• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL HI Vol. I No. 1 Juli 2013.pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "JURNAL HI Vol. I No. 1 Juli 2013.pdf"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Diterbitkan oleh:

BAGIAN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN ©2013

(4)

Penasehat : Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Penanggung Jawab : Ketua Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Pemimpin Redaksi : Maskun

Dewan Redaksi : Abdul Maasba Magassing Aidir Amin Daud

Alma Manuputty Hamid Awaluddin Juajir Sumardi Judhariksawan Laode Abd. Gani Laode Muh. Syarif

Marcel Hendarapati

Muh. Ashri

Redaktur Pelaksana : Iin Karita Sakharina

Sekretaris Redaktur : Birkah Latif Kadarudin

Mitra Bestari : Aktieva Tri Tjitrawati (UNAIR Surabaya) Devy Sondakh (UNSRAT Manado) Hikmahanto Juwana (UI Jakarta) I Made Arsana (UGM Yogyakarta)

Desain Grafis & Layout : Ahsan Yunus

Distribusi & Pemasaran : Ali Samad Salma Laitupa Riyad Febrian Anwar Alfaris Malaki

Alamat Redaksi : Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Tamalanrea, 90245, Makassar. Tel/Fax : +62-411587219

E-mail : jurnalhukuminternasional.fhuh@gmail.com Website : http://hukuminternasionalfhuh.wordpress.com

JURNAL HUKUM INTERNASIONAL

Jurnal ilmiah yang diterbitkan secara berkala oleh Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Terbit tiap bulan Maret, Juli, dan Nopember.

(5)

Hikmahanto Juwana

KONVENSI PEKERJA MIGRAN:

PERLUKAH INDONESIA MERATIFIKASI?... 1-5

Dede Agus

KEDUDUKAN KONVENSI ILO SEBAGAI SUMBER

HUKUM PERBURUHAN/KETENAGAKERJAAN INDONESIA... 7-17

Widati Wulandari

PUBLIC EMERGENCY” SEBAGAI ALASAN

MENGEYAMPINGKAN KEWAJIBAN NEGARA DI BAWAH ICCPR:

REAKSI TERHADAP TERORISME... 19-41

Erni Dwita Silambi

PRITA MULYASARI VS RUMAH SAKIT OMNI INTERNASIONAL

DALAM PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL DAN INTERNASIONAL... 43-58

Devyta

CULTURAL CLAIMS AND CULTURAL PROPERTY DISPUTES

AS A CHALLENGE FOR INTERNATIONAL LAW... 59-68

Rafika Nur

PENGATURAN SELF DETERMINATION DALAM HUKUM

INTERNASIONAL (STUDI KEMERDEKAAN NEGARA KOSOVO)... 69-90

Andri G. Wibisana

EQUITY AND THE GLOBAL POLICY ON CLIMATE CHANGE:

A LAW AND ECONOMIC PERSPECTIVE... 91-108

Muhammad Luthfiy Lukman

ANALISIS HUKUM TERHADAP KASUS EMBARGO

PRODUK TUNA SIRIP KUNING... 109-119

PERSYARATAN PENULISAN

DAFTAR ISI

Jurnal Hukum Internasional Volume I, Nomor 1 Juli 2013

(6)

Pembaca yang budiman,

Segala puji dan ungkapan rasa kesyukuran tertuju kepada Tuhan Yang Maha Esa atas penerbitan Jurnal Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Volume I Nomor 1 Juli 2013, merupakan langkah monumental yang digagas oleh Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin untuk melahirkan suatu jurnal ilmiah yang sekaligus dimaksudkan untuk mengisi kekosongan ruang ekspresi ilmiah khususnya isu-isu yang berhubungan dengan hukum internasional.

Volume I Nomor 1 Juli 2013 menghadirkan beberapa penulis yang memiliki kepakaran di bidang masing-masing. Professor Hikmahanto Juwana dan Dede Agus menulis tentang Konvensi Buruh Migran, khususnya bagaimana posisi Indonesia. Widati Wulandari selanjutnya menguraikan isu hukum kejahatan internasional di area terorisme dan Erni Dwita Silambi menguraikan isu hukum tentang hak pasien untuk

mendapatkan informasi. Kedua isu dimaksud memiliki concern yang sama penting di

bidang hukum internasional.

Devyta mengangkat tema sentral mengenai penyelesaian sengketa dan Rafika

Nur mengangkat tema tentang pengaturan self determination. Kedua topik yang

digagas sangat menarik, apalagi kedua topik tersebut dilengkapi dengan uraian kasus. Andri G. Wibisana dan Muhammad Luthfiy Lukman mendiskusikan hukum ekonomi internasional dengan perspektif yang berbeda. Andri memfokuskan perubahan iklim sebagai objek kajian dalam hubungannya dengan hukum ekonomi. Sementara Muhammad Luthfiy Lukman mengkaji kasus produk Tuna Sirip Kuning dalam hukum ekonomi internasional.

Semoga berbagai isu hukum internasional yang tersaji dalam volume pertama ini, akan memberikan sebuah bentuk pencerahan baru yang bermanfaat bagi semua kalangan yang intens dan fokus mengkaji permasalahan yang berhubungan dengan hukum internasional.

Selamat membaca.

Redaksi

(7)

KONVENSI PEKERJA MIGRAN:

PERLUKAH INDONESIA MERATIFIKASI?

Hikmahanto Juwana*

Universitas Indonesia, Jakarta

E-mail: hikmahanto@yahoo.com

Abstract: An immigrant worker is a worker who has different nationality with countries she/he works. Some international treaties have regulated the rights of

the workers but it is not specifically.

Abstrak: Pekerja migran adalah pekerja yang memiliki kewarganegaran yang berbeda dengan negara dimana ia bekerja. Beberapa perjanjian internasional telah mengatur hak-hak pekerja migran, namun berbagai perjanjian internasional tersebut hanya memuat ketentuan yang sangat minim dan tidak secara khusus.

I. PENDAHULUAN

Pekerja migran adalah pekerja yang memiliki kewarganegaran yang berbeda dengan negara dimana ia bekerja. Di Indonesia pekerja migran lebih akrab disebut sebagai ‘Tenaga Kerja Indonesia (TKI)’ dan ‘Tenaga Kerja Wanita (TKW)’. Keberadaan pekerja migran merupakan suatu kenyataan. Ada dua alasan. Pertama sejak manusia mengenal apa yang disebut sebagai negara dimana terdapat kedaulatan. Kedua selama terjadi jurang ekonomi

antara satu negara dengan negara lain, serta adanya kekurangan dan kelebihan (supply and

demand) tenaga kerja antar negara.

Beberapa perjanjian internasional telah mengatur hak-hak pekerja migran namun berbagai perjanjian internasional tersebut hanya memuat ketentuan yang sangat minim dan tidak secara khusus. Pada bulan Desember tahun 1990, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berhasil mengadopsi sebuah teks perjanjian internasional yang bertujuan untuk

melindungi hak-hak para pekerja migran (migrant workers) beserta keluarganya. Perjanjian

internasional ini dikenal dengan nama The International Convention on the Protection of

the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (selanjutnya disebut

“Konvensi Pekerja Migran”).1 Sejak 1 Juli 2003 Konvensi telah berlaku (enter into force)

setelah Guatemala mendopsitkan dokumen ratifikasi yang ke-20.

Tulisan ini hendak menggambarkan poin-poin penting dari Konvensi. Disamping itu akan juga dianalisa urgensi bagi Indonesia untuk meratifikasi Konvensi ini.

1 General Assembly Resolution 45/158 tertanggal 18 Desember 1990.

(8)

II. PEMBAHASAN

1. Tujuan Konvensi

Pekerja migran bukanlah mereka yang memiliki keterampilan dan pendidikan tinggi

sehingga mereka ini sangat rentan (vulnerable) untuk dilanggar hak asasi manusia

(HAM)-nya, bahkan diperlakukan tidak lebih dari budak belian (slaves). Banyak dari pekerja migran

yang tidak dapat mempertahankan haknya karena ketidakmampuan berbahasa negara setempat, ketakutan karena status ilegal, bahkan tidak mengetahui sistem hukum ataupun adat istiadat yang berlaku.

Pelanggaran atas hak-hak pekerja migran dilakukan semenjak pekerja migran masih di negara asal hingga negara tujuan dan kembali ke negara asalnya. Pihak yang melakukan pelanggaran dapat dilakukan oleh perusahaan ataupun orang-orang yang merekrut, oknum aparat baik di negara asal maupun tujuan, dan para majikan ataupun pemberi kerja.

Perlindungan yang minim terhadap para pekerja migran, terasa lebih minim bagi keluarga pekerja migran. Para keluarga yang mengikuti pekerja migran boleh dikatakan tidak mendapatkan perlindungan. Salah satu upaya untuk memberi perlindungan atas hak-hak para pekerja migran dan keluarganya adalah melalui hukum. Pemerintah membentuk berbagai peraturan perundang-undangan agar hak-hak pekerja migran dan keluarganya dihormati oleh semua pihak, termasuk negara itu sendiri. Bila ada pelanggaran, aparatur negara mempunyai legitimasi untuk menindak para pelaku. Dalam konteks ini penegakan hukum mempunyai peran yang sangat vital.

