• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING."

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

ii

SKRIPSI

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM

TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING

IDA AYU ARY WIDIATMIKA NIM. 1103005040

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(2)

iii

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA

ILLEGAL LOGGING

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

IDA AYU ARY WIDIATMIKA NIM. 1103005040

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

iv

Lembar Persetujuan Pembimbing

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 11 JANUARI 2016

Pembimbing I

(Dr. Gde Made Swardhana, S.H., M.H.) NIP. 19590325 198403 1 002

Pembimbing II

(4)

v

SKRIPSI INI TELAH DIUJI

PADA TANGGAL 29 JANUARI 2016

Panitia Penguji Skripsi

Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Nomor : 21/UN14.1.11/PP.05.03/2016 Tanggal 18 Januari2016

Ketua : Dr. Gde Made Swardhana, S.H.. M.H. (………) NIP. 19590325 198403 1 002

Sekertaris : Dr. Ida Bagus Surva Dharma Java, S.H., M.H. (………) NIP. 19620605 198803 1 020

Anggota : 1.Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, S.H.. M.S. (………) NIP. 19530914 197903 1 002

2.A.A. Ngurah Yusa Darmadu S.H.. M.H (………) NIP. 195711251986021001

(5)

vi

KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,

Puji syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena atas rahmat-Nya penulisan skripsi yang berjudul “PERTANGGUNGJAWABAN

KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGINGdapat

terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak sedikit hambatan yang dialami dan tidak akan berhasil dengan baik tanpa adanya dukungan dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr.I Gusti Ngurah Wairocana,S.H., M.H., Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak I Ketut Sudiarta, S..H., M.H., Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, S.H., M.H., Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak I Wayan Suardana, S.H., M.H., Pembantu III Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

(6)

vii

6. Ibu A.A. Sri Utari, S.H., M.H. Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan dan menuntun semenjak awal penulis menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

7. Bapak Dr. Gde Made Swardhana, S.H., M.H. Dosen Pembimbing I yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 8. Seluruh Dosen Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Udayana yang

telah banyak memberikan ilmu serta wawasan yang lebih kepada penulis.

9. Seluruh Staf Laboratorium Hukum, Perpustakaan dan Tata Usaha FakultasHukumUniversitasUdayanayangtelahmemberikan bantuan selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

10.Kedua orang tua penulis, Ir. Ida Bagus Nyoman Oka dan Ida Ayu Sukemi, kakak penulis Ida Ayu Sasmika Putri, serta adik penulis Ida Bagus Adi Dharmika, yangtelah memberikan doa dan dukungan kepada penulis.

(7)

viii

Untuk dapat melengkapi dan menyempurnakan skripsi ini, maka penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari semua pihak. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.

Denpasar, 6 Januari 2016

(8)

ix

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Karya Ilmiah/ Penulisan Hukum/ Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pemah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis dituju dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila Karya Ilmiah/ Penulisan Hukum/ Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.

Demikian surat pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah tanpa paksaan maupun tekanan dari pihak manapun.

Denpasar, 6 Januari 2016 Yang Menyatakan,

(9)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL LUAR ... i

HALAMAN SAMPUL DALAM ... ii

PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

PENGESAHAN PANITIA PENGUJI ... v

KATA PENGANTAR ... vi

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... ix

DAFTAR ISI ... x

ABSTRACT ... xiv

ABSTRAK ... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 11

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 11

1.4 Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum ... 12

b. Tujuan Khusus ... 12

1.5 Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis ... 12

(10)

xi

1.6 Landasan Teoritis ... 13

1.7 Metode Penelitian a. Jenis Penelitian ... 23

b. Jenis Pendekatan ... 24

c. Bahan Hukum ... 25

d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 26

e. Teknik Analisis ... 26

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABANPIDANA KORPORASI DAN ILLEGAL LOGGING 2.1 Pengertian Pertanggungjawaban ... 27

2.1.1Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ... 29

2.1.2 Sejarah Pertanggungjawaban Pidana Korporasi ... 34

2.1.3 Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Korporasi ... 39

2.2 Pengertian Illegal Logging ... 43

2.2.1Pengertian Lingkungan Hidup dan Hutan ... 48

2.2.2 Hubungan Hukum Pidana dengan Illegal Logging... 56

(11)

xii

3.2 PertanggungjawabanKorporasidalamTindakPidanaIllegal

Logging ... 62 3.2.1 Pengaturan Tindak Pidana Illegal Logging dalamHukum

Positif di Indonesia... 62 3.2.2 Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana

Illegal Logging ... 67 3.3 Bentuk Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Illegal Logging Ditinjau

Dari Hukum Positif di Indonesia ... 70

BAB IV PENGATURAN TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING

YANG DILAKUKAN OLEH KORPORASI DI MASA YANG

AKAN DATANG

4.1 Urgensi Pengaturan Korporasi Sebagai Subjek Hukum dalam TindakPidana Illegal Logging ... 80 4.1.1

PerbandinganInstrumenHukumInternasionaldenganHukum NasionalTerkaitTinda 4.2 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam

Mengatur KorporasiSebagaiSubjek Hukum dalam Tindak Pidana IllegalLogging di Masa yang Akan Datang ... 91 4.2.1 Penerapan Sanksi Pidana Illegal Logging di Masa Yang

(12)

xiii

BAB V PENUTUP

(13)

xiv

ABSTRACT

Illegal logging is a crime against the forests that adverse the country, not only economically but also socially and environmentally. But in Indonesia there's no regulation on criminal act of illegal logging so that the criminal is very difficult to prove and often in the cas the solution is not on the right target. Usually, the ones who get punished for the crime are not the intellectual actors but the regular actors such as a longer, a drive, or a ship captain who runs a vehicle. Where as in practice, the real actors behind the crime is a corporate law or a legal entity. The corporation's invelopment as a subject of a criminal law in a crime of illegal logging is very difficult to prove since Criminal Code does not list a corporation as a legal subject, so this scientific writing used a normative legal research. This study started because there is a discrepancy of legal norms, specifically there is a vague or unclear norms. Until now, the law is used as a legal basis for the crime of illegal logging has not been able to give a legal certainty to impose a criminal sanctions on corporation as the illegal logger, in fact there is many specific definition for illegal logging it self. Yet this definition is very important to provide restrictions to measure wich actions is include as a illegal logging. There are two legal approaches used on this scientific writings, they are the statute approach and legal concepts analysis approach. The regulation that used on this scientific writings is Regulation Number 41 of 1999 concerning Forestry. A side from Regulation concerning Forestry, corporate crime in illegal logging can be connected to the regulation beside the Criminal Code, including Regulation Number 23 of 1997 concerning Environmental Management, Regulation Number 51 of 1990 concerning Conservation of Natural Resources and Ecosystem, and Government Regulation Number 28 of 1985 concerning Protection of Forests. From all those regulations used as a reference for the crime of illegal logging , none of them is able to give and legal certainly for corporate's responsibility in the crime of illegal logging, so the government makes an effort to make a Draft of Criminal Code to include corporations as a subject of law. There are four kinds of corporate's responsibility such as : the corporate board as a manager and founder who held responsible; the corporation as a founder and a manager who held responsible; the corporation as a founder who also held responsible; and the board and the corporation as a criminal and both is responsible for the crime.

