• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur masyarakat desa di yogyakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Struktur masyarakat desa di yogyakarta"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN Latar belakang

Struktur sosial masyarakat Desa di Yogyakarta pada tahun 1950-an terbagi berdasarkan luas kepemilikan lahan menjadi dua golongan besar yaitu buruh tani dan kraton yogyakarta. Buruh tani mempunyai kedudukan sosial yang paling bawah dengan aktivitas ekonomi yang terbatas pada pengerahan tenaga buruh upahan kepada kraton yogyakarta. Beberapa diantaranya mencoba untuk melakukan kegiatan ekonomi lainnya namun masih terbatas pada jenis perdagangan kecil. Perkembangan struktur sosial masyarakat Desa di Yogyakarta

saat ini masih mengenal adanya dua strata tersebut, namun kegiatan ekonomi yang ada telah lebih berkembang sehingga kesejahteraan buruh tani dapat lebih meningkat. Pola kemitraan yang sejajar juga telah terbantuk antara buruh tani dan pemilik tanah, suatu yang tidak dijumpai pada tahun 1950-an.

Menurut Douglas (1973), mikrososiologi mempelajari situasi sedangkan makrososiologi mempelajari struktur. George C. Homans yang mempelajari mikrososiologi mengaitkan struktur dengan perilaku sosial elementer dalam hubungan sosial sehari-hari, sedangkan Gerhard Lenski lebih

menekankan pada struktur masyarakat yang diarahkan oleh kecenderungan jangka panjang yang menandai sejarah. Talcott Parsons yang bekerja pada ranah makrososiologi menilai struktur sebagai kesalingterkaitan antar manusia dalam suatu sistem sosial. Coleman melihat struktur sebagai pola hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia atau masyarakat. Kornblum (1988) menyatakan struktur merupakan pola perilaku berulang yang menciptakan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat.

Mengacu pada pengertian struktur sosial menurut Kornblum yang

(2)

lingkungannya yang didalamnya terdapat proses komunikasi ide dan negosiasi.

PEMBAHASAN

Pembahasan mengenai struktur sosial oleh Ralph Linton dikenal adanya dua konsep yaitu status dan peran. Status merupakan suatu kumpulan hak dan kewajiban, sedangkan peran adalah aspek dinamis dari sebuah status. Menurut Linton (1967), seseorang menjalankan peran ketika ia menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan statusnya. Tipologi lain yang dikenalkan oleh Linton adalah pembagian status menjadi status yang diperoleh (ascribed status) dan status yang diraih (achieved status).

Status yang diperoleh adalah status yang diberikan kepada individu

tanpa memandang kemampuan atau perbedaan antar individu yang dibawa sejak lahir. Sedangkan status yang diraih didefinisikan sebagai status yang memerlukan kualitas tertentu. Status seperti ini tidak diberikan pada individu sejak ia lahir, melainkan harus diraih melalui

persaingan atau usaha pribadi.

Merton (1964) mempunyai pandangan yang berbeda dengan Linton. Menurut Merton ciri dasar dari suatu struktur sosial adalah status yang tidak

hanya melibatkan satu peran, melainkan sejumlah peran yang saling terkait. Merton memperkenalkan konsep perangkat peran (role set).

Social inequality merupakan konsep dasar yang menyusun pembagian suatu struktur sosial menjadi beberapa bagian atau lapisan yang saling

berkait. Konsep ini memberikan gambaran bahwa dalam suatu struktur sosial ada ketidaksamaan posisi sosial antar individu di dalamnya. Terdapat tiga dimensi dimana suatu masyarakat terbagi dalam suatu susunan atau stratifikasi, yaitu kelas, status dan kekuasaan. Konsep

kelas, status dan kekuasaan merupakan pandangan yang disampaikan oleh Max Weber (Beteille, 1970).

(3)

perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi

kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam hierarkhi ekonomi. Sedangkan status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama (Beteille, 1970).

