UPAYA PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI HUTAN
DI INDONESIA
Muhammad Fadli
NIM. 170417002
Tugas Mata Kuliah: KONSERVASI HUTAN
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Ir. H. Wawan Kustiawan, MA.Sc.
PROGRAM DOKTORAL ILMU KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
UPAYA PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI HUTAN DI INDONESIA
Muhammad Fadli – NIM. 170417002
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman
A. PENGANTAR
Indonesia yang memiliki Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Perlindungan Alam seluas
27.429.555,99 hektare, yang terdiri dari 5.320.929,00 hektare kawasan konservasi perairan dan
laut dan 22.109.690,99 hektare kawasan konservasi daratan (Dirjen Planologi Kehutanan dan
Tata Lingkungan KHLK, 2015). Setidaknya terdapat 5.860 desa di sekitar kawasan konservasi dan
100 ribu hektare zona pemanfaatan tradisional di kawasan konservasi. Pengelolaan kawasan
konservasi, seperti taman nasional, cagar alam, taman buru, hutan wisata dan hutan lindung,
dilakukan oleh pemerintah melalui unit pelaksana teknis sebagai perwakilan pemerintah di
tingkat tapak.
UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
menyatakan konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati
yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan
nilainya. IUCN menyebutkan konservasi sebagai “perlindungan, perawatan, pengelolaan dan
pemeliharaan ekosistem, habitat, spesies satwa liar dan populasi, di dalam atau di luar
lingkungan alami, untuk melindungi kondisi alam untuk kelestarian jangka panjang”. Tujuan
konservasi adalah untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta
keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia, dimana merupakan tanggung jawab
dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat.
Kebijakan pengelolaan kawasan konservasi melalui dinamika akibat pengaruh berbagai
pihak yang berkepentingan (Dunggio dan Gunawan, 2009). Sejak masa Hindia Belanda, telah
hadir inisiatif melindungi kawasan dengan pengukuhan kawasan hutan seluas 6 ha di Depok
sebagai Cagar Alam (Natuur Reservaat) pada tahun 1714 dengan nama Cagar Alam Pancoran
Mas (Sulthoni, 1990). Pada 1912 juga didirikan Nederlands Indische Vereniging tot Natuur
Bescherming (Perhimpunan Perlindungan Alam Hindia Belanda) oleh Dr. S. H. Koorders, dkk,
yang kemudian menunjuk dua belas lokasi kawasan yang perlu dilindungi di Pulau Jawa dan
dilanjutkan dengan terbitnya Saatsblad No. 278 pada Maret 1916 yang kemudian menunjuk 55
kawasan sebagai Cagar Alam (Wiratno, dkk., 2004).
Pasal 4 UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya menyebutkan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan
tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat. Secara lebih detail, pengelolaan
konservasi diatur melalui PP No. 28/2011 yang sebagian diperbaharui dengan PP No. 108/2015,
dimana pengelolaan kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan pelestarian alam (KPA) bertujuan
untuk mengawetkan keanekaragaman tumbuhan dan satwa dalam rangka mencegah
kepunahan spesies, melindungi sistem penyangga kehidupan, dan pemanfaatan
keanekaragaman hayati secara lestari.
B. PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI
Kawasan konservasi di Indonesia dibagi menjadi KSA yang terdiri dari cagar alam dan
suaka marga satwa, dan KPA yang terdiri dari taman nasional, taman hutan raya dan taman
wisata alam. Kawasan konservasi ditetapkan oleh menteri yang mengurus kehutanan serta yang
mengurus kelautan dan perikanan. Masing-masing kawasan konservasi memiliki kriteria
penetapannya, yaitu:
Tabel 1. Kriteria Penunjukan dan Penetapan Kawasan Konservasi (PP No. 28/2011)
Kawasan Konservasi Kriteria Penunjukan dan Penetapan Kawasan
Cagar Alam a. memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan dan/atau satwa liar yang tergabung dalam suatu tipe ekosistem;
b. mempunyai kondisi alam, baik tumbuhan dan/atau satwa liar yang secara fisik masih asli dan belum terganggu;
c. terdapat komunitas tumbuhan dan/atau satwa beserta ekosistemnya yang langka dan/atau keberadaannya terancam punah;
d. memiliki formasi biota tertentu dan/atau unit-unit penyusunnya; e. mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu yang dapat menunjang pengelolaan secara efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami; dan/atau
f. mempunyai ciri khas potensi dan dapat merupakan contoh ekosistem yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi. Suaka Margasatwa a. merupakan tempat hidup dan berkembang biak satu atau
beberapa jenis satwa langka dan/atau hampir punah; b. memiliki keanekaragaman dan populasi satwa yang tinggi; c. merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migrasi
tertentu; dan/atau
Kawasan Konservasi Kriteria Penunjukan dan Penetapan Kawasan
Taman Nasional a. memiliki sumber daya alam hayati dan ekosistem yang khas dan unik yang masih utuh dan alami serta gejala alam yang unik; b. memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh;
c. mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami; dan
d. merupakan wilayah yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, dan/atau zona lainnya sesuai dengan keperluan.
