• Tidak ada hasil yang ditemukan

Resolution Dispute Boundary “Ulayat Nagari” Between People in Nagari Muaro Pingai and People Nagari Saningbakar Kabupaten Solok.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Resolution Dispute Boundary “Ulayat Nagari” Between People in Nagari Muaro Pingai and People Nagari Saningbakar Kabupaten Solok."

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

Resolution Dispute Boundary “Ulayat Nagari” Between People in Nagari Muaro Pingai and People Nagari Saningbakar Kabupaten Solok

By : ZUSMELIA MS Abstract

Land and customary law people in Indonesia especially Minangkabau peoples have relate between some and other. Relation is on people and law, and it will make some rights of land are part of peoples dynamics, so the dispute cases are universal social indication and have found in peoples live.

The problem which are studied in this thesis is How the way which have found to get the resolution dispute boundary “Ulayat Nagari” between people in Nagari Muaro Pingai and people Nagari Saningbakar Kabupaten Solok, are the resolution dispute boundary “Ulayat Nagari” between both of the country which are done have been satisfied every people.

The research which is done to accumulate the important data, where sociolegal research with planing the research by study case. Meanly, some event to be analyze unit in this research is dispute case boundary “Ulayat Nagari” between people of Nagari Muaro Pingai and Nagari Saningbakar Kabupaten Solok. Technique accumulate data are done by interview and documents study. The data is analyze qualitatively.

From the result can be conclude that in early, dispute boundary “Ulayat Nagari” between people in Nagari Muaro Pingai Kecamatan Junjung Sirih with people of Nagari Saningbakar Kecamatan X Koto Singkarak can be finished with this discussion between prominent figure both of country. Than, finishing disputed boundary this “Ulayat Nagari” are given to Kabupaten Solok Government. In this case Government of Kabupaten Solok to be facilitator and mediator. Until now, more than 18 times discussion but dispute boundary still have not be able to finished. Finishing dispute boundary between Nagari Muaro Pingai Kecamatan Junjung Sirih and Nagari Saningbakar is there is no agreement are have not finished. The process finish dispute that have tried by Government this country during the last have can be been satisfied the people who are problem.

Pendahuluan

(2)

keserasian hidup bersama. Dalam hal ini orang atau golongan yang kuat menindas orang atau golongan yang lemah untuk menekankan kehendaknya. Apabila ketidak-seimbangan hubungan masyarakat yang meningkat pada perselisihan tersebut dibiarkan, maka akan menimbulkan perpecahan dalam masyarakat. Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tersebut harus memperhatikan kaedah-kaedah, norma-norma ataupun peraturan-peraturan yang ada dalam masyarakat tersebut.

Bilamana orang melihat sejarah perkembangan masyarakat, biasanya orang merujuk pada teori evolusi sosial ekonomi masyarakat, di mana teori tersebut membagi masyarakat menjadi tiga kelompok. Pertama, masyarakat yang memiliki struktur sosial sederhana di mana warganya hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain (nomaden). Kedua, masyarakat yang warganya telah mengenal pertanian di mana mereka hidup secara menetap di suatu tempat. Ketiga, masyarakat yang warganya hidup menetap dengan teknologi modern. 1

Konflik dan sengketa bisa terjadi di manapun, kapanpun, dan dalam masalah apapun di dalam masyarakat. Dalam konteks konflik, setiap kategori masyarakat tersebut memiliki manajemen konflik yang satu sama lain berbeda penekanannya. Pada masyarakat sederhana, warga sering menciptakan upaya penyelesaian perselisihan dengan cara kekerasan seperti peperangan, pembunuhan. Pada masyarakat jenis kedua biasanya konflik atau perselisihan-perselisihan lainnya diselesaikan dengan cara musyawarah dengan tujuan perdamaian. Kemudian, pada masyarakat yang ketiga yaitu masyarakat yang kompleks, upaya penyelesaian konflik juga diupayakan dengan musyawarah namun berbagai cara yang di negara-negara maju biasa disebut Alternative Dispute Resolution (ADR). 2

Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui 2 (dua) proses. Proses penyelesaian sengketa tertua melalui proses litigasi di dalam pengadilan, kemudian berkembang proses penyelesaian sengketa melalui kerjasama (kooperatif) di luar pengadilan. Proses litigasi menghasilkan kesepakatan yang

1 Ade Saptomo, 2005, “Studi Komparasi Lembaga Penyelesaian Sengketa”, Working Paper Sosiologi Andalas Vol VII No 5 Mei 2005, hal 1.

(3)

bersifat adversarial yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya mahal, tidak responsive dan menimbulkan permusuhan diantara pihak yang bersengketa.

Orang tidak mudah menghapus citra bahwa dalam proses peradilan formal umumnya memiliki kelemahan. Pertama, proses peradilan berlangsung atas dasar permusuhan atau pertikaian antar pihak yang bersengketa mengingat pihak satu diposisikan secara berseberangan dengan pihak lain. Proses peradilan demikian tentu menghasilkan bentuk penyelesaian yang menempatkan antar pihak secara tersubordinasi, dimana pihak satu sebagai pemenang dan sebaliknya pihak lain sebagai pihak yang kalah. Kedua, proses peradilan berjalan atas dasar hukum formal, statis, kaku dan baku. Akibat keformalan demikian ini menjadikan para pihak yang bersengketa, biasanya lewat pengacara sering mempersoalkan jenjang-jenjang hukum prosedural hingga memakan waktu panjang. Kondisi demikian menyebabkan persoalan inti menjadi terabaikan atau setidak-tidaknya tertunda akibat melarutkan diri dalam persoalan prosedural formal. Ketiga, proses peradilan sering tidak mampu menangkap nilai-nilai sosial budaya yang muncul dalam kasus sengketa akibat para hakim merujuk pada aturan-aturan baku. Keempat, proses peradilan berjenjang-jenjang dari institusi pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan institusi kasasi3, jika yang terakhir inipun putusan hukum

dirasakan tidak puas, maka yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali dengan catatan ditemukan bukti baru (novum). Sebaliknya, melalui proses di luar pengadilan (non litigasi) menghasilkan kesepakatan yang bersifat ”win-win solution”, dijamin kerahasiaan sengketa para pihak, dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif, menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini umumnya dinamakan dengan Alternative Dispute Resolution/ADR).4

3 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1997, “Hukum Acara Perdata Dala Teori

dan Praktek”, Penerbit CV. Bandar Maju, Bandung, hal 163.

(4)

Dengan penyelesaian sengketa secara alternatif ini, para pihak umumnya merasa puas terhadap keputusan yang dihasilkan, karena dengan cara ini perselisihan tidak menjadi konflik terbuka. Dalam hal ini, para pihak disarankan untuk lebih menekankan pada musyawarah, konsensus menuju keharmonisan sedemikian rupa sehingga cara-cara demikian dapat mempersingkat durasi waktu, menekan jumlah biaya serta dapat langsung dilaksanakan.

Studi antropologi dan hukum di Indonesia mengungkapkan bahwa di Indonesia berlaku pluralisme hukum (legal pluralism). Pluralisme hukum mengacu pada adanya atau berlakunya berbagai tertib normatif yang tunduk pada lebih dari satu sistem hukum dalam sebuah masyarakat.5 Di Indonesia sampai

sekarang berlaku 3 sistem hukum yang mempunyai corak dan sistem sendiri yaitu sistem hukum adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum nasional.

Dalam masyarakat Minangkabau misalnya, ada lembaga kerapatan adat nagari. Bekerjanya lembaga perdamaian ini disemangati oleh budaya musyawarah mufakat. Dalam musyawarah tersebut pihak-pihak yang berselisih dengan suka rela melunakkan sikap dan pendapatnya dan pada saat yang sama ia sekaligus menerima dan memahami pendapat pihak lain.

Kerapatan Adat Nagari berkedudukan sebagai lembaga perwakilan permusyawaratan masyarakat adat tertinggi yang telah diwarisi secara turun temurun sepanjang adat. Kerapatan Adat Nagari terdiri dari unsur-unsur penghulu yang disebut Ninik-Mamak Pemangku Adat dalam Nagari. Kerapatan Adat Nagarilah yang akan menghasilkan kata sepakat atau ”Tuah Sakato” yang akan dijunjung tinggi oleh anak Nagari.6 Ini berarti bahwa Kerapatan Adat Nagari

memiliki peranan yang besar dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang ada dalam suatu nagari di Minangkabau. Secara substansial kultur Indonesia mengandung tema-tema budaya yang ada dalam alternative dispute resolution

5 Franz. Von. Benda- Beckmann, 1992,Changing Legal Pluralism in Indonesia, dalam Yuridika No. 4 Tahun VII Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Juli-Agustus 1992, hal 1-2 sebagaimana dikutip oleh Adri, 2005, “Pelaksanaan Fungsi Kerapatan Adat Nagari Lubuk Begalung dan Pauh IX Padang Dalam Penyelesaian Sengketa”, Tesis, hal 1

(5)

(ADR). Seperti di Minangkabau adalah bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakaik (bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat).