STRUKTUR MASYARAKAT DESA DI YOGYAKARTA PADA TAHUN 1950-AN Makalah ini merupakan analisis dari hasil penelitian H ten Dam pada

tahun 1950 hingga 1954.

Dalam struktur masyarakat Desa di Yogyakarta terdapat dua kelompok sosial yang memiliki perbedaan mendasar. Perbedaan tersebut terdapat pada

akses terhadap faktor produksi utama dalam pertanian, yaitu tanah. Kelompok sosial yang terbentuk di Desa adalah kelompok buruh tani dan kelompok petani bebas. Selain akses terhadap tanah terdapat pula prinsip peran yang membagi masyarakat Desa menjadi dua kelompok sosial tersebut. Prinsip tersebut adalah salah satu kelompok memiliki peran sebagai "pengabdi" sedangkan kelompok lainnya sebagai "penguasa".

Perbedaan akses serta prinsip peran kelompok sosial yang ada di Desa membawa berbagai implikasi dalam kehidupan sosial. Kedua

kelompok sosial yang hidup bersama dalam satu tatanan masyarakat saling berinteraksi satu sama lain. Perbedaan satus sosial antara dua kelompok sosial tersebut membawa dampak pada peran masing-masing kelompok dalam kehidupan sosial dan ekonomi.

Buruh Tani

Penelitian ini mencoba untuk mengidentifikasi jumlah buruh tani yang ada di Desa . Keberadaan buruh tani dapat diidentifikasi dari

(4)

terpenting dari buruh tani bukan pada kepemilikan tanah tetapi pada sikapnya yang menyerahkan diri kepada orang lain, dalam hal ini kraton Yogyakarta.

Sebanyak 43% keluarga yang ada di Desa tidak memiliki tanah. Tempat kediaman buruh tani yang tidak memiliki tanah terletak pada tanah orang lain, baik tanah milik kerabat atau orang lain. Kompensasi yang diberikan bagi buruh tani yang tinggal diatas tanah milik orang lain bukan berupa uang, namun berupa peran dirinya sebagai "abdi". Dua puluh lima persen keluarga di Desa hanya memiliki tanah

pekarangan di sekitar tempat tinggal mereka. Sedangkan 23% keluarga lainnya mempunyai tanah garapan dengan luas kurang dari 2,5 acre. Sebagian besar berupa tanah tegalan dengan produktivitas yang rendah. Letak tanah berada di lereng perbukitan atau di bagian desa yang jauh terpencil. Tanah pertanian tersebut tidak mencukupi untuk menghidupi para pemiliknya. Secara kasar terdapat 90% dari keluarga yang ada di Desa merupakan buruh tani.

Untuk mengkaji struktur sosial Desa dipandang perlu untuk

membagi kelompok buruh tani ini menjadi dua subkelompok. Subkelompok pertama adalah mereka yang sama sekali tidak memiliki tanah pertanian atau hanya memiliki tanah pekarangan saja, untuk selanjutnya disebut buruh tani. Sedangkan subkelompok kedua adalah mereka yang memiliki tanah pertanian dengan luasan yang sempit yakni kurang dari 2,5 acre. Subkelompok ini disebut dengan petani tidak tetap (part time farmers). Buruh Tani dalam Arti Sebenarnya

(5)

Secara stratifikasi sosial buruh tani menempati posisi paling bawah

pada lapisan masyarakat Desa di Yogyakarta. Secara ekonomi mereka sangat terbatas sehingga buruh tani sering malkukan kegiatan migrasi dari

desa ke desa lain. Tujuan utama mereka dalam bermigrasi adalah mencari upah paling baik. Kebiasaan migrasi ini ditengarai merupakan bagian dari sisa-sisa perpindahan penduduk abad 18-19.

