• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI REFORMASI ORGANISASI PERIZINAN UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DI DINAS PERIZINAN KOTA YOGYAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "IMPLEMENTASI REFORMASI ORGANISASI PERIZINAN UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DI DINAS PERIZINAN KOTA YOGYAKARTA"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

IMPLEMENTASI REFORMASI ORGANISASI PERIZINAN

UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN

PUBLIK DI DINAS PERIZINAN KOTA YOGYAKARTA

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Mencapai Derajat Sarjana S2

Disusun Oleh:

Isnaini Muallidin

22686/IV-1/2091/05

PASCA SARJANA ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

DAFTAR ISI

HALAMAN

HALAMAN JUDUL I

HALAMAN PENGESAHAN Ii

PERNYATAAN Iii

DAFTAR ISI Iv

PRAKATA Viii

DAFTAR TABEL X

DAFTAR GAMBAR Xi

DAFTAR LAMPIRAN Xii

INTISARI Xiii ABSTRACT Xiv

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah 1

2. Permasalahan 11

3. Tujuan 11

BAB II KONSEP IMPLEMENTASI REFORMASI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

1. Pendahuluan 12

2. Kajian Pustaka 12

3. Kerangka Konseptual 15

3.1.Konsep Kualitas Pelayanan Sektor Publik 15 3.2.Konsep Reformasi Organisasi Sektor Publik 16 4. Implementasi Reformasi Organisasi Sektor Publik 23

(5)

4.2. Spesialisasi 25

4.3. Sentralisasi 26

5. Kerangka Berfikir Reformasi Organisasi 31

BAB III METODE DAN DEFINISI OPERASIONAL REFORMASI ORGANISMASI SEKTOR PUBLIK

1. Pendahuluan 34

2. Metode Penelitian 34

2.1. Lokasi dan Informen 34

2.2. Teknik Pengumpulan Data 35

2.3. Teknik Analisis Data 35

3. Definisi Konseptual 36

3.1. Reformasi Organisasi 36

3.2. Implementasi Reformasi Orgamnisasi 36

4. Definisi Operasional 37

4.1. Formalisasi 37

4.2. Sentralisasi 37

4.3 . Spesialisasi 37

BAB IV GAMBARAN UMUM DINAS PERIZINAN KOTA YOGYAKARTA

1. Pendahuluan 38

2. Sejarah Terbentuknya Dinas Perizinan 38

3. Visi, Misi, dan Kewenangan 41

4. Struktur Organisasi 42

5. Perlengkapan Sarana Dan Prasarana 45

6. Tugas dan Fungsi 46

7. Komposisi Sumberdaya Manusia 47

(6)

8.1. Bidang Tata Usaha Perizinan 50

8.2. Bidang Pelayanan Perizinan 51

8.3. Bidang Sistem Informasi dan Pengaduan 51

8.4. Bidang Data dan Pengembangan 51

BAB V KEBIJAKAN REORGANISASI PERIZINAN KOTA YOGYAKARTA

1. Pendahuluan 53

2. Penataan Organisasi Perizinan 53

3. Sistem Prosedur dan Waktu Perizinan 57

3.1. Mekanisme Pelayanan Perizinan 58

3.2. Mekanisme Pelayanan Legalisir 60

3.3. Mekanisme Pelayanan Duplikat 61

3.4. Mekanisme Pengaduan 63

4. Pelayanan Perizinan Berbasis Teknologi Informasi 67

BAB VI IMPLEMENTASI REFORMASI ORGANISASI DINAS PERIZINAN DALAM PERSPEKTIF FORMALISASI, SENTRALISASI, DAN

3.2. Mekanisme Pengambilan Keputusan 84

3.3. Pelimpahan Kewenangan 87

4. Spesialisasi 88

4.1. Pembagian dan Beban Tugas Staf 88

(7)

BAB VII KESIMPULAN

1. Kesimpulan 94

2. Saran 96

(8)

PRAKATA

Syukur ke hadirat Allah SWT, akhirnya tesis Implementasi Reformasi Organisasi Dinas Perizinan Kota Yogyakarta untuk Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik ini dapat terselesaikan, walaupun banyak sekali kendala yang penulis alami.

Berkat dorongan dan semangat dari berbagai pihak yang telah memberikan bantuan baik material maupun non-material demi kelancaran dalam penulisan tesis ini, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Warsito Utomo, selaku pembimbing utama yang dengan kecermatan dan penuh kesabaran telah memberikan bimbingan, saran dan masukan untuk kesempurnaan tesis ini.

2. Dra. Ambar Teguh Sulitiyani, M.Si, selaku pembimbing pendamping yang dorongan semangat, masukan dan sarannya, sangat membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

3. Bapak Drs Ratminto, M.Pol. Admin. Sebagai dosen penguji yang telah memberi kritik, saran dan masukan demi kesempurnaan penulisan ini.

4. Dr. Agus Heruanto Hadna, M.Si., Ketua Pengelola Program Studi Administrasi

Negara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan studi serta Mbak Ratna yang selalu mengingatkan dan mendeadline penulis dalam untuk segera menyelesaikan tesis ini.

5. Pimpinan Universitas Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah memberikan bantuan material maupun non-material demi kelancaran selama menempuh studi ini.

(9)

memberikan kesempatan dan dorongan untuk menempuh pendidikan pasca sarjana di UGM.

7. Dra Ponjto Siwi, Sutarto, Hardono, Dodit Sugeng Murbowo, Haryanto, dan semua staf di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta yang telah memberi kesempatan serta kerja sama yang baik dalam penelitian dan penyusunan tesis ini.

8. Orang tuaku tercinta Bapak.Mustakim Genye (almarhum) dan Ibu Hj. Salmah serta Bapak Ibu Mertua Sarbun Amin Riyanto dan Sriyati, terima kasih untuk kasih sayang dan doa restunya. Segenap keluarga besar penulis, Kak Sari sekeluarga, Mbak Wulan sekeluarga, Iik sekeluarga, Iir sekeluarga, Didin, Dadang sekeluarga, Eli sekeluarga, Doni sekeluarga, Keluarga Besar Haji Ibrahim Sumbawa, dan Keluarga Besar Dea Putra Sumbawa, serta Keluarga Besar Joyo Mardiko Magetan, teriman kasih untuk semua dukungan moral maupun material.

9. Istriku tercinta Siti Marfu’ah dengan segenap cinta kasih, kesabaran dan pengertian tanpa batas untuk terus mengingatkan penulis serta anak-anakku tersayang Hafiz, Mirza, Azizah yang selalu menjadi inspirasi dan semangat bagi penulis.

10. Semua rekan-rekan di Program Studi Administrasi Negara angkatan 2005, untuk berbagai bantuan dan dorongan morilnya terutama kepada Mbak Marita, Anik, Supakun, Mahama Daree, Mada-O, S Akbar, Pak Jani, Pak Wahab, Pak Fadly, Pak Richard, Mahruddin, Tun, dll.

11. Semua rekan di Siomay Kang Ujang, terutama Sunoto, S.Ag sekeluarga dan Mukhyidin sekeluarga terima kasih atas semua doa dan dukungannya.

12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan dalam kelancaran penulisan tesis ini.

(10)

Penulis menyadari, tesis ini masih banyak mengandung kekurangan, sehingga kritik, saran dan masukan untuk kesempurnaan tesis ini sangat diperlukan. Semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat.

Yogyakarta, Februari 2011

(11)

DAFTAR TABEL

HALAMAN

Tabel 1.1. Persyaratan Perizinan yang Tumpang Tindih 7 Tabel 1.2. Perbandingan Biaya dan Waktu Berdasarkan

Peraturan dan Kenyataan 8

Tabel 2.1. Perbedaan antara Organisasi Birokratik dan Organisasi Pasca Birokratik

22

Tabel 2.2. Konsekuensi Sentralisasi Terhadap Organisasi 28 Tabel 4.1. Komposisi Pegawai Berdasarkan Posisi dan Jumlah 47

Tabel 4.2 Komposisi Berdasarkan Jabatan 48

Tabel 4.3. Komposisi Pegawai Berdasarkan Golongan

Kepangkatan 49

Tabel 5.1. Perbandingan Reorganisasi Perizinan dari UPTSA

Menjadi Dinas Perizinan 56

Tabel 5.2. Jenis dan Waktu Penyelesaian Pelayanan Perizinan 66 Tabel 6.1. Jenis Perizinan Berdasarkan Regulasinya 75

Tabel 6.2. Jadwal Rapat di Dinas Perizinan 86

(12)

DAFTAR GAMBAR

HALAMAN

Gambar 2.1. Kerangkan Kerja Penelitian 32

Gambar 4.1. Struktur Organisasi Dinas Perizinan 45

Gambar 4.2. Sarana Gedung Dinas Perizinan 46

Gambar 5.1. Skema Pelayanan Perizinan 60

Gambar 5.2. Skema Mekanisme Pelayanan Legalisir dan Duplikat 63

Gambar 5.3. Skema Mekanisme Pelayanan Pengaduan 65

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Interview Guide

Lampiran 2 Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 01 Tahun 2000 tentang Pembentukan Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap Kota Yogyakrta

Lampiran 3. Peraturan Dareah Kota Yogyakarta Nomor 17 Tahun 2005 tentang Pembentukan Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Perizinan

(14)

INTISARI

Tujuuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran umum tentang implementasi reformasi organisasi perizinan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta

Untuk menjawab tujuan di atas, maka metode dalam penelitian ini mengacu jenis penelitian evaluasi yang mengkaji implementasi reformasi organisasi pelayanan perijinan di Dinas perizinan Kota Yogyakarta dengan teknis pengumpulan data menggunakan indepth interview dan observasi. Sedangkan informan dalam penelitian ini adalah Kepala Dinas Perizinan Kota Yogyakarta, Kepala Bidang, Kepala Seksi, Staf, dan Konsumen. Untuk menganalisis data menggunakan teknik analisis kualitatif dengan model analisis interaktif, yaitu analisis yang bergerak dalam tiga komponen, yaitu; reduksi data, analisis data, dan penarikan kesimpulan dan verifikasi.