(14)

15

ABSTRAK

Pembalakan liar atau penebangan liar (illegal logging) adalah tindak kejahatan terhadap hutan yang merugikan negara, tidak hanya secara ekonomi tetapi juga secara sosial dan lingkungan. Namun di Indonesia belum ada pengaturan mengenai tindak pidana illegal logging sehingga pelakunya masih sangat sulit untuk dibuktikan dan acapkali pada kasus yang terjadi penyelesaiannya tidak tepat sasaran. Biasanya yang diberikan sanksi pidana bukanlah actor intelektualnya melainkan hanya pelaku biasa seperti penebang kayu, pengemudi, atau nahkoda kapal yang menjalankan kendaraan. Padahal dalam praktiknya, yang menjadi aktor adalah sebuah korporasi/badan hukum. Keterlibatan korporasi sebagai subjek hukum pidana dalam tindak pidana illegal logging sangat sulit dibuktikan mengingat bahwa KUHP Indonesia tidak mencantumkan korporasi sebagai subjek hukum, sehingga dalam penulisan karya ilmiah ini digunakan penelitian hukum normatif. Penelitian ini dimulai dengan adanya kesenjangan norma hukum, yakni terdapat norma yang kabur atau tidak jelas. Sampai saat ini Undang-Undang yang digunakan sebagai dasar hukum dalam tindak pidana illegal logging belum mampu memberikan kepastian hukum atas sanksi pidana yang dijatuhkan pada korporasi sebagai pelaku illegal logging bahkan belum ada definsi khusus mengenai illegal logging itu sendiri. Padahal pengertian ini sangat penting untuk memberikan batasan terhadap tindakan-tindakan apa yang termasuk dalam lingkup illegal logging. Jenis pendekatan yang digunakan dalam karya ilmiah ini adalah pendekatan Perundang-Undangan dan Pendekatan Analisis Konsep Hukum. Undang-Undang yang digunakan dalam mengkaji penulisan karya ilmiah ini yakni mengacu pada Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Selain mengacu pada Undang-Undang Kehutanan, kejahatan korporasi dalam tindak pidana illegal logging juga bisa dikaitkan dalam perundang-undangan diluar KUHP, diantaranya adalah Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1985 Tentang Perlindungan Hutan. Dari sekian perundang-undangan yang digunakan sebagai acuan tekait illegal logging, tidak satupun yang bisa memberikan kepastian hukum terhadap pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana illegal logging, sehingga pemerintah melakukan upaya dalam Rancangan Undang-Undang KUHP untuk mencantumkan korporasi sebagai subjek hukum. Ada 4 model pertanggungjawaban korporasi, yaitu : pengurus korporasi sebagai pengurus dan pembuatlah yang bertanggungjawab; korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab; korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab; dan pengurus dan korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula yang harus bertanggungjawab.

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Hutan sebagai paru-paru dunia merupakan salah satu sumber daya alam ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa yang memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan alam di belahan dunia. Terdapat berbagai jenis makhluk hidup berupa hewan besar maupun kecil bahkan sampai yang tidak terlihat oleh mata. Selain itu tumbuh beribu pepohonan yang tumbuh menjadi satu kesatuan. Hutan di Indonesia mempunyai peranan penting baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya maupun ekologi, namun tidak dapat dipungkiri bahwa semakin berkembangnya penduduk dan pertumbuhan nasional, tekanan terhadap sumber daya hutan semakin meningkat. Guna mempertahankan produktivitasnya, untuk itu sumber daya ini perlu dijaga kelestariannya.

Sebagai negara yang memiliki hutan tropis dataran rendah terluas ketiga di dunia setelah Zaire dan Brazil, sumber daya hutan di Indonesia memiliki kandungan potensi yang sangat besar untuk dikembangkan sebagai sumber pendanaan pembangunan bagi negara. Keberadaan hutan harus dijaga dan dilindungi agar ekosistem dalam hutan tetap tumbuh dan berkembang demi pembangunan negara di masa depan. Salah satu komponen perencanaan kehutanan yang memegang peranan penting dalam mencegah terjadinya kerusakan hutan adalah kegiatan inventarisasi hutan. Menurut Abubakar M. Lahjie, inventarisasi adalah kegiatan kehutanan dengan membentuk dasar untukmanajemen hutan lestari.1 Berdasarkan sudut pandang kehutanan, adanya kegiatan tersebut akan memudahkan untuk mengetahui mengenai potensi kandungan yang terdapat dalam hutan baik berupa kayu maupun nonkayu.

1

(16)

Hutan memiliki 2 (dua) manfaat, yaitu manfaat langsung dan manfaat tidak langsung. Manfaat langsung adalah manfaat yang dapat dirasakan atau dinikmati secara langsung oleh masyarakat antara lain kayu yang merupakan hasil utama dari hutan, serta berbagai hasil hutan ikutan atau yang lainnya seperti rotan, getah, buah-buahan, madu dan Iain-lain, sedangkan manfaat hutan secara tidak langsung adalah manfaat yang tidak dapat dinikmati oleh masyarakat secara langsung, akan tetapi yang dapat dirasakan adalah keberadaan hutan itu sendiri, seperti dapat mengatur tata air, mencegah erosi, memberikan rasa keindahan, memberikan manfaat terhadap kesehatan, memberikan manfaat di sektor pariwisata, serta dalam bidang pertahanan dan keamanan, dapat menampung tenaga kerja dan juga dapat menambah devisa negara.

(17)

Illegal logging adalah tindak kejahatan terhadap hutan yang merugikan negara, tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga secara sosial dan lingkungan. Potensi kerugian yang ditanggung negara akibat pembalakan liar mencapai Rp 83 miliar per hari atau Rp 30,3 triliun per tahun. Ironisnya, praktik illegal logging telah memusnahkan hampir tiga perempat hutan alam di Indonesia. Luas areal hutan Indonesia yang hilang dalam setahun setara dengan luas negara Swiss, yakni 41.400 kilometer persegi.2

Dilihat dari segi sosial, bahwa munculnya sikap kurang bertanggung jawab dikarenakan adanya perubahan nilai dimana masyarakat pada umumnya sulit untuk membedakan antara yang benar dan salah, serta antara baik dan buruk. Akibat tersebut disebabkan telah lamanya hukum tidak ditegakkan ataupun kalau ditegakkan, sering hanya menyentuh sasaran yang salah. Perubahan nilai ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk dikembalikan tanpa pengorbanan yang besar. Kerugian dari segi lingkungan yang paling utama adalah hilangnya sejumlah pohon tertentu sehingga tidak terjaminnya keberadaan hutan yang berakibat pada

rusaknya lingkungan, berubahnya iklim mikro, menurunnya produktivitas lahan, erosi dan banjir serta hilangnya keanekaragaman hayati.3 Kerusakan habitat dan terfragmentasinya hutan dapat menyebabkan kepunahan suatu spesies termasuk fauna langka. Kemampuan pohon pada saat masih hidup dalam menyerap karbondioksida sehingga dapat menghasilkan oksigen yang sangat bermanfaat bagi mahluk hidup lainnya menjadi hilang akibat makin minimnya pohon yang tersisa karena adanya penebangan liar.

Praktik illegal logging di Indonesia merupakan praktik yang sangat terorganisir, karena modusnya melibatkan cukong dan para petugas kehutanan baik ditingkat pusat maupun daerah

2

Statistik Kehutanan Indonesia, 2011, Kementrian Kehutanan, Jakarta., him. 28.

3

(18)

serta melibatkan aparat penegak hukum.4Hasil penelusuran kompas menggambarkan kebersamaan aparat, preman, cukong kayu di Kalimantan sepanjang tahun 2001-2005 selalu terlihat di kota besar Kuching, Samarinda, Banjarmasin, Tawau, hingga kawasan Hulu Sungai Mahakam.

