Annisa Syafina Dra. Retnaningsih, M.Si
Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
Jln. Margonda Raya No. 100, Depok – 16424, Jawa Barat [email protected]
Abstrak
Pada masa remaja awal, individu mengalami perubahan fisik, kognitif, emosional, dan sosial. Perubahan pada fisik membuat remaja menilai kepuasan diri terhadap tubuhnya dan perubahan sosial membuat remaja memperluas jaringan pertemanan secara langsung dan melalui media sosial. Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara social comparison melalui media sosial Instagram dengan body dissatisfaction pada remaja awal. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan skala Social Comparison dan skala Body Dissatisfaction. Sampel dalam penelitian ini adalah 132 remaja awal yang memiliki akun Instagram. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Teknik analisis data dilakukan dengan teknik korelasi product moment pearson dengan bantuan SPSS. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara social comparison melalui media sosial Instagram dengan body dissatisfaction pada remaja awal dengan nilai signifikan sebesar 0.000 (p ≤ 0.01) dan nilai pearson correlation sebesar 0.706 yang dapat diartikan bahwa semakin tinggi social comparison melalui media sosial yang dilakukan remaja awal maka semakin tinggi body dissatisfaction yang dirasakan remaja awal tersebut. Sebaliknya, semakin rendah social comparison melalui media sosial yang dilakukan remaja awal, maka semakin rendah pula body dissatisfaction yang dirasakan remaja awal tersebut. Kata kunci: Social Comparison, Body Dissatisfaction, Remaja Awal
Pendahuluan
Setiap manusia akan melewati beberapa tahap perkembangan, salah satunya adalah tahap masa remaja. Menurut Larson & Wilson (dalam Martorell, Papalia, & Feldman, 2014), masa remaja adalah suatu periode transisi dalam rentang kehidupan manusia yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang melibatkan perubahan fisik, kognitif, emosional, dan sosial, serta terjadinya penyesuaian dalam pengaturan sosial, budaya, dan ekonomi yang berbeda. Seseorang dapat dikatakan mulai memasuki masa remaja ketika ia mengalami pubertas.
Menurut Santrock (2019), pubertas atau puberty adalah suatu periode dimana kematangan fisik berlangsung cepat dengan melibatkan perubahan hormonal dan tubuh yang terutama berlangsung di masa remaja awal, yaitu pada usia sekitar 10-13 tahun. Pada fase pubertas terjadi perubahan fisik sehingga pada akhirnya seorang anak akan memiliki kemampuan bereproduksi. Berkaitan dengan perubahan fisik yang terjadi pada remaja, Mueller (dalam Santrock, 2012) mengatakan bahwa sebuah aspek psikologis pasti terjadi. Remaja akan mulai memerhatikan tubuhnya dan mengembangkan citra mengenai tubuhnya.
Preokupasi terhadap citra tubuh sangat kuat di antara para remaja, namun secara khusus sangat terlihat pada masa remaja awal dibandingkan dengan masa remaja akhir. Menurut Cash dan Pruzinsky (dalam Grogan, 2017), body image atau citra tubuh merupakan perasaan dan sikap seseorang terhadap tubuhnya berupa penilaian positif ataupun negatif. Penilaian negatif ini dapat menimbulkan ketidakpuasan terhadap tubuh atau body dissatisfaction.
2
Grogan (2017) menjelaskan, body dissatisfaction dapat memberikan dampak yang kurang baik, seperti memunculkan perilaku diet yang berlebihan, menyebabkan depresi, rendahnya harga diri, serta dapat menyebabkan gangguan makan seperti anoreksia dan bulimia.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Tantiani dan Syafiq (2008), membuktikan bahwa 37,3% remaja di Jakarta mengalami eating disorder (EDs) dengan spesifikasi 11,6% remaja menderita anorexia nervosa dan 27% menderita bulimia nervosa. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Syafarina dan Probosari (2014) pada kelompok model remaja puteri di Semarang
menemukan 67,8% memiliki
kecenderungan EDs dengan spesifikasi kecenderungan 8,5% pada anoreksia nervosa, 23,7% pada bulimia nervosa, 3,1% pada binge eating disorder, dan 28,8% pada EDNOS.
