• Tidak ada hasil yang ditemukan

Communicative Language Teaching CLT dala

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Communicative Language Teaching CLT dala"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Communicative Language Teaching (CLT) dalam Pengajaran Bahasa Inggris pada Perguruan Tinggi di Indonesia: Sebuah Kajian Fenomenologi

Dina Rafidiyah, Ahmad Kailani, Arif Ganda Nugroho Universitas Muhammadiyah Banjarmasin

rafidiyahdina@yahoo.com

Abstrak: Communicative Language Teaching (CLT) atau pengajaran bahasa Inggris menggunakan pendekatan komunikatif merupakan topik yang masih menjadi perdebatan panjang terutama dalam keberhasilan pengajaran Bahasa Inggris. Munculnya CLT ini dilandasi oleh pemikiran bahwa belajar bahasa tidak bisa dipisahkan dari fungsinya sebagai sarana komunikasi. Tidak terkecuali penerapan CLT dalam Pembelajaran Bahasa Inggris di Perguruan Tinggi pun masih menjadi perdebatan antara kemampuan mahasiswa memahami teks-teks ilmiah berbahasa Inggris atau mampu berkomunikasi dengan baik. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran tentang penerapan CLT dalam konteks perguruan tinggi di Indonesia, tantangan-tantangan yang dihadapi para dosen dalam pelaksanaan CLT serta aktifitas dan materi yang digunakan dalam pelaksanaan CLT untuk menunjang keberhasilan belajar mahasiswa. Metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi digunakan untuk menganalisis secara kritis hasil refleksi diri dosen-dosen pengasuh mata kuliah Bahasa Inggris. Data didapatkan melalui teknik wawancara mendalam terkait penggunaan CLT dalam pengajaran bahasa Inggris untuk pengembangan kemampuan reseptif (mendengar dan membaca) dan kemampuan produktif (menulis dan berbicara) mahasiswa. Responden adalah dosen-dosen pengajar mata kuliah Bahasa Inggris yang menerapkan CLT dalam pengajaran mereka. Responden dipilih secara random dan bersedia memberikan refleksinya tentang CLT dalam proses belajar mengajar. Implikasi penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam bidang metodologi pengajaran bahasa Inggris, khususnya pengajaran bahasa Inggris pada level perguruan tinggi. Strategi pengajaran tersebut bisa menjadi alternatif masukan bagi dosen-dosen Bahasa Inggris lainnya.

Kata kunci: CLT, kemampuan komunikatif, kajian fenomenologi

1. PENDAHULUAN

(2)

batasi pada dosen-dosen perguruan tinggi, mengingat dosen-dosen Bahasa Inggris dapat menentukan materi ajar apa yang diajarkan disesuaikan dengan kebutuhan mahasiswanya, sementara pengajaran Bahasa Inggris di tingkat SD – SMA masih terikat dengan kurikulum yang ditentukan oleh pemerintah terutama dalam mempersiapkan para siswa menghadapi UAN (Adi, 2015; Arfiandhani, 2015).

Melihat sejarah panjang Communicative Language Teaching (CLT) dalam pengajaran bahasa sejak tahun 1960 sampai sekarang, banyak sekali terjadi perdebatan seperti apakah pengajaran kompetensi berkomunikasi harus diajarkan. Kibbe (2017), Thornbury (2017), (“Communicative Language Teaching: Jeremy Harmer and Scott Thornbury | The New School - YouTube,” 2013) menyatakan penerapan CLT dalam pengajaran bahasa asing terbagi menjadi dua golongan besar, yaitu yang menjalankan CLT yang sangat kaku berdasarkan dasar teori kompetensi komunikatif. Sedangkan golongan kedua adalah golongan yang lebih fleksibel menerapkan pendekatan komunikatif.

Sudah bukan saatnya lagi pengajaran Bahasa Inggris menggunakan cara-cara yang membosankan seperti menghafal kosa kata atau mempelajari tata bahasa, tanpa konteks komunikatif kapan hal itu bisa dipakai dalam kehidupan siswa. Savignon (2001) menegaskan bahwa pengajaran Bahasa Inggris harusnya lebih ditegaskan ke kompetensi komunikatif untuk mempersiapkan siswa menghadapi tantangan abad ke 21. Melihat pembelajaran Bahasa Inggris saat ini masih sangat kaku mulai dari tingkat dasar, sehingga pada waktu siswa diharapkan bisa berkomunikasi justru mereka mengalami hambatan. Seharusnya pembelajaran Bahasa Inggris harus lebih menyenangkan dan tidak membosankan (Arifah, 2014).

CLT adalah prinsip-prinsip pengajaran Bahasa Inggris yang berhubungan dengan tujuan pengajaran bahasa sebagai alat komunikasi, bagaimana cara siswa belajar, aktifitas-aktifitas yang baik dilakukan di kelas, dan peran guru dan siswa dalam pembelajaran (Richards, 2006). Pada dasarnya, CLT adalah pendekatan pembelajaran Bahasa Inggris sehingga siswa dapat berkomunikasi secara effektif di situasi sehari-hari. Pendekatan ini sangat penting dijalankan mengingat bahwa rata-rata siswa Indonesia setelah belajar Bahasa Inggris bertahun-tahun, tetap tidak bisa berkomunikasi menggunakan Bahasa Inggris (Sholihah, 2012).

Sangat menarik untuk melihat bagaimana pelaksanaan CLT di beberapa negara Asia sebagai perbandingan. Liu (2015) menjelaskan tentang bagaimana pelaksanaan CLT di China. Ada beberapa hal yang menyebabkan CLT tidak berhasil diimplementasikan di China, yaitu: (1) Bahasa Inggris hanya dipakai pada saat di kelas saja; (2) Menguasai komunikasi tidak membantu siswa untuk dapat menjawab soal-soal ujian dan lulus ujian; (3) Para siswa tidak bisa menghubungkan kompetensi linguistik dan kompetensi komunikasi; dan (4) Tidak banyak tersedia materi-materi asli (authentic material) yang bisa digunakan para siswa untuk belajar.