Berdasarkan hasil temuan penelitian dapat diperoleh kesimpulan. Aspek formalisasi menujukkan bahwa regulasi perizinan seringkali mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan dinamika sosial dan ekonomi kemasyarakatan serta belum semua jenis perizinan dibuatkan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). Aspek sentralisasi sudah baik terbukti dengan adanya sistem koordinasi yang intens setiap minggunya untuk mengatasi dan mengevaluasi terkait dengan masalah perizinan yang sedang diproses. Selain itu, ada lembar kendali (routing slip) yang merupakan alat kontrol dari dinas terhadap kinerja staf terkait kemacetan atau keterlambatan proses perizinan. Aspek spesialisasi, secara kuantitas dan kualitas sumberdaya manusianya sangat kurang. Namun, untuk mengatasi permasalahan tersebut, Dinas Perizinan melakukan capacity building dengan in house training dan pelatihan staf. Dengan adanya implementasi reformasi organisasi perizinan menjadi Dinas Perizinan telah meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik dengan hasil peniliaian dari customer berdasarkan Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) berada dalam kategori baik

Oleh karena itu, saran dan rekomendasi dalam penelitian ini adalah: Pertama, untuk regulasi perizinan yang ada di Dinas Perizinan sebaiknya semua jenis perizinan diatur dalam Peraturan Daerah (Perda), sehingga tingkat pengawasan dan penindakan punya kepastian oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Kedua, untuk menimgkatkan keterbatasan kuantitas dan kualitas staf di Dinas Perizinan, maka perlu dilakukan penambahan ketrampilan teknis bagi staf terkait dengan teknis perizinan yang memerlukan kompetensi yang sesuai dengan perizinan

(15)

ABSTRACT

The purpose of this study was to obtain an overview of the implementation of the reform of licensing organizations to improve the quality of public services in Dinas Perizinan of Yogyakarta City.

To answer the above purposes, the method in this study refers to the type of evaluation research that examines the implementation of organizational reforms in Dinas Perizinan of Yogyakarta City with technical data collection using a depth interview and observation. While informants were taken from the Head Office of Dinas Perizinan, Division Head, Section Head, Staff, and Consumers. To analyze the data using qualitative analysis techniques with an interactive model, which moves in the analysis of three components, namely data reduction, data analysis, and drawing conclusions and verification.

Aspect formalization shows that licensing regulations are often amended in accordance with the development of social and economic dynamics of society and not all types of licensing be made in the form of local government regulation. For the aspect of centralization has been well proven by the intense coordination system each week to address and evaluate issues related to licensing which is being processed. In addition, there are routing slip which is a tool of official controls on performance related staff congestion or delay the licensing process. While from the aspect of specialization, in quantity and quality of its human resources are very less. However, to overcome this problem, Dinas Perizinan to do capacity building with in-house training and staff training. Second, With the reform of licensing organizations into Dinas Perizinan has increased the quality of service to the public with the results based on Community Satisfaction Index are in good category.

Therefore, the suggestions and recommendations in this study are: First, to the existing licensing regulation in Dinas Perizinan should be all kinds of licensing set out in the Local Government Regulation, so the level of supervision and enforcement have the assurance by the City Government of Yogyakarta. Second, to increase the limited quantity and quality of staff in Dinas Perizinan, it is necessary to increase technical skills for staff associated with the technical competence that require licensing in accordance with the licensing

(16)

BAB I PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah

Sejak era 1980-an, reformasi sektor publik yang dipelopori Inggris dibawah

Pemerintahan Margaret Thatcher dan Amerika Serikat dibawah Pemerintahan

Ronald Reagen telah menjadi inspirasi bagi lahirnya gerakan global yang disertai

desakan politik untuk menuntut perlunya pelayanan publik berorientasi pada

rakyat (customer) sebagai salah satu tolok ukur bagi legitimasi, kredibilitas, dan

sekaligus kapasitas politik suatu pemerintahan.

Dengan adanya pengaruh internasional, negara sedang berkembang tak

terkecuali Indonesia, gelombang tekanan untuk mengubah wajah pemerintahan

dan substansi operasi pelayanan publiknya datang dari institusi-institusi

internasional, diantaranya adalah Intemational Monetary Fund (IMF) dan World

Bank. Kedua institusi keuangan internasional ini mendesakkan tuntutan politik

terhadap negara-negara sedang berkembang untuk "mendevolusikan" sistem

pemerintahan yang sentralistik dan sistem pelayanan publiknya yang monopolistik

dengan menganjurkan kebijakan memperkuat otonomi daerah, privatisasi sektor

publik, dan pemberian kesempatan luas pada sektor-sektor diluar birokrasi

pemerintah (Abdul Wahab, 2001;45).

Dampak dari tekanan tersebut, Indonesia mulai melakukan reformasi

pemerintahannya sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 32/2004 tentang

(17)

bagi pemerintah pusat dalam melakukan pengaturan terhadap Pemda di Indonesia.

Dengan adanya aturan tersebut, maka penataan organisasi terhadap berbagai

elemen yang berkaitan dengan pemerintah daerah sebagai manifestasi dari

otonomi daerah menjadi suatu yang tak bisa dihindari untuk merubah paradigma

lama yang sentralistik menuju ke arah yang lebih desentralistik.

Penataan organisasi daerah tersebut telah tertuang dalam Peraturan

Pemerintah (PP) Nomor 8/2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah.

Kebijakan penataan ini lebih diarahkan pada upaya rightsizing, yaitu upaya

penyederhanaan birokrasi pemerintah yang diarahkan untuk mengembangkan

organisasi yang lebih proporsional, datar, hierarki yang pendek, dan kewenangan

yang terdesentralisasi. Sehingga tujuan utama dari penataan tersebut adalah untuk

memberdayakan Pemda agar mampu menjalankan tugas pokok dan fungsinya

secara ekonomis, efektif, efisien, dan akuntabel (URDI, 2000).

Selaras dengan tujuan di atas, desentralisasi atau otonomi daerah telah

memberi peluang bagi pemerintah daerah dengan kewenangan yang dimilikinya

berusaha memperkuat pelayanan publik yang berpihak pada kepentingan umum.

Hal ini diperkuat dengan pernyataan Soenarto (Bulletin Pengawasan, 2001)

bahwa dengan adanya otonomi daerah telah memindahkan sebagian besar

kewenangan yang tadinya berada di pemerintah pusat diserahkan kepada daerah

otonom, sehingga daerah otonom dapat lebih cepat dalam merespon tuntutan

masyarakat daerah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

Dengan otonomi daerah, pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan

(18)

pelaksanaan otonomi daerah sangat tergantung pada kemampuan keuangan

daerah, sumberdaya manusia yang dimiliki, serta kemampuan daerah untuk

mengembangkan potensi yang ada. Oleh karena itu, daerah dengan segenap

kemampuan yang ada, berusaha sekuat tenaga untuk menggali potensi

ekonominya secara maksimal. Salah satu potensi ekonomi yang menjadi prioritas

bagi pemasukan daerah adalah berasal dari pelayanan perizinan.

Dalam hal pelayanan perizinan, pemerintah pusat telah membuat pedoman

bagi penyelenggaraan pelayanan publik (terutama perizinan) yang berorientasi

pada masyarakat. Pemerintah pusat melalui Kementerian Pendayagunaan

Aparatur Negara berinisiatif melakukan regulasi dengan menerbitkan tiga

Keputusan Menteri (Kepmen) yang merupakan dasar hukum untuk dijadikan

pedoman oleh pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pelayanan publik.

Pertama, Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.

63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan

Publik. Kedua, Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.

