• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI MIGRASI KE PROVINSI BERPENDAPATAN RENDAH SEBELUM DAN SESUDAH OTONOMI DAERAH TAUFIK IMANDANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI MIGRASI KE PROVINSI BERPENDAPATAN RENDAH SEBELUM DAN SESUDAH OTONOMI DAERAH TAUFIK IMANDANA"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI MIGRASI KE

PROVINSI BERPENDAPATAN RENDAH SEBELUM DAN

SESUDAH OTONOMI DAERAH

TAUFIK IMANDANA

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Faktor-faktor yang Memengaruhi Migrasi ke Provinsi Berpendapatan Rendah Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah” adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Taufik Imandana

(4)
(5)

ABSTRAK

TAUFIK IMANDANA. Faktor-faktor yang Memengaruhi Migrasi ke Provinsi Berpendapatan Rendah Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah. Dibimbing oleh YETI LIS PURNAMADEWI.

Pada era otonomi daerah di Indonesia, migrasi masih merupakan fenomena yang terus berkembang dan menarik bahwa migrasi masuk yang relatif tinggi tidak hanya ke provinsi berpendapatan tinggi tetapi juga terjadi pada beberapa provinsi berpendapatan rendah. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kondisi sosial ekonomi wilayah provinsi tujuan migrasi berpendapatan rendah dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi migrasi masuk ke wilayah tersebut. Data utama yang digunakan adalah data sekunder berupa data panel yang terdiri dari data time series 1985-2010 dan data cross section dari lima provinsi tujuan migrasi berpendapatan rendah. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis ekonometrik data panel. Hasil studi menunjukkan sektor unggulan di provinsi tujuan migrasi berpendapatan rendah dalam studi ini adalah sektor primer kecuali untuk Provinsi D.I. Yogyakarta dan secara umum pertumbuhan sektor unggulan di masing-masing provinsi tersebut berfluktuasi dalam kurun waktu 1985-2010. Pertumbuhan PDRB juga berfluktuasi, kecuali di Provinsi Jambi. Nilai UMR, rasio penduduk berpendidikan di atas SMA serta jumlah pengangguran cenderung meningkat. Hasil analisis regresi data panel menunjukkan bahwa migrasi ke provinsi berpendapatan rendah dipengaruhi secara signifikan oleh pertumbuhan sektor unggulan, rasio penduduk berpendidikan di atas SMA, jumlah pengangguran dan variabel dummy otonomi daerah. Semua variabel tersebut berpengaruh positif kecuali untuk variabel dummy otonomi daerah. Adanya otonomi daerah dapat menurunkan jumlah migrasi.

Kata kunci: data panel , migrasi, otonomi daerah, provinsi berpendapatan rendah

ABSTRACT

TAUFIK IMANDANA. Factors that Affect Migration to the Provincial Low Income Before and After Regional Autonomy. Supervised by YETI LIS PURNAMADEWI.

In regional autonomy era in indonesian, migration is still a phenomenon that continue to grow and interesting that migration entrance relatively high not only to the provincial high-income but also occurred in several provinces low-income. Hence this study aims to to study the socioeconomic situation of the province of the purpose of migration had low incomes and analyzing the factors that influence migration in to the region. Prominent data that is used is secondary data in the form of a panel consisting of the tiime series data 1985-2010 and data cross

(6)

section of the five provinces the purpose of migration had low incomes. The method of analysis that is used is descriptive analysis and econometric analysis data panel. The study findings show superior sectors in the province of the purpose of migration had low incomes in the study of this is the primary sector except for Provinces D.I. Yogyakarta and in general superior sectors growth in each of the province fluctuates in the time frame 1985-2010. PDRB growth also always fluctuates except in Jambi Province. The value of UMR , the ratio of the inhabitants of educated in on high school and the unemployment rate tended to increase. The result analysis of data show regression panel the reason of migration to the province had low incomes affected significantly by growth superior sectors, ratio inhabitant have education of high school, quantity unemployment, and variable dummy regional autonomy. All variables such influential except for positive variable dummy regional autonomy. The presence of regional autonomy can reduce the number of migratory.

(7)

v

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

Departemen Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI MIGRASI KE

PROVINSI BERPENDAPATAN RENDAH SEBELUM DAN

SESUDAH OTONOMI DAERAH

TAUFIK IMANDANA

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2015

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi dengan judul “Faktor-faktor yang Memengaruhi Migrasi ke Provinsi Berpendapatan Rendah Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah”, akhirnya dapat terselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat yang harus ditempuh untuk menyelesaikan program sarjana (S1) Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, pada kesempatan ini penyusun ingin menyampaikan rasa hormat dan menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr Ir Yeti Lis Purnamadewi, MScAgr selaku dosen pembimbing akademik dan

pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan waktu dan pikiran, membimbing, mengarahkan, memberi saran, serta dorongan dan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

2. Dr Ir Wiwiek Rindayanti, MSi, selaku dosen penguji utama dan Dr

Muhammad Findi, AME, selaku penguji komisi disiplin pendidikan atas kritik dan masukan yang positif dalam penyempurnaan penulisan.

3. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu Ekonomi yang telah memberikan

banyak ilmu dan pemahamannya kepada penulis serta bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.

4. Orang tua penulis Bapak Sapto Winarno dan Ibu Dra. Yusmiati, kakak penulis

Alief Danar Imandaya, S.E, Banu Aji Imantara, S.TP, adik penulis Satrio Nur Imandani atas doa dan dukungan yang sangat besar dalam proses penyelesaian skripsi ini.

5. Wa Ode Sofia Zahrah A, S.Si atas kesabaran, dukungan, dan motivasinya

selama penulis menyusun skripsi ini hingga selesai.

6. Sahabat-sahabat penulis yang tergabung di grup pakuan teguh, saya ucapkan banyak terima kasih atas dukungan dan semangatnya.

7. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh teman-teman Ilmu

Ekonomi 46 yang telah memberikan dukungan dan semangat selama proses penyusunan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran sangat diperlukan untuk perbaikan di masa yang akan datang. Besar harapan penulis agar karya tulis ini dapat bermanfaat dan juga dapat

digunakan sebagai penambah ilmu pengetahuan pembaca.

Bogor, Agustus 2015

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 3

Tujuan ... 5

Manfaat Penelitian ... 5

Ruang Lingkup Penelitian ... 6

TINJAUAN PUSTAKA 7 Konsep dan Model Migrasi ... 7

Otonomi Daerah dan Migrasi ... 11

Sektor Unggulan dan Migrasi ... 13

Faktor-faktor yang Memengaruhi Migrasi ... 15

Penelitian Terdahulu ... 18

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 21 Kerangka Pemikiran ... 21

Hipotesis ... 23

METODE PENELITIAN 24 Jenis, Sumber dan Metode Pengumpulan Data ... 24

Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 24

Model Migrasi ke Provinsi Berpendapatan Rendah ... 28

Uji Asumsi Model ... 29

Definisi Operasional ... 30

HASIL DAN PEMBAHASAN 32 Sektor Unggulan di Provinsi Tujuan Migrasi ... 32

Kondisi Migrasi dan Sosial Ekonomi di Provinsi Tujuan Migrasi ... 36

Faktor-faktor yang Memengaruhi Migrasi ... 39

SIMPULAN DAN SARAN 43 Simpulan ... 43

Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA 44

LAMPIRAN 47

(12)

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan Sumber data utama penelitian ... 24