Penelitian lain yang dilakukan di Saudi Arabia untuk mengetahui tantangan pelaksanaan CLT yang berhasil dilaksanakan di tingkat perguruan tinggi. Menurut Al Asmari (2015), tantangan tersebut terdiri dari empat faktor yaitu: (1) Tantangan yang berhubungan dengan guru; (2) Tantangan yang berhubungan dengan siswa; (3) Tantangan yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah; dan (4) Tantangan yang berhubungan dengan CLT itu sendiri.

(3)

tingkat SMP. Juga ada (Wiyono, Gipayana, & Ruminiati, 2017) yang melakukan penelitian tentang pelaksanaan CLT di tingkat SD. Sedangkan, Ariatna (2016) menyatakan bahwa sebenarnya permasalahan CLT dapat diselesaikan, oleh karena itu CLT harus dipertahankan di Indonesia.

Dalam penelitian ini, kami ingin mencoba mencari jawaban terhadap implementasi CLT pada tingkat perguruan tinggi di Indonesia. Ada beberapa pertanyaan yang akan dijawab, yaitu: mengetahui penerapan CLT dalam konteks perguruan tinggi di Indonesia, mengetahui tantangan-tantangan yang dihadapi para dosen dalam pelaksanaan CLT, mengetahui aktifitas dan materi yang digunakan dalam pelaksanaan CLT untuk menunjang keberhasilan belajar mahasiswa. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat berupa gambaran tentang pemahaman CLT dan penerapannya oleh dosen-dosen Perguruan Tinggi di Indonesia, sehingga bisa menjadikan inspirasi pengajaran Bahasa Inggris yang lebih komunikatif.

2. PENDEKATAN & METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan pendekatan fenomenologi (Padilla-Díaz, 2015), dengan tujuan menggali pengalaman dosen-dosen berhubungan dengan implementasi CLT. Responden dalam penelitian ini adalah dosen-dosen Bahasa Inggris yang mengajar di Universitas-universitas di Indonesia. Sampling diambil menggunakan snowball sampling sebanyak 10 orang, hal ini berdasarkan pendapat Dukes (1984). Metode sampling ini digunakan untuk mendapatkan fakta mengenai implementasi CLT oleh dosen-dosen yang menerapkan CLT dalam pengajaran mereka.

Ada beberapa aktivitas-aktivitas pengumpulan data dengan mengadopsi fenomenologi ini (Creswell, 2014). Pertama-tama adalah mencari responden yang berkenan melalui group WhatsApp APSPBI (Asosiasi Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Indonesia). Dari responden yang didapatkan, mereka baru menghubungkan ke teman-teman lain yang menggunakan CLT dalam pengajaran. Setelah itu, pengumpulkan data dilakukan dengan metode wawancara baik secara langsung maupun wawancara berbasis web (Rubin & Rubin, 2005). Langkah selanjutnya adalah merekam informasi dan membuat transkripnya. Apabila ada persoalan lapangan, maka akan diantisipasi agar proses pengumpulan dan penyimpan file data bisa terlaksana.

Analisa data yang terkumpul menggunakan prosedur yang diperkenalkan oleh (Moustakas, 1994), yaitu sebagai berikut: (1) Peneliti mendeskripsikan pengalamannya sendiri tentang fenomen yang dibahas; (2) Peneliti menemukan pernyataan (melalui wawancara atau sumber lain) tentang fenomena tersebut; (3) Peneliti mengelompokkan hasil wawancara menjadi unit yang lebih besar atau tema; (4) Peneliti mendeskripsikan mengenai apa yang terjadi berhubungan dengan tema tersebut (deskripsi tekstural) beserta contohnya; (5) Peneliti mendiskripsikan bagaimana pengalaman tersebut terjadi berhubungan dengan latar dan konteksnya (deskripsi struktural); (6) Peneliti menggabungkan deskripsi tekstural dan deskripsi struktural, sehingga menggambarkan esensi dari fenomena tersebut yang menampilkan aspek puncak dari penelitian fenomenologi.

(4)

pemahaman tentang CLT melalui sudut pandang responden. Hal ini diperkenalkan oleh Smith (2007) sebagai analisa fenomenologi interpretatif.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan dengan mewawancari dosen-dosen universitas negeri dan swasta yang mengimplementasikan CLT di dalam pengajaran mereka, baik di program studi Bahasa Inggris maupun program studi non-Bahasa Inggris. Ada sepuluh orang responden yang didapatkan melalui Group WhatsApp APSPBI yang bersedia di wawancarai. Wawancara dilakukan menggunakan protokol baik secara langsung maupun melalui sosial media.

Hasilnya adalah dari sepuluh responden tersebut 40% adalah dosen universitas negeri dan 60% adalah dosen universitas swasta di Indonesia. Selain itu juga 60% adalah dosen program studi Bahasa Inggris, sedangkan sisanya adalah dosen program studi Bahasa Inggris dan English for Specific Purposes (ESP) di bidang teknik, keperawatan, dll. Dari hasil wawancara maka dibuatkan table untuk bisa melihat hasil penelitian secara keseluruhan berdasarkan pertanyaan-pertanyaan protokol wawancara dan selanjutnya dapat menentukan tema-tema inti yang merupakan persamaan dan perbedaan dari masing-masing responden. Tema-tema itulah yang akan dibahas berikut ini:

a. Pengetahuan responden tentang CLT approach.

