TESIS
IMPLEMENTASI REFORMASI ORGANISASI PERIZINAN
UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN
PUBLIK DI DINAS PERIZINAN KOTA YOGYAKARTA
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Mencapai Derajat Sarjana S2
Disusun Oleh:
Isnaini Muallidin
22686/IV-1/2091/05
PASCA SARJANA ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
DAFTAR ISI
HALAMAN
HALAMAN JUDUL I
HALAMAN PENGESAHAN Ii
PERNYATAAN Iii
DAFTAR ISI Iv
PRAKATA Viii
DAFTAR TABEL X
DAFTAR GAMBAR Xi
DAFTAR LAMPIRAN Xii
INTISARI Xiii ABSTRACT Xiv
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah 1
2. Permasalahan 11
3. Tujuan 11
BAB II KONSEP IMPLEMENTASI REFORMASI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK
1. Pendahuluan 12
2. Kajian Pustaka 12
3. Kerangka Konseptual 15
3.1.Konsep Kualitas Pelayanan Sektor Publik 15 3.2.Konsep Reformasi Organisasi Sektor Publik 16 4. Implementasi Reformasi Organisasi Sektor Publik 23
4.2. Spesialisasi 25
4.3. Sentralisasi 26
5. Kerangka Berfikir Reformasi Organisasi 31
BAB III METODE DAN DEFINISI OPERASIONAL REFORMASI ORGANISMASI SEKTOR PUBLIK
1. Pendahuluan 34
2. Metode Penelitian 34
2.1. Lokasi dan Informen 34
2.2. Teknik Pengumpulan Data 35
2.3. Teknik Analisis Data 35
3. Definisi Konseptual 36
3.1. Reformasi Organisasi 36
3.2. Implementasi Reformasi Orgamnisasi 36
4. Definisi Operasional 37
4.1. Formalisasi 37
4.2. Sentralisasi 37
4.3 . Spesialisasi 37
BAB IV GAMBARAN UMUM DINAS PERIZINAN KOTA YOGYAKARTA
1. Pendahuluan 38
2. Sejarah Terbentuknya Dinas Perizinan 38
3. Visi, Misi, dan Kewenangan 41
4. Struktur Organisasi 42
5. Perlengkapan Sarana Dan Prasarana 45
6. Tugas dan Fungsi 46
7. Komposisi Sumberdaya Manusia 47
8.1. Bidang Tata Usaha Perizinan 50
8.2. Bidang Pelayanan Perizinan 51
8.3. Bidang Sistem Informasi dan Pengaduan 51
8.4. Bidang Data dan Pengembangan 51
BAB V KEBIJAKAN REORGANISASI PERIZINAN KOTA YOGYAKARTA
1. Pendahuluan 53
2. Penataan Organisasi Perizinan 53
3. Sistem Prosedur dan Waktu Perizinan 57
3.1. Mekanisme Pelayanan Perizinan 58
3.2. Mekanisme Pelayanan Legalisir 60
3.3. Mekanisme Pelayanan Duplikat 61
3.4. Mekanisme Pengaduan 63
4. Pelayanan Perizinan Berbasis Teknologi Informasi 67
BAB VI IMPLEMENTASI REFORMASI ORGANISASI DINAS PERIZINAN DALAM PERSPEKTIF FORMALISASI, SENTRALISASI, DAN
3.2. Mekanisme Pengambilan Keputusan 84
3.3. Pelimpahan Kewenangan 87
4. Spesialisasi 88
4.1. Pembagian dan Beban Tugas Staf 88
BAB VII KESIMPULAN
1. Kesimpulan 94
2. Saran 96
PRAKATA
Syukur ke hadirat Allah SWT, akhirnya tesis Implementasi Reformasi Organisasi Dinas Perizinan Kota Yogyakarta untuk Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik ini dapat terselesaikan, walaupun banyak sekali kendala yang penulis alami.
Berkat dorongan dan semangat dari berbagai pihak yang telah memberikan bantuan baik material maupun non-material demi kelancaran dalam penulisan tesis ini, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Warsito Utomo, selaku pembimbing utama yang dengan kecermatan dan penuh kesabaran telah memberikan bimbingan, saran dan masukan untuk kesempurnaan tesis ini.
2. Dra. Ambar Teguh Sulitiyani, M.Si, selaku pembimbing pendamping yang dorongan semangat, masukan dan sarannya, sangat membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
3. Bapak Drs Ratminto, M.Pol. Admin. Sebagai dosen penguji yang telah memberi kritik, saran dan masukan demi kesempurnaan penulisan ini.
4. Dr. Agus Heruanto Hadna, M.Si., Ketua Pengelola Program Studi Administrasi
Negara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan studi serta Mbak Ratna yang selalu mengingatkan dan mendeadline penulis dalam untuk segera menyelesaikan tesis ini.
5. Pimpinan Universitas Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah memberikan bantuan material maupun non-material demi kelancaran selama menempuh studi ini.
memberikan kesempatan dan dorongan untuk menempuh pendidikan pasca sarjana di UGM.
7. Dra Ponjto Siwi, Sutarto, Hardono, Dodit Sugeng Murbowo, Haryanto, dan semua staf di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta yang telah memberi kesempatan serta kerja sama yang baik dalam penelitian dan penyusunan tesis ini.
8. Orang tuaku tercinta Bapak.Mustakim Genye (almarhum) dan Ibu Hj. Salmah serta Bapak Ibu Mertua Sarbun Amin Riyanto dan Sriyati, terima kasih untuk kasih sayang dan doa restunya. Segenap keluarga besar penulis, Kak Sari sekeluarga, Mbak Wulan sekeluarga, Iik sekeluarga, Iir sekeluarga, Didin, Dadang sekeluarga, Eli sekeluarga, Doni sekeluarga, Keluarga Besar Haji Ibrahim Sumbawa, dan Keluarga Besar Dea Putra Sumbawa, serta Keluarga Besar Joyo Mardiko Magetan, teriman kasih untuk semua dukungan moral maupun material.
9. Istriku tercinta Siti Marfu’ah dengan segenap cinta kasih, kesabaran dan pengertian tanpa batas untuk terus mengingatkan penulis serta anak-anakku tersayang Hafiz, Mirza, Azizah yang selalu menjadi inspirasi dan semangat bagi penulis.
10. Semua rekan-rekan di Program Studi Administrasi Negara angkatan 2005, untuk berbagai bantuan dan dorongan morilnya terutama kepada Mbak Marita, Anik, Supakun, Mahama Daree, Mada-O, S Akbar, Pak Jani, Pak Wahab, Pak Fadly, Pak Richard, Mahruddin, Tun, dll.
11. Semua rekan di Siomay Kang Ujang, terutama Sunoto, S.Ag sekeluarga dan Mukhyidin sekeluarga terima kasih atas semua doa dan dukungannya.
12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan dalam kelancaran penulisan tesis ini.
Penulis menyadari, tesis ini masih banyak mengandung kekurangan, sehingga kritik, saran dan masukan untuk kesempurnaan tesis ini sangat diperlukan. Semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat.
Yogyakarta, Februari 2011
DAFTAR TABEL
HALAMAN
Tabel 1.1. Persyaratan Perizinan yang Tumpang Tindih 7 Tabel 1.2. Perbandingan Biaya dan Waktu Berdasarkan
Peraturan dan Kenyataan 8
Tabel 2.1. Perbedaan antara Organisasi Birokratik dan Organisasi Pasca Birokratik
22
Tabel 2.2. Konsekuensi Sentralisasi Terhadap Organisasi 28 Tabel 4.1. Komposisi Pegawai Berdasarkan Posisi dan Jumlah 47
Tabel 4.2 Komposisi Berdasarkan Jabatan 48
Tabel 4.3. Komposisi Pegawai Berdasarkan Golongan
Kepangkatan 49
Tabel 5.1. Perbandingan Reorganisasi Perizinan dari UPTSA
Menjadi Dinas Perizinan 56
Tabel 5.2. Jenis dan Waktu Penyelesaian Pelayanan Perizinan 66 Tabel 6.1. Jenis Perizinan Berdasarkan Regulasinya 75
Tabel 6.2. Jadwal Rapat di Dinas Perizinan 86
DAFTAR GAMBAR
HALAMAN
Gambar 2.1. Kerangkan Kerja Penelitian 32
Gambar 4.1. Struktur Organisasi Dinas Perizinan 45
Gambar 4.2. Sarana Gedung Dinas Perizinan 46
Gambar 5.1. Skema Pelayanan Perizinan 60
Gambar 5.2. Skema Mekanisme Pelayanan Legalisir dan Duplikat 63
Gambar 5.3. Skema Mekanisme Pelayanan Pengaduan 65
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Interview Guide
Lampiran 2 Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 01 Tahun 2000 tentang Pembentukan Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap Kota Yogyakrta
Lampiran 3. Peraturan Dareah Kota Yogyakarta Nomor 17 Tahun 2005 tentang Pembentukan Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Perizinan
INTISARI
Tujuuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran umum tentang implementasi reformasi organisasi perizinan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta
Untuk menjawab tujuan di atas, maka metode dalam penelitian ini mengacu jenis penelitian evaluasi yang mengkaji implementasi reformasi organisasi pelayanan perijinan di Dinas perizinan Kota Yogyakarta dengan teknis pengumpulan data menggunakan indepth interview dan observasi. Sedangkan informan dalam penelitian ini adalah Kepala Dinas Perizinan Kota Yogyakarta, Kepala Bidang, Kepala Seksi, Staf, dan Konsumen. Untuk menganalisis data menggunakan teknik analisis kualitatif dengan model analisis interaktif, yaitu analisis yang bergerak dalam tiga komponen, yaitu; reduksi data, analisis data, dan penarikan kesimpulan dan verifikasi.
