• Tidak ada hasil yang ditemukan

Media dan Keragaman Budaya Pendidikan Mu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Media dan Keragaman Budaya Pendidikan Mu"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Media dan Keragaman Budaya

Pendidikan Multikultural Pada Tayangan Televisi di Indonesia

(Media And Cultural Diversity : Multicultural Education in Indonesian Television Shows)

Taufiq Madya Aditama & Ade Kusuma

Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP UPN Veteran Jawa Timur taufik.madya@gmail.com / adekusuma185@gmail.com

Abstract

Diversity of ethnic and cultures into a strength for the development of a country. However, intercultural conflict will be happen if there are not awareness, appreciate and respect for cultural differences. Multicultural education can be provided through formal education, traditions, and impressions in the mass media. It can be purpose to prepare the individuals life in a heterogeneous society. Several television shows; such as a documentary, reality shows, and travel, often shows Indonesian diversity of ethnic and cultural. It is potential to become one of the media for multicultural education in society.

This paper using textual analysis study, will interpret a text as a tangible reality that has and produce meaning. This study aims to explore how the cultural diversity represented in television shows; Indonesia Bagus (shown in Net.TV), Ethnic Runaway and My Trip My Adventure (Trans TV). Furthermore, this study is expected to serve as a model of learning for develop multicultural education.

Keywords : Culture, Education, Multicultural, Television

Theme : Multicultural Education

(2)

Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk karena memiliki banyak suku bangsa dan budaya. Keberagaman budaya di Indonesia tampak pada kebiasaan, adat istiadat, norma dan nilai, serta perilaku dari masyarakatnya. Pada situs resmi pariwisata Indonesia,¹ tercatat kini Indonesia memiliki populasi penduduk lebih dari 215 juta jiwa, yang terdiri lebih dari 200 ragam etnis, dan tinggal di 13.466 pulau yang tersebar dari Sabang hingga Merauke.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk, hal ini dapat dilihat dari dua prespektif, yaitu horizontal dan vertikal. Perspektif vertikal memandang bahwa kemajemukan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, pakaian, makanan, dan budaya. Sedangkan perspektif vertikal melihat bahwa kemajemukan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, pemukiman, pekerjaan, dan tingkat sosial budaya.²

Keberagaman suku bangsa dan budaya bisa menjadi kekuatan tersendiri bagi pembangunan suatu negara. Namun di sisi lain, tanpa adanya kepekaan dan kesadaran yang baik untuk saling menghargai dan menghormati perbedaan budaya tersebut, maka dengan mudah memancing terjadinya konflik antar budaya. Beberapa konflik antar budaya yang pernah terjadi di Indonesia, sering kali dipicu dengan adanya gesekan antar suku, etnis, agama, atau kelompok lainnya yang menyebabkan ratusan orang meninggal dunia, luka-luka, dan kehilangan tempat tinggal.

Terjadinya konflik antar budaya sering diawali oleh adanya konflik antar pribadi yang selanjutnya mengatasnamakan atau melibatkan kelompok yang lebih besar. Salah satu cara untuk mendeteksi dan menghindari konflik antar budaya sejak dini, adalah dengan adanya tindakan nyata dalam menghormati dan menghargai perbedaan budaya. Pendidikan multikultur dapat diberikan melalui pendidikan formal, tradisi berbudaya, dan tayangan di media massa guna mempersiapkan individu menghadapi masyarakat yang heterogen.

Televisi masih dianggap sebagai media massa yang paling efektif di Indonesia. Survey Nielsen tahun 2014,³ menyatakan televisi (dengan citra dan suaranya) masih menjadi medium utama yang dikonsumsi masyarakat Indonesia (95%), lalu Internet (33%), Radio (20%), Suratkabar (12%), Tabloid (6%), dan Majalah (5%). Pada dasarnya televisi memiliki empat fungsi utama yaitu media hiburan, informasi, pendidikan, dan alat kontrol sosial. Televisi sebagai media massa paling populer seringkali membuat penontonnya percaya apa yang dikonstruksi media sebagai suatu kebenaran. Televisi adalah sumber bagi konstuksi identitas budaya sebagaimana penonton menjalankan identitas budaya dan kompetensi untuk men-decode program dengan cara tertentu. 4

