

a. Memperdalam pengertian terhadap cara berfikir dan bekerja secara interdisipliner sehingga dapat menghayati adanya ketergantungan kaitan dan kerjasama antar sektor. b. Memperdalam pengertian dan penghayatan terhadap pemanfaatan ilmu pengetahuan,

(4)

c. Memperdalam pengertian dan penghayatan mahasiswa terhadap seluk beluk keseluruhan dari masalah pembangunan dan perkembangan masyarakat.

d. Mendewasakan cara berfikir serta meningkatkan daya penalaran mahasiswa dalam melakukan penelaahan, perumusan dan pemecahan masalah secara pragmatis ilmiah. e. Memberikan keterampilan kepada mahasiswa untuk melaksanakan pembangunan dan

pengembangan masyarakat berdasarkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni secara interdisilipliner atau antar sektor.

f. Membina mahasiswa menjadi motivator, dinamisator dan problem solver

g. Memberikan pengalaman belajar sebagai kader pembangunan sehingga terbentuk sikap dan rasa cinta terhadap kemajuan masyarakat

h. Melalui pengalaman bekerja dalam melakukan penelaahan, merumuskan dan memecahkan masalah secara langsung akan lebih menumbuhkan sifat profesionalisme pada diri mahasiswa dalam arti peningkatan keahlian, tanggung jawab maupun rasa kesejawatan

(2) Masyarakat, Mitra dan Pemerintah Daerah

a. Memperoleh bantuan pemikiran, tenaga, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan

b. Memperoleh cara-cara baru yang dibutuhkan untuk merencanakan, merumuskan dan melaksanakan pembangunan

c. Memperoleh pengalaman dalam menggali serta menumbuhkan potensi swadaya masyarakat sehingga mampu berpartisipasi aktif dalam pembangunan

d. Terbentuknya kader-kader penerus pembangunan di dalam masyarakat sehingga terjamin kelanjutan upaya pembangunan

e. Memanfaatkan bantuan pemikiran mahasiswa dalam melaksanakan program dan proyek pembangunan yang berada di bawah tanggung jawabnya.

f. Memajukan institusi

g. Menjadikan dunia industri sebagai subyek transfer knowledge melalui transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi.

h. Terbentuknya link and mach antara dunia pendidikan tinggi dengan dunia usaha/industri sebagai stakeholder.

i. Terciptanya sinergitas dalam penerapan inovasi baru bagi kalangan dunia industri sebagai alternatif dalam pemecahan masalah.

J. Dapat membantu dunia industri dalam mengatasi masalah administratif maupun yang bersifat managerial.

k. Mengembangkan dan memajukan industri

(3) Perguruan Tinggi

a. Memperoleh umpan baik sebagai hasil pengintegrasian mahasiswanya dengan proses pembangunan ditengah-tengah masyarakat sehingga kurikulum, materi perkuliahan dan pembangunan ilmu pengetahuan yang diasuh diperguruan tinggi dapat lebih disesuaikan dengan tuntutan nyata dari pembangunan.

(5)

c. Memperoleh hasil kegiatan mahasiswa, dapat menelaah dan merumuskan keadaan/ kondisi masyarakat yang berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni serta dapat mendiagnosa secara tepat kebutuhan masyarakat sehingga ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang diamalkan dapat sesuai dengan tuntutan nyata d. Meningkatkan, memperluas dan mempererat kerjasama dengan instansi terkait atau

departemen lain melalui kerjasama mahasiswa yang melaksanakan KKN.

(6)

BAB II

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 2.1. Pengertian dan Hakikat Pemberdayaan Masyarakat

Istilah pemberdayaan (empowerment) bukanlah istilah baru dikalangan LSM, akademisi, organisasi sosial kemasyarakatan, bahkan pemerintah seklipun. Ia muncul hampir bersamaan dengan adanya kesadaran akan perlunya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Diasumsikan bahwa kegiatan pembangunan itu mestinya mampu merangsang proses pemandirian masyarakat (self sustaining process). Dan ada hipotesis bahwa tanpa partisipasi masyarakat niscaya tidak akan diperoleh kemajuan yang berarti dalam proses pemandirian tersebut. Adanya gagasan bahwa partisipasi masyarakat itu seyogyanya merefleksikan pemandirian bukanlah tanpa alasan. Diasumsikan tanpa adanya pemandirian maka suatu bentuk partisipasi masyarakat itu tidak lain adalah proses mobilisasi belaka.

Dalam tataran konseptual istilah pemberdayaan itu nampaknya tidak ada persoalan untuk dapat dicerna. Ia berkait erat dengan proses transformasi sosial, ekonomi, politik dan budaya. Per definisi, pemberdayaan ialah proses penumbuhan kekuasaan dan kemampuan diri dari kelompok masyarakat yang miskin/lemah, terpinggirkan, dan tertindas. Melalui proses pemberdayaan diasumsikan bahwa kelompok masyarakat dari strata sosial terendah sekali pun bisa saja terangkat dan muncul menjadi bagian dari lapisan masyarakat menengah dan atas. Ini akan terjadi bila mereka bukan saja diberi kesempatan akan tetapi mendapatkan bantuan atau terfasilitasi pihak lain yang memiliki komitmen untuk itu. Kelompok miskin di pedesaan misalnya, niscaya tidak akan mampu melakukan proses pemberdayaan sendiri tanpa bantuan atau fasilitasi pihak lain. Harus ada sekelompok orang atau suatu institusi yang bertindak sebagai pemicu keberdayaan (enabler) bagi mereka.

Pemberdayaan Masyarakat dengan demikian sama sekali berbeda dengan apa yang biasa disebut dengan pendekatan karitatif (memberi bantuan dengan dasar belas kasihan) dan pengembangan masyarakat (community development) yang biasanya berisi pembinaan, penyuluhan, bantuan teknis dan menejemen serta mendorong keswadayaan. Dua pendekatan ini biasanya berupa intervensi dari orang luar yang mengambil inisiatif, memutuskan dan melakukan sesuai pikirannya sendiri. Masyarakat 'diikutkan' sebagai obyek pembangunan. Pihak luar berperan sebagai pembina, penyuluh, pembimbing dan pemberi bantuan.

Pemberdayaan adalah proses dari, oleh dan untuk masyarakat, di mana masyarakat didampingi/difasilitasi dalam mengambil keputusan dan berinisiatif sendiri agar mereka lebih mandiri dalam pengembangan dan peningkatan taraf hidupnya. Masyarakat adalah subyek pembangunan. Pihak luar berperan sebagai fasilitator.

Memahami konsep pemberdayaan masyarakat secara mendasar berarti menempatkan rakyat beserta institusi-institusinya sebagai kekuatan dasar bagi pembangunan ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Pemberdayaan masyarakat sebenarnya bukan saja berupa tuntutan atas pembagian secara adil aset ekonomi tetapi juga merupakan keniscayaan ideologis dengan semangat meruntuhkan dominasi-dominasi birokrasi dalam mengatur dan menentukan berbagai bidang kehidupan rakyat.

(7)

mau gagasan pemberdayaan rakyat harus dibarengi dengan perubahan kultural ditingkat perilaku politik terutama perilaku birokrasi dan legislatif. (Adi Sasono, 1998).

Berangkat dari pengertian diatas, dapatlah dimengerti bahwa hakikat pemberdeayaan adalah upaya melepaskan berbagai bentuk dominasi budaya, tekanan politik, eksploitasi ekonomi, yang menghalangi upaya masyarakat menentukan masalahnya sendiri serta upaya-upaya mengatasinya.

2.2. Partisipasi Sebagai Dasar Pemberdayaan Masyarakat

Elemen dasar proses pemberdayaan masyarakat adalah: partispasi dan mobilisasi sosial (social mobilisation). Disebabkan lemahnya pendidikan, ekonomi dan segala kekurangan yang dimiliki, penduduk miskin secara umum tidak dapat diharapkan dapat mengorganisir diri mereka tanpa bantuan dari luar. Hal yang sangat esensial dari partisipasi dan mobilisasi sosial ini adalah membangun kesadaran akan pentingnya mereka menjadi agen perubahan sosial.