Illegal logging membawa dampak negatif bagi kehidupan generasi yang akan mendatang

seperti hilangnya flora dan fauna, perubahan struktur alam, berkurangnya keanekaragaman hayati, dan habisnya sumber daya alam. Salah satu upaya untuk memberantas tindak kejahatan ini adalah melalui penegakan hukum. Namun pada praktiknya, hingga saat ini pemerintah belum membuat peraturan khusus mengenai tindak pidana illegal logging. Jadi aturan maupun ketentuan pidana yang digunakan masih bersumber dari Undang-Undang Kehutanan

begitupun aturan hukum lainnya yang terkait. Minimnya sanksi serta kepastian hukum terhadap tindak pidana ini, belum mampu menyelesaikan beberapa kasus illegal logging terutama yang disoroti adalah perbuatan yang dilakukan atas nama korporasi. Adanya hal tersebut menunjukkan bahwa penegakan hukum dalam kasus illegal logging hingga kini belum menyentuh seluruh aktor utama pembalakan liar, yaitu cukong dan pemilik modal.5

Permasalahan mendasar yang dihadapi penegak hukum dalam memberantas illegal logging disebabkan karena illegal logging termasuk dalam kategori kejahatan yang terorganisir, yaitu ada actor intelectualnya, ada pelaku materialnya. Pelaku material bisa buruh penebang kayu yang hanya diupah, pemilik modal (cukong), pembeli, penjual dan acapkali ada backing dari oknum TNI atau Polri, aparat pemerintah maupun tokoh masyarakat. Di antara mereka selalu bekerja sama secara rapi, teratur dan solid. Disinyalir ada yang membackingi, sehingga

4

Koran Kompas Tanggal 5 Maret 2006, him. 7.

5

(19)

praktek illegal logging sangat sulit diberantas, dan kalaupun ditemukan kasusnya yang dipidana bukan actor intelectual atau cukong, hanya pelaku biasa seperti penebang kayu, pengemudi, atau nakhoda kapal yang menjalankan kendaraannya. Pelaku sebenarnya sudah kabur duluan sebelum aparat penegak hukum dapat menangkapnya.

Kasus illegal logging yang sudah tertangkap basah oleh aparat penegak hukum, disinyalir hanya segelintir cukong atau pelaku utama yang berujung ke pengadilan. Namun penegakan hukum kembali lemah sehingga hasilnya kembali mengecewakan. Oleh karena itu banyak kalangan yang menyebut illegal loggingsebagai kejahatan yang tak tersentuh hukum. Satu sisi karena belum ada aturan khusus yang mengatur dan di sisi lain Undang-Undang terkait kehutanan yang digunakan untuk memberantas tindak pidana illegal logging belum mampu memberikan kepastian hukum maupun sanksi yang tegas terhadap para pelaku.

Disamping lemahnya penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal logging, pertanggungjawaban pidana yang dibebankan terhadap pelaku belum berjalan maksimal, sehingga pada prakteknya dalam penjatuhan sanksi pidana cenderung memberikan respon negatif. Pertanggungjawaban pidana merupakan bentuk perbuatan dari pelaku tindak pidana terhadap kesalahan yang dilakukannya. Dengan demikian terjadinya pertanggungjawaban pidana karena ada kesalahan yang merupakan perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang.

(20)

tersebut. Kemudian pada UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dalam Pasal 50 ayat (2) dan (3) hanya berisi mengenai ijin pemanfaatan kayu hutan dan menebang pohon tanpa ijin serta mengenai sanksi pidananya diatur dalam Pasal 78 UU Kehutanan, apalagi belum ada definisi khusus mengenaiillegal logging sehingga banyak pihak yang masih memanfaatkan kesenjangan hukum ini untuk mencari keuntungan pribadi.

Satu-satunya upaya terakhir (ultimum remidium) yang dapat dijadikan pencegahan terhadap illegal logging adalah dengan membuat aturan khusus dan pemberian sanksi pidana berupa pidana penjara karena pidana penjara merupakan salah satu bentuk pidana perampasan kemerdekaan yang memberikan nestapa atau penderitaan.6 Penderitaan yang dimaksud bukan hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana illegal logging, akan tetapi juga ditujukan pada pihak lain yang mempunyai kegiatan dalam bidang kehutanan sehingga timbul rasa enggan untuk melakukan perbuatan tersebut karena adanya sanksi pidana yang berat.

Ada 3 (tiga) jenis pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU Kehutanan yaitu pidana penjara, pidana denda dan pidana perampasan benda yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana. Ketiga jenis pidana ini dapat dijatuhkan kepada pelaku secara kumulatif. Jenis pidana itu merupakan sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku yang melakukan kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 50 UU Kehutanan. Pada kenyataannya, sasaran penegakan hukum dalam ketentuan pidana tersebut belum dapat menjangkau seluruh aspek pelaku kejahatan penebangan liar (illegal logging), sehingga masih terdapat kerancuan dalam hal pertanggungjawaban pidananya. Dalam

perkembangan kasus illegal logging, justru diindikasikan banyak melibatkan oknum pejabat pemerintah daerah, oknumpegawai negeri sipil, oknum TNI, POLRI, oknum pejabat

6

(21)

penyelenggara lainnya serta melibatkan pihak korporasi yang menjadi pelaku Intelektual dalam kasus illegal logging dan belum dapat terjangkau oleh ketentuan pidana dalam UU Kehutanan.

Korporasi disebut juga sebagai badan hukum. Korporasi adalah sekumpulan orang yang terorganisasi dan memiliki pimpinan serta melakukan perbuatan-perbuatan hukum, seperti melakukan perjanjian dalam rangka kegiatan usaha atau kegiatan sosial yang dilakukan oleh pengurasnya untuk dan atas nama kumpulan orang tersebut. Keterlibatan korporasi maupun oknum pejabat negara selaku pemegang saham dalam usaha penebangan kayu maupun bisnis kayu lainnya, acapkali lolos dari jeratan hukum sehingga tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Selain belum memberikan definisi yang tegas mengenai illegal logging, dalam ketentuan UU Kehutanan yang menjadi subyek hukum (adresat) hanya terbatas pada orang dalam artian pribadi (persoon) saja sehingga belum mengatur pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh pejabat negara maupun korporasi. Oleh karena itu, hal tersebut menjadi celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan illegal logging yang secara tegas tidak diatur dalam UU Kehutanan.

(22)

dapat dijatuhkan pada pelaku) dan demi hukum. Namun menurut pelapor, alasan tersebut sangat janggal karena Polda sebelumnya telah memeriksa puluhan saksi, pelapor (masyarakat), menyita dan mengamankan 133 eksavator (alat berat) dan ribuan log kayu serta telah menetapkan sekitar 200 tersangka. Akibat dari aktivitas yang dilakukan oleh beberapa perusahaan tersebut diduga telah terjadi kerusakan lingkungan hidup dan hutan, serta negara telah dirugikan kurang lebih senilai Rp. 73.364.544.000.000,- (Tujuh Puluh Tiga Triliun tiga ratus enam puluh empat milyar lima ratus empat puluh empat juta rupiah).7 Hasil pantauan sidang Tipikor terhadap kasus tersebut, menambah kuat dugaan bahwa tiap IUPHHK-HT (Izin Usaha Hasil Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman) perusahaan yang bermasalah identik dengan korupsi. Putusan hakim kembali tidak menyebutkan hukuman atas keterlibatan perusahaan atau korporasi dalam tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terpidana. Fakta persidangan mengungkap jelas pemberian uang kepada terdakwa oleh manajemen perusahaan untuk memuluskan proses perizinan. Beberapa pejabat pemerintah sudah terbukti dan dikenai sanksi, dengan demikian sekarang bagaimana Hakim berani menyebutketerlibatan suatu perusahaan atau korporasi dalam kasus ini. Melihat hal tersebut, lemahnya penegakan hukum serta minimnya peraturan yang ada terkait tindak pidana illegal logging untuk mengatur dan menjerat pelaku semakin menguatkan dugaan masyarakat bahwa korporasi semakin sulit disentuh oleh hukum di tanah air ini.

Hukum berfungsi untuk melindungi kepentingan manusia dengan cara mengatur kegiatan manusia. Oleh karena itu peraturan hukum yang tidak jelas harus dijelaskan, yang kurang lengkap harus dilengkapi dengan jalan menemukan hukumnya agar aturan hukum tersebut dapat

7

Kolom-Riau Post 21 September 2015, Korupsi dan Membuka Kasus SP3 Illog Riau :

(23)

diterapkan terhadap peristiwanya sehingga dapat diwujudkan putusan hukum yang mengandung aspek keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.