Tanah dan masyarakat hukum adat di Indonesia khususnya masyarakat Minangkabau mempunyai hubungan yang erat antara satu dengan yang lainnya. Hubungan hukum antara masyarakat dengan tanah ini akan menciptakan suatu hak untuk menggunakan, menguasai, memelihara dan sekaligus mempertahankan hak tersebut bagi kelompok hukumnya atau kaumnya. Hak masyarakat atas tanah ini merupakan hak asli dan utama dalam hukum tanah adat dan akan meliputi tanah di lingkungan masyarakat hukum adat itu. Di samping hak masyarakat atas tanah merupakan suatu sumber bagi hak atas tanah lainnya dalam suatu masyarakat hukum adat dan juga dapat dipunyai oleh seluruh anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Masyarakat Minangkabau sebagai salah satu bagian dari sekian banyak suku bangsa yang mendiami kepulauan Indonesia, hidup dalam lingkungan hukum adat dengan ciri-ciri yang spesifik dan sekaligus sebagai pembeda antara masyarakat hukum adat Minangkabau dengan masyarakat hukum adat lainnya di Indonesia. Jika dilihat dari garis keturunan, maka masyarakat Minangkabau menganut sistem “Matrilineal”. Dalam sistem matrilineal ini penguasaan atas harta pusaka (pusako) termasuk tanah adalah terletak pada tangan wanita sedangkan laki-laki berfungsi mengawasi dan melindungi hak atas tanah tersebut dari hal-hal yang tidak diingini yang dapat menyebabkan hilangnya dan berkurangnya harta pusaka. 7

Dalam masyarakat Minangkabau dikenal tiga tipe dasar penguasaan atas tanah yaitu : penguasaan secara kelompok (nagari), secara komunal dan secara perorangan ( pribadi). 8 Penguasaan atas tanah dalam masyarakat Minangkabau

diatur dalam ketentuan adat dalam bentuk peraturan yang tidak tertulis. Peraturan

7 Sayuti Thalib, 1985, “Dalan Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria di

Minangkabau”, Bina Aksara, Jakarta, hal 5-6 sebagaimana dikutip oleh M. Nazir, “Hukum Acara Adat Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah di Minangkabau”, dalam “Dinamika Masyarakat dan Adat Minangkabau”, Pusat Penelitian Universitas Andalas, 1988, hal 71. 8 M. Nazir, 1988, “Hukum Acara Adat Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah di

(6)

ini dipelihara dan ditaati serta dilaksanakan oleh masyarakat secara turun temurun dengan baik.

Sengketa tanah merupakan bagian dari dinamika masyarakat, sehingga sejumlah kasus sengketa tanah merupakan gejala sosial yang universal sifatnya dan sudah ditemukan dalam kehidupan bermasyarakat. Namun fenomena konflik dan sengketa yang terjadi pada masyarakat Minangkabau memiliki karakteristik lain dari pada konflik dan sengketa yang terjadi pada masyarakat lain.

Menurut AA. Navis, secara filosofis konflik yang terjadi pada masyarakat Minangkabau tumbuh dari ajaran filsafat yang dianutnya bahwa masyarakat yang komunal dan kolektif tersebut senantiasa menantang eksistensi individual, sehingga dengan sendirinya menimbulkan konflik terus menerus dalam kejiwaan mereka. Di satu pihak, falsafah mereka menempatkan masyarakat yang komunal dengan harga diri yang tinggi, sedang pihak lain sistem masyarakatnya tidak mentolerir seseorang melebihi yang lain. 9

Secara antropologis, sengketa yang terjadi pada masyarakat Minangkabau merupakan ekspresi dari pertentangan-pertentangan yang inheren dan ketidakserasian sebuah kebudayaan yang telah terpola yang didasarkan pada kepentingan-kepentingan yang berlawanan, yang muncul dari struktur masyarakat itu sendiri. Begitu juga dengan sengketa batas ulayat nagari yang terjadi antara masyarakat Nagari Muaro Pingai Kecamatan Junjung Sirih dengan masyarakat Nagari Saningbakar Kecamatan X Koto Singkarak, Kabupaten Solok.

Sengketa batas nagari ini merupakan sengketa tanah ulayat yang sudah berlangsung sejak tahun 1975. Pada tahun 1980 timbul lagi yang kemudian di akhiri dengan perdamaian. Pada tahun 2003 kembali muncul sengketa antara Nagari Muaro Pingai dengan Nagari Saningbakar yaitu mengenai batas ulayat antara kedua Nagari, dimana sengketa batas ulayat ini muncul diawali dari kegiatan galian C (cadas dan pasir) yang dilakukan oleh PT Arpex yang mendapat persetujuan dari pemuka masyarakat Saningbakar, hal tersebut mendapat tantangan/ gugatan dari masyarakat Muaro Pingai. Lokasi dari kegiatan tersebut berada pada perbatasan kedua Nagari. Kemudian Gamawan Fauzi, SH, MH

(7)

(Bupati Kabupaten Solok) mengambil kebijakan dengan menghentikan kegiatan PT Arpex untuk kegiatan galian C tersebut dan melakukan musyawarah-musyawarah untuk mencapai kesepakatan tentang batas ulayat antara kedua Nagari tersebut. Usaha-usaha dalam menyelesaikan sengketa batas ulayat nagari ini sudah berulangkali dilakukan tetapi sampai sekarang belum ada penyelesaiannya. Tetapi sengketa ini harus segera diselesaikan karena dengan adanya penyelesaian suatu sengketa yang terjadi dalam masyarakat maka tercapailah tujuan hukum. Dimana menurut L.J. Van Apeldoorn tujuan hukum itu adalah mengatur pergaulan hidup manusia secara damai. 10

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka ada beberapa pokok permasalahan yang menjadi kajian bagi penulis dalam melakukan penelitian ini yaitu :

1. Bagaimanakah cara yang telah ditempuh dalam penyelesaian sengketa batas ulayat nagari antara masyarakat Nagari Muaro Pingai dengan masyarakat Nagari Saningbakar Kabupaten Solok ?

2. Apakah cara penyelesaian sengketa batas ulayat nagari antara masyarakat Nagari Muaro Pingai dengan masyarakat Nagari Saningbakar Kabupaten Solok yang dilakukan telah dapat memuaskan para pihak ?

Proses Penyelesaian Sengketa Latar Belakang Sengketa

Ada beberapa peristiwa yang melatar belakangi terjadinya sengketa batas ulayat nagari antara masyarakat Nagari Muaro Pingai dengan masyarakat Nagari Saningbakar. Peristiwa-peristiwa itu akan diuraikan pada bagian berikut :

Peristiwa Pertama

Sengketa batas ulayat nagari antara masyarakat Nagari Muaro Pingai Kecamatan Junjung Sirih dengan masyarakat Nagari Saningbakar Kecamatan X Koto Singkarak merupakan sengketa tanah ulayat dan wilayah yang sebetulnya sudah berlangsung sejak tahun 1975. Pada waktu telah ada usaha-usaha dan

(8)

tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pihak Dinar Lukman untuk merebut tanah dari Mukhtar Malin. Kemudian pada tahun 1980 terjadi pengrusakan tanaman dan perampasan tanah milik Mukhtar Malin anggota masyarakat Muaro Pingai secara paksa oleh Dinar Lukman masyarakat Saningbakar yang kemudian dilaporkan ke Polsek X Koto Di Bawah Singkarak, tetapi dalam proses penyelesaian terjadi perdamaian secara lisan kemudian laporan ke pihak kepolisian tersebut dicabut oleh Mukhtar Malin. Lokasi tanah perladangan tersebut berada pada bagian milik masyarakat Muaro Pingai yang sudah diwarisi secara turun temurun dari nenek moyangnya, namun tidak lagi diurusi dan tidak lagi diolah oleh masyarakat Muaro Pingai.

Peristiwa Kedua

Setelah terjadinya perdamaian antara Muchtar Malin dan Dinar Lukman, untuk sementara tidak lagi timbul sengketa antara kedua belah pihak tersebut. Kemudian pada hari Sabtu tanggal 23 Juli 2001 di batas Nagari Muaro Pingai dengan Nagari Saningbakar tepatnya dekat SKB (Sanggar kegiatan Belajar) terjadi aksi terhadap perbatasan kedua nagari oleh tokoh masyarakat Saningbakar dengan membuat tembok batas nagari yang berjarak dengan tembok batas yang lama lebih kurang 40 (empat puluh) meter, masyarakat Saningbakar tersebut menuntut tindak lanjut dari kesepakatan yang telah diambil oleh Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Saningbakar akan mengadakan musyawarah dengan ninik mamak Nagari Muaro Pingai. Namun ninik mamak Saningbakar (Lampiran 4) tidak membuat surat ke ninik mamak Nagari Muaro Pingai yang mengakibatkan pemuda Saningbakar tidak senang dan melakukan aksi dengan membuat tembok batas nagari dan oleh masyarakat Muaro Pingai tidak memberikan tanggapan karena tidak mendapat surat dari ninik mamak Saningbakar. Dengan mufakat kedua Kecamatan, bersama kedua Wali Nagari akan mengadakan rapat tanggal 10 Agustus 2001.

(9)

Pada tahun 2003 sengketa batas ulayat nagari antara masyarakat Nagari Muaro Pingai Kecamatan Junjung Sirih dengan masyarakat Nagari Saningbakar Kecamatan X Koto Singkarak muncul kembali. Hal ini dimulai dengan adanya kegiatan galian C (cadas dan pasir) yang dilakukan oleh PT Arpex yang mendapat persetujuan dari pemuka masyarakat Saningbakar, hal tersebut mendapat tantangan/ gugatan dari masyarakat Muaro Pingai. Lokasi dari kegiatan tersebut berada pada perbatasan kedua Nagari. Kemudian Gamawan Fauzi, SH, MM (Bupati Kabupaten Solok) mengambil kebijakan dengan menghentikan kegiatan PT Arpex untuk kegiatan galian C tersebut dan melakukan musyawarah-musyawarah untuk mencapai kesepakatan tentang batas ulayat antara kedua Nagari tersebut. Dilain pihak Kelompok Tani Jati Villa Indah Saningbakar, Ketuanya adalah Yunisbar Marah Banso menanam pohon jati di lokasi tanah yang disengketakan tersebut.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Drs. Bustamar, MM, Asisten Pemerintahan Kabupaten Solok. Beliau mengatakan :

”Sengketa batas ulayat nagari yang terjadi antara masyarakat Nagari Muaro Pingai dengan masyarakat Nagari Saningbakar disebabkan oleh adanya sumber daya alam yang diperebutkan, yang akan mendatangkan hasil/pendapatan bagi nagari yang memilikinya dan yang menciptakan lapangan kerja yaitu adanya kegiatan galian C (cadas dan pasir), yang kegiatan galian tersebut terletak pada daerah yang disengketakan. Di samping hal tersebut, penyebab yang lain adalah sengketa batas ulayat nagari ini dipolitisir oleh warga nagari yang memiliki kepentingan-kepentingan. Maksudnya dalam bidang ekonomi. Adanya pihak-pihak yang akan mendapatkan keuntungan/pendapatan apabila tanah yang menghasilkan tersebut dapat dimiliki”11.