Beberapa tayangan televisi seperti halnya tayangan dokumenter, reality show, dan perjalanan wisata (travel) sering kali menampilkan tentang keberagaman suku bangsa dan budaya di Indonesia sehingga berpotensi menjadi salah satu media untuk pendidikan multikultur bagi masyarakat. Ethnic Runaway, My Trip My Adventure, dan Indonesia Bagus merupakan tayangan di televisi nasional Indonesia yang berpotensi memberikan pendidikan multikultural. Ketiga tayangan ini menampilkan kisah perjalanan dengan setting yang beragam budaya, namun dengan tiga konsep yang berbeda.

Penelitian ini menggunakan studi analisis tekstual yang mengintepretasikan sebuah teks sebagai realitas yang mempunyai dan menghasilkan makna. Penulis akan menggali lebih dalam bagaimana keberagaman budaya direpresentasikan dalam tayangan televisi Indonesia Bagus (ditayangkan di Net.TV), Ethnic Runaway dan My Trip My Adventure (Trans TV). Selanjutnya, penulisan ini dapat dijadikan model pembelajaranguna mengembangkan pendidikan multikultur.

Pendidikan Multikultur Pada Masyarakat Indonesia

(3)

telah disadari bahwa bangsa kita ini adalah bangsa yang multikultur. 5 Keberagaman budaya

Indonesia tidak lepas dari kondisi geografis, tipografi, dan sejarah masa lampau.

Menurut Susilo Bambang Yudhoyono, 6 terdapat lima agenda multikultural yang harus kita

perjuangkan. Pertama, perlu kesadaran, perlu komitmen, perlu pengetahuan dari kita semua bahwa kita ini majemuk. Kedua, nilai dan etika pluralisme, nilai dan etika multikultural harus menjadi bagian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ketiga, kualitas negara memastikan bahwa instrumental kenegaraan benar-benar mewadahi yang disebut dengan nilai etika pluralitas atau pluralisme, nilai dan etika multikultural. Keempat, community based untuk mengatasi konflik secara damai. Kelima, leadership, semua pemimpin di negeri ini harus berpikir pluralistik.

Di Indonesia, bentuk pendidikan multikultural sangat beragam. Pengenalan tentang keberagaman budaya Indonesia dapat diterima anak-anak sejak dini melalui pendidikan formal di sekolah ataupun tidak. Pasal 37 ayat 1-2 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menjelaskan tentang Pendidikan Kewarganegaraan sebagai salah satu mata pelajaran wajib dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) juga menginstruksikan bahwa mulai tahun ajaran 2015/2016, seluruh sekolah harus menerapkan tiga bahasa, yakni bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa daerah. Adanya mata pelajaran Bahasa Daerah dalam kurikulum bisa menjadi sangat efektif bagi pembentukan identitas lokal individu. Bentuk lain dari pengenalan ragam budaya daerah adalah melalui kegiatan karnaval memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia dan hari Kartini. Pada kegiatan ini, peserta karnaval menggunakan ragam baju daerah, mempertunjukkan tarian atau seni budaya lain dari suatu daerah tertentu di Indonesia.

Kejutan Budaya Pada Tayangan Ethnic Runaway

Ethnic Runaway merupakan sebuah program yang mengajak selebritis untuk mengenal aktivitas dan kebiasaan sehari-hari dari suku tertentu. Mereka tinggal dan beradaptasi selama beberapa hari di kediaman suku tertentu. Tayangan Ethnic Runaway telah berlangsung selama lebih dari lima tahun di Trans TV. Meskipun telah berakhir tayang pada tanggal 15 Februari 2015, namun hingga saat ini tayangan tersebut masih bisa disaksikan secara streaming melalui situs mytrans.detik.com. Program ini memiliki konsep yang sangat unik. Ethnic Runaway membawa dua selebriti, biasanya lelaki dan perempuan, ke suku-suku pedalaman di Indonesia di mana mereka harus mengikuti adat atau tradisi yang biasa dilakukan oleh suku daerah yang didatangi.