Taman Hutan Raya a. memiliki keindahan alam dan/atau gejala alam;
b. mempunyai luas wilayah yang memungkinkan untuk pengembangan koleksi tumbuhan dan/atau satwa; dan
c. merupakan wilayah dengan ciri khas baik asli maupun buatan, pada wilayah yang ekosistemnya masih utuh ataupun wilayah yang ekosistemnya sudah berubah.
Taman Wisata Alam a. mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau bentang alam, gejala alam serta formasi geologi yang unik; b. mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi
dan daya tarik alam untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam; dan
c. kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam.
Di dalam pelaksanaan pengelolaan, maka dilakukan penyusunan zonasi atau blok
pengelolaan dan penataan wilayah kerja, serta rencana pengelolaan kawasan. Kriteria
penetapan zonasi dilakukan berdasarkan derajat tingkat kepekaan ekologis (sensitivitas
ekologi), keperwakilan (representation), keaslian (originality) atau kealamian (naturalness),
keunikan (uniqueness), kelangkaan (raritiness), laju kepunahan (rate of exhaution), keutuhan
satuan ekosistem (ecosystem integrity), keutuhan sumber daya/kawasan (intacness), luasan
kawasan (area/size), keindahan alam (natural beauty), kenyamanan (amenity), kemudahan
pencapaian (accessibility), nilai sejarah/arkeologi/ keagamaan (historical/ archeological/religeus
value), dan ancaman manusia (threat of human interference).
PP No. 28/2011 juga menyebutkan bahwa kawasan konservasi juga dapat dibangun di
luar kawasan hutan, diantaranya melalui penetapan koridor hidupan liar dan kawasan ekosistem
esensial. Penetapan koridor hidupan liar dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik
kepentingan antara manusia dan hidupan liar serta memudahkan hidupan liar bergerak sesuai
daerah jelajahnya dari satu kawasan ke kawasan lain. Sedangkan kawasan ekosistem esensial
adalah ekosistem di luar kawasan konservasi yang secara ekologis penting bagi konservasi
sungai, rawa, payau, dan wilayah pasang surut yang tidak lebih dari 6 (enam) meter), mangrove
dan gambut yang berada di luar KSA dan KPA. Pengelolaan koridor hidupan liar dilakukan
berdasarkan Perdirjen KSDAE No. P.8/KSDAE/BPE2/KSA.4/9/2016.
Model konservasi hutan lainnya adalah melalui pengelolaan hutan dengan nilai
konservasi tinggi (high conservation value forest). Konsep Hutan Bernilai Konservasi Tinggi
pertama kali di perkenalkan oleh Forest Stewardship Council (FSC) untuk sektor kehutanan
dalam kerangka sertifikasi pengelolaan hutan berkelanjutan yang dipergunakan oleh FSC. Model
ini kemudian juga diterapkan pada perijinan perkebunan skala besar (Jaringan NKT Indonesia,
2013).
C. KELEMBAGAAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI
Berdasarkan UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, kawasan konservasi
merupakan kawasan khusus yang dipandang strategis bagi kepentingan nasional, karenanya
kewenangan pengelolaan kawasan konservasi berada pada Pemerintah Pusat, kecuali untuk
taman hutan raya. Pemerintah provinsi memiliki kewenangan untuk pengelolaan kawasan
ekosistem esensial (penting) dan kawasan penyangga KPA dan KSA.
Sementara, pengelolaan konservasi kawasan di dalam perijinan, dilakukan oleh
pemegang ijin. Dan untuk kawasan konservasi tradisional dilakukan bersama dengan
masyarakat. Namun, Subhan dan Lawelle (2016) menjelaskan bahwa performa kinerja lembaga
pengelola kawasan konservasi berbasis masyarakat dipengaruhi oleh kejelasan batas wilayah
pengelolaan (boundary juridiction), kejelasan hak kepemilikan (property right), dan aturan
representasi (rule of representation).
D. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Zuhri, M dan E. Sulistyawati (2007) mengidentifikasi akar permasalahan perlindungan di
cagar alam berasal dari perbedaan kepentingan di antara pengelola dan penduduk sekitar
kawasan. Strategi yang diajukan adalah model pengelolaan perlindungan yang berkelanjutan
yang terdiri dari lima strategi, yaitu strategi membangun jaringan kawasan konservasi,
kolaborasi, konservasi, pemanfaatan kawasan, dan pemberdayaan masyarakat.
Kondisi tersebut menjadikan pemerintah melakukan perbaikan dalam peraturan
pengelolaan kawasan. Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 28/2011 yang
untuk memanfaatkan KSA dan KPA. Kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dapat dilakukan
adalah:
a. pengembangan desa konservasi;
b. pemberian akses untuk memungut hasil hutan bukan kayu di zona atau blok
tradisional atau pemanfaatan tradisional;
c. fasilitasi kemitraan antara pemegang izin pemanfaatan hutan dengan masyarakat;
dan/atau
d. pemberian izin pengusahaan jasa wisata alam.
