ABSTRAK
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui bentuk coping stress (distancing, escape-avoidance, seeking social support, positive appraisal, self-control, accepting responsibility, planful problem solving dan confrontative coping) pada Bintara Seskoad yang akan mengikuti test seleksi SECAPA-AD dengan rancangan penelitian deskripif. Sampel penelitian merupakan Bintara Seskoad Bandung yaitu sebanyak 22 orang.
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur coping stress merupakan hasil modifikasi dari alat ukur Ways of Coping dari Lazarus (1976) sebanyak 55 item. Data yang diperoleh diolah menggunakan rank Spearman dengan program SPSS 21.0, dan diperoleh hasil validitas untuk alat coping stress sebesar 0,308 sampai 0,798. Untuk hasil reliabilitas diolah menggunakan Alpha Cronbach didapat reliabilitas untuk alat ukur coping stress adalah sebesar 0,94.
Berdasarkan hasil pengolahan data diketahui bahwa dari 22 Bintara, 54,50 % Bintara menggunakan emotional focus coping dan 45,50 % Bintara menggunakan problem focus coping. Bintara yang menggunakan problem focus coping, 50 % Bintara menggunakan planful problem solving dan 50 % orang lainnya menggunakan confrontative coping sedangkan untuk emotional focus coping yang paling banyak digunakan adalah accepting responsibility yaitu sebanyak 41,70 % Bintara, positive appraisal sebanyak 25 % Bintara, seeking social support sebanyak 16,70 % Bintara, distancing sebanyak 8,30 % Bintara dan self controlling sebanyak 8,30 % Bintara.kesimpulan dari penelitian ini adalah Bintara Seskoad banyak yang menggunakan emotional focus coping untuk meredakan stress yang mereka hadapi saat akan mengikuti test seleksi SECAPA-AD. Peneliti mengajukan saran agar pada penelitian berikutnya dapat menambahkan pertanyaan yang sudah ada atau dapat melakukannya dengan cara kualitatif yaitu dengan menggunakan wawancara agar jawaban yang terjaring dapat lebih mendalam dan tergambar jelas.
ABSTRACT
This research was conducted to determine the selection form of stress coping (distancing, escape-avoidance, seeking social support, positive appraisal, self-control, acepting responcibility, planful problem solving and confrontative coping)in Bintara of Seskoad Bandung, this research was conducted with descriptive research design. The research sample are 22 Bintara Seskoad Bandung.
Measuring instruments used to measure stress coping is a modified version of the Ways of Coping measure of Lazarus (1976) 55 item. The data obtained were analyzed using Spearman rank with SPSS 21.0, and the validity of the results obtained to stress coping is 0.308 to 0.798. For the reliability of the results obtained is processed using Cronbach alpha reliability for coping stress is 0.94.
Based on the results of data processing is known that from 22 Bintara, 54,50 % Bintara are used emotional focus coping and 45,50 % Bintara used problem focus coping. Bintara who used problem focus coping, 50 % Bintara used planful problem solving and 50 % other Bintara used confrontative coping while for emotional focus coping that most used by Bintara Seskoad is accepting responsibility 41,70 % Bintara, positive appraisal 25 % Bintara, seeking social support 16,70 % Bintara, distancing 8,30 % Bintara dan self controlling 8,30 % Bintara. The conclusion that Bintara Seskoad are using emotional focus coping to reduce their stress while they take the selection test for SECAPA-AD . Researchers propose suggestions for the next study needs to be add more questions or doing with qualitative methode using interview so the answer could be more deep and clearly defined.
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR
ABSTRAK……...………i
ABSTRACT……….ii
DAFTAR ISI……….……….iii
DAFTAR BAGAN……….….…..vii
DAFTAR TABEL……….viii
DAFTAR LAMPIRAN………...ix
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah………..…………...1
1.2Identifikasi Masalah………..………..…...…12
1.3Maksud dan Tujuan Penelitian………..……...…..12
1.4Kegunaan Penelitian………...12
1.5Kerangka Pikir………....13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stress..………….………...24
2.1.1 Pengertian stress……..……..………..24
2.1.2 Teori stress Lazarus………..………...………...25
2.1.3 Sumber stress..…...………….…..………..26
2.1.4 Reaksi terhadap stress…………...………..………..…....28
2.2 Penilaian Kognitif ……….………..………..…30
2.2.1 Penilaian Primer…….………...…………..31
2.2.2 Penilaian sekunder……….….………...32
2.2.3 Penilaian kembali………..…………..………32
2.3Derajat stress.………..……….…….……….33
2.4Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penilaian ……….34
2.5 Coping Stress .………...……….…....36
2.5.1 Pengertian Coping Stress ……… ……….…….36
2.5.2 Fungsi Coping Stress ………...37
2.5.3 Problem Focus Coping …………...………. ………….…37
2.5.4 Emotional Focus Coping ……….……….……..…38
2.5.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Coping Stress …..………40
2.5.6 Hambatan dalam Menggunakan Coping Stress………..…....….……..43
2.6 Masa Dewasa Awal…...………...44
2.6.1 Pengertian masa dewasa awal ………....44
2.6.2 Karakteristik dewasa awal………..…...……..…45
2.7.1 Pengertian masa dewasa madya ……….…46
2.7.2 Karakteristik dewasa madya ………...47
2.8 Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD)…….…………....48
2.8.1 Tugas pokok TNI AD..………..……..48
2.8.2 Strata Kepangkatan dalam TNI AD ………...………....50
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian………..……….52
3.2 Bagan prosedur penelitian ………52
3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional…………..………53
3.3.1 Variabel Penelitian……..………..53
3.3.2 Definisi konseptual……….………….53
3.3.3 Definisi Operasional…….………….………...53
3.4 Alat Ukur……...………..……….56
3.4.1 Data Pribadi dan data penunjang ……..…...………58
3.4.2 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur……..………...……59
3.4.2.1 Validitas Alat ukur..………..………...59
3.4.2.2 Reliabilitas Alat ukur..………...60
3.5 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel…...………60
3.5.1 Populasi Sasaran……...……….60
3.5.2 Karakteristik Populasi………....……….61
3.5 Teknik Analisis Data…..………...……….61
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Sampel ………62
4.1.1 Gambaran populasi berdasarkan jenis kelamin …………..…………...62
4.1.2 Gambaran populasi berdasarkan usia……..………...62
4.2 Hasil Penelitian ………63
4.3 Pembahasan ………...68
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ………71
5.2 Saran ………...72
5.2.1 Saran bagi penelitian lanjutan ………72
5.2.2 Saran guna laksana ……….…72
DAFTAR PUSTAKA………..………..74
DAFTAR RUJUKAN………..……….75
DAFTAR BAGAN
Skema 1.1 Bagan Kerangka Pemikiran………..…...14
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Tabel skor item positif dan item negatif...………..…….32
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Data penunjang
Lampiran 2 Kisi-kisi Alat Ukur Lampiran 3 Tabel Data Mentah
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Pada era globalisasi seperti sekarang ini, kedaulatan Negara Republik
Indonesia seringkali mendapat ancaman baik dari luar maupun dari dalam seperti
adanya pelanggaran batas wilayah oleh Negara lain, adanya kelompok
separatisme, terorisme, dan pemberontakan bersenjata. Tentara Nasional
Indonesia (TNI) sebagai institusi yang bertanggung jawab menyelenggarakan,
mengelola sistem dan membina kemampuan pertahanan Negara, senantiasa
menyusun dan mengoperasikan organisasi yang diharapkan mampu menjawab
tuntutan tugas yang semakin kompleks.
Agar organisasi TNI, termasuk Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat
(TNI-AD) dapat berjalan secara efektif dan efisien dibutuhkan prajurit-prajurit
yang profesional. Untuk dapat menjawab tantangan tersebut, maka diadakan
pembinaan bagi seluruh prajurit TNI-AD secara berjenjang dan berkelanjutan agar
dapat diciptakan personel yang profesional dan disiplin. Pembinaan dan
peningkatan profesionalisme prajurit harus dilakukan secara berkesinambungan,
sistematis dan terencana sesuai kebutuhan dan tuntutan tugas yang berkembang
masa kini.
Pembangunan organisasi militer sebagai institusi yang bertanggung jawab
di bidang pertahanan mempunyai suatu kekhasan tersendiri, karena organisasi
dan tujuan tertentu, dimana ketiga faktor ini saling terkait dan tidak bisa
dipisahkan. Selain itu, ada pula pedoman melaksanakan peran, fungsi, dan tugas
pokoknya dalam menjalankan strategi pertahanan negara. Dari pedoman inilah
kemudian lahir kebijakan-kebijakan, prinsip-prinsip dasar dan langkah-langkah
strategis pengelolaan sumber daya pertahanan.