Memang tidak semua negara sama dalam memperhatikan perlindungan bagi pekerja migran dan para keluarganya. Ada negara-negara yang memberi perlindungan seadanya, tetapi ada pula negara-negara yang sangat tinggi memberi perlindungan. Penyebab tidak samanya perlidungan yang diberikan adalah kedaulatan hukum, disamping kondisi antar

negara yang berbeda dan, tidak kalah penting, kemauan pemerintah (political will). Kemauan

pemerintah penting karena ada pemerintah dari negara tertentu yang tidak terlalu peduli, bahkan cenderung merasa diuntungkan bila perlindungan terhadap pekerja migran dan keluarganya dilakukan sangat minimal.

Padahal bila dilihat dari kebutuhan dari para pekerja migran dan keluarganya terlepas dari asal negara, mereka sangat memerlukan perlindungan atas hak-haknya. Perlindungan tidak hanya dibutuhkan di negara tujuan para pekerja migran, tetapi juga di negara asalnya. Disinilah pentingnya hukum yang dapat memberi perlindungan secara lintas batas (crossborder) bagi pekerja migran dan keluarganya.

Perlindungan hukum yang bersifat lintas batas dapat dilakukan melalui perjanjian internasional. Perjanjian internasional untuk keperluan ini dapat dilakukan secara bilateral ataupun multilateral. Konvensi Pekerja Migran merupakan bentuk perlindungan hukum berupa perjanjian internasional yang diupayakan secara multilateral.

(9)

nasionalnya. Disamping itu, negara harus tunduk dan mengikuti mekanisme yang diatur dalam Konvensi yang menembus sekat-sekat kedaulatan negara. Dalam keadaan normal mekanisme ini dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan negara. Namun karena negara secara sukarela turut serta dalam Konvensi berarti negara tersebut telah melepaskan sebagian dari kedaulatannya sepanjang yang terkait dengan kewajiban dan mekanisme yang diatur dalam Konvensi.

2. Substansi Konvensi

Konvensi Pekerja Migran terdiri dari preambul dan 93 pasal (articles) yang terbagi

dalam 9 bagian (parts). Bagian pertama berisi tentang ruang lingkup dan berbagai definisi.

Dalam Konvensi ditentukan bahwa ruang lingkup keberlakuan dari Konvensi ini adalah untuk semua pekerja migran dan keluarganya tanpa dilakukan pembedaan, seperti jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama atau kepercayaan, latar belakang politik atau pendapat, kewarganegaraan, etnis atau asal kelahiran, usia atau status lainnya.

Dalam bagian ini juga ditentukan bahwa Konvensi berlaku untuk keseluruhan proses migrasi dari pekerja migran dan keluarganya yang terdiri dari persiapan untuk migrasi, keberangkatan, transit dan keseluruhan masa tinggal di negara dimana ia bekerja dan juga

negara dimana ia kembali ke negara asalnya atau negara ia berdiam (habitual residence).

Dalam Konvensi didefinisikan beberapa klasifikasi pekerja, yaitu, migrant worker, frontier worker, seasonal worker, seafarer, worker on offshore installation, project-tied

worker, specified employment worker, dan self employed worker. Definisi dari pekerja migran

adalah orang yang akan, sedang atau telah malakukan aktifitas yang dibayar (remunerated activity) di negara dimana orang tersebut bukan warga negaranya.

Dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa Konvensi dinyatakan tidak berlaku bagi para pekerja tertentu, misalnya mereka yang bekerja untuk organisasi internasional atau mereka yang dikirim oleh negara asalnya untuk menjalankan fungsi tertentu yang diatur dalam hukum internasional umum ataupun perjanjian internasional khusus.

Konvensi juga mengatur definisi-definisi lain seperti members of the family, State of origin, State of employment dan State of transit. Terkait dengan istilah migrant workers and

members of the family disebutkan bahwa mereka ini bisa legal (documented or in a regular

situation) dan ilegal (non-documented or in an irregular situation).

Bagian kedua mengatur tentang prinsip non-diskriminasi yang harus diterapkan oleh

negara peserta (state parties) bagi perlindungan pekerja migran dan keluarganya. Bagian

ketiga memuat ketentuan tentang HAM bagi para pekerja migran dan keluarganya. Ketentuan ini berisi tentang HAM yang harus didapat bagi para pekerja migran dan keluarganya. Misalnya saja hak para pekerja migran dan keluarganya untuk meninggalkan negara asalnya. Para pekerja juga berhak untuk masuk kembali ke negara asalnya. Hak hidup dari para pekerja migran juga wajib untuk dilindungi berdasarkan hukum.

(10)

dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian keempat

mengatur tentang hak-hak tambahan para pekerja migran dan keluarganya yang berstatus

legal (documented or in a regular situation).

Bagian kelima memuat ketentuan tentang katagori khusus (particular categories)

dari pekerja migran dan keluarganya. Bagian keenam menentukan upaya-upaya yang harus

dilakukan oleh negara peserta untuk memajukan kondisi-kondisi kuat, adil dan manusiawi

yang terkait dengan migrasi internasional dari para pekerja dan keluarganya. Bagian ketujuh

mengatur tentang pemantaun dalam penerapan Konvesi di negara-negara peserta. Bagian

kedelapan berisi ketentuan umum (general provisions), diantaranya pengakuan negara untuk menentukan kriteria pekerja migran dan keluarganya yang diperbolehkan masuk. Dalam bagian ini juga diatur keberadaan dari Konvensi dikaitkan dengan ketentuan dalam Piagam PBB dan perjanjian-perjanjian internasional yang diikuti oleh negara peserta.

Bagian kesembilan megatur tentang hal-hal yang umum ada dalam suatu perjanjian

internasional. Hal-hal ini diantaranya Sekretaris Jenderal PBB sebagai depositary dari

Konvensi untuk menerima dokumen ratifikasi atau aksesi, Konvensi baru mengikat negara apabila telah diratifikasi, Konvensi baru berlaku setelah diratifikasi oleh minimal 20 negara.

3. Posisi Indonesia: Tidak Perlu Meratifikasi, Cukup Mengadopsi

Pada saat ini Indonesia telah menandatangani Konvensi Pekerja Migran. Menjadi pertanyaan besar, apakah Indonesia perlu segera meratifikasi? Jawaban atas pertanyaan ini perlu mendapat pembahasan yang mendalam.

Pertama harus dipahami bahwa Indonesia adalah negara yang masuk dalam katagori

State of origin karena memiliki banyak pekerja migran. Pekerja migran asal Indonesia dapat

dikelompokkan dalam pekerja migran legal dan ilegal. Sebagai State of origin, bila Indonesia

meratifikasi Konvensi berarti Indonesia harus mentransformasikan kewajiban-kewajiban yang diatur dalam Konvensi. Harus diingat bahwa Konvensi tidak hanya mengatur negara

yang masuk dalam katagori State of employment, tetapi juga State of origin.

Pertanyaannya apakah Indonesia telah dapat menjalankan isi Konvensi? Pertanyaan ini penting mengingat banyak sekali kewajiban yang ada dalam Konvensi yang mungkin tidak

dapat dijalankan (unable to be implemented) oleh pemerintah maupun berbagai komponen

bangsa. Disini yang menjadi test case bukanlah pemerintah berkeinginan untuk menjalankan

atau tidak (uwilling to implement). Pada masa Indonesia yang lebih demokratis sudah tidak

ada lagi isu pemerintah berkeinginan atau tidak berkeinginan untuk menjalankan. Isu utama adalah apakah komponen bangsa, terutama pemerintah dapat menjalankan atau tidak.

Alasan untuk tidak dapat dijalankan lebih karena apa yang diatur dalam Konvensi merupakan hal-hal yang sangat ideal. Bahkan dapat dikatakan ketentuan-ketentuan yang ada

kebanyakan implementable di Negara Maju, tetapi unimplementable di Negara Berkembang.

(11)

dalam human trafficking hingga ketidak-berhasilan dalam meniadakan praktek-praktek pemerasan atas pekerja migran dan keluarganya sekembali mereka ke Indonesia.

Bila berbagai hal ini masih berlangsung dan Indonesia telah meratifikasi maka akan sangat menyulitkan bagi Indonesia. Sulit karena dalam Konvensi diatur mengenai pemantauan penerapan Konvensi. Berdasarkan pasal 73 dan 74 Konvensi, sebuah Komite yang dibentuk berdasarkan Konvensi ini akan melakukan pemantauan melalui Sekretaris Jenderal PBB.

Kedua, perlu diperhatikan apakah negara-negara yang menjadi tujuan pekerja migran

Indonesia (State of employment), seperti Malaysia, Singapura, Korea, Jepang, Saudi Arabia

dan Amerika Serikat telah meratifikasi Konvensi Pekerja Migran. Dalam penelusuran yang dilakukan oleh penulis tidak satupun negara yang menjadi tujuan pekerja migran Indonesia telah meratifikasi.

Ini berarti Konvensi tidak banyak berarti bagi para pekerja migran Indonesia yang

memerlukan perlindungan di State of employment. Bila hanya Indonesia saja yang meratifikasi

sementara negara-negara tujuan para pekerja migran Indonesia tidak meratifikasi maka Konvensi tidak akan mempunyai arti apapun. Para pekerja migran asal Indonesia akan terus

mengalami pelanggaran atas hak-haknya di State of employment.

