LAPORAN PENELITIAN
HUBUNGAN KEBERDAYAAN KELOMPOK PETERNAK DENGAN KEBERHASILAN USAHATANI ANGGOTA
Oleh : Unang Yunasaf Sugeng Winaryanto
Syahirul Alim
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
HUBUNGAN KEBERDAYAAN KELOMPOK PETERNAK DENGAN KEBERHASILAN USAHATANI ANGGOTA
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberdayaan kelompok, keberhasilan usaha anggota, dan keeratan hubungan dari kedua hal tersebut. Penelitian dilakukan dengan metode survei. Unit analisis adalah kelompoktani sapi perah yang ada di Kabupaten Sumedang. Pengambilan contoh responden dilakukan secara gugus bertahap. Jumlah responden 30 orang dari 4 kelompok terpilih. Uji keeratan hubungan yang digunakan adalah uji korelasi rank spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberdayaan kelompok tani ternak sapi perah sebanyak 53,33% tergolong cukup, 40,00 % tergolong rendah, dan 6,67 % tergolong tinggi. Keberhasilan usaha sapi perah anggota menunjukkan sebanyak 40,00% tergolong cukup, 26,67 % tergolong rendah, dan 33,33% tergolong tinggi. Derajat hubungan keberdayaan kelompok tani ternak sapi perah dengan keberhasilan usaha sapi perah anggota menunjukkan adanya hubungan positif yang cukup kuat.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan kehadlirat Allah SWT, karena atas perkenan dan
ridho-Nya kegiatan penelitian dan pelaporannya dapat diselesaikan.
Penelitian ini dilakukan penulis dalam rangka mengkaji secara empirik keberadaan
kelompok peternak sapi perah dan hubungannya dengan tingkat keberhasilan dari para
anggotanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok amat penting di dalam
mendorong berhasilnya usahatani dari para anggota-anggotanya.
Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada para mahasiswa program strarta satu
program studi Sosial Ekonomi Peternakan pada Fakultas Peternakan Unpad yang telah
turut membantu penulis selama di lapangan. Kepada pihak koperasi dan Fakultas
Peternakan Unpad disampaikan pula ucapan terima kasih atas fasilitasinya selama ini.
Dari hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan tambahan wawasan di dalam
pengajaran Ilmu Penyuluhan Pertanian-Peternakan khususnya di lingkungan Fakultas
Peternakan Universitas Padjadjaran.
Jatinangor, November 2007
DAFTAR ISI.
BAB Halaman
ABSTRAK . . . . . . . . . ii
KATA PENGANTAR . . . . . . . . . iii
DAFTAR TABEL . . . v
DAFTAR LAMPIRAN . . . vi
PENDAHULUAN . . . 1
Latar Belakang . . . 1
Perumusan Masalah . . . 3
TINJAUAN PUSTAKA . . . 4
2.1. Keberdayaan Kelompoktani . . . .. . . . 4
2.2. Keberhasilan Usaha . . . . . . . 5
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN . . . .. . . .. 8
Tujuan Penelitian . . . . . 8
Manfaat Penelitian . . . 8
IV. METODE PENELITIAN . . . 9
4.1. Rancangan Penelitian . . . 9
4.2. Unit Analisis dan Sampel Responden . . . 9
4.3 Operasionalisasi Variabel . . . 9
4.4 Cara Pengukuran dan Teknik Analisis Keeratan Hubungan . . . 10
V HASIL DAN PEMBAHASAN . . . 11
5.1. Keadaan Umum Kelompok . . . 11
BAB Halaman
5.3. Keberdayaan Kelompok Peternak Sapi Perah . . . . . 14
5.4. Keberhasilan Usaha Anggota . . . . . 18
5.5. Hubungan Keberdayaan Kelompok Peternak Sapi Perah dengan Keberhasilan Usaha Sapi Perah Anggota . . . .. . . 19
KESIMPULAN DAN SARAN . . . . . . 22
Kesimpulan . . . . . . 22
Saran . . . . . . . . . . . . . 22
DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . 24
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Luas Tanah Pangonan dan Potensi Pakan Ternak. . . . . . . 9
2. Kapasitas Tampung dan Pemanfaatan Potensi Pakan . . . . . . . 10
3. Kebutuhan Biaya Investasi Usaha Sapi Potong . . . . . . . 20
4. Keragaan Usaha Penggemukan Sapi Potong Produksi 4 Kali
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sampai saat ini kelompoktani masih digunakan sebagai pendekatan utama dalam
kegiatan penyuluhan (Deptan, 2000). Pendekatan kelompok dipandang lebih efisien
dan dapat menjadi media untuk terjadinya proses belajar dan berinteraksi dari para
petani, sehingga diharapkan terjadi perubahan perilaku petani ke arah yang lebih baik
atau berkualitas (Margono, 2001). Dengan demikian kelompoktani memiliki
kedudukan strategis di dalam mewujudkan petani yang berkualitas. Petani yang
berkualitas dicirikan oleh adanya kemandirian dan ketangguhan dalam berusahatani.
Untuk mencapai petani yang berkualitas tersebut, maka menjadi suatu keharusan
bahwa kelompoktani yang ada harus memiliki gerak atau kekuatan yang dapat
menentukan dan mempengaruhi perilaku kelompok dan anggota-anggota dalam
mencapai tujuan-tujuan secara efektif.
Tuntutan pentingnya petani yang berkualitas sudah sangat mendesak sekali.
Asean Free Trade Area (AFTA) sudah mulai diberlakukan pada tahun 2003,
kemudian perdagangan bebas dunia diperhitungkan akan mulai pada tahun 2010.
Dengan memasuki era perdagangan bebas tersebut, maka hanya negara-negara yang
petaninya berkualitas saja yang akan menikmati keuntungan dari situasi tersebut.