Tentara Nasional Indonesia memiliki jenjang golongan kepangkatan yang
ditentukan yaitu Perwira, Bintara, dan Tamtama. Perwira merupakan strata
golongan kepangkatan diatas Bintara atau golongan tertinggi dalam tatanan
organisasi TNI/TNI AD sebagai pemimpin dan pemikir. Golongan Perwira dibagi
menjadi tiga kelompok golongan yaitu : golongan Perwira Pertama (Pama)
Golongan Perwira Menengah (Pamen), dan Golongan Perwira Tinggi (Pati).
Bintara adalah pelaksana kegiatan yang merupakan komando langsung dari
Perwira sebagai perencana, mengatur strategi-strategi, serta mengambil
keputusan. Urutan tingkat kepangkatan golongan Bintara adalah Sersan Dua,
Sersan Satu, Sersan Kepala, Sersa Mayor, Pembantu Letnan Dua, Pembantu
Letnan Satu.
Tamtama merupakan strata golongan kepangkatan terendah prajurit dalam
tatanan organisasi TNI/TNI AD sebagai prajurit pelaksana yang terpercaya
dengan keterampilan yang tinggi. Urutan tingkat kepangkatan dalam golongan
Tamtama adalah Prajurit Dua, Prajurit Satu, Prajurit Kepala, Kopral Dua, Kopral
Satu, Kopral Kepala. Tentara juga harus siap untuk bertugas selama 7 hari setiap
pendidikan Sekolah Calon Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat
(SECAPA-AD) adalah Bintara yang minimal berpangkat sersan kepala (serka).
Lembaga-lembaga pendidikan dan latihan di lingkungan TNI- AD
merupakan sumber dan wadah untuk membentuk dan mengembangkan serta
melatih dasar-dasar keterampilan prajurit sesuai bidangnya dalam rangka
pemenuhan kebutuhan organisasi. Proses pendidikan dan latihan ini merupakan
suatu tahapan dalam siklus pembinaan TNI-AD guna menyiapkan prajurit yang
profesional di bidangnya untuk dihadapkan pada lapangan penugasan. Dalam hal
ini, fungsi dan peran guru/pelatih yang professional sebagai salah satu komponen
pendidikan sangat penting dan dibutuhkan. Salah satu lembaga pendidikan dan
pelatihan bagi prajurit TNI-AD adalah SECAPA AD yang didirikan pada tanggal
8 Januari 1972, dimaksudkan sebagai wadah pembentukan Perwira-Perwira TNI-
AD disamping Akademi Militer (AKMIL).
Setiap Bintara yang memenuhi syarat akan diberi kesempatan mengikuti
seleksi pendidikan SECAPA TNI- AD untuk dapat naik tingkat menjadi Perwira
serta naik golongan. Setiap satuan akan memberikan penawaran kepada Bintara
yang sudah memenuhi syarat untuk mengikuti seleksi, kemudian saat yang
bersangkutan menyanggupi untuk mengikuti seleksi pendidikan SECAPA TNI-
AD barulah mereka akan didaftarkan. Saat mengikuti seleksi pendidikan calon
yang terdaftar biasanya mencapai lebih dari 1000 Bintara laki-laki dan perempuan
dari seluruh Indonesia, sedangkan yang diterima sekitar 250 orang saja. Oleh
tidak lulus seleksi maka Bintara dapat mengikuti seleksi lagi tahun depan, begitu
seterusnya.
Pendidikan SECAPA TNI- AD untuk wanita dilaksanakan satu kali dalam
setahun pada bulan juni sedangkan untuk pria diadakan dua kali dalam setahun
yaitu pada bulan Januari-Juli dan Juni-November. Untuk dapat lulus seleksi
pendidikan SECAPA TNI- AD, anggota tentara yang berpangkat Bintara harus
memenuhi setiap persyaratan yang ditentukan, yaitu masa kerja sebagai bintara
minimal selama 5 tahun, memenuhi kelengkapan administrasi, tidak pernah
melakukan pelanggaran seperti tidak masuk kerja tanpa izin, mabuk-mabukan,
dan lain sebagainya, lulus ujian akademik, psikotest, jasmani, pengetahuan umum
dan kesehatan. Waktu pendidikan SECAPA TNI- AD berlangsung selama 9
bulan.
Satuan masing-masing akan mengajukan setiap Bintara yang memenuhi
syarat mengikuti pendidikan SECAPA TNI-AD tersebut minimal 1 bulan sebelum
seleksi diadakan. Para Bintara biasanya sudah dapat memprediksi kapan ia akan
diberi surat perintah untuk mengikuti seleksi pendidikan SECAPA TNI- AD satu
tahun sebelumnya sehingga ia bisa mempersiapkan diri dan berlatih. Seorang
Bintara harus mengikuti ujian seleksi SECAPA TNI- AD untuk dapat naik
pangkat terkecuali Bintara yang sakit atau hamil. Bintara dapat menolak perintah
untuk mengikuti seleksi SECAPA TNI-AD namun akan dikenakan sanksi,
biasanya tidak ada anggota TNI-AD yang akan menolak setiap tugas yang
ditujukan kepadanya karena itu merupakan perintah yang harus dijalankan.
dikarenakan sakit atau hamil maka yang bersangkutan harus membuat surat ijin
yang diketahui dan ditandatangani oleh pimpinan satuannya.
Sejak tahun 2011 ada peraturan baru bagi para peserta seleksi SECAPA-
TNI AD yang lebih menekankan pada penilaian aspek fisik. Pada peraturan
sebelumnya, penilaian aspek fisik hanya sekitar 40 % dan untuk memperoleh nilai
yang baik termasuk mudah karena dibantu oleh pengujinya. Sekarang penilaian
fisik diubah menjadi 60 % dari bobot penilaian, dan seleksinya menjadi lebih
ketat, perubahan ini merupakan suatu tantangan yang dirasakan cukup
memberatkan bagi para peserta seleksi pendidikan SECAPA TNI- AD. Dulu para
peserta seleksi cenderung tidak terlalu terbebani untuk melewati tahap penilaian
fisik tersebut. Para peserta harus mampu berenang gaya dada 50 meter, nilai
minimal 65 pada test fisik. Pada pemeriksaan postur tubuh (berat badan, tinggi
badan, dan bentuk badan), bila postur tubuh bintara tidak memenuhi syarat akan
diberikan toleransi lulus apabila penilaian fisik diatas 70.
Berdasarkan hasil wawancara pada bintara yang telah mengikuti seleksi
pendidikan SECAPA TNI- AD, pengawasan oleh komandan satuan saat menjalani
test menjadi hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan calon peserta didik.
Mereka pada umumnya merasa khawatir dan takut gagal saat test dilihat oleh
pimpinan dan malu apabila tidak bisa. Hal tersebut dirasa memberikan tekanan
tersendiri bagi para bintara yang akan mengikuti seleksi SECAPA TNI-AD. Para
Bintara harus melewati tiga tahapan seleksi yaitu seleksi tingkat satuan, daerah,
serta tingkat pusat untuk dapat lulus SECAPA TNI-AD. Persaingan dengan
tugasnya tanpa mengenal waktu merupakan situasi-situasi yang dapat
menimbulkan beban mental pada bintara yang mengikuti seleksi pendidikan
SECAPA TNI- AD.
Stress terjadi pada individu jika terdapat tuntutan yang melampaui sumber
daya yang dimilikinya untuk melakukan penyesuaian diri. Menurut Lazarus dan
Folkman (1984), stress adalah hubungan spesifik antara individu dan lingkungan
yang dinilai oleh individu sebagai tuntutan atau melebihi sumber dayanya dan
membahayakan keberadaannya. Dalam menghadapi situasi yang menimbulkan
stress, reaksi setiap individu berbeda-beda. Lazarus (1984) membagi reaksi
terhadap stress ini menjadi empat kategori, yaitu reaksi kognitif seperti sulit
berkonsentrasi dan gangguan berpikir; reaksi fisiologis seperti meningkatnya
tekanan darah dan denyut jantung, serta penurunan metabolisme tubuh, sulit
berkonsentrasi dan gangguan berpikir; reaksi emosi seperti mudah marah, takut,
cemas, dan tidak sabar; dan reaksi tingkah laku seperti menurunnya produktivitas
kerja dan ketidakpuasan dalam bekerja. Dari reaksi yang dimunculkan individu,
dapat diketahui bagaimana individu menghayati stress yang mereka alami, apakah
derajat stressnya rendah atau tinggi. Bintara yang menghayati stress yang ia alami
tinggi ditandai dengan munculnya banyak reaksi atau respon terhadap stress baik
dari reaksi kognitif, tingkah laku, emosi, maupun fisiologis, sedangkan Bintara
yang menghayati stress yang ia alami rendah ditandai dengan sedikitnya reaksi
yang ditimbulkan terhadap stress, baik dari reaksi kognitif, tingkah laku, emosi,
Stress juga dapat terjadi di lingkungan kerja TNI-AD, termasuk para
Bintara yang akan mengikuti seleksi pendidikan SECAPA TNI-AD yang dituntut
untuk selalu berdisiplin tinggi, patuh pada peraturan yang berlaku dan tunduk
pada perintah atasan, serta harus cepat dan tanggap dalam menghadapi suatu
masalah. Stress pada diri Bintara dapat berupa kondisi fisik mereka yang mungkin
dapat mempengaruhi performance mereka saat test seperti rasa lelah akibat
berlatih dan tetap bekerja setiap harinya serta sanksi yang berlaku di TNI-AD,
perubahan peraturan yang setiap saat dapat terjadi, dan standart yang lebih tinggi
untuk dapat lulus seleksi. Namun, masing-masing Bintara memiliki penghayatan
yang berbeda-beda terhadap derajat stress yang mereka alami. Hal ini tergantung
pada persepsi Bintara, bagaimana Bintara mengenali, mengorganisasi, serta
memahami tuntutan yang ada khususnya saat test Secapa TNI-AD. Oleh karena
itu, peneliti melakukan wawancara terhadap 10 orang Bintara yang bertugas di
Seskoad.
