• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Sosial dan Perkembangan Kejahat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Dinamika Sosial dan Perkembangan Kejahat"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ketika berbicara tentang kejahatan, maka dalam kehidupan sehari-hari kejahatan merupakan bagian dari permasalahan yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Kejahatan atau kriminalitas merupakan fenomena sosial yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, yaitu segala perbuatan yang melanggar hukum. Hal tersebut telah dikemukakan oleh Frank Tannebaum dalam preface buku “New Horizon in Criminology” karya Barnes dan Teeters: “crime is enternal as society”. Manusia sesuai dengan kodratnya lahir dan hidup dalam kelompok-kelompok tipe dan corak organisasi kemanusiaan, dan di dalam organisasi kemanusiaan tersebut sifat-sifat manusia tidak selalu sejalan dengan apa yang dikehendaki oleh tuntutan masyarakat, termasuk dalam hal ini perilaku manusia yang menyimpang yang dinamakan dengan kejahatan. Dari hal ini nampak bahwa kejahatan sama sekali tidak dikehendaki oleh masyarakat, tetapi justru kejahatan itu selalu ada dan dilakukan oleh anggota masyarakat itu sendiri.

Dengan demikian kejahatan itu tumbuh dan berkembang dalam masyarakat karena kejahatan sebagai salah satu bentuk tingkah laku mengalami perkembangan yang sejajar dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Dalam mendefinisikan kejahatan perlu adanya suatu ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala kejahatan, dan sejauh mana perbuatan itu bisa digolongkan dalam kejahatan.

Romli Atmasasmita, mengemukakan bahwa:

(2)

diatur dalam ketentuan undang-undang. Sedangkan dalam arti luas adalah menghendaki tidak hanya batasan dalam pengertian undang-undang, melainkan meliputi pengetian kejahatan dalam arti sosiologi dan psikologi”

Mengenai kedua pandangan tersebut, dalam kriminologi disebut dengan “Legal Definition Of Crime” dan “Nonlegal Definition of Crime” dapat didefinisikan, pandangan pertama memandang kejahatan dalam arti sempit, maksudnya hal-hal apa yang dilarang dalam undang-undang adalah kejahatan. Sedangkan pandangan yang terakhir memandang kejahatan dalam arti luas, artinya suatu perbuatan merupakan kejahatan tidak hanya merupakan hal-hal yang dilarang undang-undang, tetapi setiap perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma lain yang ada di masyarakat.

Seperti yang telah disampaikan di atas bahwa kejahatan merupakan gejala sosial yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat sudah merupakan suatu kenyataan bahwa dimana ada perbuatan disitu pula ada akibatnya, ada aksi maka ada reaksi. Maka dari itu makalah ini mencoba memaparkan penjelasan secara umum mengenai “Reaksi Masyarakat Terhadap Kejahatan” dan sub pokok bahasan yang tertuang dalam pokok pembahasan

B. Pokok Pembahasan

Makalah ini secara umum membahas mengenai reaksi masyarakat terhadap kejahatan dengan didasari pada beberapa hal, antara lain:

1. Teori struktur sosial tentang kejahatan 2. Hubungan kejahatan dan masyarakat

3. Penjelasan reaksi masyarakat terhadap kejahatan

4. Dinamika sosial dan perkembangan kejahatan di Indonesia

(3)

A. Teori Struktur Sosial tentang Kejahatan

Di dalam khasanah Kriminologi terdapat sejumlah teori yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok teori yang menjelaskan peranan dari faktor struktur sosial dalam mendukung timbulnya kejahatan, antara lain:

1. Teori Differential Association

Teori Differential Association dari Sutherland, pada pokoknya, mengetengahkan suatu penjelasan sistematik mengenai penerimaan pola-pola kejahatan. Kejahatan dimengerti sebagai suatu perbuatan yang dapat dipelajari melalui interaksi pelaku dengan orang-orang lain dalam kelompok-kelompok pribadi yang intim. Proses belajar itu menyangkut teknik-teknik untuk melakukan kejahatan, motif-motif, dorongan-dorongan, sikap-sikap dan pembenaran-pembenaran argumentasi yang mendukung dilakukannya kejahatan.

2. Teori Kontrol Sosial

Teori Kontrol Sosial menyatakan bahwa ada suatu kekuatan pemaksa di dalam masyarakat bagi setiap warganya untuk menghindari niat melanggar hukum. Dalam kaitan ini ada beberapa konsep dasar dari Kontrol Sosial yang bersifat positif, yakni Attachment, Commitment, Involvement, dan Beliefs, yang diyakini merupakan mekanisme penghalang bagi seseorang yang berniat melakukan pelanggaran hukum.