Partisipasi telah banyak ditafsirkan orang. Berbagai penafsiran itu antara lain sebagai beriut:

1. 'Dalam kaitannya dengan pembangunan pedesaan,. . . partisipasi berarti melibatkan rakyat dalam proses pengambilan keputusan, pelaksanaan program, pembagian manfaat dan keterlibatan mereka dalam upaya evaluasi program.' (Cohen dan Uphoff, 1977)

2. ‘Partisipasi adalah dikaitkan dengan upaya terorganisir untuk meningkatkan kontrol terhadap sumberdaya dan lembaga-lembaga pembuat kebijakan.' (Pearse dan Stifel, 1979) 3. 'Partisipasi masyarakat adalah proses aktif yang dilakukan untuk mempengaruhi corak dan pelakanaan proyek-proyek pembangunan oleh masyarakat atas dasar pandangan yang menguntungkan bagi perbaikan kehidupan mereka, peningkatan pendapatan, perkembangan individu, dan keswadayaan atau nilai-nilai lain yang mereka hargai.' (Paul, 1987)

4. 'Partisipasi dapat diartikan sebagai proses pemberdayaan kelompok masyarakat yang tertinggal dan terpinggirkan. Pandangan ini didasarkan pada pengakuan atas perbedaan-perbedaan dalam kekuatan ekonomi dan politik diantara kelompok-kelompok dan klas sosial yang berbeda. Partisipasi dalam hal ini merupakan kreasi dari organisasi-organisasi kelompok miskin yang demokratis, independen dan mandiri.' (Ghai, 1990)

5. 'Pembangunan yang partisipatif mencirikan kerjasama (partnership) yang didasarkan atas dialog diantara para pelaku, dimana semua agenda disusun bersama, dan pandangan lokal serta pangalaman-pengalaman asli dihormati dan di perjuangkan. Ini lebih merupakan negosiasi dari sekedar dominasi dari kekuatan eksternal yang menyusun agenda proyek. Sehingga rakyat menjadi pelaku dan tidak sekedar penerima manfaat.' (OECD, 1994). 6. 'Partisipasi adalah sebuah proses dimana stakeholders mempengaruhi dan mengontrol

inisiatif pembangunan, pengambilan keputusan dan sumberdaya yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka.' (World Bank, 1994).

Dari penafsiran atas partisipasi tersebut, dapatlah di simpulkan bahwa situasi partisipatif akan dapat terjadi bila :

a) Manipulasi dapat dihindari dengan menjauhkan proses indoktrinasi dari yang kuat kepada yang lemah.

(8)

c) Ada komunikasi timbal balik dimana stakehoilder mempunyai kesempatan untuk menyatakan perhatian dan pikirannya sungguhpun tidak mesti pikiran mereka akan digunakan

d) Stakeholder berinteraksi untuk saling memahami untuk membangun konsensus melalui proses negosiasi.

e) Pengambilan keputusan dilakukan secara kolektif.

f) Adanya pemahaman dan pembagian resiko diantara stakeholders. g) Adanya kerjasama (Partnership) untuk mencapai tujuan bersama. h) Pengelolaan bersama (Self-management) diantara stakeholders.

(diadopsi dari UNCDF, 1996) .

2.3. Strategi Pemberdayaan Masyarakat

Uraian diatas memberikan penjelasan bahwa peristiwa pembangunan tidaklah cukup dipahami sebagai peristiwa ekonomi ansih. Setiap peristiwa pembangunan selalu memiliki dimensi ekonomi, politik, dan budaya. Oleh karena itu dapat dipahami mengapa berbagai upaya yang hanya berdimensi ekonomi selalu menemui kekagagalan dan tidak membawa perubahan yang cukup berarti. Upaya pemberdayaan masyarakat merupakan jalan yang panjang dan penuh tantangan baik internal maupun eksternal. Hanya dengan komitmen yang kuat dan keberpihakan terhadap rakyat yang tulus serta upaya yang sungguh-sungguh pemberdayaan masyarakat dapat dikembangkan.

Pemberdayaan masyarakat membutuhkan komitmen yang kuat dari pemerintah, legislatif, para pelaku ekonomi, rakyat, lembaga-lembaga pendidikan serta organisasi-organisasi non pemerintah. Cara kerja yang langsung berhubungan dengan masyarakat dilapis bawah memberikan peluang yang luas untuk menggerakkan dan melancarkan proses belajar masyarakat dalam membangun kehidupannya melalui kerja-kerja konkrit dan melalui uji coba-uji coba dalam skala mikro, kecil dan menengah. Dalam kaitan ini fasilitator pemberdayaan masayarakat memiliki peran penting dan strategis. Fasilitator bukanlah pekerja ansih yang bekerja dengan model “tukang” tetapi mereka adalah aktivis yang bekerja penuh komitmen dan kreativitas serta memiliki semangat tinggi membantu masyarakat belajar membebasakan dirinya dari segala bentuk dominasi yang memiskinan dan dan membodohkan.

Tugas utama fasilitator pemberdayaan masyarakat adalah mengembangkan pembelajaran bagi masyarakat lokal untuk membangun tingkat kemandirian dalam menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Bersamaan dengan itu, membangun kesadaran kritis masyarakat terhadap berbagai format ekonomi-politik yang berlangsung secara mapan dibarengi dengan memperkuat kemampuan masyarakat untuk berdialog sehingga mempunyai kapasitas transaksional dan diharapkan bisa mengambil posisi tawar yang kuat dengan kekuatan lain. Upaya-upaya itu harus disertai dengan menggalang kemampuan untuk membetuk aliansi strategis dengan kekuatan-kekuatan lain agar mampu mempengaruhi perubahan-perubahan kebijakan yang lebih menguntungkan bagi kehidupan mereka.

Berdasar uraian tersebut, maka upaya pemberdayaan masyarakat haruslah melibatkan beberapa pendekatan dan strategi sebagai berikut:

(9)

b. Membangun kembali kelembagaan rakyat. Peran serta masyarakat menjadi keniscayaan bagi semua upaya pemberdayaan masyarakat. Peran serta masyarakat secara teknis membutuhkan munculnya kelembagaan sosial, ekonomi dan budaya yang benar-benar diciptakan oleh masyarakat sendiri.

c. Pengembangan kesadaran rakyat . Karena peristiwa ekonomi juga merupakan peristiwa politik atau lebih dikenal politik ekonomi, maka tindakan yang hanya ber-orientasi memberikan bantuan teknis jelas tidak memadai. Yang diperlukan adalah tindakan politik yang berasis pada kesadaran rakyat untuk membebaskan diri dari belenggu kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik yang menghambat proses demokratisasi ekonomi. Pendidikan alternatif dan kritis merupakan pendekatan yang sangat penting sebagai upaya membangun kesadaran rakyat. d. Redistribusi sumberdaya ekonomi merupakan syarat pokok pemberdayaan rakyat .

Redistribusi aset bukanlah sejenis hibah. Tapi merupakan keikutsertaan dalam pengambilan keputusan dalam pengelolaan sumberdaya ekonomi nasional serta pendayagunaannya dengan segala resiko dan keuntungan yang akan dihadapi.

e. Menerapkan model pembangunan berkelanjutan . Sudah tidak jamannya lagi mempertentangkan pendekatan ekonomi dan lingkungan. Memperpanjang perdebatan masalah ini akan memperpanjang deretan kerusakan sumberdaya lingkungan yang mengancam terhadap proses pembangunan itu sendiri. Yang harus diwujudkan adalah setiap peristiwa pembangunan harus mampu secara terus menerus mengkonservasi daya dukung lingkungan. Dengan demikian daya dukung lingkungan akan dapat dipertahankan untuk mendukung pembangunan.

f. Kontrol kebijakan dan advokasi . Upaya menciptakan sistem ekonomi modern dan meninggalkan sistem ekonomi primitif (primitive capitalisme) haruslah didukung oleh berbagai kebijakan politik yang memadai oleh pemerintah. Agar kebijakan pemerintah benar-benar mendukung terhadap upaya pemberdayaan rakyat maka kekuasaan pemerintahan harus dikontrol. Setiap kebijakan yang bertentangan dengan upaya pemberdayaan rakyat haruslah diadvokasi. Untuk ini sangatlah penting munculnya kelompok penekan yang melakukan peran kontrol terhadap kebijakan.

g. Pengembangan sektor ekonomi strategis sesuai dengan kondisi lokal (daerah ). Ini merupakan upaya untuk menggeret gerbong ekonomi agar ekonomi rakyat kembali bergerak. Yang dimaksud produk strategis (unggulan) di sini tidak hanya produksi yang ada di masyarakat laku di pasaran, tetapi juga unggul dalam hal bahan baku dan teknis produksinya, serta memiliki keterkaitan sektoral yang tinggi.

h. Mengganti pendekatan kewilayahan administratif dengan pendekatan kawasan. Pemberdayaan masyarakat tidak mungkin didasarkan atas kewilayahan administratif. Pendekatan kewilayahan administratif adalah pendekatan birokrasi/kekuasaan. Pendekatan kawasan berarti lebih menekankan pada kesamaan dan perbedaan potensi yang dimiliki oleh suatu kawasan tertentu. Dengan pendekatan ini akan memungkinkan terjadinya pemberdayaan masayarakat dalam skala besar disamping keragaman model yang didasarkan atas keunggulan antara kawasan satu dengan lainnya. Lebih lanjut akan memungkinkan terjadinya kerjasama antar kawasan yang lebih produktif.