Keadaan seperti yang terpapar pada penjelasan inilah yang menjadi latar belakang dan penulisan ini. Melihat dampak dari illegal logging yang begitu dahsyat sehingga harus disertai dengan adanya kepastian hukum mengenai pertanggungjawaban yang mampu dibebankan terhadap semua pihak terutama korporasi, karena sampai saat ini dapat dikatakan bahwa norma yang ada masih bersifat kabur sehingga pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh korporasi sangat sulit untuk diselesaikan. Untuk itu harus dilakukan pengkajian lebih spesifikasi terhadap UU yang berkaitan terkait persoalan illegal logging yang dilakukan korporasi demi terwujudnya kepastian hukum. Bertitik tolak dari latar belakang yang diuraikan di atas, maka dilakukan penelitian secara normatif

denganjudul“PERTANGGUNGJAWABANKORPORASIDALAM TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang nantinya akan menjadi pokok pembahasan dalam perumusan skripsi ini, yaitu :

1. Apakah korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam tindak pidana illegal logging jika dilihat dari segi hukum positif di Indonesia?

(24)

1.3 RUANG LINGKUP MASALAH

Perlu ditentukan secara jelas dalam penulisan karya ilmiah mengenai batasan-batasan terhadap materi yang akan diuraikan agar pembahasannya tidak menyimpang dari pokok permasalahan yang akan disampaikan. Adapun ruang lingkup dari pokok permasalahan yang dibahas, pertama apakah korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam tindak pidana illegal logging jika dilihat dari segi hukum positif, dan yang kedua bagaimanakah idealnya mengenai pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh korporasi dalam tindak pidana illegal logging di masa yang akan datang.

1.4 TUJUANPENELITIAN

a.Tujuan Umum

Tujuan umum dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawan korporasi dalam tindak pidana illegal logging jika dilihat dari berbagai hukum positif di Indonesia. Tujuan ini diharapkan mampu menjadi upaya dalam memberantas tindak pidana illegal logging dan memberikan efek jera terhadap setiap pelaku sehingga perbuatan pidana tersebut dapat diatasi secara tegas.

b.Tujuan Khusus

(25)

mengenai pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh korporasi terhadap tindak pidana illegal logging.

1.5 MANFAAT PENELITIAN

Penelitian dilakukan bertujuan untuk memberikan manfaat terhadap sebuah ilmu. Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:

a.Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau masukan bagi perkembangan ilmu terhadap pemberantasan kasus illegal logging dengan menganalisa Undang-Undang untuk mengetahui bagaimana pengaturan mengenai illegal logging demi terciptanya penegakan dan kepastian hukum.

b.Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat untuk lebih mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir yang dinamis, sekaligus untuk mengetahui kemampuan penyusun dalam mengkaji dan menerapkan ilmu-ilmu yang diperoleh di bangku perkuliahan sehingga mampu menemukan jawaban dan memberikan solusi atas permasalahan yang diteliti khususnya mengenai tindak pidana illegal logging.

1.6LANDASAN TEORITIS

(26)

perencanaan, peruntukan dan penggunaan hutan. Sesuai dengan fungsinya, asas-asas hukum kehutanan terdiri dari8:

1. Asas Manfaat

Asas manfaat mengandung makna bahwa pemanfaatan sumber daya hutan harus dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

2. Asas Kelestarian

Asas kelestarian mengandung pengertian bahwa pemanfaatan sumber daya hutan harus senantiasa memperhatikan kelestarian sumber daya alam hutan agar mampu memberikan manfaat yang terus menerus.

3. Asas Perusahaan

Asas perusahaan adalah pengusaha harus mampu memberikan keuntungan finansial yang layak.

4. Asas Perlindungan Hukum

Asas perlindungan hutan adalah suatu asas yang setiap orang atau badan hukum harus ikut berperan serta untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak, daya-daya alam, hama dan penyakit. Hukum memiliki peranan penting dalam berbagai hal terutama mengenai ketertiban. Dimana ada masyarakat disana ada hukum (ubi societas ibi ius). Hukum tumbuh mengikuti perkembangan masyarakatnya. Selain berfungsi sebagai pelindung subjek hukum, hukum diciptakan sebagai suatu sarana untuk menciptakan hak dan kewajiban subjek hukum secara wajar. Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum berfungsi sebagai pelindung kepentingan

8

(27)

manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, maka hukum harus dilaksanakan. Dalam pelaksanaan hukum diperlukan suatu asas yaitu asas legalitas untuk menegakkan

suatu keadilan dan kepastian hukum. Asas tersebut berarti tiada suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan (Pasal 10 KUHP).

Setiap orang maupun badan hukum harus tunduk terhadap hukum karena kajian hukum itu sendiri adalah masyarakat. Jadi selain sebagai makhluk individu masyarakat juga disebut sebagai makhluk sosial (zoon politicon) yang selalu bergantung saru sama lain dalam membentuk suatu masyarakat. Selain itu manusia juga bergantung pada alam sekitarnya untuk mempertahankan kehidupannya dengan memanfaatkan sumber daya alam. Namun terkadang dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, tidak semua manusia mampu berpikir secara ideal melainkan sebagian ada yang mempunyai pemikiran buruk untuk memanfaatkan kesempatan yang ada dengan cara ilegal sehingga timbullah perbedaan kepentingan dalam satu interaksi yang mengakibatkan adanya perselisihan yang mengganggu keserasian hidup sehingga manusia membutuhkan suatu aturan untuk menjaga hubungan tersebut agar tetap harmonis.

Permasalahan tersebut bisa timbul dari sudut mana saja. Seperti yang akan kita bahas dalam penulisan skripsi ini yakni mengenai pembalakan liar (illegal logging). Menurut Sukardi, berdasarkan pengertian secara harafiah dapat dikatakan bahwa illegal logging menurut bahasa berarti menebang kayu kemudian membawa ke tempat gergajian yang bertentangan dengan hukum atau tidak sah menurut hukum.9 Selain itu menurut pendapat Prasetyo yang mengungkapkan bahwa ada 7 (tujuh) dimensi dari kegiatan illegal logging, yaitu (1) perizinan,apabila kegiatan tersebut tidak ada izinnya atau belum ada izinnya atau izinnya kadaluarsa, (2) praktik, apabila pada praktiknya tidak menerapkan praktik logging yang sesuai

9

(28)

peraturan, (3) lokasi, apabila dilakukan diluar lokasi izin, menebang dikawasan konservasi/lindung, atau usul lokasi tidak dapat ditunjukkan, (4) produksi kayu, apabila kayunya sembarang jenis (dilindungi), tidak ada batas diameter, tidak ada identitas asal kayu, tidak ada tanda pengenal perusahaan, (5) dokumen, apabila tidak ada dokumen sahnya kayu, (6) melakukan perbuatan melanggar hukum dibidang kehutanan, (7) penjualan, apabila pada saat penjualan tidak ada dokumen maupun ciri fisik kayu dalam artian kayu diselundupkan.10

Tidak adanya definisi khusus mengenai illegal logging, maka sejumlah ahli memberikan pendapatnya masing-masing mengenai illegal logging. Illegal logging sebagai satu bentuk kejahatan lingkungan telah menjadi salah satu kendala utama dalam mewujudkan sebuah sistem kelola hutan Indonesia bagi terwujudnya kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat. Dalam kategori hukum pidana, illegal logging termasuk ke dalam tindak pidana khusus yaitu untuk delik-delik kehutanan yang menyangkut pengelolaan hasil hutan kayu. Unsur tindak pidana illegal logging, meliputi :

a. Perbuatan, baik disengaja maupun karena kelalaian yang mengakibatkan kerusakan terhadap hutan atau kawasan dan ekosistemnya. Namun ketentuan tersebut khusus pada kawasan suaka alam dan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata.

b. Perbuatan, baik disengaja maupun karena kelalaian mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, memperniagakan dan menyelundupkan hasil hutan, namun demikian ketentuan tersebut khusus terhadap hasil hutan berupa tumbuhan yang dilindungi yaitu jenis spesies tertentu yang terancam kepunahan.

