• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEDIA BAHASA DAN PEMBENTUKAN NARASI KEKU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MEDIA BAHASA DAN PEMBENTUKAN NARASI KEKU"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

MEDIA, BAHASA DAN PEMBENTUKAN NARASI KEKUASAAN

Dr. Denny Kodrat

Sekolah Tinggi Bahasa Asing Sebelas April Sumedang Email: denny_kodrat2001@yahoo.com

Abstrak

Artikel ini mengkaji dua hal penting terkait dengan peran media dalam pemanfaatan bahasa secara ideasional/representatif dalam mempengaruhi para pembaca. Dua pertanyaan utama yang dicoba dijelaskan dalam artikel ini adalah (1). Bagaimana posisi media dalam pembentukan narasi kekuasaan; dan (2). Apakah terjadi penyemaian ideologi dalam pembentukan narasi tersebut. Kajian ini

menggunakan sudut pandang linguistik kritis yaitu Cultural Studies (CS) dan Critical Discourse Analysis (CDA). Hasil kajian ini menyatakan bahwa media tidak berdiri sendiri secara netral melainkan ia melakukan keberpihakan terhadap salah satu diskursus. Keberpihakan media seringkali mengikuti kepentingan ekonomi dan bisnis selain ia pun memainkan kepentingan ideologinya sebagai media. Kata Kunci: Media, Hegemoni, Ideologi, Diskursus, Narasi Kekuasaan

A. PENDAHULUAN

Sebagaimana yang pernah diprediksi oleh futurolog Alvin Toffler dalam bukunya The Future Shock: The Third Wave, bahwa dunia akan memasuki apa yang disebut sebagai gelombang ketiga yaitu suatu kondisi dimana masyarakat telah bertransformasi menjadi masyarakat informasi. Dalam masyarakat ini, media pembawa informasi (gadget) dapat disetarakan dengan barang primer, sepenting bahan makanan pokok. Generasi millennial atau dikenal generasi Y banyak melakukan interaksi melalui gadget dan sangat techno-minded. Akibatnya adalah berita menjadi mudah menyebar, masyarakat semakin kritis dalam melakukan penyikapan, kemudian perubahan dari satu bentuk ke bentuk lain, dari satu waktu ke waktu lain menjadi hal biasa. Pada titik ini, masyarakat menjadi adapatif terhadap setiap perubahan.

Dalam konteks media pembawa informasi, situasi saat ini jauh sekali berbeda dengan situasi lima hingga sepuluh tahun lalu. Bila trend masa lalu, media mainstream, seperti surat kabar, televise dan radio nasional, menjadi satu-satunya channel bagi masyarakat untuk mengakses informasi dan media sosial mengkiblatkan isu dan berita terhadap media tersebut, maka saat sekarang hal itu tidak terjadi lagi. Media mainstream justru banyak mendapatkan opini, gagasan dan argumentasi dari media online, termasuk dalam mengangkat isu, media mainstram, banyak mengangkat isu dari media sosial, termasuk di dalamnya dari citizen journalism.

(2)

diterapkan oleh kelompok masyarakat yang berkuasa (ruling social groups). Kelompok masyarakat berkuasa ini, masih kata Gramsci, bisa berbentuk partai politik, pemerintah atau organisasi masyarakat. Sementara itu, Habermas (1989) menyebutkan bahwa pembentukkan hegemoni ini disebabkan adanya tarik-menarik kepentingan terhadap akses ekonomi dibeberapa kelompok masyarakat yang kemudian relasi ini dimediasi oleh media. Kelompok yang “mendominasi” media diyakini akan menguasai pula akses ekonomi.

Artikel ini akan mencoba mengkaji media dari sudut pembentukan narasi kekuasaan dilihat dari dua kajian keilmuan, yaitu Cultural Studies (CS) dan Critical Discourse Analysis (CDA) dengan formulasi dua pertanyaan mendasar untuk tulisan ini, yaitu (1). Bagaimana posisi media dalam pembentukan narasi kekuasaan; dan (2). Apakah terjadi penyemaian ideologi dalam pembentukan narasi tersebut.

B. BUDAYA, IDEOLOGI DAN HEGEMONI

Dalam pemahaman linguistik kritis kontemporer, tidak ada sebuah teks yang bebas nilai (innocent texts). Artinya semua hal yang berkaitan dengan teks selalu merupakan artifak budaya dan interaksi masyarakat yang kemudian mengkonstruksi makna (meaning), nilai (termasuk di dalamnya bias) dan juga pesan yang semuanya itu hasil dari hubungan kekuasaan (power relation) (Durham dan Kernel, 2006). Memahami hal ini maka setiap teks yang muncul pada realitas sosial tidak saja memiliki efek sosial, bahkan juga efek politik. Terlebih teks dalam media yang menurut Fairclough (2003) dibangun atas nilai, budaya dan praktik sosial (cultural texts) karenanya teks tersebut akan berkelindan dengan makna-makna yang terbangun secara sosial (social meaning).