 Enam responden menyatakan bahwa CLT menggunakan Pendekatan Komunikatif/Interaksi (R1, R3, R4, R6, R8, dan R9). Seperti yang disampaikan oleh Responden 6 (R6), “CLT adalah sebuah pendekatan pengajaran target language dimana dalam proses teaching learning lebih ditekankan pada aspek interaksi, komunikasi dalam mengembangkan ketrampilan dan kompetensi Bahasa.”

 Empat responden menyatakan bahwa CLT menggunakan pendekatan Students Centered Learning/Siswa Aktif (R1, R5, R7, dan R10). Seperti misalnya yang dikatakan oleh Responden 2 (R2) “Students are as a learning center and teachers are as facilitator, guide, and motivator.”

 Mengintegrasikan semua skills dan menggunakan authentic material (R1, dan R8) seperti yang dijelaskan oleh Responden 8 (R8), “Salah satu metodologi dalam pembelajaran Bahasa Inggris yang menekankan pada pengajaran komunikatif, terintegrasi semua skills, dan penggunaan autentik material atau materi yang asli.”

 CLT diartikan sebagai pembelajaran komunikatif sejalan dengan pendapatnya (Savignon, 2001), sedangkan student centered learning adalah pendapat (Banciu & Jireghie, 2012) dimana siswa adalah pusat pembelajaran.

b. Hal spesifik dari pendekatan ini dibanding dengan pendekatan-pendekatan lainnya.

(5)

 Sebagaimana disampaikan oleh (Ju, 2013) CLT memang berdasarkan banyak penelitian dinyatakan bahwa efektif dan berhasil, bagaimanapun juga tidak semua masalah pengajaran dapat diselesaikan dengan CLT.

c. Gambaran penerapan CLT di kelas Bahasa Inggris.

 Responden 1 (R1) menyatakan bahwa, “Bahan autentik seperti contoh materi berupa surat lamaran asli atau video dari Youtube sebagai bahan listening atau discussion, Role-Play untuk pengajaran conversation, dll.”

 Responden 2 (R2) menjelaskan bahwa, “I ask students to use the English language through communicative activities such as games, role plays, and problem-solving tasks, the use of authentic materials, and activities are carried out by students in small groups in the implementation of CLT.”  Responden 3 (R3) “Penerapannya melalui kegiatan diskusi, presentasi yang

disertai tanya jawab serta kerja kelompok.”

 Responden 4 (R4) menerapkan hal berikut, “Biasanya membagikan teks atau menayangkan video yang menarik lalu siswa berkelompok untuk berdiskusi tentang hal-hal yang saya sudah tentukan. Terkadang juga saya membuat kelompok debat mengenai sebuah isu tertentu.”

 Responden 5 (R5) menyatakan bahwa “Saya biasanya di awal pertemuan menginstruksikan siswa untuk memperkenalkan diri dan kemudian menceritakan pengalaman pengalaman yang pernah dialaminya diwaktu lampau. Yang mana hanya siswanya sendiri yang tahu cerita itu.”

 Responden 6 (R6) “Contohnya biasanya adalah role play, debat dan berdiskusi atas topik topik yg kita tentukan selama dlm proses pembelajaran. Contohnya kita membahas mengenai pengunaan present tense dalam hal mendeskripsikan maka kita minta anak untuk bermain peran dimana didalamnya ada unsur unsur bahasa yang sedang dibahas.”

 Responden 7 (R7) menyatakan “Selama ini saya lebih banyak mengajar mata kuliah konten seperti introduction to linguistics, jadi bukan mata kuliah skill. Cuman dalam mata kuliah itu pun saya berusaha untuk mengajak mahasiswa itu untuk lebih aktif, tidak selalau menerangkan, saya lebih sering meminta mahasiswa untuk menjelaskan topik baru kita lebih banyak diskusi dan nanti pada saat kesemipulan terakhir baru dibenahi semua.”

 Responden 8 (R8) mengatakan bahwa “Untuk mata kuliah intensive reading, mahasiswa tidak cuma membaca tetapi juga berdiskusi mengintegrasikan reading dengan speaking, kemudian dia bisa juga membuat summary dari text yang dia baca …”

 Responden (R9) sebagai dosen pengajar ESP “… jadi saya harus mengupayakan bagaimana supaya mahasiswa saya itu bisa mengembangkan kemampuan bahasa yang akan digunakan nanti di lingkungan kerjanya dalam konteks Bahasa Inggris …”

(6)

adalah reseptif skill, salah satu cara supaya pelajaran listening itu tidak membosankan, saya meminta mereka untuk melakukan suatu project yang berhubungan dengan listening. Misalnya dengan mereka membuat video tentang listening in TOEFL/IELTS. Jadi siswa saya kasih soal TOEFL dan mereka saya minta membuat sebuah video pembelajaran, sehingga mereka juga aktif dalam pembelajaran.”

 Penerapan CLT membawa aspek komunikasi dan keterlibatan siswa secara aktif, sehingga banyak menggunakan task-based learning dengan meggunakan games dan cara-cara interaktif lainnya. Sebagaimana disampaikan oleh (Houston & Turner, 2007)

d. Desain pembelajaran 4 makro skill; listening, speaking, writing, dan reading dengan pendekatan CLT.

 Tujuh responden yang menyatakan bahwa 4 makro skills itu diajarkan secara terintegrasi (R1, R2, R3, R4, R6, R7, R8, dan R9), sebagai contoh yang disampaikan oleh Responden 4 (R4), “Saya awali dengan reading atau listening yaitu dengan membawa teks (reading) dan atau video (listening) yang menarik. Lalu saya meminta siswa mengomentari isu yang ada dalam bacaan atau tayangan tadi (speaking). Beberapa siswa akan mengemukakan pendapat mereka yg mungkin saling berbeda. Pada akhir pertemuan saya akan meminta siswa menulis (writing) respon mereka akan teks atau video yang sudah didiskusikan tadi.”