25/KEP/M.PAN/02/2004 tentang Pedoman Umum Indeks Kepuasan Masyarakat

Unit Pelayanan Pemerintah. Ketiga, Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur

Negara No. 26/KEP/M.PAN/02/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan

Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Selain regulasi dari

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Kementerian Dalam Negeri juga

mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24/2006 tentang Pedoman

(19)

Regulasi tersebut disusun dalam paradigma di mana sebagian besar urusan

pemerintah dalam pelayanan publik menjadi kewenangan daerah, sehingga

keempat keputusan tersebut menjadi pedoman bagi penyusunan pelayanan sesuai

dengan kemampuan daerah. Ini berarti pemerintah daerah dapat menetapkan

sistem dan pola pelayanan publik yang disesuaikan dengan keadaan dan

kebutuhan daerah, sehingga dapat memberikan pelayanan kepada publik dengan

kualitas yang lebih baik (Sahetapy, 2004;7).

Berdasarkan kebijakan di atas, beberapa pemerintah daerah melakukan

berbagai pembenahan dan terobosan inovatif dalam melakukan reformasi

pelayanan yang terkait dengan perizinan. Upaya reformasi pelayanan perizinan

yang dilakukan oleh pemerintah daerah tidak hanya berusaha untuk meningkatkan

Pendapatan Asli Daerah (PAD), melainkan juga sebagai tanggungjawab untuk

melindungi masyarakatnya terhadap eksternalitas negatif dari aktifitas sosial

ekonomi. Sebab dengan adanya pelayanan perizinan yang baik, maka akan

tercipta lingkungan sosial ekonomi yang kondusif.

Suhirman (2002;9) mengatakan bahwa perizinan merupakan instrumen

kebijakan pemerintah untuk melakukan pengendalian atas eksternalitas negatif

yang mungkin ditimbulkan oleh aktifitas sosial maupun ekonomi. Perizinan juga

merupakan instrumen untuk alokasi barang publik secara efisien, adil, mencegah

asimetri informasi, dan perlindungan hukum atas kepemilikan atau

penyelenggaraan kegiatan. Sebagai instrumen pengendalian, perizinan

memerlukan rasionalitas yang jelas dan tertuang dalam bentuk kebijakan

(20)

jelas, maka perizinan akan kehilangan maknanya sebagai instrumen untuk

membela kepentingan masyarakat atas tindakan yang berdasarkan pada

kepentingan individu.

Namun dalam realitasnya, sejak otonomi daerah dilaksanakan, perbaikan

terhadap kinerja pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan publik yang

terkait dengan perizinan masih dirasakan belum adanya perubahan ke arah yang

lebih baik. Hal ini diperkuat dengan hasil survei REDI dengan PEG-USAID dan

TAF (The Asia Fondation) 2002 terhadap seribu empat belas pengusaha di dua

belas propinsi di Indonesia menunjukkan bahwa selama penerapan otonomi

daerah ternyata belum memberikan perbaikan yang signifikan pada iklim usaha di

daerah. Bahkan di beberapa daerah, kondisi iklim usaha cenderung memburuk.

Menurut Indra N. Fauzi (2003;7) terdapat tiga aspek masalah yang menyebabkan

belum maksimalnya pelayanan perizinan.

Pertama, aspek birokrasi perizinan tidak transparan dan biaya tinggi.

Dalam hal transparansi biaya pengurusan perizinan usaha, lima puluh delapan

persen (58%) responden menyatakan masih belum transparan. Sedangkan dua

puluh satu koma tujuh persen (21,7%) responden yang menyatakan biaya

pengurusan izin saat ini sudah lebih transparan. Kurangnya transparansi biaya

dalam pengurusan izin merupakan salah satu faktor yang menyebabkan pelaku

usaha harus membayar izin usaha lebih besar dari yang seharusnya.

Kedua, aspek pungutan liar. Pelaku pungutan liar setelah otonomi daerah

ini makin bervariasi dengan modus yang bermacam-macam, sehingga membebani

(21)

daerah menunjukkan lima puluh dua persen (52%) responden menyatakan

membebani pengusaha.

Ketiga, aspek orientasi dan arah kebijakan pemerintah daerah. Pada aspek

orientasi dan arah Pemda, sebagian responden mempunyai persepsi yang negatif

terhadap hal tersebut, lima puluh tiga persen (53%) responden menyatakan bahwa

saat ini Pemda lebih berorientasi pada peningkatan PAD.

Selain ketiga aspek di atas, pelayanan publik juga diperparah dengan

adanya kelemahan dari birokrasi pemerintah dalam melaksanakan fungsi

pelayanannya. Sebagaimana yang dikemukakan Mohammad Ismail (dalam

Sudrajat, 2006) bahwa di Indonesia terdapat berbagai kelemahan birokrasi di

dalam memberikan pelayanan publik, antara lain:

a. Kurang responsif. Kondisi ini terjadi hampir disetiap tingkatan unsur

pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai

dengan tingkatan pertanggungjawaban instansi. Respon terhadap berbagai

keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau

bahkan diabaikan sama sekali.

b. Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan

kepada masyarakat sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan

pelayanan tersebut.

c. Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan

lainnya sangat kurang terkoordinasi. Akibatnya sering terjadi tumpang

tindih atau pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan

(22)

(2001) menunjukkan bahwa persoalan tumpang tindih muncul dalam soal

persyaratan perizinan. tabel 1.1 menunjukkan contoh tumpang tindih pada

aspek persyaratan perizinan.

Tabel 1.1. Persyaratan Perizinan yang Tumpang Tindih

TDP TDUP SIUP SIUK IUUG/HO

TDUP FS/Proposal Sertifikat

tanah

NPWP NPWP NPWP NPWP NPWP

Ada biaya Tanpa biaya SITU/IUU G

IUUG/HO Pernyataan Tetangga - - Tanpa

biaya

Tanpa biaya Bukti pelunasan

d. Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan perizinan) pada umumnya

dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari berbagai level. Sehingga

penyelesaian pelayanan terlalu lama. Berkaitan dengan penyelesaian

masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan (front line staff) untuk

dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dilain pihak kemungkinan

masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan dalam

(23)

sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu

yang lama untuk penyelesaian. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang

yang dilakukan Rustiani (2001) yang mengemukakan bahwa perizinan

sangat birokratis dan inkonsistensi terkait biaya dan waktu dalam

penyelesaian pengurusan perizinan. Hal ini dapat dilihat dalam Tabel 1.2

dibawah ini.

Tabel 1.2. Perbandingan Biaya dan Waktu Berdasarkan Peraturan dan Kenyataan

Jenis Izin Biaya (Rp 000) Waktu (hari)

Peraturan Kenyataan Peraturan Kenyataan TDP PT 100

e. Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan dalam pelayanan

(khususnya dalam pelayanan perizinan) seringkali tidak relevan dengan

pelayanan yang diberikan. Berdasarkan tabel 1.1. dan tabel 1.2. di atas,

menunjukkan bahwa banyak di antara syarat-syarat tersebut kurang atau

bahkan tidak relevan dengan kegiatan usaha, sehingga pelayanan menjadi

tidak efisien.

Idealnya adalah kebijakan perizinan haruslah diarahkan untuk

(24)

terciptanya iklim usaha yang mendorong pertumbuhan ekonomi suatu daerah.

Menurut Fahmi Radhi (Kedaulatan Rakyat, 2 Agustus 2006) upaya untuk

menerapkan kebijakan perizinan yang memungkinkan terciptanya iklim usaha

yang kondusif harus dilakukan dengan menerapkan kebijakan Unit Pelayanan

Terpadu (UPT) dan One Stop Service (OSS).

Sejak otonomi daerah, beberapa daerah telah menata ulang kebijakan

perizinan dengan kebijakan UPT yang dikenal dengan Pelayanan Satu Atap. Pada

dasarnya tidak ada perubahan berarti dengan UPT dalam pengurusan izin usaha

masih melibatkan berbagai dinas terkait. Perubahannya adalah berbagai dinas

terkait yang berwenang mengeluarkan izin ditempatkan di satu atap, sehingga

pelaku usaha atau masyarakat tidak perlu bolak balik mendatangi beberapa dinas

terkait yang sebelumnya terpisah tempatnya. Upaya lain yang bisa diterapkan

dalam kebijakan perizinan adalah dengan menerapkan OSS. OSS agak berbeda

dengan UPT yang masih melibatkan beberapa dinas terkait. OSS hanya

melibatkan satu dinas saja, misalnya dengan membentuk Dinas Perizinan yang

berwenang memproses dan memberikan izin usaha. Penerapan OSS ini dapat

lebih menyederhanakan prosedur pemberian izin dan mempercepat proses

perizinan usaha.

Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dari lima pemerintahan

kabupaten/kota yang ada, baru pemerintahan Kota Yogyakarta yang mempunyai

komitmen dalam melakukan pembenahan organisasi perizinan dengan menyusun

langkah-langkah strategis untuk melakukan reformasi pelayanan perizinan dari

(25)

Zudianto, 2005). Sebagaimana diketahui, perizinan di Kota Yogyakarta setelah

mengindentifikasi ada tujuh puluh enam jenis izin yang dilayani oleh tujuh belas

instansi dan ada tiga belas non-perizinan bidang catatan sipil serta beberapa

perizinan bidang kependudukan dan surat keterangan/pemberitahuan. Beberapa

jenis perizinan pengurusannya diintegrasikan di UPTSA Kota Yogyakarta

berdasarkan Keputusan Walikota Yogyakarta No. 01/2000 yang mulai operasional

sejak Januari 2000.

Dalam prakteknya, pelayanan perizinan yang dilaksanakan oleh UPTSA

Kota Yogyakarta terhadap masyarakat pengguna layanan belum bisa diharapkan

dan masih banyak kelemahan, sehingga menjadi tidak efektif dan efisien. Ada

beberapa hal yang menyebabkan tidak efektif dan efisien, antara lain: status

organisasi UPTSA belum mandiri/dan non-struktural, sehingga koordinasi

perizinan terhambat birokrasi; Kewenangan pelayanan perizinan terbatas pada

tahap awal /front office, proses perizinan masih di instansi teknis, prosedur dan

mekanisme pelayanan perizinan yang masih berbelit dan tidak efisien; persyaratan

perizinan yang berdiri sendiri antarjenis perizinan, sehingga terjadi duplikasi

persyaratan (misal IMBB, HO dan Izin Teknis), belum adanya Standar Pelayanan

Minimal (SPM) untuk semua jenis perizinan, waktu proses perizinan belum sesuai

dengan waktu yang telah ditentukan, petugas pelayanan kurang menguasai

permasalahan secara teknis (Dinas Perizinan, 2005).

Dengan berbagai permasalahan di atas, maka Pemerintah Kota

Yogyakarta, berusaha memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanan

(26)

maksud tersebut, maka Pemerintah Kota Yogyakarta membentuk Dinas Perizinan

Kota Yogyakarta yang diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Yogyakarta

No. 17/2005 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas

Perizinan Kota Yogyakarta yang disyahkan 1 Nopember 2005 dan mulai

operasional Januari 2006.

Berdasarkan pemikiran di atas, maka penelitian ini akan mengkaji

sejauhmana implementasi reformasi organisasi perizinan untuk meningkatkan

kualitas pelayanan publik di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta.

2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang diajukan

dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah implementasi reformasi organisasi

di Dinas Perizinan Kota Yogyakart untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik

3. Tujuan

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan

yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran

umum tentang implementasi reformasi organisasi perizinan untuk meningkatkan

(27)

BAB II

KONSEP IMPLEMENTASI

REFORMASI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

1. Pendahuluan

Bab ini akan membahas mengenai kerangka konsep implementasi reformasi

sektor publik yang akan menjadi acuan dalam penelitian ini. Dalam menjelaskan

konsep ini akan dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama akan membahas kajian

pustaka yang terkait dengan referensi mutakhir yang didasarkan pada hasil

penelitian atau kajian yang sudah dilakukan sebelummnya. Hasil kajian puskata

ini akan dijadikan titik tolak dan justifikasi bahwa penelitian ini akan mengambil

sisi lain dari penelitian atau kajian sebelumnya. Sedangkan bagian kedua akan

menjelaskan kerangka konsep yang dijadikan rujukan terkait dengan reformasi

organisasi. Konsep yang digunakan adalah konsep kualitas pelayanan sektor

publik, konsep reformasi sektor publik, dimensi reformasi sektor publik, dan

konsep implementasi reformasi sektor publik untuk meningkatkan kualitas

pelayanan.

2. Kajian Pustaka

Reformasi organisasi telah menjadi kajian yang menarik bagi kalangan

akademisi dan praktisi dibidang administrasi publik. Sebab dari berbagai studi dan

(28)

saat ini, kajian reformasi organisasi lebih banyak dipengaruhi oleh disiplin

psikologi, politik, dan ekonomi. Kajian dari aspek psikologi, teori organisasi

publik banyak dikaitkan dengan perilaku dalam berorganisasi atau organisasi yang

mempengaruhi manusia. Sedangkan dari aspek politik, teori reformasi organisasi

publik dilihat dalam wilayah tarik-menarik antara kepentingan politik.

Namun, dalam perkembangannya, teori reformasi organisasi publik

mengalami perubahan paradigma dari government ke governance yang

dipengaruhi oleh pemikiran ekonomi (managerialism). Dalam hal ini, reformasi

organisasi banyak dikaitkan dengan efisiensi, akuntabilitas, dan manajerial.

Dari perspektif di atas, kajian tentang reformasi organisasi sektor publik di

Indonesia juga banyak diwarnai dengan pemikiran tersebut. Salah satunya adalah

penelitian yang dilakukan Muklir, dkk (2004) yang mengkaji proses reformasi

struktur organisasi dikaitkan dengan adanya perubahan sikap dan perilaku

aparatur Pemerintahan Kabupaten Aceh Utara dalam menyikapi otonomi khusus

melalui pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur

organisasi yang telah dibentuk lebih diarahkan pada budaya lokal. Dengan adanya

perubahan struktur dan nomenklatur organisasi mencerminkan semakin tingginya

tingkat kompleksitas, formalisasi, dan sentralisasi. Sedangkan perubahan sikap

dan perilaku aparatur dalam menyikapi otonomi khusus dari aspek atensi,

pemahaman, dan retensi ternyata hanya terjadi pada tingkat pimpinan di atas.

Ditingkat menengah hanya sebatas atensi, pemahaman, dan penerimaan dan

(29)

dan penerimaan masih belum optimal yang tercermin dari rendahnya perubahan

sikap.

Penelitian yang dilakukan Muklir di atas, berbeda dengan penelitian yang

dilakukan Weningsih (2004) yang melihat reformasi organisasi dari perspektif

politik dengan melakukan Studi Evaluasi Pelaksanaan Struktur Organisasi dan

Tata Kerja Dinas di Pemerintah Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah dengan

menggunakan pendekatan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

pelaksanaan reformasi organisasi dan tata kerja di Dinas Pemerintah Kabupaten

Banyumas yang memenuhi nilai standar sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP)

No. 8/2003 yang layak berbentuk dinas hanya dua belas. Dalam menyusun

struktur organisasi dan tata kerja tidak hanya sekedar persoalan administratif,

tetapi cenderung mengarah pada persoalan politis karena untuk menyusun struktur

organisasi dan tata kerja tersebut, peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) sangatlah besar. Dalam pelaksanaannya Struktur Organisasi dan Tata

Kerja Dinas Kabupaten Banyumas menunjukkan tingkat efisiensi dan efektifitas

pada posisi sedang, yaitu sebesar enam puluh empat koma delapan puluh persen

(64,80%).

Hasil penelitian di atas memperlihatkan bahwa fokus kajian yang dilakukan

dalam mereformasi organisasi pemerintahan di Indonesia lebih dikaitkan dengan

perubahan pada sikap apatur dan perubahan pada struktur organisasi yang terkait

dengan tarik menarik antara eksekutif dan legislatif, walaupun implementasinya

memberi dampak positif bagi peningkatan efisiensi organisasi. Sedangkan untuk

(30)

Oleh karena itu, penelitian ini mencoba untuk mengisi ruang kosong yang

belum banyak dikaji terkait dengan implementasi reformasi organisasi dalam

meningkatkan kualitas pelayanan publik di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta.

Sehingga keaslian penelitian ini bisa dijadikan salah satu perspektif yang bisa

memperkaya dan melakukan tambal sulam dari hasil penelitian sebelumnya.

3. Kerangka Konseptual

3.1. Konsep Kualitas Pelayanan Sektor Publik

Kualitas pelayanan pada sektor publik saat ini menjadi kata kunci untuk

membangkitkan kembali kepercayaan masyarakat pada pemerintah. Menurut

Gaster (1996) ada tiga argumen bagi pemerintah untuk mempromosikan kebijakan

kualitas dalam pelayanan publiknya. Pertama, kebijakan kualitas menguat di

pemerintahan lokal disebabkan adanya desakan dari eksternal. Kedua, kebijakan

kualitas akan memberikan kontribusi terhadap popularitas dan keberlangsungan

dari pemerintah lokal. Ketiga, Kebijakan kualitas dapat membawa pemerintah

lokal dan masyarakatnya lebih dekat dan fokus pada konsumen atau citizen

sehingga menjadi baseline bagi pelayanan publik dan nilai-nilai demokratik.