10

(29)

Korporasi sebagai salah satu pelaku dalam tindak pidana Illegal Logging, belum sepenuhnya diatur dalam ketentuan perundang-undangan. Maka dari itu diperlukan upaya pemerintah untuk membentuk suatu aturan khusus mengenai korporasi sebagai subjek hukum dalam tindak pidana Illegal Logging. Mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan, dikenal adanya Teori jenjang norma. Teori ini dikembangkan oleh Hans Nawiasky yang merupakan salah satu murid Hans Kelsen, dalam bukunya yang berjudul “Allgemeine Rechtslehre”Nawiasky mengemukakan bahwa suatu norma hukum negara selalu berlapis-lapis dan berjenjang yakni norma yang berada dibawah berlaku, berdasar dan bersumber pada norma yang lebih tinggi dan begitu seterusnya sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar. Nawiasky menambahkan bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang, norma hukum juga berkelompok, yaitu terdiri dari11 :

1. Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara); 2. Staatsgrundgezets (aturan dasar negara);

3. Formell Gezets (undang-undang formal);

4. Verordnung dan Autonome Satzung (aturan pelaksana dan aturan otonom).

Menurut Moeljatno, tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Berbagai rumusan tindak pidana illegal logging dalam UU Kehutanan tercantum unsur sengaja atau kealpaan maka dapat dikatakan bahwa pertanggungjawaban pidana dalam delik ini menganut prinsip liability based on fault

11

Maria Farida Indrati Soeprapto, 2010, Ilmu Perundang-Undangan : Jenis, Fungsi dan Mated Muatan,

(30)

(pertanggung jawaban berdasarkan kesalahan). Hukum dan sanksi yang dianut hukum pidana membedakan hukum pidana dengan hukum lainnya. Tujuan pemidanaan memiliki 3 (tiga) teori, yakni :

1. Teori imbalan (absolute/vergeldingstheorie)

Menurut teori ini, dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri. Karena kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku juga harus diberi penderitaan.

2. Teori maksud dan tujuan (relative/doeltheorie)

Berdasarkan teori ini, hukuman dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman itu harus dipandang secara ideal.

3. Teori gabungan (verenigingstheorie)

Pada dasarnya, teori gabungan adalah gabungan dari kedua teori diatas. Gabungan kedua teori itu mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat.12

Ketiga tujuan diatas, dalam hal pemberian pidana harus lebih subyektif sehingga tepat sasaran terhadap siapa saja yang menjadi pelaku illegal logging khususnya dalam penulisan skripsi ini yang disoroti adalah korporasi. Mengenai perwujudan korporasi sudah berabad-abad lamanya menjadi perselisihan dan perjuangan pendapat para ahli hukum. Selama belum ditemukannya suatu pandangan dan pendapat yang tepat mengenai bentuk-bentuk pengertian

12

(31)

umum dalam ilmu pengetahuan maupun bagi tafsiran peraturan perundang-undangan pada khususnya, selama itu pula akan tetap muncul berbagai macam tafsiran mengenai korporasi. Untuk mengetahui sejauh mana korporasi mempunyai hak dan kewajiban dalam bertindak secara hukum, maka timbullah bermacam-macam teori tentang pertanggungjawaban korporasi.

Menurut Barda Nawawi Arief13, dalam bukunya yang berjudul “Sari Kuliah Perbandingan Hukum” hanya menyebutkan 4 (empat) teori tentang pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu : doktrin pertanggungjawaban pidana (direct liability doctrine) atau sering disebut teori identifikasi (identification theory); doktrin pertanggungjawaban pidana pengganti (vicarious liability);(doktrin pertanggungjawaban pidana yang ketat menurut Undang-Undang

(strict liability);dan teori budaya korporasi (company culture theory).

Sebagai salah satu negara yang mengalami proses modernisasi dengan melihat sejarah pertumbuhan korporasi, Indonesia mengakui bahwa korporasi merupakan subjek tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hal penjatuhan pidana. Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Undang-Undang terkait, baru dapat dibebankan kepada pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab, kepada pengurus korporasi dibebankan kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan itu sebenarnya adalah kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana, sehingga dalam sistem ini terdapat alasan yang menghapuskan pidana. Sedangkan dasar pemikirannya adalah korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaran, melainkan penguruslah yang bertanggungjawab dan diancam pidana terhadap delik yang dilakukan atas nama korporasi.

13

(32)

Setiap kejahatan dimungkinkan adanya aturan yang mengatur untuk menghindari terjadinya pelanggaran yang disebabkan oleh ulah manusia demi memenuhi kebutuhannya secara pribadi. Terkait hal ini, dalam membuat suatu aturan hukum harus didahulukan adanya suatu proses penemuan hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo14, penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas menerapkan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkret, dengan kata lainmerupakan proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkret (das sein) tertentu, yang penting dalam penemuan hukum adalah bagaimana menemukan hukum untuk peristiwa yang konkret. Ada beberapa aliran yang melandasi dalam hal penemuan hukum, yakni15:

1. Aliran Legisme

Aliran ini berpandangan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah Undang-Undang, karena Undang-Undang dianggap sudah lengkap dan jelas dalam mengatur semua persoalan hukum. Kedudukan hakim ada dibawah Undang-Undang sebagai pelaksana sehingga hakim tidak berwenang mengubah isi Undang-Undang.

2. Aliran Historis

Aliran ini berpandangan bahwa Undang-Undang sebagai sumber hukum saja tidak lengkap. Konsekuensinya akan terdapat kekosongan dan ketidakjelasan dalam Undang-Undang, oleh karena itu hakim dapat membuat hukumnya (judge made law). Hukum kebiasaan dan yurisprudensi dapat melengkapi Undang-Undang dan dianggap sebagai unsur sistem hukum.

3. Begriffjurisprudenz

14

Bambang Sutiyoso, 2006, Metode Penemuan Hukum, UII Press, Yogyakarta, hlm. 28.

15

(33)

Aliran ini memberikan kebebasan pada hakim, jadi hakim tidak perlu terikat pada bunyi Undang-Undang, tetapi dapat mengambil argumentasinya dan peraturan hukum yang tersirat dalam Undang-Undang. Kesalahan dari aliran ini adalah terlalu menjunjung rasio dan logika dalam meluaskan Undang-Undang sampai terbentuknya hukum. Penganutaliraninisecaraterbalikmemandangalatsebagaitujuan sehingga keadilan dan manfaat kemasyarakatan tidak tercapai.

4. Penemuan Hukum Modern

Pada aliran ini, yang menjadi titik tolak bukan pada sistem perundang-undangan, tetapi masalah kemasyarakatan konkret yang harus dipecahkan. Tujuan pembentuk Undang-Undang dapat digeser, dikoreksi, tetapi tidak boleh diabaikan.

Keempat aliran yang melandasi dalam hal terjadinya penemuan hukum, terkait dengan tulisan ilmiah ini penulis mengasumsikan bahwa aliran yang paling penting digunakan adalah penemuan hukum modern. Hal tersebut dikarenakan dalam aliran hukum modern, tidak hanya berpatokan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku saja akan tetapi -melihat pada kenyataan yang ada bahwa adanya Undang-Undang yang mengatur tindak pidana illegal loging, belum mampu memberikan kepastian hukum dalam hal penjatuhan pidana terhadap pelakunya baik pribadi maupun badan hukum/korporasi. Untuk itu diharapkan pembuat Undang-Undang merancang dan menetapkan aturan yang baru dengan tujuan memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat.