Kegiatan ekonomi buruh tani berkisar pada pekerjaan pertanian yang mereka lakukan untuk tuan tanah besar dengan upah harian. Selepas masa panen, buruh tani dibebaskan untuk menanami tanah pertanian tersebut dengan sistem bagi hasil (maro). Sewaktu senggang ketika mereka tidak dipekerjakan sebagai buruh, mereka melakukan usaha perdagangan kecil-kecilan dengan keuntungan yang kecil.

Buruh tani yang menempati tingkatan paling rendah dalam lapisan masyarakat membawa konsekuensi bahwa kedudukan mereka tidak akan hilang. Mereka merasa tidak perlu berupaya mempertahankan kedudukannya tersebut, karena suatu yang mustahil mereka akan jatuh dari kedudukan sosialnya. Akibat dari kedudukan sosial yang mereka miliki, rasa

ketenteraman yang mereka alami sangat berbeda dengan perasaan kaum pemilik tanah. Perasaan ini memunculkan nilai "nrimo ing pandum" sehingga rasa berserah diri kepada nasib sangatlah besar pada diri buruh tani. Keadaan ini menyebabkan timbulnya ketegangan sosial apabila terdapat tindakan-tindakan yang berasal dari luar untuk merubah nasib mereka. Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan buruh tani melaui pemberantasan buta huruf sama sekali tidak mempengaruhi para buruh tani.

Kemampuan buruh tani yang hanya sebatas pada pengerahan tenaga tanpa dibarengi dengan kemampuan manajerial menyebabkan ketidaksiapan mereka dalam mengelola tanah pertanian. Kebijakan land reform tanah bekas

perkebunan kepada para penduduk yang tidak memiliki tanah tidak

(6)

orang sehingga buruh tani kembali pada posisi semula, sebagai kaum "abdi".

Kebiasaan melakukan migrasi menyebabkan buruh tani tidak merasa "memiliki" desa dimana mereka tinggal. Partisipasi mereka dalam kegiatan sosial kemasyarakatan di tingkat desa sangat rendah. Mereka merasa tidak berkepentingan dengan desa. Pola pikir buruh tani hanya sebatas pada "besok mau makan apa?". Gagasan untuk mengajak mereka dalam koperasi akan sebatas pada sejauhmana koperasi dapat memenuhi kebutuhannya. Koperasi hanya dipandang sebagai sarana yang dapat memenuhi kebutuhan ekonomi mereka melalui kredit. Pengembalian kredit adalah persoalan nanti yang akan dipikirkan atau bahkan mungkin tidak terpikirkan sama sekali.

Petani Tidak Tetap

Bagian dari kelompok buruh tani adalah petani tidak tetap. Luas tanah pertanian yang mereka kuasai berkisar 1-2,5 acre namun demikian sebagian besar kurang dari 1,25 acre. Suatu luasan yang terbatas

sehingga pendapatan yang mereka peroleh dari usahatani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Untuk mencukupi kebutuhan keluarga, mereka bekerja sebagai buruh tani dan perdagangan kecil-kecilan.

Petani jenis ini tidak memiliki akses terhadap modal sehingga mereka tidak dapat mengusahakan tanaman yang memerlukan modal besar seperti kentang dan kubis. Modal untuk melakukan usahatani mereka peroleh dari teman sedesa yang senasib dengannya. Sebagai gantinya, petani tidak tetap mengusahakan komoditas padi ladang, jagung, ketela rambat, bawang atau tembakau. Seperti juga dengan subkelompok buruh tani, petani tidak tetap sering menanam tanaman sampingan dengan cara bagi hasil setelah panen kentang dan kubis.

Peran petani tidak tetap dalam masyarakat Desa di Yogyakarta adalah sebagai

pekerja yang diupah secara harian oleh tuan tanah besar (kraton Yogyakarta). Pengusahaan komoditas juga terbatas pada komoditas yang tidak membutuhkan modal

(7)

yang dijalankan lebih luas dan teratur dibandingkan dengan buruh tani. Terkadang mereka menjual hasil pertanian hingga ke Bandung dengan menggunakan angkutan umum, namun lebih sering dibawa sendiri dengan dipikul.

