• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENCEGAHAN OBESITAS PADA ANAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENCEGAHAN OBESITAS PADA ANAK"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

PENCEGAHAN OBESITAS PADA ANAK

oleh

dr. I Wayan Surudarma, M.Si.

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan rahmat-Nya maka penyusun dapat menyelesaikan tulisan yang berjudul “Pencegahan obesitas pada Anak”. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan semua pihak yang membantu terselesaikannya tulisan ini yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu. Kami menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih kurang dari sempurna, karena itu kami mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan tulisan ini.

Semoga karya ini dapat berguna dan memberi manfaat serta memenuhi harapan para pembaca yang selalu haus akan ilmu, khususnya ilmu kedokteran.

Denpasar, Januari 2019

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….. ..i

DAFTAR ISI………...ii PENDAHULUAN………...1 TINJAUAN PUSTAKA….………. 4 2.1. Definisi obesitas………. 4 2.2. Epidemiologi ………. 4 2.3. Etiologi ………. 6 2.4. Patofisiologi ……… 9 2.5. Manifestasi Klinis ……….. 12

2.6. Penilaian Status Gizi ………... 12

2.7. Komplikasi ………. 13

2.8. Faktor Penyebab ………. .. 15

2.9. Aktifitas Fisik………. 16

2.10 Faktor lain……….. 17

2.11 Gejala klinis dan dampak social……… 18

2.12 Pencegahan obesitas pada anak……… 21

KESIMPULAN……….. 25

(4)

PENDAHULUAN

Kelebihan berat badan dan obesitas di Indonesia terjadi pada semua kelompok umur dan pada semua strata sosial ekonomi. Pada anak sekolah, kejadian kelebihan berat badan dan obesitas merupakan masalah yang serius karena dapat berlanjut hingga usia dewasa (KKRI, 2012; Mistry dan Puthussery, 2015). Obesitas merupakan salah satu masalah beban ganda yang dihadapi Indonesia selain kekurangan nutrisi. Adanya ketimpangan pendapatan yang menyertai pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat memperburuk beban ganda yang dihadapi Indonesia (Hanandita dan Tampubolon, 2015).

Prevalensi obesitas di seluruh dunia meningkat dua kali lipat antara tahun 1980 sampai 2014. Pada tahun 2014 lebih dari 1,9 miliar orang dewasa usia 18 tahun atau lebih mengalami kelebihan berat badan. Dari jumlah tersebut lebih dari 600 juta mengalami obesitas. Secara keseluruhan, sekitar 13% populasi dewasa di dunia (11% laki-laki dan 15% perempuan) yang mengalami obesitas dan 39% dari orang dewasa berusia 18 tahun ke atas (38% pria dan 40% wanita) mengalami kelebihan berat badan (Who.int, 2015).

Tahun 2013, 42 juta anak-anak di bawah usia 5 mengalamai kelebihan berat badan atau obesitas. Di negara-negara berkembang tingkat kenaikan kelebihan berat badan dan obesitas pada kanak-kanak sudah lebih dari 30% lebih tinggi dari negara-negara maju (Who.int, 2015). Di Indonesia Secara nasional masalah gemuk pada anak umur 5-12 tahun masih tinggi yaitu 18,8 %. Di Bali prevalensi kelebihan yaitu 12,6% dan obesitas yaitu 8,5% (Riskesdas, 2013).

(5)

Kelebihan berat badan dan besitas merupakan akumulasi lemak yang tidak normal yang dapat mengganggu kesehatan (Who.int, 2015). Obesitas merupakan keadaan patologis sebagai akibat dari konsumsi makanan yang jauh melebihi kebutuhannya sehingga terdapat penimbunan lemak yang berlebihan dari apa yang diperlukan untuk fungsi tubuh (Soetjiningsih, 1995). Asupan energi diperoleh dari makanan tinggi kalori sedangkan rendahnya pengeluaran energi dapat disebabkan oleh kurangnya akifitas fisik (KKRI, 2012).