(34)

kebijakan hukum pidana. Menurut Barda Nawawi Arief, masalah kebijakan hukum pidana pada hakikatnya bukanlah semata-mata menggunakan teknik perundang-undangan yang dilakukan secara yuridis normatif dan sistematif dogmatik. Disamping pendekatan yuridis faktual juga dapat berupa pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin ilmu sosial lainnya serta pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya.16 Barda mengemukakan pola hubungan antara kebijakan hukum pidana (penal policy) dengan upaya penanggulangan kejahatan, bahwa pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan pendekatan integral dan ada keseimbangan antara penal dan non penal. Pencegahan dan pendekatan kejahatan dengan sarana penal merupakan penal policy atau Penal Law Enforcement Policy, yang fungsionalisasinya melalui beberapa tahap seperti tahap Formulasi (kebijakan legislatif), Aplikasi (kebijakan yudikatif) dan Eksekusi (kebijakan Administratif). Sedangkan upaya non penal dapat ditempuh dengan upaya preventif, berupa pendekatan agama, budaya, moral dan edukatif.

1.7 METODE PENELITIAN

a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah penelitian yuridis normatif atau sering disebut dengan penelitian hukum doktrinal, yaitu penelitian yang objek kajiannya adalah dokumen peraturan perundang-undangan dan bahan pustaka17. Penelitian ini dimulai dengan adanya kesenjangan norma hukum, yakni terdapat norma yang kabur atau tidak jelas. Sampai saat ini Undang-Undang yang digunakan sebagai dasar hukum dalam tindak pidana illegal logging belum mampu memberikan kepastian hukum atas sanksi pidana yang

16

Barda Nawawi Arief, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 23.

17

(35)

dijatuhkan pada korporasi sebagai pelaku illegal logging bahkan belum ada definisi khusus mengenai illegal logging itu sendiri. Padahal pengertian ini sangat penting untuk memberikan batasan terhadap tindakan-tindakan apa yang termasuk dalam lingkup illegal logging. Praktik illegal logging biasanya dikaitkan dengan UU Kehutanan, namun kelemahan Undang-Undang tersebut yakni tidak menyebutkan korporasi sebagai subjek hukum melainkan hanya perseorangan.

b. Jenis Pendekatan

Dalam penelitian ini, jenis pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Perundang-Undangan (The Statute Approach) dan Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Approach). Pendekatan Perundang-Undangan digunakan dengan mengumpulkan peraturan Perundang-Undangan yang menjadi fokus penelitian. Selanjutnya akan diklasifikasikan berdasarkan kronologis dari bagian-bagian yang diatur oleh peraturan tersebut, kemudian akan dianalisis dengan menggunakan pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum, yang mencakup : subjek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum dan objek hukum. Hal yang dianalisis hanyalah pasal-pasal yang isinya mengandung kaidah hukum, kemudian dilakukan konstruksi dengan caramemasukkanpasal-pasaltertentukedalamkategori-kategoriberdasarkan pengertian dasar dari sistem hukum tersebut.18 Sedangkan pendekatan konsep dilakukan dengan cara mengutip pendapat para sarjana yang terdapat dalam buku-buku atau literatur penunjang yang digunakan dalam penelitian ini.

c. Bahan Hukum

Data yang diperoleh dan diolah dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari narasumber kepustakaan, terdiri dari :

18

(36)

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif artinyamempunyaiotoritas.19Penelitianinimengkajiketentuan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1985 Tentang Perlindungan Hutan, serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP)dalamhalpemberantasantindakpidanaillegal logging.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, meliputi:

- buku-buku hukum atau literatur penunjang yang menjelaskan mengenai tindak pidana illegal logging, literatur mengenai kehutanan, literatur mengenai tindak pidana khusus dan lainnya berkaitan dengan pokok permasalahan yang akan dibahas.

- Pendapat dan tulisan para sarjana atau para ahli hukum yang termuat dalam media massa berupa karya tulis maupun jurnal hukum berkaitan dengan pokok permasalahan yang akan dibahas.

- Kamus hukum. - Internet.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya, yaitu RUU KUHP (Rancangan Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

19

(37)

d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan cara menggali kerangka normatif (melakukan kajian terhadap perundang-undangan) menggunakan bahan hukum sebagai penunjang yang membahas teori-teori hukum terkait dengan permasalahan yang ada dengan cara membaca, meneliti dan mencatat.

e.Teknik Analisis

(38)

BAB II

TINJAUAN UMUMTENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

DAN ILLEGAL LOGGING

2.1. Pengertian Pertanggungjawaban

Secara etimologi, pertanggungjawaban terdiri dari kata tanggung dan jawab. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya, yakni berkewajiban menanggung, memikul tanggung jawab, menanggung segala sesuatunya atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya.1 Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan yang disengaja maupun tidak disengaja sebagai perwujudan akan kewajibannya. Tanggung jawab itu bersifat kodrati, artinya sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia bahwa setiap manusia pasti akan dibebani tanggung jawab. Apabila tanggung jawabnya tidak dilaksanakan, maka ada pihak lain yang akan memaksakan tanggung jawab itu untuk dipenuhi, dengan demikian tanggung jawab dapat dilihat dari 2 (dua) sisi, yaitu dari sisi pihak yang berbuat dan dari sisi kepentingan pihak lain.

Berbicara mengenai tanggung jawab dalam konteks hukum, dapat diartikan sebagai kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan yang disengaja maupun tidak disengaja berkaitan dengan pelanggaran hukum atas suatu perbuatan yang disertai dengan ancaman sanksi.

Beberapa para ahli berpendapat mengenai definisi dari tanggung jawabhukum, diantaranya yakni :

Menurut pendapat Ridwan Halim, dalam bukunya Purbacaraka,

1

(39)

Tanggung jawab hukum sebagai suatu akibat lebih lanjut dari pelaksanaan peranan, baik peranan itu merupakan hak dan kewajiban ataupun kekuasaan. Secara umum tanggung jawab hukum diartikan sebagai kewajiban untuk melakukan sesuatu atau berprilaku menurut cara tertentu tidak menyimpang dari peraturan yang telah ada.2

Menurut pendapat Purbacaraka,

Tanggung jawab hukum bersumber atau lahir atas penggunaan fasilitas dalam penerapan kemampuan tiap orang untuk menggunakan hak dan/atau melaksanakan kewajibannya. Lebih lanjut ditegaskan, setiap pelaksanaan kewajiban dan setiap penggunaan hak baik yang dilakukan secara tidak memadai maupun yang dilakukan secara memadai pada dasarnya tetap harus disertai dengan pertanggungjawaban, demikian pula dengan pelaksanaan kekuasaan.3

2.1.1Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana sudah muncul sejak Zaman Revolusi Francis, dimana pada saat itu tidak hanya manusia bahkan hewan maupun benda mati pun dapat dipertanggungjawabkan pidana. Seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukannya sendiri, akan tetapi perbuatan orang lain juga dapat dipertanggungjawabkan karena pada masa itu hukuman tidak sebatas hanya pada pelaku tindak pidana saja, melainkan juga dijatuhkan pada kerabat dekat dari pelaku tindak pidana itu sendiri.

Setelah masa Revolusi Francis, pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dasar falsafah kebebasan berkehendak yang disebut dengan Teori Tradisionalisme (mashab taqlidi), kebebasan berkehendak dimaksudkan bahwa seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban

2

Purbacaraka, 2010, Perihal Kaedah Hukum, Citra Aditya, Bandung, hlm. 35.

3

(40)

pidana atas dasar pengetahuan dan pilihan, menurut teori ini seseorang pada usia tertentu dapat membedakan dan memisahkan mana yang dikatakan perbuatan baik dan mana yang tidak baik.4

Terdapat 2 (dua) pandangan mengenai pertanggungjawaban pidana, yaitu pandangan yang monistis dikemukakan oleh Simon yang merumuskan strafbaar feit sebagai suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya. Menurut aliran monistis, unsur-unsur strafbaar feit itu meliputi baik unsur perbuatan, yang lazim disebut sebagai unsur objektif maupun unsur pembuat yang lazimnya dinamakan unsur subjektif. Oleh karena itu, disatukannya unsur perb.uatan dan unsur pembuatnya maka dapat disimpulkan bahwa strafbaar feit adalah sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa jika strafbaar feit terjadi maka sudah pasti pelakunya dapat dipidana.5

Berbeda dengan pandangan monistis, yang melihat keseluruhan syarat adanya pidana telah melekat pada perbuatan pidana, pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Menurut pandangan dualistis, tindak pidana hanya mencakup criminal act sedangkancriminal responsibility tidak menjadi unsur tindak pidana, oleh karena itu

untuk menyatakan sebuah perbuatan sebagai tindak pidana cukup dengan danya perbuatan yang diramuskan oleh Undang-Undang yang memiliki sifat melawan hukum tanpa adanya suatu dasar pembenar.6

Seseorang mampu dipertanggungjawabkan jika jiwanya sehat, yaitu apabila :

a. Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum;

Lamintang, P.A.F, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 185.