2 Kerangka identifikasi autokorelasi ... 30

3 Nilai LQ Provinsi Jambi tahun 1985-2010 ... 32

4 Nilai LQ Provinsi Sumatera Selatan tahun 1985-2010 ... 33

5 Nilai LQ Provinsi Lampung tahun 1985-2010 ... 33

6 Nilai LQ Provinsi Jawa Tengah tahun 1985-2010 ... 34

7 Nilai LQ Provinsi D.I. Yogyakarta tahun 1985-2010 ... 34

8 Hasil uji normalitas model faktor-faktor yang memengaruhi migrasi ... 40

9 Matriks korelasi antar variabel pada model persamaan migrasi ... 40

10 Hasil estimasi model migrasi dengan model random effect ... 41

DAFTAR GAMBAR

1 Produk Domestik Regional Bruto per kapita atas dasar harga konstan 2000 menurut provinsi tahun 2008-2010 ... 4

2 Kurva model migrasi Harris-Todaro ... 9

3 Kerangka pemikiran ... 22

4 Grafik perkembangan pertumbuhan PDRB sektor unggulan di provinsi tujuan migrasi tahun 1985-2010 ... 35

5 Grafik perkembangan migrasi di provinsi tujuan migrasi tahun 1985-2010 .... 36

6 Grafik perkembangan pertumbuhan PDRB di provinsi tujuan migrasi tahun 1985-2010 ... 37

7 Grafik perkembangan pengangguran di provinsi tujuan migrasi tahun 1985-2010 ... 38

8 Grafik perkembangan rasio jumlah penduduk berpendidikan di atas SMA di provinsi tujuan migrasi tahun 1985-2010 ... 38

9 Grafik perkembangan UMR di provinsi tujuan migrasi tahun1985- 2010 ... 39

DAFTAR LAMPIRAN

1 Migrasi masuk seumur hidup tahun 1985, 1990, 1995, 2000, 2005

dan 2010 provinsi-provinsi di Indonesia 47

2 Migrasi seumur hidup menurut provinsi tahun 1985-2010 48

3 Upah minimum nominal menurut provinsi tahun 1985-2010 49

4 Hasil estimasi model random effect 50

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perbedaan luas wilayah dan karakteristik masing-masing daerah di Indonesia menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang tidak merata. Hal ini juga tentunya dipengaruhi oleh faktor lain seperti potensi daerah, tenaga kerja, ketersediaan sumberdaya dan lainnya. Pertumbuhan ekonomi di wilayah perkotaan dan pedesaan yang tidak seimbang menimbulkan berbagai dampak positif dan negatif yang seharusnya mendapat perhatian serius dari pemerintah dan berbagai pihak (BPS 2010).

Pembangunan yang tidak seimbang dan disparitas antar daerah menyebabkan perpindahan penduduk yang dapat menimbulkan masalah baik di daerah yang ditinggalkan maupun daerah yang dituju. Daya tarik kota seperti, kesempatan memperoleh pendidikan, pekerjaan, wiraswasta dan penawaran jasa lainnya sebagai bagian dari proses modernisasi, antara lain merupakan komponen yang dapat memotivasi sehingga memperbesar arus perpindahan itu baik untuk tujuan menetap, sementara, atau mungkin perpindahan sirkuler (Artika 2003). Selain itu menurut Hauser et al. (1985) arus penduduk dari desa ke kota sebagian besar akibat daya tarik upah yang lebih tinggi berkat daya produksi yang lebih tinggi di kota.

Secara umum migrasi menimbulkan dampak positif dan negatif di daerah tujuan. Dampak positifnya sesuai dengan tujuan migran yakni semakin meningkatnya pendapatan sehingga dapat memenuhi kebutuhannya, tersedianya lapangan kerja baru, terjadimya transformasi gaya hidup dan sebagainya, sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan para migran adalah semakin meningkatnya jumlah penduduk, menyempitnya laham pertanian, munculnya pengangguran dan meningkatnya kriminalitas. Dampak positif lainnya yang menguntungkan di antaranya adalah terjadinya transfer ilmu, teknologi, dan budaya, baik dari kota ke desa ataupun dari Negara lain, terjadi ikatan yang kuat antara dua daerah, terjadi pemerataan taraf ekonomi, ketersediaan tenaga kerja di suatu daerah dan proses pembangunan berjalan lancar. Dampak negatif yang muncul sangat perlu diwaspadai terutama jika terjadi tingkat migrasi yang tidak seimbang (anatara migrasi masuk dan migrasi keluar). Dampak negatif juga dapat muncul jika terjadi berbagai masalah kependudukan lain terkait dengan kelebihan jumlah urban di suatu kota.

Migrasi dilakukan seseorang karena adanya tekanan lingkungan alam, ekonomi sosial, dan budaya. Dengan demikian migrasi terjadi bukan karena push

factors yang ada pada daerah asal, namun lebih karena adanya pull factors pada

daerah tujuan. Keperluan akan tenaga kerja dengan spesifikasi tertentu yang tidak mungkin dielakan. Mengacu pada berbagai pendapat tersebut, pembangunan ekonomi memang akan mendorong terjadinya mobilitas dan perpindahan penduduk. Penduduk akan berpindah menuju tempat yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi diri maupun keluarganya, yang tidak lain adalah tempat yang lebih berkembang secara ekonomi dibandingkan dengan tempat asalnya (Tjiptoherijanto 2000).

(14)

Kota sebagai pusat industri dan jasa, jelas lebih memberikan peluang berbagai macam jenis pekerjaan kepada semua orang. Banyaknya profesi yang bisa dipilih, membuat magnet bagi semua orang, tidak hanya yang mampu namun juga yang tanpa skill ikut turut serta dalam proses migrasi tersebut. Beberapa daerah di Indonesia menjadi tempat tujuan penduduk untuk melakukan migrasi, seperti DKI Jakarta yang merupakan Ibukota, Provinsi Riau, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Sumatera Selatan. Migrasi yang semula dianggap sebagai transfer tenaga kerja dari pedesaan ke perkotaan atau dari suatu provinsi ke provinsi lainnya justru berdampak pada aspek lainnya seperti perekonomian dan masalah kependudukan. Tingginya tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di berbagai daerah salah satunya disebabkan oleh migrasi, sehingga perlu adanya kebijakan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk dengan mengatasi jumlah migrasi masuk yang berlebihan di sejumlah provinsi yang nantinya akan menimbulkan masalah, antara lain seperti berkembangnya kawasan permukiman kumuh, degradasi lingkungan, kerawanan sosial, tindak kriminal, permasalahan pengangguran, kemiskinan dan bertambahnya volume sampah karena terlalu banyaknya masyarakat yang setiap tahunnya bertambah terus menerus.

Sejak 1 Januari 2001 Indonesia memasuki era otonomi daerah, dengan diterapkannya secara resmi Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (kedua Undang-undang tersebut sudah diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah). Atas dasar tersebut Pemerintah Pusat memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah sehingga memberi peluang kepada daerah agar leluasa mengatur dan melaksanakan kewenangannya atas prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat dan potensi setiap daerah. Tujuan peletakan kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi dan penghormatan terhadap budaya lokal dan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Melalui desentralisasi ini pembuatan kebijakan yang menyangkut kehidupan kemasyarakatan didekatkan kepada masyarakat. Hal ini dapat mempercepat pembangunan ekonomi sekaligus pemerataan pembangunan antar daerah. Sehingga dengan adanya kebijakan otonomi daerah tersebut diharapkan dapat mengurangi terjadinya migrasi masuk yang bersifat negatif, baik ke provinsi berpendapatan tinggi maupun ke provinsi berpendapatan rendah.

Pada Lampiran 1 ditunjukan jumlah migrasi masuk seumur hidup tahun 1985, 1990, 1995, 2000, 2005, dan 2010 provinsi-provinsi di Indonesia. Berdasarkan data yang disajikan dalam Lampiran 1 migrasi masuk dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, tidak hanya kota-kota besar seperti Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Riau tetapi provinsi-provinsi dengan pendapatan per kapita rendah juga dijadikan sasaran migrasi masuk oleh para migran. Migrasi masuk terbesar ke provinsi-provinsi dengan pendapatan per kapita rendah terdapat di Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Lampung, Provinsi Jambi, Provinsi D.I. Yogyakarta, dan Provinsi Jawa Tengah. Migrasi masuk di kelima provinsi tersebut cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahunnya.

(15)

Tingginya arus migrasi yang masuk dipengaruhi oleh kondisi perekonomian daerah. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada daerah-daerah yang memiliki pendapatan per kapita tinggi, tetapi juga pada daerah yang memiliki pendapatan per kapita di bawah rata-rata Indonesia. Awalnya para ekonom memandang migrasi sebagai suatu hal yang positif dalam pembangunan. Migrasi internal dianggap sebagai proses alamiah yang akan menyalurkan surplus tenaga kerja di daerah-daerah pedesaan ke sektor industri modern di kota-kota yang daya serapnya lebih tinggi. Meningkatnya jumlah migran yang masuk ke beberapa provinsi di Indonesia dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya tujuan seseorang untuk melakukan migrasi adalah untuk mendapatkan kesempatan kerja yang lebih baik. Apabila para migran yang masuk memiliki keterampilan atau kemampuan dalam bidang tertentu maka akan menambah jumlah tenaga kerja yang produktif, tetapi apabila tidak memiliki kemampuan hanya akan jadi pengangguran dan menimbulkan masalah sosial di provinsi tersebut.