Hal senada juga di kemukakan oleh Doni R. Samulo, S.STP, Kasubag Tata Usaha Tata Pemerintahan Kabupaten Solok. Doni R Samulo mengatakan :

(10)

”Latar belakang tejadinya sengketa batas ulayat nagari ini disebabkan oleh 2 (dua) hal yaitu : adanya ketidakpahaman warga nagari tentang batas wilayah administrasi dengan batas tanah ulayat dan adanya keinginan memperoleh lahan yang dipolitisir oleh pihak-pihak yang berkepentingan tersebut.” 12

Usaha-usaha Penyelesaian Sengketa Yang Telah Di Lakukan

Usaha penyelesaian sengketa batas ulayat nagari antara masyarakat Nagari Muaro Pingai dan masyarakat Nagari Saningbakar ini terjadi dua tahap yaitu :

a. Penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh

tokoh-tokoh adat kedua Nagari

b. Penyelesaian sengketa oleh Pemerintah Daerah.

a. Penyelesaian sengketa oleh

tokoh-tokoh adat kedua Nagari

Sengketa batas ulayat nagari antara masyarakat Nagari Muaro Pingai Kecamatan Junjung Sirih dengan masyarakat Nagari Saningbakar Kecamatan X Koto Singkarak pada awalnya sengketa diselesaikan dengan cara musyawarah oleh para tokoh-tokoh adat antara kedua nagari.

Pihak Muaro Pingai yang hadir adalah Zulkifli Malin Panghulu, SH (Wali Nagari Muaro Pingai), Manisnsyar BA (Ketua BPN), Datuk nan Barampek M. Nur Datuk Kabasaran, dan Mansur Dt. Tan Malano Nan Tinggi (Ketua dan anggota KAN Muaro Pingai). Pihak Saningbakar yang hadir adalah), Tarmizi Mkt. Sutan (Wali Nagari), Mulyadi ST. Marajo (Ketua BPN), Datk Nan Salapan H. Abdul Kadir Dt Rangkayo Marajo, Amwa Dt Mudo Nan Kuniang (Ketua dan anggota KAN Saningbakar).

Musyawarah ini juga dihadiri oleh Camat dari masing-masing Nagari yaitu Agus Rostamda, SH (Camat Junjung Sirih) dan Drs. Reri Zaldi (Camat X Koto Singkarak).

Tahap-tahap penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh adat kedua Nagari ini adalah sebagai berikut :

(11)

Musyawarah Pertama

Pada tanggal 10 Agustus 2001 ini, musyawarah diadakan di Kantor Camat X Koto Singkarak. Dalam musyawarah ini dari Muaro Pingai yang hadir adalah Datuk Nan Barampek M. Nur Dt Kabasaran dan Mansur Dt. Tan Malano Nan Tinggi dari Muaro Pingai. Sedangkan pihak Saningbakar dihadiri oleh Datuk Nan Salapan H. Abdul Kadir Dt Rangkayo Marajo dan Amwa Dt Mudo Nan Kuniang. Pada musyawarah ini pokok pembahasannya adalah siapa yang berhak memiliki tanah yang disengketakan tersebut, dan hasil musyawarah tersebut adalah : Wilayah Bukit Aia Abang Saninbakar di genggam oleh Datuak Nan Salapan (Saningbakar) menjelang adanya penyelesaian dari Dt. Nan Salapan Saningbakar dengan Dt. Nan Barampek Muaro Pingai.

Musyawarah Kedua

Pada tanggal 23 Maret 2003 telah dilaksanakan rapat musyawarah penyelesaian sengketa batas ulayat nagari yang dilakukan di SKB (Sanggar Kegiatan Belajar) Saningbakar. Dalam musyawarah ini pihak Muaro Pingai yang hadir adalah Zulkifli Malin Panghulu, SH (Wali Nagari Muaro Pingai), Manisnsyar BA (Ketua BPN), M. Nur Datuk Kabasaran dan Mansur Dt. Tan Malano Nan Tinggi (Ketua dan anggota KAN Muaro Pingai). Pihak Saningbakar yang hadir adalah Tarmizi Mkt. Sutan (Wali Nagari), Mulyadi ST. Marajo (Ketua BPN), H. Abdul Kadir Dt Rangkayo Marajo dan Amwa Dt Mudo Nan Kuniang (Ketua dan anggota KAN Saningbakar). Musyawarah ini juga dihadiri oleh Camat masing-masing Nagari yaitu Agus Rostamda, SH (Camat Junjung Sirih) dan Drs. Reri Zaldi (Camat X Koto Singkarak). Pada musyawarah ini yang menjadi mediator adalah Kapolsek X Koto Di Bawah Singkarak IPTU Drs. Sumedi. Hasil kesepakatan musyawarah ini adalah :

a. Sengketa batas ulayat nagari ini diselesaikan menurut hukum sepanjang Adat Minangkabau.

(12)

c. Rapat koordinasi tersebut ditunda dan akan dilanjutkan tanggal 27 Maret 2003 yang bertempat di SKB Saningbakar Kecamatan X Koto Singkarak.13

Musyawarah Ketiga

Pada tanggal 27 Maret 2003 bertempat di SKB (Sanggar Kegiatan Belajar) Saningbakar. Dalam musyawarah ini pihak Muaro Pingai yang hadir adalah Zulkifli Malin Panghulu, SH (Wali Nagari Muaro Pingai), Manisnsyar BA (Ketua BPN), Datuk Nan Barampek M. Nur Datuk Kabasaran dan Mansur Dt. Tan Malano Nan Tinggi (Ketua dan anggota KAN Muaro Pingai), ninik mamak Nagari Muaro Pingai. Pihak Saningbakar yang hadir adalah), Tarmizi Mkt. Sutan (Wali Nagari), Mulyadi ST. Marajo (Ketua BPN), Datuk Nan Salapan H. Abdul Kadir Dt Rangkayo Marajo dan Amwa Dt Mudo Nan Kuniang (Ketua dan anggota KAN Saningbakar), ninik mamak Nagari Saningbakar. Pada musyawarah ini juga hadir Camat dari masing-masing Nagari yaitu Agus Rostamda, SH (Camat Junjung Sirih) dan Drs. Reri Zaldi (Camat X Koto Singkarak). Dalam musyawarah ini dibicarakan tentang cara penyelesaian batas ulayat antara Datuk Nan Salapan dari Saningbakar dan Datuk Nan Barampek dari Muaro Pingai. Hasil keputusan musyawarahnya sebagai berikut :

a. Melakukan penyumpahan terhadap Datuk yang akan berunding

oleh KUA kecamatan X Koto Di Bawah Singkarak

b. Penentuan Batas Ulayat Datuk Nan Salapan dari Saningbakar dan Datuk Nan Barampek dari Muaro Pingai.

c. Rencana peninjauan dan pemancangan batas tanah ulayat tersebut akan dilaksanakan pada tanggal 30 Maret 2003.

Musyawarah keempat

Pada tanggal 30 Maret 2003 telah dilaksanakan peninjauan kelapangan dan pemancangan batas ulayat Nagari Muaro Pingai dengan Nagari Saningbakar. Pada peninjauan kelapangan ini pihak-pihak yang hadir adalah Zulkifli Malin Panghulu, SH (Wali Nagari Muaro Pingai), Manisnsyar BA (Ketua BPN), M. Nur

(13)

Datuk Kabasaran dan Mansur Dt. Tan Malano Nan Tinggi (Ketua dan anggota KAN Muaro Pingai). Datuk Nan Barampek diwakili oleh Datuk Tumanggung (ninik mamak Nagari Muaro Pingai). Pihak Saningbakar yang hadir adalah Tarmizi Mkt. Sutan (Wali Nagari), Mulyadi ST. Marajo (Ketua BPN), Datuk Nan Salapan H. Abdul Kadir Dt Rangkayo Marajo dan Amwa Dt Mudo Nan Kuniang (Ketua dan anggota KAN Saningbakar), dan ninik mamak Nagari Saningbakar. Pada peninjauan ke lapangan ini juga dihadiri oleh Camat kedua Nagari yaitu Agus Rostamda, SH (Camat Junjung Sirih) dan Drs. Reri Zaldi (Camat X Koto Singkarak).

Dalam hal ini, pemancangan tersebut memakai cat warna merah sebagai tanda batas tanah ulayat kedua nagari, di dalam pelaksanaan pemancangan yang baru terlaksana seperempat lokasi (lebih kurang 2 Km) dilereng bukit Datuk Tumanggung pingsan akibatnya kegiatan tidak dapat dilanjutkan.

