• Tidak ada hasil yang ditemukan

Korean Wave di Industri Kultur Dunia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Korean Wave di Industri Kultur Dunia"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

” di Industri Kultur

Dunia

Priska Sabrina Luvita

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Globalisasi merupakan sebuah fenomena, atau era di mana kita hidup sekarang. Istilah globalisasi itu sendiri sebenarnya banyak memperoleh perdebatan oleh para kaum intelektual dunia, namun secara umum, Globalisasi banyak dicirikan dengan kemudahan dan kecepatan memperoleh informasi, perputaran capital di dunia, semakin tidak berartinya batas-batas tiap negara, dan lain sebagainya yang dapat membuat dunia menjadi lebih sempit.

Globalisasi sesungguhnya juga memberikan kita kemudahan untuk mentransfer kultur atau budaya beserta ide-ide kreatif masyarakat dunia secara cepat. Maraknya fenomena ―K-Pop‖ atau ―Korean Wave‖ –dapat disebut juga ―Hallyu‖ dalam bahasa Korea—merupakan salah satu dari budaya yang sedang sangat diminati masyarakat dunia sekarang ini. Awal istilah ―Korean Wave‖ ini muncul sebenarnya untuk menunjukkan maraknya produk-produk dari Korea Selatan di luar negerinya, namun pada perkembangannya sekarang, istilah ini berkembang dan digunakan untuk menyebutkan para selebritis-selebritis asal Korea Selatan yang berhasil mengepakkan sayapnya di dunia internasional.

(2)

tempat penjualan DVD-DVD di Indonesia yang tadinya hanya memberikan satu slot kecil untuk DVD-DVD Korea Selatan, bertambah tiga kali lipat di setiap konter DVD. Fenomena ini juga membuat restoran makanan Korea dan penjualan baju-baju ala Korea Selatan mulai banyak bermunculan di sekitar masyarakat, seperti masyarakat Indonesia.

Hal menarik lain adalah banyak bermunculannya artis boyband dan girlband di Asia (bahkan Indonesia) dengan konsep yang sejenis dengan artis-artis ―Hallyu‖ dan mulai aktif kembali boyband-boyband yang berasal dari Barat seperti New Kids On The Block dan BackstreetBoys.

Fenomena ini sesungguhnya merupakan suatu hal yang menarik untuk dibahas, terlebih karena fenomena ini merupakan fenomena baru dan tengah berkembang di masyarakat dan industri kultur dunia. Serta karena masyarakat dunia sekarang ini cenderung bersikap ―taken for granted‖ fenomena ―Korean Wave‖ ini tanpa mengkaji apa yang sebenarnya terjadi dengan adanya fenomena ini di dunia sekarang ini.

I.2. Batasan Masalah

Penulis akan membatasi makalah ini pada periode waktu tahun 2005 sampai dengan tahun 2011.

I.3. Perumusan Masalah

(3)

BAB II

PEMBAHASAN

II.1. Kemunculan dan Dampak “Korean Wave” di era Globalisasi

Setelah dilacak awal mula meledaknya fenomena yang sekarang disebut ―Korean Wave‖ ini, ternyata dimulai dari ekspor Drama Televisi Korea Selatan (mini-series atau sejenis sinetron di Indonesia) ke China pada tahun 1990an.1 Kemudian muncul istilah ―Korean Wave‖ atau yang kerap disebut ―Hallyu‖ dalam bahasa Korea yang pertama kali dimunculkan oleh seorang jurnalis China saat menuliskan maraknya minat akan Korea Selatan beserta produk-produknya di China pada awal tahun 2000.2 Melihat dari awal kemunculannya, budaya populer atau popular culture (disingkat menjadi pop culture) – yang dalam hal ini merupakan budaya pop dari Korea Selatan—merupakan suatu fenomena yang sangat kuat dan signifikan dalam mempengaruhi perkembangan hubungan perekonomian antara Korea Selatan dan China pada awal tahun 2000. Lalu berkembang pesat di Jepang pada tahun 2003-2005 dengan diputarnya drama Korea ―Winter Sonata‖.3

Kemudian pada akhirnya mulai mendominasi Asia sekitar tahun 2007-2009.