Berdasarkan hasil wawancara 7 dari 10 orang merasakan khawatir, cemas,
sakit perut, ingin buang air kecil, pusing/ migrain saat mendekati waktu ujian.
Sebanyak 4 dari 10 orang mengalami kesulitan dalam menjalankan peran mereka
sebagai Bintara dalam membagi waktu antara tuntutan pekerjaan yang harus
dilakukan dengan latihan fisik serta belajar yang baik agar berhasil lulus dalam
seleksi.
Sebanyak 7 dari 10 orang merasa aturan baru yang lebih mengedepankan
aspek penilaian fisik cukup membebani. Empat orang Bintara menyempatkan
bintara yang tidak bisa berenang merasa cemas dan mulai belajar renang, mereka
mengikuti kursus berenang atau belajar renang pada teman yang sudah bisa
renang, sedangkan 6 orang bintara yang sudah bisa berenang rutin melatih
keterampilan berenangnya satu sampai tiga kali seminggu selama beberapa jam
saat mendekati waktu seleksi pendidikan SECAPA TNI AD. Para Bintara akan di
test berenang menggunakan pakaian seragam TNI lengkap dengan sepatunya. Hal
ini menjadi tantangan tersendiri bagi Bintara untuk tetap menjaga tubuhnya agar
tidak tenggelam saat berenang.
Berdasarkan hasil wawancara pada 10 orang bintara, 6 orang berkeluh
kesah kepada rekan kerja, teman, atau keluarganya mengenai aturan baru seleksi
pendidikan SECAPA TNI AD, mereka merasa khawatir tidak bisa lulus seleksi.
Sebanyak 1 orang bintara mengetahui aturan baru tersebut namun tidak
melakukan apa-apa hanya pasrah dan berlatih sebisanya. Tiga orang bintara yakin
bahwa mereka tetap bisa lulus pendidikan SECAPA TNI AD karena mereka
terbiasa melakukan kegiatan fisik sehingga hanya jika ada waktu saja melatih fisik
mereka. Lima orang dari mereka merasa sulit untuk meluangkan waktu sepulang
kerja dan suka menunda-nunda untuk berlatih fisik maupun belajar teori dan
pengetahuan militer sepulang jam kantor, dan biasanya mereka melakukan
kegiatan lain seperti tidur, menonton televisi, berkumpul dengan teman atau rekan
kerja, dan jalan-jalan padahal mereka mengetahui betapa pentingnya latihan fisik
dan belajar teori untuk mempersiapkan diri mengikuti seleksi Pendidikan
Ketika Bintara berada dalam keadaan stress, produktivitas kerja mereka
akan terganggu dan mereka akan kesulitan untuk latihan secara rutin, seperti
Bintara menjadi tidak fokus dalam bekerja, sering izin sakit atau datang terlambat,
maka dari itu penting sekali untuk menanggulangi stress yang mereka rasakan.
Lazarus dan Folkman (1984) memaparkan bahwa untuk mengatasi stress
seseorang membutuhkan suatu cara penanggulangan yang disebut sebagai coping
stress. Lazarus dan Folkman (1984) mengatakan bahwa coping stress memiliki
dua fungsi yaitu untuk mengatur respons emosional negatif (emotion focus
coping) dan untuk mengelola atau mengubah keadaan yang menyebabkan
perasaan stress (problem focus coping).
Problem focus coping merupakan strategi kognitif yang berfokus pada
penyelesaian masalah yang dihadapi sehingga dapat menghilangkan
kondisi-kondisi yang menimbulkan stress. Jika bintara menggunakan problem focus
coping maka ia akan berlatih dengan giat, mempelajari bahan-bahan test yang
belum ia pahami, membentuk kelompok untuk berlatih bersama sehingga dapat
lulus test dengan nilai yang baik. Emotion focus coping merupakan strategi
penanggulangan stress berfokus pada peregulasian emosi dengan cara mengatur
emosinya agar menyesuaikan diri terhadap dampak dari hal-hal yang
menimbulkan stress, biasanya menggunakan penilaian defensif atau mekanisme
pertahanan tanpa menyelesaikan sumber dari masalah yang dihadapinya. Bintara
yang menggunakan emotion focus coping akan bercerita pada orang lain tentang
memilih melakukan hal-hal lain untuk melupakan sejenak stressnya, dan lebih
mendekatkan diri pada Tuhan.
Menurut Lazarus & Folkman (1984), terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi keberhasilan penggunaan coping yaitu kesehatan dan energi,
keterampilan memecahkan masalah, keyakinan diri yang positif, dukungan sosial,
dan sumber daya material. Kesehatan dan energi adalah sumber fisik yang sering
dapat mempengaruhi upaya menangani atau menanggulangi masalah, individu
lebih mudah menanggulangi upaya jika ia memiliki kondisi tubuh yang sehat,
pada Bintara contohnya seperti seringnya Bintara latihan, atau seringnya izin sakit
atau tidak. Keterampilan memecahkan masalah termasuk kemampuan untuk
mencari informasi, menganalisa situasi dengan tujuan mengidentifikasi masalah
dalam rangka mengembangkan dan mempertimbangkan alternatif tindakan,
melakukan antisipasi dari suatu alternatif, serta memilih mengimplementasikan
rencana tersebut pada suatu bentuk tindakan untuk dapat mengatasi stress yang
mereka alami seperti Bintara secara aktif mencari tahu test apa saja yang akan
diujikan, membentuk kelompok belajar dan lain-lain..
Keyakinan diri yang positif yaitu melihat diri sendiri secara positif dapat
menjadi sumber psikologis yang sangat penting untuk coping stress. Pemikiran
yang positif bahwa seseorang dapat mengontrol sesuatu, serta belief yang positif
akan keadilan, kebebasan, maupun Tuhan juga menjadi sumber-sumber yang
penting seperti Bintara yakin dapat lulus seleksi dengan nilai yang baik.
Dukungan sosial tidak hanya mengacu pada jumlah teman yang dimiliki untuk
kepuasan yang didapat atau dirasakan individu dari dukungan-dukungan yang
diberikan seperti dukungan yang diberikan oleh keluarga pada Bintara saat akan
test seleksi. Sumber daya material mengacu pada ketersediaannya uang dalam
memperoleh atau mendapatkan barang maupun jasa yang diinginkan oleh individu
seperti tersedianya fasilitas berenang, lari dan perpustakaan..
Berdasarkan hasil wawancara, empat dari sepuluh Bintara SESKOAD
berusaha untuk belajar dan berlatih lebih keras dengan bertanya pada orang yang
dianggap dapat membantu mereka seperti pada atasan dan rekan kerja yang sudah
pernah mengikuti ujian seleksi SECAPA AD, mereka yakin dapat lulus seleksi,
mengatur jadwal agar waktu istirahat dan berlatih tidak mengganggu waktu
bekerja. Dengan kata lain keempat Bintara tersebut menggunakan coping stress
dengan strategi fokus pada penyelesaian masalah atau menggunakan problem
focus coping. Sedangkan enam Bintara lainnya memilih untuk menfokuskan pada
pengendalian emosi dan perasaan atau emotion focus coping dengan menceritakan
masalah-masalahnya pada rekan kerja, orang tua, dan orang-orang terdekatnya
untuk meredakan emosi yang mereka alami, memilih untuk melupakan atau
menghindari perasaan stress yang dialami dengan melakukan hal-hal yang disukai
seperti melakukan hobi; makan, tidur, atau menonton televisi.
Dengan melihat hal tersebut, peneliti tertarik untuk melihat lebih jauh
bagaimana coping stress yang dimiliki oleh Bintara SESKOAD yang akan
1.2Identifikasi Masalah
Dari penelitian ini, peneliti ingin mengetahui gambaran tentang coping
stress Bintara SESKOAD yang akan mengikuti seleksi pendidikan SECAPA
TNI-AD.