Ketimpangan erat dan saling terkait dengan migrasi. Di satu sisi, pendapatan ketimpangan antara sumber dan tujuan daerah secara luas diyakini menjadi salah satu faktor yang paling penting yang mendorong migrasi ekonomi (Ha Wei, et al 2009). Hal ini melekat dalam model Lewis dual ekonomi dan lebih eksplisit dalam model Harris-Todaro migrasi desa-kota. Migrasi desa-kota dimodelkan sebagai respon terhadap kesenjangan upah antara sektor perkotaan dan pedesaan. Alasan kenapa migrasi dilakukan, bisa dibedakan menjadi dua yaitu adanya faktor pendorong serta adanya faktor dayatarik. Tjiptoherijanto (2000) menyatakan bahwa perpindahan atau migrasi yang didasarkan pada motif ekonomi merupakan migrasi yang direncanakan oleh individu sendiri secara sukarela (voluntary

planned migration). Para penduduk yang akan berpindah, atau migran telah

memperhitungkan berbagai kerugian dan keuntungan yang akan didapatnya sebelum yang bersangkutan memutuskan untuk berpindah atau menetap ditempat asalnya.

Perumusan Masalah

Migrasi merupakan fenomena perpindahan penduduk yang terjadi karena adanya perbedaan antar daerah. Perbedaan tersebut antara lain lapangan pekerjaan, sumberdaya dan lain-lain, hal ini menyebabkan jumlah migrasi setiap tahunnya terus meningkat sehingga menyebabkan masalah kependudukan bagi suatu daerah. Beberapa faktor yang menyebabkan orang bermigrasi antara lain mencari lapangan pekerjaan dan mencari sumberdaya baru. Adanya perbedaan sistem pengupahan yang lebih menjanjikan disebut juga merupakan salah satu faktor terjadinya migrasi. Dengan mendapatkan upah yang relatif lebih tinggi, individu akan berasumsi meningkatnya pendapatnya dan pada akhirnya meningkatnya kesejahteraan individu yang bersangkutan.

Hal ini didukung dengan adanya teori neoclassical economics, menekankan baik makro maupun mikro lebih memberikan perhatian pada perbedaan upah dan kondisi kerja antar daerah atau antar negara, serta biaya dalam keputusan seseorang melakukan migrasi. Menurut aliran ini, perpindahan penduduk merupakan keputusan pribadi yang didasarkan atas keinginan untuk mendapatkan kesejahteraan yang maksimum, sedangkan teori new economics of migration

(16)

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 2008 2009 2010 Jambi Sumatera Selatan Lampung Jawa Tengah D.I. Yogyakarta INDONESIA

beranggapan bahwa perpindahan atau mobilitas penduduk terjadi bukan saja berkaitan dengan pasar kerja, namun juga karena adanya faktor-faktor lain. Aliran ini juga menekankan bahwa keputusan untuk melakukan migrasi tidak semata-mata keputusan individu saja, namun terkait dengan lingkungan sekitar, utamanya lingkungan keluarga. Dalam hal ini keputusan untuk pindah tidak semata ditentukan oleh keuntungan maksimum yang akan diperoleh, tetapi juga ditentukan oleh kerugian yang minimal yang dimungkinkan dan berbagai hambatan yang akan ditemui, dikaitkan dengan terjadinya kegagalan pasar (Taylor 1968, Stark 1991) dalam Tjiptoherijanto (2000).

Pertumbuhan suatu sektor perekonomian yang terjadi di suatu wilayah akan berdampak tidak hanya pada pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut, tetapi juga di wilayah lainnya yang memiliki keterkaitan ekonomi dengan wilayah tersebut. Maju mundurnya suatu daerah juga bergantung pada daerah-daerah lain, khususnya daerah yang berdekatan. Kerja sama antar daerah diharapkan menjadi satu jembatan yang dapat mengubah potensi konflik kepentingan antar daerah menjadi sebuah potensi pembangunan yang saling menguntungkan. Perlunya kerjasama antar daerah adalah agar berbagai masalah lintas wilayah administratif dapat terselesaikan bersama, juga agar banyak potensi yang dimiliki dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama.

Apabila dilihat berdasarkan perkembangan migrasi masuk dari tahun ke tahun, jumlah migrasi cenderung meningkat di beberapa provinsi yang merupakan provinsi dengan pendapatan per kapita yang tinggi dan ada juga migrasi masuk ke provinsi-provinsi yang pendapatan per kapitanya rendah. Provinsi-provinsi berpendapatan rendah yang dijadikan migrasi antara lain Provinsi Lampung, Provinsi Jambi, Provinsi D.I. Yogyakarta, Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Sumatera Selatan.

Sumber : BPS (2010)

Gambar 1 Produk Domestik Regional Bruto per kapita atas dasar harga konstan 2000 menurut provinsi tahun 2008-2010

Gambar 1 menjelaskan pendapatan per kapita provinsi-provinsi yang dijadikan migrasi masuk oleh para migran. Data tersebut menunjukan bahwa tidak

Tahun Miliar

Rupiah

(17)

hanya provinsi-provinsi yang pendapatan per kapita tinggi yang dijadikan tempat migrasi melainkan provinsi-provinsi dengan pendapatan per kapita rendah juga dijadikan tempat migrasi. Provinsi-provinsi dengan pendapatan per kapita rendah yang dijadikan migrasi masuk yaitu Provinsi Lampung, Provinsi Jambi, Provinsi D.I. Yogyakarta, Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Sumatera Selatan. Hal ini menunjukan bahwa tidak hanya provinsi maju saja yang menjadi tujuan utama bermigrasi melainkan ada dayatarik lain dari setiap provinsi yang membuat penduduk bermigrasi ke provinsi tersebut.

Fenomena yang kita ketahui biasanya para migran datang ke provinsi dengan pendapatan per kapita tinggi, karena di provinsi tersebut tersedia lapangan pekerjaan dengan upah yang tinggi, tersedia sumberdaya yang masih bisa dimanfaatkan dengan teknologi-teknologi yang sudah maju. Melihat dari fenomena tersebut apakah penyebab para migran datang ke provinsi dengan pendapatan per kapita rendah, apakah ada dayatarik tersendiri ataukah ada faktor-faktor lain dari provinsi tersebut yang menyebabkan para migran datang.

Jumlah PDRB yang tinggi mampu menarik minat penduduk untuk bermigrasi, sehingga jumlah migrasi yang masuk meningkat setiap tahunnya. Hal tersebut menyebabkan kenaikan jumlah penduduk yang akan berpengaruh pada tingkat pengangguran. Provinsi yang memiliki tingkat pengangguran rendah tapi memiliki PDRB yang rendah juga tetap menjadi tempat tujuan migrasi. Jumlah migrasi ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun pada beberapa provinsi di Indonesia. Dengan demikian dapat dirumuskan suatu masalah, yaitu :

1. Bagaimana sektor unggulan, kondisi migrasi dan sosial ekonomi di provinsi berpendapatan rendah sebelum dan sesudah otonomi daerah?

2. Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan penduduk bermigrasi ke provinsi

berpendapatan rendah?

Tujuan

Berdasarkan latar belakang dan permasalah yang telah dibahas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah

1. Mengkaji sektor unggulan, kondisi migrasi dan sosial ekonomi di provinsi berpendapatan rendah sebelum dan sesudah otonomi daerah.

2. Menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan penduduk bermigrasi ke provinsi berpendapatan rendah.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik bagi penulis maupun pihak-pihak lain yang terkait. Manfaat tersebut antara lain :

1. Bagi Pemerintah atau instansi pengambilan keputusan terkait, diharapkan dapat

memberi masukan dan bahan pertimbangan untuk perencanaan dan pembangunan yang terkait dengan jumlah migrasi masuk ke provinsi dengan PDRB rendah serta masalah pengangguran.

2. Bagi pembaca diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan masukan untuk

(18)

3. Bagi penulis diharapkan dapat menjadi tempat untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan menambah pengalaman.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini dalam lingkup nasional, yaitu membahas migrasi masuk di provinsi-provinsi di Indonesia. Jumlah provinsi yang digunakan sebagai objek pengamatan adalah 5 provinsi. Kurun waktu penelitian adalah tahun 1985, 1990, 1995, 2000, 2005, dan 2010.

Migrasi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pendapatan per kapita, pengangguran, tingkat upah dan faktor lain yang menarik para migran untuk bermigrasi. Hal tersebut bisa menjadi faktor pendorong dan faktor penarik migrasi. Dalam penelitian ini analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan gambaran kondisi migrasi dan sosial ekonomi di provinsi tujuan migrasi. Analisis kuantitatif digunakan untuk menggambarkan sektor unggulan di provinsi tujuan migrasi. Metode ekonometrika regresi data panel untuk menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan migrasi. Metode Location Quotient digunakan untuk menentukan sektor unggulan di provinsi-provinsi tersebut. Selain itu, hal ini juga untuk membuktikan apakah varibel-variabel yang menjadi faktor penarik berdasarkan teori tersebut dapat memengaruhi migrasi secara signifikan.