(10)

menggerakkan proses pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan mereka sangat penting untuk dikembangkan.

j. Membangun jaringan ekonomi strategis . Jaringan ekonomi strategis akan berfungsi untuk mengembangkan kerjasama dalam mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki kelompok ekonomi satu dengan lainnya baik dalam bidang produksi, pemasaran, teknologi dan permodalan. Disamping itu jaringan strategis juga akan berfungsi sebagai media pembelajaran rakyat dalam berbagai aspek dan advokasi.

2.4 Peran Komunitas Riset dan Pemberdayaan Masyarakat

Beberapa isu strategis berikut mungkin penting untuk diperhatikan oleh komunitas riset dan pemberdayaan masyarakat :

a. Membangun wacana publik bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Hal ini penting mengingat dalam perubahan-perubahan kedepan situasi konflik akan terus mewarnai proses perubahan masyarakat dan hal ini tidak mungkin dihindari sebagai proses yang wajar menuju demokrasi;

b. Mengembangkan model pembangunan yang benar-benar berbasis pada sumberdaya lokal dan keilmuan lokal;

c. Membangun basis-basis pengembangan keilmuan yang benar-benar relevan bagi kebutuhan masyarakat disatu sisi dan dalam rangka merespon perubahan global yang sangat dinamis disisi lain.

d. Mengembangkan pusat-pusat belajar masyarakat (community learning center). Hal ini sangat penting kaitannya dengan penyiapan sumberdaya manusia.

e. Membantu pengembangan studi-studi kebijakan baik tingkat lokal, nasional maupun internasional dalam rangka policy reform.

Untuk dapat menggarap isyu-isyu strategis tersebut sangat diperlukan perubahan pandangan yang lebih terbuka dari komunitas riset dan pemberdayaan masyarakat untuk membangun kerjasama-kerjasama strategis dengan kekuatan-kekuatan lain seperti pemerintah, legislatif, pengusaha, organisasi-organisasi sosial, LSM baik pada level lokal, nasional maupun internasional.

Dalam kaitan dengan pengembangan partisipasi rakyat, komunitas riset dan pemberdayaan masayrakat harus benar-benar memahami konsep Participatory Research (PR), yang dikembangkan dari pengalaman “Popular Education” dan “Grass-roots Activism” yang telah terbukti benar-benar bermanfaat. Dasar pemikiran PR adalah membangun kekuasaan rakyat (“popular power”) yakni mekanisme investigasi untuk membangun perlawanan terhadap kekuasaan (“counter-power”) dan perlawanan dominasi (“counter domination”) untuk menciptakan transformasi sosial dalam hubungannya dengan pencitaan ilmu pengetahuan rakyat (“production of people knowledge”). Gerakan pendidikan kritis ini lebih diarahkan untuk meningkatkan 'popular-power' sebagai jalan keluar masyarakat untuk membangun diri mereka sendiri (Faqih, 1993).

Dari pengalaman dalam program-program popular education, terutama yang banyak dilakukan oleh NGO di Asia dan Amerika Latin, dan Afrika, dapatlah dikemukakan disini bahwa proses-proses kegiatan-kegiatan tersebut antara lain meliputi :

1. Memulai dengan kegiatan kecil yang dianggap penting dan dapat dilakukan oleh rakyat; 2. Melalui kegiatan terebut membangun kesadaran kritis dan pemberdayaan proses-proses

belajar rakyat;

(11)

4. Mengatasi masalah-masalah ketidakadilan dan ketimpangn internal;

5. Mendorong kelompok-kelompok sosial untuk menentukan tujuan-tujuan dan rencana-rencana lebih jauh dan lebih besar,

6. Mengembangkan aksi-aksi penelitian kritis lebih luas,

7. Membangun kerjasama-kerjasama antar kelompok-kelompok lokal; 8. Membangun ketrampilan komunikasi yang lebih luas;

9. Membangun jaringan dengan intelektual dan politik yang kritis dan memiliki kepedulian; 10.Meningkatkan kemampuan dalam mengontrol manipulasi dan penyimpangan-penyimpangan

politik oleh penguasa; dan

11.Mengembangkan strategi-strategi politik;

12.Mempengaruhi dan mewarnai keputusan dan kebijakan.

Tahapan terebut tidak senantiasa berjalan linier dan sistematis. Implementasinya sangat ditentukan oleh proses-proses yang diciptakan oleh masyarakat sendiri.

BAB III

(12)

3.1 Pengertian IPM

Pembangunan Manusia adalah pembangunan manusia seutuhnya, bernilai hakiki dan sangat kompleks arti harfiahnya. Dalam kajian ini yang dimaksud dengan pembangunan manusia adalah upaya-upaya menciptakan manusia yang berpengetahuan sebagai refleksi tingkat capaian sumber daya manusia yang berkualitas, hidup sehat dan berusia panjang sehingga mampu beraktifitas secara ekonomi untuk meperoleh penghasilan yang layak dan pada akhirnya bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dengan baik.

Indeks Pembangunan Manusia adalah indeks komposit yang terdiri dari tiga komponen dasar yaitu indeks pendidikan, indeks kesehatan dan indeks daya beli. Indeks Pembangunan Manusia akan mempunyai makna apabila hasil penghitungan indeks kompositnya yang berupa besaran tertentu dipadukan ke dalam tabel standard yang berisi ukuran status atau klasifikasi. Artinya berapa besar IPM suatu daerah dibandingkan dengan tabel standar.

Indeks pendidikan didefinisikan sebagai refleksi keberhasilan pembangunan di bidang pendidikan. Indeks pendidikan juga merupakan besaran kuantitatif tertentu sebagaimana Indeks Pembangunan Manusia. Hanya saja Indeks Pembangunan Manusia merupakan ukuran status kinerja pembangunan manusia, sedangkan indeks pendidikan merupakan derajat pendidikan yang terukur atas tingkat capaian pembangunan di bidang pendidikan.

Indeks kesehatan didefinisikan sebagai refleksi keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan. Indeks kesehatan juga merupakan besaran kuantitatif tertentu sebagaimana Indeks Pembangunan Manusia. Hanya saja Indeks Pembangunan Manusia merupakan ukuran status kinerja pembangunan manusia, sedangkan indeks kesehatan merupakan derajat kesehatan yang terukur atas tingkat capaian pembangunan di bidang kesehatan.

Indeks daya beli didefinisikan sebagai refleksi keberhasilan pembangunan di bidang kesejahteraan sosial ekonomi. Indeks daya beli juga merupakan besaran kuantitatif tertentu sebagaimana Indeks Pembangunan Manusia. Indeks daya beli merupakan derajat kesejahteraan sosial ekonomi yang terukur atas tingkat capaian pembangunan di bidang ekonomi.

Konsep Pembangunan Manusia yang dikembangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menetapkan peringkat kinerja pembangunan manusia pada skala 0,0 – 100,0 dengan kategori sebagai berikut :

– Tinggi : IPM lebih dari 80,0 – Menengah Atas : IPM antara 66,0 – 79,9 – Menengah Bawah : IPM antara 50,0 – 65,9 – Rendah : IPM kurang dari 50,0

3.2 Konsep Penghitungan IPM

IPM merupakan suatu indeks komposit yang mencakup tiga bidang pembangunan manusia yang dianggap sangat mendasar yaitu usia hidup (longevity), pengetahuan (knowledge), dan standar hidup layak (decent living).

1. Usia Hidup

(13)

dinilai tidak peka bagi negara-negara industri yang telah maju. Seperti halnya IMR, e0 sebenarnya merefleksikan keseluruhan tingkat pembangunan dan bukan hanya bidang kesehatan. Di Indonesia eo dihitung dengan metode tidak langsung. Metode ini menggunakan dua macam data dasar yaitu rata-rata anak yang dilahirkan hidup dan rata-rata anak yang masih hidup.

2. Pengetahuan

Selain usia hidup, pengetahun juga diakui secara luas sebagai unsur mendasar dari pembangunan manusia. Dengan pertimbangan ketersediaan data, pengetahuan diukur dengan dua indikator yaitu angka melek huruf (Literacy Rate) dan rata-rata lama sekolah (Mean Years School).