1.3Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tentang
coping stress Bintara SESKOAD yang akan mengikuti seleksi pendidikan
SECAPA TNI-AD.
1.3.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran obyektif
mengenai coping stress Bintara Seskoad yang akan mengikuti seleksi
pendidikan SECAPA TNI-AD, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. 1.4Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Ilmiah
- Memberikan informasi tambahan bagi bidang Psikologi khususnya
Psikologi Klinis dan Psikologi Organisasi tentang coping stress Bintara
SESKOAD yang akan mengikuti seleksi pendidikan SECAPA TNI AD.
- Selanjutnya dapat pula digunakan sebagai bahan pertimbangan dan
1.4.2 Kegunaan Praktis
- Memberi informasi kepada Dinas Psikologi Angkatan Darat (Dispsiad)
tentang coping stress Bintara SESKOAD yang akan mengikuti seleksi
pendidikan SECAPA TNI-AD sehingga diharapkan Dispsiad dapat
memberikan bimbingan bagi para Bintara untuk dapat menghadapi
rintangan-rintangan yang dapat menimbulkan stress untuk meningkatkan
kinerja mereka.
1.5 Kerangka Pemikiran
Pada masa dewasa awal dimulai pada saat individu berusia 20-40 tahun
merupakan usia yang produktif, mandiri secara ekonomi dan dalam membuat
keputusan, usia ini merupakan puncak dari kesehatan paling baik sepanjang
rentang kehidupan. Pada usia dewasa madya kebanyakan individu juga masih
bekerja secara aktif. Perubahan fisik pada masa middle age ( 40-60 tahun)
biasanya bertahap, perubahan fisik ini sangat beragam antara satu dengan yang
lain. Faktor genetis dan gaya hidup memainkan peranan penting terhadap
munculnya penyakit kronis dan kapan pemunculannya. Kondisi fisik tidak hanya
mencapai puncaknya pada awal masa dewasa, tetapi juga mulai menurun selama
periode ini dikarenakan stress yang dihadapi. Tidak terkecuali individu yang
bekerja sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), sangat tidak mudah
untuk dapat masuk menjadi anggota TNI dan banyak tugas-tugas Negara yang
Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan suatu organisasi yang
berfungsi untuk menjaga kedaulatan bangsa dan Negara, sedangkan TNI-AD
khusus menjaga kedaulatan Republik Indonesia di darat . Agar fungsi tersebut
berjalan dengan baik, organisasi harus diawaki oleh para prajurit TNI-AD
professional. Untuk dapat menjadi prajurit TNI-AD sangatlah tidak mudah,
seseorang harus mengikuti dan lulus beberapa tahapan test dan berbagai macam
jenis test. Saat telah menjadi bagian di dalam TNI-AD pun seorang prajurit
dituntut untuk selalu dapat mengembangkan diri. Oleh karena itu, banyak Bintara
yang berniat untuk menjadi perwira AD melalui pendidikan SECAPA
TNI-AD, untuk dapat dididik dan dilatih menjadi prajurit yang professional.
SECAPA TNI-AD adalah lembaga pendidikan khusus Bintara berpangkat
minimal Serka yang akan dilantik menjadi Perwira setelah mereka mengikuti dan
lulus pendidikan selama 9 bulan. Sedangkan seleksi masuk SECAPA TNI-AD
sendiri berlangsung selama kurang lebih satu minggu. Umumnya para Bintara
sudah dapat memperkirakan kapan mereka akan diajukan untuk dapat mengikuti
seleksi SECAPA TNI-AD sehingga mereka dapat mempersiapkan diri sebaik
mungkin agar dapat lulus seleksi. Namun, pekerjaan sehari-hari mereka membuat
mereka kurang memiliki waktu untuk melakukan persiapan ujian SECAPA TNI-
AD secara optimal, apalagi mereka dituntut untuk setiap saat harus siap menerima
perintah pimpinan. Bukan hanya itu, sejak satu tahun yang lalu ada peraturan
baru yang lebih menekankan pada aspek penilaian fisik yang meliputi penilaian
Bintara yang akan mengikuti seleksi ujian SECAPA TNI-AD mampu berenang
gaya dada sejauh 50 meter secara non stop.
Seorang Bintara juga harus lulus materi ujian yang lain dari aspek
intelektual, mental ideologi, dan psikologi. Saat akan mengikuti seleksi SECAPA
TNI-AD, calon siswa akan diawasi oleh komandan, mereka juga harus
memperoleh nilai minimal 65 pada test fisik, melakukan test pemeriksaan postur
tubuh, psikotest, dan akademis. Hal ini tentu akan menimbulkan stres tersendiri
pada para Bintara. Bintara yang akan mengikuti seleksi pendidikan juga
mengalami stress dalam menjalankan peran mereka sebagai prajurit TNI-AD serta
saat persiapan mengikuti pendidikan SECAPA TNI-AD. Stress juga dapat terjadi
di lingkungan kerja TNI AD dimana para prajuritnya dituntut untuk selalu
berdisiplin tinggi, patuh pada peraturan yang berlaku dan tunduk pada perintah
atasan, serta harus cepat dan tanggap dalam menghadapi setiap masalah yang
berkaitan dengan peran dan fungsinya. Kondisi seperti ini dapat menjadi pemicu
timbulnya stress pada diri para bintara tersebut.
Menurut Lazarus dan Folkman (1984), stress adalah hubungan spesifik
antara individu dan lingkungan yang dinilai oleh individu sebagai tuntutan atau
melebihi sumber dayanya dan membahayakan keberadaannya. Lazarus dan Cohen
(1979) mengidentifikasi tiga kategori dari stresor (penyebab stress) yaitu
cataclysmic stressor (kejadian yang berdampak pada beberapa orang atau seluruh
komunitas dalam waktu yang sama seperti bencana alam), personal stressor
(stressor yang mempengaruhi secara individual) seperti berbagai macam test
(stressor yang merupakan masalah sehari-hari dalam kehidupan), pada Bintara
yang akan mengikuti seleksi SECAPA TNI-AD misalnya lingkungan kerja yang
kurang mendukung persiapannya secara optimal untuk mengikuti ujian seleksi
pendidikan SECAPA TNI-AD.
Pemaknaan kejadian sebagai sesuatu yang stressful tergantung pada faktor
individu atau internal dan faktor situasi atau eksternal (Cohen&Lazarus, 1983;
Lazarus&Folkman, 1984). Faktor individu adalah faktor yang terdapat dalam diri
individu yang dapat menyebabkan stres seperti intelektual, motivasi, dan
karakteristik kepribadian, sedangkan faktor lingkungan adalah faktor yang berasal
dari lingkungan luar individu yang dapat menyebabkan stress seperti lingkungan
keluarga dan lingkungan kerja. Penghayatan akan derajat stress yang dialami
setiap Bintara berbeda-beda. Ini tergantung bagaimana persepsi bintara menilai
stressor-stressor tersebut sebagai suatu tantangan atau sebagai sesuatu yang
mengancam. Penilaian ini disebut sebagai penilaian kognitif atau cognitive
appraisal (Lazarus, 1984). Penilaian kognitif ini akan menentukan apakah
tuntutan dari lingkungan atau pekerjaan akan melampaui kemampuan yang
dimiliki oleh seorang Bintara sehingga dapat menentukan apakah Bintara tersebut
merasa stress atau tidak, apakah derajat stress yang dialami bintara derajatnya
tinggi, moderat, atau rendah. Bintara yang menghayati stress yang ia alami tinggi
ditandai dengan munculnya banyak reaksi atau respon terhadap stress baik dari
reaksi kognitif, tingkah laku, emosi, fisiologis maupun kognitif. Reaksi kognitif
ditandai dengan sulit berkonsentrasi dan gangguan berpikir. Reaksi fisiologis
gangguan/ penyakit pada tubuh seperti sakit kepala, sakit perut, menyempitnya
pembuluh darah seperti cepat lelah, dan otot-otot semakin tegang. Reaksi emosi
ditandai dengan mudah marah, takut, cemas, depresi dan tidak sabar. Reaksi
tingkah laku ditandai dengan menurunnya produktifitas kerja, tidak termotivasi
untuk bekerja dan ketidakpuasan dalam bekerja serta adanya keinginan untuk
melawan atau menghindari stresor.
Penilaian kognitif juga mempengaruhi Bintara yang akan mengikuti
seleksi pendidikan SECAPA TNI-AD untuk menanggulangi stresnya. Penilaian
ini memiliki beberapa tahap yaitu penilaian primer (primary appraisal), penilaian
sekunder (secondary appraisal) dan penilaian kembali (reappraisal). Pada
primary appraisal , Bintara akan melakukan evaluasi terhadap tuntutan dan
kewajibannya sebagai anggota TNI-AD dan dalam rangka persiapan seleksi
SECAPA TNI-AD lalu menentukan kedalam tiga kategori yaitu Irrelevant, benign
positive appraisal, dan stressful appraisal.