Musyawarah Kelima

(14)

b. Penyelesaian Sengketa oleh Pemerintah Daerah

Usaha penyelesaian sengketa batas ulayat nagari antara masyarakat Nagari Muaro Pingai Kecamatan Junjung Sirih dengan masyarakat Nagari Saningbakar Kecamatan X Koto Singkarak ini tidak bisa diselesaikan oleh tokoh-tokoh adat yaitu Anggota Kerapatan Adat Nagari, Anggota BPN/BAPERNA dan Ninik mamak antara kedua Nagari serta Muspika kedua Kecamatan, maka para Muspika melaporkan hal ini kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Solok, yang selanjutnya persengketaan tapal batas ini diambil alih oleh Pemerintah daerah Kabupaten Solok. Dalam usaha penyelesaian sengketa batas ulayatnagari antara masyarakat Nagari Muaro Pingai dan masyarakat Nagari Saningbakar ini, Pemerintah daerah berperanan sebagai fasilitator dan mediator.

Rapat-rapat/ musyawarah-musyawarah yang dilakukan untuk menyelesaikan sengketa ini adalah sebagai berikut:

Musyawarah Pertama :

(15)

tersebut telah ditanami dengan bibit pohon jati. Pada tanggal 14 April 2003 Kelompok Jati Villa Indah Saningbakar mengirim Surat pengaduan kepada Kapolsek X Koto Di Bawah Singkarak yang intinya melaporkan bahwa tanaman jati yang berlokasi di Bukit Talago Puruik sebanyak lebih kurang 10.000 (sepuluh ribu) batang tanaman jati dicabut/dibabat yang diperkirakan dilakukan oleh sekelompok masyarakat Nagari Muaro Pingai Kecamatan Junjung Sirih.

Musyawarah Kedua

Pada tanggal 16 April 2003 diadakanlah rapat di Kantor Camat Junjung Sirih. Musyawarah ini didampingi oleh Camat kedua Nagari yaitu Agus Rostamda, SH (Camat Junjung Sirih) dan Drs. Reri Zaldi (Camat X Koto Singkarak). Dalam musyawarah ini pihak Muaro Pingai yang hadir adalah Zulkifli Malin Panghulu, SH (Wali Nagari Muaro Pingai), Manisnsyar BA (Ketua BPN), Datuk Nan Barampek M. Nur Datuk Kabasaran dan Mansur Dt. Tan Malano Nan Tinggi (Ketua dan anggota KAN Muaro Pingai) dan ninik mamak Nagari Muaro Pingai. Pihak Saningbakar yang hadir adalah Tarmizi Mkt. Sutan (Wali Nagari), Mulyadi ST. Marajo (Ketua BPN), Datuk Nan Salapan H. Abdul Kadir Dt Rangkayo Marajo dan Amwa Dt Mudo Nan Kuniang (Ketua dan anggota KAN Saningbakar) dan ninik mamak Nagari Saningbakar. Pada musyawarah ini pokok pembahasan yang akan dibahas adalah bagaimana cara penyelesaian sengketa ini, dan hasil rapat tersebut : bahwa batas nagari dan persengketaan jati diselesaikan secara hukum adat, akan dilakukan penyelidikan dan pengrusakan pohon jati akan dibicarakan setelah permasalahan tapal batas selesai ditentukan.

Musyawarah Ketiga

(16)

(Wali Nagari), Mulyadi ST. Marajo (Ketua BPN), Datuk Nan Salapan H. Abdul Kadir Dt Rangkayo Marajo dan Amwa Dt Mudo Nan Kuniang (Ketua dan anggota KAN Saningbakar) dan ninik mamak Nagari Saningbakar. Musyawarah ini di dihadiri oleh Camat kedua Nagari yaitu Agus Rostamda, SH (Camat Junjung Sirih) dan Drs. Reri Zaldi (Camat X Koto Singkarak). Dalam musyawarah tersebut dilakukan pengambilan sumpah bagi Datuk Nan Barampek dari Muaro Pingai dan Datuk Nan Salapan dari Saningbakar. Dan dalam rapat ini juga dinyatakan bahwa kedua nagari dapat menentukan ulayat masing-masing.

Kemudian pada tanggal 23 April 2003, dilakukan sidang peninjauan ke lapangan yang dihadiri oleh Muspika Kecamatan Junjung Sirih maupun Muspika Kecamatan X Koto Singkarak, Satpol PP Kabupaten Solok, Wali Nagari dari Muaro Pingai dan Saningbakar beserta perangkatnya (masing-masing 11 orang dari masing-masing nagari). Dengan demikian peserta yang hadir berjumlah lebih kurang 50 (lima puluh) orang. Peninjauan kelapangan ini dimulai dari Air Abang dekat SKB menuju bukit. Pada hari tersebut baru dapat ditentukan lokasi 3 (tiga) titik yaitu :

a. Lokasi I dekat sawah perbatasan (air abang I)

Hasilnya : - Sawah milik Dt. Tan Basa Saniang Baka (Timur) - Gurun milik Dt. Tumanggung Muaro Pingai (Barat).

b. Lokasi II Luarah Aiar Abang II

Hasilnya : - Yang menghadap ke Saniang baka batas sungai kecil milik Dt. Tan Basa Saniang Baka (Timur)

- Yang menghadap ke Muaro Pingai batas sungai kecil milik Dt. Tumanggung Muaro Pingai (Barat).

c. Lokasi III Lurah Air Abang III ( Ujung SMU Saniang Baka)

Hasilnya : - Yang menghadap ke SMU milik Dt. Tan Basa Saniang Baka (Timur)

(17)

Musyawarah Keempat

Pada hari Rabu tanggal 30 April 2003 di Kantor Polsek X Koto Di Bawah Singkarak dilaksanakan musyawarah penyelesaian sengketa batas ulayat nagari atas prakarsa Kapolsek X Koto Di Bawah Singkarak. Musyawarah ini dihadiri Camat kedua Nagari yaitu Agus Rostamda, SH (Camat Junjung Sirih) dan Drs. Reri Zaldi (Camat X Koto Singkarak). Dalam musyawarah ini pihak Muaro Pingai yang hadir Zulkifli Malin Panghulu, SH (Wali Nagari Muaro Pingai), Manisnsyar BA (Ketua BPN), Datuk Nan Barampek M. Nur Datuk Kabasaran dan Mansur Dt. Tan Malano Nan Tinggi (Ketua dan anggota KAN Muaro Pingai) dan ninik mamak Nagari Muaro Pingai. Pihak Saningbakar yang hadir, Tarmizi Mkt. Sutan (Wali Nagari), Mulyadi ST. Marajo (Ketua BPN), Datuk Nan Salapan H. Abdul Kadir Dt Rangkayo Marajo dan Amwa Dt Mudo Nan Kuniang (Ketua dan anggota KAN Saningbakar) dan ninik mamak Nagari Saningbakar. Dalam rapat ini Muspika kedua Kecamatan bertindak sebagai fasilitator. Pada musyawarah ini dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa ini akan dilakukan dengan memakai hukum Adat dalam Minangkabau dengan prinsip tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan dan pemancangan batas sepadan nagari akan dilanjutkan. Siangnya di Gedung DPRD Kabupaten Solok diadakan rapat yang dihadiri oleh Gamawan Fauzi, SH. MM (Bupati Kabupaten Solok), Tarmizi Mkt Sutan (Wali Nagari Saningbakar) dan Datuk Nan Salapan dari Saningbakar. Tujuan rapat ini adalah untuk menyamakan persepsi jika turun ke lapangan.

Musyawarah Kelima

(18)

belum jelas kebenarannya dan melanjutkan ketentuan batas ulayat dengan terjun ke lapangan pada hari Senin tanggal 5 Mei 2003.

Musyawarah Keenam

Pada hari Senin tanggal 5 Mei 2003 dilakukan pemancangan batas sepadan yang terhenti pada tanggal 23 April 2003 yang difasilitasi oleh Muspika kedua Kecamatan yaitu Agus Rostamda, SH (Camat Junjung Sirih) dan Drs. Reri Zaldi (Camat X Koto Singkarak). Dalam musyawarah ini pihak Muaro Pingai yang hadir Zulkifli Malin Panghulu, SH (Wali Nagari Muaro Pingai), Manisnsyar BA (Ketua BPN), Datuk Nan Barampek M. Nur Datuk Kabasaran dan Mansur Dt. Tan Malano Nan Tinggi (Ketua dan anggota KAN Muaro Pingai) dan ninik mamak Nagari Muaro Pingai. Pihak Saningbakar yang hadir adalah Tarmizi Mkt. Sutan (Wali Nagari), Mulyadi ST. Marajo (Ketua BPN), Datuk Nan Salapan H. Abdul Kadir Dt Rangkayo Marajo dan Amwa Dt Mudo Nan Kuniang (Ketua dan anggota KAN Saningbakar) dan ninik mamak Nagari Saningbakar. Di tambah Bagian Tata Pemerintahan, Dinas Kehutanan dan Satpol PP. Pada kegiatan ini tidak terdapat kesepakatan karena Dt. Nan Barampek dari Muaro Pingai mengingkari apa yang telah disampaikan oleh Dt Tumanggung yang pada waktu itu berhalangan hadir.

Musyawarah Ketujuh

(19)

Dt Rangkayo Marajo dan Amwa Dt Mudo Nan Kuniang (Ketua dan anggota KAN Saningbakar) dan ninik mamak Nagari Saningbakar. Dalam musyawarah tersebut disepakati masing-masing nagari diwakili oleh dua orang penghulu yang ditunjuk oleh Penghulu Nan Delapan dan Penghulu Suku Nan Barampek yang telah di sumpah pada tanggal 22 April 2003 oleh KUA Kecamatan Singkarak.