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep dan Model Migrasi Konsep Migrasi

Migrasi adalah suatu gerak penduduk secara geografis, spasial atau teritorial antara unit-unit geografis yang melibatkan perubahan tempat tinggal yaitu dari tempat asal ke tujuan (Rusli 1994). Menurut Lee (1984) mengatakan bahwa yang disebut migrasi haruslah melibatkan faktor terjadinya perubahan tempat tinggal yang permanen dengan tidak usah memperhatikan jarak yang ditempuh dalam proses perpindahan tersebut. Menurut Munir (1981), dalam menelaah migrasi ada dua dimensi penting yang perlu ditinjau, yaitu dimensi waktu dan dimensi daerah. Ukuran yang pasti untuk dimensi waktu tidak ada, karena sulit menetapkan berapa lama seseorang pindah tempat tinggal agar dapat dianggap sebagai seorang migran, tetapi biasanya digunakan definisi yang digunakan dalam sensus penduduk.

Migrasi dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu 1) Migrasi Seumur Hidup dan 2) Migrasi Risen. Seseorang dikategorikan sebagai migran seumur hidup jika provinsi atau kabupaten/kota tempat lahirnya berbeda dengan provinsi atau kabupaten/kota tempat tinggal sekarang (pada waktu sensus). Sedangkan seseorang dikategorikan migrasi risen jika provinsi atau kabupaten/kota tempat tinggal lima tahun yang lalu berbeda dengan provinsi atau kabupaten/kota tempat tinggal sekarang (pada waktu sensus) (BPS 2010).

Mantra (1984) mengatakan bahwa seseorang dikatakan melakukan migrasi jika melakukan pindah tempat tinggal secara permanen atau relatif permanen (untuk jangka waktu relatif tertentu) dengan menempuh jarak minimal tertentu, atau pindah dari suatu unit geografis ke unit geografis lainnya. Migrasi merupakan bagian dari mobilitas penduduk. Mobilitas penduduk adalah perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain. Mobilitas penduduk ada yang bersifat nonpermanen (sementara) misalnya turisme baik nasional maupun internasional, dan ada pula mobilitas penduduk permanen (menetap). Mobilitas penduduk horizontal atau geografis meliputi semua gerakan penduduk yang melintasi batas wilayah tertentu dalam periode waktu tertentu pula.

Definisi migran menurut PBB dalam Artika (2003) adalah seseorang yang berpindah tempat kediaman dari suatu unit administratif atau politis ke unit daerah administratif atau daerah politis yang lain. Banyak ahli dan peneliti mengatakan bahwa migran bersifat selektif. Terdapat ciri khusus yang membedakan migran dan nonmigran, terutama dalam hal umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan dan jenis pekerjaan. Dengan adanya sifat selektif dalam proses migrasi maka timbullah ciri-ciri atau sifat-sifat karakteristik dari mereka yang turut serta dalam proses migrasi tersebut.

Alatas dan Edy (1992) secara umum menyebutkan beberapa jenis migran, yaitu migran semasa hidup, migran kembali, migran lokal dan migran risen. Migran semasa hidup (life time migran) adalah orang-orang yang pada saat pencacahan tidak bertempat tinggal di tempat kelahirannya, sedangkan migran kembali adalah orang yang kembali ke tempat kelahirannya setelah sebelumnya

(20)

pernah bertempat tinggal di tempat lain. Migran total adalah orang yang pernah bertempat tinggal di tempat lain (selain tempat kelahirannya), jadi dalam migrasi total mencakup pengertian migran semasa hidup dan migran kembali, secara spesifik jumlah migran total dikurangi migran kembali merupakan migran semasa hidup. Migran risen adalah orang-orang yang akhir-akhir ini melakukan perpindahan. Dilihat dalam satu tahun atau lima tahun terakhir, maka migran risen adalah mereka yang pada saat pencacahan tinggal di tempat yang berbeda dengan tempat tinggal lima tahun sebelumnya.

Model Migrasi

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator utama dalam mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi daerah. Indikator pertumbuhan ekonomi yang umumnya digunakan adalah berdasarkan pada data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) riil yang terdapat pada masing-masing daerah. Sumber-sumber pertumbuhan ekonomi dapat diidentifikasi berdasarkan pada sisi penawaran dan permintaan. Berdasarkan sisi penawaran, pertumbuhan ekonomi dapat terlihat dari adanya kenaikan PDRB sektoral, sedangkan dari sisi permintaan dapat diketahui dari pertumbuhan konsumsi (C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G) maupun dari selisih bersih ekspor terhadap impor (NX).

Todaro dan Smith (2003) menyatakan bahwa terdapat tiga komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi antara lain adalah:

1. Akumulasi modal yang mencakup semua jenis investasi baru. Akumulasi

modal ini dapat terjadi apabila pendapatan yang diterima ditabung dan diinvestasikan untuk meningkatkan jumlah output dan pendapatan yang akan diterima di kemudian hari.

2. Pertumbuhan penduduk yang akan meningkatkan jumlah angkatan kerja.

Berdasarkan pemikiran tradisional, pertumbuhan penduduk semakin besar dapat meningkatkan jumlah tenaga kerja dan dapat memperbesar pasar domestiknya. Hal tersebut dapat terjadi jika penawaran jumlah tenaga kerja dapat diserap seluruhnya dalam pasar tenaga kerja sehingga tersedia kesempatan kerja sesuai dengan pertumbuhan jumlah angkatan kerja di daerah tersebut.

3. Kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi dapat terjadi jika ditemukannya cara

baru atau perbaikan cara lama dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan secara tradisional sehingga dapat meningkatkan produktivitas. Kemajuan teknologi yang tepat guna yaitu teknologi yang murah, efisien dan padat karya bagi negara berkembang seperti Indonesia sangat diperlukan dalam pembangunan jangka panjang. Hal ini dikarenakan teknologi tersebut dapat meningkatkan kesempatan kerja bagi angkatan kerja yang sangat melimpah di negara ini.

Model Todaro mendasarkan diri pada pemikiran bahwa arus migrasi itu berlangsung sebagai tanggapan terhadap adanya perbedaan pendapatan antara kota dengan desa. Pendapatan yang dipersoalkan di sini bukanlah pendapatan yang aktual, melainkan penghasilan yang diharapkan (expected income). Dalil

(21)

mempertimbangkan dan membanding-bandingkan berbagai macam pasar tenaga kerja yang tersedia bagi mereka di sektor pedesaan dan perkotaan, serta kemudian memilih salah satu diantaranya yang dapat memaksimumkan keuntungan yang “diharapkan” (expected gains) dari migrasi. Pada dasarnya model Todaro tersebut beranggapan bahwa segenap angkatan kerja, baik yang aktual maupun potensial, senantiasa membandingkan penghasilan “yang diharapkan” selama kurun waktu tertentu di sektor perkotaan (yaitu selisih antara penghasilan dan biaya migrasi) dengan rata-rata tingkat penghasilan yang bisa diperoleh di pedesaan. Mereka baru akan memutuskan untuk melakukan migrasi jika penghasilan bersih di kota melebihi penghasilan bersih yang tersedia di desa.

Model migrasi lainnya adalah model migrasi Harris-Todaro yang menjelaskan adanya hubungan paradoks antara lonjakan migrasi dari desa ke kota yang semakin cepat dengan adanya peningkatan jumlah pengangguran di daerah perkotaan. Model Harris-Todaro ini merupakan model migrasi yang mirip dengan model migrasi Todaro, dimana pada model ini menyatakan bahwa pencapaian titik keseimbangan pengangguran akan tercapai jika tingkat pendapatan yang diharapkan di kota sama dengan tingkat pendapatan aktual di desa. Hal ini berbeda dengan yang dikatakan oleh model pasar bebas neoklasik tradisional yaitu migrasi dapat dihentikan jika terdapat keseimbangan tingkat upah di desa dan di kota.

