• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara negara dengan hutan dan kehutanan erat kaitannya dengan kedudukan negara sebagai organisasi tertinggi yang mempunyai wewenang untuk menetapkan dan mengatur

perencanaan, peruntukan dan penggunaan hutan. Sesuai dengan fungsinya, asas-asas hukum kehutanan terdiri dari8:

1. Asas Manfaat

Asas manfaat mengandung makna bahwa pemanfaatan sumber daya hutan harus dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

2. Asas Kelestarian

Asas kelestarian mengandung pengertian bahwa pemanfaatan sumber daya hutan harus senantiasa memperhatikan kelestarian sumber daya alam hutan agar mampu memberikan manfaat yang terus menerus.

3. Asas Perusahaan

Asas perusahaan adalah pengusaha harus mampu memberikan keuntungan finansial yang layak.

4. Asas Perlindungan Hukum

Asas perlindungan hutan adalah suatu asas yang setiap orang atau badan hukum harus ikut berperan serta untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak, daya-daya alam, hama dan penyakit. Hukum memiliki peranan penting dalam berbagai hal terutama mengenai ketertiban. Dimana ada masyarakat disana ada hukum (ubi societas ibi ius). Hukum tumbuh mengikuti perkembangan masyarakatnya. Selain berfungsi sebagai pelindung subjek hukum, hukum diciptakan sebagai suatu sarana untuk menciptakan hak dan kewajiban subjek hukum secara wajar. Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum berfungsi sebagai pelindung kepentingan

8

manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, maka hukum harus dilaksanakan. Dalam pelaksanaan hukum diperlukan suatu asas yaitu asas legalitas untuk menegakkan

suatu keadilan dan kepastian hukum. Asas tersebut berarti tiada suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan (Pasal 10 KUHP).

Setiap orang maupun badan hukum harus tunduk terhadap hukum karena kajian hukum itu sendiri adalah masyarakat. Jadi selain sebagai makhluk individu masyarakat juga disebut sebagai makhluk sosial (zoon politicon) yang selalu bergantung saru sama lain dalam membentuk suatu masyarakat. Selain itu manusia juga bergantung pada alam sekitarnya untuk mempertahankan kehidupannya dengan memanfaatkan sumber daya alam. Namun terkadang dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, tidak semua manusia mampu berpikir secara ideal melainkan sebagian ada yang mempunyai pemikiran buruk untuk memanfaatkan kesempatan yang ada dengan cara ilegal sehingga timbullah perbedaan kepentingan dalam satu interaksi yang mengakibatkan adanya perselisihan yang mengganggu keserasian hidup sehingga manusia membutuhkan suatu aturan untuk menjaga hubungan tersebut agar tetap harmonis.

Permasalahan tersebut bisa timbul dari sudut mana saja. Seperti yang akan kita bahas dalam penulisan skripsi ini yakni mengenai pembalakan liar (illegal logging). Menurut Sukardi, berdasarkan pengertian secara harafiah dapat dikatakan bahwa illegal logging menurut bahasa berarti menebang kayu kemudian membawa ke tempat gergajian yang bertentangan dengan hukum atau tidak sah menurut hukum.9 Selain itu menurut pendapat Prasetyo yang mengungkapkan bahwa ada 7 (tujuh) dimensi dari kegiatan illegal logging, yaitu (1) perizinan,apabila kegiatan tersebut tidak ada izinnya atau belum ada izinnya atau izinnya kadaluarsa, (2) praktik, apabila pada praktiknya tidak menerapkan praktik logging yang sesuai

9

Salim, dalam Sukardi, 2005, Illegal Logging Dalam Perspektif Hukum Pidana (Kasus Papua), Universitas Atmajaya, Yogyakarta, hlm. 72.

peraturan, (3) lokasi, apabila dilakukan diluar lokasi izin, menebang dikawasan konservasi/lindung, atau usul lokasi tidak dapat ditunjukkan, (4) produksi kayu, apabila kayunya sembarang jenis (dilindungi), tidak ada batas diameter, tidak ada identitas asal kayu, tidak ada tanda pengenal perusahaan, (5) dokumen, apabila tidak ada dokumen sahnya kayu, (6) melakukan perbuatan melanggar hukum dibidang kehutanan, (7) penjualan, apabila pada saat penjualan tidak ada dokumen maupun ciri fisik kayu dalam artian kayu diselundupkan.10