Dan lebih dari segalanya, fenomena ini dapat terjadi karena adanya kesempatan yang diberikan oleh globalisasi itu sendiri, sesuai dengan salah satu deskribsi dari globalisasi sebagai berikut:

Globalization is an amorphous concept that describes a variety of different

economic, social, and cultural processes. ….increasing speed of communication and transportation technologies, growing trade interdependence and capital mobility, shifts in processes of production that bring multiple countries and regions into single supply chains, the erosion of national borders through increased immigration, and the growth of global

1 Korean Culture and Information Service. The Korean Wave: A New Pop Culture Phenomenon. Korean

Culture and Information Service (Korea Selatan, 2011), 11.

2 http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2006/08/30/AR2006083002985.html diakses

pada hari Selasa, 20 Desember 2011, pukul 21.22 WIB.

(4)

public goods problems relating to environmental degradation, transnational crime, and transnational terrorism.4 (Penekanan ditambahkan sendiri)

Kemudian dengan cara yang sama, fenomena ―Korean Wave‖ terus merambah dunia dengan ikut dalam arus globalisasi dan teknologi informasi yang ada.

―Korean Wave‖ lebih lanjut dalam era globalisasi dimanfaatkan –sengaja disebarkan untuk menarik dan menumbuhkan minat konsumtif kepada segala produk buatan Korea Selatan, gaya hidup orang Korea Selatan, menarik para turis untuk datang dan berbelanja di Korea Selatan, dan bahkan merubah pandangan sentimen akan Korea

Selatan. Hal ini cukup secara eksplisit dijelaskan pada buku yang diterbitkan sendiri oleh Korean Culture and Information Service (KOCIS) yang bergerak di bawah Kementerian Budaya, Olahraga, dan Pariwisata Korea Selatan berjudul The Korean Wave: A New Pop Culture Phenomenon.5 Pada dasarnya dapat diambil kesimpulan bahwa ―Korean Wave‖ dimanfaatkan untuk mengubah dan mengatur pola pikir dan keinginan masyarakat dunia agar pro-Korea (Selatan).

Keberhasilan ―Korean Wave‖, para agensi-agensi penghasil selebriti-selebriti ―Hallyu‖, para produser pencipta drama-drama Korea dan para selebriti-selebriti ―Hallyu‖ itu sendiri inilah yang dari periode sejak munculnya ―Korean Wave‖ yang membuat maraknya industri hiburan serupa muncul dalam berbagai dimensi. Munculnya banyak generasi muda yang ingin bercita-cita menjadi selebriti, banyaknya bermunculan boyband dan girlband secara bertubi-tubi tiap tahunnya di Korea Selatan sendiri –tanpa menampikkan bahwa telah muncul banyaknya agensi yang menciptakan boyband dan girlband serupa di Asia Tenggara, seperti Indonesia6, Malaysia7, dan lain sebagainya.

II.2. “Korean Wave” dan Industri Kultur Dunia

Dari penjabaran singkat kemunculan dan sedikit dampak dari fenomena ―Korean Wave‖ ini, fenomena ini sesungguhnya dapat dikategorikan dan dianalisa dengan konsep ―Culture Industry‖ yang dicetuskan Theodore W. Adorno dan Max Horkheimer pada

4 Daniel H. Nexon dan Iver B. Neumann. “Harry Potter and International Relations”. Rowman &

Littlefield Publihers, inc (Amerika Serikat, 2006), 81.