Sering kali, tayangan ini mengkonstruksi adegan-adegan yang menampilkan kesalahpahaman antara para selebriti dengan warga setempat, yang diakibatkan oleh perbedaan sikap, perilaku dan kebiasaan. Para selebriti yang memang berasal dari kota besar ditampilkan akan mengalami tahapan-tahapan seperti halnya kejutan budaya (gegar budaya). Menurut Ryan dan Twibell,7 kejutan

budaya merupakan keadaan mental yang datang dari transisi yang terjadi ketika seseorang pergi dari lingkungan yang dikenalnya ke lingkungan yang tidak ia kenal dan menemukan bahwa pola perilakunya yang dulu tidak efektif. Terdapat empat tahapan kejutan budaya atau yang lebih dikenal dengan istilah kurva-U, yaitu fase kegembiraan, fase kekecewaan, fase awal resolusi, dan fase berfungsi dengan efektif. 8

(4)

menikmati budaya baru yang mereka temui, mulai dari prosesi penyambutan, pemberkatan, penyucian, perkenalan kepada orang tua angkat, hingga keesokan harinya mereka diajak naik perahu ke Tane Oleng, hutan suci suku Dayak Kenyah.

Pada segmen selanjutnya, peneliti melihat Dinda dan Edward masuk pada fase kekecewaan, mereka sering mengalami kesulitan komunikasi dan beradaptasi dengan orang-orang suku Dayak Kenyah. Perbedaan bahasa verbal dan non verbal diantara keduanya juga menyebabkan sering kali muncul kesalahpahaman diantara mereka. Ketika mencari rotan di hutan, Dinda berusaha ramah mengajak ibu angkatnya berbincang tentang keluarga, namun ibu angkatnya tidak paham apa yang ditanyakan Dinda. Tanpa diduga, sang ibu angkat justru berbicara dengan menggunakan dialek daerah suku Dayak Kenyah, yang artinya:

“Sudah, jangan terlalu dekat saya , saya pegang parang ini, tajam..

Dinda mengira ibu angkatnya tidak mau disentuh dan mudah marah. Tanpa dia sadari, ibu angkatnya berusaha memberikan peringatan pada Dinda yang dianggap berbahaya dan terlalu dekat dengan dia saat membawa parang tajam di tangannya. Bahkan hingga menjelang akhir acara, Dinda masih menganggap bahwa ibu angkatnya adalah orang yang kurang ramah dan mudah marah. Berikut pernyataan Dinda pada salah satu dialog yang dia ucapkan :

“Mau Dinda pijitin? Biar gak ngambek mulu. Mau ya? Pijitin ya? Vey (ibu) jangan marah-marah mulu.”

Kesalahpahaman ini baru diketahui oleh keduanya saat menjelang akhir segmen tersebut. Ibu angkat menjelaskan pada Dinda kalau dia tidak bermaksud marah, melainkan hanya ingin menasehati. Pada akhir segmen kedua, terdapat voice over Dinda saat berpelukan dengan ibu angkatnya

“Vey meskipun sulit berbahasa Indonesia, namun bahasa cintanya mudah dimengerti dan dirasakan.”

Interaksi antara Dinda dan ibu angkatnya menunjukkan bahwa ada beberapa faktor yang melandasi kesalahpahaman ini. Pertama, perbedaan paralinguistik. Komunikasi antar pribadi melibatkan salah satunya adalah gaya penuturan. Seringkali antar daerah memiliki fonologi, atau penekanan kata yang berbeda-beda, sehingga seringkali menimbulkan kesalahpahaman. Apalagi ketika ada keterbatasan bahasa antara mereka berdua. Kedua, proksemik. Menjalin keakraban melalui sentuhan dan kedekatan mungkin sudah umum bagi masyarakat perkotaan. Akan tetapi, mungkin hal ini tidak berlaku di daerah lain yang masih tradisional. Hal ini terlihat dari sang ibu angkat yang awalnya merasa tidak nyaman dengan pengaturan jarak dan ruang yang dilakukan oleh Dinda.