Tidak adanya definisi khusus mengenai illegal logging, maka sejumlah ahli memberikan pendapatnya masing-masing mengenai illegal logging. Illegal logging sebagai satu bentuk kejahatan lingkungan telah menjadi salah satu kendala utama dalam mewujudkan sebuah sistem kelola hutan Indonesia bagi terwujudnya kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat. Dalam kategori hukum pidana, illegal logging termasuk ke dalam tindak pidana khusus yaitu untuk delik-delik kehutanan yang menyangkut pengelolaan hasil hutan kayu. Unsur tindak pidana illegal logging, meliputi :

a. Perbuatan, baik disengaja maupun karena kelalaian yang mengakibatkan kerusakan terhadap hutan atau kawasan dan ekosistemnya. Namun ketentuan tersebut khusus pada kawasan suaka alam dan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata.

b. Perbuatan, baik disengaja maupun karena kelalaian mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, memperniagakan dan menyelundupkan hasil hutan, namun demikian ketentuan tersebut khusus terhadap hasil hutan berupa tumbuhan yang dilindungi yaitu jenis spesies tertentu yang terancam kepunahan.

10

Korporasi sebagai salah satu pelaku dalam tindak pidana Illegal Logging, belum sepenuhnya diatur dalam ketentuan perundang-undangan. Maka dari itu diperlukan upaya pemerintah untuk membentuk suatu aturan khusus mengenai korporasi sebagai subjek hukum dalam tindak pidana Illegal Logging. Mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan, dikenal adanya Teori jenjang norma. Teori ini dikembangkan oleh Hans Nawiasky yang merupakan salah satu murid Hans Kelsen, dalam bukunya yang berjudul “Allgemeine Rechtslehre”Nawiasky mengemukakan bahwa suatu norma hukum negara selalu berlapis-lapis dan berjenjang yakni norma yang berada dibawah berlaku, berdasar dan bersumber pada norma yang lebih tinggi dan begitu seterusnya sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar. Nawiasky menambahkan bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang, norma hukum juga berkelompok, yaitu terdiri dari11 :

1. Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara); 2. Staatsgrundgezets (aturan dasar negara);

3. Formell Gezets (undang-undang formal);

4. Verordnung dan Autonome Satzung (aturan pelaksana dan aturan otonom).

Menurut Moeljatno, tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Berbagai rumusan tindak pidana illegal logging dalam UU Kehutanan tercantum unsur sengaja atau kealpaan maka dapat dikatakan bahwa pertanggungjawaban pidana dalam delik ini menganut prinsip liability based on fault

11

Maria Farida Indrati Soeprapto, 2010, Ilmu Perundang-Undangan : Jenis, Fungsi dan Mated Muatan,

(pertanggung jawaban berdasarkan kesalahan). Hukum dan sanksi yang dianut hukum pidana membedakan hukum pidana dengan hukum lainnya. Tujuan pemidanaan memiliki 3 (tiga) teori, yakni :

1. Teori imbalan (absolute/vergeldingstheorie)

Menurut teori ini, dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri. Karena kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku juga harus diberi penderitaan.

2. Teori maksud dan tujuan (relative/doeltheorie)

Berdasarkan teori ini, hukuman dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman itu harus dipandang secara ideal.

3. Teori gabungan (verenigingstheorie)

Pada dasarnya, teori gabungan adalah gabungan dari kedua teori diatas. Gabungan kedua teori itu mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat.12

Ketiga tujuan diatas, dalam hal pemberian pidana harus lebih subyektif sehingga tepat sasaran terhadap siapa saja yang menjadi pelaku illegal logging khususnya dalam penulisan skripsi ini yang disoroti adalah korporasi. Mengenai perwujudan korporasi sudah berabad-abad lamanya menjadi perselisihan dan perjuangan pendapat para ahli hukum. Selama belum ditemukannya suatu pandangan dan pendapat yang tepat mengenai bentuk-bentuk pengertian

12

umum dalam ilmu pengetahuan maupun bagi tafsiran peraturan perundang-undangan pada khususnya, selama itu pula akan tetap muncul berbagai macam tafsiran mengenai korporasi. Untuk mengetahui sejauh mana korporasi mempunyai hak dan kewajiban dalam bertindak secara hukum, maka timbullah bermacam-macam teori tentang pertanggungjawaban korporasi.

Menurut Barda Nawawi Arief13, dalam bukunya yang berjudul “Sari Kuliah Perbandingan Hukum” hanya menyebutkan 4 (empat) teori tentang pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu : doktrin pertanggungjawaban pidana (direct liability doctrine) atau sering disebut teori identifikasi (identification theory); doktrin pertanggungjawaban pidana pengganti (vicarious liability);(doktrin pertanggungjawaban pidana yang ketat menurut Undang-Undang (strict liability);dan teori budaya korporasi (company culture theory).