Tingkat Upah di Tingkat Upah di

SektorPertanian Sektor Industri A M q’ W M WA Z q E WA* WM* WA** M’ A’ OA LA LA*LM* LM OM LUS

Sumber : Buku Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga (2003)

(22)

Pada Gambar 2 diasumsikan bahwa dalam suatu perekonomian (atau negara) hanya ada dua sektor, yakni sektor pertanian di pedesaan dan sektor industri di perkotaan. Tingkat permintaan tenaga kerja (kurva produk marjinal tenaga kerja) sektor pertanian dilambangkan oleh garis yang melengkung ke

bawah AA’. Adapun tingkat permintaan tenaga kerja di sektor industri ditunjukan

oleh garis lengkung (dari kanan ke kiri) MM’. Total angkatan kerja yang tersedia

disimbolkan oleh OAOM. Dalam perekonomian pasar neoklasik (upah ditentukan

oleh mekanisme pasar dan segenap tenaga kerja akan dapat terserap), tingkat upah

ekuilibrium akan tercipta bila WA=WM*dengan pembagian tenaga kerja sebanyak

OA LA * untuk sektor pertanian, dan OMLM untuk sektor industri. Sesuai dengan

asumsi full employment, segenap tenaga kerja yang tersedia akan terserap habis oleh kedua sektor ekonomi tersebut.

Kondisi yang terjadi pada pasar neoklasik tersebut sangat berbeda dengan kondisi yang terjadi pada model Todaro. Asumsi yang digunakan pada model Todaro adalah tingkat upah tidak ditentukan berdasarkan mekanisme pasar

melainkan ditentukan oleh permintaan (WM) yang terletak diatas WM*. Jika

diasumsikan tidak terjadi pengangguran, maka tenaga kerja sebanyak OMLM akan

bekerja pada sektor industri di perkotaan sedangkan sisanya OALM akan bekerja

pada sektor pertanian di pedesaan dengan tingkat upah sebesar OAWA** yang

lebih kecil dari tingkat upah pasar OAWA*. Hal ini menimbulkan terjadinya selisih

antara tingkat upah di desa dan di kota yaitu sebanyak WM – WA**. Jika semua

pekerja bebas untuk melakukan migrasi, walaupun di desa tersedia lapangan kerja

sebanyak OALM mereka akan tetap pergi ke kota untuk memperoleh tingkat upah

yang lebih tinggi.

Selisih antara tingkat upah di desa dan di kota kemudian mendorong terjadinya arus migrasi dari desa ke kota. Titik-titik peluang tersebut digambarkan oleh garis qq’ dan titik ekuilibrium yang baru adalah Z. Sedangkan titik selisih

antara pendapatan aktual di desa dan di kota adalah WM – WA. Jumlah tenaga kerja

yang masih ada pada sektor pertanian adalah OALA dan tenaga kerja di sektor

industri sebanyak OMLM dengan tingkat upah sebesar WM. Sedangkan sisanya

yakni LUS (OMLA – OMLM) akan menganggur atau memasuki sektor informal yang

berpendapatan rendah. Hal ini menjelaskan terjadinya pengangguran di kota dan semakin bertambahnya arus migrasi dari desa ke kota. Namun, dalam model ini masih terdapat kelemahan yaitu adanya menyamaratakan selera, tingkat pendidikan, keterampilan serta penalaran dari semua angkatan kerja yang tentu saja sangat tidak realistis.

Model Todaro dan Harris-Todaro relevan dengan negara-negara berkembang meskipun upah yang berlaku tidak ditetapkan oleh kekuatan-kekuatan institusional, seperti peraturan upah minimum. Penelitian teoritis terbaru mengenai migrasi desa-kota telah menegaskan bahwa kemunculan sektor-sektor modern yang memberikan upah tinggi bersama-sama dengan pengangguran atau sektor tradisional perkotaan seperti yang nampak dalam model ini, juga dapat disebabkan dari tanggapan pasar terhadap informasi yang tidak sempurna, perputaran tenaga kerja, dan fitur-fitur lain yang biasa tampak dalam pasar tenaga kerja.

Jadi singkatnya, model dari migrasi Todaro memiliki empat pemikiran dasar sebagai berikut:

(23)

1. Migrasi desa-kota dirangsang terutama oleh berbagai pertimbangan ekonomi yang rasional dan yang langsung berkaitan dengan keuntungan atau manfaat dan biaya-biaya relatif migrasi itu sendiri (sebagian besar terwujud dalam keuangan namun ada pula yang terwujud dalam kepuasan psikologis).

2. Keputusan untuk bermigrasi bergantung pada selisih antara tingkat pendapatan

yang diharapkan di kota dan tingkat pendapatan aktual di pedesaan. Besar kecilnya selisih pendapatan itu sendiri ditentukan oleh dua variabel pokok, yaitu selisih upah aktual di kota dan di desa, serta besar atau kecilnya kemungkinan mendapatkan pekerjaan di perkotaan yang menawarkan tingkat pendapatan sesuai dengan yang diharapkan.

3. Kemungkinan mendapatkan pekerjaan di perkotaan berkaitan langsung dengan

tingkat lapangan pekerjaan di perkotaan, sehingga berbanding terbalik dengan tingkat pengangguran di perkotaan.

4. Laju migrasi desa-kota bisa saja terus berlangsung meskipun telah melebihi laju pertumbuhan kesempatan kerja. Kenyataan ini memiliki landasan yang rasional, karena adanya perbedaan ekspektasi pendapatan yang sangat lebar, yakni para migran pergi ke kota untuk meraih tingkat upah lebih tinggi yang nyata (memang tersedia). Dengan demikian, lonjakan pengangguran di perkotaan merupakan akibat yang tidak terhindarkan dari adanya ketidakseimbangan kesempatan ekonomi yang sangat parah antara daerah perkotaan dan daerah pedesaan (berupa kesenjangan tingkat upah tadi), dan ketimpangan-ketimpangan seperti itu amat mudah ditemui di kebanyakan negara-negara Dunia Ketiga.

Otonomi Daerah dan Migrasi Konsep Otonomi Daerah

Konsep otonomi daerah berawal dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang merupakan koreksi atas prinsip otonomi yang seluas-luasnya karena dianggap dapat membahayakan keutuhan negara Republik Indonesia. Terdapat tiga esensi dasar otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yaitu (1) otonomi harus menjamin kestabilan politik dan kesatuan nasional, (2) otonomi harus dapat menjaga hubungan harmonis antara pemerintah pusat dan daerah, (3) otonomi harus dapat menjamin pembangunan daerah (Salam 2004).

Pada masa itu, otonomi daerah pada tingkat II (kabupaten/kota) belum sepenuhnya terwujud. Hal ini dikarenakan adanya keengganan dari pemerintah pusat untuk mendelegasikan wewenang ke daerah. Kurangnya kewenangan di daerah menyebabkan kelemahan pada kreativitas daerah dalam mengatasi berbagai masalah dan tantangan dalam pembangunan daerah. Sistem pemerintahan yang sentralistik dipandang sebagai konsekuensi dari sistem negara kesatuan. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan perubahan undang-undang yang mengatur pemerintahan sentralistik menjadi pemerintahan yang terdesentralisasi. Perubahan Undang-undang tersebut kemudian dilakukan pada masa pemerintahan Habibie dan tertuang pada Undang-undang Nomor 22 Tahun

(24)

1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah .

Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas daerah tertentu yang berwenang mengelola, mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Sedangkan otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

Terjadi perubahan terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, perubahan ini terjadi karena pada tahap awal pelaksanaan otonomi daerah menimbulkan masalah baru yaitu otonomi daerah dilandaskan atas nilai-nilai kebebasan dimana kebebasan tersebut tidak mampu dikendalikan oleh pihak yang menjalankan kebebasan itu sendiri dan lemahnya penegakan hukum banyak mendatangkan dampak negatif. Perubahan itu tercermin pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 10 ayat 3 otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah ini memaknai otonomi daerah sebagai pemberian kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Kaitan Otonomi Daerah dengan Migrasi

Sejak 1 Januari 2001 Indonesia memasuki era otonomi daerah, dengan diterapkannya secara resmi Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (kedua Undang-undang tersebut sudah diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah). Atas dasar tersebut Pemerintah Pusat memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah sehingga memberi peluang kepada daerah agar leluasa mengatur dan melaksanakan kewenangannya atas prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat dan potensi setiap daerah. Menurut Mardiasmo (2002), terdapat tiga misi utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, yaitu (1) menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumberdaya daerah, (2) meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat, serta (3) memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta dalam proses pembangunan.

Tujuan peletakan kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi

(25)

dan penghormatan terhadap budaya lokal dan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Melalui desentralisasi ini pembuatan kebijakan yang menyangkut kehidupan kemasyarakatan didekatkan kepada masyarakat. Hal ini dapat mempercepat pembangunan ekonomi sekaligus pemerataan pembangunan antar daerah. Tujuan desentralisasi dan otonomi daerah dalam konteks nasional adalah memelihara keutuhan negara dan bangsa, melembagakan proses seleksi kepemimpinan nasional dan otonomi daerah adalah untuk mewujudkan demokrasi di tingkat lokal, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, menciptakan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintah daerah serta melindungi hak-hak masyarakat lokal (LIPI 2005).