Berdasarkan hasil temuan penelitian dapat diperoleh kesimpulan. Aspek formalisasi menujukkan bahwa regulasi perizinan seringkali mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan dinamika sosial dan ekonomi kemasyarakatan serta belum semua jenis perizinan dibuatkan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). Aspek sentralisasi sudah baik terbukti dengan adanya sistem koordinasi yang intens setiap minggunya untuk mengatasi dan mengevaluasi terkait dengan masalah perizinan yang sedang diproses. Selain itu, ada lembar kendali (routing slip) yang merupakan alat kontrol dari dinas terhadap kinerja staf terkait kemacetan atau keterlambatan proses perizinan. Aspek spesialisasi, secara kuantitas dan kualitas sumberdaya manusianya sangat kurang. Namun, untuk mengatasi permasalahan tersebut, Dinas Perizinan melakukan capacity building dengan in house training dan pelatihan staf. Dengan adanya implementasi reformasi organisasi perizinan menjadi Dinas Perizinan telah meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik dengan hasil peniliaian dari customer berdasarkan Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) berada dalam kategori baik
Oleh karena itu, saran dan rekomendasi dalam penelitian ini adalah: Pertama, untuk regulasi perizinan yang ada di Dinas Perizinan sebaiknya semua jenis perizinan diatur dalam Peraturan Daerah (Perda), sehingga tingkat pengawasan dan penindakan punya kepastian oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Kedua, untuk menimgkatkan keterbatasan kuantitas dan kualitas staf di Dinas Perizinan, maka perlu dilakukan penambahan ketrampilan teknis bagi staf terkait dengan teknis perizinan yang memerlukan kompetensi yang sesuai dengan perizinan
ABSTRACT
The purpose of this study was to obtain an overview of the implementation of the reform of licensing organizations to improve the quality of public services in Dinas Perizinan of Yogyakarta City.
To answer the above purposes, the method in this study refers to the type of evaluation research that examines the implementation of organizational reforms in Dinas Perizinan of Yogyakarta City with technical data collection using a depth interview and observation. While informants were taken from the Head Office of Dinas Perizinan, Division Head, Section Head, Staff, and Consumers. To analyze the data using qualitative analysis techniques with an interactive model, which moves in the analysis of three components, namely data reduction, data analysis, and drawing conclusions and verification.
Aspect formalization shows that licensing regulations are often amended in accordance with the development of social and economic dynamics of society and not all types of licensing be made in the form of local government regulation. For the aspect of centralization has been well proven by the intense coordination system each week to address and evaluate issues related to licensing which is being processed. In addition, there are routing slip which is a tool of official controls on performance related staff congestion or delay the licensing process. While from the aspect of specialization, in quantity and quality of its human resources are very less. However, to overcome this problem, Dinas Perizinan to do capacity building with in-house training and staff training. Second, With the reform of licensing organizations into Dinas Perizinan has increased the quality of service to the public with the results based on Community Satisfaction Index are in good category.
Therefore, the suggestions and recommendations in this study are: First, to the existing licensing regulation in Dinas Perizinan should be all kinds of licensing set out in the Local Government Regulation, so the level of supervision and enforcement have the assurance by the City Government of Yogyakarta. Second, to increase the limited quantity and quality of staff in Dinas Perizinan, it is necessary to increase technical skills for staff associated with the technical competence that require licensing in accordance with the licensing
BAB I PENDAHULUAN
I. Latar Belakang Masalah
Sejak era 1980-an, reformasi sektor publik yang dipelopori Inggris dibawah
Pemerintahan Margaret Thatcher dan Amerika Serikat dibawah Pemerintahan
Ronald Reagen telah menjadi inspirasi bagi lahirnya gerakan global yang disertai
desakan politik untuk menuntut perlunya pelayanan publik berorientasi pada
rakyat (customer) sebagai salah satu tolok ukur bagi legitimasi, kredibilitas, dan
sekaligus kapasitas politik suatu pemerintahan.
Dengan adanya pengaruh internasional, negara sedang berkembang tak
terkecuali Indonesia, gelombang tekanan untuk mengubah wajah pemerintahan
dan substansi operasi pelayanan publiknya datang dari institusi-institusi
internasional, diantaranya adalah Intemational Monetary Fund (IMF) dan World
Bank. Kedua institusi keuangan internasional ini mendesakkan tuntutan politik
terhadap negara-negara sedang berkembang untuk "mendevolusikan" sistem
pemerintahan yang sentralistik dan sistem pelayanan publiknya yang monopolistik
dengan menganjurkan kebijakan memperkuat otonomi daerah, privatisasi sektor
publik, dan pemberian kesempatan luas pada sektor-sektor diluar birokrasi
pemerintah (Abdul Wahab, 2001;45).
Dampak dari tekanan tersebut, Indonesia mulai melakukan reformasi
pemerintahannya sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 32/2004 tentang
bagi pemerintah pusat dalam melakukan pengaturan terhadap Pemda di Indonesia.
Dengan adanya aturan tersebut, maka penataan organisasi terhadap berbagai
elemen yang berkaitan dengan pemerintah daerah sebagai manifestasi dari
otonomi daerah menjadi suatu yang tak bisa dihindari untuk merubah paradigma
lama yang sentralistik menuju ke arah yang lebih desentralistik.
Penataan organisasi daerah tersebut telah tertuang dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 8/2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah.
Kebijakan penataan ini lebih diarahkan pada upaya rightsizing, yaitu upaya
penyederhanaan birokrasi pemerintah yang diarahkan untuk mengembangkan
organisasi yang lebih proporsional, datar, hierarki yang pendek, dan kewenangan
yang terdesentralisasi. Sehingga tujuan utama dari penataan tersebut adalah untuk
memberdayakan Pemda agar mampu menjalankan tugas pokok dan fungsinya
secara ekonomis, efektif, efisien, dan akuntabel (URDI, 2000).
Selaras dengan tujuan di atas, desentralisasi atau otonomi daerah telah
memberi peluang bagi pemerintah daerah dengan kewenangan yang dimilikinya
berusaha memperkuat pelayanan publik yang berpihak pada kepentingan umum.
Hal ini diperkuat dengan pernyataan Soenarto (Bulletin Pengawasan, 2001)
bahwa dengan adanya otonomi daerah telah memindahkan sebagian besar
kewenangan yang tadinya berada di pemerintah pusat diserahkan kepada daerah
otonom, sehingga daerah otonom dapat lebih cepat dalam merespon tuntutan
masyarakat daerah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Dengan otonomi daerah, pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan
pelaksanaan otonomi daerah sangat tergantung pada kemampuan keuangan
daerah, sumberdaya manusia yang dimiliki, serta kemampuan daerah untuk
mengembangkan potensi yang ada. Oleh karena itu, daerah dengan segenap
kemampuan yang ada, berusaha sekuat tenaga untuk menggali potensi
ekonominya secara maksimal. Salah satu potensi ekonomi yang menjadi prioritas
bagi pemasukan daerah adalah berasal dari pelayanan perizinan.
Dalam hal pelayanan perizinan, pemerintah pusat telah membuat pedoman
bagi penyelenggaraan pelayanan publik (terutama perizinan) yang berorientasi
pada masyarakat. Pemerintah pusat melalui Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara berinisiatif melakukan regulasi dengan menerbitkan tiga
Keputusan Menteri (Kepmen) yang merupakan dasar hukum untuk dijadikan
pedoman oleh pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pelayanan publik.