Melihat dua alasan mendasar diatas dapat dijawab pertanyaan yang diajukan bahwa Indonesia belum perlu meratifikasi Konvensi Pekerja Migran. Saat ini yang perlu dilakukan ada dua hal. Pertama mengadopsi berbagai ketentuan yang terdapat dalam Konvensi ke dalam hukum domestik Indonesia. Selanjutnya perlu diupayakan agar penegakan hukum atas ketentuan yang telah diterjemahkan dilakukan secara konsisten dan tegas sehingga dapat melindungi para pekerja migran dan keluarganya yang akan berangkat maupun kembali.

Kedua adalah mempersuasi negara-negara tujuan migran Indonesia untuk melakukan ratifikasi atas Konvensi, paling tidak mendapatkan komitmen dengan menandatangani Konvensi ini.

III. PENUTUP

Penandatanganan Indonesia atas Konvensi Pekerja Migran untuk saat ini harus dianggap cukup. Paling tidak pemerintah mempunyai ikatan moral, bukan ikatan hukum untuk menerapkan kewajiban-kewajiban dalam Konvensi ke dalam hukum nasional. Pemerintah harus terus mengupayakan agar perlindungan terhadap pekerja migran dapat dilakukan. Disamping itu, pemerintah harus mengupayakan agar negara-negara penerima

pekerja migran asal Indonesia (State of employment) meratifikasi Konvensi Pekerja Migran

(12)
(13)

KEDUDUKAN KONVENSI ILO SEBAGAI SUMBER HUKUM

PERBURUHAN/KETENAGAKERJAAN INDONESIA

Dede Agus*

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang, Banten

E-mail: agusdede92@yahoo.co.id

Abstract: The International Labour Organization (ILO) serves as the maker of international labour standards in the forms of conventions and recommendations. The member states of ILO must ratify ILO Conventions and the ILO Conventions are sources of labour law/ employment law in Indonesia.

Abstrak: Organisasi Buruh Internasional menetapkan standar buruh internasional dalam bentuk konvensi-konvensi dan rekomendadi-rekomendasi. Negara-negara anggota ILO harus meratifikasi Konvensi ILOdan Konvensi tersebut merupakan sumber hukum perburuhan di Indonesia.

I. PENDAHULUAN

Hukum perburuhan/ketenagakerjaan merupakan spesies dari genus hukum umumnya, dimana hukum perburuhan menurut Iman Soepomo memiliki tujuan pokok pelaksanaan keadilan sosial dalam bidang perburuhan dan pelaksanaannya diselenggarakan dengan jalan

melindungi buruh terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pihak majikan.1 Begitu pula

menurut Senjun H. Manulang, yaitu untuk mencapai atau melaksanakan keadilan sosial dalam bidang ketenagakerjaan dan untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pengusaha, misalnya dengan membuat perjanjian atau menciptakan peraturan-peraturan yang bersifat memaksa agar pengusaha tidak bertindak sewenang-wenang terhadap tenaga kerja.2

Dalam rangka mewujudkan tujuan pokok hukum perburuhan tersebut, maka perlindungannya tidak hanya ditingkat nasional suatu negara, tetapi juga bersifat internasional (sedunia). Hal ini karena hukum perburuhan memiliki nilai-nilai universalitas yang tinggi

1 Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta: Djambatan, 2003), hlm. 9.

2 Senjun H.Manulang, Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm. 2.

* Penulis adalah pengajar Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang-Banten.

(14)

sehingga perlu kesamaan pengaturan yang bersifat internasional pula, yaitu hukum perburuhan internasional. Berkaitan dengan ini Iman Soepomo mengatakan bahwa berlainan dengan hukum privat internasional yang menerapkan hukum apakah atau hukum manakah yang berlaku bila terjadi hubungan hukum antara warga negara sesuatu negara dengan warga negara dari negara lain, hukum perburuhan internasional menghendaki adanya satu hukum mengenai perburuhan yang sama atau sederajat yang berlaku di tiap negara, sehingga terdapat

kesatuan hukum dalam soal perburuhan di seluruh dunia.3

Dalam rangka mewujudkan hukum perburuhan internasional maka didirikan ILO (International Labour Organization) pada tanggal 11 April 1919 berdasarkan Konferensi Perdamaian Versailles. Tujuan berdirinya ILO adalah menciptakan keadilan sosial bagi masyarakat di seluruh dunia, khususnya kaum pekerja/buruh. Hal ini sesuai dengan Konstitusi ILO (Deklarasi Philadelphia) yang menyebutkan bahwa : (a) pekerja/buruh bukan barang dagangan; (b) kebebasan menyatakan pendapat dan berserikat; (c) semua manusia berhak mengenyam kehidupan yang layak, bagi spiritual maupun material dalam suasana kebebasan; (d) wakil-wakil pekerja, pengusaha, dan pemerintah memiliki status yang sama

untuk mengambil keputusan dalam meningkatkan kemakmuran.4

ILO menjalankan fungsi sebagai pembuat standar perburuhan internasional, dan juga melaksanakan program operasional dan pelatihan-pelatihan perburuhan. Hal ini merupakan tanggung jawab yang diberikan oleh komunitas internasional kepada ILO yang dibentuk

untuk tujuan ini. Standar perburuhan internasional tersebut berupa konvensi (convention)

dan rekomendasi (recommandation) yang menetapkan standar minimum. Konvensi-konvensi

ILO merupakan traktat internasional yang perlu diratifikasi oleh seluruh negara anggota ILO, sedangkan Rekomendasi ILO adalah instrumen ketenagakerjaan yang bersifat tidak mengikat secara hukum, yang menetapkan pedoman sebagai informasi kebijakan nasional, tidak memerlukan ratifikasi.5 Kewajiban anggota terhadap Konvensi ILO ini ditegaskan dalam

Pasal 19 ayat (5) huruf a dan huruf b Konstitusi ILO, yaitu :

(a) The convention will be communicated to all members for ratification;

(b) Each of the members undertakes that it will, within the period of one year at most from the closing of the session of the conference, or if it is impossible owing to exceptional circumstances to do so within the period of one year, then at the earlies ion.

Indonesia sebagai anggota ILO sejak tahun 1950, telah meratifikasi seluruh konvensi utama ILO, dan sampai tahun 2008 telah meratifikasi 18 buah Konvensi ILO. Konvensi-konvensi ILO ini kedudukannya dalam hukum perburuhan/ketenagakerjaan Indonesia adalah sebagai sumber hukum. Hal ini terbukti banyak para pakar hukum perburuhan/ketenagakerjaan dalam literaturnya mencantumkan Konvensi-konvensi ILO sebagai sumber hukum

perburuhan/ketenagakerjaan, di antaranya : Pertama, Zainal Asikin dkk menyebutkan bahwa

sumber hukum perburuhan meliputi: undang-undang, peraturan lain (peraturan pemerintah,

3 Iman Soepomo, Op.cit, hlm. 205.

4 Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 143.

(15)

keputusan presiden, peraturan dan keputusan instansi lain), kebiasaan, putusan (P4D/P4P), perjanjian (perjanjian kerja, perjanjian perburuhan, dan peraturan perusahaan), dan traktat

(Konvensi ILO bidang ketenagakerjaan).6 Kedua, Iman Sjahputra Tunggal, menyebutkan

bahwa sumber hukum meliputi : peraturan perundang-undangan, adat/kebiasaan, perjanjian-perjanjian internasional (konvensi-konvensi ILO, traktat-traktat dan lain-lain), peraturan-peraturan (peraturan-peraturan kerja, tata tertib kerja dan lainnya yang sejenis), perjanjian-perjanjian

kerja, dan perjanjian perburuhan.7 Ketiga, Hari Supriyanto, menyebutkan bahwa sumber

hukum meliputi: undang-undang, peraturan lain yang kedudukannya lebih rendah dari undang-undang, kebiasaan, putusan P4D/P4P dan putusan peradilan umum, perjanjian-perjanjian (perjanjian-perjanjian perburuhan, perjanjian-perjanjian kerja atau peraturan perusahaan), perjanjian-perjanjian internasional mengenai persoalan perburuhan baik yang bersifat bilateral dan multilateral

maupun berbagai Konvensi ILO (International Labour Organization).8

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka pembahasan dari kedudukan Konvensi ILO sebagai sumber hukum perburuhan/ketenagakerjaan Indonesia, dapat dirumuskan dengan permasalahan hukum bagaimanakah penerapan Konvensi-konvensi ILO sebagai sumber hukum perburuhan/ketenagakerjaan di Indonesia agar memiliki kekuatan mengikat secara hukum terhadap buruh/pekerja dan pengusaha?

II. PEMBAHASAN

1. Konvensi ILO sebagai Sumber Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan

Sumber hukum mengandung makna tempat diketemukan, asal mula atau menggali

hukumnya. Menurut Sudikno Mertokusumo bahwa pada hakikatnya yang dimaksudkan

dengan sumber hukum adalah tempat kita dapat menemukan atau menggali hukumnya. Tempat hakim dapat mencari atau menemukan hukumnya yang dapat digunakan sebagai dasar

putusannya.9 Dengan demikian sumber hukum perburuhan/ketenagakerjaan adalah tempat

menemukan atau menggali hukum perburuhan/ketenagakerjaan. Menurut Iman Soepomo sumber hukum perburuhan adalah segala sesuatu di mana kita dapat menemukan

ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan mengenai soal-soal perburuhan.10 Begitu pula menurut Zainal

Asikin dkk, sumber hukum perburuhan yang dimaksudkan adalah tempat diketemukannya

aturan-aturan mengenai masalah perburuhan.11 Para ahli hukum berbeda pendapat dalam

membagi sumber hukum, dan Algra dalam Sudikno Mertokusomo membagi sumber hukum menjadi sumber hukum materil dan formal. Sumber hukum materil ialah tempat dari mana materi hukum itu diambil, dan sumber hukum formal merupakan tempat atau sumber dari

6 Zainal Asikin et al, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, (Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2006), hlm.37.