Ketidakpuasan pada tubuh yang berlebihan juga dapat berkembang menjadi suatu gangguan yang disebut Body Dysmorphic Disorder (BDD), yaitu preokupasi mengenai kerusakan dalam penampilan fisik dan menyebabkan distress serta penurunan fungsi sosial (America.Psychiatric.Association, 2000). Sebanyak 1-1,5% dari populasi dunia memiliki kecenderungan BDD, dan akan lebih tinggi pada budaya yang sangat mementingkan penampilan (Rahmania dan Ika Yuniar C, 2012)
Meskipun begitu, tidak semua remaja mengalami body dissatisfaction. Menurut Ricciardelli & Yager (2016), ada beberapa faktor yang memengaruhi citra tubuh seorang menjadi positif dan negatif, yaitu faktor biologis yang meliputi pubertas dan BMI, faktor sosial budaya yang meliputi media, teman sebaya,
keluarga, dan social comparison, serta faktor individual yang meliputi self-esteem dan sifat perfeksionis. Selama masa pubertas, perubahan pada remaja juga terjadi pada aspek sosial. Ketika bersosial, remaja tidak hanya melakukannya secara langsung dengan bertatap muka, namun juga melalui internet dan media sosial.
Berdasarkan data Indonesian digital report dari Hootsuite yang ditulis oleh Kemp (2020) , lima sosial media yang paling sering digunakan oleh orang Indonesia di tahun 2020 adalah Youtube, Whatsapp, Facebook, Instagram, dan Twitter. Namun, dibandingkan dengan empat yang lain, Instagram merupakan media sosial yang fokusnya adalah pada unggahan foto dan video penggunanya sebagai media untuk saling berinteraksi dengan jaringan pertemanan yang mereka miliki.
Menurut Enterprise (2012), Instagram sebagai aplikasi yang berfungsi untuk memotret dan mengolah foto agar terkesan antik (vintage) dan menyebarkannya ke komunitas. Berdasarkan data statistik yang dirilis oleh Napoleon.cat (2020), terdapat 77.190.000 pengguna Instagram di Indonesia, 12,6 % adalah pengguna yang berusia di antara 13-17 tahun. Miguel (2015) menyebutkan, melalui konten berupa gambar atau video yang berkaitan dengan kecantikan di dalam media sosial, seseorang bisa membandingkan dirinya dengan apa yang dilihat serta mempertanyakan citra tubuh yang sesuai bagi dirinya. Seorang remaja yang fokusnya sedang tertuju pada citra tubuh serta sedang di masa lebih banyak menghabiskan waktu pada media, ini tidak menutup kemungkinan bahwa remaja bisa melakukan perbandingan sosial atau social comparison ketika sedang menggunakan media sosial Instagram.
Menurut Festinger (dalam Ricciardelli & Yager, 2016), social comparison merupakan proses subyektif seseorang membandingkan kemampuan dan penampilan dirinya dengan orang lain yang berada di lingkungannya. Festinger (dalam Guimond, 2006) menambahkan, seseorang biasanya melakukan social comparison dengan motif evaluasi diri, perbaikan diri, dan peningkatan diri. Namun, social comparison dengan frekuensi yang tinggi memiliki dampak negatif bagi individu, yakni perasaan tidak bahagia, sedih, selalu merasa lebih buruk daripada orang lain dan tidak puas terhadap diri sendiri (White, Langer, Yariv dan Welch, 2006). Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian Diedrichs, Fardouly, Halliwell, & Vartanian (2015) yang menujukan bahwa individu membandingkan penampilan mereka dengan orang lain melalui konten di media sosial dan mereka kerap menilai diri mereka lebih buruk.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Amalia (2018), yaitu Hubungan Social Comparison dan Body Dissatisfaction Pada Mahasiswi Universitas X di Yogyakarta dengan hasil yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara social comparison dan body dissatisfaction. Ini karena ketidakpuasan pada tubuh atau body dissatisfaction lebih mungkin terjadi pada seseorang yang lebih sering melakukan perbandingan sosial atau social comparison kepada orang lain. Hasil penelitian ini menunjukkan semakin tinggi tingkat social comparison maka tingkat body dissatisfaction juga tinggi, sedangkan jika tingkat social comparison rendah maka tingkat body dissatisfaction juga rendah.