Pertama, Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.
63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan
Publik. Kedua, Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.
25/KEP/M.PAN/02/2004 tentang Pedoman Umum Indeks Kepuasan Masyarakat
Unit Pelayanan Pemerintah. Ketiga, Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara No. 26/KEP/M.PAN/02/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan
Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Selain regulasi dari
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Kementerian Dalam Negeri juga
mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24/2006 tentang Pedoman
Regulasi tersebut disusun dalam paradigma di mana sebagian besar urusan
pemerintah dalam pelayanan publik menjadi kewenangan daerah, sehingga
keempat keputusan tersebut menjadi pedoman bagi penyusunan pelayanan sesuai
dengan kemampuan daerah. Ini berarti pemerintah daerah dapat menetapkan
sistem dan pola pelayanan publik yang disesuaikan dengan keadaan dan
kebutuhan daerah, sehingga dapat memberikan pelayanan kepada publik dengan
kualitas yang lebih baik (Sahetapy, 2004;7).
Berdasarkan kebijakan di atas, beberapa pemerintah daerah melakukan
berbagai pembenahan dan terobosan inovatif dalam melakukan reformasi
pelayanan yang terkait dengan perizinan. Upaya reformasi pelayanan perizinan
yang dilakukan oleh pemerintah daerah tidak hanya berusaha untuk meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD), melainkan juga sebagai tanggungjawab untuk
melindungi masyarakatnya terhadap eksternalitas negatif dari aktifitas sosial
ekonomi. Sebab dengan adanya pelayanan perizinan yang baik, maka akan
tercipta lingkungan sosial ekonomi yang kondusif.
Suhirman (2002;9) mengatakan bahwa perizinan merupakan instrumen
kebijakan pemerintah untuk melakukan pengendalian atas eksternalitas negatif
yang mungkin ditimbulkan oleh aktifitas sosial maupun ekonomi. Perizinan juga
merupakan instrumen untuk alokasi barang publik secara efisien, adil, mencegah
asimetri informasi, dan perlindungan hukum atas kepemilikan atau
penyelenggaraan kegiatan. Sebagai instrumen pengendalian, perizinan
memerlukan rasionalitas yang jelas dan tertuang dalam bentuk kebijakan
jelas, maka perizinan akan kehilangan maknanya sebagai instrumen untuk
membela kepentingan masyarakat atas tindakan yang berdasarkan pada
kepentingan individu.
Namun dalam realitasnya, sejak otonomi daerah dilaksanakan, perbaikan
terhadap kinerja pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan publik yang
terkait dengan perizinan masih dirasakan belum adanya perubahan ke arah yang
lebih baik. Hal ini diperkuat dengan hasil survei REDI dengan PEG-USAID dan
TAF (The Asia Fondation) 2002 terhadap seribu empat belas pengusaha di dua
belas propinsi di Indonesia menunjukkan bahwa selama penerapan otonomi
daerah ternyata belum memberikan perbaikan yang signifikan pada iklim usaha di
daerah. Bahkan di beberapa daerah, kondisi iklim usaha cenderung memburuk.
Menurut Indra N. Fauzi (2003;7) terdapat tiga aspek masalah yang menyebabkan
belum maksimalnya pelayanan perizinan.
Pertama, aspek birokrasi perizinan tidak transparan dan biaya tinggi.
Dalam hal transparansi biaya pengurusan perizinan usaha, lima puluh delapan
persen (58%) responden menyatakan masih belum transparan. Sedangkan dua
puluh satu koma tujuh persen (21,7%) responden yang menyatakan biaya
pengurusan izin saat ini sudah lebih transparan. Kurangnya transparansi biaya
dalam pengurusan izin merupakan salah satu faktor yang menyebabkan pelaku
usaha harus membayar izin usaha lebih besar dari yang seharusnya.
Kedua, aspek pungutan liar. Pelaku pungutan liar setelah otonomi daerah
ini makin bervariasi dengan modus yang bermacam-macam, sehingga membebani
daerah menunjukkan lima puluh dua persen (52%) responden menyatakan
membebani pengusaha.
Ketiga, aspek orientasi dan arah kebijakan pemerintah daerah. Pada aspek
orientasi dan arah Pemda, sebagian responden mempunyai persepsi yang negatif
terhadap hal tersebut, lima puluh tiga persen (53%) responden menyatakan bahwa
saat ini Pemda lebih berorientasi pada peningkatan PAD.
Selain ketiga aspek di atas, pelayanan publik juga diperparah dengan
adanya kelemahan dari birokrasi pemerintah dalam melaksanakan fungsi
pelayanannya. Sebagaimana yang dikemukakan Mohammad Ismail (dalam
Sudrajat, 2006) bahwa di Indonesia terdapat berbagai kelemahan birokrasi di
dalam memberikan pelayanan publik, antara lain:
a. Kurang responsif. Kondisi ini terjadi hampir disetiap tingkatan unsur
pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai
dengan tingkatan pertanggungjawaban instansi. Respon terhadap berbagai
keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau
bahkan diabaikan sama sekali.
b. Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan
kepada masyarakat sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan
pelayanan tersebut.
c. Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan
lainnya sangat kurang terkoordinasi. Akibatnya sering terjadi tumpang
tindih atau pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan
(2001) menunjukkan bahwa persoalan tumpang tindih muncul dalam soal
persyaratan perizinan. tabel 1.1 menunjukkan contoh tumpang tindih pada
aspek persyaratan perizinan.
Tabel 1.1. Persyaratan Perizinan yang Tumpang Tindih
TDP TDUP SIUP SIUK IUUG/HO
TDUP FS/Proposal Sertifikat
tanah
NPWP NPWP NPWP NPWP NPWP
Ada biaya Tanpa biaya SITU/IUU G
IUUG/HO Pernyataan Tetangga - - Tanpa
biaya
Tanpa biaya Bukti pelunasan
d. Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan perizinan) pada umumnya
dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari berbagai level. Sehingga
penyelesaian pelayanan terlalu lama. Berkaitan dengan penyelesaian
masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan (front line staff) untuk
dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dilain pihak kemungkinan
masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan dalam
sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu
yang lama untuk penyelesaian. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang
yang dilakukan Rustiani (2001) yang mengemukakan bahwa perizinan
sangat birokratis dan inkonsistensi terkait biaya dan waktu dalam
penyelesaian pengurusan perizinan. Hal ini dapat dilihat dalam Tabel 1.2
dibawah ini.
Tabel 1.2. Perbandingan Biaya dan Waktu Berdasarkan Peraturan dan Kenyataan
Jenis Izin Biaya (Rp 000) Waktu (hari)
Peraturan Kenyataan Peraturan Kenyataan TDP PT 100
e. Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan dalam pelayanan
(khususnya dalam pelayanan perizinan) seringkali tidak relevan dengan
pelayanan yang diberikan. Berdasarkan tabel 1.1. dan tabel 1.2. di atas,
menunjukkan bahwa banyak di antara syarat-syarat tersebut kurang atau
bahkan tidak relevan dengan kegiatan usaha, sehingga pelayanan menjadi
tidak efisien.
Idealnya adalah kebijakan perizinan haruslah diarahkan untuk
terciptanya iklim usaha yang mendorong pertumbuhan ekonomi suatu daerah.
Menurut Fahmi Radhi (Kedaulatan Rakyat, 2 Agustus 2006) upaya untuk
menerapkan kebijakan perizinan yang memungkinkan terciptanya iklim usaha
yang kondusif harus dilakukan dengan menerapkan kebijakan Unit Pelayanan
Terpadu (UPT) dan One Stop Service (OSS).