Sebaliknya, untuk petani yang tidak memiliki kemampuan memadai dalam merespon
tuntutan pasar dan tidak memiliki kemandirian akan terpinggirkan.
Dengan jumlah kelompoktani yang ada, secara teoritis seharusnya kelompoktani
dapat menjadi media transformasi (group transformation) untuk terjadinya
peningkatan kualitas petani di Indonensia. Namun dilihat dari kelas
2
kelas pemula dan lanjut (Deptan, 2000). Hal ini mencerminkan bahwa kelompoktani
yang ada belum berdaya atau berfungsi efektif sebagai media interaksi petani dalam
meningkatkan kesejahteraannya. Aida (2000) mensinyalir kelompoktani dari kelas
madya dan utama yang adapun, yang berjumlah sekitar 104. 964 buah (29,60%)
belum berfungsi optimal sebagai media penguatan anggotanya, malahan ada indikasi
kelas kemampuannya terus menurun.
Karena ketidakberdayaan itulah, maka dalam realitasnya sering suatu
kelompoktani tidak dapat menjaga keberadaan atau eksistensinya. Kelompok yang
demikian biasanya adalah kelompok yang dalam proses penumbuhannya tidak
berdasarkan kepentingan dan kebutuhan petani, kepemimpinan kelompoktani yang
tidak efektif, dan strategi pembinaan yang tidak tepat. Akibatnya banyak
kelompoktani yang tidak dapat menjaga kemajuan atau kedinamisan yang telah
dicapainya, sehingga akan ditinggalkan oleh para anggotanya. Sebaliknya,
kelompoktani yang tetap hidup adalah kelompok yang dapat menjaga tingkat
kemajuan atau kedinamisan dari kelompoknya, sehingga kelompoktani dapat menjadi
media terbaik untuk terjadinya peningkatan kualitas petani anggota-anggotanya.
Sampai saat ini perhatian pengkajian terhadap kelompoktani yang ada lebih
banyak memfokuskan pada kelompoktani komoditas tanaman pangan, sedangkan
komoditas lainnya, khususnya kelompoktani ternak masih kurang. Di sub sektor
peternakan, keberadaan kelompoktani yang menarik untuk diamati adalah
kelompoktani ternak sapi perah. Selama ini yang terlihat cukup ajeg dan dipandang
lebih memiliki peluang untuk berdaya adalah kelompoktani ternak sapi perah.
Dengan diketahuinya faktor-faktor atau unsur yang menjadikan kelompoktani
tersebut berdaya atau dinamis akan memberikan alternatif untuk peningkatan
3 1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
(1) Seberapa jauh tingkat keberdayaan kelompoktani dilihat dari faktor atau unsur
yang mempengaruhinya?
(2) Seberapa jauh pencapaian keberhasilan usahatani dari para anggota
kelompoktani?
(3) Seberapa jauh derajat hubungan antara keberdayaan kelompoktani dengan
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Keberdayaan Kelompoktani
Inti dari konsep keberdayaan menurut Page dan Czuba (1999) adalah kekuatan
(power), yakni kekuatan untuk berubah. Dilihat dari konteks tersebut maka
keberdayaan memiliki kesamaan makna dengan kedinamisan atau kedinamikaan,
yang makna generiknya berarti gerak atau kekuatan untuk mencapai tujuan. Dengan
demikian keberdayaan kelompoktani adalah tingkat kekuatan kelompoktani sebagai
akibat dari faktor-faktor yang mempengaruhinya, atau dapat diartikan sebagai gerak
dari suatu kelompoktani yang disebabkan oleh segala kekuatan yang terdapat dalam
kelompok yang menentukan atau memperngaruhi perilaku kelompok dan anggotanya
dalamupaya mencapai tujuan-tujunnya secara efektif. Oleh karenanya, tercapainya
keberdayaan kelompoktani akan sangat kondusif untuk terjadinya peningkatan
kualitas kehidupan para anggota, khususnya tercapainya keberhasilan usahatani dari
para anggota sebagaimana yang diharapkannya.
Menurut Aida (2000) tidak berdaya atau berkualitasnya petani karena tidak
berdayanya kelembagaan petani, yaitu kelompoktani. Tidak berdayanya
kelompoktani dapat disebabkan antara lain oleh: (1) strategi dan orientasi
pembangunan pertanian belum ditujukan pada upaya mensejahterakan dan
meningkatkan pendapatan petani. Petani sering disuruh berproduksi, tetapi manakala
menjual hasil, petani tidak diberi kemampuan untuk menetapkan harga jual.
Kelompoktanipun belum mampu berfungsi sebagai kekuatan untuk meningkatkan
posisi tawar (bargaining); (2) politik pemberdayaan petani yang diluncurkan oleh
pemerintah bersifat tidak lengkap. Prioritas pembinaan lebih diarahkan pada tanaman
pangan, khususnya padi, petani lain masih terabaikan. Kelompoktani yang ada
5
objek kebijakan; (3) pola dan arah pembinaan kelompoktani lebih banyak menjadikan
petani sebagai kelompok binaan pencapaian target produksi. Kelompok dipandang
hanya sebagai wadah untuk memudahkan pekerjaan penyuluh mendifusikan inovasi.
Tidak ada prioritas strategi pembinaan agar kelompoktani menjadi dinamis dan
mandiri; dan (4) pembinaan kelompoktani lebih banyak diarahkan pada pencapaian
target kuantitas bukan kualitas. Pencapaian kuantitas telah melupakan pembinaan
dinamika kelembagaan petani yang dinamis, produktif dan mandiri. Kelompoktani
yang muncul atas dasar dan kebutuhan petani sangat kecil. Falsafah pemberdayaan
melalui dinamika kelompok belum menjadi prioritas penyuluhan, termasuk
kepemimpinan, komunikasi dan organisasi. Akibatnya petani tidak dapat mengelola
kelompok secara profesional
Beberapa unsur yang mempengaruhi keberdayaan kelompok dua diantaranya
yang penting adalah kepemimpinan dalam kelompok dan keefektifan kelompok.