5 Korean Culture and Information Service, Ibid., 13-14 6 Seperti Cherrybelle, SM*SH, S9B, dan banyak lainnya.

(5)

buku yang mereka tulis bersama berjudul ― The Dialectic of Enlightenment‖8

karena fenomena ini merupakan pengindustrian dan penyebaran budaya di era globalisasi oleh kaum kapitalis. Fenomena yang merupakan sebuah skema penipuan di zaman kapitalisme baru. Budaya, yang pernah bisa memungkinkan adanya unsur kebebasan dan kreativitas individu, telah –melalui difusi massa film dan radio—menjadi ―industri kultur‖ lengkap dengan ―cult of celebity‖ (pengkultusan selebriti, atau lebih lanjut dirumuskan dalam konsep fetishme komoditas) yang memiliki mekanisme sosial tetap untuk menurunkan derajat setiap orang.9

Mengapa menurunkan derajat manusia? Hal ini dikarenakan industri kultur mengkontrol dan mengerahkan pikiran masyarakat, membuat suatu ―standarisasi‖ budaya sesuai dengan budaya ―Korean Wave‖, dan membuat manusia –dalam hal ini selebritis ―Hallyu‖ beserta manusia lain yang menikmati ―Korean Wave‖—tidak lebih sebagai alat dan komoditas dari kaum kapitalis. Yang seluruh hal tersebut dimanfaatkan kaum kapitalis untuk menghasilkan profit.

Pertama, masalah industri kultur mengontrol dan mengerahkan pikiran masyarakat. Seperti yang telah dijabarkan pada sub-bab selanjutnya, ―Korean Wave‖ beserta seperangkat hasil produksinya (termasuk produk dan selebritinya) mampu untuk mempengaruhi keinginan masyarakat untuk membeli produk-produk yang bernuansa Korea Selatan, berwisata ke Korea Selatan, menunggu kedatangan selebriti ―Hallyu‖ di airport, dan merubah sentimen negatif terhadap Korea Selatan –terutama China dan Jepang yang memiliki sejarah panjang ketegangan dengan Korea Selatan, yang kemudian kedua negara ini menjadi sasaran pertama dari ―Korean Wave‖.

Yuko Ishii (53 tahun), seorang pekerja di Tokyo berkata, ―I used to rule out Korean products, but now I have no problem with them. If my favorite star was

advertising a South Korean TV, I would definitely buy it. I want to feel closer to them by buying the same products they use.‖10

. Ishii di sini merupakan contoh kongkrit dari

kuatnya industri kultur untuk mengontrol pikiran dan kemauan masyarakat, bahkan

8

Pertama kali buku Dialectic of Enlightenment muncul dengan judul Philosophical Fragments pada tahun 1944 dan berganti dalam judul yang lebih umum dikenal pada tahun 1947. Lebih lanjut lihat di Jenny Edkins dan Nick Vaughan Williams, ed., Critical Theorists and International Relations (Amerika Serikat: Routledge, 2009).

9 Ibid., halaman 16.

10

(6)

masyarakat yang sebelumnya memiliki sentimen negatif terhadap hal tersebut, saat Ia merasakan perubahan cara pikir pun Ishii tidak merasa hal tersebut sebagai suatu hal yang salah atau aneh saat ―Korean Wave‖ membuatnya berpikir dan bertindak seperti itu. Ilusi bahwa dengan membeli produk yang ditawarkan oleh selebriti ―Hallyu‖ membuat Ishii menjadi lebih dekat dengan selebriti tersebut juga menciptakan ―kebahagiaan palsu‖ yang diberikan industri kultur. Sesuai dengan pernyataan Adorno, “[T]he culture industry forsakes the promise of happiness in the name of the degraded utopia of the

present. This is the ironic presentation of the present.‖11 Perubahan cara pikir dan sifat

konsumerisme dengan ilusi palsu inilah yang dimaksud Adorno sebagai salah satu pendegradasian manusia, karena dominasi dan opresi tersebut tidak terlihat dan tersembunyi.12

Seluruh aksi-aksi yang memerlukan pengorbanan waktu, tenaga pikiran, dan materi masyarakat tersebut juga dilakukan dengan senang hati. Sesungguhnya penyebaran fenomena ini sangatlah politis dan kuat, begitu kuatnya sehingga dapat diterima dengan tangan terbuka. Hal yang patut disayangkan lagi, karena arus globalisasi, segala macam komoditas –termasuk produk ―Korean Wave‖ dan selebritinya—menjadi semakin mudah terjangkau dan oleh karenanya lebih mampu mendominasi kesadaran seseorang.13