Fase resolusi merupakan tahap penyesuaian seseorang terhadap budaya baru. Dibandingkan Dinda, Edward terlihat lebih mudah menyesuaikan diri dengan pekerjaan sang ayah angkat saat mencari rotan di hutan. Meskipun mereka lebih sering berinteraksi dengan menggunakan bahasa non verbal namun keduanya dengan mudah bisa saling mengerti. Edward pun tidak menolak saat disuruh ayah angkatnya berenang di sungai tanpa baju. Adaptasi yang baik, membuat fase berfungsi dengan efektif dapat segera dicapai. Hal ini ditandai dengan perasaan nyaman dan terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan yang berbeda tersebut, hingga mampu berinterasi dengan baik dan tidak ingin berpisah dengan kelompok barunya tersebut.

(5)

terhadap kebiasaan suku tersebut dapat memberikan pembelajaran bagi penonton tentang bagaimana kita menghormati dan menghargai budaya asal tempat yang kita kunjungi.

Gambaran Kekayaan Alam dan Budaya Indonesia di My Trip My Adventure

My Trip My Adventure tayang di Trans TV setiap hari Jumat pukul 07.30 wib dan Sabtu, Minggu pukul 08.30 wib. Survei Indeks Kualitas Program Televisi tahun 2015 oleh Komisi Penyiaran Indonesia menetapkan My Trip My Adventure sebagai salah satu dari 10 acara televisi paling berkualitas. 9 My Trip My Adventure menampilkan kisah perjalanan wisata para host yang mengeksplorasi tempat-tempat wisata di Indonesia. Mereka juga menginformasikan tentang kondisi atau sejarah tempat tersebut dengan menggunakan narasi (voice over).

Tayangan ini menghadirkan para host yang masih muda, memiliki karakter berbeda dan suka tantangan, antara lain Nadine Chandrawinata, Hamisd Daud, Vicky Notonegoro, Denny Sumargo, Dion Wiyoko, dan David John Schaab. Pada setiap episode, akan menampilkan dua host yang terkadang juga akan didampingi oleh host tamu, komunitas MTMA daerah, atau warga lokal.

Tayangan My Trip My Adventure berpotensi sebagai salah satu program yang bisa memberikan pendidikan multikultur melalui episode-episodenya yang beragam. Peneliti mengambil contoh episode My Trip My Adventure ke Bima, Nusa Tenggara Barat. Episode yang tayang pada 1 Agustus 2015 ini dimulai dengan ajakan dalam bentuk narasi yang disampaikan oleh host, yaitu Nadine Chandrawinata dan David John Schaab.

Nadine : “Selamat pagi Indonesia, ayo bangun.”

David :“I love Bima. Pulau dengan sejuta pesonanya. Dilihat dari darat, laut, udara, semuanya keren. Tuhan

sepertinya tersenyum menciptakan tempat ini.”

Pada tayangan MY Trip My Adventure, para host sering memberikan ungkapan kecintaan mereka pada tanah air.

“Lihatlah keindahan Bima. Serpihan surga Indonesia. Rumah kita.”

Kalimat tersebut disampaikan Nadine saat berada di atas perahu dan menikmati matahari tenggelam di Bajo Pulo, Bima. Mereka merasa bangga tinggal di Indonesia, negara yang memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Hal serupa juga disampaikan Nadine melalui narasi, ketika helicam mengabadikan Bajo Pulo dari ketinggian

“Inilah rumah kita guys. Rumah yang menyimpan sejuta keindahan. Rumah yang sudah semestinya kita pelihara.”