3. Teori Label

Munculnya teori Labeling menandai mulai digunakannya metode baru untuk mengukur atau menjelaskan adanya kejahatan yaitu melalui penelusuran kemungkinan dampak negatif dari adanya reaksi sosial yang berlebihan terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan. Konsep teori labeling menekankan pada dua hal, pertama, menjelaskan permasalahan mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi label, dan kedua, pengaruh dari label tersebut sebagai suatu konsekuensi dari perbuatan yang telah dilakukan oleh pelaku kejahatan.

4. Teori Anomie

(4)

bidang ekonomi yang melembaga dalam masyarakat dengan kesempatan-kesempatan yang diberikan oleh struktur sosial kepada warga masyarakatnya untuk mencapai aspirasi tersebut.

5. Teori Frustasi

Pada dasarnya teori ini menjelaskan aspek subkebudayaan yang terdapat dalam kebudayaan induk (dominan) masyarakat tertentu, yang karena muatan nilai dan normanya yang bertentangan dengan kebudayaan induk (dominan) tersebut, dapat menimbulkan suatu pola perilaku kriminal.

B. Hubungan Kejahatan dan Masyarakat

Mempelajari kejahatan haruslah menyadari bahwa pengetahuan kita tentang batasan dan kondisi kejahatan didalam masyarakat mempunyai sifat relatif. Relativisme kejahatan tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek, yakni adanya ketertinggalan hukum karena perubahan nilai sosial dan perkembangan perilaku masyarakat, adanya perbedaan pendekatan tentang kejahatan --di mana di satu sisi memakai pendekatan legal dan di sisi lain memakai pendekatan moral-- serta adanya relativisme dilihat dari sisi kuantitas kejahatan.

Adanya kejahatan di dalam masyarakat antara lain menimbulkan gejala fear of crime dari anggota masyarakat. Fear of Crime sendiri diartikan sebagai kondisi ketakutan dari anggota masyarakat yang potensial menjadi korban kejahatan atau merasa dirinya rentan dalam hal dikenai ancaman kejahatan atau kejahatan. Jadi sebenarnya fear of crime itu sangat perceptual (tergantung bagaimana individu yang bersangkutan mengukur kerentanan dirinya untuk menjadi korban kejahatan).

(5)

Untuk lebih terperinci dan jelas mengenai kejahatan kaitannya dengan masyarakat kita dapat mengacu pada Teori Tempat Kejahatan dan Teori Aktivitas Rutin,

Hasil pengamatan Shaw, McKay dan Stark menunjukkan bahwa kejahatan tidak akan muncul pada setiap masalah sosial yang ada namun kejahatan akan muncul andai kata masalah sosial tertentu mempunyai kekuatan yang mendorong aspek-aspek kriminogen.

Teori Stark tentang tempat kejahatan memberi beberapa penjelasan tentang mengapa kejahatan terus berkembang sejalan dengan perubahan/perkembangan di dalam populasi. Para ahli yang mengkaji tradisi disorganisasi sosial sudah sejak lama memusatkan perhatian pada tiga aspek korelatif kejahatan ekologis, yaitu kemiskinan, heterogenitas kesukuan, dan mobilitas permukiman. Tetapi aspek korelatif tersebut, saat ini, sudah diperluas lagi untuk menguji dampak dari faktor tambahan seperti keluarga, single-parent, urbanisasi, dan kepadatan structural.

Stark memberlakukan lima variabel yang diyakini dapat mempengaruhi tingkat kejahatan di dalam masyarakat, yakni kepadatan, kemiskinan, pemakaian fasilitas secara bersama, pondokan sementara, dan kerusakan yang tidak terpelihara. Variabel tersebut dihubungkan dengan empat variabel lainnya, yakni moral sisnisme di antara warga, kesempatan melakukan kejahatan dan kejahatan yang meningkat, motivasi untuk melakukan kejahatan yang meningkat, dan hilangnya mekanisme kontrol sosial.

Teori Aktivitas Rutin menjelaskan bahwa pola viktimisasi sangat terkait dengan ekologi sosial. Studi yang dilakukan menunjukkan secara jelas hubungan antara pelaku kejahatan, korban, dan sistem penjagaan.

C. Reaksi Masyarakat Terhadap Kejahatan

(6)

masyarakat yang dipandang sebagai perbuatan yang merugikan atau membahayakan masyarakat luas, akan tetapi undang-undang belum bisa mengaturnya. Berdasarkan studi ini bisa dihasilkan apa yang disebut sebagai kriminalisasi, dekriminalisasi atau depenalisasi.