Kedua, industri kultur ―Korean Wave‖ membuat sebuah standarisasi budaya. Pandangan industri kultur yang dikonsepsikan oleh Adorno mengenai standarisasi budaya adalah bahwa sesungguhnya hasil produksi atau komoditas yang dihasilkan di industri budaya tertentu akan sama satu dengan yang lainnya. Akan tetapi produksi budaya tersebut juga menganugrahkan suatu rasa individualitas dalam artian bahwa setiap produk ―memiliki nuansa individual‖.14

Nuansa individual ini berfungsi untuk mengaburkan standarisasi dan manipulasi kesadaran yang dipraktikkan oleh industri kultur, hal yang disebut ‗individualisasi semu‘ oleh Adorno. Untuk beberapa orang yang mendukung fenomena ―Korean Wave‖ dan yang memilih untuk mengabaikannya, mereka tidak akan

11 Theodore W. Adorno. The Culture Industry: Selected Essays on Mass Culture (Amerika Serikat:

Routledge, 1999), 9

12

Ibid.

13 Dominic Strinati. Popular Culture: An Introduction to Theories of Popular Culture. Routledge (London,

1995), 105.

(7)

menganggap adanya standarisasi atas produk ―Korean Wave‖ dan berargumen bahwa banyak perbedaan-perbedaan ―individualisasi‖ di tiap-tiap produk. Namun, pernahkah Anda melihat girlband atau boyband ―Hallyu‖ dan berpikir bahwa mereka semua ―sama‖? Atau mendengar sederet lagu-lagu ―Hallyu‖ yang terdengar ―mirip‖ satu sama lain? Atau menonton suatu film, drama, acara televisi dan berkata bahwa itu ―sangat Korea‖?

Tanpa disadari, ―Korean Wave‖ menciptakan suatu standart baru untuk kultur di dunia. Karena melihat minat, atau ―permintaan‖ dalam bahasa kapitalis, akan seluruh komoditas bernuansa ―Korean Wave‖, maka diproduksilah komoditas serupa untuk memenuhi permintaan masyarakat –tentunya dengan memberikan individualisasi semu. Salah satu contoh dari standarisasi ―Korean Wave‖ dalam industri musik yang paling sederhana adalah jumlah anggota dari boyband atau girlband yang muncul akhir-akhir ini. Dulu, di saat industri musik boyband datang dari Barat, jumlah anggota sebuah boyband berkisar antara 4-5 orang per grup.15 Sedangkan boyband dan girlband ―Korean Wave‖ distandarisasikan berjumlah 6 orang atau lebih, karena pioneer boyband dan girlband terdepan ―Korean Wave‖ terkenal dengan jumlah anggotanya yang banyak.16

Salah satu hal yang menjadi daya tarik mereka. Standart ini lah yang membuat fenomena boyband dan girlband yang muncul di kawasan Asia Tenggara akhir-akhir ini mengikuti standart ―Korean Wave‖, yaitu beranggotakan 6 orang atau lebih.17

Lebih lanjut, Youtube sebagai website terkenal dalam memberikan sarana video-video berskala global membuat kategori K-Pop pada 15 Desember 201118 yang merupakan pertama kalinya sebuah katagori musik suatu negara dijadikan genre musik sendiri, bahkan J-Pop pun tidak. Hal ini lebih lanjut akan menumbuhkan ―kemiripan, namun dengan tambahan individualisasi semu‖ pada musik-musik yang termasuk –atau ingin masuk dalam kategori ini. Yang karenanya, lebih memungkinkan standarisasi ―Korean Wave‖ dapat dilihat dan dirasakan secara lebih eksplisit.

15

Seperti contohnya Backstreet Boys, Blue, Westlife, dan lain sebagainya yang hanya memiliki 4-5 orang anggota.