Secara definitif, kualitas pelayanan dimaknai sebagai fitness for purpose

atau fitness use dengan tujuan untuk mempertemukan kenyataan dan harapan dari

konsumen. Haywood-Farmer (Ghobadian,1994) berpendapat bahwa organisasi

pelayanan mempunyai kualitas yang tinggi (high quality), jika ia dapat

mempertemukan preferensi dan harapan konsumen secara konsisten. Elemen

(31)

mengidentifikasi segala sesuatu yang memenuhi persyaratan yang disesuaikan

dengan harapan konsumen. Untuk mampu mencapai kualitas pelayanan yang

tinggi, maka ada tiga atribut dasar yang harus dipenuhi, yaitu: Pertama, fasilitas

fisik, proses, dan prosedur pelayanan. Kedua, tingkah laku birokrat yang ramah

dan komunikatif. Ketiga, pertimbangan profesionalisme dalam memberikan

pelayanan.

Menurut Ghobadian (1994; 46-47), ada beberapa tantangan yang muncul

dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik, yaitu; lack of visibility,

difficulties in assigning specific accountability, time requered to improve service

quality, and delivery uncertinties. Untuk mengatasi tantangan ini, maka

pemerintah perlu melakukan upaya peningkatan pelayanan publik dengan

memfokuskan diri pada konsumen, memberdayakan front line staff, melatih dan

memberikan motivasi pada staf, serta mempunyai visi yang jelas tentang kualitas.

Di Indonesia, dengan adanya model demokrasi saat ini telah terjadi

perubahan kualitas pelayanan publik. Pemerintah daerah sebagai representasi

masyarakatnya, secara otonom dapat melayani secara langsung kebutuhan

masyarakatnya. Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, Pemerintah

daerah dihadapkan pada tuntutan perubahan yang menyangkut responsibilitas

personal, isu-isu kualitas, orientasi pada pengguna, orientasi pada hasil layanan,

menjalankan mekanisme pasar, orientasi ke budaya inovasi dan diversifikasi

(Supriyono, 2002).

3.2. Konsep Reformasi Organisasi Sektor Publik

(32)

Amstrong,1997) mengemukakan bahwa reformasi organisasi terjadi ketika gap

antara kinerja organisasi dan harapan dapat diselaraskan supaya menjadi lebih

nyata dan reformasi harus dipahami sebagai “the idea that, by making deliberate

goal-directed choice between organizational forms, new forms can be created,

which improve and lead to better result”.

Secara spesifik Pollitt (2000) melihat reformasi organisasi dengan merujuk

pada perubahan institusi pemerintah dan prosedur yang menegaskan pada satu

atau lebih karakteristik yang diakui secara luas dengan new public management

(NPM) atau reinventing government.

Berangkat dari definisi di atas, kajian mengenai reformasi organisasi

mengalami pasang surut sesuai dengan perkembangan pemikiran dalam ilmu

administrasi publik. Perkembangan tersebut terjadi seiring dengan adanya

kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh administrator publik (Muluk, 2006).

Menurut Antonius Tarigan (2003;29-30), perkembangan reformasi

organisasi publik telah mengalami transformasi dari model administrasi publik

klasik menuju model manajemen publik baru. Model administrasi publik klasik

terfokus pada interaksi dan kerjasama di dalam organisasi pemerintah yang

dibangun melalui hierarki. Model ini memberikan peran besar kepada pemerintah,

baik dalam merumuskan kebijakan maupun dalam penyampaian pelayanan publik.

Model administrasi publik klasik kemudian disempurnakan oleh model

manajemen publik baru. Model ini menghadirkan pola organisasi yang lebih

efisien, menciptakan fleksibilitas organisasi, menghindari adanya standarisasi

(33)

desentralisasi tanggungjawab kegiatan dan anggaran ketingkat yang paling bawah,

pergeseran pola manajemen dari sistem hierarki menuju sistem contracting out

dan memberikan perhatian pada membangun jaringan kerja (networking) dengan

organisasi lain di luar pemerintah.

Di Indonesia, reformasi organisasi pemeritahan telah mengalami pasang

surut yang diwarnai dengan pola dan kepentingan rezim yang berkuasa. Menurut

Mifta Thoha (2005;6-7), pada awal perkembangan ilmu administrasi negara tahun

1950-an, pemerintah dalam hal ini, Presiden Soekarno melalui almarhum Perdana

Menteri H. Djuanda melakukan reformasi administrasi negara dengan meniru dan

mewarisi sistem pemeritahan Belanda. Reformasi kedua dilakukan ketika era

rezim Orde Baru, dorongan untuk melakukan reformasi inipun diawali oleh

keinginan untuk membangun bangsa dan negara untuk menyelenggarakan

pemerintahan yang stabil, kuat, dan sentralistik. Suharto memegang kendali

pemerintahan dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 44 dan 45/1974

sebagai tonggak dirombak dan disusunnya sistem dan struktur lembaga birokrasi

pemerintah. Namun, setelah rezim Orde Baru tumbang dan diganti dengan rezim

Orde Reformasi, upaya untuk melakukan perubahan sistem dan organisasi

pemerintahan terdesentralisasi secara nyata dengan diberlakukannya UU No. 32/

2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Konsekuensi dari perubahan penyelenggaraan pemerintah daerah tersebut

berakibat pada terjadinya perubahan struktur kewenangan pemerintah pusat dan

daerah. Penyerahan kewenangan ini selanjutnya berimplikasi pada perubahan

(34)

Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 08/2003 tentang Pedoman

Organisasi Perangkat Daerah. Perubahan struktur organisasi daerah ini

dimaksudkan untuk mewujudkan tuntutan perubahan organisasi pemerintah agar

mampu mendukung kemandirian daerah dan untuk mewujudkan organisasi

pemerintahan daerah yang efisien dan efektif (Wediningsih, 2004;1-2).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 8/2003 pada pasal 2 ayat 1 menyebutkan

bahwa organisasi perangkat daerah di bentuk berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan:

a. Kewenangan pemerintahan yang dimiliki oleh daerah.

b. Karakteristik, potensi, dan kebutuhan daerah

c. Ketersediaan sumberdaya aparatur

d. Pengembangan pola kerjasama antardaerah dengan pihak ketiga.

Oleh karena itu, reformasi organisasi terjadi karena adanya tekanan dari

berbagai aspek, seperti; sosial, ekonomi, dan teknologi. Dengan adanya tekanan

tersebut, pemerintah berusaha memperkuat kinerjanya menjadi lebih efektif,

efisien, akuntabilitas, dan berkualitas. Keberhasilan pemerintah dalam

memperkuat kinerjanya juga sangat didukung oleh beberapa dimensi nilai dalam

melakukan reformasi organisasi.

Reformasi organisasi sangat terkait dengan nilai, norma, dan prinsip-prinsip

yang dijadikan acuan oleh sebuah organisasi dalam memberikan pelayanan

kepada publik. Bila dilihat dalam konteks historis, dimensi reformasi organisasi

selalu mengalami perubahan yang disesuaikan dengan konteks sejarah dan

(35)

permulaan abad ini, seperti; produktifitas, efektifitas, efisiensi dan kontrol budget

telah menjadi pemikiran dari reformasi organisasi dalam sistem negara barat.

Begitu juga dengan dimensi lain, seperti: transparansi, kebutuhan untuk sistem

streamlining, koordinasi, dan integrasi.

Oleh karena itu, dimensi reformasi organisasi publik dari masa ke masa

mengalami perubahan. Di mana, dalam 1960-an reformasi organisasi lebih

merujuk pada dimensi rasionalisasi dan demokratisasi. Sedangkan sejak 1980-an

dan 1990-an, dimensi reformasi organisasi lebih di dominasi oleh manajerialisme

dan citizen sebagai klien.

Menurut Kernaghan (2000;93-94), reformasi organisasi publik di beberapa

negara terutama Eropa, Amerika, Australia, dan Selandia Baru telah dilakukan

secara sporadis dengan merubah paradigma organisasi pemerintahannya dari

organisasi birokratik bergerak menuju organisasi pasca birokratik. Kernaghan

melihat perubahan tersebut dalam tiga dimensi, yaitu:

Pertama, dimensi kebijakan dan budaya manajemen. Dimensi kebijakan dan

budaya manajemen, organisasi birokratik lebih berpusat pada organisasi yang

lebih menitikberatkan pada kebutuhan organisasi itu sendiri; kekuasaan yang lebih

menentukan melalui kontrol, komando, dan patuh pada perintah atasan; berpusat

pada aturan yang mengacu pada prosedur baku organisasi, aturan-aturan dan

constrain; Bertindak secara independen dengan sedikit konsultasi, kerjasama, dan

koordinasi; berorientasi pada status quo berusaha untuk mengambil resiko dan

kesalahan; berorientasi pada proses yang berpusat pada akuntabiltas untuk sebuah

(36)

citizen dengan meningkatkan kualitas pelayanan; kepemimpinan yang partisipatif

dengan melakukan share values dan pembuatan keputusan yang melibatkan

semua pihak (partisipatif); berpusat pada masyarakat dengan melakukan

pemberdayaan terhadap pekerja; bertindak secara kolektif dengan melakukan

konsultasi, kerjasama dan koordinasi; berorientasi pada perubahan dengan

melakukan inovasi, risk taking, dan perbaikan yang terus menerus; berorientasi

pada hasil dengan melakukan akuntabilitas yang berpusat pada hasil.