Studi mengenai reaksi masyarakkat terhadap kejahatan ini bagi masyarakat kita sangat penting bagi pembentukan hukum baru dikarenakan KUHP kita merupakan peninggalan pemerintah kolonial. Masyarakat kita yang terdiri dari berbagai suku dengan nilai sosialnya yang berbeda-beda, serta pengaruh industrialisasi dan perdangangan pada dasawarsa terakhir ini telah memunculkan fenomena kejahatan yang baru. Dengan perkembangan kriminologi setelah tahun 1960-an, yaitu sebagai pengaruh berkembangnya perspektif labeling dan kriminologi kritis, studi mengenai reaksi masyarakat ini terutama diarahkan untuk mempelajari proses bekerjanya (dan pembuatan) hukum, khususnya bekerjanya apparat penegak hukum.

Reaksi sendiri memiliki pengertian yaitu upaya menghindarkan diri dari kenyataan, berusahan untuk memberantasnya melalui tindakan balasan terhadap berbagai penyimpangan atau kejahatan yang terjadi. Adapun macam-macam reaksi masyarakat terhadap kejahatan, antara lain:

1. Reaksi Represif

(7)

Untuk menanggapi reaksi masyarakat tersebut perlu adanya kerja sama yang baik antara aparat penegak hukum dengan masyarakat disamping melibatkan para ahli kriminoligi. Salah satu contoh kasusnya adalah ketika seorang maling kedapatan sedang melakukan pencurian maka masyarakat langsung menangkap dan menghakiminya sampai babak belur.

2. Reaksi Preventif

Reaksi atau tindak preventif adalah tindak pencegahan agar kejahatan tidak terjadi. Artinya segala tindak-tindak pengamanan dari ancaman kejahatan adalah prioritas dari reaksi preventif ini. Menyadari pengalaman-pengalaman waktu lalu bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang sangat merugikan masyarakat maka anggota masyarakat berupaya untuk mencegah agar perbuatan tersebut tidak dapat terjadi.

3. Reaksi Formal

Reaksi formal terhadap kejahatan adalah reaksi yang diberikan kepada pelaku kejahatan atas perbuatannya, yakni melanggar hukum pidana, oleh pihak-pihak yang diberi wewenang atau kekuatan hukum untuk melakukan reaksi tersebut. Sebagai suatu sistem pengendali kejahatan maka secara rinci, tujuan sistem peradilan pidana, dengan demikian antara lain:

a. Mencegah agar masyarakat tidak menjadi korban kejahatan,

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, serta

c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi kejahatannya.

(8)

artinya, tiada suatu perbuatan boleh dijatuhi hukuman selain berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang sudah ada sebelumnya.

4. Reaksi Informal

Reaksi ini merupakan salah satu upaya melakukan kontrol dari masyarakat. Reaksi informal dilakukan bukan oleh aparat penegak hukum tetapi oleh warga masyarakat biasa, jadi tidak tergantung pada lembaga-lembaga pemerintah. Masyarakat biasa di samping telah mendelegasikan haknya kepada aparat penegak hukum berhak saja bereaksi terhadap kejahatan dan penjahat sebatas mereka tidak melanggar peraturan yang ada. Reaksi informal ini hampir sama dengan reaksi preventif. Perbedaan secara umum adalah reaksi informal ini menekankan pada pengawasan dari diri masing-masing.

Dalam kasanah kriminologi, reaksi informal dari masyarakat itu lebih dikenal sebagai tindak kontrol sosial informal. Studi-studi memperlakukan beberapa aspek dari kontrol sosial informal pada tingkat komunitas ketetanggaan yang digunakan untuk membangun tipologi dari definisi operasional dari kontrol sosial informal. Definisi operasional ditemui dalam dua dimensi yaitu; bentuk dan tempat.