Berdasakan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti apakah ada
hubungan social comparison melalui media sosial Instagram dengan body dissatisfaction pada remaja awal.
Body Dissatisfaction
Menurut Cash dan Pruzinsky (2002), body dissatisfaction adalah sikap serta penilaian negatif individu mengenai kondisi tubuh yang dimiliki, dimana individu merasa tubuhnya tidak ideal dan perlu ditutupi. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Ogden (2010) yang menyatakan bahwa body dissatisfaction merupakan perasaan tidak puas terhadap bentuk dan ukuran tubuh akibat dari adanya kesenjangan antara persepsi individu terhadap ukuran tubuh yang ideal dengan ukuran tubuh yang sebenarnya.
Menurut Thompson (2009) body dissatisfaction secara umum digunakan untuk merujuk pada ketidakbahagian subjektif dengan penampilan tubuh yang dimiliki. Pengertian yang sama juga diungkapkan oleh Grogan (2017) yang menjelaskan bahwa ketidakpuasan tubuh atau body dissatisfaction adalah pandangan dan perasaan negatif seseorang terhadap tubuhnya.
Berdasarkan beberapa definisidi
atas, dapat disimpulkan body dissatisfaction adalah penilaian dan perasaan negatif individu terhadap tubuhnya
Aspek-aspek Body Dissatisfaction
Brown, Cash, & Mikulka (dalam Cash & Smolak, 2011) menyebutkan ada beberapa aspek body dissatisfaction, yaitu sebagai berikut:
a. Evaluasi penampilan (appearance evaluation)
Kemampuan individu dalam mengukur kepuasan-ketidakpuasan relatif dengan penampilan keseluruhan serta menilai
4
perasaan dan evaluasi penampilan dirinya.
b. Orientasi penampilan (appearance orientation)
Bagaimana individu menilai seberapa penting penampilannya terhadap orang lain, perhatiannya terhadap penampilan, dan usaha untuk memperbaiki serta meningkatkan penampilannya. Orientasi penampilan juga disebut sebagai investasi perilaku-kognitif individu dalam penampilan. Usaha
c. Kecemasan akan kegemukan (overweight preoccupation)
Kecemasan dan kekhawatiran individu terhadap kegemukan atau menjadi gemuk. Hal ini membuat individu waspada akan berat badan, kecenderungan melakukan diet untuk menurunkan berat badan dan membatasi pola makannya (Cash 2011).
d. Klasifikasi berat tubuh (self classified weight)
Menggambarkan bagaimana individu mempersepsi dan menilai berat badannya dengan rentang penilaian berat badan yang sangat kurus sampai dengan yang sangat gemuk (Cash 2011).
e. Kepuasan terhadap bagian tubuh (body areas satisfaction)
Penlianan individu mengenai kepuasan terhadap berat badan dan terhadap aspek-aspek tertentu atau area spesifik dari tubuhnya.
Social Comparison
Menurut Wood (dalam Higgins, Kruglanski, & Lange, 2012), social comparison merujuk pada pencarian dan pemanfaatan informasi tentang kedudukan
dan pendapat seseorang untuk tujuan penilaian diri sendiri.
Menurut Burke & Stets (dalam Gibbons & Krizan, 2014), social comparison adalah kondisi ketika individu mengadopsi standar kelompok dengan membandingkan pendapat dan kemampuan mereka sendiri dengan standar yang ada dalam kelompok dan mengubah pandangan mereka sehingga mereka sesuai dengan norma-norma dalam kelompok tersebut.
Menurut Festinger (dalam Ricciardelli & Yager, 2016), social comparison merupakan proses subyektif seseorang membandingkan kemampuan dan penampilan dirinya dengan orang lain.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan social comparison
merupakan proses individu
membandingkan standar kemampuan dan penampilannya dengan orang lain.