6

(41)

b. Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.7 Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum positif, menganut asas

kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas. Pertanggungjawaban pidana merupakan bentuk perbuatan dari pelaku tindak pidana terhadap kesalahan yang dilakukannya. Dengan demikian terjadinya pertanggungjawaban pidana karena ada kesalahan yang mendasari dijatuhinya sanksi pidana kepada orang tersebut.

Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai “toerekenbaarheid”, “criminal responbility”, dan “criminal liability”. Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersangka/terdakwa dapat di pertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak, dengan kata lain apakah orang tersebut akan dipidana atau dibebaskan. Jika dipidana, harus dibuktikan bahwa tindakan tersebut bersifat melawan hukum dan orang tersebut mampu bertanggungjawab. Kemampuantersebut memperlihatkan kesalahan dari petindak yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan, dalam artian bahwa pelaku menyadari tindakan yang dilakukan tersebut.

Menurut Sudarto, kesalahan digolongkan menjadi kesalahan psikologis dan kesalahan yang normatif. Kesalahan psikologis diartikan sebagai kesalahan yang hanya dipandang sebagai hukum psikologis (batin) berupa kesengajaan atau kealpaan antara si pembuat dengan perbuatannya. Adanya hubungan batin dalam hal kesengajaan itu berupa menghendaki perbuatan beserta akibatnya dan pada kealpaan tidak disertai dengan adanya kehendak demikian. Sedangkan pengertian kesalahan yang normatif, menentukan kesalahan seseorang tidak hanya berdasarkan sikap batin antara pembuat dan perbuatannya, tetapi disamping itu harus ada unsur penilaian atau unsur normatif perbuatannya. Penilaian normatif artinya penilaian dari luar mengenai hubungan antara pembuat dengan perbuatannya, berupa pencelaan dari-.masyarakat

7

(42)

atas apa yang seharusnya diperbuat oleh si pembuat. Sikap batin si pembuat berupa kesengajaan dan kealpaan tetap diperhatikan, namun hanya merupakan unsur dari kesalahan atau unsur lain ialah penilaian mengenai keadaan jiwa si pembuat, kemampuan bertanggungjawab dan tidak hanya atas dasar penghapus kesalahan.8 Dilihat dari penjelasan tersebut, unsur-unsur kesalahan meliputi:

1.Kemampuan bertanggungjawab;

2.Sengaja (dolus/opzef) dan lalai (culpa/alpa)', 3.Tidak ada alasan pemaaf.

Menurut Roeslan Saleh9, tidak ada gunanya mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatannya sendiri tidak bersifat melawan hukum, maka terlebih dahulu harus dipastikan tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian unsur-unsur kesalahan harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan agar terdakwa dapat dipertanggungjawabkan. Untuk dapat dipertanggungjawabkan, seorang terdakwa atau pelaku tindak pidana harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1. Melakukan perbuatan pidana (melawan hukum); 2. Mampu bertanggungjawab;

3. Dengan kesengajaan atau kealpaan; dan 4. Tidak adanya alasan pemaaf.

Berdasarkan ketentuan Pasal 55 ayat (1) ke-1, ke-2, dan ayat (2) Kitab Undang-UndangHukumPidana(KUHP),adabeberapapihakyangdapat dijadikan subjek hukum dalam hal pertanggungjawaban pidana, sebagai berikut:

 Ayat (1) dipidana sebagai pelaku tindak pidana :

8 Ibid.

9

(43)

(1) Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan.

(2) Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakankekuasaanataumartabat,dengankekerasan, ancaman atau penyesatan. Atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

 Ayat (2) terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkansajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Ketentuan Pasal tersebut diatas mengkategorikan pelaku tindak pidana sebagai orang yang melakukan sendiri suatu tindak pidana dan orang yang turut serta atau bersama-sama untuk melakukan tindak pidana.

2.1.2Sejarah Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

(44)

melakukan perbuatan pidana, sebab elemen umum mental (general mental element) yang melekat pada mens rea, antara lain : maksud (intention), sembrono (recklesness), motif jahat (malice), penuh sadar (wilful), mengetahui (knowledge) dan lalai (negligence), semua elemen itu

hanya melekat secara inheren pada dirimanusia. Hal inilah yang dapat menjadi hambatan dalam menghukum korporasi dengan sanksi yang setimpal.

Menurut pandangan Doelder yang sejalan dengan Jonkers10, mengutip putusan Mahkamah Tinggi tanggal 5 Agustus 1995 yang menulis bahwa menurut asas-asas hukum pidana, diajarkan atas ajaran kesalahan pribadi yang hanya ditujukan kepada pribadi seseorang sehingga ketentuan mengenai pidana pokok pun mempunyai sifat kepribadian, terutama pidana yang merampas kemerdekaan. Demikian juga halnya dengan pidana denda bahwa korporasi tidak dapat -dijatuhi pidana denda, karena orang yang dijatuhi pidana denda dapat memilih untuk menjalankan kurungan pengganti selain membayar denda. Menurut Jonkers, meskipun korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, akan tetapi dalam kenyataannya korporasi seringkali melakukan tindak pidana.

Sepanjang abad XX korporasi menjadi sangat penting dalam mendukung industrialisasi sehingga meskipun KUHP buatan tahun 1886 masih berlaku, tetapi pembuat Undang-Undang harus mempertimbangkan kenyataan yang ada bahwa manusia dapat bertindak dalam lingkungan korporasi, yang dalam hukum perdata telah dipandang sebagai badan hukum (rechtpersori). Sehubungan dengan hal itu, di Belanda sebagai tempat asal KUHP Indonesia telah terjadi perkembangan mengenai ketentuan korporasi sebagai subjek hukum pidana pada tanggal 23 Juni 1976. Akhirnya pembentuk Undang-Undang memutuskan untuk mengubah Pasal 51 KUHP Belanda yang isinya menyatakan antara lain :

10

(45)

1. Tindak pidana dapat dilakukan oleh orang perseorangan dan korporasi;

2. Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi, maka penuntutan dan pemidanaan dapat dilakukan terhadap :

a. Korporasi, atau

b. Mereka yang telah menyuruh melakukan tindak pidana, sebagai mana halnya mereka yang sebenarnya memberi petunjuk melarang dilakukannya perbuatan, atau yang tersebut pada a dan b dapat dilakukan bersama-sama.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikemukakan bahwa perkembangan pemikiran yang akhirnya memberikan pengakuan pada korporasi sebagai subjek hukum pidana, secara garis besar dapat dibedakan dalam 3 (tiga) tahap, yaitu11 :

1. Tahap pertama

Pada tahap ini yang dipandang sebagai pelaku tindak pidana adalah manusia alamiah (natuurlijke persoori). Pandangan ini dianut oleh KUHP yang sekarang berlaku di Indonesia. Pandangan ini dipengaruhi oleh asas “societas delinquere non potesf yaitu badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana. Apabila dalam suatu perkumpulan terjadi tindak pidana maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut. Pandangan ini merupakan dasar bagi pembentukan Pasal 59 KUHP (Pasal 51 W.v.S. Nederland) yang menyatakan : “Dalam hal-hal di mana karena ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisarisyang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana”.