My Trip My Adventure tidak hanya menampilkan aktivitas dari para host yang menikmati keindahan alam Indonesia, melainkan juga terdapat beberapa interaksi mereka dengan warga sekitar meskipun memiliki durasi yang singkat. Pada episode Bima, David mencoba menyapa dan mengajak bicara seorang nenek yang sedang duduk dipinggir jalan, saat dia lewat. Nadine juga berusaha menyapa dengan menggunakan bahasa daerah Bima, meskipun hanya bisa satu atau dua kata sapaan. Sikap ramah David dan Nadine sebagai pendatang, mendapat sambutan hangat dari warga setempat yang terlihat senang berjalan bersama para host. Keramahan warga setempat juga disampaikan David melalui narasinya saat menjelaskan tentang Bajo Pulo, Bima.

“Penduduk yang mendiami Bajo Pulo ini adalah Suku Bajo. Ada yang asli dari Bima, ada pula yang berasal dari

Makassar. Yang gue suka ketika mengunjungi daerah di Indonesia adalah penduduknya yang ramah-ramah...”

(6)

“Bisa berbaur dengan masyarakat asli suatu daerah itu punya kesenangan tersendiri. Ciri khas masyarakat Indonesia yang ramah kaya gini bikin gue ngerasa di rumah sendiri.”

Ungkapan kebanggan David dan Nadine pada episode Bima, selalu didukung dengan iringan potongan lagu dari musisi Indonesia, God Bless, berjudul Rumah Kita yang diputar berulang kali. Kesesuaian musik yang dipilih dapat memberikan kesan sangat berarti dan mendalam, mengingat seluruh iringan ilustrasi musik serta lagu akan mendukung aspek naratif pada sebuah tayangan televisi. Tentu saja, hal tersebut akan berbeda dengan episode-episode sebelumnya tayangan My Trip My Adventure yang cenderung menggunakan backsound dari penggalan lagu-lagu barat, yang mengisyaratkan keceriaan dan kebebasan bertualang. Beberapa lagu yang sering kali digunakan antara lain Something I Need (One Republic), Best Day of My Life (American Authors), Friday I’m in Love (The Cure), Lonely Day (Phantom Planet), Shut Up and Dance (Walk The Moon), California (Phantom Planet), Paradise (Coldplay), dan Clock (Coldplay).

My Trip My Adventure tidak hanya memposisikan tayangannya sebagai acara jalan-jalan. Seringkali para host mengajak penonton untuk turut menjaga kelestarian alam, kebersihan dan keindahan. Mereka juga mengingatkan penonton untuk tidak merusak fasilitas dan meninggalkan sampah saat kita berwisata kemanapun. Ajakan dari host dapat diartikan sebagai pengakuan terhadap bentuk nyata untuk menjaga tanah air sebagai tempat tinggal kita bersama.

Kearifan Lokal Pada Tayangan Indonesia Bagus

Indonesia Bagus tayang di NET TV setiap hari Sabtu dan Minggu pukul 13.30 wib. Program ini memenangkan Anugerah Komisi Penyiaran Indonesia tahun 2014 sebagai Program Televisi Feature Budaya Terbaik. 10 Indonesia Bagus pada dasarnya mempromosikan kebanggaan terhadap Indonesia. Hal ini dapat kita lihat dari pemilihan judul program, kata “Bagus” yang mengikuti kata “Indonesia” dapat diartikan sebagai ungkapan rasa bangga dan pujian terhadap Indonesia.

Indonesia Bagus merupakan program tayangan dokumenter yang menampilkan keindahan alam dan keunikan kehidupan budaya daerah di Indonesia. Pada setiap opening scene tayangan ini, terdapat empat gambaran mengenai Indonesia. Pertama, bentang alam Indonesia yang diwakili dengan beberapa orang yang sedang menikmati pagi di pegunungan, dan ombak di pantai yang bersih dan indah. Kedua, ragam budaya yang diwakili dengan tari piring, karapan sapi, dan atap rumah gadang yang menjulang diatas langit biru. Ketiga, figur dan ekspresi orang-orang asli Indonesia mewakili kearifan lokal. Keempat, gambaran kebanggaan seorang ibu di dapur tradisional menunjukkan hasil masakannya.