Aspek-aspek Social Comparison
Schaefer & Thompson (dalam Ricciardelli & Yager, 2016) menyebutkan lima aspek fisik yang menjadi objek perbandingan seseorang saat melakukan social comparison, yakni:
a. Penampilan fisik (physical appearance)
Individu membandingkan penampilan fisiknya terhadap penampilan individu lain.
b. Berat tubuh (weight)
Individu membandingkan berat tubuhnya dengan berat tubuh individu lain.
c. Bentuk tubuh (body shape)
Individu membandingkan bentuk tubuhnya dengan bentuk tubuh individu lain. Seorang perempuan cenderung membandingkan tubuhnya dengan tubuh langsing yang dimiliki
perempuan lainnya. d. Ukuran tubuh (body size)
Individu membandingkan ukuran dari bagian-bagian tubuh yang dimiliki dengan bagian tubuh yang dimiliki individu lain. Perempuan cenderung membandingkan ukuran lingkar pinggang, lingkar dada.
e. Lemak tubuh (body fat)
Individu membandingkan bagian-bagian tubuh yang cenderung memiliki lemak berlebih dengan bagian-bagian tubuh individu lain. Perempuan cenderung membandingkan lemak pada bagian pipi dan perut.
METODE PENELITIAN Partisipan Penelitian
Partisipan penelitian ini adalah 132 remaja awal laki-laki dan perempuan berusia di antara 12-15 tahun yang memiliki akun media sosial Instagram. Tehnik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab (Sugiyono, 2016). Isi dari kuisioner penelitian ini meliputi data diri responden, skala body dissatisfaction, dan skala social comparison.
Body dissatisfaction dalam penelitian ini diukur menggunakan Skala Body Dissatisfaction yang disusun
berdasarkan lima aspek body dissatisfaction yang dikemukakan Brown, Cash, & Mikulka (dalam Cash & Smolak, 2011) yaitu, evaluasi penampilan (appearance evaluation), orientasi penampilan (appearance orientation),
kecemasan akan kegemukan (overweight preoccupation), klasifikasi berat tubuh (self classified weight), dan kepuasan terhadap bagian tubuh (body areas satisfaction).
Social comparison dalam penelitian ini diukur menggunakan Skala Social Comparison yang disusun berdasarkan lima aspek social comparison oleh Schaefer & Thompson (dalam Ricciardelli & Yager, 2016) yaitu penampilan fisik (physical appearance), berat tubuh (weight), bentuk tubuh (body shape), ukuran tubuh (body size), dan, lemak tubuh (body fat).
Validitas dan Realibilitas Alat Ukur Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi. Menurut Azwar (2015), validitas isi didefinisikan sebagai validasi yang dilakukan melalui pengajuan terhadap kelayakan atau relevansi isi tes kepada yang berkompeten atau expert judgement. Pertanyaan yang dicari jawabannya dalam validitas ini adalah sejauh mana aitem-aitem dalam tes mampu mencerminkan atribut yang diukur (Azwar, 2015).
Pengujian daya diskriminasi aitem menggunakan analisis corrected item total correlation, sedangkan pengujian realibilitas dengan menggunakan analisis Alpha Cronbach. Pengujian daya diskriminasi aitem dan Alpha Cronbach dilakukan dengan menggunakan bantuan program SPSS Version 21 for Windows Tehnik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis korelasi bivariat product moment dari Pearson, yaitu untuk menguji hubungan antara social comparison melalui media sosial Instagram dengan
6
body dissatisfaction pada remaja awal. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakanan program Statictical Package for Social Science (SPSS) version 21 for Windows
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilaksanakan menggunakan metode tryout terpakai, yaitu data yang diperoleh dalam tryout selain digunakan untuk pengujian validitas dan reliabilitas alat ukur, juga digunakan untuk pengujian hipotesis penelitian.
Penyebaran kuisioner dilaksanakan pada tanggal 19 November 2020 hingga 23 November 2020 dengan menggunakan google form. Tautan kuisioner penelitian dikirimkan dan disebarkan melalui aplikasi LINE, Whatsapp, Twitter dan Instagram.. Selama lima hari melakukan pengambilan data, peneliti berhasil mendapatkan 132 responden. Dari responden yang didapat, seluruhnya memenuhi kriteria untuk dianalisis.
