• Tidak ada hasil yang ditemukan

REFORMASI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK

4. Implementasi Reformasi Organisasi Sektor Publik

Mazmanian dan Sabatier (dalam Abdul Wahab,2005;68-69) menjelaskan konsep atau makna implementasi sebagai pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah- perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya. Proses tersebut berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawali dengan tahapan pengesahan undang-undang, kemudian output kebijakan dalam bentuk pelaksanaan oleh instansi pelaksana, kesediaan dilaksanakannya keputusan tersebut oleh kelompok sasaran, dampak nyata dari output tersebut, dampak keputusan dipersepsikan oleh badan yang mengambil keputusan yang akhirnya

dilakukan perbaikan penting terhadap undang-undang/peraturan yang bersangkutan.

Terkait dengan reformasi organisasi, konsep implementasi dapat dilihat dalam dua metode, yaitu unilateral dan share (Waldersee and Griffiths,2004; 425). Metode unilateral adalah lebih bersifat memberikan petunjuk (preskriptif), kontrol, dan urusan teknis didasarkan pada kewenangan untuk mengubah secara obyektif aspek formal dari suatu instansi. Metode ini cenderung bersifat top-down, prosedural, dan difokuskan pada alokasi sumberdaya, serta mengikuti garis kewenangan formal. Berbeda dengan metode share yang lebih menitikberatkan pada penguatan partisipatif, menggunakan teknik konsultatif yang secara langsung mempunyai target nilai, sikap, keahlian dari anggota organisasi. Metode ini secara tipikal bersifat partisipasi tim untuk melakukan redesign dan komite konsultasi.

Menurut Dumphy dan Stace (dalam Waldersee and Griffiths,2004;427) implementasi perubahan dalam organisasi yang berskala besar lebih dominan menggunakan metode top-down. Bahkan secara lebih teknis, Moon (1999;33-35) melihat efektifitas implementasi reformasi organisasi sektor publik sangat tergantung dengan pengembangan karakteristik dari organisasi publik itu sendiri. Karakteristik organisasi dapat dilihat dari aspek struktur organisasi. Dalam konteks reformasi struktur organisasi, beberapa studi organisasi melihat reformasi struktur organisasi dalam tiga aspek, yaitu; formalisasi, spesialisasi, dan sentralisasi (Melcher, 1994; Robbins, 1994; Moon, 1999; Andersen, 2002).

4.1. Formalisasi

Formalisasi merupakan salah satu bentuk karakteristik dari struktur organisasi, di mana pekerjaan dalam suatu organisasi distribusikan, dimasukkan dalam aturan-aturan, prosedur-prosedur dan perintah dalam bentuk tertulis. Ide dari formalisasi ini adalah untuk mengelola dan mengontrol pekerjaan (Andersen, 2002;345). Moon (1999;34) melihat formalisasi sebagai bagian dari aktifitas organisasi yang dimanifestasikan melalui dokumen tertulis, regulasi, dan policy manuals. Banyaknya aturan dan dokumen yang bersifat tertulis cenderung menyebabkan lambatnya proses administrasi dan kurangnya komunikasi dengan konsumen.

4.2. Spesialisasi.

Spesialisasi dalam organisasi pemerintahan terlihat dengan semakin meningkatnya volume pekerjaan, keikutsertaan aparatur dalam pelatihan dan penggunaan sistem kerja. Spesialisasi di percaya dapat memberikan kontribusi untuk peningkatan kinerja organisasi. Menurut Andersen (2002) spesialisasi dapat dilihat dalam tiga kategori, yaitu:

a. Diferensiasi horizontal menjelaskan seberapa banyak pekerjaan, profesi, dan bidang keahlian khusus yang ditemukan. Diferensiasi horizontal selalu menjelaskan seberapa banyak pelatihan keahlian dan pendidikan yang diberikan oleh organisasi yang berhubungan atau disesuaikan dengan tugas yang diberikan kepada pegawai.

b. Diferensiasi vertikal menjelaskan suatu pekerjaan dengan melihat kesesuaian pada tingkat pelimpahan kewenangan yang telah diberikan oleh organisasi dan seberapa besar tingkat rentang kontrol untuk setiap bidang. c. Diferensiasi spasial menjelaskan tentang keterkaitan pekerjaan dengan

lokasi fisik, dan masyarakat. Dalam konteks ini lebih menitikberatkan pada kompleksitas pekerjaan sangat terkait dengan lokasi bangunan atau penataan ruang dalam memberikan pelayanan serta sejauhmana komitmen organisasi berorientasi pada masyarakat.