Indonesia Bagus menjadi lebih menarik karena menggambarkan budaya Indonesia dari sudut pandang yang berbeda. Tayangan ini menghadirkan penduduk asli daerah tersebut sebagai narator sekaligus pembawa cerita, yang tentu saja berbeda dari aksen para host selebritis pada umumnya yang datang sebagai tamu atau pengunjung. Ragam gaya penuturan atau logat mereka yang berbeda saat menyampaikan informasi dengan menggunakan bahasa Indonesia membuat narasi terdengar lebih unik. Beberapa kelompok daerah terkesan berbicara dengan nada tinggi yang dapat diartikan dengan bentuk kemarahan, sebaliknya beberapa kelompok daerah lain terkesan berbicara dengan nada rendah yang dapat diartikan dengan bentuk keramahan, sabar, dan sebagainya. Melalui tayangan ini, penonton diperkenalkan dengan ragam aksen dari daerah-daerah yang berbeda, dengan harapan dapat mengurangi konflik antar budaya akibat dari kesalahpahaman penerimaan makna pesan saat berkomunikasi.

(7)

ataupun keindahan budayanya, narator sering kali juga menyampaikan tentang kekhawatiran yang dirasakan oleh pembawa cerita tersebut. Pada episode Suku Mentawai yang tayang pada tanggal 31 Mei 2015, Aman Lauk-Lauk yang menjadi narator atau pembawa cerita menjelaskan tentang kegelisahannya karena budaya Mentawai yang mulai mengikis.

“Walau termasuk pelosok, tidak semua warga Mentawai mempertahankan tradisi berpakaian seperti kami. Pemuda kampung sudah tidak mau memakai cawat khas Mentawai. Malu katanya.”

Disisi lain, Aman Lauk-Lauk juga menuturkan tentang bagaimana penerimaan masyarakat daerah tersebut terhadap pengaruh luar.

“Teknologi sudah masuk di dusun ini, kami pun menikmatinya. Aman Tele pon sudah punya handphone,

padahal di sini tidak ada sinyal. Handphone dipakai untuk mendengarkan musik saja”

“Banyak pendatang di pulau ini. Mereka membawa perubahan pada masyarakat asli Mentawai. Tapi bagiku tak masalah, yang penting masyarakat tetap rukun dan damai.”

Kekuatan peran tayangan Indonesia Bagus terhadap pendidikan multikultur di masyarakat, didukung dengan penggunaan musik asli daerah atau instrumen-instrumen yang berkaitan sebagai latar belakang musik di sepanjang acara. Sebagai contoh ketika Aman Lauk-Lauk mentato anaknya yang sudah cukup usia, atau ketika Aman Lauk-Lauk dan warga Mentawai lainnya menari dalam ritual pembersihan roh jahat diiringi dengan alunan gendang khas Mentawai. Hal ini tentu saja mendukung kekuatan cerita yang berusaha ditampilkan tayangan Indonesia Bagus.

Kesimpulan

Tayangan Ethnic Runaway, My Trip My Adventure, dan Indonesia Bagus merupakan tiga dari tayangan televisi Indonesia yang mencerminkan Ke-Bhinekaan Tunggal Ika. Setiap episodenya menampilkan gambaran budaya Indonesia yang beragam dan mengajak penonton untuk mengenal lebih mendalam budaya daerah tertentu yang ada di Indonesia. Konsep acara yang berbeda membuat ketiga tayangan ini memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing.

Ethnic Runaway dan My Trip My Adventure memberikan informasi tentang bagaimana pendekatan yang tepat dan proses adaptasi budaya yang perlu dilakukan saat seseorang (diwakili oleh para host selebritis) mengunjungi tempat dengan budaya berbeda. Perbedaan yang cukup signifikan dari kebiasaan dan pemikiran terhadap suatu hal, memang menarik untuk dipertontonkan. Namun, tim produksi tayangan tersebut harus menyadari bahwa segala bentuk pengadeganan harus berdasarkan pada pandangan multikulturalisme sehingga dapat menghindari adanya sikap merendahkan atau penghinaan budaya lain, baik sengaja ataupun tidak. Kehadiran orang asli daerah sebagai pembawa cerita pada tayangan Indonesia Bagus, sebagai bentuk eksistensi dan ungkapan kebanggaan terhadap kearifan budaya lokal. Penceritaan dengan menggunakan sudut pandang tuan rumah akan menarik karena bisa memperkenalkan kehidupan, pemikiran, kebiasaan dan ragam seni budaya dengan lebih mendalam.