3. Standar Hidup Layak

Selain usia hidup, dan pengetahuan unsur dasar pembangunan manusia yang diakui secara luas adalah standar hidup layak. Banyak indikator alternatif yang dapat digunakan untuk mengukur unsur ini. Dengan mempertimbangkan ketersediaan data secara internasional UNDP, memilih GDP (Gross Domestic Product/Produk Domestik Bruto) per kapita riil yang telah disesuaikan (adjusted real GDP per capita) sebagai indikator hidup layak. Berbeda dengan indikator untuk kedua unsur IPM lainnya, indikator standar hidup layak diakui sebagai indikator input, bukan indikator dampak, sehingga sebenarnya kurang sesuai sebagai unsur IPM. Walaupun demikian UNDP tetap mempertahankannya karena indikator lain yang sesuai tidak tersedia secara global. Selain itu, dipertahankannya indikator input juga merupakan argumen bahwa selain usia hidup dan pengetahuan masih banyak variabel input yang pantas diperhitungkan dalam perhitungan IPM. Dilemanya, memasukkan banyak variabel atau indikator akan menyebabkan indikator komposit menjadi tidak sederhana. Dengan alasan itu maka GDP riil per kapita yang telah disesuaikan dianggap mewakili indikator input IPM lainnya.

Beberapa tahapan dalam penghitungan IPM dapat dijelaskan sebagai berikut :

Tahap pertama penghitungan IPM adalah menghitung indeks masing-masing komponen IPM (Indeks Harapan Hidup = X1, Pengetahuan = X2 dan Standar Hidup Layak = X3).

Indeks (Xi) = (Xi – Xmin)/(Xmaks – Xmin)

Dimana :

Xi : Indikator komponen pembangunan manusia ke-i, i= 1,2,3 Xmin : Nilai minimum Xi

Xmaks : Nilai Maksimum Xi

Nilai Maksimum dan Nilai Minimum Indikator Komponen IPM

Tahapan kedua perhitungan IPM adalah menghitung rata-rata sederhana dari masing-masing indeks Xi dengan rumus:

IPM = {X1 + X2 + X3} / 3 dimana :

X1 = Indeks Angka Harapan Hidup

(14)

Tabel 1. Perhitungan IPM

Tahap ketiga adalah menghitung Reduksi Shortfall, yang digunakan untuk mengukur kecepatan perkembangan nilai IPM dalam suatu kurun waktu tertentu.

r = { (IPM t+n – IPM t)/(IPM ideal – IPM t) x 100 }1/n Dimana:

IPMt = IPM pada tahun t IPMt+n = IPM pada tahun t+n IPM ideal = 100

3.3 Data IPM Kota dan Kabupaten Jawa Barat

Berdasarkan data BPS Provinsi Jawa Barat tahun 2010 – 2014, IPM Jawa Barat walaupun tidak signifikan mengalami peningkatan pada tahun 2014 mencapai 68.80, tampak pada tabel berikut :

Tabel 2. IPM Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat dan Tahun 2010-2014 No

(15)

20 Cirebon 63.64 64.17 64.48 65.06 65.53

21 Pangandaran 64.73 65.29

22 Bandung Barat 61.34 62.36 63.17 63.93 64.27 23 Sukabumi 60.69 61.14 62.27 63.63 64.07 24 Majalengka 62.30 62.67 63.13 63.71 64.07 25 Indramayu 60.86 61.47 62.09 62.98 63.55 26 Tasikmalaya 60.21 61.05 61.69 62.40 62.79 27 Garut 60.23 60.55 61.04 61.67 62.23 28 Cianjur 58.58 59.38 60.28 61.68 62.08 Sumber : BPS Jawa Barat, 2015

(16)

BAB IV

PEMBANGUNAN EKONOMI PERDESAAN 5.1. Pembangunan Masyarakat Desa

Prasyarat yang perlu diketahui untuk memberdayakan masyarakat desa adalah realita kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan masyarakat desa itu. Adapun kekuatan-kekuatan masyarakat desa meliputi :

a. Secara kuantitas desa kaya akan SDM dan SDA

b. Masyarakat desa memiliki jiwa kekeluargaan dan kegotongroyongan yang kuat, menjunjung tinggi semangat kebersamaan berdasarkan prinsip musyawarah dan mufakat c. Masyarakat desa sangat religius, berperilaku sesuai dengan norma-norma agama yang

dianut sehingga mereka lebih jujur, sabar dan ulet

d. Menghargai atau patuh terhadap pimpinan baik formal maupun nonformal

e. Menjunjung tinggi dan mempertahankan tradisi sehingga mereka kurang terbuka terhadap perubahan

f. Masyarakat desa mudah diajak kerja sama untuk membangun desa, terutama pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan memecahkan masalah-masalah keseharian mereka.

Kelemahan-kelemahan masyarakat pedesaan itu meliputi:

(1) Kelemahan yang mendasar adalah rendahnya kualitas SDM. Tingkat pendidikan mereka sangat rendah. Akibatnya, masyarakat desa menjadi tidak berdaya memanfaatkan atau memobiliser SDA untuk meningkatkan kesejahteraannya. Karena itu, peranan pendidikan terutama pendidikan nonformal menduduki posisi kunci untuk membekali masyarakat desa dengan pengetahuan yang praktis, sikap mental yang baik, dan keterampilan yang handal sehingga mereka mampu melaksanakan pembangunan secara efektif. Sisi lain yang berkaitan dengan penyebab rendahnya kualitas SDM di pedesaan adalah terjadinya arus urbanisasi angkatan kerja muda yang memiliki pola pikir dinamis dan rasional untuk bekerja pada industri-industri yang dipusatkan di kota. Akibatnya, SDM yang tinggal di desa adalah mereka yang pola pikirnya statis, tradisional, dan sulit mengadopsi inovasi. Masalah urbanisasi yang tinggi di Indonesia terjadi akibat pemerintah kurang mengutamakan pembangunan industri pedesaan yang berbasis pada sektor pertanian. Tentu saja solusi yang tepat adalah pendekatan desentralisasi, yaitu pembangunan industri pedesaan yang sekaligus mampu meningkatkan pendapatan dan membuka peluang kerja baru di pedesaan. Korea Selatan dan RRC mampu membangun industri maju, setelah mereka berhasil mengubah kemiskinan menjadi kesejahteraan di pedesaan melalui pembangunan industri pedesaan.

(17)

(3) Posisi tawar masyarakat desa sangat lemah terutama waktu menjual hasil produsi usaha tani. Mereka selalu di dalam posisi yang dirugikan dan menjadikan mereka semakin miskin dan tidak berdaya.

(4) Masyarakat desa tidak mau atau sering menolak inovasi, kalaupun ada hanya terbatas pada beberapa orang saja. Hal ini berhubungan dengan kehidupan mereka yang terikat pada tradisi. Mereka lebih yakin bahwa apa yang mereka miliki adalah yang terbaik. Pola pikir mereka sangat lokalit.

Arthur Dunham (1958) merumuskan pembangunan masyarakat desa sebagai : “organized efforts to improve the conditions of community life, primarily through the enlistment of self-help and cooperative effort from the villagers, but with technical assistance from government or voluntary organization.”

Terdapat tiga ciri pokok pembangunan masyarakat desa, yaitu: pertama, adanya usaha-usaha yang terorganisir untuk memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat; kedua, adanya peningkatan usaha kerjasama dan gotong royong dalam melaksanakan pembangunan; ketiga, pembangunan masyarakat desa memerlukan bantuan teknis dari pemerintah dan organisasi sukarela.

Lebih lanjut Dunham mengemukakan empat unsur pembangunan masyarakat desa yaitu: a) a plan program with a focus on the total needs of the village community; b) technical assistance; c) integrating various specialties for the help of the commnunity; and d) a major emphasis upon self-help and participation by the residents of the community.

Keempat unsur di atas menekankan bahwa pembangunan masyarakat desa adalah suatu program yang terencana, berfokus pada kebutuhan masyarakat, memerlukan bantuan teknis dari para ahli dari berbagai bidang, dan mengutamakan kegiatan-kegiatan gotong royong untuk menumbuhkan partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan.

Pembangunan masyarakat desa menjadi penting pada saat ini, karena Indonesia adalah negara agraris, mayoritas penduduk tinggal di desa, di mana kehidupan sosial dan ekonominya tergantung pada usaha tani tradisional. Modernisasi pertanian perlu mendapat prioritas untuk meningkatkan produksi pertanian dan kualitas hidup masyarakat desa.