 Menurut Responden 2 (R2), “Students are allowed to work in pairs and pose questions to one another, Pair work (Speaking) but with the questions and answer model, Eventhough they are answering, grammar practice tends to be the real intent …”

 Responden 5 (R5) menyatakan bahwa “Materinya biasanya adalah yang berhubungan dengan tenses, bisa simple present, simple past atau present perfect Aktivitasnya dengan maju ke depan kelas dan bercerita tentang keluarganya, pengalaman yang tidak terlupakan (Speaking). Yang diakhiri dengan tepuk tangan dari teman2nya sebagai bentuk support atas usahanya bercerita di depan kelas Listening dengan mendengarkan siswa lain bercerita Speaking dengan secara aktif berbicara dengan topik yang disukainya saya belum pernah mengajar writing dan reading dengan pendekatan CLT.”

 Responden 10 (R10) menjelaskan bahwa “Saya juga mengajar extensive reading, lebih kepada materialnya yang based on the students' interest. Jadinya misalnya bikin projek siswa itu mereview jurnal (Reading). Jurnal itu mereka mencari sendiri berdasarkan interest mereka misalnya kepada speaking, literatur atau linguistik. Nanti mereka presentasikan jurnal itu (Speaking).”

 Sebenarnya semua macro skills bisa dipakai secara integrative dalam pemdekatan CLT (Akram & Malik, 2010), tetapi memang tergantung kondisi masing-masing dosen. Oleh karena itu ada beberapa dosen, memang ada yang mengalami kesulitan untuk mengajarkan beberapa macro skills.

(7)

 Tujuh responden menyatakan bahwa CLT dapat diterapkan secara efektif/sangat efektif (R1, R2, R3, R4, R6, R7, R8, dan R10), sebagaimana disampaikan oleh Responden 6 (R6) “Menurut saya sangat efektif sepanjang gurunya paham apa yang ingin diajarkan dan tujuan akhir dari pengajaran tsb.”

 Dua responden yang menyatakan bahwa CLT tidak efektif untuk listening (R2, dan R9), sebagaimana dikatakan oleh Responden 9 (R9) sebagai berikut: “Saya membuat dalam metode pembelajaran yang integratif, jadi menyatu. Misalkan di pertemuan itu saya mengajarkan tentang nursing intervention, maka di dalamnya saya upayakan ke empat skill itu dimasukkan, tapi dengan penekanan khusus yaitu dispeakingnya. Karena untuk listening, seperti kita ketahui listening memerlukan semacam lab bahasa, sedangkan kita kalau membuat mahasiswa kita dalam lab bahasa mengembangkan kemampuan listening memerlukan waktu tersendiri dan mahasiswanya kan banyak jadi gak mungkin dengan spesifik pengajaran listening siterapkan. Jadi saya hanya memberikan waktu beberapa menit dalam beberapa pertemuan saja. Itupun karena di STIKES Suaka Insan sekarang lab nya rusak, saya mengaktifkan laptop dan membawa speaker ke dalam kelas. Secara efektif bisa tetapi manajemen waktu akan keteteran.”

 Menurut Responden 5 (R5) hanya speaking dan listening yang efektif menggunakan CLT, “Menurut saya yang efektif hanya di 2 skills yaitu speaking dan listening.”

 Mengintegrasikan 4 makro skill adalah hal yang terbaik dapat dilakukan untuk memaksimalkan penguasaan kompetensi komunikasi diantara para pembelajar Bahasa Inggris (Akram & Malik, 2010).

f. Kemungkinan penerapan CLT juga dalam pengajaran grammar

 Secara langsung maupun tidak langsung semua responden menyatakan bisa saja menggunakan CLT untuk pengajaran Grammar, seperti yang disampaikan oleh Responden 9 (R9) sebagai dosen ESP, “Saya kebanyakan mengajar grammar, comprehend pada pengajaran speaking tadi. Contohnya tema nursing intervention dimana saya mengajarkan bahasa-bahasa teknik bagaimana seorang perawat apabila mau melakukan intervensi ke pasien.”  Selain itu juga disampaikan oleh Responden 10 (R10) sebagai perwakilan

dosen program studi Bahasa Inggris, “Saya pernah dulu mengajar Grammar 1, karena grammar itu bukan hanya teori-teori saja, tapi harus langsung dipraktekkan. Jadi siswa bisa langsung memakai tenses yang sudah diajarkan kepada mereka.”

 Penerapan grammar memang seharusnya tidak lepas dari fokus koteks, sehingga pengajarannya menjadi bermakna. Menurut (Houston & Turner, 2007), pengajaran grammar yang tidak hanya berfokus pada struktur pembentukan kalimat adalah pendekatan yang lebih masuk akal dalam pembelajaran bahasa.

(8)

 Semua responden menyatakan bahwa pengajaran grammar dapat dilakukan dengan menintegrasikan semua makro skill.

 Sebagai contoh Responden 8 (R8) dari program studi Pendidikan Bahasa Inggris, “Salah satu ciri khas CLT adalah penggunaan games. Jadi grammar tidak saja terfokus kepada rules tetapi juga ada terintegrasi dengan writing dan speaking. Pada saat mereka belajar grammar itu harus kontekstual. Mereka disuruh mengarang sesuai pattern yang sudah dipelajari, atau mereka bisa membuat percakapan seperti misalnya future tense. Mereka bisa bicara tentang topiknya planning, jadi gammar sangat tepat penggunaan CLT itu.”  Sebagai contoh jawaban dari Responden 9 (R9) yang mewakili dosen-dosen

ESP, “Misalnya I would like to measure your blood pressure. Ada context I would like, di situ pelajaran grammar mengikuti konteks speakingnya. Jadi saya lebih menekankan pada speaking. Bagaimana kamu menyapa pasien, bagaimana kamu melakukan intervensi, bahasanya dulu yang saya tekankan baru contohnya. I need to measure your blood pressure, I need to verb + infinitive baru grammarnya diajarkan. I need to check, I need to observe, baru ditambah kata lainnya.”