Bintara yang mengevaluasi tuntutannya untuk mengikuti seleksi SECAPA
TNI-AD dan kewajibannyanya sebagai anggota TNI-AD merupakan sesuatu yang
irrelevant akan beranggapan bahwa kewajiban dan tuntutan yang diberikan
merupakan suatu hal yang tidak penting dan cenderung memiliki derajat stress
yang rendah. Bintara yang mengevaluasi tuntutan dan kewajibannya sebagai
benign positive appraisal akan menganggap bahwa kewajiban dan tuntutan yang
diberikan merupakan hal yang positif dan cenderung memiliki derajat stress yang
moderat. Sedangkan Bintara yang mengevaluasi sebagai stressful appraisal
atau ancaman bagi kehidupannya. Bintara yang mengevaluasi kewajiban dan
tuntutan tugasnya sebagai sesuatu yang stressful appraisal cenderung memiliki
derajat stress yang tinggi. Semakin sedikit reaksi stress yang muncul pada Bintara
maka derajat stressnya akan semakin rendah, begitupun sebaliknya, semakin
banyak reaksi stress yang muncul maka derajat stressnya akan semakin tinggi..
Bintara yang mengevaluasi kewajiban dan tuntutannya sebagai beban
(stressful appraisal) akan melakukan secondary appraisal. Secondary appraisal
dilakukan untuk menentukan apa yang harus dilakukan untuk meredakan stress
yang sedang dihadapi. Pada penilaian primer dan sekunder ini lebih didasarkan
pada penilaian subjektif bintara terhadap dirinya sendiri dan situasi yang sedang
dihadapinya. Stresor merupakan suatu kondisi yang menunjang timbulnya
penghayatan stress yang berkelanjutan, stress yang berkelanjutan tersebut akan
menimbulkan reaksi-reaksi tertentu, dan reaksi-reaksi tersebut dikelompokkan
menjadi empat macam yaitu Reaksi kognitif, reaksi fisiologis, yang berpengaruh
pada kesehatan fisik individu seperti masalah pada sistem kekebalan tubuh,
migrain, diare, dan penyakit lainnya yang muncul akibat stres; Reaksi emosi,
adanya gangguan psikologis seperti kemarahan, kecemasan, depresi, ketegangan,
dan lain-lain; Reaksi tingkah laku, terlihat dari tingkah laku yang dimunculkan
oleh individu antara lain, susah tidur, susah atau berlebihan makan, banyak
merokok, menghindari pekerjaan, agresif dan lain sebagainya. Seorang Bintara
dapat memunculkan salah satu, dua, tiga, atau bahkan keempat reaksi stress
Bintara akan memilih cara yang menurutnya paling efektif untuk
meredakan situasi stress yang dialaminya. Baik pada primary appraisal maupun
secondary appraisal, lebih didasari pada penilaian subjektif dari Bintara terhadap
dirinya sendiri dan juga terhadap situasi yang sedang mereka hadapi. Hasil yang
diperoleh dari penilaian-penilaian Bintara inilah yang nantinya dapat menentukan
coping stress yang akan mereka gunakan.
Lazarus (1984) memaparkan bahwa untuk mengatasi stress yang dialami
oleh seseorang, dibutuhkan suatu cara penanggulangan yang disebut sebagai
coping stress. Coping stress merupakan suatu perubahan kognitif dan tingkah laku
yang berlangsung secara terus menerus sebagai usaha individu untuk mengatasi
tuntutan eksternal dan internal yang dianggap sebagai beban yang melebihi
sumberdayanya serta membahayakan keberadaannya.
Lazarus (1984) membagi coping stress sesuai dengan jenis tujuannya yaitu
untuk mengatur respons emosional negatif (emotion focus coping) dan untuk
mengelola atau mengubah keadaan yang menyebabkan stress (problem focus
coping). Problem focus coping merupakan coping yang berfokus pada
penyelesaian masalah yang dihadapi berupa strategi kognitif sehingga dapat
menghilangkan kondisi-kondisi yang menimbulkan stress. Terdapat dua bentuk
problem focus coping¸ yang pertama yaitu planful problem solving dimana
Bintara berusaha untuk mengubah keadaan secara hati-hati dengan menganalisis
masalah yang dihadapi, membuat perencanaan pemecahan masalah, lalu memilih
untuk mengatasi keadaan yang menekan dirinya. Bintara yang menggunakan
problem focus coping akan berusaha untuk belajar dan berlatih lebih keras,
berusaha mencari alternatif pemecahan masalah, dan tetap menjalankan tugasnya
sebagai seorang prajurit TNI-AD, serta mengatur jadwal sehingga lebih teratur
dan tertata.
Coping stress yang kedua adalah emotion focus coping, dimana strategi
penanggulangan stress berfokus pada peregulasian emosi dengan cara mengatur
emosinya agar menyesuaikan diri terhadap dampak dari hal-hal yang
menimbulkan stress, biasanya menggunakan penilaian defensif atau mekanisme
pertahanan tanpa menyelesaikan sumber dari masalah yang dihadapinya.
Emotional focus coping memiliki enam bentuk, yang pertama adalah distancing.
Distancing yaitu strategi dimana Bintara berusaha melepaskan diri dan mengambil
jarak dengan masalah yang dihadapi dengan menganggap ringan permasalahan
yang dihadapinya. Sebagai contoh, ketika Bintara memiliki masalah dengan
atasannya, ia akan menjaga jarak dengan atasan nya tersebut, hal ini akan
mempengaruhi tugas dan peran nya sebagai prajurit TNI. Bentuk yang kedua yaitu
escape-avoidance yang berupa strategi dimana berusaha menghindari atau
melarikan diri dari permasalahannya dengan cara melakukan kegiatan-kegiatan
yang disukanya seperti melakukan hobi, makan, tidur, atau bahkan meminum obat
penenang. Bentuk ketiga yaitu positive appraisal berupa strategi dimana Bintara
akan berusaha untuk menciptakan makna positif yang lebih ditujukan untuk
Bentuk keempat self-control yaitu strategi dimana Bintara berusaha untuk
meregulasi perasaan maupun tindakan yang akan diambil dengan cara menahan
diri dan tidak terbawa perasaan. Bentuk kelima seeking social support, yaitu
strategi dimana Bintara berusaha mencari dukungan dari pihak-pihak diluar
dirinya seperti teman, rekan kerja atau orangtua berupa nasehat ataupun informasi.
Bentuk yang terakhir accepting responsibility, yaitu strategi dimana Bintara sadar
akan perannya dan bertanggungjawab dalam permasalahan yang dihadapinya dan
mencoba memperjelas dan menerima masalahnya secara objektif dengan tetap
menjalankan tugasnya sebagai prajurit TNI-AD. Bintara yang menggunakan
emotion focus coping menfokuskan pada pengendalian emosi dan penghayatan
stress mereka dengan menceritakan masalah-masalahnya pada rekan kerjanya,
orang tua, dan orang-orang terdekatnya, memilih untuk menghilangkan stress
yang dialami dengan melakukan hal-hal yang disukai seperti melakukan hobi,
makan, tidur, atau menonton televisi.
Tuntutan serta tugas yang dapat memicu stress (stressor) yang dihadapi
oleh Bintara SESKOAD perlu segera diatasi dengan berbagai strategi coping, baik
dengan menggunakan problem focus coping ataupun emotional focus coping agar
tidak menimbulkan stress yang berkepanjangan dan tidak mengganggu
Skema 1.1 Skema kerangka pikir
3. Positive Appraisal 4. Self Control 5. Accepting
Responsibility 6. Seeking Social
Support
1. Planful Problem Solving
2. Confrontative coping
- Kesehatan dan energi
- Keterampilan
memecahkan masalah
- Keyakinan diri yang positif
- Dukungan sosial
- Sumber daya material Test seleksi
Secapa TNI-AD
1.6 Asumsi
1. Kewajiban dan tuntutan ujian seleksi pendidikan SECAPA TNI-AD dapat
menimbulkan stress pada Bintara SESKOAD.
2. Untuk meredakan stress yang dialami, Bintara Seskoad melakukan coping.
3. Coping stress yang dilakukan oleh Bintara Seskoad dibagi menjadi dua
jenis yaitu problem focus coping dan emotional focus coping. Bintara
dapat menggunakan kedua bentuk coping stress tersebut.
4. Coping stress dipengaruhi oleh faktor internal seperti kesehatan dan energi
yang dimiliki Bintara Seskoad, keterampilan memecahkan masalah,
keyakinan diri yang positif, dan keterampilan sosial yang adekuat, selain
itu juga dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti dukungan sosial dan
sumber material.