Pemberitaan yang muncul dalam sebuah surat kabar, tulisan yang dipublikasikan secara nasional dalam media tersebut, bahkan menjadi viral di media sosial merupakan hasil dari budaya, termasuk isu-isu yang hangat dibicarakan, misalnya isu-isu politik, sosial dan budaya. Isu hangat yang terus secara konsisten muncul di media nasional, sebagaimana juga viral pada media sosial, adalah isu mengenai politik dan kekuasaan. Bila pada akhir tahun 2016, isu mengenai penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) menjadi pemberitaan besar hampir di semua media, yang kemudian mempengaruhi pada pemilihan kepala daerah DKI Jakarta, maka sekarang mulai bergeser pada pertarungan pemilihan presiden dan pemilihan umum tahun 2019. Mengikuti alur pikir yang

dikemukakan oleh Fairclough, Gramsci dan Hebermas di atas, maka kondensasi siapa mengendalikan siapa dalam media massa bisa dikatakan hampir terjadi.

(3)

mengikuti” cara pandang dominan tertentu. Ideologi sebagaimana yang diyakini Marx dan Engels diyakini sebagai sebuah kondisi yang memaksa para pembaca untuk menerima semua teks yang penuh dengan kepentingan, bias, nilai yang diproduksi oleh kelompok penguasa (Durham dan Kernel, 2006). Tentunya, teks-teks tersebut cenderung untuk memenangkan penguasa. Dari sinilah, pengideologisasian sebuah media kepada para pembacanya berjalan. Ia mampu mengubah cara pandang pembaca dalam memahami sebuah kejadian dengan teknik pembingkaian (framing technique) yang seolah-olah dapat mengubah arah nilai dari negatif menjadi positif dan sebaliknya. Terlebih lagi bila gaya politik yang digunakan oleh penguasa politik saat ini adalah gaya politik yang mengedepankan pencitraan, maka sudah barang tentu, media dapat memodifikasi pembingkaian berita tersebut.

Dalam konteks orde lama, kita mengenal beberapa istilah yang cenderung memilihara rezim penguasa saat itu seperti istilah revolusi, pemimpin besar revolusi, yang pada saat itu diframing oleh media dan dikonstruksi oleh masyarakat sebagai makna yang penuh dengan kemajuan. Istilah revolusi ini kemudian pudar saat pemerintahan orde baru, digantikan dengan istilah pembangunan, bapak

pembangunan, rencana pembangunan lima tahun (repelita). Munculnya istilah pembangunan ini, menggantikan revolusi, sekaligus menggantikan makna revolusi yang dulu dikonstruksi secara positif menjadi bermakna destruktif. Namun, saat orde reformasi, terjadi kembali pendekonstruksian makna pembangunan, diubah dengan istilah reformasi, pembaharuan. Istilah yang muncul pada jaman orde baru dianggap sebagai upaya melanggengkan kekuasaan orde baru yang otoriter dan anti demokrasi.

Media sebagai penyampai informasi inilah yang digunakan sebagai channel dalam penyemaian ideologi dan sekaligus hegemoni pihak yang mendominasi. Dalam konteks sekarang pun, media nasional melakukan proses hegemoni sebagaimana lazimnya sebuah media dalam konteks kapitalis, bahwa ia tidak hanya merepresentasikan kepentingan, melainkan juga memediasi kepentingan itu sendiri. Ini terlihat dari topik berita yang diangkat dengan sudut pandang yang dibahas. Pembahasan pada berita tersebut bermuara pada dua hal, sebagaimana yang sering dikemukakan dalam kajian CS, yaitu: berada di pihak penguasa (kami/included) atau di luar pihak penguasa (kalian/other/excluded).

(4)

pesan bahwa pada saat yang bersamaan situasi di satu daerah terjadi pula di daerah lain. Fashion, gaya hidup (life style) dan bahkan ideologi yang tengah terjadi di suatu negara dapat terjadi pula di saat bersamaan di negara lain. Hal ini dalam bahasanya Gramsci sebagai hegemoni menggunakan media. Nilai-nilai dominan dapat menyebar dan menguasai daerah yang dikuasai.