7 Iman Sjahputra Tunggal, Hukum Ketenagakerjaan, (Jakarta: Harvarindo, 2009), hlm. 22.

8 Hari Supriyanto, Perubahan Hukum Privat ke Hukum Publik : Studi Hukum Perburuhan di Indonesia, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2004), hlm. 20-22.

9 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2003), hlm.82. 10 Iman Soepomo, Op.cit, hlm.26.

(16)

mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum, berkaitan dengan bentuk atau cara

yang menyebabkan peraturan hukum itu formal berlaku.12 Sumber hukum materil hukum

perburuhan/ketenagakerjaan adalah Pancasila13, sedangkan sumber hukum formal hukum

perburuhan/ketenagakerjaan para ahli berbeda pendapat tentang jenis-jenis sumber hukum formal perburuhan, namun mereka tetap mencantumkan traktat sebagai sumber hukum perburuhan.

Traktat adalah perjanjian yang diadakan antara dua negara atau lebih. Traktat yang diadakan antara dua negara disebut traktat bilateral dan traktat yang diadakan antara lebih

dari dua negara disebut traktat multilateral. Traktat (treaty) memiliki istilah lain, seperti :

konvensi (convention), protocol, perjanjian (agreement), persetujuan (arrangement),

proces-verbal, statuta (statute), deklarasi (declaration), modus vivendi, pertukaran nota (exchange of notes atau exchange of letter), final act, dan general act. Perbedaan istilah menunjukkan suatu

perbedaan dalam prosedur atau formalitasnya.14 Lebih lanjut J.G. Starke mengatakan bahwa

Konvensi merupakan istilah yang biasanya dipakai bagi instrumen resmi yang berkarakter multilateral. Istilah konvensi juga mencakup instrumen-instrumen yang dibuat oleh organ-organ lembaga-lembaga internasional, misalnya oleh Konferensi Buruh Internasional (ILC)

dan Majelis Oganisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO).15

Traktat16 dalam istilah konvensi (convention) bidang ketenagakerjaan yang banyak

dijumpai adalah Konvensi-konvensi ILO yang ditetapkan oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). ILO menjalankan fungsi sebagai pembuat standar perburuhan internasional, dan juga melaksanakan program operasional dan pelatihan-pelatihan perburuhan. Hal ini merupakan tanggung jawab yang diberikan oleh komunitas internasional kepada ILO yang dibentuk untuk tujuan ini. Standar perburuhan internasional tersebut

berupa konvensi (convention) dan rekomendasi (recommandation) yang menetapkan standar

minimum. Konvensi ILO agar dapat mengikat harus diratifikasi terlebih dahulu oleh

negara-negara anggota ILO dan merupakan sumber hukum perburuhan.17 Begitu pula Iman Sjahputra

Tunggal, Konvensi ILO merupakan sumber hukum perburuhan yang harus diratifikasi

agar mengikat negara anggota.18 Dengan demikian Konvensi-konvensi ILO yang telah

diratifikasi merupakan sumber hukum perburuhan, karena kita dapat menemukan hukumnya dari Konvensi-konvensi ILO tersebut. Sesuai pendapat Sudikno Mertokusumo bahwa pada hakikatnya yang dimaksudkan dengan sumber hukum adalah tempat kita dapat menemukan atau menggali hukumnya. Tempat hakim dapat mencari atau menemukan hukumnya yang

12 Sudikno Mertokusumo, Op.cit, hlm. 63. 13 Iman Soepomo, Op.cit, hlm. 26.

14 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, edisi kesepuluh, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm.586.

15 Ibid.

16 Suatu traktat mengikat negara-negara nasional peserta traktat berdasarkan pada dua asas, yaitu : (a) Asas pacta sunt servanda, berarti bahwa setiap perjanjian mengikat atau setiap perjanjian harus ditaati oleh mereka yang membuatnya, (b) Asas primat hukum internasional, berarti bahwa hukum internasional lebih tinggi derajatnya dari hukum nasional, yaitu hukum publik internasional.

(17)

dapat digunakan sebagai dasar putusannya.19

2. Kekuatan Mengikat Konvensi ILO sebagai Sumber Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan

Di atas telah dikatakan bahwa Konvensi ILO merupakan sumber hukum perburuhan yang harus diratifikasi agar mengikat negara anggota. Sehubungan dengan Indonesia sebagai anggota ILO sejak tahun 1950, maka Indonesia merupakan negara Asia pertama dan kelima di dunia yang telah meratifikasi seluruh konvensi utama ILO. Indonesia meratifikasi Konvensi ILO dimulai sejak pemerintahan Hindia Belanda, dengan demikian meliputi Konvensi ILO yang diratifikasi pemerintah Hindia Belanda dan selanjutnya dinyatakan berlaku di Indonesia dan Konvensi ILO yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia sendiri, jumlahnya sampai tahun 2008 Indonesia telah meratifikasi 18 (delapan belas) buah Konvensi ILO. Adapun Konvensi ILO yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia beserta peraturan perundang-undangan nasional yang meratifikasinya adalah sebagai berikut :

1. Konvensi ILO Nomor 81 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan (diratifikasi dengan Undang-udang No. 21 Tahun 2003).

2. Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi (diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 83 Tahun 1998).

3. Konvensi ILO Nomor 98 tentang Hak Berorganisasi dan Berunding Bersama (diratifikasi dengan Undang-undang No. 18 Tahun 1956).

4. Konvensi ILO Nomor 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa (diratifikasi dengan Undang-undang No. 19 Tahun 1999).

5. Konvensi ILO Nomor 111 tentang Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan (diratifikasi dengan Undang-undang No. 21 Tahun 1999).

6. Konvensi ILO Nomor 138 tentang Usia Minimum Untuk dibolehkan Bekerja (diratifikasi dengan Undang-undang No. 20 Tahun 1999).

7. Konvensi ILO No.182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (diratifikasi dengan Undang-undang No. 1 Tahun 2000).

8. Konvensi ILO No.100 tentang Kesamaan Pengupahan (diratifikasi dengan Undang-undang No. 80/1957).

9. Konvensi ILO No.144 tentang Konsultasi Tripartit Untuk Meningkatkan Pelaksanaan Standar Perburuhan Internasional (diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1990).

10. Konvensi ILO Nomor 106 tentang Istirahat Mingguan dalam Perdagangan dan Kantor-kantor (diratifikasi dengan Undang-undang No. 3 Tahun 1961).

11. Konvensi ILO No. 29 tentang Kerja Paksa atau Wajib Kerja (diratifikasi dengan Stbl. 261, 1933).

12. Konvensi ILO No.19 tentang Perlakuan Yang Sama Bagi Pekerja Nasional dan Asing dalam Hal Tunjangan Kecelakaan Kerja (diratifikasi dengan Stbl. 53, 1929).

(18)

13. Konvensi ILO No. 27 tentang Pemberian Tanda Berat pada Pengepakan Barang-barang Besar yang Diangkut dengan Kapal (diratifikasi dengan Stbl.117, 1933).

14. Konvensi ILO Nomor 45 tentang Kerja Wanita pada Segala Macam Tambang (diratifikasi dengan Stbl. 219, 1937).

15. Konvensi ILO Nomor 120 tentang Hygiene dalam Perniagaan dan Kantor-kantor (diratifikasi dengan Undang-undang No. 3 Tahun 1969).

16. Konvensi ILO Nomor 68 tentang Sertifikasi Bagi Juru Masak di Kapal (diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 4 Tahun 1992).

17. Konvensi ILO Nomor 88 tentang Lembaga Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja (diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 2002).

18. Konvensi ILO Nomor 185 tentang Perubahan Dokumen Identitas Pelaut (diratifikasi

dengan Undang-undang No. 1 Tahun 2008).

Dengan Indonesia meratifikasi 18 (delapan belas) buah Konvensi ILO, maka akibat hukumnya negara Indonesia terikat untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi ILO tersebut. Khusus Konvensi Dasar ILO, negara-negara anggota ILO (termasuk Indonesia) memiliki kewajiban untuk menghargai, memajukan dan menjalankan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Konvensi-konvensi ILO yang inti (Konvensi Dasar ILO) tanpa memandang apakah mereka telah meratifikasinya atau belum. Hal ini berdasarkan Deklarasi ILO Mengenai Prinsip-prinsip dan Hak-hak Mendasar di Tempat Kerja, yang telah diterima

dan disetujui oleh Konferensi Perburuhan Internasional (Internatonal Labour Conference)

dalam sidangnya ke-86 bulan Juni 1998.