5. Coping stress yang efektif digunakan oleh Bintara Seskoad adalah
problem focus coping karena Bintara menyelesaikan masalah yang ia
hadapi bukan hanya sekedar meregulasi emosinya.
6. Bintara Seskoad mungkin dapat menggunakan kedua jenis coping stress
2.1. Stress
2.1.1. Pengertian Stress
Stress berasal dari bahasa latin “stingere” yang berarti keras (stictus), yang
pada akhirnya istilah itu berkembang terus menjadi Stress (Cox, 1978). Pada abad
17, istilah Stress diartikan sebagai kesukaran, kesulitan, atau penderitaan.
Selanjutnya pada abad 18, Stress digunakan untuk menunjukkan kekuatan,
tekanan, ketegangan atau usaha yang keras yang ditunjukkan pada benda-benda
atau manusia, terutama untuk kekuatan mental atau organ manusia (Cooper,
Cooper & Eaher, 1988).
Stress sebagai proses yang melibatkan stressor dan strain dan
menambahkan dimensi yang penting yaitu hubungan antara individu dan
lingkungan. Proses ini merupakan interaksi dan penyesuaian yang
berkesinambungan dan disebut sebagai transaksi antara individu dan lingkungan
yang dipengaruhi dan mempengaruhi satu sama lain. Menurut pendekatan ini,
Stress tidak hanya berperan sebagai stimulus atau respon saja, tetapi suatu proses
yang menempatkan individu sebagai agen aktif yang dapat mempengaruhi akibat
yang disebabkan oleh stressor melalui tingkah laku, kognisi, dan strategi
emosional yang disebut sebagai model pendekatan interaksional (Aldwin,
1994;DeLongis & O’Brien, 1990; Folkman, Lazarus, Dunkel-Schetter,
Individu dan lingkungan Menurut Lazarus & Folkman (1976), Stress
adalah hubungan spesifik antara individu dan lingkungan yang dinilai individu
sebagai tuntutan atau melebihi sumber dayanya dan membahayakan
keberadaannya.
2.1.2 Teori Stress Lazarus
Lazarus (1976) berpendapat Stress terjadi jika seseorang mengalami
tuntutan yang melampaui sumber daya yang dimilikinya untuk melakukan
penyesuaian diri, hal ini berarti bahwa kodisi Stress terjadi jika terdapat
kesenjangan atau ketidakseimbangan antara tuntutan dan kemampuan. Tuntutan
adalah sesuatu yang jika tidak dipenuhi akan menimbulkan konsekuensi yang
tidak menyenangkan bagi individu. Jadi Stress tidak hanya bergantung pada
kondisi eksternal melainkan juga tergantung mekanisme pengolahan kognitif
terhadap kondisi yang dihadapi indiidu bersangkutan. Tuntutan-tuntutan tersebut
dapat dibedakan dalam 2 bentuk, yakni :
1) Tuntutan internal yang timbul sebagai tuntutan biologis. Berupa
kebutuhan-kebutuhan, nilai-nilai, dan kepuasan yang ada pada diri individu
2) Tuntutan eksternal yang muncul dalam bentuk fisik dan sosial. Tuntutan
eksternal dapat merefleksikan aspek-aspek yang berbeda dari pekerjaan
seseorang, seperti tugas-tugas yang diberikan dan bagaimana cara
menyelesaikan tugas tersebut, lingkungan fisik, lingkungan psikososial dan
2.1.3 Sumber Stress
Untuk lebih memahami Stress, maka perlu dikenali terlebih dahulu
penyebab Stress yang biasa disebut dengan istilah stressor. Lazarus dan Cohen
(1979) mengidentifikasikan kategori dari stressor, yaitu :
1. Cataclysmic Stresssor
Istilah ini mengacu pada perubahan besar atau kejadian yang berdampak
yang beberapa orang atau seluruh komunitas dalam waktu yang sama,
serta diluar kendali siapapun. Contohnya bencana alam (gempa bumi,
badai), perang, dipenjara dan sebagainya. Pada Stressor, individu
seringkali menemukan banyak dukungan dan sumber daya yang dapat
digunakan untuk membandingkan perilaku dari orang lain.
2. Personal Stresssor
Yaitu Stressor yang mempengaruhi secara individual. Stressor ini dapat
atau tidak dapat diprediksi, akan tetapi memiliki pengaruh yang kuat dan
membutuhkan upaya coping yang cukup besar dari seseorang seperti
mendeerita penyakit yang mematikan, dipecat, bercerai, kematian orang
yang dicintai, dan sebagainya. Stressor ini seringkali lebih sulit
ditanggulangi daripada cataclysmic Stresssor karena kurangnya dukungan
dari individu lain yang memiliki nasib yang sama.
3. Background Stresssor
Yaitu Stressor yang merupakan “masalah sehari-hari” dalam kehidupan.
dapat mengganggu dan menimbulkan stress negatif pada individu (Lazarus
& Folkman, 1984) seperti contohnya mempunyai banyak tanggung jawab,
merasa kesepian, beradu argument dengan pasangan, dan sebagainya.
Walaupun masalah sehari-hari tidak seberat perubahan besar dalam hidup
seperti perceraian, kemampuan untuk bisa beradaptasi dengan masalah
sehari-hari tersebut menjadi sangat penting dan hal ini juga berkaitan
dengan masalah kesehatan (Lazarus & Folkman, 1984).
Lazarus (1976) membagi Stress ke dalam beberapa sumber, yaitu :
1. Frustasi, yang akan muncul apabila usaha yang dilakukan individu untuk
mencapai suatu tujuan mendapat hambatan atau kegagalan. Hambatan ini
dapat bersumber dari lingkungan maupun dari dalam diri individu itu
sendiri.
2. Konflik, Stress akan muncul apabila individu dihadapkan pada keharusan
memilih satu di antara dua dorongan atau kebutuhan yang berlawanan atau
yang terdapat pada saat yang bersamaan.
3. Tekanan, Stress juga akan muncul apabila individu mendapat tekanan atau
paksaan untuk mencapai hasil tertentu dengan cara tertentu. Sumber
tekanan dapat berasal dari lingkungan maupun dari dalam diri individu
yang bersangkutan.
4. Ancaman, antisipasi individu terhadap hal-hal atau situasi yang merugikan
atau tidak menyenangkan bagi dirinya juga merupakan suatu yang dapat
Faktor-faktor yang menjadi sumber munculnya stress disebut Stressor.
Pada dasarnya keadaan stress yang dihadapi sama namun penghayatan derajat
stress berbeda-beda antara individu yang satu dengan yang lainnya. Hal ini
disebabkan karena adanya penilaian kognitif dalam diri individu yang akan
memberi bobot pada keadaan atau situasi stress yang dialami, dimana keadaan
tersebut dihayati sebagai suatu keadaan yang mengancam atau tidak bagi individu
yang bersangkutan.
2.1.4 Reaksi terhadap Stress
Ketika menghadapi suatu situasi yang dapat menimbulkan stress, reaksi
setiap individu berbeda-beda. Beberapa respon ini merupakan reaksi yang tidak
disadari, sedangkan sebagian lagi disadari oleh individu untuk segera melakukan
coping. Lazarus (1984) membagi reaksi-reaksi ini kedalam 4 kategori yaitu:
1. Reaksi Kognitif
Reaksi kognitif terhadap stress meliputi hasil proses appraisal seperti
adanya keyakinan mengenai bahaya atau ancaman yang terkandung dalam
suatu kejadian atau keyakinan mengenai penyebabnya. Respon kognitif
juga memasukkan respon stress tidak sadar seperti membuat jarak,
ketidakmampuan konsentrasi, gangguan performance dalam
pekerjaan-pekerjaan kognitif, dan pikiran-pikiran yang mengganggu, berulang dan
abnormal. Simptom stress dalam bentuk kognitif mencakup pemikiran
2. Reaksi fisiologis
Pada saat menghadapi stress, tubuh memobilisasi diri untuk menangani
stress tersebut. Hati mengeluarkan lebih banyak glukosa untuk melumasi
otot serta hormon-hormon dikeluarkan untuk menstimulasi perubahan
lemak dan protein menjadi gula. Metabolisme tubuh meningkat sebagai
persiapan tuntutan energi dari aktifitas fisik. Denyut jantung, tekanan
darah, dan pernafasan meningkat serta otot menjadi tegang. Pada saat yang
sama, aktifitas yang tidak dibutuhkan seperti digestif dikurangi, saliva dan
lendir akan mengering dan sebagai gantinya meningkatnya jumlah udara
yang dihirup. Respon psikologis tersebut merupakan hasil dari bekerjanya
beberapa sistem tubuh untuk menghadapi stress.