Sebagai salah satu negara yang mengalami proses modernisasi dengan melihat sejarah pertumbuhan korporasi, Indonesia mengakui bahwa korporasi merupakan subjek tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hal penjatuhan pidana. Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Undang-Undang terkait, baru dapat dibebankan kepada pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab, kepada pengurus korporasi dibebankan kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan itu sebenarnya adalah kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana, sehingga dalam sistem ini terdapat alasan yang menghapuskan pidana. Sedangkan dasar pemikirannya adalah korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaran, melainkan penguruslah yang bertanggungjawab dan diancam pidana terhadap delik yang dilakukan atas nama korporasi.

13

Barda Nawawi Arief, 2010, Kapita Selekta Hukum Pidana, Get. Ke-II, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 246.

Setiap kejahatan dimungkinkan adanya aturan yang mengatur untuk menghindari terjadinya pelanggaran yang disebabkan oleh ulah manusia demi memenuhi kebutuhannya secara pribadi. Terkait hal ini, dalam membuat suatu aturan hukum harus didahulukan adanya suatu proses penemuan hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo14, penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas menerapkan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkret, dengan kata lainmerupakan proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkret (das sein) tertentu, yang penting dalam penemuan hukum adalah bagaimana menemukan hukum untuk peristiwa yang konkret. Ada beberapa aliran yang melandasi dalam hal penemuan hukum, yakni15:

1. Aliran Legisme

Aliran ini berpandangan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah Undang-Undang, karena Undang-Undang dianggap sudah lengkap dan jelas dalam mengatur semua persoalan hukum. Kedudukan hakim ada dibawah Undang-Undang sebagai pelaksana sehingga hakim tidak berwenang mengubah isi Undang-Undang.

2. Aliran Historis

Aliran ini berpandangan bahwa Undang-Undang sebagai sumber hukum saja tidak lengkap. Konsekuensinya akan terdapat kekosongan dan ketidakjelasan dalam Undang-Undang, oleh karena itu hakim dapat membuat hukumnya (judge made law). Hukum kebiasaan dan yurisprudensi dapat melengkapi Undang-Undang dan dianggap sebagai unsur sistem hukum.

3. Begriffjurisprudenz

14

Bambang Sutiyoso, 2006, Metode Penemuan Hukum, UII Press, Yogyakarta, hlm. 28.

15

Aliran ini memberikan kebebasan pada hakim, jadi hakim tidak perlu terikat pada bunyi Undang-Undang, tetapi dapat mengambil argumentasinya dan peraturan hukum yang tersirat dalam Undang-Undang. Kesalahan dari aliran ini adalah terlalu menjunjung rasio dan logika dalam meluaskan Undang-Undang sampai terbentuknya hukum. Penganutaliraninisecaraterbalikmemandangalatsebagaitujuan sehingga keadilan dan manfaat kemasyarakatan tidak tercapai.

4. Penemuan Hukum Modern

Pada aliran ini, yang menjadi titik tolak bukan pada sistem perundang-undangan, tetapi masalah kemasyarakatan konkret yang harus dipecahkan. Tujuan pembentuk Undang-Undang dapat digeser, dikoreksi, tetapi tidak boleh diabaikan.

Keempat aliran yang melandasi dalam hal terjadinya penemuan hukum, terkait dengan tulisan ilmiah ini penulis mengasumsikan bahwa aliran yang paling penting digunakan adalah penemuan hukum modern. Hal tersebut dikarenakan dalam aliran hukum modern, tidak hanya berpatokan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku saja akan tetapi -melihat pada kenyataan yang ada bahwa adanya Undang-Undang yang mengatur tindak pidana illegal loging, belum mampu memberikan kepastian hukum dalam hal penjatuhan pidana terhadap pelakunya baik pribadi maupun badan hukum/korporasi. Untuk itu diharapkan pembuat Undang-Undang merancang dan menetapkan aturan yang baru dengan tujuan memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat.

Terjadinya kerusakan hutan di Indonesia hampir dapat dipastikan 70 sampai 80 persen merupakan akibat dari perbuatan manusia, oleh karena itu pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan hukum agar dapat memberantas atau setidaknya meminimalisir kerusakan hutan yang diakibatkanoleh perbuatan manusia. Kebijakan hukum yang dimaksud adalah

kebijakan hukum pidana. Menurut Barda Nawawi Arief, masalah kebijakan hukum pidana pada hakikatnya bukanlah semata-mata menggunakan teknik perundang-undangan yang dilakukan secara yuridis normatif dan sistematif dogmatik. Disamping pendekatan yuridis faktual juga dapat berupa pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin ilmu sosial lainnya serta pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya.16 Barda mengemukakan pola hubungan antara kebijakan hukum pidana (penal policy) dengan upaya penanggulangan kejahatan, bahwa pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan pendekatan integral dan ada keseimbangan antara penal dan non penal. Pencegahan dan pendekatan kejahatan dengan sarana penal merupakan penal policy atau Penal Law Enforcement Policy, yang fungsionalisasinya melalui beberapa tahap seperti tahap Formulasi (kebijakan legislatif), Aplikasi (kebijakan yudikatif) dan Eksekusi (kebijakan Administratif). Sedangkan upaya non penal dapat ditempuh dengan upaya preventif, berupa pendekatan agama, budaya, moral dan edukatif.