(8)

keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara ditengah-tengah kekayaan budaya yang beragam.

Daftar Pustaka 1

Ministry of Tourism Republic of Indonesia, Ultimate in Diversity , 2013 http://www.indonesia.travel/en/discover -indonesia#tab1 diakses tanggal 22 Juli 2015

2

Ali Maksum, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern, Institute of Religion and Civil Society Development, Yogyakarta, 2004 : 189

3

Nielsen : Konsumsi Media Lebih Tinggi Di Luar Jawa, 2014, http://www.nielsen.com/id/en/press-room/2014/nielsen-konsumsi-media-lebih-tinggi-di-luar-jawa.html diakses pada tanggal 28 Juli 2015

4

Chris Barker, Cultural Studies : Teori & Praktik, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2006 : 286 5

Nurcholish Madjid, Hidup Berbangsa dan Etika Multikultural, Forum Rektor Indonesia Simpul Jawa Timur, Surabaya, 2005 : xxv

6

Susilo Bambang Yudhoyono, Kehidupan Berbangsa Dan Etika Multikultural, Cita -Cita Dan Masalahnya dalam Hidup Berbangsa : Etika Multikultural Forum Rektor Indonesia Simpul Jawa Timur, Surabaya, 2005 : xxxvii - xxxvii

7

Larry A.Samovar, Richard E.Porter, Edwin R.McDaniel, Komunikasi Lintas Budaya : Communication Between Cultures, Salemba Humanika, Jakarta, 2010 : 475

8

Larry A.Samovar, Richard E.Porter, Edwin R.McDaniel, Komunikasi Lintas Budaya : Communication Between Cultures, Salemba Humanika, Jakarta, 2010 : 475

9

KPI Minta Lembaga Penyiaran Evaluasi Total Variety Show dan Sinetron Mistik, 2015

http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/38-dalam-negeri/32815-kpi-minta-lembaga-penyiaran-evaluasi-total-variety-show-dan-sinetron-mistik diakses tanggal 28 Juli 2015 10

Referensi

Dokumen terkait

Sumber Data : Wawancara Guru Sekolah Luar Biasa Negeri Pinrang Sebagaimana diungkapkan oleh Ibu Kasmawati diatas bahwa pembimbing karir pun mencoba memberikan praktik

Oleh karena itu, berdasarkan hasil penelitian ini, keamanan finansial tidak menjadi alasan nasabah untuk memilih pada bank syariah dibandingkan bank lain khususnya

Media periklanan lini atas yang digunakan UNIVED Bengkulu yaitu surat kabar, televisi, dan media luar ruang (baliho/spanduk) terbukti efektif dalam mempengaruhi

Nilai penumbra terbesar terjadi pada daerah penyinaran wedge tebal, hal tersebut dikarenakan pada daerah penyinaran wedge tebal atenuasi yang terjadi akan

Pengalokasian Belanja Daerah oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk Tahun Anggaran 2016 disesuaikan dengan asumsi dasar ekonomi makro, kebutuhan penyelenggaraan

Rekap Kehadiran Kuliah - Ganjil 2013/2014 Program Studi Budidaya Perairan.. Senin

Primer yang paling polimorfik adalah OPH-18 dengan 7 pita DNA, dan jumlah turunan bervariasi untuk tanaman induk yang berasal dari Padang Laweh sebanyak empat tanaman, dan tiga

pertama, kebijakan Presiden Trump terkait pembatasan imigran Muslim sebagian telah melanggar peraturan hukum dan HAM internasional, utamanya Konvensi UNHCR 1951,