3. Reaksi Emosional
Penilaian atau interpretasi kognitif terhadap lingkungan yang dikaitkan
dengan kebutuhan, tujuan, harapan, atau perhatiannya adalah hal yang
menentukan bagaimana respon emosi seseorang (Lazarus, 1982). Lazarus
& Folkman (1984) mengungkapkan bahwa dominansi emosi negatif
seperti cemas, depresi, dan marah merupakan indikasi bahwa individu
yang bersangkutan menilai situasi sebagai sesuatu yang menimbulkan
stress dan dirasakan melukai atau merugikan (harm/loss), atau
memberikan ancaman bahwa akan muncul sesuatu yang dapat melukai
4. Reaksi tingkah laku
Reaksi tingkah laku berhubungan dengan memunculkannya suatu perilaku
baru sebagai upaya individu untuk mengurangi atau menghilangkan
kondisi stress yang dialaminya. Perilaku-perilaku yang muncul seperti
merokok, mengurangi atau makan berlebih, berolahraga berlebihan,
mengkonsumsi alkohol atau obat-obatan terlarang, dan sebagainya. Reaksi
tingkah laku ini muncul tergantung pada stressor yang dihadapi, perilaku
melawan stressor secara langsung (fight) dan menjauh atau menarik diri
dari ancaman (flight) merupakan dua reaksi yang paling ekstrim.
2.2 Penilaian kognitif
Penilaian kognitif (cognitive appraisal) berlangsung secara
terus-menerus di sepanjang kehidupan. Penilaian kognitif merupakan suatu proses
evaluatif yang menentukan mengapa atau dalam keadaan seperti apa suatu
interaksi antara manusia dan lingkungannya dapat menimbulkan stress
(Lazarus & Folkman, 1984).
Pada dasarnya penilaian kognitif merefleksikan kekhasan dan perubahan
relasi yang berlangsung antara individu dengan karakteristik personal
tertentu (seperti nilai motivasi, gaya berpikir, dan penerimaan) dan juga
karakteristik lingkungannya yang harus diprediksi dan dimaknakan. Konsep
ini akan lebih mudah dipahami dengan cara mengamatinya sebagai suatu
proses pemberian kategori terhadap pengalaman serta memperhatikan pula
proses pengolahan informasi tetapi lebih bersifat evaluatif yang difokuskan
pada makna dan signifikansi, serta terjadi secara terus-menerus sepanjang
kehidupan.
Dalam teori appraisal ini telah dibuat perbedaan antara penilaian primer
(primary appraisal) dan penilaian sekunder (secondary appraisal). Penilaian
primer dan penilaian sekunder tidak dapat dipandang sebagai proses yang
terpisah, mereka berinteraksi satu sama lain dan membentuk derajat stress
serta kekuatan dan kualitas reaksi emosional saling mempengaruhi antara
kedua proses ini sehingga saling menjadi sangat kompleks. Penilaian
kognitif merupakan proses berlangsungnya terus-menerus sepanjang hidup,
maka turut berperan pada faktor penilaian kembali (reappraisal).
2.2.1 Penilaian primer (primary appraisal)
Penilaian primer merupakan suatu proses mental yang berhubungan
dengan aktivitas evaluasi terhadap situasi yang dihadapi. Proses ini terjadi untuk
menentukan apakah suatu stimulus atau situasi yang dihadapi individu berada
dalam kategori tertentu. Penilaian primer ini terdiri dari tiga kategori, yaitu :
1. Irrelevant (tidak relevan): situasi yang terjadi tidak berpengaruh pada
kesejahteraan individu, situasi tersebut dianggap tidak bermakna sehingga
dapat diabaikan.
2. Benign positive reappraisal (penilaian positif): situasi yang terjadi
dirasakan dan dihayati sebagai hal yang positif dan dianggap dapat
3. Stressful appraisal (penilaian yang menimbulkan stress): situasi yang
terjadi menimbulkan makna gangguan, kehilangan, ancaman, dan
tantangan bagi individu.
2.2.2 Penilaian sekunder (Secondary appraisal)
Penilaian sekunder (Secondary appraisal) merupakan proses yang
digunakan untuk menentukan apa yang dapat atau harus dilakukan untuk
meredakan stress yang sedang dihadapi. Pada tahap inilah individu akan
memilih cara yang menurutnya efektif untuk meredakan stress. Proses ini
mencakup :
1. Evaluasi mengenai coping stress yang digunakan yang dinilai paling
efektif dalam menghadapi situasi tertentu dengan mempertimbangkan
konsekuensi yang muncul sehubungan dengan coping tersebut.
2. Evaluasi terhadap potensi-potensi yang dimiliki individu yang dapat
mendukung upaya coping stress. Proses ini berusaha
mempertimbangkan berbagai sumber yang dimiliki individu dengan
memperhitungkan tuntutan yang ada dalam menentukan coping stress
yang digunakan.
2.2.3 Penilaian kembali (reappraisal)
Penilaian kembali (reappraisal) merupakan perubahan yang terjadi
yang dapat menahan atau memperkuat tekanan bagi individu, maupun
informasi dari reaksi individu itu sendiri.
Melalui tahapan penilaian tersebut, seseorang mempertimbangkan
makna dan pengaruh situasi terhadap kesejahteraan dirinya. Dengan
demikian, selain karakteristik dari suatu situasi yang dapat menimbulkan
stress, proses penilaian kognitif sangat berpengaruh bagi seseorang dalam
menghayati keadaaan stress.
Ada bentuk lain penilaian kembali yang disebut defensive
appraisal. Defensive appraisal termasuk pada beberapa usaha untuk
menginterpretasi hal yang lalu dengan positif, atau menghubungkan
dengan kekerasan atau ancaman dengan memandang mereka di dalam
sedikit kerusakan dan atau cara mengancam.
2.3 Derajat Stress
Tinggi rendahnya stress yang dialami oleh setiap individu
bebeda-beda. Menurut Lazarus (1976), tinggi rendahnya stress yang dihadapi
setiap orang tergantung pada proses penilaian kognitif, seseorang yang
mengevaluasi stressor yang dihadapi sebagai sesuatu yang irrelevant akan
beranggapan bahwa stressor tersebut merupakan suatu hal yang tidak
penting dan cenderung memiliki derajat stress yang rendah. Seseorang
yang mengevaluasi stressor-nya sebagai benign positive appraisal akan
menganggap bahwa stressor-nya merupakan hal yang positif yaitu sebagai
stress yang moderate. Sedangkan seseorang yang mengevaluasi
stressor-nya sebagai sesuatu yang Stressful appraisal menganggap stressor-stressor-nya
sebagai suatu gangguan atau ancaman bagi kehidupannya dan cenderung
memiliki derajat stress yang tinggi.
Selain itu berdasarkan reaksi-reaksi yang muncul, dapat diketahui
bagaimana cara seorang individu menghayati stress yang dialaminya.
Individu yang memunculkan banyak reaksi baik dalam reaksi kognitif,
fisiologis, emosi dan tingkah laku menghayati stress yang mereka alami
sebagai stress yang berat atau tinggi. Sebaliknya, Individu yang sedikit
memunculkan reaksi baik reaksi kognitif, fisiologis, emosi maupun
tingkah laku menghayati stress yang mereka alami sebagai stress yang
rendah (Lazarus 1984). Pada derajat stress tertentu, stress dapat memicu
seseorang untuk melakukan suatu hal yang lebih baik, namun pada derajat
stress yang berlebihan, stress dapat menghambat seseorang mencapai
tujuannya. Menurut Lazarus (1976), individu mengalami derajat stress
yang tinggi biasanya tidak bisa tidur nyenyak, malas, bosan, memiliki
motivasi rendah, sedangka individu yang mengalami derajat stress rendah
akan lebih termotivasi.
2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penilaian
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses penilaian seorang
individu terdiri dari person factor (commitment, beliefs) dan situation
menggambarkan apa yang dianggap penting dan bermakna oleh seseorang.
Commitment dapat pula berarti pilihan yang dibuat seseorang atau
dipersiapkan untuk menjaga nilai ideal mereka atau untuk mencapai tujuan
yang mereka inginkan. Beliefs menetapkan apa yang menjadi fakta,
bagaimana suatu kejadian di lingkungan, dan mereka membentuk
keyakinan dari kejadian tersebut.
Novelty adalah suatu situasi dimana individu belum pernah mempunyai
pengalaman sebelumnya. Apabila suatu situasi benar-benar baru baginya
dan tidak ada aspek yang sebelumnya dihubungkan secara psikologis
dengan sesuatu yang merugikan maka individu tidak akan menilai kejadian
tersebut sebagai suatu ancaman. Namun, jika individu sudah memiliki
pengalaman sebelumnya, maka individu akan merasa bahwa kejadian
tersebut merupakan suatu tantangan. Predictability merujuk pada
karakteristik lingkungan yang sudah bisa diramalkan dan bisa dikenali,
dipelajari, dan diketahui. Temporal factors terdiri dari imminence,
duration, dan temporal uncertainty. Imminence yaitu merujuk pada
seberapa banyak waktu yang tersedia sebelum suatu kejadian terjadi.
