• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsolidasi Awal Masyarakat Ekonomi di I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Konsolidasi Awal Masyarakat Ekonomi di I"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS GADJAH MADA JURUSAN ILMU POLITIK PEMERINATAHN

MASYARAKAT EKONOMI

Konsolidasi Awal Masyarakat Ekonomi di Indonesia

Oleh: Husen Wijaya Abd Hamid

1. Bagaimana pengaruh kolonialisasi terhadap pembentukan formasi borjuasi domestik di Indonesia?1

a. Kedatangan dan pengaruh VOC

Pembentukan borjuasi domestik Indonesia tidak dapat terlepas dari adanya pengaruh dari kolonialisasi, baik itu pengaruh yang berasal dari serikat dagang hingga kebijakan-kebijakan yang di terapkan era kolonial. Pengaruh yang pertama datang dari serikat dagang yang hadir Indonesia sekitar tahun 1605 dan berhasil menaklukkan Ambon,yaitu VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie). VOC merupakan organisasi persekutuan yang terdiri dari perseroan-perseroan yang memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mendapatkan rempah-rempah yang kemudian di bawa kembali dan dijual di negara mereka masing-masing untuk mendapatkan keuntungan serta memonomopi perdagangan. Pieter Both merupakan gubernur jenderal pertama dari kongsi dagang ini. Sesuai dengan piagam pembentukkannya, VOC diberi hak oktrooi yang meliputi hak melakukan peperangan, hak memiliki tentara sendiri, hak melakukan dan membuat perjanjian, hak untuk melakukan monopoli perdagangan, termasuk hak untuk mendirikan benteng.

Kesemua hak tersebut membuat VOC tak ubah layaknya sebuah negara yang berdaulat2. VOC mulai melakukan penaklukan-penaklukan daerah-daerah Indonesia yang dianggap potensial untuk dijadikan pusat perdagangan. Namun, Kerajaan-kerajaan di Indonesia yang sudah lebih dahulu berdiri daripada kedatangan Penjajah sudah mengembangkan sistem ekonomi dan perdagangannya masing-masing sehingga tujuan Belanda untuk menguasai sumber-sumber rempah-rempah dan perdagangan di Nusantara saat itu menemui berbagai benturan dari Para

1 Jawaban dari pertanyaan ini penulis rangkum dari buku M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

2 Asnan, Gusti. 2006. Pemerintahan Sumatera Barat: Dari VOC hingga Reformasi.

(2)

Raja Kerajaan nusantara. Menggunakan taktik devide et empera, Belanda mulai menaklukkan kerajaan-kerajaan hingga sekitar akhir abad 18, VOC berhasil menguasai mayoritas pulau Jawa dan juga Maluku3. Selain VOC, orang-orang Cina dan Timur Tengah juga telah hadir di Indonesia sebagai pedagang selama berabad-abad dan menjadi bagian penting dari perekonomian. Mereka bahkan menanamkan budaya-budaya yang mereka bawa dari negara asal ke dalam nusantara baik itu melalui perdagangan ataupun pernikahan dengan penduduk pribumi. b. Tanam paksa

Setelah runtuhnya VOC, penjajahan yang sesungguhnya baru dimulai. Pada tahun 1830, Dominasi politik akhirnya tercapai di seluruh Pulau Jawa. Kedatangan Van den Bosch membuka lembaran baru penderitaan penduduk pribumi seiring dengan diberlakukannya Cultuurstelsel atau sering disebut sistem tanam paksa. Sistem tanam paksa diterapkan untuk menutupi kas Belanda yang kosong akibat Perang Jawa. Dalam menjalankan Cultuurstelsel, Van den Bosh menerapkan beberapa peraturan: setiap desa harus menyisihkan 1/5 bagian dari tanahnya untuk kemudian ditanami oleh tanaman ekspor seperti kopi, tebu, dan kina; waktu pengerjaannya tidak boleh melebihi waktu tanam padi; tanah yang dijadikan lahan untuk tanaman ekspor dapat bebas dari pajak; apabila rakyat pribumi mengalami surplus hasil panen, sisanya akan dikembalikan kepada rakyat; gagal panen akibat hama dan bencana alam akan menjadi tanggung jawab pemerintah Belanda;