Musyawarah Kedelapan

(20)

Musyawarah Kesembilan

Pada hari Sabtu tanggal 24 Mei 2003 di Ruangan Rapat Sekda dilakukan rapat musyawarah lanjutan yang dihadiri oleh Wali Nagari, Ketua BPN, Ketua KAN, Unsur pemuda dan didampingi oleh Elfi Sahlan ben (Wakil Bupati Kabupaten Solok), Asisten I, Ka. BPN, Ka. Dinas Hutbun, Kasat Pol PP, Kabag Pemerintahan Nagari, Kabag Tata pemerintahan serta Muspika kedua Kecamatan. Hasil dari musyawarah ini adalah terjadinya kesepakatan bahwa untuk menentukan batas ulayat nagari antara masyarakat Nagari Muaro Pingai dengan masyarakat Nagari Saningbakar akan memakai/berdasarkan Peta yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Solok Tahun 1975 dan telah direvisi atau dipeta ulang Tahun 1994. Hasil dari musyawarah ini ditetapkan bahwa pemancangan balok akan dilakukan pada hari Senin tanggal 2 Juni 2003, yang mana pemancangan akan dilakukan oleh BPN Kabupaten Solok dan hal tersebut agar disosialisasikan oleh perwakilan dari kedua nagari kepada masyarakatnya, dan masing-masing pihak bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban daerahnya masing-masing. Selain itu ladang yang telah diolah Anak kemenakan Penghulu Nan Barampek Muaro Pingai yang dilokasi Saningbakar tetap diolah oleh Anak kemenakan Penghulu Nan Barampek Muaro Pingai yang jumlahnya dihitung waktu pendataan dilapangan setelah adanya batas sepadan Nagari Muaro Pingai dan Saningbakar berdasarkan Peta Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Solok.

Musyawarah Kesepuluh

(21)

Solok) mengadakan rapat intern dengan masyarakat Muaro Pingai untuk meluruskan permasalahan.

Musyawarah Kesebelas

Pada hari Senin tanggal 14 Juli 2003 bertempat di Puruk Nagari Saningbakar (SMU 2 Singkarak) akan dilaksanakan pemancangan batas Nagari Muaro Pingai dengan Nagari Saningbakar. Dimana dihadiri oleh Kakan BPN, Dinas Hutbun, Satpol PP, Bagian Pemerintahan Nagari, Bagian Tata Pemerintahan, Muspika Junjung Sirih dan Singkarak. Dalam musyawarah ini pihak Muaro Pingai yang hadir Zulkifli Malin Panghulu, SH (Wali Nagari Muaro Pingai), Manisnsyar BA (Ketua BPN), Datuk Nan Barampek M. Nur Datuk Kabasaran dan Mansur Dt. Tan Malano Nan Tinggi (Ketua dan anggota KAN Muaro Pingai) dan ninik mamak Nagari Muaro Pingai. Pihak Saningbakar yang hadir adalah Tarmizi Mkt. Sutan (Wali Nagari), Mulyadi ST. Marajo (Ketua BPN), Datuk Nan Salapan H. Abdul Kadir Dt Rangkayo Marajo dan Amwa Dt Mudo Nan Kuniang (Ketua dan anggota KAN Saningbakar) dan ninik mamak Nagari Saningbakar. Pada pertemuan tersebut Ketua BPN Muaro Pingai dan 2 (dua) orang wakil Penghulu Nan Barampek Muaro Pingai tidak mengakui keabsahan Peta Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Solok dengan alasan Peta tersebut tidak sama dengan Peta yang dimiliki oleh Nagari Muaro Pingai. Maka akhirnya pemancangan batas sepadan tersebut tidak bisa dilaksanakan. Tindak lanjut dari pembatalan kesepakatan yang telah disepakati ini adalah pihak Pemerintahan Kabupaten Solok memanggil utusan dari Muaro Pingai (Wali Nagari, Ketua BPN, Ketua KAN dan 2 (dua) orang wakil penghulu Nan Barampek dari Muaro Pingai untuk datang ke Kantor Bupati.

Musyawarah Kedua belas

(22)

Kabasaran dan Mansur Dt. Tan Malano Nan Tinggi (Ketua dan anggota KAN Muaro Pingai) dan ninik mamak Nagari Muaro Pingai. Pada rapat tersebut masyarakat Muaro Pingai menyarankan penyelesaian batas ulayat nagari ini agar menggunakan Peta Dinas Kehutanan dan hal tersebut akan dapat diterima apabila menguntungkan kepada masyarakat Muaro Pingai. Pada rapat ini Pemerintah Daerah Kabupaten Solok secara lisan menyerahkan sengketa batas ulayat nagari antara masyarakat Nagari Muaro Pingai dan masyarakat Nagari Saningbakar kepada Ninik mamak kedua nagari untuk diselesaikan secara musyawarah dan mufakat.

Musyawarah Ketiga belas

Pada hari Jumat tanggal 19 September 2003 bertempat di ruang kerja Camat X Koto Singkarak Kabupaten Solok, diadakan rapat kordinasi antar Muspika Kecamatan X Koto Singkarak, Muspika Kecamatan Junjung Sirih, Wali Nagari Saningbakar dan Wali Nagari Muaro Pingai. Rapat ini dilakukan dalam rangka mencari solusi penyelesaian sengketa batas ulayat nagari antara masyarakat Nagari Muaro Pingai dengan masyarakat Nagari Saningbakar. Rapat ini juga dihadiri oleh pihak Kapolsek X Koto Di Bawah Singkarak IPTU Drs. Sumedi, Danramil X Koto Singkarak/Jujung Sirih Lettu Inf. Haryono. K. Pada rapat ini kesepakatan yang dicapai adalah :

a. Mengajukan tiga opsi penyelesaian sengketa diantaranya dengan Sistem Pemerintahan, Sistem Ulayat/Hukum adat, dan gabungan dari kedua sistem tersebut.

b. Kesempatan ini dibawa oleh Wali Nagari masing-masing untuk dipilih salah satu dari ketiga opsi penyelesaian tersebut diatas melalui musywarah mufakat di masing-masing nagari.

(23)

Musyawarah Keempat belas

Pada tanggal 30 September 2003 bertempat di Kantor Camat X Koto Singkarak dilaksanakan rapat yang dihadiri oleh para Muspika Junjung Sirih dan Singkarak, Wali Nagari Muaro Pingai dan Saningbakar. Dimana terjadi kesepakatan untuk menyepakati opsi penyelesaian sistem Pemerintahan dan sistem ulayat/Hukum Adat, dan sebagai langkah awal dilaksanakannya Sistem Pemerintahan dan bukanlah penyelesaian yang bersifat final (permanen), masih diberikan kesempatan 1 (satu) bulan untuk mengumpulkan bukti-bukti lain yang dapat memperkuat argumentasi masing-masing pihak.

Kemudian pada tanggal 4 Oktober 2003 dilaksanakan pemancangan batas Nagari Muaro Pingai dengan Nagari Saningbakar. Pemancangan dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Solok yang disaksikan oleh Wali Nagari Muaro Pingai dan Saningbakar, Muspika Kecamatan Junjung Sirih dan X Koto Singkarak, Staf Bagian Pemerintahan Nagari, Staf Bagian Tata Pemerintahan dan Satpol PP. Pemancangan dilakukan dengan menggunakan pancang atau patok yang terbuat dari kayu yang diberi tanda cat warna merah, dimana pancang ditanamkan sebanyak 11 (sebelas) titik, dalam menentukan titik koordinat Dinas BPN Kabupaten Solok menggunakan Ladar Satelit GNS. Menurut Bapak Kusmanto, pegawai BPN yang melakukan pengukuran pada waktu itu adalah Bapak Idrus.

Dimana titik-titik koordinat tersebut adalah sebagai berikut: (Lampiran 7)

a. Pancang atau patok pertama diberi nama A / 1 yang dipancang

di Muara Air Abang (dipingir Danau Singkarak) dengan koordinat X= 0673753 dan Y= 9924276.

b. Pancang atau patok ke dua yang berlokasi di ujung punggung

Bukit Air Abang yang diberi nama A / 2 dengan koordinat X= 0673753 dan Y= 9924128

c. Pancang atau patok ke tiga yang berlokasi di Bukit Tanmudo

(24)

d. Pancang atau patok ke empat yang diberi nama A / 4 yang terletak di punggung Bukit Belakang SMU atau seberang Lurah A / 3 dengan titik koordinat X= 0673076 dan Y= 9923669.

e. Pancang atau balok ke lima yang diberi nama A / 5 yang berlokasi di Lurah Air Abang sebelah Barat dengan titik koordinat X= 0672854 dan Y= 992581.

f. Pancang atau patok ke enam yang diberi nama A / 6 yang berlokasi dibawah sarang elang dengan koordinat X= 0672489 dan Y= 9923256.

g. Pancang atau patok yang ke tujuh yang diberi nama A / 7 yang berlokasi di punggung bukit Sarang Alang dengan titik koordinat X= 0672191 dan Y= 9923159.

h. Pancang atau patok ke delapan yang diberi nama A / 8 yang

berlokasi di Bukit tempurung dengan koordinat X= 0672011 dan Y= 9922986.

i. Pancang atau patok ke sembilan yang diberi nama A / 9 yang

berlokasi di bukit Kubang Tuo dengan titik koordinat X= 0671671 dan Y= 9922756

j. Pancang atau patok ke sepuluh yang diberi nama A / 10 yang

berlokasi di tepi sawah dan tepi sungai Muaro Pingai dengan titik koordinat X= 0671522 dan Y= 9922790.

k. Pancang atau patok ke sebelas yang diberi nama A / 11 yang

berlokasi di Lurang Cangka dekat Sungai hutan lindung Paninggahan dengan Batang Air Muaro Pingai dengan titik koordinat X= 0671091 dan Y= 9922572.