Sejak otonomi daerah, beberapa daerah telah menata ulang kebijakan
perizinan dengan kebijakan UPT yang dikenal dengan Pelayanan Satu Atap. Pada
dasarnya tidak ada perubahan berarti dengan UPT dalam pengurusan izin usaha
masih melibatkan berbagai dinas terkait. Perubahannya adalah berbagai dinas
terkait yang berwenang mengeluarkan izin ditempatkan di satu atap, sehingga
pelaku usaha atau masyarakat tidak perlu bolak balik mendatangi beberapa dinas
terkait yang sebelumnya terpisah tempatnya. Upaya lain yang bisa diterapkan
dalam kebijakan perizinan adalah dengan menerapkan OSS. OSS agak berbeda
dengan UPT yang masih melibatkan beberapa dinas terkait. OSS hanya
melibatkan satu dinas saja, misalnya dengan membentuk Dinas Perizinan yang
berwenang memproses dan memberikan izin usaha. Penerapan OSS ini dapat
lebih menyederhanakan prosedur pemberian izin dan mempercepat proses
perizinan usaha.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dari lima pemerintahan
kabupaten/kota yang ada, baru pemerintahan Kota Yogyakarta yang mempunyai
komitmen dalam melakukan pembenahan organisasi perizinan dengan menyusun
langkah-langkah strategis untuk melakukan reformasi pelayanan perizinan dari
Zudianto, 2005). Sebagaimana diketahui, perizinan di Kota Yogyakarta setelah
mengindentifikasi ada tujuh puluh enam jenis izin yang dilayani oleh tujuh belas
instansi dan ada tiga belas non-perizinan bidang catatan sipil serta beberapa
perizinan bidang kependudukan dan surat keterangan/pemberitahuan. Beberapa
jenis perizinan pengurusannya diintegrasikan di UPTSA Kota Yogyakarta
berdasarkan Keputusan Walikota Yogyakarta No. 01/2000 yang mulai operasional
sejak Januari 2000.
Dalam prakteknya, pelayanan perizinan yang dilaksanakan oleh UPTSA
Kota Yogyakarta terhadap masyarakat pengguna layanan belum bisa diharapkan
dan masih banyak kelemahan, sehingga menjadi tidak efektif dan efisien. Ada
beberapa hal yang menyebabkan tidak efektif dan efisien, antara lain: status
organisasi UPTSA belum mandiri/dan non-struktural, sehingga koordinasi
perizinan terhambat birokrasi; Kewenangan pelayanan perizinan terbatas pada
tahap awal /front office, proses perizinan masih di instansi teknis, prosedur dan
mekanisme pelayanan perizinan yang masih berbelit dan tidak efisien; persyaratan
perizinan yang berdiri sendiri antarjenis perizinan, sehingga terjadi duplikasi
persyaratan (misal IMBB, HO dan Izin Teknis), belum adanya Standar Pelayanan
Minimal (SPM) untuk semua jenis perizinan, waktu proses perizinan belum sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan, petugas pelayanan kurang menguasai
permasalahan secara teknis (Dinas Perizinan, 2005).
Dengan berbagai permasalahan di atas, maka Pemerintah Kota
Yogyakarta, berusaha memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanan
maksud tersebut, maka Pemerintah Kota Yogyakarta membentuk Dinas Perizinan
Kota Yogyakarta yang diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Yogyakarta
No. 17/2005 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas
Perizinan Kota Yogyakarta yang disyahkan 1 Nopember 2005 dan mulai
operasional Januari 2006.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka penelitian ini akan mengkaji
sejauhmana implementasi reformasi organisasi perizinan untuk meningkatkan
kualitas pelayanan publik di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta.
2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang diajukan
dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah implementasi reformasi organisasi
di Dinas Perizinan Kota Yogyakart untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik
3. Tujuan
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran
umum tentang implementasi reformasi organisasi perizinan untuk meningkatkan
BAB II
KONSEP IMPLEMENTASI
REFORMASI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK
1. Pendahuluan
Bab ini akan membahas mengenai kerangka konsep implementasi reformasi
sektor publik yang akan menjadi acuan dalam penelitian ini. Dalam menjelaskan
konsep ini akan dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama akan membahas kajian
pustaka yang terkait dengan referensi mutakhir yang didasarkan pada hasil
penelitian atau kajian yang sudah dilakukan sebelummnya. Hasil kajian puskata
ini akan dijadikan titik tolak dan justifikasi bahwa penelitian ini akan mengambil
sisi lain dari penelitian atau kajian sebelumnya. Sedangkan bagian kedua akan
menjelaskan kerangka konsep yang dijadikan rujukan terkait dengan reformasi
organisasi. Konsep yang digunakan adalah konsep kualitas pelayanan sektor
publik, konsep reformasi sektor publik, dimensi reformasi sektor publik, dan
konsep implementasi reformasi sektor publik untuk meningkatkan kualitas
pelayanan.
2. Kajian Pustaka
Reformasi organisasi telah menjadi kajian yang menarik bagi kalangan
akademisi dan praktisi dibidang administrasi publik. Sebab dari berbagai studi dan
saat ini, kajian reformasi organisasi lebih banyak dipengaruhi oleh disiplin
psikologi, politik, dan ekonomi. Kajian dari aspek psikologi, teori organisasi
publik banyak dikaitkan dengan perilaku dalam berorganisasi atau organisasi yang
mempengaruhi manusia. Sedangkan dari aspek politik, teori reformasi organisasi
publik dilihat dalam wilayah tarik-menarik antara kepentingan politik.
Namun, dalam perkembangannya, teori reformasi organisasi publik
mengalami perubahan paradigma dari government ke governance yang
dipengaruhi oleh pemikiran ekonomi (managerialism). Dalam hal ini, reformasi
organisasi banyak dikaitkan dengan efisiensi, akuntabilitas, dan manajerial.
Dari perspektif di atas, kajian tentang reformasi organisasi sektor publik di
Indonesia juga banyak diwarnai dengan pemikiran tersebut. Salah satunya adalah
penelitian yang dilakukan Muklir, dkk (2004) yang mengkaji proses reformasi
struktur organisasi dikaitkan dengan adanya perubahan sikap dan perilaku
aparatur Pemerintahan Kabupaten Aceh Utara dalam menyikapi otonomi khusus
melalui pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur
organisasi yang telah dibentuk lebih diarahkan pada budaya lokal. Dengan adanya
perubahan struktur dan nomenklatur organisasi mencerminkan semakin tingginya
tingkat kompleksitas, formalisasi, dan sentralisasi. Sedangkan perubahan sikap
dan perilaku aparatur dalam menyikapi otonomi khusus dari aspek atensi,
pemahaman, dan retensi ternyata hanya terjadi pada tingkat pimpinan di atas.
Ditingkat menengah hanya sebatas atensi, pemahaman, dan penerimaan dan
dan penerimaan masih belum optimal yang tercermin dari rendahnya perubahan
sikap.
Penelitian yang dilakukan Muklir di atas, berbeda dengan penelitian yang
dilakukan Weningsih (2004) yang melihat reformasi organisasi dari perspektif
politik dengan melakukan Studi Evaluasi Pelaksanaan Struktur Organisasi dan
Tata Kerja Dinas di Pemerintah Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah dengan
menggunakan pendekatan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pelaksanaan reformasi organisasi dan tata kerja di Dinas Pemerintah Kabupaten
Banyumas yang memenuhi nilai standar sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP)
No. 8/2003 yang layak berbentuk dinas hanya dua belas. Dalam menyusun
struktur organisasi dan tata kerja tidak hanya sekedar persoalan administratif,
tetapi cenderung mengarah pada persoalan politis karena untuk menyusun struktur
organisasi dan tata kerja tersebut, peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) sangatlah besar. Dalam pelaksanaannya Struktur Organisasi dan Tata
Kerja Dinas Kabupaten Banyumas menunjukkan tingkat efisiensi dan efektifitas
pada posisi sedang, yaitu sebesar enam puluh empat koma delapan puluh persen
(64,80%).
Hasil penelitian di atas memperlihatkan bahwa fokus kajian yang dilakukan
dalam mereformasi organisasi pemerintahan di Indonesia lebih dikaitkan dengan
perubahan pada sikap apatur dan perubahan pada struktur organisasi yang terkait
dengan tarik menarik antara eksekutif dan legislatif, walaupun implementasinya
memberi dampak positif bagi peningkatan efisiensi organisasi. Sedangkan untuk
Oleh karena itu, penelitian ini mencoba untuk mengisi ruang kosong yang
belum banyak dikaji terkait dengan implementasi reformasi organisasi dalam
meningkatkan kualitas pelayanan publik di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta.
Sehingga keaslian penelitian ini bisa dijadikan salah satu perspektif yang bisa
memperkaya dan melakukan tambal sulam dari hasil penelitian sebelumnya.
3. Kerangka Konseptual
3.1. Konsep Kualitas Pelayanan Sektor Publik
Kualitas pelayanan pada sektor publik saat ini menjadi kata kunci untuk
membangkitkan kembali kepercayaan masyarakat pada pemerintah. Menurut
Gaster (1996) ada tiga argumen bagi pemerintah untuk mempromosikan kebijakan
kualitas dalam pelayanan publiknya. Pertama, kebijakan kualitas menguat di
pemerintahan lokal disebabkan adanya desakan dari eksternal. Kedua, kebijakan
kualitas akan memberikan kontribusi terhadap popularitas dan keberlangsungan
dari pemerintah lokal. Ketiga, Kebijakan kualitas dapat membawa pemerintah
lokal dan masyarakatnya lebih dekat dan fokus pada konsumen atau citizen
sehingga menjadi baseline bagi pelayanan publik dan nilai-nilai demokratik.