Berdasarkan uji daya diskriminasi yang sudah dilakukan,pada skala body dissatisfaction, diketahui dari 40 aitem terdapat sembilan aitem yang gugur dan 31 aitem yang berdaya diskriminasi baik. Koefisien korelasi skor aitem yang berdaya diskriminasi baik berada dalam rentang 0,301 sampai dengan 0.760. (p>0.3000). Skala body dissatisfaction terdiri dari 12 aitem favorable dan 19 aitem unfavorable.
Uji daya diskriminasi yang sudah dilakukan pada skala social comparison, diketahui dari 30 aitem terdapat delapan aitem yang gugur dan 22 aitem yang berdaya diskriminasi baik. Koefisien korelasi skor aitem yang berdaya diskriminasi baik berada dalam rentang dari 0,302 sampai dengan 0.693. (p>0.3000). Skala body dissatisfaction
terdiri dari 20 aitem favorable dan dua aitem unfavorable.
Hasil uji reliabilitas pada skala body dissatisfaction, diperoleh angka 0.933 (p ≥ 0.700). Hal ini menunjukkan bahwa skala body dissatisfaction termasuk reliabel. Sedangkan pada skala social comparison, diperoleh angka 0.916 (p ≥ 0.700). Hal tersebut menunjukkan bahwa skala social comparison termasuk reliabel.
Reliabilitas skala body dissatisfaction dan skala social comparison Variabel Reliabilitas N of Items Body 0.933 31 Dissatisfaction Social 0.916 22 Comparison
Berdasarkan perhitungan mean empirik dan mean hipotetik, pada skala body dissatisfaction diperoleh mean empirik sebesar 67,19 dan berada pada kategori sedang. Sedangkan pada skala social comparison diperoleh mean empirik sebesar 50.72 dan berada pada kategori sedang.
Tabel Uji Hipotesis
Variabel N R Sig. Body Dissatisfaction 132 0.706 0.000 Social Comparison
Berdasarkan analisis data yang dilakukan dengan menggunakan teknik product moment correlation, diketahui bahwa koefisien korelasi (r) antara social comparison melalui media sosial Instagram dengan body dissatisfaction
adalah sebesar 0.706 dengan signifikansi sebesar 0.000 (p ≤ 0.01). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara social
comparison melalui media sosial Instagram dengan body dissatisfaction pada remaja awal.
Dari hasil penelitian diketahui body dissatisfaction yang dimiliki responden tergolong sedang. Menurut Munthe & Rahmadiyanti (2020), responden yang memiliki body dissatisfaction kategori sedang bisa dikatakan bahwa ia tidak terlalu puas dengan tubuhnya. Ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi body dissatisfaction, yaitu budaya, media sosial, usia, kelas sosial, hubungan interpersonal, dan kepribadian (Grogan, 2017). Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Jones (2004) yang mengatakan bahwa body
dissatisfaction merupakan salah satu
permasalahan utama yang sering dialami remaja. Selanjutnya, social
comparison melalui media sosial Instagram pada responden termasuk pada kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian responden cenderung membandingkan atribut fisik yang dimiliki dengan atribut fisik yang dimiliki oleh orang lain (Munthe & Rahmadiyanti, 2020). Social comparison yang dilakukan bisa berupa upward maupun downward comparison. Selain itu, menurut Festinger (dalam Guimond, 2006), ada beberapa motif mengapa seseorang melakukan social comparison, yaitu evaluasi diri. perbaikan diri, dan peningkatan diri. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jones (2004) yang menyatakan bahwa remaja cenderung melakukan social comparison mengenai penampilan tubuh dan perubahan pada tubuhnya terutama pada teman sebaya.
Berdasarkan faktor jenis kelamin, ditemukan bahwa body dissatisfaction pada responden laki-laki dan perempuan berada pada kategori yang sama yaitu sedang. Artinya, tidak ada perbedaan dalam tingkatan body dissatisfaction jika dilihat berdasarkan jenis kelamin. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh McCabe, Ricciardelli, & Tatangelo (2015) yaitu masalah yang berkaitan dengan body image dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan, mereka sama-sama bisa mengalami body dissatisfaction akibat perubahan pada masa pubertas. Selanjutnya, pada social
comparison melalui media sosial Instagram, ditemukan bahwa social comparison pada responden laki-laki dan perempuan berada pada kategori yang sama, yaitu sedang. Artinya, tidak ada perbedaan dalam tingkatan social
comparison melalui media sosial Instagram jika dilihat berdasarkan jenis kelamin. Penelitian yang dilakukan oleh Puric et all. (2011) menunjukkan bahwa remaja laki-laki dan perempuan sama-sama melakukan social comparison, dan mereka cenderung melakukan upward comparison.