Kedua, dimensi struktur organisasi. Dimensi struktur organisasi birokratik

bersifat sentralisasi dengan ciri hierarki dan kontrol secara terpusat; organisasinya

bersifat departemental dengan beberapa program yang diberikan kepada

konsumen dengan menggunakan operating. Sedangkan struktur organisasi pasca

birokratik bersifat desentralisasi dalam hal kewenangan dan kontrol; bentuk

organisasinya berbentuk non-departemental yang mana program dijalankan

dengan menggunakan berbagai macam mekanisme.

Ketiga, dimensi pasar. Dimensi pasar dari organisasi birokratik berpusat

pada anggaran yang bersumber pada anggaran Pemda; pelayanan publiknya

bersifat monopolistik yang dikuasai oleh pemerintah. Sedangkan organisasi pasca

birokratik berpusat pada pendapatan, di mana keuangan program sejauh mungkin

berbasis cost recovery; pelayanan publiknya lebih bersifat kompetitif yang

melibatkan sektor swasta dalam memberikan pelayanan. Secara lebih ringkas,

perbedaan antara organisasi birokratik dengan organisasi pasca birokratik dapat

(37)

Tabel 2.1 Perbedaan antara Organisasi Birokratik dan Organisasi Pasca Birokratik Organisasi Birokratik Organisasi Pasca Birokratik

Dimensi Kebijakan dan Budaya Manajemen Berpusat pada organisasi

Menitikberatkan pada kebutuhan organisasi itu sendiri

Berpusat pada Citizen Kualitas pelayanan untuk citizen

(Clients/stakeholders) Kekuasaan yang menentukan Kontrol,

komando dan patuh pada perintah

Kepemimpinan yang partisipatif Shared values and pembuatan keputusan yang partisipatif

Berpusat pada aturan Aturan, prosedur dan constraints

Berpusat pada masyarakat Memberdayaan pekerja Bertindak secara independen Sedikit

konsultasi, kerjasama, dan koordinasi

Bertindak secara kolektif Konsultasi, kerjasama, dan koordinasi

Berorientasi status quo Menghindari resiko dan kesalahan

Berorientasi pada perubahan Inovasi, risk taking dan perbaikan terus-menerus Berorientasi pada proses Akuntabilitas

pada proses

Berorientasi pada hasil Akuntabilitas pada hasil

Dimensi Struktur

Tersentralisasi Hierarki dan Kontrol terpusat

Desentralisasi Desentralisasi kewenangan dan kontrol Bentuk departemental Beberapa

program diberikan melalui operating

Bentuk Non-departemental Program diberikan dengan bermacam-macam mekanisme

Dimensi Pasar

Berpusat pada Anggaran Keuangan program terbesar berasal dari anggaran pemerintah.

Berpusat pada Pendapatan Keuangan program sejauh mungkin berbasis cost recovery

Monopolistik Monopoli pemernitahan memberikan pelayanan

Kompetitif Kompetisi dengan sektor swasta dalam memberikan pelayanan Sumber: Kernaghan, 2000, 92

Berdasarkan tabel 2.1 di atas, pengaruh manajerialisme sangat mewarnai

reformasi organisasi (Dixon.et.al.,1989). Tekanan manajerialisme ini menciptakan

kebutuhan pada seperangkat perubahan organisasi dengan meningkatkan kinerja

(38)

dari rakyatnya. Penerapan pendekatan manajemen profesional dalam sektor publik

ini telah banyak disuarakan oleh para pakar dengan berbagai label, misalnya

dengan nama managerialism, new public management, market based public

administration, new public service, dan entrepreneurship government/ reinventing

government. Apapun label yang dipergunakan yang jelas pendekatan manajemen

profesional ini telah merubah fokus orientasi peran dan fungsi birokrasi dalam

pemerintahan yang semula lebih mementingkan process menuju ke product atau

dari rule government menuju ke good governence (Suryono, 2002b).

4. Implementasi Reformasi Organisasi Sektor Publik

Mazmanian dan Sabatier (dalam Abdul Wahab,2005;68-69) menjelaskan

konsep atau makna implementasi sebagai pelaksanaan keputusan kebijakan dasar,

biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk

perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan

peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin

diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan yang ingin dicapai, dan berbagai cara

untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya. Proses tersebut

berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawali dengan

tahapan pengesahan undang-undang, kemudian output kebijakan dalam bentuk

pelaksanaan oleh instansi pelaksana, kesediaan dilaksanakannya keputusan

tersebut oleh kelompok sasaran, dampak nyata dari output tersebut, dampak

(39)

dilakukan perbaikan penting terhadap undang-undang/peraturan yang

bersangkutan.

Terkait dengan reformasi organisasi, konsep implementasi dapat dilihat

dalam dua metode, yaitu unilateral dan share (Waldersee and Griffiths,2004;

425). Metode unilateral adalah lebih bersifat memberikan petunjuk (preskriptif),

kontrol, dan urusan teknis didasarkan pada kewenangan untuk mengubah secara

obyektif aspek formal dari suatu instansi. Metode ini cenderung bersifat top-down,

prosedural, dan difokuskan pada alokasi sumberdaya, serta mengikuti garis

kewenangan formal. Berbeda dengan metode share yang lebih menitikberatkan

pada penguatan partisipatif, menggunakan teknik konsultatif yang secara langsung

mempunyai target nilai, sikap, keahlian dari anggota organisasi. Metode ini secara

tipikal bersifat partisipasi tim untuk melakukan redesign dan komite konsultasi.

Menurut Dumphy dan Stace (dalam Waldersee and Griffiths,2004;427)

implementasi perubahan dalam organisasi yang berskala besar lebih dominan

menggunakan metode top-down. Bahkan secara lebih teknis, Moon (1999;33-35)

melihat efektifitas implementasi reformasi organisasi sektor publik sangat

tergantung dengan pengembangan karakteristik dari organisasi publik itu sendiri.

Karakteristik organisasi dapat dilihat dari aspek struktur organisasi. Dalam

konteks reformasi struktur organisasi, beberapa studi organisasi melihat reformasi

struktur organisasi dalam tiga aspek, yaitu; formalisasi, spesialisasi, dan

(40)

4.1. Formalisasi

Formalisasi merupakan salah satu bentuk karakteristik dari struktur

organisasi, di mana pekerjaan dalam suatu organisasi distribusikan, dimasukkan

dalam aturan-aturan, prosedur-prosedur dan perintah dalam bentuk tertulis. Ide

dari formalisasi ini adalah untuk mengelola dan mengontrol pekerjaan (Andersen,

2002;345). Moon (1999;34) melihat formalisasi sebagai bagian dari aktifitas

organisasi yang dimanifestasikan melalui dokumen tertulis, regulasi, dan policy

manuals. Banyaknya aturan dan dokumen yang bersifat tertulis cenderung

menyebabkan lambatnya proses administrasi dan kurangnya komunikasi dengan

konsumen.

4.2. Spesialisasi.

Spesialisasi dalam organisasi pemerintahan terlihat dengan semakin

meningkatnya volume pekerjaan, keikutsertaan aparatur dalam pelatihan dan

penggunaan sistem kerja. Spesialisasi di percaya dapat memberikan kontribusi

untuk peningkatan kinerja organisasi. Menurut Andersen (2002) spesialisasi dapat

dilihat dalam tiga kategori, yaitu:

a. Diferensiasi horizontal menjelaskan seberapa banyak pekerjaan, profesi, dan

bidang keahlian khusus yang ditemukan. Diferensiasi horizontal selalu

menjelaskan seberapa banyak pelatihan keahlian dan pendidikan yang

diberikan oleh organisasi yang berhubungan atau disesuaikan dengan tugas

(41)

b. Diferensiasi vertikal menjelaskan suatu pekerjaan dengan melihat

kesesuaian pada tingkat pelimpahan kewenangan yang telah diberikan oleh

organisasi dan seberapa besar tingkat rentang kontrol untuk setiap bidang.

c. Diferensiasi spasial menjelaskan tentang keterkaitan pekerjaan dengan

lokasi fisik, dan masyarakat. Dalam konteks ini lebih menitikberatkan pada

kompleksitas pekerjaan sangat terkait dengan lokasi bangunan atau penataan

ruang dalam memberikan pelayanan serta sejauhmana komitmen organisasi

berorientasi pada masyarakat.