Secara definitif, kualitas pelayanan dimaknai sebagai fitness for purpose
atau fitness use dengan tujuan untuk mempertemukan kenyataan dan harapan dari
konsumen. Haywood-Farmer (Ghobadian,1994) berpendapat bahwa organisasi
pelayanan mempunyai kualitas yang tinggi (high quality), jika ia dapat
mempertemukan preferensi dan harapan konsumen secara konsisten. Elemen
mengidentifikasi segala sesuatu yang memenuhi persyaratan yang disesuaikan
dengan harapan konsumen. Untuk mampu mencapai kualitas pelayanan yang
tinggi, maka ada tiga atribut dasar yang harus dipenuhi, yaitu: Pertama, fasilitas
fisik, proses, dan prosedur pelayanan. Kedua, tingkah laku birokrat yang ramah
dan komunikatif. Ketiga, pertimbangan profesionalisme dalam memberikan
pelayanan.
Menurut Ghobadian (1994; 46-47), ada beberapa tantangan yang muncul
dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik, yaitu; lack of visibility,
difficulties in assigning specific accountability, time requered to improve service
quality, and delivery uncertinties. Untuk mengatasi tantangan ini, maka
pemerintah perlu melakukan upaya peningkatan pelayanan publik dengan
memfokuskan diri pada konsumen, memberdayakan front line staff, melatih dan
memberikan motivasi pada staf, serta mempunyai visi yang jelas tentang kualitas.
Di Indonesia, dengan adanya model demokrasi saat ini telah terjadi
perubahan kualitas pelayanan publik. Pemerintah daerah sebagai representasi
masyarakatnya, secara otonom dapat melayani secara langsung kebutuhan
masyarakatnya. Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, Pemerintah
daerah dihadapkan pada tuntutan perubahan yang menyangkut responsibilitas
personal, isu-isu kualitas, orientasi pada pengguna, orientasi pada hasil layanan,
menjalankan mekanisme pasar, orientasi ke budaya inovasi dan diversifikasi
(Supriyono, 2002).
3.2. Konsep Reformasi Organisasi Sektor Publik
Amstrong,1997) mengemukakan bahwa reformasi organisasi terjadi ketika gap
antara kinerja organisasi dan harapan dapat diselaraskan supaya menjadi lebih
nyata dan reformasi harus dipahami sebagai “the idea that, by making deliberate
goal-directed choice between organizational forms, new forms can be created,
which improve and lead to better result”.
Secara spesifik Pollitt (2000) melihat reformasi organisasi dengan merujuk
pada perubahan institusi pemerintah dan prosedur yang menegaskan pada satu
atau lebih karakteristik yang diakui secara luas dengan new public management
(NPM) atau reinventing government.
Berangkat dari definisi di atas, kajian mengenai reformasi organisasi
mengalami pasang surut sesuai dengan perkembangan pemikiran dalam ilmu
administrasi publik. Perkembangan tersebut terjadi seiring dengan adanya
kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh administrator publik (Muluk, 2006).
Menurut Antonius Tarigan (2003;29-30), perkembangan reformasi
organisasi publik telah mengalami transformasi dari model administrasi publik
klasik menuju model manajemen publik baru. Model administrasi publik klasik
terfokus pada interaksi dan kerjasama di dalam organisasi pemerintah yang
dibangun melalui hierarki. Model ini memberikan peran besar kepada pemerintah,
baik dalam merumuskan kebijakan maupun dalam penyampaian pelayanan publik.
Model administrasi publik klasik kemudian disempurnakan oleh model
manajemen publik baru. Model ini menghadirkan pola organisasi yang lebih
efisien, menciptakan fleksibilitas organisasi, menghindari adanya standarisasi
desentralisasi tanggungjawab kegiatan dan anggaran ketingkat yang paling bawah,
pergeseran pola manajemen dari sistem hierarki menuju sistem contracting out
dan memberikan perhatian pada membangun jaringan kerja (networking) dengan
organisasi lain di luar pemerintah.
Di Indonesia, reformasi organisasi pemeritahan telah mengalami pasang
surut yang diwarnai dengan pola dan kepentingan rezim yang berkuasa. Menurut
Mifta Thoha (2005;6-7), pada awal perkembangan ilmu administrasi negara tahun
1950-an, pemerintah dalam hal ini, Presiden Soekarno melalui almarhum Perdana
Menteri H. Djuanda melakukan reformasi administrasi negara dengan meniru dan
mewarisi sistem pemeritahan Belanda. Reformasi kedua dilakukan ketika era
rezim Orde Baru, dorongan untuk melakukan reformasi inipun diawali oleh
keinginan untuk membangun bangsa dan negara untuk menyelenggarakan
pemerintahan yang stabil, kuat, dan sentralistik. Suharto memegang kendali
pemerintahan dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 44 dan 45/1974
sebagai tonggak dirombak dan disusunnya sistem dan struktur lembaga birokrasi
pemerintah. Namun, setelah rezim Orde Baru tumbang dan diganti dengan rezim
Orde Reformasi, upaya untuk melakukan perubahan sistem dan organisasi
pemerintahan terdesentralisasi secara nyata dengan diberlakukannya UU No. 32/
2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Konsekuensi dari perubahan penyelenggaraan pemerintah daerah tersebut
berakibat pada terjadinya perubahan struktur kewenangan pemerintah pusat dan
daerah. Penyerahan kewenangan ini selanjutnya berimplikasi pada perubahan
Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 08/2003 tentang Pedoman
Organisasi Perangkat Daerah. Perubahan struktur organisasi daerah ini
dimaksudkan untuk mewujudkan tuntutan perubahan organisasi pemerintah agar
mampu mendukung kemandirian daerah dan untuk mewujudkan organisasi
pemerintahan daerah yang efisien dan efektif (Wediningsih, 2004;1-2).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 8/2003 pada pasal 2 ayat 1 menyebutkan
bahwa organisasi perangkat daerah di bentuk berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan:
a. Kewenangan pemerintahan yang dimiliki oleh daerah.
b. Karakteristik, potensi, dan kebutuhan daerah
c. Ketersediaan sumberdaya aparatur
d. Pengembangan pola kerjasama antardaerah dengan pihak ketiga.
Oleh karena itu, reformasi organisasi terjadi karena adanya tekanan dari
berbagai aspek, seperti; sosial, ekonomi, dan teknologi. Dengan adanya tekanan
tersebut, pemerintah berusaha memperkuat kinerjanya menjadi lebih efektif,
efisien, akuntabilitas, dan berkualitas. Keberhasilan pemerintah dalam
memperkuat kinerjanya juga sangat didukung oleh beberapa dimensi nilai dalam
melakukan reformasi organisasi.
Reformasi organisasi sangat terkait dengan nilai, norma, dan prinsip-prinsip
yang dijadikan acuan oleh sebuah organisasi dalam memberikan pelayanan
kepada publik. Bila dilihat dalam konteks historis, dimensi reformasi organisasi
selalu mengalami perubahan yang disesuaikan dengan konteks sejarah dan
permulaan abad ini, seperti; produktifitas, efektifitas, efisiensi dan kontrol budget
telah menjadi pemikiran dari reformasi organisasi dalam sistem negara barat.
Begitu juga dengan dimensi lain, seperti: transparansi, kebutuhan untuk sistem
streamlining, koordinasi, dan integrasi.
Oleh karena itu, dimensi reformasi organisasi publik dari masa ke masa
mengalami perubahan. Di mana, dalam 1960-an reformasi organisasi lebih
merujuk pada dimensi rasionalisasi dan demokratisasi. Sedangkan sejak 1980-an
dan 1990-an, dimensi reformasi organisasi lebih di dominasi oleh manajerialisme
dan citizen sebagai klien.