 Banyak cara pengajaran grammar dalam CLT, bagaiamanapun menurut (Chung, 2006) semua itu hanya akan efektif apabila para guru benar-benar siap mengintegrasikan penggunaan metode itu di dalam pelajaran mereka.  Responden 2 (R2) merasa bahwa kurangnya fasilitas merupakan kendala bagi

dosen untuk mengajar, “Lack of provided facilities by university such as learning materials, books, and LCD.”

 Responden 3 (R3) menegaskan bahwa beberapa mata kuliah perlu banyak penjelasan, “Kendalanya adalah menerapkan CLT pada mata kuliah teori yang memerlukan penjelasan.”

 Responden 5 (R5) dosen harus selalu inovatif, “Kendala/ tantangan bagi Anda sebagai dosen pengajar tantangannya adalah terus berkreasi supaya siswa tidak merasa bosan.”

 Dua responden menyatakan bahwa keterbatasan waktu adalah kendala yang perlu diantisipasi (R6, dan R9). Responden 9 (R9) menyatakan bahwa, “ Waktu yang sangat sempit karena 2 SKS dalam satu minggu, jumlah siswa yang besar, karena saya lebih banyak ke role play. Dialog-dialog itu memerlukan waktu yang lama, kadang-kadang saya menyiasatinya dengan saya suruh mereka merekam suara mereka, kemudian menyampaikan ke saya.”

(9)

 Tiga responden menyatakan tidak bermasalah dalam pelaksanaan CLT sebagai dosen (R1, R4, dan R8). Sebagaiman disampaikan oleh Responden 4 (R4),” tidak ada kendala jika pembahasan atau wacana atau teks yg kita bawa menarik. Tetapi ketika teksnya tidak menarik maka keikutsertaan siswa untuk aktif biasanya kurang optimal.”

 Menurut Al Asmari (2015) ada beberapa hal ang menyebabkan kendala bagi dosen: (1) dosen mempunyai kesalahan pemahaman tentang CLT; (2) dosen tidak menggunakan Bahasa inggris pada konteks yang seharusnya; (3) dosen tidak memahami budaya Inggris; (4) dosen mempunyai sedikit waktu untuk mengembangkan materi ajar; (5) dosen hanya mempunyai sedikit informasi tentang pengembangan bahan ajar komunikatif; (6) tidak ada pelatihan tentang CLT untuk dosen; (7) hanya sedikit kesempatan dosen mengikuti pelatihan CLT; dan (8) dosen tidak mempunyai bahan ajar yang autentik untuk mensupport pengajaran.

h. Kendala-kendala yang dihadapi mahasiswa berdasarkan pengamatan dosen yang menggunakan pendekatan pengajaran CLT.

 Kemampuan atau kompetensi mahasiswa yang terbatas (R1, R2, R3, R6, R8, dan R9, sebagaimana disampaikan oleh Responden 9 (R9), “Seperti yang Bapak ketahui, Bahasa Inggris adalah Bahasa yang asing bagi mereka, banyak dari mereka yang tidak pernah kursus atau semacamnya. Mereka belajar Bahasa Inggris hanya di sekolah saja, pada saat mengikuti pelajaran bahasa Inggris juga tidak totalitas. Mereka menganggap pelajaran bahasa Inggris adalah bukan pelajaran keperawatan jadi bukan merupakan prasyarat kelulusan jadi tidak mereka ikuti benar-benar serius. Keterbatasan dalam kemampuan Bahasa Inggris sebelumnya. Itu yang merupakan kendala bagi mahasiswa untuk mengikuti pelajaran Bahasa Inggris ESP ini.”

 Responden 4 dan 7 (R4 dan R7) menyatakan bahwa minat mahasiwa untuk membaca sangat kurang sehingga mempengaruhi keaktifannya dalam diskusi di kelas,” Sementara ini kendala utama yang berhubungan dengan CLT adalah mereka harus membaca dulu sebelum masuk kelas, jadi di kelas kita bisa sharing. Kendalanya adalah mahasiswa tidak suka membaca, jadi disuruh membacapun mereka tidak mau. Harus ada cara lain agar diskusi bisa lebih hidup.”

 Responden 5 (R5) menyatakan bahwa kecemasan dan kelas besar adalah kendalanya, ”Tantangannya adalah menghadapi anxiety ketika berada didepan kelas, yang mana tantangan untuk pengajarnya juga big class.”  Responden 10 (R10) menjelaskan bahwa, “ Mahasiswa sendiri enjoy aja

(10)

 Kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan CLT dari sisi mahasiswa menurut Al Asmari (2015) adalah (1) kemampuan bahasa mahasiswa yang sangat rendah; (2) pembelajaran yang pasif; (3) kurang percaya diri dan tidak terbiasa dengan metode CLT; (4) mahasiswa menolak untuk berpartisipasi di kelas; dan (5) kurangnya motivasi untuk mengembangan kompetensi komunikasi.

i. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan CLT terkait kebijakan institusi.