Namun, kenyataannya semua ketentuan itu dilanggar oleh pihak Belanda sendiri. Tanah yang dijadikan tanah garapan melebih seperlima bagian tanah rakyat pribumi. Rakyat tetap harus membayar pajak kepada Belanda, belum lagi harus mengganti rugi sendiri kerugian akibat gagal panen. Waktu pengerjaan jauh melebihi yang telah ditentukan sebelumnya. Pelanggaran juga dilakukan oleh pamong desa4 yang dijadikan ‘mandor’ oleh Belanda dengan adanya cultuur procentenmereka yang mampu menyerahkan hasil panen lebih. Dampak dari tanam paksa ini bagi penduduk pribumi adalah kelaparan dimana-mana dan penderitaan yang berkepanjangan. c. Liberalisasi: Agrarische Wet dan Undang-undang Gula Tahun1870

3 Lihat makalah Widyatama, Bastian, Dkk. Kondisi Masyarakat Ekonomi dan Proses

Pembentukan Borjuasi di Indonesia pada Era Kolonial. Jurusan Politik dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada

(3)

Penderitaan akibat adanya tanam paksa mulai mendapat sorotan dari negeri Belanda. Parlemen Belanda mendesak diadakannya suatu pembaruan ‘liberal’ dan meminda dihapuskannya Cultuurstelsel sedikit demi sedikit. Dengan latar belakang tersebut, Agrarische Wet dan Undang-undang Gula Tahun1870 mulai ditetapkan. Agrarische Wet tahun 1870 membuka Jawa bagi perusahaan swasta, tetapi hanya sebatas menyewa dengan jangka waktu yang telah ditentukan karena hanya orang-orang Indonesialah yang dapat memiliki tanah. Mulai terbentuk kelompok-kelompok pemilik tanah dan mereka yang bekerja sebagai buruh garapan.

Dampak periode ‘liberal’ terhadap penduduk pribumi nyatanya tidak dapat mengurangi penderitaan pribumi secara signifikan. Pembebasan petani dari penanaman komoditi ekspor hanya menimbulkan sedikit perbaikan karena sistem pembayaran pajak tanah dan pembayaran lainnya masih tetap berjalan. Alhasil untuk membayar hutang pajak tersebut, petani pribumi terpaksa meminjam dari para ‘haji lokal’ yang secara hukum dapat memiliki tanah.

Akibat dampak berkepanjangan dari Cultuurstelsel, politik etis mulai diterapkan di Indonesia sebagai ‘pertanggung jawaban’ orang-orang Belanda atas tekanan dan penindasan yang telah mereka lakukan. Tiga program yang termasuk ke dalam politik etis : irigasi, edukasi, dan emigrasi. Namun, tetap saja ada penyimpangan yang terjadi. Sistem irigasi yang seharusnya diperuntukkan penduduk pribumi diubah untuk memenuhi kepentingan Belanda. Pendidikan yang diberikan pun terbatas hanya untuk golongan tertentu saja. Hal itulah yang kemudian membuat borjuasi yang terbentuk menjadi tidak sempurna. Kebijakan yang diterapkan oleh kolonial selalu menempatkan penduduk pribumi di kelas yang terbawah dalam sistem politik ataupun ekonomi. Politik etis hanya mampu membentuk borjuasi Indonesia menjadi borjuasi politik, bukan borjuasi ekonomi.

2. Pasca proklamasi kemerdekaan, secara tidak sadar, negara berkembang menjadi post colonial state. Berkaitan dengan hal ini,

a. Paparkan proses pembentukan post colonial state

Teori yang sekiranya dapat membantu menjelaskan proses pembentukan negara kolonial teori modernitas5. Teori ini berusaha menjelaskan bahwa pembentukan negara pasca kolonial itu dipengaruhi oleh apa yang disebut dengan modernitas. Modernitas itu dapat diidentifikasi dari kemampuan aktor-aktor politik dalam mengembangkan pola-pola kehidupan politik pasca

(4)

kolonial sesuai dengan proses demokrasi, rasionalitas, dan objektivitas. Idealnya negara-negara pasca kolonial dikuasai oleh para kaum teknokrat yang akan berusaha menjadi arena yang netral dan hanya mewakili kepentingan rakyatnya dan tidak terkait dengan kepentingan golongan manapun. Namun, untuk kasus Indonesia, terlepas dari kolonialisme Belanda, watak negara yang terbentuk justru sebaliknya. Post-colonial state yang merupakan warisan dari Negara Kolonial cenderung represif dan bersifat sentralistik untuk mengikis sisa-sisa kolonial yang ada. Negara pun cenderung mengontrol dan menguasai kelas-kelas domestik demi kepentingan negara itu sendiri, bukan kepentingan warga negaranya6.