Menurut Kernaghan (2000;93-94), reformasi organisasi publik di beberapa
negara terutama Eropa, Amerika, Australia, dan Selandia Baru telah dilakukan
secara sporadis dengan merubah paradigma organisasi pemerintahannya dari
organisasi birokratik bergerak menuju organisasi pasca birokratik. Kernaghan
melihat perubahan tersebut dalam tiga dimensi, yaitu:
Pertama, dimensi kebijakan dan budaya manajemen. Dimensi kebijakan dan
budaya manajemen, organisasi birokratik lebih berpusat pada organisasi yang
lebih menitikberatkan pada kebutuhan organisasi itu sendiri; kekuasaan yang lebih
menentukan melalui kontrol, komando, dan patuh pada perintah atasan; berpusat
pada aturan yang mengacu pada prosedur baku organisasi, aturan-aturan dan
constrain; Bertindak secara independen dengan sedikit konsultasi, kerjasama, dan
koordinasi; berorientasi pada status quo berusaha untuk mengambil resiko dan
kesalahan; berorientasi pada proses yang berpusat pada akuntabiltas untuk sebuah
citizen dengan meningkatkan kualitas pelayanan; kepemimpinan yang partisipatif
dengan melakukan share values dan pembuatan keputusan yang melibatkan
semua pihak (partisipatif); berpusat pada masyarakat dengan melakukan
pemberdayaan terhadap pekerja; bertindak secara kolektif dengan melakukan
konsultasi, kerjasama dan koordinasi; berorientasi pada perubahan dengan
melakukan inovasi, risk taking, dan perbaikan yang terus menerus; berorientasi
pada hasil dengan melakukan akuntabilitas yang berpusat pada hasil.
Kedua, dimensi struktur organisasi. Dimensi struktur organisasi birokratik
bersifat sentralisasi dengan ciri hierarki dan kontrol secara terpusat; organisasinya
bersifat departemental dengan beberapa program yang diberikan kepada
konsumen dengan menggunakan operating. Sedangkan struktur organisasi pasca
birokratik bersifat desentralisasi dalam hal kewenangan dan kontrol; bentuk
organisasinya berbentuk non-departemental yang mana program dijalankan
dengan menggunakan berbagai macam mekanisme.
Ketiga, dimensi pasar. Dimensi pasar dari organisasi birokratik berpusat
pada anggaran yang bersumber pada anggaran Pemda; pelayanan publiknya
bersifat monopolistik yang dikuasai oleh pemerintah. Sedangkan organisasi pasca
birokratik berpusat pada pendapatan, di mana keuangan program sejauh mungkin
berbasis cost recovery; pelayanan publiknya lebih bersifat kompetitif yang
melibatkan sektor swasta dalam memberikan pelayanan. Secara lebih ringkas,
perbedaan antara organisasi birokratik dengan organisasi pasca birokratik dapat
Tabel 2.1 Perbedaan antara Organisasi Birokratik dan Organisasi Pasca Birokratik Organisasi Birokratik Organisasi Pasca Birokratik
Dimensi Kebijakan dan Budaya Manajemen Berpusat pada organisasi
Menitikberatkan pada kebutuhan organisasi itu sendiri
Berpusat pada Citizen Kualitas pelayanan untuk citizen
(Clients/stakeholders) Kekuasaan yang menentukan Kontrol,
komando dan patuh pada perintah
Kepemimpinan yang partisipatif Shared values and pembuatan keputusan yang partisipatif
Berpusat pada aturan Aturan, prosedur dan constraints
Berpusat pada masyarakat Memberdayaan pekerja Bertindak secara independen Sedikit
konsultasi, kerjasama, dan koordinasi
Bertindak secara kolektif Konsultasi, kerjasama, dan koordinasi
Berorientasi status quo Menghindari resiko dan kesalahan
Berorientasi pada perubahan Inovasi, risk taking dan perbaikan terus-menerus Berorientasi pada proses Akuntabilitas
pada proses
Berorientasi pada hasil Akuntabilitas pada hasil
Dimensi Struktur
Tersentralisasi Hierarki dan Kontrol terpusat
Desentralisasi Desentralisasi kewenangan dan kontrol Bentuk departemental Beberapa
program diberikan melalui operating
Bentuk Non-departemental Program diberikan dengan bermacam-macam mekanisme
Dimensi Pasar
Berpusat pada Anggaran Keuangan program terbesar berasal dari anggaran pemerintah.
Berpusat pada Pendapatan Keuangan program sejauh mungkin berbasis cost recovery
Monopolistik Monopoli pemernitahan memberikan pelayanan
Kompetitif Kompetisi dengan sektor swasta dalam memberikan pelayanan Sumber: Kernaghan, 2000, 92
Berdasarkan tabel 2.1 di atas, pengaruh manajerialisme sangat mewarnai
reformasi organisasi (Dixon.et.al.,1989). Tekanan manajerialisme ini menciptakan
kebutuhan pada seperangkat perubahan organisasi dengan meningkatkan kinerja
dari rakyatnya. Penerapan pendekatan manajemen profesional dalam sektor publik
ini telah banyak disuarakan oleh para pakar dengan berbagai label, misalnya
dengan nama managerialism, new public management, market based public
administration, new public service, dan entrepreneurship government/ reinventing
government. Apapun label yang dipergunakan yang jelas pendekatan manajemen
profesional ini telah merubah fokus orientasi peran dan fungsi birokrasi dalam
pemerintahan yang semula lebih mementingkan process menuju ke product atau
dari rule government menuju ke good governence (Suryono, 2002b).
4. Implementasi Reformasi Organisasi Sektor Publik
Mazmanian dan Sabatier (dalam Abdul Wahab,2005;68-69) menjelaskan
konsep atau makna implementasi sebagai pelaksanaan keputusan kebijakan dasar,
biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk
perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan
peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin
diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan yang ingin dicapai, dan berbagai cara
untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya. Proses tersebut
berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawali dengan
tahapan pengesahan undang-undang, kemudian output kebijakan dalam bentuk
pelaksanaan oleh instansi pelaksana, kesediaan dilaksanakannya keputusan
tersebut oleh kelompok sasaran, dampak nyata dari output tersebut, dampak
dilakukan perbaikan penting terhadap undang-undang/peraturan yang
bersangkutan.
Terkait dengan reformasi organisasi, konsep implementasi dapat dilihat
dalam dua metode, yaitu unilateral dan share (Waldersee and Griffiths,2004;
425). Metode unilateral adalah lebih bersifat memberikan petunjuk (preskriptif),
kontrol, dan urusan teknis didasarkan pada kewenangan untuk mengubah secara
obyektif aspek formal dari suatu instansi. Metode ini cenderung bersifat top-down,
prosedural, dan difokuskan pada alokasi sumberdaya, serta mengikuti garis
kewenangan formal. Berbeda dengan metode share yang lebih menitikberatkan
pada penguatan partisipatif, menggunakan teknik konsultatif yang secara langsung
mempunyai target nilai, sikap, keahlian dari anggota organisasi. Metode ini secara
tipikal bersifat partisipasi tim untuk melakukan redesign dan komite konsultasi.
Menurut Dumphy dan Stace (dalam Waldersee and Griffiths,2004;427)
implementasi perubahan dalam organisasi yang berskala besar lebih dominan
menggunakan metode top-down. Bahkan secara lebih teknis, Moon (1999;33-35)
melihat efektifitas implementasi reformasi organisasi sektor publik sangat
tergantung dengan pengembangan karakteristik dari organisasi publik itu sendiri.
Karakteristik organisasi dapat dilihat dari aspek struktur organisasi. Dalam
konteks reformasi struktur organisasi, beberapa studi organisasi melihat reformasi
struktur organisasi dalam tiga aspek, yaitu; formalisasi, spesialisasi, dan
4.1. Formalisasi
Formalisasi merupakan salah satu bentuk karakteristik dari struktur
organisasi, di mana pekerjaan dalam suatu organisasi distribusikan, dimasukkan
dalam aturan-aturan, prosedur-prosedur dan perintah dalam bentuk tertulis. Ide
dari formalisasi ini adalah untuk mengelola dan mengontrol pekerjaan (Andersen,
2002;345). Moon (1999;34) melihat formalisasi sebagai bagian dari aktifitas
organisasi yang dimanifestasikan melalui dokumen tertulis, regulasi, dan policy
manuals. Banyaknya aturan dan dokumen yang bersifat tertulis cenderung
menyebabkan lambatnya proses administrasi dan kurangnya komunikasi dengan
konsumen.