C. POSISI MEDIA DALAM NARASI KEKUASAAN

Dalam konteks media di Indonesia, diskursus yang terjadi antara kelompok penguasa, sebagai kelompok yang menguasai dan dominan, dengan kelompok yang kritis terhadap penguasa terlihat dari beberapa isu yang terjadi pada Agustus hingga Oktober 2017. Isu yang cukup mendominasi adalah isu mengenai (1). Pancasila dan kebhinekaan; (2). Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Organisasi Masyarakat; (3). Informasi bohong (hoax); dan (4). Bangkitnya PKI. Isu nomor (1), (2), dan (3) didominasi oleh penguasa, sementara isu nomor (4) di dominasi oleh kelompok yang kritis terhadap penguasa. Pada isu nomor (1), penguasa memosisikan bahwa Pancasila merupakan kesepakatan final, perlu dirawat untuk menjaga kebhinekaan dan NKRI. Sehingga diskursus ini menjadi berkembang seolah-olah bila ada pihak yang mengkritisi kebijakan penguasa, ia akan dianggap menyelisihi Pancasila dan kebhinekaan. Pada peringatan hari Pancasila, 1 Juli 2017, penguasa secara resmi mengeluarkan tagline, “Saya Indonesia, Saya Pancasila”. Sementara itu, isu nomor (2) dan (3) dimunculkan menyusul terdapat sejumlah organisasi masyarakat (dari pihak yang kritis) yang diduga bertentangan dengan Pancasila dan sekaligus ditemukan kelompok yang diduga bekerja menyebarluaskan berita bohong (hoax) dan menyampaikan ucapan kebencian (hate speech). Di lain pihak, kelompok kritis membangun diskursus dengan mengungkapkan terjadi bangkitnya PKI dan menyusup di bagian-bagian penting pemerintah. Media membangun diskursus besar antara penguasa dan kelompok kritis sedemikian hingga nampak terlihat media mana yang kemudian berada di belakang penguasa dan media mana yang berada di kelompok kritis, serta media yang mencoba memosisikan diri secara proporsional.

Posisi media sebagaimana yang banyak di klaim dalam kajian linguistik kritis selalu berpihak atas kelas dominan, nampak berupaya “netral” dan abu-abu dengan prinsip cover bothsidenya. Namun keabu-abuan ini sesungguhnya mempertegas kenyataan media sebagai apa yang disebut oleh Hunter (1991) sebagai pusat perang budaya. Media pada gilirannya memainkan peran penting secara fungsional kepada para pembacanya untuk memperoleh penerimaan publik (public acceptance). Teks-teks media memberikan gambaran interaksi dan praktik sosial (social practices) yang dapat membawa pemahaman kepada diskursus mana yang normal, perlu didukung dan diterima, dan mana diskursus yang

(5)

kekuasaan, kepentingan pihak penguasa tentunya adalah berupaya mempertahankan hegemoni dan rangka melestarikan kekuasaannya. Sehingga pada titik ini, media memperlihatkan sisi ideologinya yang kecenderungan berpihak kepada narasi besar kekuasaan dimana diskursus yang berbeda, menyimpang dan minoritas cenderung tidak akan mendapatkan tempat. Media kemudian melakukan penyaringan (censorship) pada dirinya terhadap realitas, sikap, ide dan konsep yang dianggap pantas dan tidak pantas. Milana (2010) menyebutnya sebagai peran media dalam tataran pencarian profit, yaitu mengorganisasi publik demi keberpihakan kalangan kapitalis yang cenderung mendukung pihak penguasa.

Narasi kekuasaan yang dibangun pada media nasional nampak dilawan oleh media alternatif seperti media sosial. Sehingga nampak teks-teks pada media sosial menampilkan narasi kritik yang bisa cenderung memosisikan penguasa sebagai sosok yang otoriter, zhalim dan diskriminatif. Namun narasi pada media sosial ini nampaknya dilawan oleh narasi kekuasaan yang dibangun pada media nasional dengan isu Hoax, selain penerapan aturan terkait dengan penyebaran konten kebencian. Pada saat media terus mempublikasikan bahaya hoax dan konten kebencian secara terus-menerus, maka sejatinya media telah berada pada posisi memperkuat narasi kekuasaan dan memperlihatkan sisi ideologisnya sebagai media yang mengakomodasi ide rulling class.