Musyawarah Kelima belas

(25)

yang pada saat itu ditempati oleh UPTD Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kecamatan X Koto Singkarak Kabupaten Solok.14

Dalam rapat ini aparat kepolisian mengemukakan bahwa mereka menemui kesulitan dalam mengungkap pelaku kerusuhan. Badan Pertanahan Nasional mencarikan dasar hukum penggunaan peta hasil pemetaan Badan Pertanahan Nasional sebagai pedoman peraturan batas. Kemudian pada tanggal 19 Mei 2004 diadakan rapat, dan masing masing Nagari menyampaikan keputusan mereka yaitu :

a. Kecamatan Junjung Sirih :

- Penyelesaian masalah batas Nagari Muaro Pingai dengan Saningbakar diadakan di Kabupaten.

- Pihak Muaro Pingai tetap berpegang teguh pada Peta Topografi tahun 1891 (Lampiran 8).

- Wakil-wakil masyarakat Muaro Pingai yang akan menghadiri pertemuan adalah : Wali Nagari, Ketua KAN, Ketua BPN, Ketua Pemuda, dan Janain Malin Mudo (Toma).

b. Kecamatan X Koto Singkarak

- Pada dasarnya Nagari Saningbakar dari awal sampai sekarang masih komit untuk menerima hasil kesepakatan yang diambil Pemda. Seperti penyelesaian sengketa akan dilakukan menurut sistem Pemerintahan dan sistem ulayat/adat dan kesepakatan untuk menerima 11 titik koordinat batas yang telah di ukur BPN (Badan Pertanahan Nasional) Kabupaten Solok.

- Wali Nagari didukung oleh Muspika, memohon kepada Pemda untuk melaksanakan penyelesaian lanjutan dilaksanakan di Kantor Bupati Kabupaten Solok.

- Mengusulkan wakil-wakil masyarakat dari Nagari Saningbakar yaitu : Wali nagari, Ketua KAN, Ketua BPN, A,. Dt Mudo Nan Kuning, Dt HK Marajo, A. Dt Majo Basa, A. Rajo Nan Gadang, H. Syaharudin Rangkayo Mudo, Yunisbar Marah Banso dan M. Sabri.

14 Hasil wawancara dengan Arman Mantari, Kepala UPTD Dinas Kehutanan dan

(26)

Musyawarah Keenam belas dan Ketujuh belas

Pada tanggal 14 dan 17 Februari 2005 di ruangan Pertemuan Bupati Solok diadakan rapat penyelesaian batas ulayat antara kedua nagari ini. Rapat dipimpin oleh Wakil Bupati Solok dan dihadiri oleh Sekretaris Daerah, Kasdim, Kasat Intel, Wakil Ketua DPRD, Asisten Pemerintahan, KTU Satpol PP, Camat X Koto Singkarak, Camat Junjung Sirih, Wali Nagari, BPN, KAN kedua Nagari dan Kasubag Tata Pemerintahan. Hasil dari Musyawarah ini adalah wakil dari Nagari Muaro Pingai tetap bependirian mengacu pada Peta Kehutanan tahun 1891, dan Nagari Saningbakar tetap patuh dan taat pada peraturan yang berlaku. Alasan masyarakat Muaro Pingai berpendirian tetap mengacu kepada peta Kehutanan tahun 1891 adalah karena peta tersebut dibuat oleh Pemerintahan Belanda dan adanya pengaturan sebuah nagari pada awalnya ada adalah pada masa Pemerintah Belanda. Berarti Pemerintah Belandalah yang mengetahui sebenarnya batas antar nagari tersebut. Jadi data yang paling akurat adalah berdasarkan Peta yang dibuat oleh Pemerintahan Belanda tersebut.15 Menurut Bapak Afriadi, salah seorang

pegawai Dinas Kehutanan dan Perkebunan mengatakan :

”Masyarakat Muaro Pingai memang pernah datang ke Dinas Kehutanan dan Perkebunan untuk menanyakan Peta Kehutanan tersebut dan Kerapatan Adat Nagari Muaro Pingai juga pernah mengirimkan surat Permohonan Peta Opgenomen In 1887-1890 Door het Topographisch Bereau to Batavia Uitgegeven in het 1 & 2 Semeter 1891”.16 (Lampiran 8)

Tindak lanjut dari rapat ini adalah Pemda akan mengundang Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Barat dan Kakanwil Badan Pertanahan Nasional Sumatera barat guna meminta penjelasan tentang keberadaan peta kehutanan dan peta pertanahan dalam kaitannya dengan penentuan batas ulayat nagari.

Musyawarah Delapan belas

15 Hasil wawancara dengan Irwan, SH, salah seorang konsultan hukum masyarakat Muaro

Pingai.

16 Hasil wawancara dengan Bapak Afriadi, SP. Pegawai Dinas Kehutanan dan Perkebunan bagian

(27)

Pada tanggal 19 Januari 2006, di ruang kerja Bupati Solok diadakan rapat, yang mana dipimpin oleh Wakil Bupati Solok dan dihadiri oleh Asisten Pemerintahan, Kadinas Hutbun, Kakan Pertanahan, Kabag Tata pemerintahan, Muspika X Koto Singkarak dan Muspika Junjung Sirih. Pada rapat ini para pihak sepakat bentuk penyelesaian batas ulayat nagari sesuai dengan buku pedoman / peraturan yang berlaku. Pemerintah Daerah akan menurunkan tim teknis ke lapangan untuk mencari titik koordinat batas sesuai dengan peta yang ada di Kantor Pertanahan dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan, setelah itu baru diadakan rapat lanjutan. Kemudian akan menegaskan penetapan hak perseorangan dan penegasan batas ulayat nagari.

Musyawarah Sembilan belas

Pada tanggal 10 Februari 2006 diruang pertemuan Bupati Solok diadakan rapat. Musyawarah ini dipimpin oleh Asisten pemerintahan dan dihadiri oleh Kadinas Hutbun, Kakan Pertanahan, Kabag Tata pemerintahan, Muspika X Koto Singkarak, Muspika Junjung Sirih, Wali Nagari, BPN, KAN kedua Nagari. Dimana hasilnya adalah Masyarakat Muaro Pingai sepakat akan menyampaikan ke tokoh masyarakat nagari tentang Toleransi titik batas antara yang ada di Peta tahun 1891 dengan realitas yang ada di lapangan (hak perseorangan tidak di rugikan) dengan prinsip mencari penyelesaian, camat kedua wilayah diminta melakukan inventarisasi terhadap hak perseorangan yang ada di Rentang Pinang dengan Puruk bersama Wali nagari yang bersangkutan, Pemerintah kecamatan dan pemerintah nagari akan bersama-sama menjaga ketentraman dan ketertiban masyarakat.

(28)

Dari sengketa batas ulayat nagari antara masyarakat Nagari Muaro Pingai dengan masyarakat Nagari Saningbakar ini, apabila dihubungkan dengan teori konflik maka sebab-sebab terjadinya konflik antara kedua nagari tersebut sesuai dengan salah satu teori konflik yang dikemukakan oleh Simon Fisher yaitu teori transformasi, bahwa konflik dapat terjadi karena adanya masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang mewujud dalam bidang-bidag sosial, ekonomi dan politik. Penyelesaian konflik ini dapat dilakukan melalui beberapa upaya seperti perubahan struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan, peningkatan hubungan dan sikap jangka panjang para pihak yang mengalami konflik serta pengembangan proses-proses dan sistem untuk mewujudkan pemberdayaan, keadilan, rekonsiliasi dan pengakuan.

Dalam proses penyelesaian sengketa batas ulayat nagari antara masyarakat Nagari Muaro Pingai dengan masyarakat Nagari Saningbakar ini, jika dihubungkan dengan Teori Pluralisme Hukum maka dapat dilihat disini bahwa pada proses penyelesaian sengketa batas ulayat nagari ini ada 3 opsi penyelesaian / pilihan hukum yaitu dengan sistem pemerintahan, sistem ulayat/hukum adat atau gabungan dari kedua sistem tersebut. Kemudian kesepakatan yang diambil adalah dengan memilih opsi yang ketiga yaitu penyelesaian sengketa dengan sistem pemerintahan dan sistem ulayat/hukum adat. Hal ini sesuai dengan pandangan dari Sally Falk Moore yaitu Semi-otonomous Social Field (Teori bidang Sosial Semi-Otonom), dimana pada dasarnya di dalam satuan-satuan sosial memiliki aturan-aturan, adat istiadat kebiasaan yang biasanya digunakan untuk menyelesaikan dan mengatur hubungan-hubungan sosial antara anggota dalam satuan sosial tersebut, meskipun secara nasional telah ada aturan yang mengatur hal yang sama.

(29)

Cara Penyelesaian Sengketa Yang Dilakukan Belum Memuaskan Para Pihak

Penyelesaian sengketa batas ulayat nagari antara masyarakat Nagari Muaro Pingai Kecamatan Junjung Sirih dengan masyarakat Nagari Saningbakar Kecamatan X Koto Singkarak ini sampai sekarang belum terjadi kesepakatan atau belum selesai. Mungkin dalam hal ini memang tidak adanya konsisten dan komitmen dari pada pemuka masyarakat kedua kenagarian, yang mana dalam setiap keputusan rapat hasil musyawarah tidak terealisasi dilapangan, dilain pihak tidak terwakilinya seluruh lapisan masyarakat karena dibarengi oleh kepentingan pihak-pihak tertentu yang ingin mendapatkan keuntungan/pendapatan dari lahan tersebut.