Otonomi daerah yang seluas-luasnya perlu diberikan kepada masing-masing daerah agar mampu mengatur dan menjalankan berbagai kebijakan yang dirumuskan sendiri guna peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah atau di kawasan yang bersangkutan. Melalui otonomi daerah, yang berarti desentralisasi pembangunan, laju pertumbuhan antar daerah akan semakin seimbang dan serasi sehingga pelaksanaan pembangunan nasional serta hasil-hasilnya semakin merata di seluruh Indonesia. Melalui otonomi daerah dalam pengaturan pendapatan, sistem pajak, keamanan warga, sistem perbankan dan berbagai pengaturan lainnya yang dapat diputuskan daerah sendiri, akan dimungkinkan perpindahan penduduk secara sukarela dengan tujuan semata-mata peningkatan kesejahteraan penduduk itu sendiri. Akan berbeda dengan perpindahan yang lebih berupa suruhan, desakan atau malah setengah paksaan, yang bahkan hanya akan menghasilkan mobilitas yang bersifat “dukalara “ semata (Tjiptoherijanto 2000). Adanya otonomi daerah seharusnya dapat dijadikan salah satu langkah untuk mencegah penduduk meninggalkan provinsi asalnya, karena penduduk tidak perlu mencari kesejahteraan di provinsi lain.

Sektor Unggulan dan Migrasi Konsep Sektor Unggulan

Sektor unggulan merupakan sektor potensial yang dimiliki oleh suatu wilayah karena merupakan sektor basis yang dapat dikembangkan dan dimaksimalkan untuk jadi penentu perkembangan ekonomi suatu wilayah. Pada dasarnya sektor unggulan daerah dapat memberikan kontribusi yang besar pada daerah, bukan hanya untuk daerah itu sendiri tapi juga untuk memenuhi kebutuhan daerah lain. Semua kegiatan lain yang bukan kegiatan basis termasuk ke dalam kegiatan/sektor service atau pelayanan, tetapi untuk tidak menciptakan pengertian yang keliru tentang arti service maka disebut saja sektor nonbasis atau bukan sektor unggulan wilayah tersebut (Tarigan 2012).

Pengertian sektor unggulan biasanya berkaitan dengan suatu perbandingan, baik itu perbandingan berskala regional, nasional maupun internasional. Pada lingkup internasional, suatu sektor dikatakan unggulan jika sektor tersebut mampu bersaing dengan sektor yang sama dengan negara lain, sedangkan pada lingkup nasional, suatu sektor dapat dikategorikan sebagai sektor unggulan apabila sektor di wilayah tertentu mampu bersaing dengan sektor yang sama yang dihasilkan oleh wilayah lain, baik di pasar nasional ataupun domestik (Tambunan 2001).

(26)

Sektor unggulan dipastikan memiliki potensi besar untuk tumbuh lebih cepat dibandingkan sektor lainnya dalam suatu daerah terutama adanya faktor pendukung terhadap sektor unggulan tersebut yaitu akumulasi modal, pertumbuhan tenaga kerja yang terserap dan kemajuan tekhnologi (technological

progress). Penciptaan peluang investasi juga dapat dilakukan dengan

memberdayakan potensi sektor unggulan yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan (Rachbini 2001).

Sektor unggulan di suatu daerah (wilayah) berhubungan erat dengan data PDRB dari daerah bersangkutan. Karena di dalam PDRB terkandung informasi yang sangat penting diantaranya untuk melihat output sektor ekonomi (kontribusi masing-masing sektor) dan tingkat pertumbuhan dalam suatu daerah baik daerah provinsi maupun kabupaten/kota.

Kaitan Sektor Unggulan dengan Migrasi

Ketimpangan yang terjadi antara satu daerah dengan daerah lainnya menyebabkan penduduk terdorong atau tertarik untuk melakukan pergerakan dari satu daerah ke daerah lainnya. Pembangunan daerah perlu diarahkan untuk lebih mengembangkan dan menyerasikan laju pertumbuhan antar daerah, antar daerah perkotaan dan pedesaan, serta mampu membuka daerah terisolasi dan mempercepat pembangunan kawasan yang tertinggal. Potensi ekonomi daerah adalah kemampuan ekonomi yang ada di daerah yang dapat dikembangkan menjadi sumber penghidupan rakyat setempat dan dapat mendorong perekonomian daerah secara keseluruhan untuk berkembang dengan sendirinya dan berkesinambungan (Suparmoko 2010). Strategi Pengembangan ekonomi daerah dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu: (1) mengidentifikasi sektor-sektor yang memiliki potensi untuk dikembangkan dengan memperhatikan kekuatan dan kelemahan masing-masing sektor; (2) mengidentifikasi sektor-sektor yang potensinya rendah untuk dikembangkan dan mencari faktor-faktor penyebab rendahnya potensi sektor tersebut untuk dikembangkan; (3) mengidentifikasi sumberdaya (faktor-faktor produksi) termasuk sumberdaya manusianya yang siap digunakan untuk mendukung perkembangan setiap sektor yang bersangkutan; (4) menggunakan model pembobotan terhadap variabel-variabel kekuatan dan kelemahan untuk setiap sektor dan subsektor, selanjutnya akan ditemukannya sektor andalan yang dianggap sebagai potensi ekonomi yang dikembangkan di daerah yang bersangkutan; (5) Menentukan strategi yang akan ditempuh untuk pengembangan sektor-sektor andalan yang akan dapat menarik sektor-sektor lain untuk tumbuh sehingga perekonomian dapat berkembang

dengan sendirinya (self propelling) secara berkelanjutan (sustainable

development).

Pencapaian keberhasilan pembangunan daerah melalui pembangunan ekonomi harus disesuaikan dengan kondisi dan potensi masing-masing daerah serta diperlukan perencanaan pembangunan yang terkoordinasi antar sektor, perencanaan pembangunan di sini bertujuan untuk menganalisis secara menyeluruh tentang potensi-potensi yang dimiliki oleh suatu daerah. Keterbatasan sumberdaya di suatu daerah baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya finansial maupun sumberdaya lainnya merupakan masalah umum

(27)

yang dihadapi oleh sebagian besar daerah untuk dapat menggerakkan seluruh perekonomian yang mampu sebagai penggerak utama untuk memacu laju pembangunan di suatu daerah.

Pertumbuhan suatu sektor perekonomian yang terjadi di suatu wilayah akan berdampak tidak hanya pada pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut, tetapi juga di wilayah lainnya yang memiliki keterkaitan ekonomi dengan wilayah tersebut. Maju mundurnya suatu daerah juga bergantung pada daerah-daerah lain, khususnya daerah yang berdekatan. Kerja sama antar daerah diharapkan menjadi satu jembatan yang dapat mengubah potensi konflik kepentingan antar daerah menjadi sebuah potensi pembangunan yang saling menguntungkan. Perlunya kerjasama antar daerah adalah agar berbagai masalah lintas wilayah administratif dapat terselesaikan bersama, juga agar banyak potensi yang dimiliki dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama.

Sektor unggulan juga merupakan salah satu faktor terjadinya migrasi masuk. Majunya sektor unggulan di suatu provinsi menjadi salah satu indikator pertumbuhan ekonomi di provinsi tersebut. Provinsi yang memiliki pertumbuhan ekonomi baik akan memancing para migran untuk datang ke provinsi tersebut dan dengan adanya kebijakan otonomi daerah yang memberikan kewenangan untuk Pemerintah Daerah mengembangkan daerahnya sendiri membuat masing-masing provinsi mengembangkan sektor unggulan di daerahnya. Adanya sektor unggulan dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi para migran yang berpindah dari daerah asalnya karena tidak adanya lapangan pekerjaan di daerah asalnya. Hal ini membuat arus migrasi masuk ke provinsi yang memiliki sektor unggulan semakin banyak.

Faktor-faktor yang Memengaruhi Migrasi Faktor Migrasi secara Umum

Migrasi dilakukan seseorang karena adanya tekanan lingkungan alam, ekonomi sosial, dan budaya. Menghadapi tekanan lingkungan ini ada tiga kemungkinan yang dilakukan masyarakat. Pertama, mereka yang bertahan di tempat, karena menganggap tempat yg sekarang adalah tempat terbaik dan dianggap paling banyak memberikan kemungkinan bagi terpenuhinya kebutuhan hidup tentu saja tidak dilupakan kemungkinan usaha perbaikan lingkungan hidupnya dan pembaharuan. Kedua, mereka pindah tempat atau migrasi. Ketiga, mereka melakukan peralihan antara keduanya, yaitu tetap tinggal di tempat lama tetapi mencari pekerjaan baru secara berkala dan terus menerus atau commutery (Hugo 1981).