Bertitik tolak dari tujuan pembangunan masyarakat desa di atas, Einsidiel (1968) mengemukakan beberapa kriteria dari proyek-proyek pembangunan masyarakat desa yang berhasil dan efektif sebagai berikut.

(1) that the project was a choice of the people, based on their felt needs;

(2) that the project involved the active participation of the people in working toward a solution of these needs;

(3) that the project enhanced the lives of the people and the whole community;

(4) that the project initiated and established good working relationship among the technical field worker;

(18)

(6) that the project generated community spirit in the process;

(7) that the project encouraged the people toward self-reliance and self-help.

Hakikat otonomi daerah adalah mendidik masyarakat agar lebih berdaya, mampu bersaing dalam konteks kerjasama, dan profesional. Masyarakat desa harus memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya untuk melaksanakan pembangunan. Hal ini sesuai dengan pendapat Gunawan (2000) yang menekankan: “Hal-hal yang sudah dapat dilaksanakan oleh masyarakat perlu segera diserahkan pelaksanaannya kepada masyarakat. Yang belum dapat dilakukan masyarakat dilakukan oleh pemerintah, dengan tetap berpedoman bahwa suatu saat harus dapat dan segera dilakukan sendiri oleh masyarakat”.

Membangun desa dengan karakteristik yang berbeda bukanlah masalah yang sederhana. Membangun desa adalah membangun manusia dengan segala hak dan kewajibannya yang perlu mendapat perhatian. Karena itu, untuk mencapai tujuan, maka pembangunan desa perlu berpedoman pada visi yang jelas.

Echols dan Shadily (1990) mengemukakan arti visi atau vision sebagai penglihatan, daya lihat, pandangan, melihat ke depan dengan pikiran yang jernih. Pengertian visi dalam konteks pembangunan desa adalah segala sesuatu yang dapat diwujudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan desa. Sebagai program yang terorganisasi, visi pembangunan masyarakat desa adalah usaha untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera baik sosial maupun ekonomi, memiliki potensi untuk mengorganisasikan sumber daya yang ada guna meningkatkan mutu hidup yang lebih baik berdasarkan prinsip swadaya dan swakarsa, mendorong tumbuh dan berkembangnya suatu masyarakat desa yang mandiri dalam arti mampu mendidik dan menolong diri sendiri, dan membangun suatu sistem kepemimpinan pedesaan yang demokratis.

Menurut A.S. Hornby et. al. (1963), mengemukakan pengertian misi atau mission sebagai organized efforts; business or purpose in life; massage; charge ; duty; trust. Dalam konteks pembangunan desa, pengertian misi adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan yang teroganisasi bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat desa. Berdasarkan pengertian di atas, maka misi pembangunan masyarakat desa antara lain adalah melaksanakan kegiatan pembangunan desa guna meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat. Dilaksanakan melalui kegiatan gotong-royong (self-help), usaha bersama (cooperative effort), dan mengutamakan potensi-potensi yang dimiliki masyarakat, memberdayakan masyarakat desa melalui jalur pendidikan nonformal sehingga mereka memiliki pengetahuan dan keterampilan dan sikap mental positip untuk melaksanakan pembangunan, dan melaksanakan pembangunan SDM yang berkualitas melalui kegiatan pendidikan nonformal. Pemberdayaan masyarakat akan efektif jika pembangunan dilakukan bersama antara masyarakat dan aparat pemerintah sesuai dengan metode kerja doing with the people, dan membina suatu sistem kepemimpinan yang efektif di pedesaan.

(19)

kurang, dan karenanya perlu dilakukan pembinaan. Pembinaan ini memerlukan kegiatan pendidikan formal dan nonformal guna meningkatkan kualitas kepemimpinan pedesaan. Margono Slamet (1978) mengemukakan ciri-ciri kepemimpinan pedesaan yang baik, sebagai berikut:

(1) Empati

Pemimpin di pedesaan perlu memiliki kemampuan untuk menempatkan dirinya pada kedudukan orang lain. Memberikan pekerjaan atau tugas kepada seseorang harus sesuai dengan kemampuan orang itu. Pemimpin yang empati selalu bertindak sesuai dengan prinsip demokrasi, menghargai dan menerima pendapat orang lain, dapat berdiskusi atau berdialog bertitik tolak dari sudut pandang pendapat orang lain. (2) Anggota Masyarakat

Berasal dari masyarakat desa itu sendiri yang kualitas atau prestasinya di masa lalu dapat diterima sebagai pemimpin.

(3) Penuh pertimbangan

Pemimpin di pedesaan harus arif dan bijaksana, memperhatikan orang lain, dan harus mempertimbangkan semua akibat dari suatu kebijakan atau tindakan, termasuk melihat dan menerima kenyataan-kenyataan yang ada di dalam masyarakat.

(4) Lincah

Harus proaktif, penggembira, memiliki semangat yang tinggi, terbuka, suka bicara dengan siapa saja untuk membicarakan kepentingan masyarakat, serta dinamis. (5) Memiliki emosi yang stabil

Memiliki pola perilaku baku, konsisten, dan pola pikirnya dapat diikuti orang lain.

(6) Berkeinginan memimpin

Dipilih dari tokoh masyarakat yang memiliki keinginan menjadi pemimpin. Walaupun banyak ide, pandai, tetapi tidak ada keinginan memimpin, tidak akan menjadi pemimpin yang baik.

(7) Memiliki kompetensi menjadi pemimpin

Kompetensi ini menyangkut kemampuan, kecakapan, serta keinginan untuk memimpin. Di desa banyak orang yang ambisius menjadi pemimpin, tetapi tidak mampu untuk memimpin. Orang seperti ini tidak akan menjadi pemimpin yang baik. (8) Pandai/cerdas

(20)

dipimpinnya dan sekaligus menentukan tujuan apa yang akan dicapai untuk kepentingan masyarakat desa.

Dia juga harus memiliki pola pikir kosmopolitan broad-minded dan bukan pola pikir lokalit narrow-minded. Mampu menjadikan masalah yang rumit menjadi sederhana, dan tidak sebaliknya menjadikan masalah yang sederhana menjadi rumit.

(9) Berkeyakinan serta konsisten

Harus memiliki rasa percaya diri yang kuat serta konsisten di dalam mengambil keputusan. Tidak mudah terbawa arus masyarakat dan malah harus mampu mengarahkan arus keinginan masyarakat desa untuk melaksanakan pembangunan. (10) Memiliki rasa percaya terhadap diri sendiri.

Harus memiliki self of confidence agar dapat menempatkan dirinya sebagai teladan dan panutan bagi masyarakat desa. Rasa percaya diri diperlukan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang timbul karena adanya perbedaan persepsi terhadap pembangunan di dalam masyarakat.

(11) Kemampuan membagi kepemimpinan

Harus mampu membagi tugas kepemimpinan sesuai dengan porsi dan wewenang masing-masing. Mana tugas atau wewenang yang sudah dapat dikerjakan oleh orang lain atau kelompok-kelompok di dalam masyarakat desa harus dilimpahkan. Idealnya, pimpinan desa bertindak sebagai fasilitator atau mitra kerja masyarakat, sedangkan yang melaksanakan pembangunan adalah masyarakat itu sendiri.

3.2. Melepas Ketergantungan Desa Dari Luar

Untuk menelaah hubungan ekonomi antara suatu wilayah, kita bisa mengutip pendapat seorang pemikir strukturalis, Galtung (1971). Ia membedakan antara centre yang merupakan pusat pertumbuhan dengan daerah pinggiran (periphery) yang terkebelakang. Hal ini berlaku untuk hubungan keluar ataupun didalam suatu negara. Hubungan yang dihasilkan tersebut digambarkan telah menguntungkan masyarakat di pusat-pusat secara keseluruhan, dan merugikan mayoritas masyarakat di daerah pinggiran. Tanpa disadari, sejak lama kondisi pembangunan desa-kota kita menggambarkan konstruksi mengenai tata hubungan ekonomi domestik yang timpang. Desa telah menjadi komoditas empuk bagi penghisapan surplus ekonomi pusat-pusat pembangunan di kota. Prospek ekonomi rakyat pedesaan sangat dikhawatirkan akan bertambah suram pada masa yang akan datang, jika perilaku elit kekuasaan di seluruh tingkatan tidak mengalami perubahan pola pikir pemihakan terhadap rakyat di desa.