Hal ini bisa dianggap wajar disebabkan pada diri media sendiri terjadi pertarungan antara kepentingan bisnis yang direpresentasikan oleh kelompok pebisnis dan pemegang saham perusahaan dan kelompok redaksi yang memiliki pakem dalam pemberitaaan. Namun pada realitasnya, kelompok pemegang kepentingan bisnis pada media selalu menjadi kelompok yang dimenangkan oleh keadaan, disebabkan mereka yang memiliki kekuasaan untuk mengendalikan alur keuangan (cash flow) dan kesejahteraan para pemimpin redaksinya. Sehingga dapat disimpulkan pertarungan antara rulling class/dominant class dengan rulled and subordinate class, tidak hanya terjadi pada tataran pembuat diskursus, yaitu penguasa, kaum kapitalis dan masyarakat yang tersubordinasi, juga terjadi pada tataran narasi media yang berbentuk teks dan juga terjadi pada media itu sendiri (perusahaan dan dewan redaksi). Terlebih lagi, dalam konteks kekinian Indonesia, para pengusaha media terlibat dalam politik praktis dan kekuasaan. Sehingga dapat mudah dianalisis bagaimana diskursus dan relasi kekuasaan nampak dalam teks-teks narasi media.

Dalam kajian CDA, teks yang muncul dalam pemberitaan, artikel hingga pilihan berita sejatinya menjadi representasi dari ideologi dan keberpihakan media pada rulling class tersebut. Sehingga realitas yang terjadi dalam praktek sosial adalah media diposisikan tidak netral dan perlu menentukan

(6)

umum diharuskan memiliki kemampuan membaca dan berpikir kritis (critical reading and thinking) saat memahami setiap diskursus yang dimunculkan dalam setiap pemberitaan.

D. KESIMPULAN

Pada kondisi masyarakat yang tengah maju dengan lompatan teknologi informasi, maka kemampuan literasi masyarakat menjadi meningkat. Kehausan terhadap informasi memiliki dampak penting bagi media sebagai pembawa informasi. Kajian terhadap media, ideologi dan diskursus memberikan gambaran bahwa selalu terdapat dua pihak yang berhadapan dalam diskursus yang ditampilkan dalam media, yaitu rulling class dan subordinate class. Keberpihakan media pada akhirnya ditentukan oleh sejauhmana ia berfungsi sebagai channel dalam menyebarkan ideologi, hegemoni dan berujung pada penguatan dominasi kekuasaan atas para pembaca. Sehingga dapat disimpulkan, media tidak dapat berdiri sendiri secara netral, namun akan cenderung mencari tempat untuk

merepresentasikan ideologi media tersebut yang umumnya berkepentingan kepada rulling class.

Referensi

Durham, Meenakshi Gigi dan Kellner, Douglas M. 2006. Media and Cultural Studies. Australia: Blacwell Publishing

Fairclough, Norman. 2003. Analysing Discourse: Textual Analysis for Social Research. New York: Routledge

Gramsci, Antonio. 1971. History of The Subaltern Classes and The Concept of Ideology dalam Selections form the Prison Notebooks of Antonio Gramsci. New york: International Publishers

Habermas, Jurgen. 1989. Structural Transformation of the Public Sphere. Cambridge, MA: MIT Press

Hunter, James Davison. 1991. Culture Wars: The Struggle to Define America. New York: Person Books Group

Referensi

Dokumen terkait

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Adapun penggunaan metode ini untuk memaparkan besarnya pengaruh disiplin terhadap hasil

Nurmianto Eko, Baroto Tavip Indrojarwo, Taufik Hidayat (2009) Ergonomic Design For Mobile And Portable Emergency Disaster Kitchen9. Baroto Tavip, Nurmianto Eko, Ellya

5. Arti dari istilah itu adalah “ingatlah suatu saat kita semua pasti mati”. Istilah yang harus menjadi refleksi iman bagi kita semua bahwa, semua kita suatu saat nanti

Berdasarkan hasil survey terhadap masyarkat non-rumah tangga (rumah makan/catering, toko bunga, penyedia jasa dekorasi, dan supermarket “Superindo”, “Giant”, dan

Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian bertipe deskriptif kualitatif yang ditekankan pada perumusan akselerasi pencapaian IPM Bidang Pendidikan Kota

6 Dari teori ini, peneliti kemudian mencoba mendeskripsikan akulturasi budaya Islam dengan lokal yang ada pada pelaksanaan tradisi Menepas di dalam perkawinan

Kami telah memakai ketujuh dimensi yang mengaitkan hutan dengan masyarakat, yang garis besarnya diuraikan di atas, untuk menentukan stake- holder mana yang mungkin memerlukan

Berdasarkan itu maka dengan Revolusi kita ini, yang merupakan Revolusi juga dalam hukum, kita prinsipiil harus mengubah, artinya tidak mengikuti hukum yang