Ada juga yang mengatakan bahwa pada dasarnya negara pasca kolonial adalah kelanjutan dari negara kolonial hanya berganti kulit karena pada dasarnya apa yang ada di dalamnya tetaplah sama7. Hal itu membuktikan bahwa struktur dari pengalaman “dijajah” memberikan dampak terhadap keberlangsungan negara selanjutnya dan hal itu tidak dapat diabaikan. Peran negara di era kolonial yang dulunya hanya sebatas menjalankan fungsi administrasi, pasca kolonial peran negara semakin besar karena tidak hanya menjalankan dungsi administrasi, tetapi juga regulasi, pelayanan public, arbitrasi, dan pemberdayaan.

b. Identifikasi karakter dari post colonial state

Ada 2 premis dasar dalam menjelaskan karakter dari post colonial state8:

a. Sifat otonomi yang dimiliki oleh negara adalah otonomi relative terhadap kelas-kelas sosial dalam masyarakat. ada dua faktor yang mempengaruhi watak otonomi relative tersebut. Pertama adalah karena tidak adanya kelas sosial yang menghegemoni sebagai akibat lemahnya perkembangan dan formasi kelas di masyarakat. Kedua adalah karena peran historis negara sebagai mediator kepentingan berbagai kelas yang akhirnya membentuk watak intervensif dari negara. Konsep otonomi relative ini dikembangkan oleh Hamza Alavi dalam artikelnya “The State in Post-Colonial Societisce: Pakistan and Bangladesh”. Maksud dari otonomi relative tersebut adalah ada kalanya negara hadir dan muncul sebagai alat dari kelas-kelas dominan,

6 Ikhsanto, Miftah Adhi. 2014, ‘minggu ke-5: Negara Pasca Kolonial dan Formasi Kelas Sosial’, Jurusan Politik dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, diakses tanggal 7 April 2014. Ppt

7 op.cit., Vedi Hadiz hal. 36

(5)

namun di sisi lainnya, negara tidak menjadi bagian dari kelas manapun9 dan lebih mementingkan atau berpihak kepada kepentingan negara itu sendiri (aparat dan birokrasi penggerak negara) yang akhirnya dapat memunculkan apa yang disebut neopatrimonialisme. Alavi kemudian mencoba menghubungkan otonomi relative negara dengan pertumbuhan yang tidak terkontrol (overdeveloped state). Tesis itu, oleh Saul10 kemudian dijelaskan lebih lanjut bahwa pengambilan bentuk negara yang tidak terkontrol itu adalah untuk mengikis sisa-sisa formasi sosial pra-kapitalis klasik yang diterapkan oleh kolonial.

b. Negara tumbuh dalam situasi dimana kelas-kelas sosial dalam masyarakat kurang berkembang dan lemah. Kurang berkembangnya kelas-kelas sosial Indonesia tidak lain adalah akibat dari kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh kolonial selama mereka menjajah Indonesia. Kelas-kelas sosial yang mendominasi di era kolonial: pertama adalah kelas-kelas kapital yang terdiri dari korporatis Belanda, Inggris, dan Amerika. Kedua adalah kelas menengah yang terdiri borjuasi-borjuasi Cina yang mengumpulkan hasil-hasil produksi, melakukan usaha grosiran, mengembangkan jaringan kredit di pedesaan serta membangun industry manufaktur kecil yang mengolah hasil-hasil agrikultur. Sedangkan pribumi ada di kelas yang paling bawah11. Kelas sosial Indonesia juga kurang berkembang karena situasi dalam negeri yang tidak mendukung eksistensi kelas sosial itu sendiri. Konstelasi politik setelah kemerdekaan tidak stabil akibat pemberontakan-pemberontakan yang masih terjadi.