16Seperti Super Junior (13 orang), Girls‘ Generation (9 orang), 2PM (6 orang), dan lain sebagainya. 17

Seperti SM*SH (6 orang), S9B (9 orang), 7Icons (7 orang), CherryBelle (9 orang), Gula-gula (6 orang), MAX 247 (10 orang) dan lain-lain

18 http://kpopconcerts.com/kpop-news/k-pop-category-created-in-youtube/ diakses pada hari Kamis, 5

(8)

Terakhir, fenomena ―Korean Wave‖ ini sesungguhnya merupakan sebuah fenomena di mana industri kultur diterapkan sesuai dengan industri komoditas-komoditas lainnya di dalam logika kapitalisme. Manusia, selebritis-selebritis ―Hallyu‖ dan para trainee atau orang-orang yang ingin menjadi selebriti ―Hallyu‖, hanya bernilai merupakan means of production atau alat produksi bagi kaum kapitalis untuk mendapatkan profit.

Manusia dan budaya dinilai tidak lebih daripada benda mati lainnya yang dapat dibuang dalam proses produksi. Maka dari itu kasus bunuh diri bukanlah suatu hal yang asing dilakukan oleh selebritis ―Hallyu‖ yang kalah persaingan atau turun pamor. Dan manusia, menjadi komoditas yang diperjual-belikan demi keuntungan pihak yang diuntungkan – kaum kapitalis, jika mengikuti pandangan Adorno. Para penikmat fenomena ―Korean Wave‖ juga dianggap tidak lebih dari suatu massa yang tidak berdaya, publik yang ―regresif‖, bergantung (pada candu budaya yang dihadirkan industri kultur), dan pasif.19

Tidak berharga jika tidak untuk memberikan keuntungan bagi kaum kapitalis.

II.3. Kaum Kapitalis, Industri Kultur, dan “Korean Wave”

Telah disinggung sebelumnya bahwa kaum kapitalis dalam pandangan Adorno lah yang menjadi pihak pengeruk keuntungan dari fenomena industri budaya yang semakin besar dampaknya setelah disebarkan melalui arus globalisasi ini. Namun, siapa persisnya kaum kapitalis yang diuntungkan dalam fenomena ―Korean Wave‖ ini sesungguhnya tidak dapat ditunjuk satu-per-satu secara jelas. Namun, setidaknya, pihak yang mendapat keuntungan dari fenomena ini dan dengan sekuat tenaga menyebarkannya tentu dapat diteliti secara perlahan, tanpa bermaksud menggugat pihak tersebut sebagai ―kaum kapitalis‖ tetapi bermaksud untuk mengidentifikasi tiga pihak –mungkin tidak seluruhnya dari pihak— yang mendapat untung dan berusaha menyebarkan fenomena ini. Pertama, pihak yang pasti mendapatkan keuntungan dari ―Korean Wave‖

tentunya merupakan para agensi-agensi besar di Korea Selatan yang pada awalnya

mengekspor hasil produksinya (berupa selebritis atau film). Atau yang dikenal sebagai ―The Big Three‖, yaitu SM Entertainment, YG Entertainment, dan JYP Entertainment. Salah satunya, SM Entertainment, merupakan pelopor ―Korean Wave‖ dalam bidang

(9)

industri musik untuk memasuki pasar musik di Jepang.20 Namun ketiga agensi besar ini mendapatkan profit yang terus meningkat seiring dengan kepemimpinannya mengekspor selebritis ―Korean Wave‖ di industri kultur dunia.

Pandangan bahwa para selebritis ―Hallyu‖ juga mendapatkan keuntungan dengan fenomena ―Korean Wave‖ di era globalisasi ini tidak sepenuhnya benar. Bahkan mereka hidup dengan kontrak yang ketat, bahkan banyak kasus tuntutan untuk agensi-agensi di Korea Selatan (terutama ―The Big Three‖)21

dari para selebritisnya dan isu-isu ―slave contract‖ atau kontrak perbudakan. Kasus bunuh diri di kalangan selebritis ―Hallyu‖ juga bukan hal yang aneh didengar, karena sesuai dengan logika kapitalis, jika tidak dibutuhkan maka tidak akan ada nilainya, sekalipun itu jiwa manusia. Hal ini kembali lagi pada kritik kepada industri kultur ―Korean Wave‖ pada sub-bab sebelumnya.