(21)

dengan adanya pengambilan keputusan politik yang tidak berpihak kepada rakyat di desa. Sehingga, sektor pertanian, dimana sebagian besar bangsa kita menggantungkan hidupnya, jauh dari perannya sebagai pondasi pembangunan yang sesungguhnya. Dilain sisi, sektor manufaktur semakin tidak memiliki linkage dengan sektor primer, yaitu pertanian. Ini bisa kita lihat dari besaran volume total impor produk barang primer Indonesia yang semakin meningkat sejak awal 70-an sampai saat ini. Justru ketergantungan kita akan produk barang primer dari luar negri bertambah tinggi.

Pergeseran sistem perdagangan internasional komoditas pertanian menuntut kemampuan sektor pertanian kita untuk mampu bersaing menghadapi kekuatan agribisnis multinasional yang selama ini telah menguasai pasar. Dimana dari hasil studi yang dilakukan oleh FAO tahun 1995 terungkap bahwa perdagangan hasil-hasil pertanian masih didominasi oleh negara-negara maju seperti USA, Uni Eropa, Australia dan Kanada dengan pangsa pasar sekitar 86% sedangkan total dari negara-negara berkembang termasuk Indonesia baru berkontribusi 14%. Saat ini kita dihadapkan kenyataan tingkat pertumbuhan sektor pertanian yang sangat rendah dan meluasnya jumlah penduduk yang menggantungkan hidup di sektor informal musiman, akhirnya menyebabkan efek kemiskinan sosial meluas. Situasi shared poverty atau involusi seperti yang digambarkan oleh Geertz (1983) yang terjadi sejak lama di pedesaan kita sekarang ini makin nyata. Bila kita tidak memiliki strategi yang jelas dalam pengembangan potensi pedesaaan jangka panjang, hal ini sangat membahayakan. Penerapan ideologi liberalisasi perdagangan internasional yang disertai liberarisasi arus investasi asing dalam kerangka WTO, APEC ataupun organisasi internasional lainnya dalam situasi likuiditas internasional Indonesia yang belum sehat seperti sekarang, dapat membawa pengaruh negatif dalam pengembangan industri lokal dan menambah beban ekonomi rakyat khususnya di desa. Kekuatan ekonomi domestik, secara substansial, akan tergeser keluar. Rakyat di desa dan Indonesia secara keseluruhan akan memasuki fase ketergantungan yang lebih dahsyat kepada orang luar, atau secara sistematis akan menjadi buruh di atas tanah sendiri. 3.3. Agroindustri Dalam Membangun Pedesaan

Integrasi antara konsep agroindustri dan pembangunan desa menjadi penting keterkaitannya dalam penyediaan dan penyaluran sarana produksi, penyediaan dana dan investasi, teknologi, serta dukungan sistem tataniaga dan perdagangan yang efektif. Pengembangan agroindustri pada dasarnya diharapkan selain memacu pertumbuhan tingkat ekonomi, juga sekaligus diarahkan untuk meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan petani. Wibowo (1997) mengemukakan perlunya pengembangan agroindustri di pedesaan dengan memperhatikan prinsip-prinsip dasar diantaranya: (1) memacu keunggulan kompetitif produk/komoditi serta komparatif setiap wilayah, (2) memacu peningkatan kemampuan suberdaya manusia dan menumbuhkan agroindustri yang sesuai dan mampu dilakukan di wilayah yang dikembangkan, (3) memperluas wilayah sentra-sentra agribisnis komoditas unggulan yang nantinya akan berfungsi sebagai penyandang bahan baku yang berkelanjutan, (4) memacu pertumbuhan agribisnis wilayah dengan menghadirkan subsistem-subsistem agribisnis, (5) menghadirkan berbagai sarana pendukung berkembangnya industri pedesaan.

(22)

yang terbatas dapat menghasilkan output yang optimal, yang pada gilirannya akan berdampak positif terhadap pembangunan wilayah. Pengalaman yang sangat berharga bagi kita selama ini menjelaskan bahwa program pembangunan desa kurang terkoodinasi dalam suatu sistem yang baik dalam konteks sumberdaya maupun secara fungsional seringkali kurang menjamin dalam tiga hal endurance (daya tahan), integrity (keutuhan) dan continuity (kesinambungan).

Pembangunan ekonomi pedesaan haruslah sinergi dari pembangunan wilayah pedesaaan dimana memiliki tujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Berdasarkan poin tersebut, dapat dipaparkan bahwa industrialisasi pertanian seharusnya membawa cakrawala baru dalam pembangunan pedesaan. Meningkatkan produktivitas pertanian harus diikuti oleh peningkatan investasi dalam pertanian modern beserta industri pengolahan dan sektor jasa lainnya di desa. Pengembangan kawasan potensial dengan basis pedesaan sebagai pusat pertumbuhan akan mentransformasikan pedesaan menjadi kota-kota pertanian (agropolitan). Perkotaan pertanian ini diharapkan dapat mengimbangi interaksi antar wilayah secara sehat yang dapat menimbulkan aspek positif lainnya yaitu mengurangi arus urbanisasi penduduk. Di samping nilai tambah produksi pedesaan akan meningkat, industrialisasi juga akan mencegah berkembangnya pengangguran terdidik di desa, dan mendorong mereka untuk tetap bekerja dan berpartisipasi dalam pembangunan daerahnya, yang juga sebagai pusat-pusat pertumbuhan.

Apa yang dapat dijelaskan mengenai kecenderungan pembangunan ekonomi di desa sejauh ini? Strategi pembangunan yang ditandai, sentralisasi, birokratisasi dan eksploitasi yang diterapkan ke desa tersebut menumbuhkan pengusaha-pengusaha kecil dengan beberapa ciri negatifnya (Anne Booth, 1990). Pertama, sikap dasar pengusaha dalam perusahaan kecil dan menengah ditandai oleh pendekatan otokratik. Hal ini dapat dilihat dari pimpinan perusahaan yang mempunyai kebutuhan sangat rendah akan usaha agar berhasil. Dalam industri kecil, dapat dikatakan terdapat kekurangan “know-how” usaha. Kekurangan ini di semua bidang dunia usaha, tetapi bukan pengetahuan yang baik mengenai produk, atau metode pembuatannya karena kedua hal inilah sebenarnya yang mendorong pengusaha untuk berdiri sendiri. Ketiadaan atau kekurangan pengetahuan ini dapat dilihat di bidang-bidang seperti tata buku, aspek keuangan, aspek pemasaran, aspek distribusi, pengelolaan sumber daya, dan sebagainya. Lebih lanjut hal ini akan membuat pihak investor atau bank tidak bersedia menyediakan kredit. Artinya pengusaha kecil akan tetap kesulitan dalam usahanya meningkatkan modal untuk perluasan dan pembesaran modal dan produksi

(23)

ekonomi, atau sekedar meminta nasehat kepada mereka. Bahkan juga untuk mengikuti pelatihan-pelatihan baik niaga maupun yang teknis.

Ciri-ciri industri kecil di Indonesia yang seperti ini hampir merata ada di seluruh desa-desa yang ada. Walaupun struktur industri di Indonesia mempunyai perbedaan-perbedaan antar daerah atau provinsi. Misalnya di Jawa Tengah, juga di daerah Yogyakarta, jumlah kerajinan rumah tangga terhadap jumlah penduduk relatif sangat besar. Sedangkan di Jawa Barat dan Jawa Timur menunjukkan angka yang jauh lebih rendah.

3.4. Pembangunan Desa Yang Berkelanjutan

Dalam situs Walhi tentang pembangunan berkelanjutan, dipaparkan bahwa bahwa pembangunan yang berkelanjutan dapat diartikan secara luas sebagai kegiatan-kegiatan di suatu wilayah untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di masa sekarang tanpa membahayakan daya dukung sumberdaya bagi generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Tantangan pembangunan berkelanjutan adalah menemukan cara untuk meningkatkan kesejahteraan sambil menggunakan sumberdaya alam secara bijaksana.