Semakin banyak waktu yang tersedia maka kejadian tersebut semakin
dapat diantisipasi oleh individu. Duration merujuk pada berapa lama
kejadian yang dianggap stressful terjadi. Temporal uncertainty merujuk
2.5 Coping Stress
2.5.1 Pengertian Coping Stress
Lazarus (1976) mengatakan bahwa Coping Stress memiliki kesamaan
dengan adjustment (penyesuaian diri), hanya saja konsep mengenai adjusment
lebih luas dan mengarah pada seluruh reaksi individu terhadap lingkungan dan
tuntutan internal. Coping Stress merupakan suatu konsep yang lebih mengarah
pada apa yang dilakukan individu untuk mengatasi situasi stress atau tuntutan
yang membebani secara emosional.
Coping stress menurut Lazarus (1984) merupakan perubahan kognitif dan
tingkah laku yang terus menerus sebagai suatu usaha individu untuk mengatasi
tuntutan eksternal dan internal yang dianggap sebagai beban atau melampaui
sumber daya yang dimilikinya dan membahayakan keberadaan atau
kesejahteraannya.
Coping stress merupakan proses yang terus berubah, dimana pada suatu
waktu tertentu individu akan lebih mengandalkan pada satu bentuk coping stress
yang disebut sebagai strategi penanggulangan defensive dan pada kesempatan
yang lain memilih untuk menggunakan strategi pemecahan masalah. Perubahan
yang terjadi merupakan fungsi dari appraisal dan reappraisal yang berkelanjutan
terhadap perubahan hubungan individu dengan lingkungannya (Lazarus &
2.5.2 Fungsi Coping Stress
Coping stress sebagai disposisi menunjukan pada suatu kecenderungan
untuk menggunakan tipe coping stress tertentu pada peristiwa menekan. Kita tidak
ingin menyamakan fungsi coping dengan hasil dari coping. Fungsi coping
mengacu pada tujuan strategi melayani, sedangkan hasil coping mengacu pada
efek strategi setelahnya.
Merupakan hal yang umum bagi fungsi coping dijelaskan sebagai
perbedaan yang kita yakini sebagai kepentingan utama antara coping yang
diarahkan untuk mengelola atau mengubah masalah yang menyebabkan
penderitaan, dan coping yang diarahkan pada mengatur respon emosional
terhadap masalah. Lazarus dan Folkman (1980) menyebutnya sebagai problem
focus coping dan emotional focus coping.
2.5.3 Problem Focus Coping
Problem focus coping merupakan coping stress yang digunakan untuk
memecahkan masalah. Upaya yang dilakukan berpusat pada masalah, diarahkan
pada mendefinisikan masalah, memunculkan alternatif tindakan dan tingkah laku.
Problem focus coping berbeda dengan problem solving, problem focus coping
berpusat pada masalah dan diarahkan pula pada kondisi dalam diri individu.
Strategi coping ini mencakup perubahan motivasi dan kognitif seperti mengubah
level appraisal, mengurangi keterlibatan ego, menemukan alternatif lain,
mengembangkan standar atau perilaku baru, dan juga mepelajari keterampilan
Lazarus menjelaskan bahwa problem focus coping memiliki dua bentuk,
yaitu:
1. Planful problem solving, yaitu strategi dimana individu berusaha untuk
mengubah keadaan secara hati-hati dengan menganalisis masalah yang
dihadapi, membuat perencanaan pemecahan masalah, lalu memilih alternatif
pemecahan masalah tersebut.
2. Confrontative coping, yaitu strategi dimana individu secara aktif atau agresif
mencari cara untuk mengatasi keadaan yang menekan dirinya.
2.5.4 Emotional Focus Coping
Emotional focus coping merupakan bentuk coping stress yangdiarahkan
untuk mereduksi, mengurangi, membatasi atau mentolerir stress emosional yang
dihasilkan oleh stressor. Bentuk coping ini mencangkup pengurangan distress
emosional, yang mencangkup strategi seperti menghindar, meminimalisir,
membuat jarak, melakukan selective attentaion, positive comprarison, serta
menilai positif mengenai kejadian yang dialami. Bentuk kognitif dari emotional
focus coping ini mengacu pada perubahan cara pandang situasi tanpa mengubah
situasi objektif itu sendiri. Strategi coping ini ekuivalen dengan reappraisal.
Lazarus (1966) mengistilahkan penghilangan penilaian dengan mengubah
makna dari situasi yang dihadapi sebagai defensive reappraisal. Kata defensive
disini bukan berarti bahwa adanya distorsi akan kenyataan yang dihadapi,
positif dari situasi negatif merupakan contoh dilakukannya distorsi terhadap suatu
situasi.
Tidak semua reappraisal mengarah pada regulasi emosi secara langsung.
Reappraisal yang menggunakan tindakan kognitif untuk mengubah makna tanpa
mengubah situasi secara objektif, Lazarus menyebutnya sebagai cognitive
reappraisal. Hal ini mencangkup penggunaan kognitif untuk mendapatkan
interpretasi realistis ataupun dengan mendistorsi situasi.
Strategi lain yang berpusat pada emosi tidak mengubah secara langsung
makna situasi itu seperti halnya cognitve reappraisal. Pada beberapa situasi,
makna dapat tetap sama walaupun beberapa aspek telah dihilangkan atau
pemikiran mengenai situasi dihilangkan untuk sementara. Beberapa bentuk
emotional focus coping yaitu:
1. Seeking social support merupakan strategi dimana individu berusaha mencari
dukungan dari pihak-pihak diluar dirinya yang berupa dukungan emosional
ataupun informasi.
2. Distancing merupakan strategi dimana individu berusaha melepaskan diri
sejenak dan mengambil jarak dari masalah yang dihadapi.
3. Avoidance, strategi dimana individu berusaha menghindari atau melarikan diri
dari permasalahannya dengan cara menyangkal.
4. Positive appraisal, strategi dimana individu akan berusaha untuk menciptakan
makna positif yang lebih ditujukan untuk pengembangan pribadi, juga
5. Self control, merupakan strategi dimana individu akan berusaha untuk
meregulasi perasaan maupun tindakan yang akan diambil.
6. Accepting responsibility, strategi dimana individu sadar akan perannya dalam
permasalahan yang dihadapinya dan mencoba memperjelas masalahnya secara
objektif.
Walaupun emotional focus coping nampak tidak sehat karena sering
melibatkan self-deception (penipuan diri) ataupun pembiasaan diri akan realitas,
akan tetapi Lazarus (1983) menyatakan bahwa sedikit ilusi merupakan sesuatu
yang diperlukan demi kebaikan kesehatan mental individu.
2.5.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Coping Stresss
Menurut Lazarus & Folkman (1984), terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi keberhasilan penggunaan coping yaitu:
1. Kesehatan dan Energi
Merupakan sumber fisik yang sering dapat mempengaruhi upaya menangani
atau menanggulangi masalah, individu lebih mudah menanggulangi upaya jika
ia memiliki kondisi tubuh yang sehat. Saat individu sakit atau dalam keadaan
lemah, maka ia akan memiliki energi yang kurang cukup untuk melakukan
coping stress secara efektif. Maka dari itu semakin baik kesehatan seseorang, maka orang tersebut akan memiliki kecenderungan untuk memilih
menggunakan problem focused coping dalam menghadapi beban Stresss
2. Keterampilan dalam memecahkan masalah
Keterampilan memecahkan masalah termasuk kemampuan untuk mencari
informasi, menganalisa situasi dengan tujuan mengidentifikasi masalah dalam
rangka mengembangkan dan mempertimbangkan alternatif tindakan,
melakukan antisipasi dari suatu alternatif, serta memilih mengimplementasikan
rencana tersebut pada suatu bentuk tindakan. Semakin tinggi kemampuan
problem solving seseorang maka dia akan memilih untuk menggunakan
problem focused coping dalam menghadapi beban stress mereka, karena
dengan problem solving yang tinggi akan secara efektif mencari alternatif
pemecahan masalah yang dihadapinya sehingga membantu mengurangi beban
stress yang dirasakan dan dapat memfokuskan diri untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapi
.
3. Keyakinan diri yang positif
Melihat diri sendiri secara positif dapat menjadi sumber psikologis yang sangat
penting untuk coping stress. Pemikiran yang positif bahwa seseorang dapat
mengontrol sesuatu, serta belief yang positif akan keadilan, kebebasan,
maupun Tuhan juga menjadi sumber-sumber yang penting. Belief diartikan
sebagai suatu lensa perseptual yang menjadi landasan dalam memperkirakan
suatu kejadian, menentukan kenyataan apa yang sedang dihadapi, bagaimana
sesuatu berlangsung dalam lingkungan, dan mempengaruhi pemahaman