Adapun Konvensi-konvensi ILO inti atau Konvensi Dasar ILO (Core Convention) yang

merupakan standar inti perburuhan/ketenagakerjaan adalah:20 Konvensi ILO 29 (Pekerja

Paksa dan Perbudakan), Konvensi ILO 87 (Kebebasan Berserikat dan Perlindungan terhadap Hak Berorganisasi), Konvensi ILO 98 (Hak Berorganisasi dan Mengadakan Perundingan Bersama), Konvensi ILO 100 (Persamaan Upah bagi Buruh Laki-Laki dan Perempuan untuk Pekerjaan yang Sama), Konvensi ILO 111 (Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan), Konvensi ILO 138 (Batas Usia Minimum), Konvensi ILO 105 (Penghapusan Kerja Paksa), Konvensi ILO 182 konvensi tersebut terkandung prinsip-prinsip dan hak-hak mendasar di tempat kerja, yang akan menjadi dasar untuk mewujudkan perlindungan bagi buruh. ILO sebagai organ/badan khusus dari PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang mengurusi masalah perburuhan/ketenagakerjaan melaksanakan ketentuan lebih lanjut dari Konstitusi ILO dan Pasal 23 ayat (4) Piagam Hak Asasi PBB dalam bentuk Konvensi-konvensi ILO yang dikenal dengan Deklarasi ILO tentang Prinsip-prinsip dan Hak-hak Mendasar di Tempat Kerja (1998) yang di dalamnya mencakup : Prinsip kebebasan berserikat dan perlindungan hak melakukan perundingan bersama, Prinsip penghapusan segala bentuk kerja paksa atau wajib kerja, Prinsip penghapusan segala bentuk diskriminasi tenaga kerja, Prinsip larangan

(19)

untuk mempekerjakan pekerja anak.21

Konvensi-konvensi ILO yang telah diratifikasi oleh Indonesia secara hukum mengikat negara Indonesia, namun belum mengikat buruh dan pengusaha (rakyat Indonesia). Ratifikasi menurut Sudarsono adalah pengesahan suatu dokumen negara oleh parlemen khususnya

pengesahan undang-undang, pejanjian antar negara, dan persetujuan hukum internasional.22

Untuk memiliki kekuatan mengikat bagi buruh dan pengusaha (rakyat Indonesia) harus dituangkan dalam peraturan perundang-undangan nasional terlebih dahulu. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Iman soepomo bahwa pengesahan (ratifikasi) oleh negara-negara anggota ILO hanyalah bahwa negara-negara itu wajib melaporkan kepada Kantor ILO tentang apa yang diusahakan mengenai ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam konvensi itu. Jadi, ratifikasi belum berarti ketentuan-ketentuan dalam konvensi mengikat rakyat negara itu atau mengikat negara itu terhadap rakyatnya. Untuk mengikat, isi konvensi tersebut harus

ditetapkan lagi dalam undang-undang nasional.23 Begitu pula menurut Abdul Khakim bahwa

Konvensi ILO adalah perjanjian internasional yang dibuat untuk diratifikasi oleh negara-negara anggota untuk menjadi hukum positif. Jadi, makna ratifikasi di sini adalah menjadikan hukum internasional sebagai hukum nasional, sehingga setiap negara yang sudah meratifikasi

suatu konvensi harus mempersiapkan perangkat hukum sesuai dengan ketentuan konvensi.24

Dengan demikian untuk mengikat buruh dan pengusaha (rakyat Indonesia) harus membuat peraturan perundang-undangan perburuhan/ketenagakerjaan nasional yang ketentuannya harus disesuaikan atau diharmonisasikan dengan ketentuan-ketentuan standar perburuhan internasional yang bersumber dari Konvensi-konvensi ILO dalam peraturan perundang-undangan perburuhan/ketenagakerjaan tersebut. Seperti halnya sekarang telah berlaku beberapa peraturan perundang-undangan perburuhan/ketenagakerjaan, di antaranya: undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Undang-Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah dan peraturan pelaksanaan lainnya. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan tersebut tentunya harus menyesuaikan atau mengharmonisasikan ketentuan-ketentuannya dengan standar perburuhan internasional yang bersumber dari Konvensi-konvensi ILO, dan peraturan perundang-undangan nasional inilah yang mengikat buruh dan pengusaha (rakyat Indonesia).

Kekuatan mengikat Konvensi ILO sebagai sumber hukum perburuhan/ketenagakerjaan Indonesia dalam hukum internasional terkait dengan doktrin inkorporasi dan doktrin

21 Pada bulan Juni 1998 Konferensi Perburuhan Internasional (Internasional Labour Conference) menyetujui Deklarasi ILO mengenai Prinsip-prinsip dan Hak-hak Mendasar di Tempat Kerja, yang meliputi : (1) kebebasan untuk berserikat dan pengakuan atas hak untuk melakukan perundingan bersama; (2) penghapusan segala bentuk kerja paksa atau kerja wajib; (3) larangan untuk mempekerjakan pekerja anak; (4) penghapusan segala bentuk diskriminasi tenaga kerja. Lihat http://www.ilo.org/jakarta.

22 Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm.393. 23 Iman Soepomo, Op.cit, hlm. 211.

(20)

transformasi. Doktrin inkorporasi menurut Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar dalam Anom Wahyu Asmorojati, menyatakan bahwa hukum internasional dapat langsung mengikat menjadi bagian hukum nasional. Dalam hal suatu negara menandatangani dan meratifikasi suatu traktat, maka perjanjian tersebut dapat secara langsung mengikat terhadap para warganya tanpa adanya sebuah legislasi terlebih dahulu, contohnya Amerika Serikat,

Inggris, Kanada, dan Australia.25 Doktrin transformasi menyatakan sebaliknya, tidak terdapat

hukum internasional dalam hukum nasional sebelum dilakukannya transformasi yang berupa pernyataan terlebih dahulu dari negara yang bersangkutan, dengan kata lain traktat tidak dapat digunakan sebagai sumber hukum nasional di pengadilan sebelum dilakukannya transformasi

ke dalam hukum nasional.26

Mencermati kedua doktrin hukum internasional tersebut maka dapat dikatakan bahwa berlakunya Konvensi ILO dalam hukum perburuhan/ketenagakerjaan Indonesia sesuai dengan doktrin transformasi, sebab ketentuan-ketentuan Konvensi ILO tidak dapat secara langsung mengikat terhadap buruh dan pengusaha (rakyat Indonesia) tanpa adanya sebuah legislasi terlebih dahulu (peraturan perundang-undangan nasional di bidang perburuhan/ ketenagakerjaan). Peraturan perundang-undangan nasional di bidang perburuhan/ ketenagakerjaan dimaksud di antaranya adalah:

Pertama, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang berisi kebijakan umum di bidang ketenagakerjaan. Dalam penjelasan umum undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa komitmen bangsa Indonesia terhadap penghargaan hak asasi manusia di bidang ketenagakerjaan antara lain diwujudkan dengan meratifikasi kedelapan Konvensi Dasar ILO yang menyangkut : Kebebasan Berserikat (Konvensi ILO No. 87 dan 98); Diskriminasi (Konvensi ILO No. 100 dan 111); Kerja Paksa (Konvensi ILO No. 29 dan 105), dan; Perlindungan Anak (Konvensi ILO No. 138 dan 182). Sejalan dengan ratifikasi konvensi mengenai hak dasar tersebut, maka Undang-undang Ketenagakerjaan ini harus pula mencerminkan ketaatan dan penghargaan pada kedelapan prinsip dasar tersebut. Oleh karena itu, undang-undang ini di samping untuk mencabut ketentuan yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan perkembangan zaman, dimaksudkan juga untuk menampung prinsip-prinsip dasar ILO yang telah diratifikasi.27 Menurut Adrian Sutedi Konvensi Dasar ILO (Konvensi No.100

dan 111, Konvensi No.138 dan 182, dan Konvensi No.29 dan 105) diakomodasi sepenuhnya ke dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu dalam rangka mengatur pemberian perlindungan kepada setiap pekerja/buruh dan organisasi pengusaha dalam rangka: kesempatan dan perlakuan yang sama, penempatan tenaga kerja, pengupahan,

dan hubungan industrial.28

25 Anom Wahyu Asmorojati, Perbandingan Penerapan Hukum Internasional di Tingkat Nasional Pada Negara Eropa, Amerika Serikat dan Indonesia, Jurnal Jure Humano FH Untirta, Vol.2 No.5, November 2010. hlm.3.

26 Ibid.

27 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, TLNRI Nomor 4279 Tahun 2003.

(21)

Kedua, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja. Undang-undang ini secara eksplisit memuat tentang Konvensi ILO, yang dinyatakan dalam Penjelasan Umumnya, yaitu bahwa hak berserikat bagi pekerja/buruh sebagaimana diatur dalam Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi, Konvensi ILO Nomor 98 mengenai Berlakunya Dasar-dasar daripada Hak Untuk Berorganisasi dan Untuk Berunding Bersama sudah diratifikasi oleh Indonesia menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan nasional. Menurut Adrian Sutedi kedua Konvensi Dasar ILO (Konvensi No. 87 dan No. 98) diakomodasi sepenuhnya ke dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, yang mengatur pemberian perlindungan kepada serikat pekerja/serikat buruh dalam rangka: pembentukan serikat pekerja/buruh, keanggotaan serikat pekerja/buruh, pemberitahuan dan pencatatan serikat pekerja/buruh, hak dan kewajiban, hak berorganisasi, keuangan dan harta kekayaan,

penyelesaian perselisihan, pengawasan dan penyidikan, serta pengaturan sanksi.29

Ketiga, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah. Pada Peraturan Pemerintah ini, Undang-Undang Nomor 80 Tahun 1957 tentang Persetujuan Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 100 mengenai Pengupahan Yang Sama Bagi Buruh Laki-laki dan Wanita untuk Pekerjaan Yang Sama Nilainya menjadi dasar Konsideran bagian mengingat, dan menurut Iman Soepomo, isi dari Konvensi Nomor 100 tesebut dapat dijumpai dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah yang dirumuskan dalam Pasal 3, yaitu bahwa pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh mengadakan diskriminasi antara buruh laki-laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya.30

Keempat, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan

Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.Kedua Undang-undang ini merupakan

peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

yang secara eksplisit mengakomodir Konvensi Dasar ILO (Core Convention). Jadi di sini

yang mengikat buruh dan pengusaha (rakyat Indonesia) adalah Undang-undang Nasional di bidang perburuhan/ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja, UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, dan PP No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah) yang ketentuan-ketentuannya telah menampung ketentuan-ketentuan

Konvensi Dasar ILO (Core Convention).