 Tidak ada kendala dari kebijakan institusi, bahkan mereka menyatakan institusi sangat mendukung (R1, R2, R3, R6, R7, R8, dan R9). Menurut Responden 8 (R8) insitusi sangat mendukung bahkan dengan membagi mahasiswa sesuai kemampuan mereka, “Untuk jurusan bahasa Inggris, untuk memudahkan pengajaran, kami membagi siswa kepada berdasarkan kemampuan/ability, sehingga bisa menyesuaikan materi dengan kemampuan. Dan ini sangat efektif untuk beberapa tahun ini, seperti kursus. Selama ini kan mereka masuk ada yang nilainya bagus sekali TOEFL nya 500, ada juga yang 300an, sehingga ekspektsi pembelajaran kita tidak bisa sama. Bila dapat nilai 60 untuk level rendah ya kita harus puas.”

 Responden 4 (R4) menyatakan bahwa insitusi belum melaksanakan CLT, “ Prodi saya belum melaksanakan pengajaran keterampilan secara terintegrasi sehingga saya merasa kurang leluasa karena di kelas dengan judul speaking, misalnya, saya menugaskan mahasiswa untuk menulis. Terkadang saya khawatir mahasiswa menilai saya tidak konsisten dalam mengajar.”

 Menurut Responden 5 (R5), waktu ajar kurang,” Kendala yang berarti adalah waktu yang kadang melebihi waktu ajar.”

 Responden 10 (R10) menyatakan fasilitas yang kurang memadai, “ Penyediaan LCD, listening di lab bahasa itu kalau mau menampilkan video-video LCD nya harus pasang sendiri. Dari segi fasilitas, meskipun LCD tersedia tetapi harus disiapkan oleh dosen sendiri.”

 Al Asmari (2015) menyatakan bahwa kendala-kendala yang berhubungan dengan kebijakan institusi adalah: (1) tidak ada dukungan dari pihak institusi; (2) cara pandang tradisional tentang peran mahasiswa dan dosen yang tidak sejalan dengan CLT; (3) kelas-kelas yang sangat besar tidak efektif untuk pelaksanaan CLT; (4) terbatasnya materi-materi untuk aktifitas-aktifitas komunikasi; (5) CLT belum sesuai dengan evalusi akhir pembelajaran; (6) Silabus yang belum sesuai dengan aktivitas yang berhubungan dengan komunikasi; dan (7) kelas tidak dilengkapi dengan audio video yang diperlukan untuk kegiatan CLT.

j. Kendala-kendala yang dihadapi terkait CLT sebagai sebuah pendekatan pengajaran Bahasa.

(11)

 Responden 3 (R3) “Banyak waktu diperlukan untuk pelaksanaan CLT.”

 Responden 4 dan 7 (R4 dan R7) meyakini bahwa dosen harus kreatif untuk membuat mahasiswa aktif, ”Bukan kendala tapi tantangan untuk mencari materi yg menarik.”

 Responden 5 (R5) meskipun materi cukup tetapi perlu media lain untuk pengajaran menggunakan CLT, “Kadang2 media yang ada tidak mencukupi, atau membutuhkan usaha khusus untuk menghadirkan media lain. Sedangkan materinya tidak ada kendala khusus.”

 Responden 6 (R6) “Bagaimana membuat semua siswa bisa active secara penuh.”

 Responden 8 dan 10 (R8 dan R10) menyatakan bahwa pelaksanaan CLT harus sesuai kemampuan mahasiswa, “Ide untuk pelaksanaan CLT yg sesuai dengan level kemampuan siswa.”

 Responden 9 (R9) “CLT sebagai pendekatan/approach udah bagus, cuma dari situasional penerapan lingkungan saja yang membuat tujuan dari CLT masih belum secara optimal didapatkan.”

 Kendala-kendala yang berhubungan CLT sebagai sebuah pendekatan menurut Al Asmari (2015) adalah: (1) kurang efektif dan efisiennya istrumen-instrumen untuk mengakses kompetensi komunikatif; (2) CLT tidak membedakan perbedaan konteks pembelajaran EFL dan ESL; (3) asumsi pemikiran dunia barat tidak sesuai dengan konteks lokal; (4) CLT memerlukan materi-materi ajar yang spesifik; dan (5) kurangnya instrument penilaian dengan konteks lokal.

k. Solusi yang Anda sarankan untuk mengantisipasi kendala-kendala dalam penerapan CLT di kelas Anda.

 Responden 1 (R1) mengusulkan agar dosen lebih rajin, “Dosen harus lebih rajin untuk menemukan tasks dan materi baru yang menantang bagi siswa dan itu bisa terfasilitasi lewat teknologi - Dosen harus lebih sabar dalam membimbing dan menciptakan atmospir kelas yang menyenangkan sehingga siswa tidak segan untuk mengekspresikan ide mereka”. Merupakan solusi untuk kendala pelaksanaan CLT dari sisi dosen pengajar.

 Responden 2 (R2) melihatnya dari segi dukungan institusi, “Pihak institusi harus memberikan fasilitas-facilitas yang mendukung proses pengajaran dan pembelajaran dalam updated recourse seperti larning materials, links of journals, English books, LCD dan lain sebagainya”. Merupakan solusi bagi permasalahan yang berasal dari dukungan institusi.

 Responden 3 (R3) menekankan pada, ”Manajemen waktu yang lebih baik, memotivasi mahasiwa untuk lebih aktif berpartisipasi, serta menyiapkan bahan diskusi yang menarik dan tepat sasaran”. Merupakan solusi bagi kendala yang dihadapi mahasiswa dan dosen.