Kemampuan pemimpin untuk mempengaruhi dapat berasal dari kekuatan yang
bersifat imbalan (reward), paksaaan (coersive), rujukan (referens), keahalian (expert),
dan keabsahan (legitime) (Frech dan Reven dalam Pierce dan Newstrom, 1995).
Keefektifan kelompok menurut Mardikanto (1993) adalah keberhasilan kelompok
untuk mencapai tujuan, yang dapat dilihat dari tercapainya keadaan atau perubahan
yang memuaskan anggota-anggotanya. Menurut Margono (1978) efektivitas
kelompok harus dilihat dari segi produktivitas kelompok, yaitu keberhasilan
mencapai tujuan kelompok dan moral kelompok, yaitu berupa semangat dan sikap
para anggotanya
2.2. Keberhasilan Usahatani
Secara sederhana usahatani dapat diartikan sebagai kesatuan organisasi antara
6
pertanian (Hernanto, 1988). Usahatani menurut CGIAR yang dikutip Reijntjes et.al.
(1999) bukanlah sekadar kumpulan tanaman dan hewan, di mana orang bisa
memberikan input apa saja dan kemudian mengharapkan hasil langsung, namun
merupakan suatu jalinan yang kompleks yang terdiri dari tanah, tumbuhan, hewan,
peralatan, tenaga kerja, input lain dan pengaruh-pengaruh lingkungan yang dikelola
oleh seseorang yang disebut petani sesuai dengan kemampuan dan aspirasinya. Petani
tersebut mengupayakan output dari input dan teknologi yang ada.
Menurut Reijntjes et.al. (1999) suatu usahatani merupakan agroekosistem yang
unik: suatu kombinasi sumberdaya fisik dan biologis seperti bentuk-bentuk lahan,
tanah, air, tumbuhan dan hewan. Dengan mempengaruhi komponen-komponen
agroekosistem ini dan interaksinya, rumahtangga petani mendapatkan hasil atau
produk dari hasil usahataninya. Selanjutnya Reijntjes et.al. (1999) mengemukakan
bahwa dalam mengkaji keberhasilan suatu usahatani tidak akan terlepas dari
pengkajian sistem pengembangan usahatani, khususnya dengan memperhatikan
tujuan dari rumah tangga berkenaan dengan proses dan hasil usahatani. Secara umum
rumah tangga petani secara bersama memiliki berbagai macam tujuan yang dapat
mencakup: (1) Produktivitas (hasil persatuan lahan atau input lainnya), yakni ada
pasar yang menyerap hasil produksi, memiliki nilai manfaat lainnya: pemanfaatan
tenaga kerja dll; (2) Keamanan (meminimalkan risiko), yakni: kepastian pendapatan
(ada jaminan pasar dan harga jual), akses terhadap sumberdaya berupa kepastian
lahan, kepastian usaha; (3) Kesinambungan (mempertahankan produksi), yakni:
adanya modal biofisik berupa kelayakan usaha/rasio pemilikan ternak, kemampuan
mengelola berupa teknologi budidaya, manajerial usaha, yang lainnya adalah
hubungan dengan masyarakat berupa dukungan sistem sosial, prasarana usaha tani
(ketersediaan input), modal uang, dan pengaruh politik berupa dukungan kebijakan
7
kehidupan yang layak, yaitu dapat memberi: sumbangan terhadap pendapatan, dan
mewujudkan komunitas mandiri agar dapat mengorganisasikan diri dalam kelompok.
Untuk keberlanjutan suatu usahatani, termasuk mencapai keberhasilan usahatani
maka usahatani tersebut, harus dapat (1) menghasilkan tingkat produksi yang
memenuhi, yaitu dapat kebutuhan material (produktivitas), dan kebutuhan sosial
(identitas, keamanan, kesinambungan); (2) perlu dicari produktivitas yang optimal
(Reijntjes et.al., 1999)
Dalam penelitian ini keberhasilan usahatani sapi perah akan ditelaah dari dua
aspek, yaitu pencapaian tingkat produksi, terutama dilihat dari tingkat harga susu
yang diterima peternak, dan pencapaian efisiensi usaha. Salah satu cara untuk
mengetahui efisiensi usaha adalah dengan menggunakan tetapan revenue cost ratio
(RC ratio), yaitu menghitung perbandingan antara penerimaan dengan pengeluran
(Kadarsan, 1995). RC ratio diperoleh dari semua kegiatan yang mencakup
pengeluaran dan penerimaan dalam jangka waktu satu tahun dengan cara
membandingkan antara semua nilai penerimaan dengan semua nilai pengeluaran.
Apabila RC ratio > 1, maka usaha tersebut efisien, bila RC ratio < 1, maka usaha
tersebut tidak efisien, dan bila RC ratio = 1, usaha tersebut berada dalam titik impas
(break even point).
8 III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari:
(1) Potensi sumberdaya lokal dalam mendukung pengembangan peternakan sapi
potong di Wilayah Selatan Kabupaten Tasikmalaya.
(2) Model pemberdayaan masyarakat di wilayah Selatan Kabupaten Tasikmalaya
melalui pengembangan peternakan sapi potong.
(3) Kelayakan usaha ternak sapi potong berbasis sumberdaya lokal di Wilayah
Selatan Kabupaten Tasikmalaya.