4.3. Sentralisasi.

Sentralisasi merefleksikan tingkat kontrol top management dalam

pengambilan keputusan. Menurut Muklir, dkk (2005;7) sentralisasi diukur dari

tingkat keikutsertaan dalam pengambilan keputusan dan tingkat pelimpahan

wewenang, baik sentralisasi keputusan strategis maupun sentralisasi keputusan

taktis. Keputusan strategis adalah keputusan-keputusan yang berkenaan dengan

masalah kebijakan jangka panjang, yaitu; tentang alokasi sumberdaya manusia

dan uang, karena hal tersebut merupakan pusat bagi keputusan yang paling

mendasar dalam organisasi. Pengukuran kedua adalah bagaimana kekuasaan itu

didistribusikan di antara tugas-tugas pekerjaan yang merupakan tingkat hierarki

wewenang, ini menyangkut keputusan-keputusan mengenai kegiatan sehari-hari

dari setiap tugas yang perlu untuk operasi yang efisien dan lancar. Sentralisasi

semacam ini sebagai sentralisasi keputusan-keputusan taktis.

Melcher (1994;188-189) melihat beberapa konsekuensi sentralisasi terhadap

(42)

proses, sentralisasi dalam proses organisasi dapat dibagi dalam aspek koordinasi,

pengambilan keputusan, dan komunikasi. Sentralisasi koordinasi membawa

konsekuensi adanya koordinasi yang baik melalui pimpinan dan kebijakan yang

keseragaman. Konsekuensi sentralisasi dalam proses pengambilan keputusan

membawa manfaat terhadap organisasi secara keseluruhan penuh dengan

pertimbangan, jika keputusan yang dibuat oleh top manajemen dan staf personalia

serta dalam keadaan darurat, staf dan manajemen dapat memanfaatkan informasi

dan membuat keputusan yang menentukan tanpa adanya penundaan.

Sedangkan aspek komunikasi dalam sistem yang tersentralistis membawa

konsekuensi kebijakan, prosedur, dan aturan memberikan perangkat komunikasi

yang standar untuk pengambilan keputusan; ini merupakan alat komunikasi ke

bawah yang efisien.

Untuk aspek pola perilaku dibagi dalam aspek prakarsa dan motivasi dari

manajemen dan keputusan dengan pekerjaan. Aspek prakarsa dan motivasi dari

manajemen yang sentralistis membawa konsekuensi yang lebih tinggi dari top

manajemen. Aspek keputusan dengan pekerjaan membawa konsekuensi

personalia yang lebih tinggi dan lebih puas dengan pekerjaan mereka karena

mengerjakan pekerjaan yang penuh tantangan.

Aspek kerawanan organisasi dibagi dalam aspek pengembangan personalia,

tergantung pada top manajemen, dan perubahan. Aspek pengembangan personalia

membawa konsekuensi pengalaman yang luas dari top manajemen dan staf

personalia. Aspek tergantung pada top manajemen membawa konsekuensi pada

(43)

personalia saja yang dibutuhkan untuk sukses organisasi. Sedangkan aspek

perubahan membawa konsekuensi dapat dimulai dengan cepat dan terencana

dengan baik. Konsekuensi sentralisasi terhadap organisasi secara ringkas dapat

dilihat pada tabel 2.2:

Tabel 2.2. Konsekuensi Sentralisasi Terhadap Organisasi

Sentralisasi Proses Organisasi

Konsekuensi

Manfaat Mudarat

Koordinasi Koordinasi yang lebih baik melalui pimpinan

Pengambilan keputusan Organisasi secara keseluruhan atau masalah khusus dari bidang atau divisi dari unit kerja.

informasi ke atas dan arus informasi ke bawah membutuhkan waktu.

Komunikasi Kebijakan, prosedur, dan aturan memberikan mana arus pesan akan mengurangi tingkat komunikasi ke atas dan antar unit kerja.

Pola Perilaku

Prakarsa dan motivasi dari manajemen dan staf

Inisiatif dan motivasi yang lebih tinggi dari top manajemen.

Menurunnya inisiatif dan motivasi dari manajemen di tingkat yang lebih rendah.

(44)

pekerjaan lebih tinggi lebih puas dengan pekerjaan mereka karena

mengerjakan pekerjaan yang penuh tantangan.

rendah tidak puas dengan pekerjaan mereka karena top manajemen dan staf personalia. dan staf personalia saja yang dibutuhkan untuk

Perubahan dapat di mulai dengan cepat. Sumber: Melcher, 1994; 188-189

Berangkat dari karakteristik di atas, implementasi perubahan pada struktur

organisasi sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, pada prinsipnya lebih

berorientasi pada upaya peningkatan kualitas pelayanan publik. Salah satu tujuan

dari implementasi reformasi organisasi adalah sebagai upaya untuk meningkatkan

efisiensi dan efektifitas organisasi.

Dengan adanya efisiensi dan efektifitas, maka kualitas pelayanan publik

yang berorientasi pada kepentingan rakyat dapat tercapai. Untuk mencapai

(45)

perubahan yang ingin dicapai oleh sebuah organisasi. Costello (dalam Hoque and

Moll, 2000) melihat ada tiga tipe implementasi perubahan organisasi dalam

rangka meningkatkan pelayanan publik. Pertama, developmental. Perubahan

developmental ini dapat dimaknai sebagai perbaikan organisasi secara praktis

seperti membangun tim untuk mempersiapkan diri masuk dalam mekanisme pasar

atau mencoba menerapkan teknologi baru. Kedua, transtitional. Perubahan

transisional ini merujuk kepada implementasi struktur baru atau metode baru.

Kehendaknya melakukan reorganisasi secara sungguh-sungguh dengan

memasukkan teknik, metode, dan prosedur atau produk dari pelayanan publik.

Ketiga, transformational, merujuk kepada memperkenalkan struktur baru yang

merupakan hasil dari proses perubahan yang dikaitkan dengan visi dan strategi

pelayanan publik. Contoh dari perubahan transformasi adalah merger, konsolidasi,

dan restructuring.

Kingsley (dalam Suwondo, 2000) merekomendasikan perlunya reformasi

karakter pemerintah daerah (internal reform) dengan mengimplementasikan

beberapa teknik dalam meningkatkan kualitas pelayanan adalah Performance

measurement dengan terdapatnya catatan laporan yang jelas dari hasil-hasil

kegiatan dan mengukur efisiensi relatif, misalnya dengan biaya/harga per unit

pelayanan yang diberikan. independent and objective audits, baik terhadap

performance dan managemen keuangan. Performance contracts dengan tetap

menjaga hubungan yang baik dengan pihak lain (pemerintah, swasta, dan NGOs).

decentralization of responsibility within government dengan membagi habis

(46)

dibawahnya. Introducing customer orientation and access dengan

mempublikasikan rencana-rencana dan laporan kegiatan, menetapkan

one-stop-shops untuk memudahkan dalam pengurusan perizinan, dan sebagainya. A

competitive mode of service provision dengan cara yang kompetitif dalam

memberikan pelayanan antara pemerintah, swasta dan NGOs.

Dalam ISO 9000:2000 mengidentifikasikan delapan prinsip kualitas

manajemen yang seharusnya ditanamkan dalam sistem manajemen kualitas untuk

mendefinisikan apakah dan bagaimana seharusnya sebuah organisasi secara

konsisten telah menyediakan pelayanan yang dibutuhkan oleh konsumen

(O'Donoghue, 2003). Kedelapan strategi dan prinsip tersebut, antara lain:

Pertama, fokus pada konsumen. Kedua, kepemimpinan. Ketiga, keterlibatan

masyarakat. Keempat, pendekatan proses. Kelima, keinginan pada hasil. Keenam,

pendekatan sistem ke manajemen. Ketujuh, perbaikan yang terus menerus.

Kedelapan, pendekatan faktual dalam pengambilan keputusan.

5. Kerangka Berfikir (Framework) Penelitian

Reformasi kelembagaan yang dilakukan oleh pemeritahan Kota Yogyakarta,

terutama yang terkait dengan perubahan organisasi dari UPTSA ke Dinas

Perizinan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah No. 17/2005. Dengan adanya

perubahan tersebut menarik untuk dikaji secara lebih mendalam mengenai

keterkaitan reformasi organisasi tersebut dalam meningkat kualitas pelayanan

(47)

Menurut Sudrajat (2006) dalam melakukan reformasi organisasi seringkali

terdapat kelemahan dari sisi kelembagaan. Kelemahan tersebut terletak pada

desain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka memberikan

pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hierarki yang membuat pelayanan

menjadi berbelit-belit dan tidak terkoordinasi, kecenderungan untuk

melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan penyelenggaraan

masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, sehingga pelayanan publik

menjadi tidak efisien.

Sehingga penelitian implementasi reformasi organisasi di Dinas Perizinan

Kota Yogyakarta untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik menggunakan

pendekatan Moon (1999;33-35) dengan melihat salah satu dalam reformasi

organisasi dari aspek struktur organisasi. Oleh karena itu, fokus kajian dalam

penelitian ini hanya melihat reformasi organisasi dari aspek struktur organisasi

yang meliputi; formalisasi, spesialisasi, dan sentralisasi dengan tujuan untuk

meningkatkan kualitas pelayanan publik di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta.