c. Berikan contoh kebijakan yang mengekspresikan post colonial state

Contoh kebijakan yang mengekspresikan negara pasca kolonial adalah Program benteng. Belum genap pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia, pemerintah menerapkan program tersebut. Program Benteng ini dibuat untuk melindungi dan mengembangkan pengusaha-pengusaha pribumi dan menekan persaingan asing dan Cina. Selain itu adalah untuk memperkecil dependensi Indonesia terhadap kepentingan asing serta pengaruh ekonomi Cina. Pemerintah menyediakan lisensi impor, alokasi devisa dan kredit yang hanya diberikan kepada pengusaha pribumi, untuk membuat mereka naik menjadi borjuasi baru. Namun, pada akhirnya

9 Lihat Habibul Haque Khonder. 2014. Class and State in Bangladesh: Political Economy of Autoritarian Democracy. diunduh dari <http://www.bdiusa.org/Journal%20of%20Bangladesh %20Studies/Volume%206.1%20(2004)/CLASS%20AND%20STATE%20IN

%20BANGLADESH.pdf> diakses tanggal 28 April 2014 pukul 11:25 WIB

10 op.cit., Vedi Hadiz, hal.60

(6)

kebijaksanaan itu dengan cepat menjadi praktek-praktek jual-beli fasilitas yang terjadi antara birokrasi yang kebetulan sedang berkuasa dan para pendukung mereka yang menjadi klien-klien ekonominya12. Selain itu, gagalnya Program Benteng yang pertama kali dijalankan oleh kabinet Natsir dan Soemitro ini adalah karena mental dari para pedagang Indonesia yang ‘tidak mau bekerja’ malah justru ‘menjual’ proteksi yang telah diberikan kepada pedagang Cina.

UU penanaman modal asing dan UU penanaman modal dalam negeri.

3. Bagaimana proses konsolidasi negara terhadap pasar yang melahirkan fenomena state capitalism pada masa Orde Lama?

Sejak diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui dekrit presiden 5 Juli 1959, struktur politik demokrasi liberal yang dianut Indonesia dicabut dan digantikan dengan rezim diktaktor yang dibangun oleh dua sentral kekuasaan, yaitu Soekarno, presiden pemilik otoritas tunggal, dan militer yang menjadi backing-an Soekarno. Sejak saat itu, sistem demokrasi terpimpin resmi dianut oleh Indonesia. Sistem ini merupakan sistem yang lahir dari krisis-krisis yang dialami oleh Indonesia sejak revolusi13.

Salah satu implementasi dari demokrasi terpimpin Soekarno dapat dilihat dengan diterapkannya juga sistem ekonomi terpimpin. Presiden Soekarno membentuk sebuah Dewan Perantjangan Nasional (Depernas) yang beranggotakan tujuh puluh orang untuk membuat sebuah rencana pembangunan sosial, kebudayaan dan ekonomi Indonesia. Satu tahun setelah pembentukannya, Depernas berhasil menyusun sebuah rencana yang dikenal sebagai Rentjana Pembangunan Nasional Semesta Delapan Tahun dan disetujui oleh MPRS dan juga Soekarno. Rencana itu rencananya akan dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama di tiga tahun pertama, Indonesia direncanakan akan sudah swasembada pangan, sandang, dan kebutuhan pokok lainnya. Tahap kedua, dalam lima tahun selanjutnya Indonesia akan berkembang sampai tahap “lepas landas”(take off) memasuki “pertumbuhan terus menerus dengan kekuatan sendiri”.

Akan tetapi, kenyataannya setelah melewati dua tahun pelaksanaan pembangunan, pemerintah justru tidak melihat adanya perkembangan apalagi kemajuan. Hingga pada akhirnya Soekarno mencanangkan suatu kebijakan ekonomi baru lagi yang dikenal sebagai Deklarasi

12 Yahya A. Muhaimin, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan ekonomi Indonesia 1950-1980 hal. 5-6

(7)

Ekonomi (dekon) pada Maret 1963 dan “peraturan-peraturan 26 Mei” pada tanggal 26 Mei 196314. Prinsip-prinsip dari Deklarasi Ekonomi sendiri dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Koordinasi dan regulasi oleh seluruh sektor ekonomi Indonesia, negara, dan swasta untuk menjamin integrasi dari investasi dan produksi ke dalam tujuan dan kebutuhan ekonomi dan politik Indonesia yang lebih luas. Negara akan mengontrol perencanaan pusat, mengontrol distribusi, kredit dan produksi, serta investasi negara langsung.

b. Penghapusan imperialisme dan subordinasi modal asing terhadap tujuan ekonomi dan sosial negara. Upaya Subordinasi modal asing dicapai dengan pengambil-alihan perusahaan asing.

c. Penggantian ekonomi ekpor atau impor kolonial dengan ekonomi industri yang lebih berdikari atau mandiri15.