Menurut Hardjosudarmo (1965) terjadinya migrasi disebabkan oleh tiga faktor, yaitu:

1. Faktor pendorong (push factor) yang ada pada daerah asal, yakni adanya

pertambahan penduduk yang mengakibatkan timbulnya tekanan penduduk, adanya kekeringan sumber alam, adanya fluktuasi iklim, dan ketidaksesuaian diri dengan lingkungan.

(28)

2. Faktor penarik (pull factor) yang ada pada daerah tujuan, yakni adanya sumber alam serta sumber mata pencaharian baru, adanya pendapatan-pendapatan baru, dan iklim yang sangat baik.

3. Faktor lainnya (other factor), yakni adanya perubahan-perubahan teknologi,

seperti munculnya mekanisasi pertanian yang bisa menyebabkan berkurangnya permintaan tenaga kerja untuk pertanian. Hal ini memaksa buruh tani untuk pindah ke tempat atau pekerjaan lain. Selain itu juga karena adanya perubahan pasar, faktor agama, politik, dan faktor pribadi.

Menurut Munir (1981) menggolongkan faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan migrasi ke dalam dua kelompok, yaitu faktor pendorong dan faktor penarik. Faktor pendorong antara lain:

1. Makin berkurangnya sumber-sumber alam, menurunnya permintaan atas

barang-barang tertentu yang bahan bakunya masih sulit diperoleh seperti hasil tambang, kayu dan bahan dari hasil pertanian.

2. Menyempitnya lapangan kerja di daerah asal (misalnya pedesaan) akibat

masuknya teknologi yang menggunakan mesin-mesin (capital intensive).

3. Adanya tekanan-tekanan atau diskriminasi politik, agama, dan suku di daerah

asal.

4. Tidak cocok lagi dengan adat, budaya dan kepercayaan di tempat asal.

5. Alasan pekerjaan atau perkawinan yang menyebabkan tidak bisa

mengembangkan karir pribadi.

6. Bencana alam baik banjir, kebakaran, gempa bumi, musim kemarau panjang

atau adanya wabah penyakit.

Sementara faktor-faktor penarik antara lain:

1. Adanya rasa superior di tempat yang baru atau kesempatan untuk memasuki

lapangan kerja.

2. Kesempatan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.

3. Kesempatan mendapatkan pendapatan yang lebih baik.

4. Keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang menyenangkan, misalnya iklim,

perumahan, sekolah dan fasilitas-fasilitas kemasyarakatan lainnya.

5. Tarikan dari orang yang diharapkan sebagai tempat berlindung.

6. Adanya aktivitas-aktivitas di kota besar, tempat-tempat hiburan, pusat

kebudayaan sebagai dayatarik orang-orang dari desa atau kota kecil.

Greenwood (1975) mengemukakan beberapa variabel/faktor yang menentukan seseorang untuk bermigrasi, yaitu:

1. Jarak dan biaya langsung perpindahan. Migrasi akan menurun dengan semakin

jauhnya jarak, karena jarak berfungsi sebagai pencerminan dari biaya transportasi dan biaya perjalanan.

2. Pendapatan. Migrasi potensial akan memilih lokasi dimana nilai nyata dari manfaat bersih yang diharapkan adalah terbesar, artinya seseorang akan melakukan migrasi apabila pendapatan bersih di daerah tujuan lebih besar dari pada di daerah asal.

3. Informasi. Informasi yang tersedia mengenai daerah alternatif memainkan

peranan penting dalam pengambilan keputusan dari kaum migran untuk menentukan daerah tujuan. Umumnya orang akan cenderung menuju tempat dimana ia telah mengetahui informasi mengenai daerah tersebut dari pada daerah yang mereka tidak ketahui atau hanya sedikit informasi yang tersedia.

(29)

4. Karakteristik migran dan keputusan bermigrasi. Karakteristik yang menentukan dalam keputusan melakukan migrasi adalah umur dan tingkat pendidikan. Peluang melakukan migrasi pada angkatan kerja menurun seiring dengan meningkatnya umur. Semakin tinggi pendidikan akan memperbesar peluang seseorang untuk melakukan migrasi, sebab dengan semakin tinggi pendidikan, maka informasi yang berkaitan dengan ketenagakerjaan dan peluang untuk mendapatkan pekerjaan juga besar.

Kaitan Migrasi dengan Variabel yang diduga Memengaruhi Migrasi

Secara umum faktor migrasi terjadi karena adanya faktor pendorong dan faktor penarik. Faktor pendorong adalah faktor yang terdapat di daerah asal dan faktor penarik adalah faktor yang terdapat di daerah tujuan. Terjadinya migrasi masuk ke provinsi berpendapatan rendah dikarenakan adanya faktor penarik di provinsi tujuan migrasi. Faktor tersebut antara lain pertumbuhan PDRB, tingkat pendidkan, UMR, pengangguran dan pertumbuhan sektor unggulan. Diantara kelima faktor tersebut ada satu faktor yang merupakan faktor penarik, faktor penariknya adalah sektor unggulan yang terdapat di provinsi tersebut.

Pertumbuhan PDRB menjadi salah satu faktor penentu terjadinya migrasi, hal ini disebabkan dengan pertumbuhan PDRB yang tinggi di suatu provinsi maka provinsi tersebut memiliki pendapatan yang tinggi sehingga akan menjadikan provinsi tersebut sebagai sasaran bagi para migran untuk bermigrasi ke provinsi tersebut. Karena alasan utama para migran berpindah adalah untuk mendapatkan pendapatan yang tinggi sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sebagian masyarakat yang bermigrasi dipengaruhi juga oleh tingkat pendidikannya. Masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah biasa bermigrasi dan bekerja menjadi buruh atau bekerja di pertanian sedangkan yang memiliki tingkat pendidikan tinggi juga bermigrasi untuk bekerja di perusahaan atau mereka juga bermigrasi untuk melanjutkan menempuh pendidikannya.

Upah Minimum Regional (UMR) merupakan salah satu faktor penarik yang menyebabkan terjadinya migrasi. Para migran bermigrasi ke provinsi yang memiliki tingkat pengupahan tinggi karena di provinsi asalnya tingkat pengupahannya masih rendah. Semata-mata untuk memperoleh kesejahteraan dan memenuhi kebutuhan hidup para migran.

Terjadinya migrasi menyebabkan masalah baru bagi provinsi yang dijadikan tempat migrasi, yaitu bertambahnya pengangguran di provinsi tersebut. Hal ini yang menyebabkan para pengangguran yang berada di provinsi tersebut menjadi berpindah ke provinsi lain karena di provinsinya sudah padat dengan bertambahnya penduduk lain yang datang ke provinsinya.

Sektor unggulan dipastikan memiliki potensi besar untuk tumbuh lebih cepat dibandingkan sektor lainnya dalam suatu daerah terutama adanya faktor pendukung terhadap sektor unggulan tersebut yaitu akumulasi modal, pertumbuhan tenaga kerja yang terserap, dan kemajuan tekhnologi (technological

progress). Penciptaan peluang investasi juga dapat dilakukan dengan

memberdayakan potensi sektor unggulan yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan (Rachbini 2001). Adanya investasi dapat mendorong terbukanya

(30)

lapangan kerja baru sehingga akan menyerap angkatan kerja baru, hal ini lah yang menyebabkan terjadi migrasi karena melihat peluang adanya lapangan kerja baru.

Penelitian Terdahulu

Analisis serta kajian terhadap fenomena migrasi telah dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri. Berikut ini akan dipaparkan beberapa penelitian terdahulu dengan berbagai pendekatan yang secara khusus menganalisis terjadinya migrasi.

Etzo (2007) yang berjudul “Determinants of Interregional Migration in Italy:A Panel Data Analysis”. Penelitian ini memfokuskan pada faktor penentu migrasi orang-orang yang meninggalkan wilayah di Italia untuk pindah ke daerah lain Italia. Metode yang digunakan adalah metode data panel. Variabel yang dianalisis yaitu variabel gravitasi, variabel ekonomi, variabel pasar tenaga kerja, dan variabel lingkungan. Hasilnya secara khusus PDRB per kapita memainkan peran yang kuat baik di daerah pengirim dan tujuan.