Kedua, para produsen produk-produk Korea Selatan, seperti LG, Samsung, dan lain sebagainya yang memakai para selebritis ―Hallyu‖ untuk mempromosikan produk mereka. Karena para selebritis ―Hallyu‖ yang diproduksi oleh industri kultur ―Korean Wave‖ memiliki kekuatan untuk mengontrol masyarakat untuk membeli produk-produk yang mereka tawarkan. Seperti Yuko Ishii di atas merupakan salah satu contohnya. Dan oleh karena itu, para produsen produk-produk Korea Selatan tersebut ikut membantu mempromosikan ―Korean Wave‖ dengan caranya sendiri, salah satunya memberikan sponsor. Namun, LG Electronics bahkan membantu mempromosikan ―Korean Wave‖ dengan cara membuka fitur ―K-Pop Service‖.22

Terakhir, pihak yang jelas mendapat untung dan oleh karenanya berusaha sangat keras untuk mempromosikan fenomena ―Korean Wave‖ adalah Pemerintah Korea Selatan. Naiknya penjualan produk-produk Korea Selatan, berkembangnya sektor pariwisata dan berubahnya sentiment masyarakat internasional kepada negara Korea Selatan secara eksplisit dibanggakan oleh Pemerintah Korea Selatan.23 Pemerintah Korea

20 http://www.hancinema.net/the-big-3-of-korean-pop-music-and-entertainment-31783.html diakses pada

hari Kamis, 5 Januari 2012, pukul 20.54 WIB.

21 Seperti contoh, tuntutan salah satu anggota boyband Super Junior kepada agensinya, SM Entertainment

dengan alasan ―slave contract‖ dan lain sebagainya. Lebih lanjut lihat

http://www.soompi.com/news/hankyungs-reasons-for-filing-flawsuit-against-sm-entertainment diakses pada hari Kamis, 5 Januari 2012, pukul 21.04 WIB.

22

http://www.lg.com/my/press-release/article/lgs-new-k-pop-service-to-bring-korean-wave-of-pop-culture-to-tvs-worldwide.jsp diakses pada hari Jumat, 6 Januari 2012, pukul 10.10 WIB.

23 Lebih lanjut baca The Korean Wave: A New Pop Culture Phenomenon yang diterbitkan dibawah

(10)

Selatan bahkan sejak awal ikut berperan aktif dalam pengeksportan indusri kultur ―Korean Wave‖. Bahkan secara politis menyebarkan industri ini ini dengan cara menyebarkan kalender K-Pop ke 170 Kedutaan Besar di dunia pada tahun 2011.24 Dan di dalam negerinya, Pemerintah Korea Selatan sengaja mengadakan seminar untuk masyarakat untuk mengangkat derajat ―pekerjaan‖ para selebritis ―Hallyu‖ di mata masyarakat dengan mengatakan bahwa, Becoming a celebrity is harder than being

admitted to Seoul University.”.25

Hal yang pada akhirnya tentu akan mendorong peningkatan generasi muda Korea Selatan untuk ingin mengambil profesi sebagai

selebritis, dan oleh karenanya, sources untuk memproduksi selebritis ―Korean Wave‖ akan terus bertambah, serta industri kultur ―Korean Wave‖ lalu tetap berjalan dan mendominasi.

24

http://www.allkpop.com/2011/12/korean-government-ships-out-k-pop-calendars-to-embassies-around-the-world diakses pada hari Kamis, 5 Januari 2012, pukul 13.36 WIB.