III. PENUTUP

Konvensi-konvensi ILO yang telah diratifikasi oleh Indonesia merupakan sumber hukum perburuhan/ketenagakerjaan. Meskipun kedudukannya sebagai sumber hukum, hanya

29 Ibid, hlm. 254.

(22)

mengikat negara Indonesia saja, belum mengikat buruh dan pengusaha (rakyat Indonesia) secara langsung. Untuk memiliki kekuatan mengikat bagi buruh dan pengusaha (rakyat Indonesia) harus dituangkan dalam peraturan perundang-undangan nasional terlebih dahulu. Dengan demikian untuk mengikat buruh dan pengusaha (rakyat Indonesia) harus membuat peraturan perundang-undangan perburuhan/ketenagakerjaan nasional yang ketentuan-ketentuannya harus disesuaikan atau diharmonisasikan dengan ketentuan-ketentuan standar perburuhan internasional yang bersumber dari Konvensi-konvensi ILO dalam peraturan perundang-undangan perburuhan/ketenagakerjaan tersebut. Seperti halnya sekarang telah berlaku beberapa peraturan perundang-undangan perburuhan/ketenagakerjaan, di antaranya: Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah dan peraturan pelaksanaan lainnya. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan nasional inilah yang mengikat buruh dan pengusaha (rakyat Indonesia) yang isinya telah mengandung ketentuan-ketentuan Konvensi ILO.

DAFTAR PUSTAKA

Buku Literatur

Asikin, Zainal, et.al, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, Jakarta: RadjaGrafindo Persada,

2006.

Fauzan, Achmad, Konvensi ILO Yang Berlaku di dan Mengikat Indonesia, Bandung:

Yrama Widya, 2005.

Husni, Lalu, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (edisi revisi), Jakarta:

RadjaGrafindo Persada, 2007.

Khakim, Abdul, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia: Berdasarkan UU No.

13 Tahun 2003, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 2005.

Manulang, Senjun H., Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta: Rineka

Cipta, 2001.

Soepomo, Iman, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta: Djambatan, 2003.

Sutedi, Adrian, Hukum Perburuhan, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Supriyanto, Hari, Perubahan Hukum Privat ke Hukum Publik : Studi Hukum Perburuhan

di Indonesia, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2004.

Starke, J.G, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2003.

Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

(23)

Makalah/Jurnal

Asmorojati, Anom Wahyu, Perbandingan Penerapan Hukum Internasional di Tingkat

Nasional Pada Negara Eropa, Amerika Serikat dan Indonesia, Jurnal Jure Humano FH Untirta, Vol.2 Nomor 5, November 2010.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah.

Websites

ILO Constitution dan Philadelphia Declaration, www.ilo.org/ilolex/english/iloconst.htm.

(24)
(25)

PUBLIC EMERGENCY

” SEBAGAI ALASAN

MENGEYAMPINGKAN KEWAJIBAN NEGARA DI BAWAH

ICCPR: REAKSI TERHADAP TERORISME

Widati Wulandari*

Universitas Padjajaran, Bandung

E-mail:widati_w@yahoo.com

Abstract: In terms of handling terrorism, it is potentially to violate the rights of terrorism suspect. Based on the authority of a state, the state seems to use its authority to limit, reduce, and even ignore the rights of the suspect.

Abstrak: Penanganan terorisme berpotensi melanggar hak asasi manusia tersangka terorisme. Atas dasar tersebut, negara-negara dalam praktek menggunakan kewenangan yang ada padanya, membatasi, mengurangi dan mengenyampingkan hak-hak tersangka terorisme.

I. PENDAHULUAN

Fokus tulisan ini adalah kebijakan penanganan terorisme di Indonesia dan potensi pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak untuk diadili dihadapan pengadilan yang adil, dari mereka yang diduga terlibat kegiatan terorisme. Permasalahannya ialah reaksi negara atas potensi ancaman terorisme yang muncul dalam kebijakan penanggulanan dan sistem peradilan pidana terhadap tersangka pelaku terorisme akan selalu bersifat khusus, berbeda dibandingkan dengan reaksi negara terhadap kejahatan pada umumnya. Hal yang kerap dijustifikasi dengan merujuk pada kenyataan bahwa kegiatan terorisme kerap bersifat lintas negara dan juga dinyatakan sebagai ancaman global terhadap keamanan-perdamaian

internasional.1 Itu pula yang kerap dijadikan alasan bagi negara untuk, dengan menggunakan

kewenangan yang ada padanya, membatasi, mengurangi dan mengenyampingkan hak-hak tersangka terorisme.

Pada lain pihak, perlakuan khusus demikian juga mungkin disalahgunakan dan memunculkan ketidakadilan. Satu contoh terburuk, sekalipun tidak dapat diterapkan terhadap Indonesia, adalah penangkapan dan penahanan di Guantanamo Bay tanpa batas waktu dan

tanpa kepastian untuk dihadapkan ke pengadilan yang bersih, jujur, dan adil (fair trial) yang

1 Whittaker,D, Terrorism : Understanding the Global Threat, revised edition, (Harlow: Pearson, 2007), hlm. 3-6.

* Penulis adalah pengajar Hukum Pidana, Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Hukum Pidana

(26)

dialami para tersangka pelaku terorisme oleh pemerintah Amerika Serikat.2 Satu bentuk

penyalahgunaan kewenangan negara lainnya ialah pengkualifikasian aksi-aksi separatisme

serta merta sebagai terorisme,3 dan karena itu memberikan alasan bagi Negara untuk

mengenyampingkan hak-hak tersangka.

Pertanyaannya di sini ialah apakah ada alasan legitim bagi negara untuk mengenyampingkan hak asasi para tersangka terorisme, khususnya untuk diperiksa dan didengar keterangannya dihadapan pengadilan (yang adil dan jujur)? Dari sudut pandang hak

asasi, apakah pernyataan negara dalam keadaan bahaya (public emergency) yang digunakan

Negara dalam menghadapi aksi-aksi terror dapat dijadikan landasan untuk mengenyampingkan hak asasi tersangka? Di samping itu, data empirik yang ada juga menunjukkan bahwa penyelidikan, penyidikan termasuk penyergapan tindak pidana terorisme memuat risiko tinggi bagi aparat hukum. Baku tembak dan sikap ‘lebih baik mati daripada tertangkap’ (dan dipaksa membongkar jaringan kegiatan serta nama-nama tersangka lainnya) seringkali tidak memberikan pilihan bagi aparat hukum terkecuali “menembak mati” para tersangka pelaku

terorisme.4 Ketiadaan pilihan yang kerap juga dialami tentara di lapangan yang dikirim untuk

memadamkan aksi-aksi gerakan separatis, termasuk aksi terror yang kerap lekat muncul bersamaan dengannya.

Apapun alasannya, menangguhkan hak tersangka untuk diadili atau memusnahkannya sama sekali dengan “menembak mati” seberapapun itu dapat dibenarkan, menghilangkan

hak asasi tersangka untuk diadili (right to fair trial).5 Sekaligus hilang pula kesempatan bagi

pengadilan untuk membuat perkara menjadi terang dengan mengungkap kebenaran materiil. Bersamaan dengan itu kepentingan publik untuk mengetahui kebenaran materiil tentang alasan mengapa tersangka terdorong melakukan kejahatan yang didakwakan kepadanya terkesampingkan. Karenanya, hilang pula kesempatan bagi negara untuk menegaskan

kepada masyarakat umum, bahwa perbuatan tertentu (in casu aksi-aksi terorisme) tidak dapat

dibenarkan dengan alasan apapun.

Namun demikian, tentu tidak dalam semua peristiwa pilihannya seburuk itu. Kerap kali pula tersangka pelaku terorisme berhasil ditangkap, baik sebelum mewujudkan niat jahatnya maupun pasca melakukan aksi teror. Mereka yang beruntung akan – dalam jangka

2 Paralel dengan itu, sekalipun dalam konteks berbeda, adalah kebijakan penahanan tanpa didahului proses pengadilan yang memutuskan salah atau tidaknya terdakwa yang dialami mereka yang dikategorikan terlibat dalam kegiatan pemberontakan G-30-S di pulau Buru (1967-70 sampai dengan akhir 1990’an).

3 Sebagaimana dilakukan RRC dalam rangka menanggulangi tuntutan dan aksi separatisme yang diprakarsai kelompok-kelompok etnis di wilayahnya. Hal serupa juga terjadi pada Rusia yang mengkualifikasikan aksi separatisme di Chechna sebagai aksi teroris.