Reaksi masyarakat terhadap kejahatan juga memiliki 2 aspek yaitu aspek positif dan negatif. Aspek reaksi masyarakat tersebut ditinjau secara sosiologis yang nantinya akan mempengaruhi reaksi masyarakat itu sendiri terhadap kejahatan yang terjadi, berikut penjelasannya:

1. Aspek Positif

a. Reaksi tersebut dengan melakukan pendekatan kemasyarakatan sesuai dengan latar belakang terjadinya suatu tindakan kejahatan.

b. Reaksi dengan melakukan kerja sama dengan aparat penegak hukum. c. Tujuan penghukuman, yaitu pembinaan dan penyadaran atas pelaku

kejahatan.

d. Mempertimbangkan sebab-sebab dilakukannya suatu tindakan kejahatan. 2. Aspek Negatif

(9)

b. Reaksi dilakukan karena ketentuan lokal yang berlaku dalam masyarakat c. Tujuan penghukuman cenderung bersifat pembalasan/dendam

d. Relatif lebih sedikit pertimbangan latar belakang kenapa kejahatan itu dilakukan

Terdapat beberapa perspektif yang menjadi landasan masyarakat dalam memberikan reaksi terhadap kejahatan itu sendiri. Adapun landasan persepektif tersebut antara lain:

1. Landasan Perspektif Hukum

Banyak anggapan ketidakadilan bagi masyarakat akan kekerasan dan kekejaman hukum terhadap pelaku kejahatan, sejauh tujuan hukuman itu bukanlah untuk menyiksa atau menakuti masyarakat melainkan untuk mempertahankan dan meningkatkan kebahagiaan dan ketenteraman masyarakat. Oleh karena itu perspektif hukum merupakan landasan bagi masyarakat dalam usaha menanggulangi dan memerangi kejahatan.

2. Landasan Perspektif Sosiologis

Tindakan penghukuman yang diberikan masyarakat kepada pelaku kejahatan atas dasar ketentuan mores atau adat istiadat maupun nilai dan norma yang berlaku di dalam kelompok masyarakat. Jadi baik buruknya perilaku seseorang sangat ditentukan oleh pergaulannya di dalam masyarakat.

(10)

Landasan ini bukan hanya ditujukan pada penegak hukum dan pengamat kejahatan tetapi juga kepada masyarakat disaat berhadapan dengan pelaku kejahatan. Selanjutnya bagi masyarakat untuk mengadakan reaksi terhadap pelaku kejahatan adalah dengan mempertimbangkan sikap dan perilaku sosial supaya dapat menciptakan kondisi yang serasi untuk memungkinkan adanya tingkah laku sosial yang baik dan positif. Pelaku kejahatan yang yang telah dapat dikuasai masyarakat untuk dapat menjalani kehidupan yang wajar, harus dilibatkan kedalam kegiatan misalnya, yang menyangkut hak dan kerja sama dalam kepemimpinan tertentu.

Menurut Emile Durkheim, penghukuman penjahat bukan untuk mematikan atau membunuh masa depannya tetapi justru berusaha untuk menghidupkan kembali semangat jiwanya agar dapat kembali seperti warga masyarakat yang wajar. Jadi secara perspektif sosiologis, suatu tindakan yang dilakukan secara manusiawi akan lebih adil dalam upaya mengembalikan keseimbangan moral dan sosial yang terganggu, baik bagi pelaku kejahatan maupun bagi masyarakat pada umumnya.

3. Landasan Perspektif Psikologis

Menurut Kinberg dalam Stephen Hurwitz (1986) psikologi kriminal dapat dibedakan atas tiga bagian, antara lain:

a. Secara objektif, menitik beratkan kepada sifat bekerjanya (fungsi penjahat, tingkat kecerdasannya dan sifat keperibadiannya)

b. Secara subjektif, tertuju kepada pengalaman si penjahat selama persiapan psikologis suatu kejahatan. Reaksi psikisnya terhadap rangsangan hingga ia berbuat, reaksi sesudah perbuatan pidana dan sikap moral terhadap kejahatan

c. Secara sosial, untuk mempelajari dampak dari faktor-faktor sosial psikologis kriminal terhadap individu selama kanak-kanak dan perkembangan selanjutnya.

(11)

itu dorongan untuk berbuat jahat bisa ditekan dan diarahkan kepada konpensasi yang bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun buat masyarakat umum. Dengan demikian masyarakat mempunyai kemampuan untuk mengatasi setiap perilaku kejahatan yang timbul dengan menggunakan landasan psikologis.

D. Dinamika Sosial dan Perkembangan Kejahatan di Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara dengan keberagaman kultur yang sangat banyak dan berbeda-beda di setiap daerah. Hal tersebut menyebabakan perbedaan nilai dan norma yang dianut dalam setiap daerah. Perbedaan tersebut menjadi landasan paling dasar dalam perkembangan dan dinamika masyarakat itu sendiri. Tingkatan dan perbedaan dalam strukstur sosial yang ada pada masyarakat Indonesia juga mampu memberikan andil dalam dinamika sosial masyarakat. Dalam segi struktur sosial, secara umum masyarakat Indonesia terbagi menjadi 2 yaitu struktur sosial tradisional dan struktur sosial modern.