25 http://www.allkpop.com/2011/12/government-launches-seminar-programs-for-parents-of-idol-trainees

(11)

BAB III

PENUTUP

Dapat disimpulkan bahwa fenomena ―Korean Wave‖ yang tengah marak disajikan dalam globalisasi sekarang ini sesungguhnya tidaklah sebaik apa yang ada di permukaan. Terlebih, fenomena ini dapat dikaji dan dikatagorikan ke dalam industri kultur yang memiliki dampak mendegradasi manusia dan budaya menjadi tidak lebih untuk mendatangkan keuntungan bagi oknum-oknum tertentu.

Budaya yang diproduksi melalui ―Korean Wave‖ akhirnya menjadi suatu standarisasi budaya dengan tambahan individualisasi semu untuk menyembunyikan dan menutupi standarisasi dan proses dominasi. Produk yang dihasilkan juga memberikan ilusi kebahagiaan semu kepada manusia yang menikmati ―candu budaya‖ tersebut.

Dengan ini penulis berharap bahwa di masa depan kita akan dapat secara lebih dalam mengkaji fenomena industri kultur yang disebarkan dalam arus globalisasi. Agar masyarakat memiliki kesadaran akan apa yang tengah terjadi di sekitar mereka, yaitu proses dominasi yang kuat dari industri kultur dunia.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Adorno, Theodore W. The Culture Industry: Selected Essays on Mass Culture (Amerika Serikat: Routledge, 1999)

Edkins, Jenny dan Williams, Nick Vaughan, ed., Critical Theorists and International Relations (Amerika Serikat: Routledge, 2009).

Korean Culture and Information Service (KOCIS). The Korean Wave: A New Pop Culture Phenomenon. Korean Culture and Information Service (Korea Selatan,

2011)

Nexon, Daniel H. dan Neumann, Iver B. “Harry Potter and International Relations”. Rowman & Littlefield Publihers, inc (Amerika Serikat, 2006)

Strinati, Dominic. Popular Culture: An Introduction to Theories of Popular Culture. Routledge (London, 1995)

http://www.allkpop.com/2011/12/government-launches-seminar-programs-for-parents-of-idol-trainees

http://www.allkpop.com/2011/12/korean-government-ships-out-k-pop-calendars-to-embassies-around-the-world

http://www.bloomberg.com/news/2011-07-25/k-pop-stars-lure-japanese-consumers-to-buy-samsung-lg-goods.html

http://www.hancinema.net/the-big-3-of-korean-pop-music-and-entertainment-31783.html http://kpopconcerts.com/kpop-news/k-pop-category-created-in-youtube/

http://www.lg.com/my/press-release/article/lgs-new-k-pop-service-to-bring-korean-wave-of-pop-culture-to-tvs-worldwide.jsp

http://www.soompi.com/news/hankyungs-reasons-for-filing-flawsuit-against-sm-entertainment

Referensi

Dokumen terkait

Budaya Korea yang masuk di Indonesia sangatlah diterima oleh masyarakat. Budaya tersebut dapat disebut dengan Korean wave. Dengan adanya hal tersebut banyak

Keempat definisi itu adalah : Definisi Penyimpangan Secara Statistikal, Definisi Penyimpangan Secara Absolutis (mutlak), Definisi Penyimpangan Menurut Kaum Reaktivis, dan

Mengenai gaya hidup dugem dikalangan mahasiswa kota bandung adalah bagaimana seorang mahasiswa dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitar, dilihat dari pola-pola tidakan

8 Korea Selatan mengusung Korean Wave yang merupakan hasil inisiatif pemerintah Korea Selatan dengan melibatkan aktor-aktor non negara seperti perusaan-perusahaan film

Penghitungan kerugian negara adalah pemeriksaan investigatif yang dilakukan untuk menghitung serta memperoleh jumlah pasti nilai kerugian negara yang terjadi akibat

Dalam penelitian ini, penulis membagi penelitian terdahulu menjadi 4 kategori. Kategori pertama yaitu penelitian-penelitian mengenai Korean Wave dan K- Pop sebagai alat

Aktor yang terlibat dalam penggunaan Korean wave sebagai instrumen soft power adalah pemerintah Korea Selatan, media (televisi maupun internet), industri produk