4.3. Sentralisasi.

Sentralisasi merefleksikan tingkat kontrol top management dalam pengambilan keputusan. Menurut Muklir, dkk (2005;7) sentralisasi diukur dari tingkat keikutsertaan dalam pengambilan keputusan dan tingkat pelimpahan wewenang, baik sentralisasi keputusan strategis maupun sentralisasi keputusan taktis. Keputusan strategis adalah keputusan-keputusan yang berkenaan dengan masalah kebijakan jangka panjang, yaitu; tentang alokasi sumberdaya manusia dan uang, karena hal tersebut merupakan pusat bagi keputusan yang paling mendasar dalam organisasi. Pengukuran kedua adalah bagaimana kekuasaan itu didistribusikan di antara tugas-tugas pekerjaan yang merupakan tingkat hierarki wewenang, ini menyangkut keputusan-keputusan mengenai kegiatan sehari-hari dari setiap tugas yang perlu untuk operasi yang efisien dan lancar. Sentralisasi semacam ini sebagai sentralisasi keputusan-keputusan taktis.

Melcher (1994;188-189) melihat beberapa konsekuensi sentralisasi terhadap organisasi dilihat dalam proses, pola perilaku, dan kerawanan organisasi. Aspek

proses, sentralisasi dalam proses organisasi dapat dibagi dalam aspek koordinasi, pengambilan keputusan, dan komunikasi. Sentralisasi koordinasi membawa konsekuensi adanya koordinasi yang baik melalui pimpinan dan kebijakan yang keseragaman. Konsekuensi sentralisasi dalam proses pengambilan keputusan membawa manfaat terhadap organisasi secara keseluruhan penuh dengan pertimbangan, jika keputusan yang dibuat oleh top manajemen dan staf personalia serta dalam keadaan darurat, staf dan manajemen dapat memanfaatkan informasi dan membuat keputusan yang menentukan tanpa adanya penundaan.

Sedangkan aspek komunikasi dalam sistem yang tersentralistis membawa konsekuensi kebijakan, prosedur, dan aturan memberikan perangkat komunikasi yang standar untuk pengambilan keputusan; ini merupakan alat komunikasi ke bawah yang efisien.

Untuk aspek pola perilaku dibagi dalam aspek prakarsa dan motivasi dari manajemen dan keputusan dengan pekerjaan. Aspek prakarsa dan motivasi dari manajemen yang sentralistis membawa konsekuensi yang lebih tinggi dari top manajemen. Aspek keputusan dengan pekerjaan membawa konsekuensi personalia yang lebih tinggi dan lebih puas dengan pekerjaan mereka karena mengerjakan pekerjaan yang penuh tantangan.

Aspek kerawanan organisasi dibagi dalam aspek pengembangan personalia, tergantung pada top manajemen, dan perubahan. Aspek pengembangan personalia membawa konsekuensi pengalaman yang luas dari top manajemen dan staf personalia. Aspek tergantung pada top manajemen membawa konsekuensi pada loyalitas, kesanggupan, dan pengalaman dari beberapa top manajemen dan staf

personalia saja yang dibutuhkan untuk sukses organisasi. Sedangkan aspek perubahan membawa konsekuensi dapat dimulai dengan cepat dan terencana dengan baik. Konsekuensi sentralisasi terhadap organisasi secara ringkas dapat dilihat pada tabel 2.2:

Tabel 2.2. Konsekuensi Sentralisasi Terhadap Organisasi Sentralisasi Proses

Organisasi

Konsekuensi

Manfaat Mudarat

Koordinasi Koordinasi yang lebih baik melalui pimpinan dan kebijakan yang seragam.

Kebijakan seragam yang berlaku efektif dalam situasi yang kondisional. Pengambilan keputusan Organisasi secara

keseluruhan

dipertimbangkan, jika keputusan yang dibuat oleh top manajemen dan staf personalia.

Perspektif organisasi mungkin mengabaikan ciri atau masalah khusus dari bidang atau divisi dari unit kerja.

Dalam keadaan darurat, staf dan manajemen dapat memanfaatkan informasi dan membuat keputusan yang

menentukan tanpa adanya penundaan.

Proses keputusan yang normal menimbulkan kelambatan, arus

informasi ke atas dan arus informasi ke bawah membutuhkan waktu. Komunikasi Kebijakan, prosedur,

dan aturan memberikan perangkat komunikasi yang standar untuk pengambilan keputusan; ini merupakan alat komunikasi ke bawah yang efisien. Ketergantungan pada saluran formal, menurunnya kesempatan untuk umpan balik, meningkatnya jumlah pusat komunikasi melalui mana arus pesan akan mengurangi tingkat komunikasi ke atas dan antar unit kerja.

Pola Perilaku

Prakarsa dan motivasi dari manajemen dan staf

Inisiatif dan motivasi yang lebih tinggi dari top manajemen.