3.2. Manfaat Penelitian
(1) Memberikan kontribusi yang berarti untuk diperolehnya pemahaman yang lebih
akurat tentang permasalahan yang dihadapi masyarakat wilayah Selatan
Kabupaten Tasikmalaya dalam upaya mengembangkan usaha ternak berbasis
sumberdaya lokal.
(2) Diperolehnya model pengembangan peternakan berbasis sumberdaya lokal dalam
memberdayakan masyarakat.
IV
METODE PENELITIAN
4.1. Rancangan Penelitian
Penelitian dirancang sebagai penelitian survei yang bersifat deskriptif.
4.2. Unit Analisis dan Contoh Responden
Unit analisis dari penelitian ini adalah kelompoktani sapi perah yang ada di
Kabupaten Sumedang, khususnya yang tergabung dalam Koperasi Tandangsari
Kabupaten Sumedang. Dipilihnya Koperasi tersebut, karena merupakan koperasi
peternak sapi perah di Kabupaten Sumedang yang keberadaan kelompoktani cukup
menonjol. Untuk keperluan penelitian ini dari seluruh kelompoktani yang ada,
sekurang-kurangnya akan diambil tiga kelompok, yang masing-masing mewakili
kelompok yang belum berkembang, cukup berkembang, dan maju (berkembang).
Contoh (sample) responden adalah para anggota kelompok dari kelompoktani
terpilih, yang berjumlah 30 orang yang diambil secara proposional dari jumlah
seluruh anggota kelompok dari 4 kelompoktani terpilih.
4.3. Operasionalisasi Variabel
Variabel yang ditelaah meliputi keberdayaan kelompoktani sebagai variabel
bebas, dan keberhasilan usahatani sebagai variabel terikat.
Variabel keberdayaan kelompoktani meliputi:
1. Kepemimpinan kelompok, yaitu tingkat kekuatan ketua kelompok di dalam
mempengaruhi anggota dan kelompok dalam rangka mencapai tujuan..
Indikatornya terdiri: (1) kekuatan keahlian, (2) kekuatan rujukan, dan (3)
pembawa aspirasi, dan (4) patner agen pembaharu.
2. Keefektifan kelompok, yaitu tingkat pencapaian kelompok di dalam mencapai
2 Variabel Keberhasilan usahatani anggota meliputi:
1. Tingkat harga susu, yaitu tingkat harga susu yang dicapai.
2. Tingkat efisiensi usaha, yaitu tingkat perbandingan penerimaan dengan
pengeluaran dalam jangka waktu satu tahun.
4.4. Cara Pengukuran dan Teknik Analisis Keeratan Hubungan
Cara pengukuran untuk masing-masing indikator variabel dilakukan dengan
skala ordinal.
Teknik analisis yang digunakan untuk mengukur keeratan hubungan variabel
adalah dengan uji korelasi peringkat Spearman, dengan rumus: N
6
di rs = N3 –NKeterangan:
rs = Koefisien korelasi peringkat spearman
di = perbandingan peringkat
N = banyaknya subyek
Untuk menginterpretasikan hasil korelasi uji rank Spearman (rs) digunakan
aturan Guilford (Rakhmat, 2001) sebagai berikut:
< 0,20 : hubungan rendah sekali
0,20 – 0,40 : hubungan rendah tapi pasti
0,40 – 0,70 : hubungan yang cukup berarti
0,70 – 0,90 : hubungan yang tinggi; kuat
V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.Keadaan Umum Kelompok
Kelompok peternak sapi perah yang ada di Kabupaten Sumedang hampir
sebagian besar terkonsentrasi pada Kecamatan Tanjungsari, dan sebagiannya lagi
pada Kecamatan Sukasari, Pamulihan, Cimanggung, Rancakalong dan Situraja.
Semua wilayah tersebut merupakan wilayah kerja dari Koperasi Serba Usaha (KSU)
Tandangsari, karena kelompok peternak sapi perah seluruhnya berada di dalam
naungan koperasi tersebut.
Penumbuhan dan pembentukan kelompok peternak sapi perah yang ada di
Kabupaten Sumedang tidak terlepas dari perjalanan perkembangan sapi perah di
wilayah tersebut, yang pararel dengan perjalanan dan perkembangan dari KSU
Tandangsari. KSU Tandangsari berdiri sejak tahun 1981, yang sebelumnya bernama
KUD Tanjungsari. Seiring dengan cakupan wilayah kerjanya yang terus meluas,
maka sesuai dengan Rapat Anggota tanggal 2 Maret 2002 berubah namanya menjadi
KSU Tandangsari. Wilayah kerja KSU Tandangsari selain mencakup Kecamatan
Tanjungsari, meliputi pula Kecamatan Sukasari, Pamulihan, Cimanggung,
Rancakalong, dan Situraja.
Awal berdirinya koperasi tersebut bertepatan dengan bergulirnya kredit sapi
perah dari pemerintah di Kecamatan Tanjungsari, sehingga dalam perkembangannya
unit usaha sapi perah ini menjadi tulang punggung KSU Tandangsari dalam
memajukan koperasi. Jumlah peternak anggota KSU Tandangsari sampai akhir 2005
berjumlah 1500 orang dengan populasi sapi 4.441 ekor.
Kelompok peternak sapi perah semuanya berjumlah 37 kelompok, dengan
12
oleh seorang ketua kelompok, dan dibantu oleh beberapa orang peternak anggota di
dalam kepengurusan kelompok. Namun demikian kelengkapan kepengurusan dari
tiap kelompok cukup bervariasi, dari yang hanya ketuanya saja sampai yang relatif
struktur kelompoknya lebih lengkap, selain ada ketua dilengkapi pula dengan
sekretaris, bendahara dan seksi-seksi.