Berdasarkan usia, body dissatisfaction responden berusia 12 tahun lebih rendah dibanding dengan responden dalam rentang usia 13-15 tahun. Artinya, ada perbedaan dalam tingkatan body dissatisfaction jika dilihat berdasarkan usia. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Quittkat et all. (2019) yang menunjukkan bahwa semakin bertambah usia, seseorang cenderung lebih berusaha untuk mementingkan penampilannya, dan hal ini dapat memengaruhi body dissatisfaction yang semakin tinggi seiring bertambahnya usia. Selanjutnya, social comparison melalui media sosial
8
Instagram, ditemukan bahwa social
comparison pada responden berusia 12 sampai dengan 15 tahun berada pada kategori yang sama yaitu sedang. Artinya, tidak ada perbedaan dalam tingkatan social comparison melalui media sosial Instagram jika dilihat berdasarkan usia. Penilitian yang dilakukan oleh Ingledew, Iphofen, & Krayer (2007) menunjukkan bahwa dibanding tahapan perkembangan yang lain, seorang remaja lebih sering melakukan social comparison karena merupakan salah satu proses sosial yang diperlukan dan remaja melakukannya untuk mengembangkan identitasnya.
Berdasarkan frekuensi menggunakan Instagram, body dissatisfaction responden yang menggunakan Instagram 1 sampai dengan 6< kali per hari berada pada kategori yang sama yaitu sedang. Artinya, tidak ada perbedaan dalam tingkatan body dissatisfaction jika dilihat berdasarkan frekuensi, menggunakan Instagram. Hasil penelitian ini senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cohen & Blaszczynski (2015) yang menyatakan bahwa tingkat penggunaan media sosial Instagram yang rendah bahkan tinggi, turut berperan dalam munculnya ketidakpuasan tubuh pada remaja. Kemudian, pada social comparison melalui media sosial Instagram, social comparison pada responden yang menggunakan Instagram 1 sampai dengan 6< kali per hari berada pada kategori yang sama yaitu sedang. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jiang & Ngien (2020) yang mengatakan bahwa seseorang yang menggunakan media sosial Instagram akan melakukan social comparison terlepas seseorang itu sering atau jarang menggunakannya. Hanya dengan menggunakan Instagram individu
bisa mendapatkan informasi berupa situasi, kondisi, kemampuan, serta penampilan orang lain. Hal ini membuat individu secara langsung atau tidak langsung melakukan social comparison.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara social comparison melalui media sosial Instagram dengan body dissatisfaction pada remaja awal. Hal ini berarti semakin tinggi social comparison melalui media sosial pada remaja awal, maka semakin tinggi pula body dissatisfaction pada remaja awal tersebut. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah social comparison melalui media sosial pada remaja awal, maka semakin rendah pula body dissatisfaction pada remaja awal tersebut.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat diajukan saran-saran sebagai berikut: 1. Bagi responden penelitian Berdasarkan
penelitian ini dapat diketahui responden remaja awal memiliki tingkat social comparison melalui media sosial Instagram dan tingkat body dissatisfaction yang sedang. Sehingga dapat disarankan bagi remaja awal untuk menggunakan media sosial secara positif seperti sebagai sarana komunikasi, bisnis, informasi, dan hiburan sehingga dapat
menghindari melakukan social comparison dan mengalami body dissatisfaction.
2. Bagi penelitian selanjutnya
Saran yang dapat diberikan bagi penelitian selanjutnya adalah untuk
meneliti social comparison dan body dissatisfaction pada subjek lain, seperti dewasa awal.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, R.R. (2018). Social comparison dan body dissatisfaction pada mahasiswi universitas X di yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
Azwar, S. (2015). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Cash, T. F., & Pruzinsky, T. (2002). Body image. a handbook of theory, research, and clinical practice. New York: The Guilford Press Cash, T. F., & Smolak, L. (2011). Body
Image: A handbook of science, practice, and prevention, second edition. New York: The Guilford Press.