Dalam usaha penyelesaian sengketa batas ulayat nagari antara Nagari Muaro Pingai dengan masyarakat Nagari Saningbakar ini, Pemerintah Daerah bertindak sebagai fasilitator dan mediator. Menurut Asisten I Pemerintahan Kabupaten Solok, Drs. Bustamar, MM. Beliau mengatakan :

”Memang pada awalnya para pihak merasa tidak puas dengan tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, tetapi dengan berjalannya proses musyawarah sampai sekarang para pihak sudah mulai merasa puas dengan tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah. Jika tindakan yang diambil oleh Pemerintah Daerah tidak dapat memuaskan kedua belah pihak yang bersengketa, maka tidak mungkin sekarang ini mereka diam begitu saja, dan kerusuhan yang dulu sempat terjadi sekarang tidak pernah terjadi lagi. Memang penyelesaian sengketa batas ulayat nagari ini belum selesai, dan Pemerintah daerah akan berusaha terus sampai tercapainya kesepakatan antar kedua belah pihak yang bersengketa tersebut ”.

Tetapi dari hasil penelitian penulis dilapangan, pernyataan yang dinyatakan oleh Drs. Bustamar, MM selaku Asisten I Pemerintahan Kabupaten Solok bertentangan dengan pendapat anggota masyarakat kedua nagari.

(30)

yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Solok. Hal ini terbukti dengan :

a. Surat yang diajukan kepada Bupati Solok, tanggal

13 Desember 2004 perihal dipindahkan kegiatan. Dimana masyarakat Muaro Pingai merasa kecewa atas belum selesainya sengketa batas ulayat nagari antara masyarakat Nagari Muaro Pingai dengan masyarakat Nagari Saningbakar tersebut. Dimana pada daerah yang disengketakan tersebut adanya spanduk-spanduk yang dikibarkan dan adanya rencana diadakannya kegiatan Lomba Motor Really. Padahal menurut kesepakatan tanggal 18 Desember 2003 bahwa lahan yang disengketakan tersebut tidak boleh diolah oleh masing-masing dan dijadikan ”Status Quo”.

b. Dikirimnya Surat Permohonan menentukan tapal

batas ini oleh Kerapatan Adat Nagari Nagari Muaro Pingai kepada Gubernur Propinsi Sumatera Barat pada tanggal 24 Januari 2005. (Lampiran 9). Dalam Surat Permohonan tersebut menyatakan bahwa masyarakat Nagari Muaro Pingai merasa Pemerintah Daerah Kabupaten Solok tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan sengketa batas ulayat nagari ini. Sehingga mereka meminta kepada Gubernur Propinsi Sumatera Barat untuk menyelesaikan sengketa batas ulayat nagari antara masyarakat Nagari Muaro Pingai dengan masyarakat Nagari Saningbakar ini.

Menurut Abdul Gafar Malin Marajo salah seorang tokoh pemuda Nagari Muaro Pingai, mengatakan :

”Dalam penyelesaian sengketa tapal batas ini nampaknya Pemerintah Daerah Kabupaten Solok lebih memihak kepada Nagari Saningbakar, hal ini disebabkan karena banyak anggota masyarakat Saningbakar yang bekerja di Pemerintahan Daerah Kabupaten Solok”.

(31)

”Masyarakat Muaro Pingai sebenarnya ingin menyelesaikan sengketa ini ke Pengadilan Negeri tetapi kami di halang-halangi dan dilarang oleh Pemerintah Daerah”.17

Begitu juga dengan pendapat masyarakat Saningbakar. Menurut Aprizal, salah seorang tokoh pemuda Nagari Saningbakar, mengatakan :

”Penyelesaian sengketa batas ulayat nagari antara masyarakat Nagari Muaro Pingai dengan masyarakat Nagari Saningbakar ini belum selesai dan usaha-usaha yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah belum memuaskan kami, sengketa ini serupa ”api dalam sakam” 18.

Hal senada juga di ungkapkan oleh Pepi Gustrianti, SH, salah seorang anggota masyarakat Saningbakar, mengatakan :

”Sengketa batas ulayat nagari antara masyarakat Nagari Muaro Pingai dan masyarakat Nagari Saningbakar belum selesai, seperti api dalam sakam.Kesannya Pemerintah mengulur-ulur waktu. Takutnya pada suatu saat timbul kembali sengketa ini dan mungkin akan menimbulkan sengketa yang baru, yang mungkin akan lebih rumit. Sebaiknya Pemerintah Daerah harus cepat menyelesaikan sengketa ini”.19

Dengan melihat pendapat-pendapat diatas, dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten Solok tidak tegas dan selalu mengulur waktu dengan melimpahkan persoalan/penyelesaian sengketa kepada kedua nagari sehingga menjadikan persoalan ini mentah kembali, sedangkan warga masyarakat Nagari Muaro Pingai dan Nagari Saningbakar menginginkan adanya kepastian walaupun sampai saat sekarang masih ada perbedaan prinsip/alasan pada masing-masing nagari. Jika Pemerintah daerah tidak mampu memberikan kepastian hukum maka penyelesaian sengketa batas ulayat nagari antara masyarakat Nagari Muaro Pingai dan masyarakat Nagari Saningbakar tetap tidak akan mendapatkan kata sepakat sehingga hal ini akan menjadi bumerang/bom waktu yang akan menyulut pertumpahan darah kedua kalinya. Apabila Pemerintah daerah tegas mengambil

17 Hasil wawancara dengan Irwan, SH, pada tanggal 6 Februari 2008.

18 Hasil wawancara dengan Aprizal, salah seorang tokoh pemuda masyarakat Saningbakar,

tanggal 21 Januari 2008.

(32)

keputusan maka mau tidak mau masyarakat kedua nagari harus menerima keputusan dari Pemerintah daerah sesuai dengan aturan yang berlaku.

Kendala Yang Dihadapi Dalam Proses Penyelesaian Sengketa

Pada sengketa batas ulayat nagari ini, berhubung yang dijadikan objek adalah tanah ulayat nagari, maka lazimnya penyelesaian sengketa tanah adat ini dilakukan dengan cara musyawarah untuk melahir kesepakatan para tokoh adat/ tokoh masyarakat. Tetapi dalam persoalan ini para tokoh adat/tokoh masyarakat tidak bisa melahirkan kesepakatan dalam penyelesaiannya. Tidak terdapatnya kesepakatan dalam menentukan batas ulayat kedua nagari, disebabkan tidak adanya komitmen dan konsistensi para tokoh masyarakat dalam melakukan perundingan dan kesepakatan yang telah dilahirkan kedua belah pihak. Hal ini terllihat dengan jelas bila kita mengamati hasil kesepakatan yang mereka lahirkan, artinya kesepakatan yang mereka lahirkan dari berbagai langkah penyelesaian yang telah melahirkan kesepakatan tetapi mereka tidak mematuhinya sebagai hasil keputusan bersama. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Mantan Camat X Koto Singkarak Drs. Reri Zaldi,

”Bahwa penyelesaian batas ulayat nagari antara masyarakat Nagari Muaro Pingai Kecamatan Junjung Sirih dengan masyarakat Nagari Saningbakar Kecamatan X Koto Singkarak telah diusahakan semaksimal mungkin sampai kasus tersebut dibawa ke tingkat Pemerintah Daerah Kabupaten Solok, yang mana penyelesaian tersebut semestinya telah menemukan titik penyelesaian, akhirnya mentah lagi karena didasari oleh kepentingan individu”. 20

Pada dasarnya persoalan yang mendasar bagi kedua nagari tersebut dalam penyelesaian sengketa batas ulayat nagari ini adalah pihak Nagari Muaro Pingai adalah ketakutan mereka kehilangan tanah garapan yang sudah ada di wilayah tapal batas kearah Nagari Saningbakar dan begitu juga sebaliknya.

20 Hasil wawancara dengan mantan Camat X Koto Singkarak Drs. Reri Zaldi, tanggal 14 Januari

(33)

Jadi, dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa batas ulayat nagari ini tidak dapat memuaskan para pihak yang bersengketa. Ada beberapa kendala yang dihadapi dalam penyelesaian sengketa batas ulayat nagari ini yaitu :

1. Tidak terdapatnya kesepakatan dalam menentukan batas ulayat Nagari Muaro Pingai Kecamatan Junjung Sirih dengan Nagari Saningbakar Kecamatan X Koto Singkarak karena tidak adanya konsisten dan komitmen dari pada pemuka masyarakat kedua kenagarian atas setiap keputusan yang diambil, yang mana dalam setiap keputusan rapat hasil musyawarah tidak terealisasi dilapangan. Dilain pihak tidak terwakilinya seluruh lapisan masyarakat karena dibarengi oleh kepentingan pihak-pihak tertentu. Dalam hal ini adalah pihak yang merasa akan mendapatkan keuntungan/pendapatan apabila menguasai lahan yang disengketakan tersebut.

2. Adanya ketidakpahaman anggota masyarakat kedua nagari tentang pengertian batas wilayah administrasi pemerintahan dan batas ulayat. Dimana batas administrasi wilayah adalah batas yang dibuat oleh pemerintah untuk pembatasan kegiatan pemerintahan. Sedangkan batas ulayat adalah batas antara satu tanah ulayat suatu kaum dengan tanah ulayat kaum lainnya. Jadi batas wilayah administrasi pemerintahan tidak akan mempengaruhi batas tanah ulayat suatu kaum.

3. Di pihak lain, polisi sebagai lembaga negara yang bertugas melakukan penindakan hukum di dalam melakukan tugas mereka untuk mengusut persoalan tersebut menemui kendala dalam melakukan penyelidikan dalam kasus pengrusakan pohon jati. Hal ini disebabkan oleh adanya para saksi yang tidak mengetahui secara jelas pelaku-pelaku pengrusakan, dilain pihak masyarakat Muaro Pingai dalam hal ini tutup mulut yang tidak bersedia memberikan keterangan secara jelas.