Walaupun beberapa petani tidak tetap mempunyai harga diri yang lebih tinggi dibandingkan dengan buruh tani, namun kebanyakan sikap mental dan kecerdasannya serupa dengan buruh tani. Adanya sumber pendapatan lain diluar upah sebagai pekerja membuat petani tidak tetap sedikit

terpengaruh dengan perubahan musim dan pasar tenaga kerja dibandingkan dengan buruh tani. Kondisi rumah tinggal sedikit lebih kokoh

dibandingkan buruh tani. Pembagian ruang menjadi beberapa bagian menurut fungsi sudah dilakukan.

Petani tidak tetap sebagaimana buruh tani juga tidak tersentuh oleh pemerintahan desa, kecuali ketika mereka melanggar hukum. Petani tidak tetap semakin termarginalkan seiring perkembangan jaman. Kebutuhan untuk berhutang di musim paceklik membuat mereka menggadaikan atau menjual tanah mereka. Tanah pertanian tersebut pada akhirnya tetap

terkumpul pada sebagian kecil masyarakat Desa di Yogyakarta. Hubungan kekeluargaan pada petani tidak tetap

sebagaimana buruh tani, tidak mampu menolong mereka memperkuat kedudukan sosial dan ekonomi.

Petani Bebas

Petani bebas merupakan sebagian kecil masyarakat Desa di Yogyakarta. Sebagaimana dengan kelompok buruh tani, petani bebas dibedakan menjadi sua subkelompok yaitu petani bebas kecil dan tuan tanah besar. Dasar pembagian kelompok petani bebas ini adalah luas kepemilikan tanah. Mereka yang memiliki tanah antara 2,5 hingga 12 acre digolongkan dalam petani bebas kecil.

Petani Bebas Kecil

(8)

Secara ekonomi kelompok ini tidak melakukan pekerjaan untuk mencari upah, sebaliknya mereka mempekerjakan buruh tani. Biasanya petani bebas kecil juga turut bekerja bersama-sama dengan buruh tani sekaligus mengawasi pekerjaan mereka. Selain mengerjakan tanah pertanian miliki mereka sendiri, terkadang mereka juga mengerjakan tanah pertanian milik tuan tanah besar dengan cara bagi hasil. Jenis tanah yang mereka kerjakan adalah tanah sawah, berbeda dengan buruh tani yang mengerjakan tanah tegalan.

Akses petani bebas kecil terhadap sarana produksi sangat terbatas. Mereka membeli dengan harga tinggi dari tuan tanah besar. Petani tidak bebas jarang atau bahkan tidak

pernah menggunakan bibit kentang impor, mereka mendapatkan bibit dari hasil panen kentang tuan tanah besar. Hubungan keluarga antara petani bebas kecil dan tuan tanah besar sedikit membantu dalam akses terhadap sarana produksi. Pengetahuan mereka berkembang dan cenderung berusaha meniru praktik pertanian yang diterapkan oleh tuan tanah besar, yang tentunya sesuai dengan batas kemampuan keuangan mereka.

Perdagangan yang mereka lakukan selalu berbasis pada komoditas pertanian, mereka menjual sendiri hasil panen. Suatu hal yang berbeda dengan kegiatan perdagangan buruh tani yang menjual untuk memperoleh komisi atau pembayaran setelah barang yang mereka jual laku.

Kedudukan sosial antara tuan tanah besar dan petani bebas kecil hanya terdapat sedikit perbedaan. Petani bebas kecil merupakan cerminan

sejumlah kecil masyarakat Desa di Yogyakarta yang berhasil membebaskan diri dan meraih kekuasaan ekonomi yang lebih besar. Terdapat pula beberapa orang yang berhasil meraih kekuasaan ekonomi tersebut melalui cara "menjajah" sesamanya.

(9)

pengabdian", suatu hal yang berbeda dengan anak-anak buruh tani yang harus merawat diri mereka sendiri.