Menurunnya inisiatif dan motivasi dari manajemen di tingkat yang lebih rendah.

pekerjaan lebih tinggi lebih puas dengan pekerjaan mereka karena

mengerjakan pekerjaan yang penuh tantangan.

rendah tidak puas dengan pekerjaan mereka karena tidak mampu melakukan terobosan dan berinisiatif. Kerawanan Organisasi

Pengembangan personalia

Luasnya pengalaman dari top manajemen dan staf personalia.

Menghambat perkembangan personalia top manajemen tingkat rendah. Mereka tidak mengembangkan ruang lingkup, pertimbangan, dan orientasi untuk membuat keputusan. Tergantung pada top

manajemen

Loyalitas, kesanggupan, dan pengalaman dari beberapa top manajemen dan staf personalia saja yang dibutuhkan untuk sukses organisasi.

Jika top manajemen sakit atau meninggal, maka fungsi organisasi akan terganggu.

Perubahan: prakarsa dan pelaksanaan

Perubahan dapat di mulai dengan cepat.

Pelaksanaan perubahan yang diprakarsai oleh pusat mungkin akan ditolak keras atau ditolak secara pasif. Sumber: Melcher, 1994; 188-189

Berangkat dari karakteristik di atas, implementasi perubahan pada struktur organisasi sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, pada prinsipnya lebih berorientasi pada upaya peningkatan kualitas pelayanan publik. Salah satu tujuan dari implementasi reformasi organisasi adalah sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas organisasi.

Dengan adanya efisiensi dan efektifitas, maka kualitas pelayanan publik yang berorientasi pada kepentingan rakyat dapat tercapai. Untuk mencapai kualitas pelayanan publik tersebut sangat tergantung dengan implementasi dari

perubahan yang ingin dicapai oleh sebuah organisasi. Costello (dalam Hoque and Moll, 2000) melihat ada tiga tipe implementasi perubahan organisasi dalam rangka meningkatkan pelayanan publik. Pertama, developmental. Perubahan developmental ini dapat dimaknai sebagai perbaikan organisasi secara praktis seperti membangun tim untuk mempersiapkan diri masuk dalam mekanisme pasar atau mencoba menerapkan teknologi baru. Kedua, transtitional. Perubahan transisional ini merujuk kepada implementasi struktur baru atau metode baru. Kehendaknya melakukan reorganisasi secara sungguh-sungguh dengan memasukkan teknik, metode, dan prosedur atau produk dari pelayanan publik. Ketiga, transformational, merujuk kepada memperkenalkan struktur baru yang merupakan hasil dari proses perubahan yang dikaitkan dengan visi dan strategi pelayanan publik. Contoh dari perubahan transformasi adalah merger, konsolidasi, dan restructuring.

Kingsley (dalam Suwondo, 2000) merekomendasikan perlunya reformasi karakter pemerintah daerah (internal reform) dengan mengimplementasikan beberapa teknik dalam meningkatkan kualitas pelayanan adalah Performance measurement dengan terdapatnya catatan laporan yang jelas dari hasil-hasil kegiatan dan mengukur efisiensi relatif, misalnya dengan biaya/harga per unit pelayanan yang diberikan. independent and objective audits, baik terhadap performance dan managemen keuangan. Performance contracts dengan tetap menjaga hubungan yang baik dengan pihak lain (pemerintah, swasta, dan NGOs). decentralization of responsibility within government dengan membagi habis tugas-tugas dan memberikan target yang jelas terhadap pejabat-pejabat

dibawahnya. Introducing customer orientation and access dengan mempublikasikan rencana-rencana dan laporan kegiatan, menetapkan one-stop- shops untuk memudahkan dalam pengurusan perizinan, dan sebagainya. A competitive mode of service provision dengan cara yang kompetitif dalam memberikan pelayanan antara pemerintah, swasta dan NGOs.

Dalam ISO 9000:2000 mengidentifikasikan delapan prinsip kualitas manajemen yang seharusnya ditanamkan dalam sistem manajemen kualitas untuk mendefinisikan apakah dan bagaimana seharusnya sebuah organisasi secara konsisten telah menyediakan pelayanan yang dibutuhkan oleh konsumen (O'Donoghue, 2003). Kedelapan strategi dan prinsip tersebut, antara lain: Pertama, fokus pada konsumen. Kedua, kepemimpinan. Ketiga, keterlibatan masyarakat. Keempat, pendekatan proses. Kelima, keinginan pada hasil. Keenam, pendekatan sistem ke manajemen. Ketujuh, perbaikan yang terus menerus. Kedelapan, pendekatan faktual dalam pengambilan keputusan.

Dokumen terkait