Arus globalisasi yang semakin kuat perlu diimbangi dengan kesadaran bahwa mekanisme pasar tidak selalu mampu memecahkan masalah ketimpangan sumberdaya. Kebijakan pembangunan harus memberi perhatian untuk perlunya menata kembali landasan sistem pengelolaan aset-aset di wilayah pedesaan. Penataan kembali tersebut lebih berupa integrasi kepada pemanfaatan ganda, yaitu ekonomi dan lingkungan/ekosistem. Walaupun wawasan agroekosistem merupakan sesuatu pengelolaan yang kompleks dan rumit, akan tetapi keberhasilannya dapat dilihat dan dirumuskan dengan melihat indikator-indikator antara lain: kontribusi terhadap keberlanjutan lingkungan lokal, kontribusi terhadap keberlanjutan penggunaan sumberdaya alam, kontribusi terhadap peningkatan lapangan kerja, kontribusi terhadap keberlanjutan ekonomi makro, efektifitas biaya dan kontribusi terhadap kemandirian teknis. Wibowo (1997) mengungkapkan empat aspek umum ciri-ciri spesifik terpenting mengenai konsep agroekosistem. Empat aspek umum tersebut adalah: kemerataan (equitability), keberlanjutan (sustainability), kestabilan (stability) dan produktivitas (productivity). Secara sederhana, equitability merupakan penilaian tentang sejauh mana hasil suatu lingkungan sumberdaya didistribusikan diantaramasyarakatnya.

(24)

3.5. Industrialisasi Desa-Democratic Governance

Terlihat jelas bahwa Indonesia saat ini sedang dalam tahap awal dari proses industrialisasi. Sehingga tidak sepenuhnya ada struktur industri yang jelas. Dampak yang lain adalah terjadinya luapan tenaga kerja yang membutuhkan penampung, dalam hal ini industri kecil mempunyai kemampuan akan hal tersebut. Desa yang secara sumber daya, manusia dan alam tersedot secara luar biasa oleh pola pembangunan tersebut. Dampaknya bagi desa tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam bidang politik, sosial dan budaya. Lebih jauh lagi adalah tata kelola pemerintahan dan kelembagaan di desa. Sehingga kajian tentang industrialisasi desa sangat erat terkait dengan proses demokratisasi di desa, apakah akan mengarah pada sisi negatif atau sisi positif.

Pertama, penguatan transformasi politik dalam bentuk demokrasi dan otonomi desa tampaknya mengalami keterbatasan dan kesulitan jika tidak ditopang oleh basis ekonomi desa yang kuat. Jika demokrasi dan otonomi desa tidak mampu menjawab tuntutan kesejahteraan sosial-ekonomi maupun pengurangan kemiskinan, maka program demokratisasi dan desentralisasi secara lambat-laun akan mengalami delegitimasi dan distrust di hadapan rakyat desa, dan dalam jangka panjang akan semakin mempersulit kedua agenda transformasi politik itu. Karena itu diyakini bahwa industrialisasi desa merupakan alternatif untuk menjawab ketegangan antara desentralisasi-demokratisasi dengan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat desa. Industrialisasi desa merupakan alternatif untuk memperkuat program APBDes yang baik (transparan, akuntabel, responsif dan partisipatif) maupun Alokasi Dana Desa (ADD), memperlancar demokrasi dan otonomi desa, memperkuat basis ekonomi bagi otonomi desa, mengurangi kemiskinan, menekan laju urbanisasi, serta meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat desa.

Kedua, keberadaan desa hampir tidak lepas dari kebijakan pemerintah maupun kaitan (linkage) ekonomi antara desa dan kota. Program pembaharuan desa, termasuk desentralisasi dan demokratisasi desa, hampir tidak pernah menyentuh isu kaitan desa-kota itu. Sejarah telah membuktikan bahwa pembangunan ekonomi, termasuk industrialisasi desa, selalu bias kota, yang tidak berpihak pada desa. Meski kapitalisasi dan industrialisasi masuk ke wilayah desa, tetapi hanya menjadikan desa sebagai obyek eksploitasi yang hasilnya dibawa dan dinikmati oleh kota. Desa menjadi tempat produksi, sementara kota menjadi tempat perdagangan, distribusi dan konsumsi. Ekonomi desa tidak memperoleh nilai tambah (value added) yang proporsional akibat dari wilayah perkotaan hanya sekadar menjadi pipa pemasaran (marketing pipe) dari arus komoditas primer dari desa. Dalam konteks demikian, wajar apabila terjadi pengurasan sumber daya (backwash effect) oleh kota terhadap desa secara sistematis dan kota hanya mengambil keuntungan dari jasa distribusi semata, sehingga seringkali terjadi kebocoran wilayah (regional leakages) yang merugikan pertumbuhan ekonomi daerah.

(25)

yang terjadi kemudian adalah bahwa industrialisasi tidak menguntungkan desa, bahkan malah menimbulkan kerugian besar bagi desa, meminggirkan dan memiskinkan masyarakat desa, dan tidak jarang memunculkan konflik antara masyarakat setempat dengan perusahaan (industri).

Dalam kaitan peta problem dan kecenderungan perubahan yang tengah terjadi itulah, pergerakan industrialisasi desa tentu perlu dipahami sebagai tantangan mendasar yang perlu dijawab secara antisipatif-kritis saat ini dan di masa-masa mendatang. Memadukan industrialisasi desa, kesejahteraan warga dan democratic governance.

Memandang desa sebagai basis potensial kegiatan ekonomi haruslah menjadi paradigma baru dalam program pembangunan ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Perubahan kondisi internal dan ekternal yang terjadi menuntut kebijakan yang tepat dan matang dari para pembuat kebijakan dalam upaya pengembangkan potensi wilayah pedesaan. Sudah saatnya menjadikan desa sebagai pusat-pusat pembangunan dan menjadikan daerah ini sebagai motor utama penggerak roda perekonomian melalui sektor pertanian.

Pembangunan daerah pedesaan yang berkelanjutan diharapkan dapat menyediakan lebih banyak kesempatan kerja dan meningkatkan penghasilan. Hal ini akan mendorong para pekerja di pedesaan untuk tetap tinggal dan bekerja di desa mereka. Hal ini dalam jangka panjang akan lebih menguntungkan perekonomian perkotaan dan pedesaan.

Pembangunan desa adalah suatu proses pendidikan nonformal yang dilaksanakan sebagai suatu rangkaian kegiatan yang terorganisasi, terencana, berkesinambungan, dan bertujuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat. Melalui pembangunan desa, diharapkan tumbuh dan berkembang potensi individu atau kelompok untuk memobilisasikan sumber-sumber yang ada di dalam masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya -- real needs, felt-needs, dan expected needs -- serta untuk memecahkan permasalahannya.

Pengembangan agroindustri sebagai pilihan model modernisasi pedesaan haruslah dapat meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan petani. Untuk itu perumusan perencanaan pembangunan pertanian, perlu disesuaikan dengan karakteristik wilayah dan ketersediaan teknologi tepat guna. Sehingga alokasi sumberdaya dan dana yang terbatas, dapat menghasilkan output yang optimal, yang pada gilirannya akan berdampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat. Agar model pembangunan pedesaan yang berkelanjutan dapat terwujud diperlukan pedoman pengelolaan sumberdaya melalui pemahaman wawasan agroekosistem secara bijak, yaitu pemanfaatan asset-aset untuk kegiatan ekonomi tanpa mengesampingkan aspek-aspek pelestarian lingkungan.

Pengalaman menunjukkan bahwa kekurangberhasilan program pembangunan masyarakat desa seringkali disebabkan oleh banyak hal, yang antara lain sebagai berikut.

(a) Pendekatan kegiatan pembangunan masyarakat seringkali dilaksanakan melalui top down intervention dan yang sifatnya sangat sentralistik, mengabaikan bottom-up intervention.

(26)

tindak lanjut pasca proyek; kedua, lebih berorientasi pada kepuasan pelaksana, dan bukan kepada manfaatnya bagi masyarakat; dan ketiga, lebih mengutamakan target fisik jangka pendek, dibandingkan dengan manfaat dan dampaknya terhadap kemandirian masyarakat untuk pembangunan yang berkelanjutan (sustainable self propelling development ).

(c) Adanya asumsi-asumsi yang salah terhadap kelompok sasaran, seperti : - Anggapan bahwa masyarakat itu bodoh, tidak mau maju, dan miskin

- Anggapan bahwa yang baru selalu lebih baik dan cukup dengan peniruan model yang ada dan telah berhasil.

(d) Terlalu menggunakan parameter-parameter ekonomi dan kurang memanfaatkan ukuran-ukuran nonekonomi.

(e) Perangkap kecongkakan intelectual (intelectual pride), yang tercermin pada: pertama, ketertutupan kegiatan untuk mengaitkan dan melibatkan pihak lain yang sebenarnya memiliki tanggung jawab dan kepentingan yang sama terhadap pembangunan masyarakat; dan kedua, kealpaan tentang kaitan kegiatan sistem pembangunan masyarakat dalam arti luas.