Walaupun demikian, Peranginangin (2014) menilai bahwa sistem partisipasi yang
diterapkan dalam peraturan dan perundangan tersebut belum bisa dipandang ideal karena
sistem tersebut belum memberikan kontribusi positif pada implementasi pengelolaan kawasan
konservasi yang kolaboratif. Beberapa hal yang ditemukan diantaranya konsultasi publik terkait
pengelolaan kawasan konservasi dilakukan hanya sebagai suatu formalitas, serta hanya
melibatkan kaum elite saja, hak kompensasi masyarakat karena hilangnya akses atau
kepemilikan terhadap kawasan hutan yang tidak diberikan, serta pola kolaborasi yang masih
hanya berbentuk kerja sama. Sandono (2013) juga mengidentifikasi peran pengelola taman
nasional cenderung dominan dalam merencanakan dan mendesain program kegiatan
sedangkan masyarakat hanya ikut dalam kegiatan tersebut dengan mendapatkan insentif.
Yanto (2013) berpendapat “partisipasi masyarakat dalam usaha konservasi hutan akan
terkendala jika faktor yang menghambat seperti tingkat pendidikan masyarakat yang rendah,
infrastruktur yang kurang menunjang, dan pendapatan masyarakat yang rendah adanya usaha
tersebut tidak segera ditemukan solusinya.” Pengelolaan kawasan konservasi yang baik
dipengaruhi penegakan hukum, tata batas dan manfaat langsung bagi masyarakat lokal (Bruner
dkk., 2001).
E. PENUTUP
Upaya pengelolaan konservasi hutan telah banyak dilakukan, walaupun kemudian
masih menghadapi berbagai tantangan, diantaranya kewenangan yang terpusat, kolaborasi
yang belum maksimal, belum tuntasnya tata batas dan dokumen perencanaan, serta orientasi
pendanaan berbasiskan bisnis pemanfaatan. Tantangan-tantangan pengelolaan konservasi
hutan dapat dihadapi bilamana dilakukan perbaikan peraturan perundang-undangan, yang
DAFTAR PUSTAKA
Bruner, A.G., R.E. Gullison, R.E. Rice, G. da Fonseca, (2001). Effectiveness of park in protecting tropical biodiversity. Science 291:125-128. www.sciencemag.org Science Vol. 291. January 5, 2001. http://life.bio.sunysb.edu/~spgp/Fall%202003/11_21_03/ Bruner%20et%20al..pdf diakses pada 2 Februari 2018.
Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KHLK (2015). Luas Kawasan Hutan Dan Kawasan Konservasi Perairan Indonesia Berdasarkan SK Menteri Kehutanan. http://data.go.id/dataset/luas-kawasan-hutan-indonesia-sampai-dengan-desember-2015/resource/1401386b-565f-4717-bfb6-532a923f65e1 diakses pada 2 Februari 2018.
Dunggio, I. dan H. Gunawan (2009). Telaah Sejarah Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional Di Indonesia. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 6 No. 1, April 2009 : 43 – 56. http://forda-mof.org/files/6.1.2009%20Iswan_Dunggio[1].pdf diakses pada 2 Februari 2018.
International Union for Conservation of Nature (2018). IUCN Definitions – English. https://www.iucn.org/downloads/en_iucn__glossary_definitions.pdf diakses pada 2 Februari 2018
Jaringan NKT Indonesia. 2013. Panduan Pengelolaan dan Pemantauan Nilai Konservasi Tinggi. IFACS-USAID. Jakarta.
Peranginangin, L. S.U. (2014). Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi. Jurnal Kebijakan & Administrasi Publik JKAP Vol 18 No 1- Mei 2014 ISSN 0852-9213.
Sandono (2013). Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Taman Nasional Gunung Merbabu di Desa Jeruk Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota. Volume 9 (1): 53‐64 Maret 2013. Biro Penerbit Planologi Undip, Semarang.
Subhan dan S. A. Lawelle (2016). Performa Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Masyarakat. Jurnal Bisnis Perikanan FPIK UHO 3(2): Oktober 2016. Universitas Halu Oleo.
Sulthoni. 1990. Pengantar Pelestarian Alam di Indonesia. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Wiratno, D Indriyo, A Syarifudin, A Kartikasari. 2004. Bercaka di Cermin Retak. Refleksi Konservasi dan Implikasi bagi Pengelolaan Taman Nasional. The Gibbon Foundation Indonesia, PILI-NGO Movement. Edisi Kedua. Jakarta. 338 halaman.
Zuhri, M dan E. Sulistyawati (2007). Pengelolaan Perlindungan Cagar Alam Gunung Papandayan. Makalah dalam Seminar Nasional Penelitian Lingkungan di Perguruan Tinggi. Universitas Indonesia. 20 Juni 2007.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam
Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor P.85/Menhut-II/2014 jo. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor P.44/Menlhk/Setjen/2017 tentang Kerjasama Penyelenggaraan KSA dan KPA