Usaha mempersatukan kelompokburuh tani dan kelompok petani bebas dalam suatu kerangka organisasi bersama menimbulkan adanya ketegangan

sosial. Ide penyatuan ini telah dilakukan dalam bentuk koperasi di Desa. Kedua kelompok memiliki ketidaksetaraan dalam

intelektualitas dan kebudayaan. Dalam organisasi kepemudaan, pemuda dari kelompok petani bebas yang lebih berperan dalam kepemimpinan, sedangkan pemuda dari kelompok buruh tani sebatas pada anggota yang pasif saja.

Anggota kelompok petani bebas kecil yang terkadang memiliki hubungan saudara jauh dengan tuan tanah besar mampu memainkan peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat. Mereka menempati posisi yang baik untuk mendapatkan pengakuan dan rasa hormat dari penduduk lain. Posisi yang strategis tersebut merupakan wujud perjuangan mereka dalam mempertahankan status sosial sehingga tidak turun ke lapisan buruh tani.

Ikatan keluarga memiliki peranan yang penting dalam kegiatan dan

kesempatan ekonomi. Tanah biasanya dipindahtangankan kepada anak-anak sewaktu orang tua masih hidup. Bantuan modal untuk usahatani dapat dengan mudah diakses dari keluarga.

Tuan Tanah Besar (kraton Yogyakarta)

Secara kasar subkelompok tuan tanah besar hanya 1,5% dari keluarga di Desa. Tanah pertanian yang mereka kuasai sebagian besar adalah

(10)

telah terbentang luas melewati batas desa. Kehidupan kota besar seperti Yogyakarta merupakan suatu yang biasa bagi mereka. Berbagai informasi tentang desa sedikit banyak terhimpun dari kalangan tuan tanah besar. Informasi yang terkadang sangat jauh dari kenyataan yang sebenarnya. Pemimpin desa biasanya dari kelompok petani bebas ini demikian pula orang-orang yang bekerja keras untuk gerakan koperasi desa.

Secara ekonomi, dalam menjalankan usaha pertanian, tuan tanah besar menjalankan fungsi sebagai pengelola. Mereka jarang sekali mengerjakan pekerjaan kasar sendiri. Komoditas yang diusahakan adalah komoditas yang menjanjikan keuntungan besar walupun dengan modal yang besar. Beberapa tuan tanah besar berhasil merubah tegalan menjadi kebun buah-buahan yang terawat dengan baik. Setelah panen, tuan tanah besar menyerahkan pengelolaan tanah pertaniannya kepada buruh tani dengan cara maro. Tanah sawah yang mereka miliki disewakan atas dasar bagi hasil. Hasil sewa tersebut mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan makan sedangkan keuntungan dari usahatani kentang dan kubis mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan kemewahan, seperti membangun rumah atau membiayai kuliah anak-anak mereka di Bandung. Mereka juga

menanamkan modal pada usaha dagang dan pengangkutan. DESA DI YOGYAKARTA SAAT INI

Perubahan sangat pesat telah dialami oleh Desa di Yogyakarta seiring dengan semakin pesatnya pembangunan dan introduksi berbagai teknologi serta informasi. Perubahan fisik yang terjadi di Desa adalah suatu

hal yang wajar sebagaimana yang terjadi di desa-desa lainnya terutama di Jawa. Semakin terbukanya akses baik berupa transportasi dan

komunikasi mau tidak mau akan membawa berbagai dampak bagi kehidupan sosial pedesaan.

(11)

sangat pesat, terutama sektor pertaniannya. Kini Desa tidak lagi sebagai desa dengan sistem pertanian tradisional yang semi subsisten, namun sistem pertanian saat ini telah bersifat komersial atau dengan kata lain telah menerapkan prinsip agribisnis.