Kecenderungan yang terjadi menurut versi KSU Tandangsari keberadaan
kelompok ini dapat dipilah menjadi tiga kategori, yaitu kelompok yang maju
(berkembang), cukup maju atau berkembang dan kelompok yang kurang berkembang
atau belum maju. Kelompok peternak yang relatif berkembang dicirikan oleh
rata-rata kualitas susunya yang relatif lebih baik dibandingkan dengan kelompok lainnya.
Di samping aspek dinamika atau kekuatan dari kelompok tersebut yang relatif lebih
baik, seperti kepemimpinan ketua kelompok yang relatif baik, dan tingkat pemilikan
asset kelompok yang lebih banyak serta kegiatan kelompok yang relatif lebih
berjalan.
5.2.Karakteristik Peternak Responden
Karakteristik peternak responden secara umum menunjukkan dilihat dari segi
umur sebagian besar berada dalam usia produktif, dari segi pendidikan sebagian besar
hanya tamatan sekolah dasar, dari pemilikan sapi perahnya sebagian besar didominasi
oleh skala pemilikan yang rendah (1-3 ekor ternak), dan dari segi lamanya masuk
anggota kelompok sebagian besar sudah menjadi anggota lebih dari 10 tahun. Secara
lengkap karakteristik responden ditampilkan pada Tabel 1.
Dari segi umur, peternak responden sebagian besar berada dalam usia produktif,
yaitu sebanyak 96,66 persen dan hanya 3,33 persen yang berada dalam usia tidak
produktif. Dengan keadaan tersebut, maka peternak dapat didorong untuk
13
perahnya, baik melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan maupun penyediaan
fasilitas dan sarana di dalam memperlancar kegiatan usahaternaknya.
memprihatinkan, yaitu hanya sebanyak 13,33 persen saja yang telah lepas dari
jenjang pendidikan dasar. Sisanya sebanyak 86,67 persen baru hanya mampu
bersekolah sampai sekolah dasar saja. Hal ini menunjukkan pula pentingnya
pendidikan alternatif sebagai bagian dari upaya peningkatkan kualitas sumberdaya
14
kegiatan penyuluhan yang berkesinambungan maupun pelatihan-pelatihan yang
disertai dengan pemagangan atau demonstrasi plot (percontohan).
Dilihat dari tingkat pemilikan ternak sapi perah, yang sebagian besar masih
didominasi oleh skala pemilikan yang rendah menunjukkan masih besarnya tantangan
yang dihadapi di dalam rangka mencapai peternak sapi perah yang diidealkan atau
memiliki kelayakan usaha. Dengan hanya memiliki ternak sapi berkisar 3-4 ekor
menjadikan usaha sapi perah belum dapat mencapai tingkat kelayakan usaha yang
memadai. Karena untuk diperolehnya kelayakan atau keuntungan yang memadai,
idealnya peternak dapat memiliki skala usaha 10-15 ekor atau rata-rata 7-8 ekor sapi
produktif (Sjahir, 2003).
Dari segi pengalaman beternak, yang terlihat dari lamanya menjadi anggota
kelompok sebenarnya relatif sudah cukup lama, yaitu sebagian besar sebanyak 53,33
persen sudah menjadi anggota kelompok lebih dari 10 tahun. Hal ini berarti pula
responden relatif cukup berpengalaman di dalam melakukan usaha sapi perahnya.
Hal ini menjadi suatu kekuatan dari peternak untuk lebih meningkatkan keberhasilan
usahanya, karena relatif sudah tahu tantangan dan kendala yang dihadapi di dalam
menjalankan usaha sapi perahnya.
5.3.Keberdayaan Kelompok Peternak Sapi Perah
Keberdayaan kelompok peternak merupakan kekuatan-kekuatan yang ada dalam
kelompok yang akan mempengaruhi kelompok dan anggota di dalam rangka
mencapai tujuan secara efektif. Ada dua unsur penting yang mempengaruhi
berdayanya kelompok, yaitu kepemimpinan dari ketua kelompok dan efektivitas
kelompok. Dari hasil penelitian terungkap bahwa tingkat keberdayaan kelompok
15
sebagian besar hanya berada dalam tingkatan yang cukup, dan hanya sebagian kecil
saja yang tingkat keberdayaannya tergolong tinggi.
Gambaran lengkap mengenai keberdayaan peternak sapi perah di Kabupaten
Sumedang ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Keragaan Keberdayaan Kelompok Tani Ternak Sapi Perah
No. Uraian Kategori Keberdayaan
Tingkat keberdayaan kelompok peternak sapi perah yang diteliti sebagian besar
yaitu sebanyak 53,33 persen tergolong cukup. Sisanya sebanyak 40,00 persen
tergolong rendah dan hanya 6,67 persen tergolong tinggi. Tingkat keberdayaan
kelompok yang tergolong cukup terlihat dari tingkat kepemimpinan ketua kelompok
dan tingkat keefektifan kelompok yang cenderung masih tergolong cukup. Tingkat
kepemimpinan ketua kelompok sebagian besar (46,67%), masih tergolong cukup.
Sisanya sebanyak 40,00 persen tergolong rendah, dan sebanyak 13,33 persen
tergolong tinggi. Secara umum kepemimpinan ketua kelompok peternak sapi perah
menunjukkan bahwa ketua kelompok peternak dipandang cukup memiliki daya di
dalam mempengaruhi anggota dan kelompok di dalam rangka mencapai tujuannya,
terutama di dalam hal daya keahlian dan daya rujukan. Di samping cukup mampu
untuk membawa aspirasi anggota dan cukup berperan sebagai patner agen
pembaharu. Ketua kelompokpun dipandang cukup memiliki pengalaman di dalam
16
oleh para anggotanya. Ketua kelompok ini cukup sering dijadikan tempat bertanya,
khususnya menyangkut permasalahan yang berhubungan dengan koperasinya.