4 Selama 2010, Kapolri mengumumkan bahwa sebanyak 583 tersangka teroris ditangkap, dan 55 meninggal dunia. Dari 583 tersangka, 388 teroris telah divonis, 56 dalam proses sidang, dan 28 dalam penyidikan. (Jakarta.Kompas.com). Dugaan telah terjadi pelanggaran hak asasi juga menjadi perhatian Asian Human Right Commission yang berbasis di HongKong. Dalam pernyataannya tertanggal 4 Maret 2010 (AHRC-STM-047-2010-ID), AHRC meminta perhatian pemerintah akan terjadinya kekerasan terhadap warga sipil dalam suatu operasi anti teroris yang dilakukan di Aceh. Secara khusus disebut bahwa pada 23 Februari lalu, seorang warga sipil terbunuh dan lainnya terluka parah saat polisi menangkap empat orang yang diduga sebagai teroris.

(27)

waktu yang wajar – dihadapkan pada pengadilan yang diharapkan juga bersih, jujur dan adil. Persoalan yang ada tidak berhenti pada adanya putusan pengadilan yang dirasakan memenuhi rasa keadilan masyarakat. Relevan untuk dipertanyakan juga di sini ialah apakah lembaga pemasyarakatan akan berhasil membina mereka dengan tujuan suatu saat mengembalikan mereka ke dalam masyarakat. Bagaimana, misalnya, mencegah residivisme atau lebih buruk lagi penyalahgunaan lembaga pemasyarakatan justru sebagai pusat komando atau kendali

kegiatan terorisme berikutnya?6

Persoalan-persoalan yang dikemukakan di atas sekaligus mengisyaratkan keterkaitan dan kompleksitas permasalahan hukum yang muncul dari kegiatan penanggulangan ancaman tindak pidana terorisme. Itu pula sebabnya sekalipun sudah banyak kajian dan tulisan tentang terorisme, hanya sedikit yang berupaya melihat perkaitan dan relevansi satu penelaahan yang cenderung uni-dimensional dengan pendekatan-pendekatan lainnya, misalnya dari perspektif hak asasi atau dari kacamata politik nasional-internasional ataupun dari sudut pandang hukum pidana materiil dan prosesuil. Untuk melengkapi tulisan-tulisan yang ada, dan dalam rangka memberikan sudut pandang yang lebih komprehensif, di dalam tulisan ini akan digunakan kombinasi perspektif hak asasi manusia, hukum pidana dan kriminologi.

Titik tolak pembahasan ialah pertanyaan kapan dan bilamana negara memiliki kewenangan untuk mengenyampingkan sejumlah hak asasi dari tersangka pelaku terorisme. Untuk menjawab pertanyaan ini akan di kaji apakah ancaman nyata aksi terorisme berkaitan dengan kemungkinan pengenyampingan kewajiban negara untuk melindungi dan

menghormati hak asasi sebagaimana tercantum dalam ICCPR.7 Satu dan lain karena di dalam

ketentuan Pasal 4 ICCPR diatur bahwa hanya dalam situasi “public emergency” Negara

diperkenankan mengenyampingkan hak asasi manusia. Itupun hanya terbatas pada hak asasi yang dikualifikasikan sebagai derogable rights.8 Dalam perkaitan itu pula, berangkat dari

kajian etiologi kriminal, akan ditelaah selintas persoalan faktor-faktor penyebab munculnya terorisme serta bagaimana hal itu mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam menyikapi terorisme. Pendekatan inipun meniscayakan penelaahan kebijakan apa saja yang ada dan dikembangkan pemerintah Indonesia dalam rangka penanggulangan ancaman tindak pidana terorisme dan seberapa jauh kebijakan demikian menjustifikasi pengenyampingan hak asasi tersangka, terutama untuk diadili dihadapan pengadilan yang bersih, jujur dan adil.

6 Seperti misalnya yang dikatakan dilakukan oleh tersangka tindak pidana terorisme Imam Samudra (bom bali I) dalam mempersiapkan aksi terorisme (bom bali II) dari balik penjara krobokan, Bali. Sekalipun demikian, kemungkinan penjara justru menjadi pusat kendali kegiatan kriminal tidak hanya terbatas pada perencanaan aksi-aksi terorisme. Sindikat perdagangan narkoba nasional dan internasional juga ditenggarai mungkin dan sudah dilakukan oleh para narapidana dari balik jeruji. Baca “Dua Pembuat Situs Teroris Ditangkap “ Bali Post Online, 24 Agustus 2006, dan “Sipir Beni Bakal Jadi Tersangka”, Tempointeraktif, 28 Agustus 2006.

(28)

II. PEMBAHASAN

1. Apa Itu Terorisme?

Dalam berbagai aksi-aksi kekerasan yang dikategorikan sebagai tindak terorisme, baik yang terjadi di dalam negeri ataupun manca negara, tampak bahwa yang terjadi sebenarnya adalah kejahatan-kejahatan biasa. Para pelaku (apapun motivasinya) pada dasarnya bersalah melakukan tindak pidana yang umum dikenal seperti pembunuhan atau ancaman pembunuhan, kekerasan serta ancaman kekerasan, penganiayaan, perusakan bahkan perampokan bank ataupun sekadar pencurian. Apa yang sebenarnya membuat tindak pidana biasa demikian dikualifikasikan secara berbeda dan dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme?

Untuk menjawab pertanyaan ini dapat dirujuk cara bagaimana kejahatan internasional

dirumuskan. Di dalam statuta Mahkamah Pidana Internasional,9 crimes of genocide, war

crimes, dan crimes against humanity juga mencakup kejahatan-kejahatan biasa yang dilakukan

dalam konteks tertentu. Genocide, misalnya, mencakup pembunuhan atau kekerasan yang

dilakukan dengan tujuan tertentu yakni pemusnahan sebagian atau seluruh anggota kelompok

tertentu (ras, bangsa, etnis, atau keagamaan). Pada war crimes, maka kejahatan-kejahatan

biasa yang sama harus dibuktikan telah dilakukan dalam hal adanya situasi konflik bersenjata (internasional maupun internal) dan merupakan pelanggaran berat hukum humaniter yang diatur dalam Konvensi Jenewa 1949. Sedangkan untuk dikualifikasikan sebagai crimes against humanity, sejumlah elemen lain harus dibuktikan. Pertama ialah bahwa pelakunya adalah Negara atau organisasi serupa Negara; kedua, bahwa perbuatan tersebut ditujukan terhadap penduduk sipil; dan ketiga, perbuatan-perbuatan itu merupakan bagian dari serangan yang bersifat meluas dan sistematis. Dengan kata lain, sifat jahat perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana internasional bersifat khusus pula dan tidak dapat dipersamakan dengan

sifat jahat pelaku tindak pidana biasa.10 Dikatakan pula bahwa kejahatan-kejahatan tersebut

dianggap the most serious crimes of concern to the international community as a whole.11 Itu

pula alasannya tindak pidana tersebut diatur secara khusus sebagai kejahatan internasional di dalam Statuta Mahkamah Pidana Internasional.

Demikian pula halnya dengan terorisme. Kejahatan terorisme pada dasarnya merujuk pada tindak pidana biasa yang dilakukan dalam konteks tertentu dan memunculkan keyakinan bahwa reaksi negara juga harus bersifat khusus. Ini terindikasikan dari instrumen-instrumen

internasional yang mengkriminalisasi ragam wujud terorisme sejak 1970’an12, seperti

9 International Criminal Court (ICC) dibentuk berdasarkan Statuta Roma 1998.

10 Schabas, W, Introduction to the International Criminal Court, 2nd ed, (Cambridge : Cambridge, University Press, 2004), hlm. 36-66.

11 Triffterer, O, Commentary on the Rome Statute of the International Criminal Court, 2nd ed, (Beck oHG : Verlag C.H.,2008), hlm. 16.

(29)

misalnya pembajakan pesawat udara, penculikan-penyanderaan orang-orang tertentu dan sebagainya. Tindakan-tindakan tersebut dinyatakan dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan-tujuan (politik) tertentu.

Adanya latar belakang motivasi tertentu demikian pula yang mendefinisikan tindakan atau aksi terorisme dan sekaligus membedakannya dari tindak pidana biasa. Secara umum

terorisme didefinisikan sebagai “penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap

penduduk sipil, untuk mencapai tujuan politik tertentu” atau “tindakan-tindakan mengancam atau mengintimidasi penduduk sipil, yang bertujuan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah”, atau “tindakan menciptakan dan mengeksploitasi ketakutan penduduk sipil melalui kekerasan atau ancaman kekerasan untuk mencapai tujuan perubahan politik.”13

Kiranya jelas bahwa adanya motivasi politik merupakan unsur terpenting yang menjadi konteks atau latarbelakang dilakukannya aksi-aksi teroris. Motivasi ini pada analisis terakhir ditujukan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah ataupun hanya sekadar memaksa pemerintah mengubah atau menempuh arah kebijakan politik.

Pemahaman demikian sejalan dengan bunyi ketentuan Article 2 Draft Text of

The Convention on International Terrorism yang dipersiapkan oleh Counter Terrorism Committee.14 Di dalam rancangan ketentuan tersebut terorisme didefinisikan sebagai tindak

pidana yang dilakukan seseorang (any person commits an offence), dengan cara apapun, secara

melawan hukum (unlawfully) dan dengan sengaja (intentionally) dan menyebabkan, ‘inter

alia’ death or serious bodily injury to any person … when the purpose of the conduct, by its nature or context, is to intimidate a population, or compel a Government or an international organization to do or abstain from doing any act.’