4.2. Spesialisasi.
Spesialisasi dalam organisasi pemerintahan terlihat dengan semakin
meningkatnya volume pekerjaan, keikutsertaan aparatur dalam pelatihan dan
penggunaan sistem kerja. Spesialisasi di percaya dapat memberikan kontribusi
untuk peningkatan kinerja organisasi. Menurut Andersen (2002) spesialisasi dapat
dilihat dalam tiga kategori, yaitu:
a. Diferensiasi horizontal menjelaskan seberapa banyak pekerjaan, profesi, dan
bidang keahlian khusus yang ditemukan. Diferensiasi horizontal selalu
menjelaskan seberapa banyak pelatihan keahlian dan pendidikan yang
diberikan oleh organisasi yang berhubungan atau disesuaikan dengan tugas
b. Diferensiasi vertikal menjelaskan suatu pekerjaan dengan melihat
kesesuaian pada tingkat pelimpahan kewenangan yang telah diberikan oleh
organisasi dan seberapa besar tingkat rentang kontrol untuk setiap bidang.
c. Diferensiasi spasial menjelaskan tentang keterkaitan pekerjaan dengan
lokasi fisik, dan masyarakat. Dalam konteks ini lebih menitikberatkan pada
kompleksitas pekerjaan sangat terkait dengan lokasi bangunan atau penataan
ruang dalam memberikan pelayanan serta sejauhmana komitmen organisasi
berorientasi pada masyarakat.
4.3. Sentralisasi.
Sentralisasi merefleksikan tingkat kontrol top management dalam
pengambilan keputusan. Menurut Muklir, dkk (2005;7) sentralisasi diukur dari
tingkat keikutsertaan dalam pengambilan keputusan dan tingkat pelimpahan
wewenang, baik sentralisasi keputusan strategis maupun sentralisasi keputusan
taktis. Keputusan strategis adalah keputusan-keputusan yang berkenaan dengan
masalah kebijakan jangka panjang, yaitu; tentang alokasi sumberdaya manusia
dan uang, karena hal tersebut merupakan pusat bagi keputusan yang paling
mendasar dalam organisasi. Pengukuran kedua adalah bagaimana kekuasaan itu
didistribusikan di antara tugas-tugas pekerjaan yang merupakan tingkat hierarki
wewenang, ini menyangkut keputusan-keputusan mengenai kegiatan sehari-hari
dari setiap tugas yang perlu untuk operasi yang efisien dan lancar. Sentralisasi
semacam ini sebagai sentralisasi keputusan-keputusan taktis.
Melcher (1994;188-189) melihat beberapa konsekuensi sentralisasi terhadap
proses, sentralisasi dalam proses organisasi dapat dibagi dalam aspek koordinasi,
pengambilan keputusan, dan komunikasi. Sentralisasi koordinasi membawa
konsekuensi adanya koordinasi yang baik melalui pimpinan dan kebijakan yang
keseragaman. Konsekuensi sentralisasi dalam proses pengambilan keputusan
membawa manfaat terhadap organisasi secara keseluruhan penuh dengan
pertimbangan, jika keputusan yang dibuat oleh top manajemen dan staf personalia
serta dalam keadaan darurat, staf dan manajemen dapat memanfaatkan informasi
dan membuat keputusan yang menentukan tanpa adanya penundaan.
Sedangkan aspek komunikasi dalam sistem yang tersentralistis membawa
konsekuensi kebijakan, prosedur, dan aturan memberikan perangkat komunikasi
yang standar untuk pengambilan keputusan; ini merupakan alat komunikasi ke
bawah yang efisien.
Untuk aspek pola perilaku dibagi dalam aspek prakarsa dan motivasi dari
manajemen dan keputusan dengan pekerjaan. Aspek prakarsa dan motivasi dari
manajemen yang sentralistis membawa konsekuensi yang lebih tinggi dari top
manajemen. Aspek keputusan dengan pekerjaan membawa konsekuensi
personalia yang lebih tinggi dan lebih puas dengan pekerjaan mereka karena
mengerjakan pekerjaan yang penuh tantangan.
Aspek kerawanan organisasi dibagi dalam aspek pengembangan personalia,
tergantung pada top manajemen, dan perubahan. Aspek pengembangan personalia
membawa konsekuensi pengalaman yang luas dari top manajemen dan staf
personalia. Aspek tergantung pada top manajemen membawa konsekuensi pada
personalia saja yang dibutuhkan untuk sukses organisasi. Sedangkan aspek
perubahan membawa konsekuensi dapat dimulai dengan cepat dan terencana
dengan baik. Konsekuensi sentralisasi terhadap organisasi secara ringkas dapat
dilihat pada tabel 2.2:
Tabel 2.2. Konsekuensi Sentralisasi Terhadap Organisasi
Sentralisasi Proses Organisasi
Konsekuensi
Manfaat Mudarat
Koordinasi Koordinasi yang lebih baik melalui pimpinan
Pengambilan keputusan Organisasi secara keseluruhan atau masalah khusus dari bidang atau divisi dari unit kerja.
informasi ke atas dan arus informasi ke bawah membutuhkan waktu.
Komunikasi Kebijakan, prosedur, dan aturan memberikan mana arus pesan akan mengurangi tingkat komunikasi ke atas dan antar unit kerja.
Pola Perilaku
Prakarsa dan motivasi dari manajemen dan staf
Inisiatif dan motivasi yang lebih tinggi dari top manajemen.
Menurunnya inisiatif dan motivasi dari manajemen di tingkat yang lebih rendah.
pekerjaan lebih tinggi lebih puas dengan pekerjaan mereka karena
mengerjakan pekerjaan yang penuh tantangan.
rendah tidak puas dengan pekerjaan mereka karena top manajemen dan staf personalia. dan staf personalia saja yang dibutuhkan untuk
Perubahan dapat di mulai dengan cepat. Sumber: Melcher, 1994; 188-189
Berangkat dari karakteristik di atas, implementasi perubahan pada struktur
organisasi sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, pada prinsipnya lebih
berorientasi pada upaya peningkatan kualitas pelayanan publik. Salah satu tujuan
dari implementasi reformasi organisasi adalah sebagai upaya untuk meningkatkan
efisiensi dan efektifitas organisasi.
Dengan adanya efisiensi dan efektifitas, maka kualitas pelayanan publik
yang berorientasi pada kepentingan rakyat dapat tercapai. Untuk mencapai
perubahan yang ingin dicapai oleh sebuah organisasi. Costello (dalam Hoque and
Moll, 2000) melihat ada tiga tipe implementasi perubahan organisasi dalam
rangka meningkatkan pelayanan publik. Pertama, developmental. Perubahan
developmental ini dapat dimaknai sebagai perbaikan organisasi secara praktis
seperti membangun tim untuk mempersiapkan diri masuk dalam mekanisme pasar
atau mencoba menerapkan teknologi baru. Kedua, transtitional. Perubahan
transisional ini merujuk kepada implementasi struktur baru atau metode baru.
Kehendaknya melakukan reorganisasi secara sungguh-sungguh dengan
memasukkan teknik, metode, dan prosedur atau produk dari pelayanan publik.
Ketiga, transformational, merujuk kepada memperkenalkan struktur baru yang
merupakan hasil dari proses perubahan yang dikaitkan dengan visi dan strategi
pelayanan publik. Contoh dari perubahan transformasi adalah merger, konsolidasi,
dan restructuring.
Kingsley (dalam Suwondo, 2000) merekomendasikan perlunya reformasi
karakter pemerintah daerah (internal reform) dengan mengimplementasikan
beberapa teknik dalam meningkatkan kualitas pelayanan adalah Performance
measurement dengan terdapatnya catatan laporan yang jelas dari hasil-hasil
kegiatan dan mengukur efisiensi relatif, misalnya dengan biaya/harga per unit
pelayanan yang diberikan. independent and objective audits, baik terhadap
performance dan managemen keuangan. Performance contracts dengan tetap
menjaga hubungan yang baik dengan pihak lain (pemerintah, swasta, dan NGOs).
decentralization of responsibility within government dengan membagi habis
dibawahnya. Introducing customer orientation and access dengan
mempublikasikan rencana-rencana dan laporan kegiatan, menetapkan
one-stop-shops untuk memudahkan dalam pengurusan perizinan, dan sebagainya. A
competitive mode of service provision dengan cara yang kompetitif dalam
memberikan pelayanan antara pemerintah, swasta dan NGOs.
Dalam ISO 9000:2000 mengidentifikasikan delapan prinsip kualitas
manajemen yang seharusnya ditanamkan dalam sistem manajemen kualitas untuk
mendefinisikan apakah dan bagaimana seharusnya sebuah organisasi secara
konsisten telah menyediakan pelayanan yang dibutuhkan oleh konsumen
(O'Donoghue, 2003). Kedelapan strategi dan prinsip tersebut, antara lain:
Pertama, fokus pada konsumen. Kedua, kepemimpinan. Ketiga, keterlibatan
masyarakat. Keempat, pendekatan proses. Kelima, keinginan pada hasil. Keenam,
pendekatan sistem ke manajemen. Ketujuh, perbaikan yang terus menerus.