Untuk kepemimpinan ketua kelompok yang rendah, yaitu sebanyak 40,00 persen
merujuk pada ketua kelompok yang kepemimpinannya belum begitu optimal di
dalam mempengaruhi kelompok dan anggotanya dalam rangka mencapai tujuan
kelompok dan anggota secara efektif. Ketua kelompok yang tergolong rendah
kepemimpinannya ini terlihat dari masih kurangnya di dalam memerankan sebagai
patner agen pembaharu. Hal ini dapat dilihat dari kurangnya ketua kelompok
berhubungan atau belum bertindak proaktif dengan agen pembaharu di luar koperasi
seperti dari Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten atau lembaga lainnya. Ketua
kelompok baru berperan sebatas sebagai penyampai pesan atau informasi yang
datangnya dari koperasi.
Pada kepemimpinan ketua kelompok yang tergolong tinggi, yaitu sebanyak 13,33
persen. Hal ini merujuk pada ketua kelompok yang relatif sudang tergolong baik dari
segi daya kemampuan mempengaruhi anggota dan kelompok di dalam mencapai
tujuannya. Ketua kelompok yang tergolong tinggi kepemimpinannya ini dicirikan
oleh daya keahliaan, daya rujukan, dan perannya sebagai patner agen pembaharu
yang tergolong tinggi. Ketua kelompok inipun memiliki etos kerja yang tinggi untuk
memajukan usaha sapi perahnya, di samping didukung oleh beragam pengalamannya
mengikuti pelatihan atau kursus, baik yang diselenggarakan di tingkat koperasi
maupun dengan di luar koperasi seperti yang dilaksanakan oleh Dekopinda
Kabupaten Sumedang dan Dinas Pertanian Kabupaten Sumedang.
Dari segi efektivitas kelompok, yaitu tingkat keberhasilan kelompok di dalam
mencapai tujuan, yang dilihat dari segi keberhasilan dan moral kelompok
menunjukkan sebagian besar kelompok, yaitu sebanyak 50,00 persen tergolong
17
tergolong tinggi. Pada kelompok yang efektivitasnya tergolong cukup, dicirikan oleh
oleh telah dilakukannya pertemuan rutinan bulanan di kelompok. Kelompok cukup
berupaya di dalam melakukan usaha pemupukan modal sendiri, seperti penyisihan
dari susu yang disetorkan ke koperasi untuk menutupi biaya operasional kelompok.
Untuk kelompok yang efektivitasnya tergolong tinggi selain ciri-ciri di atas ada
beberapa hal lainnya yang menonjol seperti kelompok sudah memiliki pola
pembinaan sendiri di dalam mendorong munculnya partisipasi dari para anggota.
Kelompok telah secara rutin melakukan kegiatan pertemuan 2 mingguan, bulanan dan
tahunan. Kelompokpun telah memiliki target-target tertentu yang harus dicapai baik
oleh anggota maupun kelompok. Kelompokpun telah berupaya untuk memiliki
fasilitas secara swadaya, di samping kelompok telah melengkapi dengan aturan atau
norma-norma kelompok.
Pada kelompok peternak sapi perah yang efektivitasnya tergolong rendah relatif
tingkat keberhasilan dan moral kelompok lebih rendah. Pada kelompok ini umumnya
indikasi untuk efektifnya suatu kelompok belum berjalan, karenanya kelompok belum
bisa menampilkan keberhasilan sebagaimana yang seharusnya. Kemampuan
kelompok untuk memunculkan partisipasi dari para anggotanya belum bisa optimal.
Hal ini berkaitan dengan tingkat fasilitas dan dukungan norma dari kelompok yang
masih kurang. Demikian pula keadaan moral kelompok masih lemah, sehingga
belum dapat mendukung efektinya kelompok.
Dari gambaran di atas dapat disebutkan bahwa tingkat keberdayaan kelompok
peternak sapi perah yang diteliti cenderung masih berada dalam keadaan tingkatan
cukup. Dengan melihat masih adanya yang tergolong rendah berarti tantangan di
18
5.4.Keberhasilan Usaha Anggota
Keberhasilan usaha ternak sapi perah anggota adalah tingkatan pencapaian
efisiensi dan kualitas atau harga susu anggota. Dari hasil penelitian sebagaimana
pada Tabel 3 terungkap bahwa sebagian besar sebanyak 40,00 persen tingkat
keberhasilan usaha sapi perah anggota tergolong cukup, sedangkan sisanya sebanyak
33,33 persen tergolong tinggi dan sebanyak 26,67 persen tergolong rendah.
Tabel 3. Keragaan Keberhasilan Usaha Ternak Sapi Perah Anggota
No. Uraian Kategori Keberdayaan
Tingkat keberhasilan usaha ternak sapi perah dari para anggota kelompok yang
sebagian besar (40,00%) tergolong cukup, terlihat terutama dari tingkatan
efisiensinya, yaitu sebagian besar sebanyak 50,00 persen tergolong cukup. Untuk
tingkat keberhasilan yang tergolong tinggi (33,33%), banyak ditentukan oleh
tercapainya harga susu yang di atas rata-rata, yaitu sebesar 53,33 persen, sedang
untuk yang tingkat keberdayaannya yang rendah, kedua indikatornya yang dilihat dari
tingkat efisiensi dan tingkat harga susu relatif memberikan kontribusi yang sama,
yaitu sebesar 30,00 dan 33,33 persen.