Ha Wei (2009) yang berjudul “Internal Migration and Income Inequality in China: Evidence from Village Panel Data” menganalisis dampak migrasi desa-kota pada ketimpangan pendapatan dan kesenjangan upah di daerah. Metode yang digunakan adalah metode data panel. Variabel yang dianalisis yaitu migrasi dan rasio upah. Hasilnya adalah ditemukan Kuznets (berbentuk U terbalik) pola antara migrasi dan pendapatan ketimpangan di masyarakat pengirim. Secara khusus, migrasi meningkatkan ketimpangan pendapatan. Jadi migrasi cenderung meningkatkan kesenjangan upah dan cenderung menguranginya di desa-desa pengirim.

Wahyudi (2007) yang berjudul “ Pengaruh Faktor-faktor Ekonomi Terhadap Tingkat Migrasi ke Provinsi DKI Jakarta” menganalisis pengaruh faktor-faktor ekonomi yang memengaruhi migrasi ke DKI Jakarta. Faktor yang dianalisis yaitu tingkat upah yang dalam hal ini Upah Minimum Regional dan Produk Domestik Regional Bruto perkapita. Metode yang digunakan adalah metode panel data. Hasilnya bahwa tingkat UMR tiap provinsi memiliki hubungan yang negatif terhadap jumlah migrasi ke Jakarta dan PDRB mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap tingkat migrasi ke Jakarta, karena PDRB Jakarta jauh lebih besar dari provinsi lainnya di Indonesia.

Kainth (2010) yang berjudul “Push and Pull Factors of Migration: A Case Study of Brick Kiln Migrant Workers in Punjab” menguji karakteristik sosial ekonomi buruh migran yang bekerja di pembakaran bata industri, menguji partisipasi buruh migran dalam kegiatan serikat pekerja dan tingkat kesadaran tentang peraturaran perundang-undangan ketenagakerjaan, mengindentifikasi karakteristik yang memengaruhi tingkat kepuasan dari pekerja migran dan menyarankan rekomendasi yang cocok untuk perlindungan para pekerja migran. Analisis yang digunakan menggunakan SPSS untuk melakukan analisis statistik, analisis tabular untuk memeriksa profil sosial ekonomi pekerja migran, tabulasi silang digunakan untuk melihat tingkat kepuasan untuk para pekerja migran. Hasilnya adalah karakteristik dari sosial ekonomi buruh migrasi yaitu masyarakat yang usianya muda dan para migran cenderung selektif dengan laki-laki mendominasi migrasi.

(31)

Yamada (2010) yang berjudul “Growth, Umployment and Internal Migration Peru, 2003-2007” menganalisis tren pertumbuhan ekonomi regional, pekerjaan dan migrasi internal. Hasilnya menunjukan bahwa keputusan migrasi memperhitungkan potensi keuntungan dalam standar hidup, melalui peningkatan akses terhadap ekonomi dan sosial infrastuktur.

Winters (2010) yang berjudul “Human Capital and Population Growth in Non-Metropolitan U.S. Counties: The Important of College Student Migration” menganalisi hubungan antara kabupaten nonmetropolitan AS dengan migrasi mahasiswa untuk pendidikan tinggi. Hasilnya menunjukan bahwa migrasi mahasiswa berhubungan dengan kabupaten nonmetropolitan AS, dimana siswa sering pindah ke daerah untuk kuliah dan kemudian tinggal di daerah tersebut, setelah pendidikan mereka selesai menyebabkan daerah tersebut tumbuh.

Hairul (2012) yang berjudul “Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Migrasi ke Provinsi DKI Jakarta Sebagai Bagian dari Investasi Sumber Daya Manusia (SDM)” menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi migrasi ke DKI Jakarta sebagai bagian dari investasi sumber daya manusia. Variabel yang dianalisis yaitu Upah Minimum Regional (UMR), PDRB tiap provinsi dan jumlah penduduk tiap provinsi. Metode yang digunakan adalah metode data panel. Hasilnya migran melakukan migrasi dari daerah asal ke daerah tujuan karena melihat tingkat Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Upah Minimum Regional (UMR) Jakarta yang relatif lebih besar dari daerah asal. Pengorbanan pendapatan yang migran tinggalkan di daerah asal untuk mendapatkan pendapatan baru di Jakarta merupakan salah satu bentuk investasi sumber daya manusia.

Widyaputri (2013) yang berjudul “Faktor-faktor yang Memengaruhi Migrasi Internal di Indonesia Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah” mengungkapkan perkembangan migrasi internal sebelum dan sesudah otonomi daerah. Metode yang digunakan adalah model ekonometrika dengan data panel karena terdiri dari data time series dan cross section. Variabel yang dianalisis yaitu PDRB per kapita riil, jumlah pengangguran terbuka, upah minimum regional (UMR) dan tingkat pendidikan.Hasil dari penelitian ini adalah perkembangan migrasi setelah adanya otonomi daerah di beberapa provinsi mengalami peningkatan, kondisi ini tidak jauh berbeda dengan saat sebelum otonomi daerah. Jumlah migrasi keluar dipengaruhi oleh faktor pendorong yaitu pendapatan per kapita daerah, upah minimum, dan ketersediaan lapangan pekerjaan.

Agisty (2013) yang berjudul “Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Migrasi Internasional dan Implikasinya Terhadap Pemberantasan Kemiskinan” menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi keputusan wanita untuk melakukan migrasi internasional dan menganalisis pemanfaatan dan pengaruh remitan terhadap pengurangan tingkat kemiskinan. Metode yang digunakan adalah

Logistic Regression Model. Variabel yang dianalisis yaitu umur, tingkat

pendidikan, jumlah tanggungan, luas pemilihan lahan pertanian, pendapatan, status pekerjaan, status pernikahan dan birokrasi. Hasilnya faktor-faktor yang memengaruhi keputusan wanita untuk melakukan migrasi internasional adalah umur, status pernikahan, tingkat pendidikan, pendapatan di daerah asal dan birokrasi. Remitan berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan keluarga namun potensi remitan mengeluarkan keluarga dari kemiskinan masih sangat kecil.

(32)

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu antara lain penelitian ini menganalisis migrasi masuk terhadap provinsi-provinsi yang berpendapatan rendah. Penelitian ini hanya melihat faktor-faktor yang memengaruhi migrasi masuk ke provinsi dengan pendapatan rendah. Penelitian ini meneruskan penelitian yang dilakukan oleh Widyaputri, dalam penelitiannya ditemukan bahwa migrasi tidak hanya ke provinsi-provinsi yang berpendapatan tinggi, provinsi yang berpendapatan rendah juga dijadikan migrasi yaitu Provinsi Lampung, Provinsi Jambi, Provinsi D.I. Yogyakarta, Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Sumatera Selatan.

Gambar

Gambar 1  Produk Domestik Regional Bruto per kapita atas dasar harga konstan  2000 menurut provinsi tahun 2008-2010
Gambar 2  Kurva model migrasi Harris-Todaro
Gambar 3  Kerangka pemikiranOTONOMI DAERAH  Daerah tujuan migrasi Daerah asal migrasi
Gambar 4  Grafik perkembangan pertumbuhan PDRB sektor unggulan di provinsi  tujuan migrasi tahun 1985-2010
+5

Referensi

Dokumen terkait

Persentase kegiatan Pemkab yang dapat difasilitasi dengan lancar bidang perekonomia n Jumlah kegiatan yang dapat di fasilitasi dengan baik dan lancar /-.. Jumlah total

Penelitian ini bertujuan mengkaji potensi pengembangan pariwisata kampung nelayan sebagai destinasi wisata baru di Kota Padang dengan pemberdayaan masyarakat.

9 Setiap orang yang telah menjadi anak Allah, tidak berbuat dosa lagi, sebab hidup baru yang diberikan Allah kepadanya, ada di dalam dia.. Ia tidak dapat terus berbuat dosa sebab

Pada item pertanyaan nomor 1 yaitu tenaga kesehatan memberikan informasi tentang pemanfaatan ruang menyusui sehingga dapat memepengaruhi sikap responden lebih besar

Pengaruh Sensitivitas Kekayaan Eksekutif terhadap Manajemen Laba dengan Corporate Governance sebagai Variabel Moderating pada Perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek

Alhamdulilah, puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta inayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

Dari rangkaian kegiatan promosi internasional tersebut, buyer dapat menginap di Hotel Best Western Premier Solo, dan para buyer yang.. sudah menginap di Hotel Best

Variabel harga ekspor mempunyai pengaruh yang negatif terhadap volume ekspor komoditi unggulan Indonesia di Afrika Selatan, maka diperlukan juga upaya yang lebih dalam