Kedelapan, pendekatan faktual dalam pengambilan keputusan.
5. Kerangka Berfikir (Framework) Penelitian
Reformasi kelembagaan yang dilakukan oleh pemeritahan Kota Yogyakarta,
terutama yang terkait dengan perubahan organisasi dari UPTSA ke Dinas
Perizinan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah No. 17/2005. Dengan adanya
perubahan tersebut menarik untuk dikaji secara lebih mendalam mengenai
keterkaitan reformasi organisasi tersebut dalam meningkat kualitas pelayanan
Menurut Sudrajat (2006) dalam melakukan reformasi organisasi seringkali
terdapat kelemahan dari sisi kelembagaan. Kelemahan tersebut terletak pada
desain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka memberikan
pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hierarki yang membuat pelayanan
menjadi berbelit-belit dan tidak terkoordinasi, kecenderungan untuk
melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan penyelenggaraan
masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, sehingga pelayanan publik
menjadi tidak efisien.
Sehingga penelitian implementasi reformasi organisasi di Dinas Perizinan
Kota Yogyakarta untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik menggunakan
pendekatan Moon (1999;33-35) dengan melihat salah satu dalam reformasi
organisasi dari aspek struktur organisasi. Oleh karena itu, fokus kajian dalam
penelitian ini hanya melihat reformasi organisasi dari aspek struktur organisasi
yang meliputi; formalisasi, spesialisasi, dan sentralisasi dengan tujuan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan publik di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta.
Secara ringkas kerangka kerja (framework) dalam penelitian ini dapat dilihat pada
gambar 2.1. dibawah ini:
Gambar 2.1. Kerangka Penelitian (Framework)
Dengan adanya perubahan struktur organisasi, maka akan dikaji secara
mendalam mengenai implementasi reformasi struktur organisasi Dinas Perizinan
Kota Yogyakarta dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan bagi masyarakat.
Sebab salah satu pertimbangan adanya perubahan organisasi perizinan menjadi
dinas adalah untuk mewujudkan peningkatan pelayanan dibidang perizinan yang
BAB III
METODE PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL REFORMASI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK
1. Pendahuluan
Bab ini akan membahas mengenai metode penelitian, definisi konsep, dan
definisi operasional. Metode dalam penelitian akan membahas mengenai jenis
penelitian, lokasi dan informen penelitian, teknik pengumpulan data, serta teknik
analisis data. Untuk definisi konsep akan menjelaskan pada penegasan mengenai
konsep yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Sedangkan definisi operasional
akan membahas mengenai uraian detail dari definisi konseptual yang akan
dijadikan acuan dalam menggali data di lapangan
2. Metode Penelitian
Metode dalam penelitian ini mengacu pada jenis penelitian evaluasi yang
mengkaji implementasi reformasi organisasi pelayanan perizinan di Dinas
Perizinan Kota Yogyakarta untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik.
2.1. Lokasi dan Informan Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Dinas perizinan Kota Yogyakarta dengan
alamat Jl. Kenari No. 56 Yogyakarta 55165. Sedangkan Informan dalam
penelitian ini adalah Kepala Dinas, Kepala Bidang, Kepala Seksi, Kepala Bidang
2.2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara mendalam (indepth interview) dengan kepala dinas, kepala bidang,
kesekretariatan, dan konsumen, Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. Selain
wawancara mendalam, penelitian ini juga melakukan observasi atau pengamatan
langsung mengenai proses pelayanan yang ada di Dinas Perizinan. Untuk
melengkapi teknik wawancara dan observasi, penelitian ini juga menggunakan
teknik dokumentasi untuk memperdalam dan mempertajam hasil temuan yang
ada. Teknik dokumentasi ini dilakukan dengan mempelajari sumber yang berasal
dari buku literatur, jurnal, majalah, surat kabar harian, internet dan sumber lain
yang terkait.
2.3. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik kualitatif
dengan model analisis interaktif, yaitu analisis yang bergerak dalam tiga
komponen, yaitu; Pertama, reduksi data (reduction). Kedua, sajian data (display.)
Ketiga, penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing). (Miles dan
Huberman, 1992;16-21). Reduksi data yang dimaksud adalah hasil wawancara
dan obeservasi yang diperoleh kemudian diidentifikasi dengan data yang ada agar
lebih fokus. Setelah melakukan identifikasi data, kemudian dideskripsikan dalam
sajian data yang diperkuat dengan analisis untuk membuat kesimpulan.
Oleh karena itu, proses analisis dalam penelitian ini menggunakan
triangulasi data dengan melakukan strukturisasi data primer dari hasil wawancara
dengan fokus kajian seperti aturan, kebijakan dari Perda (Peraturan Daerah),
Perwal (Peraturan Walikota) sampai dengan Peraturan Kepala Dinas, serta
publikasi baik dari buku dan jurnal. Data primer dan sekunder tersebut akan
dianalisis secara detail dengan melakukan triangulasi data yang diperoleh dari
sumber data primer dari hasil wawancara dan observasi. Dari hasil analisis,
kemuadian ditarik kesimpulan sesuai dengan tujuan dalam penelitian.
3. Definisi Konseptual
Definisi konseptual dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
3.1. Reformasi organisasi
Reformasi organisasi adalah upaya strategis yang dilakukan Pemerintahan
Kota Yogykarta dengan mengadakan perubahan terhadap struktur organisasi
perizinan secara konkrit dalam rangka peningkatan pelayanan publik.
3.2. Implementasi reformasi
Implementasi organisasi adalah suatu proses penerapan hasil reformasi
organisasi dengan merujuk pada tiga aspek, yaitu. Pertama, formalisasi yang
berarti aktivitas organisasi yang diatur secara tertulis, baik aturan-aturan yuridis
maupun regulasi perizinan. Kedua, sentralisasi berarti mekanisme kontrol,
mekanisme pengambilan keputusan dalam organisasi dan pelimpahan
kewenangan dari pimpinan ke staf. Ketiga, spesialisasi artinya terkait dengan
4. Definisi Operasional
Sesuai dengan definisi konsepsional di atas, maka definisi operasional
dalam penelitian akan dijabarkan sebagai berikut:
4.1. Formalisasi dalam definisi opresional peneltian ini akan mengkaji dari dua
aspek, yaitu:
a. Regulasi perizinan yang dilaksanakan oleh Dinas Perizinan
b. Regulasi organisasi Dinas Perizinan.
4.2. Sentralisasi dalam definisi operasional penelitian ini akan mengkaji dari tiga
aspek, yaitu:
a. Rentang Kontrol (Span of contro)l untuk setiap bagian.
b. Mekanisme pengambilan keputusan
c. Pelimpahan kewenangan antara atasan dan bawahan.
4.3. Spesialisasi dalam definisi operasional penelitian ini akan mengkaji dari dua
aspek, yaitu:
a. Pembagian tugas dan fungsi
b. Pengembangan kapasitas pekerja dalam pelayanan
BAB IV
GAMBARAN UMUM DINAS PERIZINAN
KOTA YOGYAKARTA
1. Pendahuluan
Bab ini akan membahas mengenai deskripsi secara umum perihal sejarah
organisasi Dinas Perizinan yang diperkuat dengan Peraturan Daerah (Perda) No.
17/2005 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas
Perizinan dan dijabarkan secara secara lebih rinci dalam Peraturan Walikota
(Perwal) No. 187/ 2005 Tentang Penjabaran Fungsi dan Tugas Dinas Perizinan
Kota Yogyakarta, juga diperkuat dengan adanya Renstra Dinas Perizinan yang
ditetapkan dalam Keputusan Kepala Dinas Perizinan Kota Yogyakarta No.
02/KEP/DINZIN/2007.
Ketiga perangkat aturan di atas, merupakan petunjuk bagi pelaksanaan
tugas, fungsi, kewenangan, struktrur yang didukung oleh visi, misi, motto, dan
komposisi sumberdaya manusia di Dinas Perizinan.
2. Sejarah Terbentuknya Dinas Perizinan
Pengelolaan perizinan oleh Pemerintahan Kota Yogyakarta mempunyai
sejarah panjang, semula pelayanan perizinan masih terpusat pada instansi teknis
dan sangat birokratis. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Yogyakarta mempunyai
komitmen untuk menjadikan pelayanan perizinan menjadi leading sector yang