2. Tahap kedua

11

(46)

Pada tahap ini korporasi diakui dapat melakukan tindak pidana, akan tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, adalah para pengurusnya yang secara nyata memimpin korporasi tersebut, dan hal ini dinyatakan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal tersebut.

3. Tahap ketiga

Pada tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Alasan menuntut pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi ini antara lain karena misalnya dalam delik-delik ekonomi dan fiskal, keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat, dapat demikian besarnya, sehingga tak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja.

Di Indonesia, pengakuan korporasi sebagai subyek hukum pidana, saat ini pengaturannya hanya dapat ditemukan dalam perundang-undangan hukum pidana di luar KUHP, ataupun perundang-undangan administrasi yang bersanksi pidana. Masih ada terlihat ketidak tuntatasan pembentuk Undang-Undang (kebijakan formulasi) dalam merumuskan korporasi sebagai subyek hukum yang dapat dijatuhi pidana. Adapun ketidaktuntasan tersebut yaitu mengenai kapan suatukorporasi dianggap harus bertanggung jawab, ataupun bagaimana cara pertanggungjawabannya.

(47)

Pembaharuan hukum pidana di Indonesia ditandai dengan penyusunan Rancangan Undang-Undang KUHP, yang menentukan “korporasi merupakan subyek tindak pidana”. Ketentuan tersebut menunjukkan adanya upaya untuk menjangkau pertanggungjawaban pidana korporasi atas kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh korporasi dan menunjukkan adanya akses perlindungan terhadap korban kejahatan korporasi untuk memperoleh keadilan, yakni penerapan perlindungan hak-hak korban kejahatan sebagai akibat dari terlanggarnya hak asasi yang bersangkutan.

Ketentuan penetapan dan penempatan korporasi sebagai subyek hukum pidana dan dapat dimintai pertanggungjawaban termuat dalam 7 Pasal Rancangan Undang-Undang KUHP baru tahun 2013, yaitu : Pasal 47, 48, 49, 50, 51, 52, dan 53. Ketentuan ini akan diberlakukan umum sebagai sistem aturan umum hukum pidana materiil, oleh karena itu pemikiran-pemikiran terhadap pembaharuan hukum pidana yang sudah lama dilakukan harus secepatnya bisa diselesaikan dan direalisasikan.

2.1.3Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Pertanggungjawaban pidana memiliki hubungan yang erat dengan penentuan subjek hukum pidana. Subjek hukum pidana dalam ketentuan perundang-undangan merupakan pelaku tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan atas segala perbuatan hukum yang dilakukannya sebagai perwujudan tanggung jawab karena kesalahannya terhadap orang lain (korban).

(48)

(natuurlijke persoori), karena masih ada subyek hukum lain yang menurut hukum dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Contohnya seperti seorang manusia, mempunyai kekayaan sendiri dan dengan perantaraan pengurusnya dapat digugat dan menggugat di muka sidang pengadilan. Subyek hukum dimaksud yaitu badan hukum (rechtpersoori), artinya orang yang diciptakan oleh hukum. Badan hukum atau korporasi itu misalnya, suatu perkumpulan dagang yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan orang atau yayasan, atau bentuk-bentuk korporasi lainnya. Korporasi pada awalnya merupakan suatu subyek hukum fiktif yang berbeda dari manusia yang membentuknya.

Menurut Sutan Remy Sjahdeiny12, mengenai kedudukan sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban pidana korporasi, terdapat 4 (empat) sistem pertanggungjawaban korporasi yang diberlakukan, sebagai berikut:

a. Pengurus korporasi sebagai pelaku tindak pidana, sehingga penguruslah yang harus memikul pertanggungjawaban pidana;

b. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana, tetapi penguins yang harus memikul pertanggungjawaban pidana;

c. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan korporasi itu sendiri yang harus memikul pertanggungjawaban pidana; dan

d. Pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.

Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab, kepada pengurus korporasi dibebankan kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan itu

12

(49)

sebenarnya adalah kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana. Sehingga dalam sistem ini terdapat alasan yang menghapuskan pidana. Sedangkan dasar pemikirannya adalah korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaran, melainkan selalu pengurus yang melakukan delik itu. Maka dari itu penguruslah yang diancam pidana dan dipidana.13

Korporasi hanya dapat melakukan perbuatan dengan perantaraan pengurus-pengurusnya. Dengan demikian, syarat kesalahan yang ekstemal (actus reus) pada korporasi tergantung pada hubungan antara korporasi dengan pelaku materilnya. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi selalu merupakan penyertaan yang dapat dipidana. Dalam hal ini, kedudukan korporasi selalu menjadi bagian dari penyertaan tindak pidana tersebut. Bahwa, tidak mungkin korporasi sebagai pelaku tunggal tindak pidana. Korporasi dapat menjadi pembuat (dadef) tetapi tidak dapat menjadi pelaku (pleger) tindak pidana”.

Menurut Barda Nawawi Arief14, ada 4 (empat) ajaran pokok yang menjadi alasan bagi pembenaran dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Ajaran-ajaran tersebut diantaranya adalah : direct liability doctrine, doctrine of strict liability, doctrine of vicarious liability dan company culture theory.

(50)

individu. Namun suatu korporasi tidak dapat diidentifikasi atas suatu kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang berada di level rendah dalam hirarki korporasi itu. Yang dapat dimintai pertanggungjawaban adalah individu bukan korporasi karena perbuatannya bukan perbuatan korporasi. Timbul keberatan yang cukup signifikan atas teori ini,khususnya berkaitan dengan korporasi besar dimana terdapat kemungkinan kecil seorang senior yang melakukan perbuatan secara langsung atas suatu tindak pidana disertai dengan mens rea.

Doctrine of strict liability, merupakan bentuk pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku delik yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) pada pelakunya. Hal ini dalam istilah hukum di Indonesia dikenal dengan pertanggungjawaban mutlak. Pertanggungjawaban pidana dalam doktrin ini semata-mata berdasarkan pada Undang-Undang. Dalam kaitannya dengan korporasi, korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana untuk delik-delik yang tidak dipersyaratkan adanya mens rea bagi pertanggungajwaban delik itu berdasarkan doctrine of strict liability. Pelanggaran

kewajiban/kondisi/situasi tertentu oleh korporasi ini dikenal dengan istilah “srtict liability offence “.

Doctrine of vicarious liability, dalam istilah hukum Indonesia dikenal dengan istilah pertanggungjawaban vikarius, yang merupakan pembebanan yang pertanggungjwaban pidana dari delik yang dilakukan, misalnya oleh A kepada B.

Referensi

Dokumen terkait

digunakan tetapi kondisinya kotor dan tidak terawat, sehingga pengunjung merasa tidak nyaman (Wawancara 18 Januari 2017). Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat

Tanah lereng memiliki nilai daya dukung yang relatif lebih kecil daripada daya dukung pada tanah datar. Pembangunan bangunan di atas suatu lereng sangat riskan

Audit laporan keuangan dilakukan untuk menentukan apakah laporan keuangan telah dinyatakan sesuai dengan kriteria tertentu dan pihak yang bertanggung jawab dalam mengaudit laporan

4 Tekan , untuk mengirim pesan Multimedia. Catatan: Gambar dan suara yang dilindungi hak cipta tidak dapat dikirim melalui MMS. Mengirim E-mail 1 Pergi ke E-mail > Profil

Utami (2013) said that SMK student which have age about 16-19 years old, then students need to get preparation of working readiness, because characteristic which they have,

Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa respon teknikal dengan kepentingan relatif kepentingan relatif tertinggi ada pada respon terendah adalah respon ke-4 yaitu

Aspek penciptaan menjadi sangat penting dalam industri kreatif, untuk itu ada beberapa model dalam pengembangannya, pertama, menekankan pada revitalisasi tradisi

Ada beberapa macam metode geolistrik, antara lain: metode potensial diri, arus telluric, magnetotelluric elektromaknetik, induced polarisation (IP), resistivitas