Karena orang miskin di pedesaan menjadi semakin tergantung pada kegiatan non-pertanian sebagai sumber penghasilan mereka, maka langkah-langkah untuk merangsang penghasilan pedesaan non-pertanian menjadi demikian penting dalam upaya pengentasan kemiskinan. Usaha pertanian sebagai koridor pembangunan pedesaan khususnya pengembangan usaha pertanian skala kecil/mikro dapat digunakan sebagai wahana untuk meningkatkan penghasilan para petani.

Pengembangan prasarana pedesaan merupakan instrumen untuk memfasilitasi dan merespon tantangan pembangunan. Melalui pembangunan prasarana pedesaan, kebutuhan dan kesempatan pengembangan ekonomi dan sosial dapat diwujudkan melalui potensi terbesarnya. Pendekatan kesempatan kerja dalam pengembangan prasarana pedesaan merupakan strategi penting untuk membantu kaum miskin.

Memperkuat kemampuan pemerintah setempat berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan dan pemeliharaan prasarana pedesaan dengan menggunakan pendekatan prasarana pedesaan yang berkelanjutan untuk pembangnan daerah yang reguler dan kritis.

(27)

BAB V

KONSEP ”ONE VILAGE ONE PRODUCT” (OVOP) 4.1 Pengertian

Konsep One Village One Product (OVOP) berasal dari Oita, Jepang dan diadopsi oleh berbagai negara di dunia. Konsep OVOP sejak tahun 2006 mulai dipelajari dan diadopsi oleh berbagai negara, khususnya di Asia, Indonesia mulai mengadopsi tahun 2008 yang bertujuan untuk memajukan potensi industri kecil dan menengah. OVOP merupakan suatu pendekatan pengembangan potensi daerah di satu wilayah untuk menghasilkan produk yang mampu bersaing di pasar global, dengan tetap memiliki ciri khas keunikan karakteristik dari daerah tersebut. Produk yang dihasilkan adalah produk yang memanfaatkan sumber daya lokal, baik sumber daya alam, maupun sumber daya manusia.

Gerakan OVOP pertama kali dicetuskan oleh Morihiko Hiramatsu saat menjabat sebagai Gubernur Prefektur Oita di timur laut Pulau Kyushu. Masa jabatannya di Oita selama 6 periode (1979-2003) digunakan untuk mengentaskan kemiskinan warganya dengan menerapkan konsepsi pembangunan wilayah yang disebut dengan gerakan OVOP. OVOP diterapkan pada umumnya untuk menyelesaikan permasalahan kesenjangan sosial dan ekonomi yang terjadi antara desa dan kota di negara-negara Asia. Selain itu, OVOP juga mulai dipelajari oleh negara-negara di Afrika terutama sebagai salah satu solusi bagi daerah-daerah miskin yang masih sangat bergantung pada pemerintah pusatnya. Negara-negara yang mengadopsi OVOP di Asia diantaranya adalah Thailand (One Tambon One Product), Taiwan (One Town One Product), Malaysia (Satu Distrik Satu Industri), Filipina (One Town One Product), Kamboja (One Village One Product), dan Indonesia (One Village One Product).

OVOP adalah suatu gerakan masyarakat yang secara integratif berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap potensi dan kekayaan daerah, meningkatkan pendapatan para pelaku usaha dan masyarakat, dan sekaligus meningkatkan rasa percaya diri dan kebanggaan terhadap kemampuan yang dimiliki masyarakat dan daerahnya. Sumber daya alam ataupun produk budaya lokal serta produk khas lokal yang telah dilakukan secara turun temurun dapat digali dan dikembangkan untuk menghasilkan produk bernilai tinggi sesuai tuntutan dan permintaan pasar. Pendekatan ini merupakan gerakan masyarakat yang mengembangkan potensi yang dimiliki daerah secara terintegrasi untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat sekaligus meningkatkan rasa percaya diri serta kebanggaan akan kemampuan sendiri dan daerahnya (Soemarno, 2011).

(28)

4.2 Model Pengembangan OVOP

Menurut Kadiman (2005), pengembangan OVOP di daerah perdesaan dengan memperhatikan perspektif keterkaitan berbagai pihak dibutuhkan komitmen dan kerjanyata dari ketiga aspek yang disebut sebagai Triple Helix, meliputi A (academician), B(businessman), dan G (government). Model pengembangan OVOP untuk meningkatkan daya saing produk KUMKM dapat dilakukan dengan Triple Helix dengan pembagian peran yang jelas dari tiga pemangku kepentingan, adanya perencanaan yang baik, adanya tahapan kegiatan, dan komitmen bersama tiga pemangku kepentingan untuk memperkuat KUMKM di Indonesia. Ketiga pemangku kepentingan dalam Triple Helix, yaitu A (academician atau perguruan tinggi), B (businessman atau perusahaan sebagai pelakubisnis/masyarakat), dan G (government atau pemerintah).

Triple helix merupakan salah satu solusi dari kendala-kendala yang dihadapi oleh para pelaku bisnis dan mewadahi terciptanya kolaborasi mutualisme antara ketiga pihak yang terlibat di dalamnya. Diharapkan hubungan yang lebih terbuka dan saling menguntungkan akan dapat dilakukan antarapihak akademisi dengan pemerintah, akademisi dengan pelaku bisnis, dan pelaku bisnis dengan pemerintah.

Tridharma Perguruan Tinggi menyebutkan bahwa kewajiban dosen adalah melakukan pengajaran dan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Dana yang dialokasikan pemerintah untuk membiayai penelitan dimaksudkan untuk memotivasi penelitian-penelitian yang melahirkan inovasi teknologi dan ide kreatif. Hasil penelitian jangan berakhir di ruang laboratorium atau diarsipkan dalam koleksi perpustakaan. Di dalam triple helix, hasil penelitian akademisi perguruan tinggi diharapkan tidak hanya melayani kebutuhan ilmu pengetahuan semata, namun juga sebagai solusi permasalahan pemerintah di dalam menentukan kebijakan dan regulasi yang berkaitan dengan masyarakat pebisnis. Pihak pemerintah perlu memberikan stimulus positif yang dapat merangsang pertumbuhan dan perkembangan investasi bisnissekaligus mendorong atmosfer bisnis yang kondusif. Caranya adalah dengan mengurangi pembatasan-pembatasan yang menyulitkan perkembangan dan inovasi berbisnis, melindungi karya-karya inovasi bisnis, dan mengimplementasikan aturan pemerintahyang berkaitan etika berbisnis sehingga tercipta persaingan bisnis yang sehat.

Di sisi lain,pihak industri juga mempunyai kewajiban untuk memberikan kontribusi dalammenciptakan iklim bisnis yang baik, seperti menerapkan etika berbisnis, berkomitmen pada corporate social responsibility (CSR), dan menjadi partner pemerintah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi secara nasional. Menyeimbangkan peran dari ketiga pihak yaitu akademisi, pemerintah, dan pebisnis ini bukanlah hal mudah. Diperlukan upaya yang berkesinambungan dan dinamis, sehingga setiap pihak diharapkan selalu open-minded dan berusaha melakukan yang terbaik demi kepentingan bersama. Ketiga pihak tidak dapat bergerak sendiri, oleh karena itu diperlukan kerjasama yang sinergis dan seimbang.

Gambar

Tabel 1. Perhitungan IPM

Referensi

Dokumen terkait

1) Tingkat terendah dalam pemahaman adalah pemahaman terjemah, yang dimulai dari terjemahan dalam arti sebenarnya, misalnya mengartikan.. Bhineka Tunggal Ika.

Berdasarkan pengertian tentang komunikasi massa yang sudah dikemukakan oleh para ahli komunikasi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa komunikasi massa adalah komunikasi

(1) Setiap badan usaha atau orang yang melakukan kegiatan usaha pertambangan tanpa memiliki IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dipidana dengan

Dalam bab ini akan disajikan paparan hasil penelitian gambaran objek penelitian yang terdiri dari: paparan data yang terdiri atas: struktur obyek penelitian: sejarah

[r]

Namun karena tokoh yang memenangkan hasil pemilu tidak sesuai dengan keinginan Amerika Serikat (sebagai contoh ketika Ahmadinejad keluar sebagai pemenang, sebenarnya Amerika

Setiap organisasi harus menjalankan usaha-usaha pengembangan pegawainya dikarenakan untuk meningkatkan kemampuan kerja (produktivitas) para pegawai tersebut.

Umur memiliki peranan yang cukup penting misalnya umur pertama kali beranak sangat mempengaruhi produktivitas ternak tersebut sebab ternak yang dikawinkan pada