Tanaman yang diusahakan masih berkisar pada tanaman hortikultura terutama sayur mayur, namun dengan jenis tanaman yang lebih bervariasi dan teknologi budidaya yang jauh berbeda dari tahun 1950-an, ketika H ten Dam melakukan penelitain di desa ini. Desa ini memproduksi kentang, kubis, brokoli, cabai merah, daun bawang, seledri, dan berbagai jenis tomat. Ada juga paprika belanda yang gemuk dan besar seperti apel. Desa di Yogyakarta saat ini telah

menjadi desa percontohan, bahkan sering disebut sebagai kampusnya para petani.

Kemajuan ini tidak dapat lepas program Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) yang ada sejak tahun 1990-an. Program ini didirikan dan dikelola Ishak, seorang petani sayur di Desa

yang berusia 40 tahun, setelah ia mendapat kesempatan magang mempelajari pertanian di Jepang. Dukungan dari berbagai pemerintah, pengusaha dan LSM yang bergerak di bidang pengembangan masyarakat pedesaan manjadikan program ini dapat berkembang dengan pesat dan merubah Desa di Yogyakarta.

Sebagian besar petani telah mampu mengembangkan pertanian dengan pola modern mengikuti tuntutan teknologi budidaya pertanian. Selain itu,

pasar komoditas pertanian di desa ini pun cukup berkembang. Hasil produksi sayur di desa ini dipasarkan ke Singapura, Taiwan, dan dalam waktu dekat akan diekspor ke Korea Selatan. Selain itu, ada petani yang menjualnya ke supermarket di Jakarta, Denpasar, Surabaya, dan Bandung. Sisanya untuk pasar-pasar induk di Yogyakarta.

Struktur Sosial Masyarakat

(12)

kondisi Desa di Yogyakarta pada tahun 1950-an hingga 1990-an dengan segala keterbatasannya. Fenomena buruh tani dan petani bebas pada tahun

1950-an seperti yang diulas oleh H ten Dam seakan-akan melompat menuju "kenaikan derajat" pada saat ini. Tentu semuanya melalui proses atau masa transisi.

Semakin pesatnya perkembangan pembangunan industri di perkotaan pada era orde baru yang memicu adanya disparitas desa-kota. Kondisi ini menyebabkan adanya fenomena urbanisasi besar-besaran, terlebih dengan

semakin terdesaknya kaum buruh tani di pedesaan Jawa. Seiring dengan perkembangan pertanian Desa Cibodas yang telah berubah

menjadi "industri pertanian", status buruh tani tidaklah seperti yang digambarkan oleh H ten Dam pada tahun 1950-an. Kesejahteraan buruh tani semakin meningkat, bahkan istilah buruh tani menjadi suatu yang dipaksakan apabila ingin diterapkan di Desa Cibodas saat ini. Istilah yang paling tepat untuk menyebut kelompok ini adalah "pegawai atau karyawan perkebunan".

Banyak petani yang kini bernasib naas, hanya menjadi tukang tanam. Namun, di Desa Cibodas yang ada adalah petani-petani yang telah berhasil memperlihatkan diri sebagai petani modern yang sukses. Cirinya, kehidupan mereka tidak hanya berkutat di kebun. Mereka

memiliki banyak waktu untuk membagi ilmu kepada masyarakat lain seperti kesenian dan kerajinan tangan agar bisa menjadi lebih maju.

Semua dimensi ini tampak menjadi keseharian para petani di Desa. Hampir seluruh petani di desanya memiliki pegawai di kebun.

Jumlah pegawainya mencapai 4 hingga 50 orang. Mereka bekerja secara berkelompok untuk memenuhi permintaan pasar secara berkesinambungan. Kesinambungan usaha yang dibangun atas dasar kerja sama ini

mengakibatkan mereka bisa mendapatkan penghasilan Rp. 2.000.000,00 per bulan.

Para petani juga bisa menabung untuk membangun rumah, juga

(13)

mereka juga bisa membangun rumah untuk kepentingan tamu. Petani di Desa tidak menghabiskan waktu mereka di kebun untuk bekerja.