Cohen, R. & Blaszczynski, A. (2015). Comparative effects of facebook and conventional media on body image dissatisfaction. Journal of Eating Disorder. 3(1) 23
Diedrichs, P.C., Fardouly, J., Halliwell, E., & Vartanian, L.R. (2015). Social comparisons on social media: The impact of Facebook on young women's body image concerns and mood. International journal of body image research. (13), 38–45. Enterprise, J. (2012). Instagram untuk
fotografi digital dan bisnis kreatif. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo
Gibbons, F.X. & Krizan, Z.(2014). Communal functions of social
comparison. New York:
Cambridge University Press
Grogan, S. (2017). Body image: understanding body dissatisfaction in men, women, and children, third edition. New York: Routledge
Guimond, S. (2006). Social comparison
and social psychology:
understanding cognition, intergroup relations and culture. New York: Cambridge University Press
Higgins, E.T., Kruglanski, A.W., & Lange, P.A.M.V. (2012). Handbook of theories of social psychology: Volume One. London: SAGE Publications
Ingledew, D.K., Iphofen, R., & Krayer, A. (2007). Social comparison and body image in adolescence: a ground theory approach. Health Education Research. 23(5), 892-903
Jiang, S. & Ngien, A. (2020) The effects of instagram use, social comparison, and self-esteem on social anxiety: a survey study in singapore. Journal of Social Media and Society. 1-10
Jones, D.C. (2004). Body image among adolescent girls and boys: A Longitudinal Study. Journal of Developmental Psychology. 40(5),823-835
Kemp, S. (2020). Digital 2020: Indonesia pada https:// datareportal.com / reports/ digital-2020- indonesia. Diakses pada 6 September 2020
dari :
https://datareportal.com/reports/dig ital-2020-indonesia
Martorell, G., Papalia, D.E., & Feldman, R.D. (2014). A Child’s world, infancy through adolescence. New York : McGraw-Hill Education Munthe, R. A. & Rahmadiyanti, A. (2020).
Social comparison dengan ketidakpuasan bentuk tubuh pada remaja perempuan. Riau: UIN Sultan Syarif Kasim Riau
Ogden, J. (2010). The psychology of eating: From healthy to disordered
behavior. Oxford: Blackwell.
10
Quittkat, H.L. et all. (2019). Body dissatisfaction, importance of appearance, and body appreciation in men and women over the lifespan. Journal of Psychiatry. 10:864
Rahmania P. N., & Ika Yunia C. (2012). Hubungan antara self-esteem dengan kecenderungan body dysmorphic disorder pada remaja putri . Surabaya: Fakiltas Psikologi Universitas Airlangga.
Ricciardelli, L.A., & Yager, Z. (2016). Adolescence and body image: from development to preventing dissatisfaction. New York: Routledge
Santrock. J.W. (2019). Life-Span development, seventeenth edition. New York : McGraw-Hill Education
Santrock, J.W. (2012). Life-Span development, Perkembangan Masa-Hidup. Jakarta: Erlangga Sugiyono. (2016). Metode penelitian
kuantitatif, kualitatif. Bandung: Alfabeta
Syafarina, A. & Probosari, D. (2014). Hubungan eating disorder dengan status gizi pada remaja puteri di modeling agency semarang. Journal of Nutrition College. 3(2) 48-53
Tantiani, T. & Syafiq, A. (2008). Perilaku makan menyimpang pada remaja di jakarta, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2(6) 255-262
Tatangelo, G.L., & Ricciardelli, L.A. (2015). Children’s body image and social comparisons with peers and the media. Journal of Health Psychology. 22(6) 776–787.
Thompson, J.K. (2009) Body image, eating disorders, and obesity in youth: assessment, prevention, and treatment, second edition. Washington DC: American
White, J.B., Langer, E.J., Yariv, L., dan Welch, J.C. (2006). Frequent social comparisons and destructive emotions and behaviors: the dark side of social comparisons. Journal of Adult Development, 13(1), 36- 44.