1.7 METODE PENELITIAN

a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah penelitian yuridis normatif atau sering disebut dengan penelitian hukum doktrinal, yaitu penelitian yang objek kajiannya adalah dokumen peraturan perundang-undangan dan bahan pustaka17. Penelitian ini dimulai dengan adanya kesenjangan norma hukum, yakni terdapat norma yang kabur atau tidak jelas. Sampai saat ini Undang-Undang yang digunakan sebagai dasar hukum dalam tindak pidana illegal logging belum mampu memberikan kepastian hukum atas sanksi pidana yang

16

Barda Nawawi Arief, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 23.

17

dijatuhkan pada korporasi sebagai pelaku illegal logging bahkan belum ada definisi khusus mengenai illegal logging itu sendiri. Padahal pengertian ini sangat penting untuk memberikan batasan terhadap tindakan-tindakan apa yang termasuk dalam lingkup illegal logging. Praktik illegal logging biasanya dikaitkan dengan UU Kehutanan, namun kelemahan Undang-Undang tersebut yakni tidak menyebutkan korporasi sebagai subjek hukum melainkan hanya perseorangan.

b. Jenis Pendekatan

Dalam penelitian ini, jenis pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Perundang-Undangan (The Statute Approach) dan Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Approach). Pendekatan Perundang-Undangan digunakan dengan mengumpulkan peraturan Perundang-Undangan yang menjadi fokus penelitian. Selanjutnya akan diklasifikasikan berdasarkan kronologis dari bagian-bagian yang diatur oleh peraturan tersebut, kemudian akan dianalisis dengan menggunakan pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum, yang mencakup : subjek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum dan objek hukum. Hal yang dianalisis hanyalah pasal-pasal yang isinya mengandung kaidah hukum, kemudian dilakukan konstruksi dengan caramemasukkanpasal-pasaltertentukedalamkategori-kategoriberdasarkan pengertian dasar dari sistem hukum tersebut.18 Sedangkan pendekatan konsep dilakukan dengan cara mengutip pendapat para sarjana yang terdapat dalam buku-buku atau literatur penunjang yang digunakan dalam penelitian ini.

c. Bahan Hukum

Data yang diperoleh dan diolah dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari narasumber kepustakaan, terdiri dari :

18

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif artinyamempunyaiotoritas.19Penelitianinimengkajiketentuan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1985 Tentang Perlindungan Hutan, serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP)dalamhalpemberantasantindakpidanaillegal logging.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, meliputi:

- buku-buku hukum atau literatur penunjang yang menjelaskan mengenai tindak pidana illegal logging, literatur mengenai kehutanan, literatur mengenai tindak pidana khusus dan lainnya berkaitan dengan pokok permasalahan yang akan dibahas.

- Pendapat dan tulisan para sarjana atau para ahli hukum yang termuat dalam media massa berupa karya tulis maupun jurnal hukum berkaitan dengan pokok permasalahan yang akan dibahas.

- Kamus hukum. - Internet.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya, yaitu RUU KUHP (Rancangan Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

19

d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan cara menggali kerangka normatif (melakukan kajian terhadap perundang-undangan) menggunakan bahan hukum sebagai penunjang yang membahas teori-teori hukum terkait dengan permasalahan yang ada dengan cara membaca, meneliti dan mencatat.

e.Teknik Analisis

Pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum untuk permasalahan yang bersifat konkret yang sedang dihadapi. Selanjutnya bahan hukum yang telah ada akan dianalisis untuk melihat bagaimana ketentuan hukum yang digunakantersebut mengatur mengenai tindak pidana illegal logging serta bagaimana pengaturan maupun pemidanaannya apabila subjek hukum yang melakukan perbuatan hukum tersebut bukanlah perseorangan melainkan atas nama korporasi, sehingga dapat membantu untuk menjadi acuan dan bahan pertimbangan hukum guna memberikan solusi bagaimana seharusnya ketentuan hukum di Indonesia terkait illegal logging dapat menjamin suatu ketertiban.

BAB II

TINJAUAN UMUMTENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

Dokumen terkait