Pendekatan serupa juga kita temukan dalam U.S. Code. Terorisme di dalam U.S. Code

tersebut didefinisikan sebagai “premeditated, politically motivated violence perpetrated against non-combatant targets by sub-national groups or clandestine agents, usually intended

to influence an audience.”15 Implisit disebutkan bahwa korban utama dari aksi-aksi terorisme

(yang berlatarbelakang politis) ialah masyarakat sipil (non-combatants) dan ditujukan,

biasanya (artinya tidak serta-merta) untuk mempengaruhi sekelompok orang (tidak harus negara/pemerintah). Tidak disinggung di sini kemungkinan aksi-aksi separatisme yang kerap juga menggunakan terror sebagai cara untuk menekan pemerintah.

Sedikit berbeda adalah pemahaman pengertian terorisme di Indonesia. Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah ditetapkan menjadi Undang melalui

Undang-Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation (1988), Protocol for the Undang-Suppression of Unlawful Act Against the Safety of Fixed Platforms Located on the Continental Shelf (1988), Convention on the Marking of Plastic Explosive for the Purpose of Identification (1991), European Convention on the Suppression of Terrorism (1977), Council Framework Decision of 13 June 2002 on Combating Terrorism, Intern American Convention Against Terrorism (2002), The Arab Convention for the Suppression of Terrorism (1998), Convention of the Organization of the Islamic Conference on Combating International Terrorism (1999).

13 Goodwin, J, A Theory of Categorical Terrorism, SocialForces, Vol. 84, No. 4 (Jun., 2006), hlm. 2027-2046.

(30)

Undang No. 15 Tahun 2003, terorisme dirumuskan sebagai tindakan “…dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional”. Ketentuan terorisme dalam undang-undang di atas juga diperluas terhadap tindakan-tindakan perencanaan dan perbuatan persiapan lainnya yang dilakukan dalam konteks terorisme tersebut.

Apa yang penting di sini untuk dicermati ialah tidak dimasukkannya tujuan atau motivasi politik maupun kehendak mempengaruhi kebijakan pemerintah sebagai unsur

tindak pidana (element of crime). Di dalam ketentuan Pasal 5 Perpu di atas disebutkan bahwa

Tindak pidana terorisme yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dikecualikan dari tindak pidana politik, tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik, dan tindak pidana dengan tujuan politik, yang menghambat proses ekstradisi.” Tampak bahwa pembuat undang-undang dengan tegas hendak memisahkan kejahatan bernuansa politik (subversi, pemberontakan atau separatisme) dari tindak pidana terorisme dengan mengeluarkan unsur motivasi politik yang melatarbelakangi aksi-aksi terorisme dari rumusan delik terorisme.

Tampak pula bahwa dikeluarkannya motivasi politik dari rumusan delik terorisme dilatarbelakangi kepentingan pragmatis, yakni agar para pelaku (tersangka, terdakwa atau terpidana) terorisme tetap dapat dimintakan atau diekstradisi ke negara lain dan tidak terhalang larangan umum dalam (hukum) ekstradisi, yakni untuk tidak menyerahkan pelarian

tersangka pelaku tindak pidana politik.16 Konsekuensi hukum lainnya ialah bahwa Jaksa

Penuntut Umum tidak perlu membuktikan adanya unsur niat untuk mencapai tujuan-tujuan politik atau ideologis tertentu. Hal ini tidak perlu diungkap di dalam persidangan.

Sekalipun dari sudut pandang tujuannya pemilahan antara terorisme dengan kejahatan politik dapat dipahami, cara tersebut menurut penulis tidaklah tepat. Aksi-aksi terorisme yang selama ini terjadi di Indonesia biasanya memiliki tujuan atau latarbelakang politis tertentu atau setidak-tidaknya dilakukan sebagai wujud perlawanan (protes) terhadap kebijakan pemerintah atau untuk memaksa pemerintah untuk melakukan sesuatu. Bahkan juga Djelantik dalam konteks ini secara implisit membedakan terorisme berdasarkan ada-tidaknya motivasi politik. Ia menyatakan bahwa terorisme politik adalah suatu gejala yang merupakan perpanjangan dari politik oposisi yang merupakan suatu produk dari proses deligitimasi yang

panjang terhadap tatanan masyarakat atau rezim yang ada.17

16 Lihat Article 3 Model Treaty on Extradition (Adopted by General Assembly resolution 45/116, subsequently amended by General Assembly resolution 52/88). Lihat pula Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi

(31)

Padahal tidak tercantumnya latarbelakang politik sebagai unsur akan menyulitkan kita untuk membedakan kejahatan biasa dengan kejahatan terorisme. Artinya adanya kesengajaan untuk mencapai motivasi politik tertentu harus dianggap unsur yang tidak terpisahkan dalam rumusan delik terorisme. Lebih lanjut motivasi politik dalam terorisme juga harus kita bedakan dari latarbelakang motivasi politik dalam kejahatan-kejahatan politik. Pendekatan demikian sejalan pula dengan pendefinisian terorisme dalam (instrumen-instrumen) hukum

internasional. Duffy menyatakan bahwa18: “It is widely recognized that terrorism tends to

involve two or more subjective layers. The acts are rarely an end in themselves but a vehicle to achieving particular gains, which are ideological rather than private. Beyond the normal requirement of intent in respect of the conduct (…), the person responsible will usually intend his or her acts to produce broader effects, namely spreading a state of terror and/or compelling a government or organization to take certain steps towards an ultimate goal”. Ia

selanjutnya menyatakan: “In criminal law terms, the existence of this double subjective layer

(….) appears to indicate that if there is a crime of terrorism, like certain other international offences, it is a dolus specialis crime, i.e. a crime that requires, in addition to the criminal intent corresponding to the underlying criminal act the existence of an ultimate goal or design at which the conduct is aimed”.

Dengan kata lain, dalam pandangan Duffy untuk dapat dikatakan adanya tindak pidana terorisme, pengadilan harus membuktikan adanya tindakan dan tujuan atau motif dibaliknya yang mendorong pelaku melakukan tindakan demikian. Dalam konteks ini pula sebenarnya pengadilan tetap bebas menentukan apakah tindak pidana yang dilakukan masuk ke dalam ranah kejahatan politik atau lebih tepat dikualifikasikan sebagai tindak pidana terorisme (dengan motivasi politik tertentu). Pengadilan lah yang pada analisis terakhir harus menilai apakah suatu tindakan tertentu akan dikualifikasikan sebagai tindak pidana biasa atau aksi terorisme. Pengadilan pula yang kemudian diharapkan mampu mengembangkan kriteria pembeda melalui putusan-putusannya.

Berkenaan dengan itu satu benang merah tetap dapat ditarik. Bahwa ada sejumlah elemen yang membedakan tindak pidana terorisme dari tindak pidana konvensional. Elemen pembeda terpenting ialah (1) adanya akibat atau kehendak menimbulkan ketakutan di masyarakat (tanpa pandang bulu); (2) melalui kekerasan atau ancaman kekerasan (diwujudkan dalam ragam wujud tindak pidana); serta (3) dilakukan untuk mencapai tujuan politik tertentu (mempengaruhi kebijakan pemerintah yang berkuasa).

Kesimpulan demikian juga muncul bila kita menelaah sejarah perkembangan aksi-aksi terorisme. Dari sudut pandang ini dapat di bedakan beberapa gelombang serta jenis atau motif gerakan terorisme di dunia. Menurut Rapoport, terdapat empat gelombang teror dengan

motif yang berbeda, yakni anarchism, national liberation, social revolution, dan religious

transcendence.19 Dari sudut pandang ini, jelas bahwa aksi teroris ditujukan pada pemerintah

18 Helen Duffy, The ‘War on Terror’ and the Framework of International Law, (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), hlm.32-33.

Referensi

Dokumen terkait

Kemampuan pemahaman matematis merupakan salah satu tujuan penting dalam pembelajaran, memberikan pengertian bahwa materi-materi yang diajarkan kepada siswa bukan hanya

Sistem penggerak kamera CCTV pada miniatur komplek perumahan modern dengan menggunakan motor stepper sangat tepat karena dengan motor ini kita bisa menyesuaikan

Sejak perolehan informasi memerlukan biaya, dan investor tidak dapat mengharapkan untuk melawan pasar ketika harga pasar telah menggambarkan informasi yang telah

Dalam laporan ini lebih dititik beratkan pada penggunaan volume suara untuk mengontrol tangan robot dengan menggunakan ADC0804 sehingga tanpa menekan atau menyentuh

Hasil akhir dari aplikasi ini adalah sistem yang menampilkan calon pembeli dengan menggunakan baju virtual yang melekat pada badannya sesuai dengan

Oleh karena itu, dapat disimpulkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pemahaman isu-isu kritis lingkungan (X) dengan perspektif global (Y). Dari hasil

(2) Percobaan padat {hidrostatic test) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h, tekanan uji 1,5 kali dari tekanan kerja yang diperbolehkan atau tekanan desain atau tercantum

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji (1) manajemen stok pangan petani padi dan (2) peran kelembagaan lumbung pangan dalam mengurangi rawan pangan. Penelitian menggunakan metode