(12)

pertumbuhan kota di Indonesia mulai dari zaman penjajahan sampai berkembang di abad sekarang ini.

Dinamika dalam kedua struktur sosial tersebut menyebabkan adanya pergeseran nilai sosial budaya artinya terdapat suatu perubahan atau pergeseran struktural sosial dan sistem sosial pada suatu masyarakat tertentu. Terdapat beberapa proses pergeseran nilai sosial budaya yang terjadi dalam struktur masyarakat Indonesia seperti pergerseran identitas yang berupa perubahan kesadaran dari bagian suku menjadi bagian dari negara. Selanjutnya adalah pergeseran sistem ekonomi yang berawal dari sistem tradisional menjadi modern. Pergeseran pranata sosial juga menjadi proses pergeseran nilai sosial budaya yang dipengaruhi oleh semakin meningkatnya mobilitas sosial. Pergeseran orientasi nilai budaya tradisional menjadi modern dan norma hukum adat menjadi hukum nasional walaupun kurang berjalan lancar.

Seiring dengan berkembangnya kondisi sosial masyarakat Indonesia berkembang juga pola kriminalitas di Indonesia. Pola dan perkembangan kriminalitas di Indonesia dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu bahwa gangguan bersifat tradisional pada masyarakat desa seperti pencurian dan pembunuhan. Sedangkan pola perkembangan kejahatan yang lain adalah bentuk gangguan yang timbul bersamaan dengan modernisasi pada umumnya dan masalah perkotaan khususnya yang sering disebut dengan kriminalitas kota. Bentuk gangguan tersebut biasanya disebabkan oleh proses urbanisasi seperti keberadaan tuna karya, tuna wisma, dan slum area; Mobilitas kota seperti kemacetan, peningkatan jumlah kendaraan sehingga adanya tindak pencurian kendaraan bermotor; Globalisasi seperti narkoba, trafficking, dan tindakan terror; dan Musiman seperti kebakaran dan banjir.

(13)
(14)

BAB III KESIMPULAN

Berdasarkan studi literatur mengenai pokok pembahasan pada makalah ini yaitu reaksi masyarakat terhadap kejahatan maka dapat disimpulkan bahwa kejahatan merupakan bagian dari dinamika masyarakat itu sendiri. Penyimpangan nilai yang berlaku di masyarakat dapat menjadi potensi terjadinya perilaku kejahatan yang mampu merugikan pelaku kejahatan itu sendiri maupun masyarakat. Masyarakat itu sendiri memiliki peran penting dalam mengendalikan tindak kejahatan yaitu melalui reaksi. Reaksi masyarakat terhadap kejahatan sendiri menjadi sebuah kontrol dan menjelaskan seberapa pentingnya sanksi sosial terhadap pelaku kejahatan.

(15)

DAFTAR PUSTAKA Hurwitz, Stpehen. 1986. Kriminologi. Jakarta: Rineka Cipta

Romli Atmasasmita. 2001. Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum. Bandung: Mandar Maju

Kartini Kartono. 2001. Patologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Sumber lain:

Referensi

Dokumen terkait

Kajian ini adalah berbentuk eksperimen sebenar jenis ujian pra-pos yang bertujuan mengenal pasti keberkesanan modul asas keusahawanan yang bercirikan strategi

2988/1993 registered at Sarikei Land Registry Office on the 6th day of Novem- ber, 1993 affecting all the undivided right title share and interest in that parcel of land together

Sementara, secara parsial dari ketiga sumber penerimaan daerah yaitu pajak hotel, pajak restoran dan retribusi pasar Kota Lubuklinggau, hanya retribusi pasar saja yang

Dalam penelitian ini populasi yang dipilih yaitu perusahaan jilbab yang ada di Yogyakarta sedangkan sampel yang dipilih yaitu kejadian risiko (risk events) dan penyebab risiko

Dan teori ini kemudian diperkuat oleh Hilgard & Bower (1975) jika perubahan hasil belajar sering dilatih maka eksistensi prilaku tersebut semakin kuat,

Beberapa bentuk perilaku teritorial adalah vokalisasi (terjadi pada hari ke-1, dilakukan oleh baik jantan maupun kedua pasangan), visual display (terjadi pada hari ke-

Menyiapkan diri pribadi sesuai dengan peraturan kesehatan dan keselamatan kerja serta mengacu pada etika profesional seorang penata rambut... KOMPETENSI DASAR