Tingkat efisiensi merupakan nisbah antara penerimaan total dengan biaya total
yang dikeluarkan yaitu dengan memperhitungkan biaya tersamar, yang berada dalam
kisaran 0,58 sampai dengan 1,56 dengan nilai rata-rata sebesar 1,09 atau dari setiap
19
dibandingkan dengan tingkat suku bunga sebesar 18 persen per tahun, usaha sapi
perah tersebut belum dikategorikan memadai. Secara kualitatatif tingkat efisiensi
tersebut mencerminkan keadaan dari usaha sapi perah peternak dari kondisi kurang
efisien, mencapai titik impas atau telah diperolehnya keuntungan. Dari data yang ada
menunjukkan bahwa hampir sebagian besar usaha sapi perah anggota berada dalam
kondisi kurang efisien dan cukup. Hanya sebagian kecil saja dari peternak anggota
kelompok tersebut yang usaha sapi perahnya masuk dalam kategori tinggi tingkat
efisiensinya. Umumnya adalah mereka yang memiliki ternak sapi perah produktif
lebih dari empat ekor.
Dari segi tingkat harga para peternak dari kelompok yang diteliti, umumnya
sudah relatif di atas harga rata-rata koperasi, yaitu sebanyak 53,33 persen, sedang
yang di bawah harga rata mencapai 30,00 persen, dan yang mendekati harga
rata-rata sebesar 16,67 persen. Tingkat harga susu rata-rata-rata-rata yang dicapai saat penelitian
adalah sebesar Rp. 1638,58 per liter. Tingkat harga susu ini berkaitan dengan
kandungan fat dan total solid, semakin meningkat kandungan dari kedua hal tersebut,
maka harga susu akan semakin tinggi. Hal ini memberikan indikasi bahwa dilihat dari
kualitas susu yang dihasilkan peternak, umumnya sudah melampaui harga dasar yang
ditetapkan oleh koperasi.
5.5.Hubungan Keberdayaan Kelompok Peternak Sapi Perah dengan Keberhasilan Usaha Sapi Perah Anggota
Berdasarkan nilai koefisien korelasi rank Spearman (rs) hubungan antara
keberdayaan kelompok peternak dan keberhasilan usaha sapi perah anggota sebesar
0,578 menunjukkan bahwa terdapat cukup hubungan antara kedua variabel tersebut.
Hal ini memberikan indikasi bahwa semakin kelompok peternak berdaya, maka
20
tersebut. Hubungan keberdayaan kelompok peternak sapi perah dengan keberhasilan
usaha sapi perah anggota ditampilkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Nilai Koefisien Korelasi Hubungan Keberdayaan Kelompok dengan Keberhasilan Usaha Sapi Perah Anggota
Dari Tabel 4 terungkap bahwa keberdayaan kelompok memiliki hubungan yang
positif atau searah dengan keberhasilan usaha sapi perah anggota. Hal ini dapat
diartikan bahwa dengan berdayanya kelompok peternak, yakni kelompok tersebut
memiliki kekuatan, terutama dari segi kepemimpinan di kelompok dan tingkat
keefektifan kelompok, akan memberikan peluang untuk semakin lebih berhasilnya
usaha sapi perah dari para anggota kelompok.
Kepemimpinan sebagai suatu proses mempengaruhi anggota atau pengikut
merupakan hal penting di kelompok. Ketua kelompok sebagai pemimpin kelompok
dengan kepemimpinannya dapat menjadi pendorong bagi anggota di dalam mencapai
tujuannya. Dengan sumber-sumber kekuatan atau daya yang dimiliki ketua
kelompok, maka ketua kelompok dapat mempengaruhi para anggota lainnya di dalam
menunjang keberhasilan usaha sapi perah anggota. Daya atau sumber kekuatan yang
dimiliki ketua kelompok dapat mencakup kekuatan keahlian, kekuatan rujukan
kekuatan legitimasi ataupun dapat berperan sebagai agen pembaharu. Dengan
kekuatan keahlian, maka ketua kelompok dapat memiliki pengaruh kepada para
21
kelompok. Melalui kekuatan rujukan, ketua kelompok dipandang orang yang relatif
dijadikan contoh, baik dalam ketokohan keseharian maupun di dalam pelaksanaan
usaha sapi perahnya. Ketua kelompokpun dipandang sangat kuat keabsahannya,
karena dipilih langsung oleh para anggota kelompok, sedang ketua kelompokpun
dapat berperan penting di dalam menerima dan menyebarkan informasi maupun
inovasi dari agen pembaharu untuk disampaikan kepada para anggota kelompok.
Dengan hal-hal tersebut menjadikan kepemimpinan ketua kelompok amat
dipentingkan untuk kuatnya suatu kelompok, sehingga dengan semakin baiknya
kepemimpinan ketua kelompok maka akan semakin lebih berhasil pula usaha sapi
perah dari para anggotanya.
Keefektifan kelompok merupakan cerminan dari berfungsi tidaknya suatu
kelompok, karena hal ini berhubungan dengan semakin efektifnya suatu kelompok.
Hal ini berarti kelompok tersebut telah memiliki keberhasilan di dalam memunculkan
partisipasi maupun semangat atau moral dari kelompok. Hal ini biasanya akan
berkaitan dengan kemampuan kelompok di dalam mendorong munculnya fasilitas di
kelompok maupun jelasnya norma yang ada di kelompok. Dengan semakin
memadainya fasilitas di kelompok dan semakin jelasnya norma di dalam kelompok
akan memungkinan kelompok berfungsi dengan baik.