Upaya-upaya Yang Sebaiknya Dilakukan Dalam Penyelesaian Sengketa

(34)

tanah yang disengketakan tersebut adalah tanah mereka. Dalam hal kaitannya dengan batas wilayah administasi pemerintahan dan batas ulayat, dimana batas wilayah administrasi pemerintah tidak mempengaruhi batas suatu tanah ulayat, disamping itu pemerintah tidak berhak menentukan batas ulayat suatu kaum, tetapi cuma bisa menegaskan batas suatu tanah ulayat. Karena yang bisa menetukan batas tanah ulayat suatu kaum adalah mereka sendiri.

1. Pemerintah harus memberikan penjelasan dan pemahaman kepada anggota masyarakat kedua nagari tentang batas wilayah administrasi wilayah dan batas ulayat sehingga mereka betul-betul paham akan pengertian batas tersebut. Di samping itu, Pemerintah juga harus memberikan penjelasan tentang perbedaan penggunaan peta yang di dipermasalahkan sehingga tercapai suatu kesepakatan. Tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah adalah melakukan pendekatan secara sosiologi dan psikologi.

2. Apabila upaya musyawarah secara optimal tidak dapat menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak, maka sebaiknya sengketa ini di selesaikan melalui Peradilan Perdata, karena berkaitan dengan sengketa tanah antara suatu kaum dengan kaum lainya (suatu individu dengan individu lainnya), dan salah satu pihak yang bersengketa harus mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri.

Pemerintah Daerah yang dalam sengketa batas ulayat nagari ini berperan sebagai mediator, sebaiknya tidak memihak kepada salah satu pihak yang bersengketa (netral). Karena sifat mediator adalah sebagai penengah dan membantu para pihak dalam menyelesaikan sengketa mereka.

(35)

masyarakat Nagari Muaro Pingai dengan masyarakat Nagari Saningbakar Kabupaten Solok.

Penutup

Dengan merangkum apa yang telah diuraikan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

Pada awalnya sengketa batas ulayat nagari antara masyarakat Nagari Muaro Pingai Kecamatan Junjung Sirih dengan masyarakat Nagari Saningbakar Kecamatan X Koto Singkarak ini berusaha diselesaikan dengan cara musyawarah para tokoh-tokoh adat antara kedua nagari. Kemudian karena tidak bisa diselesaikan oleh Muspika kedua Kecamatan, maka selanjutnya penyelesaian sengketa batas ulayat nagari ini serahkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Solok. Dalam hal ini Pemerintah daerah Kabupaten Solok bertindak sebagai fasilitator dan meditor. Dimana sampai sekarang lebih dari 18 kali musyawarah namun sengketa batas ulayat nagari ini belum juga dapat diselesaikan.

(36)

dalam menyelesaikan sengketa batas ulayat nagari antara masyarakat Nagari Muaro Pingai dengan masyarakat Nagari Saningbakar ini adalah : a) Mempersempit cakupan persoalan. b)Pemerintah harus memberikan penjelasan dan pemahaman kepada anggota masyarakat kedua nagari tentang batas wilayah administrasi wilayah dan batas ulayat sehingga mereka betul-betul paham akan pengertian batas tersebut, c) Apabila upaya musyawarah secara optimal tidak dapat menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak, maka sebaiknya sengketa ini di selesaikan melalui Peradilan Perdata.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Buku-buku

Ade Saptomo, 2007, Pokok-pokok Metodologi Penelitian Hukum, Unesa University Press, Surabaya.

Bambang Sunggono, 1996, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jember.

Berdnard Mayer, 2000, The Dynamics of Conflict Resolution, Jossey Bass, San Fransisco.

Chairul Anwar, 1997, Meninjau Hukum Adat Minangkabau,Rineka Ccipta, Jakarta

C.S.T. Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Benda Beckman, Franz Von, 1986, Changing Legal Pluralism In Indonesia, hal 1 vit Internasional sebagaimana dikutip oleh Yon Efri, 2005, Penyelesaian Sengketa Pemanfaatan Sumber Daya Air Sungai Tanang Kabupaten Agam, Tesis.

(37)

Gunawan Widjaja, 2001, Seri Hukum Bisnis, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Rajawali Pers, Jakarta.

Hilman Hadikusuma, 1986, Antropologi Hukum Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung.

Huala Adolf dan A. Chandrawulan, 1994, Masalah-masalah Hukum Dalam perdagangan Internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta..

Idrus Hakimy DT Rajo Penghulu, 2004, Pokok-pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.

Iskandar Kemal, 1964, Sekitar Pemerintahan Nagari Minangkabau Dalam perkembangannya (Tinjauan Tentang Kerapatan Adat), Percetakan Daerah Sumatera Barat. Padang.

Jeffrey Rubbin, D.G. Pruitt dan Sung Hee Kim, 1986, “Social Conflict Escalation, Stalemete, and Settlement”, McGraw Hill Inc.

Joni Emirzon, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Peradilan (negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta1.

M. Nazir, 1988, Hukum Acara Adat Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah di Minangkabau, dalam Dinamika Masyarakat dan Adat Minangkabau, Pusat Penelitian Universitas Andalas.

Munir Fuady, 2002, Arbitrase Nasional, Alternatif penyelesaian Sengketa, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

M. Rasjid Manggis Dt. Panghoeloe, dkk, 1975, Limpapeh Adat Minangkabau, Bukittinggi.

Rachmadi Usman, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 1997, Hukum Acara Perdata Dala Teori dan Praktek, Penerbit CV. Bandar Maju, Bandung

Sayuti Thalib, 1985, Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria di Minangkabau, Bina Aksara, Jakarta.

(38)

Soerjono Soekanto , 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta.

Sulistyo Irianto, Pluralisme Hukum Dan Masyarakat Saai Kritis, Disajikan dalam Seminar Terbatas ”Penelitian Tentang Pluralisme Hukum Dalam Berbagai Bidang Kajian Hukum”, 2000.

Syahmunir, 2004, “Eksistensi Tanah ulayat dalam Perundang-undangan di Indonesia, Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau (PPIM), Sumatera Barat.

Unang Soenardjo, 1984, Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Tarsito, Bandung.

.

Laporan Penelitian, Makalah dan Jurnal

Ade Saptomo, 2002, Teori-teori Konflik Dalam Antropologi Hukum, Working Paper Sosiologi Andalas Vol IV No 1 Januari 2002

____________, 2002, Penyelesaian Sengketa Dalam Kultur Minangkabau, Working paper Sosiologi Andalas Vol IV No. 2 Februari 2002.

____________, 2005, Studi Komparasi Lembaga Penyelesaian Sengketa, Working Paper Sosiologi Andalas Vol VII No 5 Mei 2005.

____________, 2007, Potensi Lokal Dalam Penguasaan Tanah dan Pemanfaatan Sumber Alam, http ://www.huma.or.id, di akses tanggal 15 Juli 2007.

Susanti Adi Nugroho, 2007, Mediasi Perbankan, makalah ini disampaikan pada Diskusi Terbatas Mengenai mediasi Perbankan, diselenggarakan oleh Bank Indonesia bekerjasama dengan Program Studi Ilmu Hukum Sekolahan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.

Sulistyowati Irianto, 2000, Pluralisme Hukum dan Masyarakat Saat Kritis, disajikan dalam Seminar Terbatas “Penelitian Tentang Pluralisme Hukum Dalam Berbagai Bidang Kajian Hukum”, Depok 31 Juli-2 Agustus 2000.

(39)

_____________, 2007, “Peta Potensi Kerawanan Sosial dan Konflik Sosial di Sumatera”, Makalah dipresentasikan pada Lokakarya Identifikasi dan Pemetaan Daerah Potensial Konflik Dalam Rangka Antisipasi Dan Penanggulangan Kerawanan Sosial, diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Institut Titian Perdamaian, Bogor, 2-3 Juli 2007.

Perundang-undangan

Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Undang-undang No. 22 Tahun 1999 junto Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah

Peraturan Paerah No. 13 Tahun 1983 Tentang Nagari Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat

Peraturan Daerah propinsi Sumatera Barat No. 9 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari

(40)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian dilakukan untuk melihat pengaruh dari pemberian kunyit (1,5%), bawang putih (2,5%) dan mineral zink dalam bentuk ZnO terhadap performa, kadar lemak dan kolesterol

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan model Kurt Lewin. Pada siklus 1 dan siklus 2 terdiri dari 4 tahap yaitu

Akuntansi Pajak Penghasilan PPh Pasal 21 Merupakan proses Perhitungan, Pemotongan, Pencatatan dan Pelaporan atas Gaji gaji, honorarium, tunjangan dan pembayaran

Berdasarkan pembahasan hasil penelitian dan simpulan di atas maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut. Pendidikan dan pelatihan pada masing-masing LPD

2.8.1 Basis data (bahasa Inggris: database), adalah kumpulan informasi yang disimpan di dalam komputer secara sistematik sehingga dapat diperiksa menggunakan suatu

Terdapat perbedaan kecepatan perkembangan di antara peserta didik, ada yang cepat, normal dan lambat. Guru seyogyanya sampai batas tertentu selain membuat program dan

Peraturan Daerah tentang Penataan Pasar Rakyat dan Toko Swalayan menjadi salah satu landasan hukum dan pedoman bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Pati dalam rangka

Untuk dapat memperbaiki hasil belajar siswa dalam proses pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, dilakukan dengan menggunakan metode eksperimen yang diyakini dapat