Setelah dicetuskannya Deklarasi Ekonomi tahun 1963, Negara selalu menempati posisi-posisi penting dalam ekonomi, tetapi hal itu didorong langsung ke arah kepemilikan modal dengan pengambilalihan perusahaan Belanda di 1957-1958. Proses pengambilalihan juga menjangkau hingga pengambilalihan pekerja dan serikat belanda yang ada pada desember 1957, dan semakin banyak pengambilalihan setelah militer ikut terlibat di dalamnya. Satu tahun kemudian nasionalisasi itu secara formal didukung oleh parlemen. Namun, pengambil alihan itu tidak lantas diserahkan kepada perusahaan swasta domestic melainkan ditransformasi menjadi perusahan milik negara, dalam artian pengnasionalisasian perusahan asing16.

Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa sejak saat itulah kapitalisme negara Orde Lama mulai berkembang. Istilah kapitalisme negara sendiri sering digunakan dalam dua cara yang berbeda. Pertama, sebagai sebuah bentuk ekonomi dimana negara berperan sebagai ‘majikan’ kapitalis yang mengeksploitasi pekerjanya untuk kepentingan negara. Kedua, kondisi yang dapat didefinisikan sebagai kapitalisme negara adalah dimana perusahaan-perusahaan kapitalis itu

14 Lihat Yahya A. Muhaimin, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan ekonomi Indonesia

1950-1980.,Hal. 46. Pada tanggal 26 Mei 1963, pemerintah dipimpin oleh Menteri Pertama Djuanda, kembali mengumumkan suatu program stabilisasi ekonomi yang akan

dilaksanakan melalui empat belas peraturan dan kemudian dikenal dengan “peraturan-peraturan 26 Mei”. Program itu cenderung mengandalkan mekanisme pasar dan harga-harga yang ditentukan melalui mekanisme pasar itu sendiri.

15 Op.cit., Robinson, Richardhal. hal 72

(8)

dikuasai oleh negara. Namun, hal itu juga bergantung sejauh mana derajat intervensi negara dalam perusahaan swasta. Jika negara sampai mengintervensi hingga ke dalam hal pemecatan dan perekrutan pekerja, ataupun jika perusahaan tersebut didukung secara financial oleh sistem perbankan negara, maka negara telah mendominasi seluruh kehidupan ekonomi17. Intinya adalah adanya dominasi negara yang besar dalam bidang ekonomi.

17 Anton Pannekoek. 1937. “State Capitalism and Dictactorship”. International Council Correspondence, Vol.III, No.1, January 1937. Diunduh dari <

Referensi

Dokumen terkait

Pelaksanaan pelatihan disesuaikan dengan tahapan pada jadwal rencana kegiatan dan dilakukan secara intermitern dengan tenggang waktu satu minggu antara materi ke

Setelah diketahui strengths, weaknesses, opportunities, dan threats nya, maka dilakukan analisis dengan menggunakan matriks SWOT, untuk memperoleh isu strategis

bahwa dalam rangka pembinaan, penataan, dan pengendalian atas setiap kegiatan mendirikan, merubah, dan/atau menambah bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau

Dalam proses pelabelan dengan menggunakan algoritma Brill Tagger diperlukan Lexical Rule dan Contextual Rule yang memuat sejumlah rule yang nantinya akan diaplikasikan

Dalam hasil penelitian ini ditemukan bahwa peran ayah yang paling berpengaruh terhadap determinasi diri adalah peran ayah sebagai sumber daya sosial dan akademik

disimpulkan bahwa penyebab masyarakat muslim terutama para Ibu rumah tangganya yang ada di Desa Hargomulyo Kecamatan Sekampung Kabupaten Lampung Timur adalah dipengaruhi

H0 :Ekstrak daun sirih (Piper betle Linn) tidak mampu menurunkan jumlah neutrofil darah pada mencit yang diinfeksi

Hal ini sesuai dengan pendapat Weinbach (lihat Bab II, hal. 31) mengenai kemanfaatan dari keberadaan para relawan dalam pelaksanaan pelayanan manusia. Artinya