Dari hasil lapangan menunjukkan bahwa pada kelompok yang lebih baik tingkat
keberdayaannya tingkat keberhasilan usaha sapi perah anggota-anggota relatif lebih
baik, terutama dilihat dari segi pencapaian harga susu yang diterima. Pada kelompok
yang lebih berdaya cenderung tingkat pencapaian harga susu yang diterima peternak
lebih tinggi. Dengan hal ini menjadi jelas bahwa untuk lebih berhasilnya usaha sapi
perah anggota, maka faktor kepemimpinan ketua kelompok dan tingkat keefektifan
kelompok dapat menjadi pintu masuk di dalam mendorong keberhasilan usaha sapi
VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1Kesimpulan
Berdasarkan atas hasil dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
(1) Tingkatan fungsi-fungsi koperasi dari koperasi yang diteliti secara kumulatif
berkisar dari yang tergolong rendah sampai dengan yang tergolong cukup,
dengan skornya berkisar dari 39,71 sampai 61,43 persen dari skor harapan
maksimum. Secara keseluruhan tingkatan fungsi-fungsi koperasi rata-rata
tergolong rendah, dengan skor mencapai 50,29 persen dari skor harapan
maksimum.
(2) Pada umumnya dari koperasi yang diteliti belum melakukan fungsi-fungsinya
sebagaimana yang seharusnya dilakukan oleh suatu koperasi secara optimal. Hal
ini terutama terlihat dari masih rendahnya koperasi di dalam melakukan: (1)
fungsi pengembangan keanggotaan, (2) fungsi pengembangan kelompok, dan (3)
fungsi pengembangan partisipasi.
(3) Rendahnya fungsi pengembangan keanggotaan tercermin dari: belum
dilakukannya penerapan sistem seleksi oleh koperasi, kegiatan pemberian
informasi dan pendidikan serta kegiatan penyuluhan yang cenderung masih
terbatas. Rendahnya fungsi pengembangan kelompok terlihat dari: lemahnya
dukungan koperasi di dalam mengefektifkan kepemimpinan di kelompok,
rendahnya dukungan di dalam memfasilitasi kelompok, dan kurangnya dukungan
di dalam menunjang keberadaan kelompok. Rendahnya fungsi pengembangan
23
Saran yang dapat dikemukakan sesuai dengan hasil penelitian dan pembahasan
adalah:
(1) Koperasi agar dapat meningkatkan fungsi-fungsinya, , terutama di dalamPada
umumnya dari koperasi yang diteliti belum melakukan fungsi-fungsinya
sebagaimana yang seharusnya dilakukan oleh suatu koperasi secara optimal. Hal
ini terutama terlihat dari masih rendahnya koperasi di dalam melakukan: (1)
fungsi pengembangan keanggotaan, (2) fungsi pengembangan kelompok, dan (3)
fungsi pengembangan partisipasi.
(2) K
(3) Rendahnya fungsi pengembangan keanggotaan tercermin dari: belum
dilakukannya penerapan sistem seleksi oleh koperasi, kegiatan pemberian
informasi dan pendidikan serta kegiatan penyuluhan yang cenderung masih
terbatas. Rendahnya fungsi pengembangan kelompok terlihat dari:
lemahnya dukungan koperasi di dalam mengefektifkan kepemimpinan di
kelompok, rendahnya dukungan di dalam memfasilitasi kelompok, dan
kurangnya dukungan di dalam menunjang keberadaan kelompok.
Rendahnya fungsi pengembangan partisipasi terlihat dari kurangnya
koperasi di dalam upaya penumbuhan hak-hak anggota, khususnya di dalam
hak dialog (voice), hak memilih dan dipilih (vote) maupun hak keluar (exit).
24
24
(5) Untuk mendorong munculnya keberdayaan kelompok, maka faktor
kepemimpinan dan keefektifan kelompok perlu lebih diperhatikan lagi.
(6) Untuk mencapai kepemimpinan kelompok yang baik, maka diperlukan dorongan
agar ketua kelompok dapat memiliki sumber-sumber kekuatan atau daya, yang
mencakup daya keahlian, daya rujukan, dan dapat bertindak sebagai patner agen
pembaharu.
(7) Untuk mencapai keefektifan kelompok, maka kelompok perlu didorong untuk
dapat memfasilitasi dirinya dan memiliki norma-norma yang memadai yang
dapat menjadi pedoman kelompok dan anggotanya di dalam mencapai tujuannya.
(8) Dalam mendorong keberhasilan usaha sapi perah anggota selain faktor
keberdayaan kelompok, diperlukan pula bentuk-bentuk fasilitasi agar peternak
dapat memiliki sapi produktif yang memadai sehingga mencapai kelayakan
24
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, S. 1995. 90 Tahun Penyuluhan Pertanian di Indonesia. Departemen Per- tanian. Jakarta.
Aida Vitayala S. Hubeis. 2000. Suatu Pikiran Tentang Kebijakan Pemberdaya- an Kelembagaan Petani. Deptanhut. Jakarta.
Anonymous. 2000. Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Tani. Biro Perencana- an dan KLN Departemen Pertanian. Jakarta
Anonymous. 2002. Pengembangan Kelembagaan Peternak Di Kawasan Agribisnis Berbasis Peternakan. Direktorat Pengembangan Peternakan, Dirjen Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.
Hernanto, F. 1988. Ilmu Usahatani. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Kadarsan. H.W. 1995. Keuangan Pertanian dan Pembiayaan Perusahaan Agribisnis. Gramedia Pustka Utama. Jakarta.
Page, N., dan Czuba C.E. 1999. Empowerment: What is it?. Journal of Extension, Vol. 37 Number 5.
Margono Slamet. 1978. Beberapa Catatan tentang Pengembangan Organisasi Kumpulan Bahan Bacaan Penyuluhan Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
____________. 2001. Paradigma Baru Penyuluhan Pertanian Di Era Otonomi Daerah. Disajikan pada Seminar Perhiptani 2001. Tasikmalaya.
26