Secara ringkas kerangka kerja (framework) dalam penelitian ini dapat dilihat pada

gambar 2.1. dibawah ini:

Gambar 2.1. Kerangka Penelitian (Framework)

(48)

Dengan adanya perubahan struktur organisasi, maka akan dikaji secara

mendalam mengenai implementasi reformasi struktur organisasi Dinas Perizinan

Kota Yogyakarta dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan bagi masyarakat.

Sebab salah satu pertimbangan adanya perubahan organisasi perizinan menjadi

dinas adalah untuk mewujudkan peningkatan pelayanan dibidang perizinan yang

(49)

BAB III

METODE PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL REFORMASI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

1. Pendahuluan

Bab ini akan membahas mengenai metode penelitian, definisi konsep, dan

definisi operasional. Metode dalam penelitian akan membahas mengenai jenis

penelitian, lokasi dan informen penelitian, teknik pengumpulan data, serta teknik

analisis data. Untuk definisi konsep akan menjelaskan pada penegasan mengenai

konsep yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Sedangkan definisi operasional

akan membahas mengenai uraian detail dari definisi konseptual yang akan

dijadikan acuan dalam menggali data di lapangan

2. Metode Penelitian

Metode dalam penelitian ini mengacu pada jenis penelitian evaluasi yang

mengkaji implementasi reformasi organisasi pelayanan perizinan di Dinas

Perizinan Kota Yogyakarta untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik.

2.1. Lokasi dan Informan Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di Dinas perizinan Kota Yogyakarta dengan

alamat Jl. Kenari No. 56 Yogyakarta 55165. Sedangkan Informan dalam

penelitian ini adalah Kepala Dinas, Kepala Bidang, Kepala Seksi, Kepala Bidang

(50)

2.2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

wawancara mendalam (indepth interview) dengan kepala dinas, kepala bidang,

kesekretariatan, dan konsumen, Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. Selain

wawancara mendalam, penelitian ini juga melakukan observasi atau pengamatan

langsung mengenai proses pelayanan yang ada di Dinas Perizinan. Untuk

melengkapi teknik wawancara dan observasi, penelitian ini juga menggunakan

teknik dokumentasi untuk memperdalam dan mempertajam hasil temuan yang

ada. Teknik dokumentasi ini dilakukan dengan mempelajari sumber yang berasal

dari buku literatur, jurnal, majalah, surat kabar harian, internet dan sumber lain

yang terkait.

2.3. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik kualitatif

dengan model analisis interaktif, yaitu analisis yang bergerak dalam tiga

komponen, yaitu; Pertama, reduksi data (reduction). Kedua, sajian data (display.)

Ketiga, penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing). (Miles dan

Huberman, 1992;16-21). Reduksi data yang dimaksud adalah hasil wawancara

dan obeservasi yang diperoleh kemudian diidentifikasi dengan data yang ada agar

lebih fokus. Setelah melakukan identifikasi data, kemudian dideskripsikan dalam

sajian data yang diperkuat dengan analisis untuk membuat kesimpulan.

Oleh karena itu, proses analisis dalam penelitian ini menggunakan

triangulasi data dengan melakukan strukturisasi data primer dari hasil wawancara

(51)

dengan fokus kajian seperti aturan, kebijakan dari Perda (Peraturan Daerah),

Perwal (Peraturan Walikota) sampai dengan Peraturan Kepala Dinas, serta

publikasi baik dari buku dan jurnal. Data primer dan sekunder tersebut akan

dianalisis secara detail dengan melakukan triangulasi data yang diperoleh dari

sumber data primer dari hasil wawancara dan observasi. Dari hasil analisis,

kemuadian ditarik kesimpulan sesuai dengan tujuan dalam penelitian.

3. Definisi Konseptual

Definisi konseptual dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

3.1. Reformasi organisasi

Reformasi organisasi adalah upaya strategis yang dilakukan Pemerintahan

Kota Yogykarta dengan mengadakan perubahan terhadap struktur organisasi

perizinan secara konkrit dalam rangka peningkatan pelayanan publik.

3.2. Implementasi reformasi

Implementasi organisasi adalah suatu proses penerapan hasil reformasi

organisasi dengan merujuk pada tiga aspek, yaitu. Pertama, formalisasi yang

berarti aktivitas organisasi yang diatur secara tertulis, baik aturan-aturan yuridis

maupun regulasi perizinan. Kedua, sentralisasi berarti mekanisme kontrol,

mekanisme pengambilan keputusan dalam organisasi dan pelimpahan

kewenangan dari pimpinan ke staf. Ketiga, spesialisasi artinya terkait dengan

(52)

4. Definisi Operasional

Sesuai dengan definisi konsepsional di atas, maka definisi operasional

dalam penelitian akan dijabarkan sebagai berikut:

4.1. Formalisasi dalam definisi opresional peneltian ini akan mengkaji dari dua

aspek, yaitu:

a. Regulasi perizinan yang dilaksanakan oleh Dinas Perizinan

b. Regulasi organisasi Dinas Perizinan.

4.2. Sentralisasi dalam definisi operasional penelitian ini akan mengkaji dari tiga

aspek, yaitu:

a. Rentang Kontrol (Span of contro)l untuk setiap bagian.

b. Mekanisme pengambilan keputusan

c. Pelimpahan kewenangan antara atasan dan bawahan.

4.3. Spesialisasi dalam definisi operasional penelitian ini akan mengkaji dari dua

aspek, yaitu:

a. Pembagian tugas dan fungsi

b. Pengembangan kapasitas pekerja dalam pelayanan

(53)

BAB IV

GAMBARAN UMUM DINAS PERIZINAN

KOTA YOGYAKARTA

1. Pendahuluan

Bab ini akan membahas mengenai deskripsi secara umum perihal sejarah

organisasi Dinas Perizinan yang diperkuat dengan Peraturan Daerah (Perda) No.

17/2005 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas

Perizinan dan dijabarkan secara secara lebih rinci dalam Peraturan Walikota

(Perwal) No. 187/ 2005 Tentang Penjabaran Fungsi dan Tugas Dinas Perizinan

Kota Yogyakarta, juga diperkuat dengan adanya Renstra Dinas Perizinan yang

ditetapkan dalam Keputusan Kepala Dinas Perizinan Kota Yogyakarta No.

02/KEP/DINZIN/2007.

Ketiga perangkat aturan di atas, merupakan petunjuk bagi pelaksanaan

tugas, fungsi, kewenangan, struktrur yang didukung oleh visi, misi, motto, dan

komposisi sumberdaya manusia di Dinas Perizinan.

2. Sejarah Terbentuknya Dinas Perizinan

Pengelolaan perizinan oleh Pemerintahan Kota Yogyakarta mempunyai

sejarah panjang, semula pelayanan perizinan masih terpusat pada instansi teknis

dan sangat birokratis. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Yogyakarta mempunyai

komitmen untuk menjadikan pelayanan perizinan menjadi leading sector yang

Gambar

Tabel 1.1. Persyaratan Perizinan yang Tumpang Tindih
Tabel 1.2. Perbandingan Biaya dan Waktu Berdasarkan Peraturan dan Kenyataan
Tabel 2.1 Perbedaan antara Organisasi Birokratik dan Organisasi Pasca Birokratik
Tabel 2.2. Konsekuensi Sentralisasi Terhadap Organisasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

7. Hak untuk berubah menjadi wajib untuk mendapat bantuan hukum. Wajib bagi tersangka mendapat bantuan hukum bagi tersangka dalam semua tingkat pemeriksaan jika sangkaan

seperti merah, biru, magenta, coklat dll akan memberi kenampakan yang lebih baik dibanding warna yang lebih cerah. Barangkali aturan yang terbaik adalah menggunakan

Di lain pihak, SDIS Rhône dan Komite Keamanannya yang merupakan lembaga yang bertanggung jawab dalam pencegahan kebakaran di Département Rhône, keduanya lebih banyak

Masalah utama dalam penelitian ini adalah sebagian besar siswa tidak memiliki motivasi untuk mengikuti pelajaran. Adapun rumusan masalah dalam penelitian tindakan ini adalah:

Para petani yang pada waktu lalu menanam jarak pagar merasa apa yang sudah dilakukannya sebagai hal yang aneh, karena mereka sendiri juga tidak menyadari apa yang

RTH Kecamatan Kramat Jati Berdasarkan Rencana Detai Tata Ruang (RDTR) Berdasarkan hasil identifikasi RTH dengan menggunakan NDVI, diperoleh proporsi RTH di Kecamatan Kramat

Menurut Djamaris (2002:19) dalam mentransliterasikan sebuah teks naskah harus memperhatikan dua tugas pokok penelitian filologi, yakni menjaga kemurnian ragam

Narkotika : Zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sentetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,