PENUTUP

Struktur sosial masyarakat Desa di Yogyakarta terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu kaum buruh tani dan kraton Yogyakarta. Pengelompokan tersebut didasarkan pada penguasaan mereka terhadap faktor produksi tanah

pertanian. Kedua kelompok besar ini dapat dibagi lagi dalam empat kelompok kecil yaitu buruh tani dalam artian sebenarnya, petani tidak tetap, petani bebas kecil dan tuan tanah besar. Buruh tani, yang merupakan mayoritas keluarga di Desa menempati posisi yang paling bawah dalam pelapisan sosial, sedangkan tuan tanah besar menempati posisi tertinggi dalam piramida pelapisan sosial tersebut. Jumlah tuan tanah besar hanya sebagian kecil dari keluarga yang tinggal di Desa.

Walaupun sistem stratifikasi pada masyarakat Desa di Yogyakarta merupakan sistem stratifikasi terbuka, gerak sosial jarang dijumpai pada

masyarakat Desa di Yogyakarta. Kelompok petani bebas berusaha untuk selalu mempertahankan kedudukan mereka, sedangkan kaum buruh tani cenderung untuk bertahan dengan keterbatasan yang ada. Sikap "nrimo" menjadi kendala untuk melakukan upaya memperbaiki kesejahteraan mereka. Gejala tersebut kini mengalami perubahan, seiring semakin pesatnya

perkembangan Desa di Yogyakarta oleh "industrialisasi pertanian". Walaupun struktur sosial yang ada masih tampak adanya stratifikasi antara buruh

tani dan tuan tanah, tetapi pola relasi antara dua kelompok sosial ini mengalami banyak kemajuan. Pola relasi yang saling menguntungkan melalui model kelembagaan petani membawa dampak pada semakin sejahteranya buruh tani di Desa. Konsep buruh tani manjadi

(14)

Namun demikian seiring masuknya investasi berupa modal dan teknologi di Desa membawa kekhawatiran ketika suatu saat pola kemitraan

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Beteille, Andre. 1970. Social Inequality. Penguin Education. California. Douglas, Jack D. 1981. Introduction to Sociology ; Situations and Structures. The Free Press. New York.

Kornblum, William. 1988. Sociology in Changing World. Holt, Rinchart and Winston. New York.

Linton, Ralph. 1967. "Status and Role" dalam Lewis A. Coser dan Bernard Rosenberg. Sociological Theory ; A Book of Reading. The Macmillan. New York.

Referensi

Dokumen terkait

The word ‘new bed’ is mix her language into English in the middle of her utterance and classified as insertion, type of code mixing, because Alex inserts a word new

Proses penentuan tingkatan dehidrasi melalui warna dan kadar amonia urin diperoleh dari nilai hasil pembacaan sensor warna TCS3200 dan sensor gas MQ135 oleh mikrokontroler

Akan tetapi apabila kualitas data yang dipergunakan untuk proses perencanaan yang diperoleh dari Puskesmas-puskesmas kurang baik, demikian juga dengan usulan kegiatan dari

 Bahwa Pembanding/ Tergugat tidak sependapat dengan pertimbangan hukum Judex Factie Pengadilan Agama Mataram paragraf ke-4 ha 33 yang pada pokoknya telah

Melakukan observasi pada kegiatan Industri kecil Perajinan jenang dari bahan santan kelapa di Desa Kaliputu sebagai sentra industri jenang, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus ini

Pendapatan tertinggi kemungkinsn diperoleh saat angin tenang sehingga mereka mempunyai waktu melaut yang panjang, memiliki alat tangkap lebih dari satu dengan teknologi sarana

Kesulitan tersebut disebabkan beberapa hal yaitu, peserta didik berasal dari sekolah dasar yang tidak pernah mengajarkan mata pelajaran Bahasa Inggris, peserta

Indikator Soal Nomor Soal Skor Menjelaskan konsep usaha, pesawat sederhana dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari Usaha L1 Disajikan pernyataan, peserta didik