(12)

terintegrasi (whole language approach)”. Hal ini adalah solusi untuk permasalahan yang berhubungan dengan CLT sebagai dukungan institusi.  Responden 5 dan 6 (R5 dan R6) menekankan pada pembelajaran yang lebih

menarik sebagaimana disampaikan oleh Responden 6, “Sebisa mungkin menstimulate siswa untuk belajar bahasa inggris dengan cara yang menarik, bahwa belajar juga bisa diluar kelas dan membuat mereka tidak menganggap bahasa inggris bahasa yang mengerikan.” Hal ini adalah solusi bagi dosen-dosen agar pelaksanaan CLT dapat mencapai hasil yang terbaik bagi siswa.  Responden 7 (R7) setuju dengan memahami mahasiswa dan topik kita, serta

penggunaan teknologi, “Mengenali karakteristik mahasiswa, harus benar-benar memahami topik yang kita ajarkan, membuat kita disukai mahasiswa, teknologi juga membantu untuk pelaksanaan CLT.” Masukan ini sangat baik untuk jadi pertimbangan dosen dalam pelaksanaan CLT.

 Responden 8 (R8) menyarankan agar tidak hanya mengunakan CLT, “Selain CLT kita bisa menggunakan teknik/metode yang lain untuk memaksimalkan pemahaman mahasiswa terhadap materi. Selain itu juga, pemilihan materi karena authentic materials itu beda level beda juga disesuaikan dengan kemampuan mahasiswa.” Masukan ini sangat baik untuk jadi pertimbangan bagi dosen sebelum mulai mengajar dengan mengunakan pendekatan CLT.  Responden 9 (R9) “Karena saya mengajar bahasa Inggris ESP hanya 2 SKS

pengajaran, mengingat Bahasa Inggris sangat diperlukan oleh mereka untuk bekal kerja nanti, maka seyogyanya jam Bahasa Inggris ditambah atau paling tidak ada semacam Kokurikuler yang diwajibkanlah bagi mahasiswa saya sehingga mahasiswa selain memperoleh bahasa inggris secara akademik, mereka dapat juga membangun kemampuan Bahasa Inggrisnya di ekstra kurikuler tersebut. Jadi mereka itu tidak betul-betul gagap dalam mengikuti Bahasa Inggris yang berupa ESP ini. Karena pada dasarnya kemampuan dasar Bahasa Inggris merekapun masih belum cukup, untuk mengikuti pelajaran di kelas.” Hal ini adalah masukan bagi institusi dalam rangka mensupport peningkatan kemampuan komunikasi para mahasiswa.

 Responden 10 menyatakan bahwa CLT harus sesuai skill yang ingin diajarkan, “Penerapan CLT harus disesuaikan dengan skill yang mau diajarkan ke siswa dan disesuaikan juga dengan jumlah siswa yang ada di kelas. Misalnya skill yang ingin kita ajarkan itu listening, speaking, reading atau writing harus disesuaikan dengan autentik material dan jumlah mahasiswa di kelas itu. Semakin sedikit siswa maka semakin efektif penerapannya, kalau semakin banyak kita bisa menggunakan grouping. Bisa-bisanya gurunya lah menyesuaikan.” Masukan ini berhubungan dengan kendala dari sisi dosen pengajar, agar pencapaian CLT bisa maksimal.

 Masukan dari masing-masing responden memperkaya pengaplikasian CLT agar dapat mendapatkan hasil yang terbaik, terutama dalam pengajaran mahasiswa untuk mencapai kompetensi komunikasi yang terbaik.

4. SIMPULAN

(13)

kompetensi komunikasi dan menitikberatkan pada keaktifan siswa di kelas (student centered learning). Pengajaran dilakukan dengan lebih interaktif dan menggunakan task-based learning serta materi-materi otentik, sehingga membantu siswa untuk selalu aktif.

Penerapan CLT dalam konteks perguruan tinggi di Indonesia dilihat dari pengintegrasian makro skill sudah dilakukan oleh semua responden, meskipun menurut beberapa responden ada skill yang kurang efektif jika diajarkan dengan pendekatan CLT seperti listening dan speaking. Pengajaran grammar dilaksanakan secara terintegrasi dan lebih menyenangkan sesuai dengan konteks, tidak berupa pengajaran teori-teori stuktur. Tanpa konteks yang jelas maka, pengajaran grammar menjadi hal yang membingungkan untuk diintegrasikan dengan 4 makro skills.

Tantangan maupun hambatan yang dialami oleh para dosen di Perguruan Tinggi di Indonesia secara garis besar dapat dibagi menjadi 4 kategori yaitu: (1) hambatan-habatan dari sisi dosen pengajar; (2) hambatan-hambatan dari mahasiswa; (3) hambatan-hambatan dari kebijakan institusi; dan (4) hambatan-hambatan dari CLT sendiri sebagai suatu pendekatan pengajaran. Dari empat tantangan tersebut para dosen berusaha memberikan solusi maupun rekomendasi yang dapat menjadi masukan bagi dosen-dosen lain yang ingin menerapkan CLT dalam pembelajaran Bahasa Inggris. Diharapkan di masa yang akan datang ada penelitian lanjutan untuk menguji apakan masukan dari dosen-dosen itu benar-benar bisa menyelesaikan hambatan dan tantangan dari CLT baik di perguruan tinggi maupun pada level pendidikan di bawahnya.

DAFTAR RUJUKAN

Adi, S. S. (2015). Communicative Language Teaching: Is it Appropriate for Indonesian Context? Retrieved June 22, 2018, from

http://sugengadi.lecture.ub.ac.id/2012/01/communicative-language-teaching-is-it-appropriate-for-indonesian-context/

Akram, A., & Malik, A. (2010). Integration of language learning skills in second language acquisition. International Journal of Arts And, 3(14), 231–240. Retrieved from http://openaccesslibrary.org/images/PRV127_Aneela_Akram.pdf

Al Asmari, A. A. (2015). Communicative Language Teaching in EFL University Context: Challenges for Teachers. Journal of Language Teaching and Research, 6(5), 976– 984.

Arfiandhani, P. (2015). An Investigation of Challenges Related to Communicative Language Teaching (CLT) Practices in Indonesian Senior High School. Retrieved June 22, 2018, from

https://arfiandhanisme.wordpress.com/2015/03/13/an- investigation-of-challenges-related-to-communicative-language-teaching-clt-practices-in-indonesian-senior-high-schools/

Ariatna. (2016). The Need for Maintaining CLT in Indonesia. TESOL Journal, 7(4), 800– 822. http://doi.org/10.1002/tesj.246

Arifah, N. A. (2014). Pengajaran Bahasa Inggris di Indonesia Terlalu Kaku | ABC Radio Australia. Retrieved January 23, 2018, from

(14)

http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2014-05-30/pengajaran-bahasa-inggris-di-indonesia-terlalu-kaku/1318670

Banciu, V., & Jireghie, A. (2012). Communicative Language Teaching. The Public Administration and Social Policies Review, 1(8), 95–98.

http://doi.org/10.1177/136216889700100303

Chung, S.-F. (2006). A Communicative Approach to Teaching Grammar: Theory and Practice. The English Teacher, XXXIV, 33–50.

http://doi.org/10.1504/IJCEELL.2005.007707

Communicative Language Teaching: Jeremy Harmer and Scott Thornbury | The New School - YouTube. (2013). Retrieved June 10, 2018, from

https://www.youtube.com/watch?v=hoUx036IN9Q

Creswell, J. W. (2014). Penelitian Kualitatif & Desain Riset Memilih di Antara Lima Pendekatan. (S. Z. Qudsy, Ed.) (Edisi Indo). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dukes, S. (1984). Phenomenological methodology in the human sciences. Journal of Religion & Health, 23(3), 197–203. http://doi.org/10.1007/BF00990785

Houston, T., & Turner, P. K. (2007). Mindfulness and Communicative Language Teaching. Academic Exchange.

Jamaliah, Fauziah, & Farizawati. (2017). The Implementation of Communicative Approach in Teaching English at Junior High School. ISELT-5.

Ju, F. (2013). Communicative Language Teaching (CLT): A Critical and Comparative Prespective. Theory and Practice in Language Studies, 3(9), 1579–1583.

Kibbe, C. T. (2017). The History of Communicative Language Teaching ( CLT ) and its Use in the Classroom.

Liu, S. (2015). Reflections on Communicative Language Teaching and Its Application in China *. Theory and Practice in Language Studies, 5(5), 1047–1052.

http://doi.org/http://dx.doi.org/10.17507/tpls.0505.20

Moustakas, C. (1994). Phenomenological Research Methods. Sage Publication, 154–157. http://doi.org/10.4135/9781412995658

Padilla-Díaz, M. (2015). Phenomenology in Educational Qualitative Research: Philosophy as Science or Philosophical Science? International Journal of Educational

Excellence, 1(2), 101–110. http://doi.org/10.18562/IJEE.2015.0009

Richards, J. (2006). Communicative Language Teaching Today. Cambridge University Press (Vol. 25). http://doi.org/10.1037/a0020992

Rubin, H. J., & Rubin, I. S. (2005). Qualitative Interviewing – The Art of Hearing Data. (E. H. Bragason, Ed.)SAGE Publications (2 Edition). London, New York: Thousand Oaks. http://doi.org/http://dx.doi.org/10.4135/9781452226651

Savignon, S. J. (2001). Communicative language teaching for the twenty-first century. In Teaching English as a second Language (pp. 3–13).

Shinta, I. C. ., & Tedjaatmadja, H. M. (2010). The Implementation of Comunicative Language Teaching Approach.

Sholihah, H. (2012). The Challenges of Applying Indonesian Senior High School Context. Encounter, 3(2), 1–17.

Smith, J. A. (2007). Beyond the divide between cognition and discourse : Using interpretative phenomenological analysis in health psychology beyond the divide between cognition and discourse : using interpretative phenomenological analysis in health psychology, (June 2013), 37–41. http://doi.org/10.1080/08870449608400256 Thornbury, S. (2017). Communicative Language Teaching: 40 Years On: A Public

(15)

Ulfah, R., Apriliaswati, R., & Arifin, Z. (2015). The Implementation of Communicative Language Teaching Approach in Teaching Speaking.

Wiyono, B. B., Gipayana, M., & Ruminiati. (2017). The Influence of Implementing Communicative Approach in the Language Teaching Process on Students’ Academic Achievement. Journal of Language Teaching & Research, 8(5), 902–908. Retrieved from http://10.0.68.99/jltr.0805.08%0Ahttp://ezproxy.stir.ac.uk/login?

url=http://search.ebscohost.com/login.aspx?

Referensi

Dokumen terkait

Kebutuhan dan persepsi siswa juga sesuai dengan tujuan umum dari kegiatan belajar mengajar Bahasa Inggris di Domby Kid’s Hope 2 dan sesuai dengan kurikulum umum dikarenakan tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran implementasi dan problem yang dihadapi guru dalam pengajaran teks deskriptif dengan menggunakan Pengajaran

I : Oya Mas, terus sebelum kamu nulis kalimat dalam Bahasa Inggris Mas, ya bisa nulis kalimat sebelum ujian atau mungkin waktu ngerjain tugas, apakah bener Mas, kalo kamu tu

PENINGKATAN KOMPETENSI ACTIVE SPEAKING MAHASISWA MELALUI MODEL COMMUNICATIVE LANGUAGE TEACHING PADA MATA KULIAH BAHASA INGGRIS DI PGSD Ali Mustadi Universitas Negeri Yogyakarta