Penyebab obesitas pada anak belum sepenuhnya diketahui. Diduga obesitas pada anak disebabkan adanya interaksi antara faktor genetik dan faktor nongenetik. Faktor genetik diantaranya salah satu atau kedua orang tua yang mengalami obesitas, memiliki kemungkinan anaknya juga mengalami obesitas (Hidayati et al, 2006; Soetjiningsih, 1995; Mistry dan Puthussery, 2015; Bhuiyan, Zaman dan Ahmed, 2013). Faktor nongenetik diantaranya kurangnya aktifitas fisik seperti, terlalu lama menonton televisi atau bermain game, nutrisi yang berlebihan, dan sosial ekonomi. Faktor sosial ekonomi seperti gaya hidup seperti, pola makan, pendapatan orang tua, tingkat pendidikan orang tua mempengaruhi terjadinya kelebihan berat badan dan obesitas pada anak (Sihadi, 2012; Hidayati et al, 2006).

Pola makan seperti makan dengan jumlah yang besar, makanan tinggi energi seperti tinggi lemak, tinggi karbohidrat dan salah dalam memilih makanan seperti junk food, makanan dalam kemasan dan minuman ringan (Sihadi, 2012; Payab et al., 2015). Kurangnya aktifitas fisik seperti olah raga dan tingginya gaya hidup tidak aktif yang disebabkan oleh adanya berbagai media hiburan seperti

(6)

televisi, playstation, komputer, gedget dan sebagainya (Sihadi, 2012; KKRI, 2012; Mistry dan Puthussery, 2015).

Dampak kelebihan berat dan obesitas pada anak lebih ringan dibandingkan kelebihan berat badan dan obesitas pada orang dewasa (Sihadi, 2012). Kelebihan berat badan dan obesitas pada anak dapat menyababkan terjadinya komplikasi seperti adanya gangguan pernapasan, penyakit kulit, efek psikologis seperti gangguan dalam pergaulan, gangguan ortopedi yang berakibat terjadinya gangguan beraktivitas (Soetjiningsih, 1995). Kelebihan berat badan dan obesitas pada anak bila tidak ditangani dengan baik dapat berlanjut menjadi kelebihan berat badan dan obesitas pada dewasa. Kelebihan berat badan dan obesitas pada dewasa seperti meningkatkan risiko diabetes millitus, penyakit jantung koroner, hipertensi, dan hiperlipidemia (Sihadi, 2012; Ariani dan Tembiring, 2007; Soetjiningsih, 1995; Kliegman, n.d).

(7)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Obesitas

Kelebihan berat badan dan besitas merupakan penumpukan lemak yang tidak normal atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. (Who.int, 2015) Obesitas terjadi bila terjadi pertambahan jumlah sel lemak dan pertambahan ukuran sel lemak (Sugondo,S.,2009). Obesitas disebabkan oleh pemasukan jumlah makan yang lebih besar dari pada pemakaiannya oleh tubuh sebagai energi. Energi yang berlebihan akan disimpan dalam jaringan adiposa. (Hall dan Guyton, n.d.)

Gambar 1 Obesitas pada anak

2.2 Epidemiologi

Obesitas merupakan akumulasi penumpukan lemak yang tidak normal yang dapat mengganggu kesehatan. Pada tahun 2014 lebih dari 1,9 miliar orang dewasa usia 18 tahun atau lebih mengalami kelebihan berat badan. Prevalensi

(8)

obesitas di seluruh dunia meningkat dua kali lipat antara tahun 1980 dan 2014. Dari jumlah tersebut lebih dari 600 juta mengalami obesitas. Secara keseluruhan, sekitar 13% dari populasi dewasa di dunia (11% laki-laki dan 15% perempuan) yang mengalami obesitas dan 39% dari orang dewasa berusia 18 tahun ke atas (38% pria dan 40% wanita) mengalami kelebihan berat badan. (Who.int, 2015)

Tahun 2013, 42 juta anak-anak di bawah usia 5 mengalamai kelebihan berat badan atau obesitas. Sebelumnya telah diketahui kelebihan berat badan dan obesitas merupakan masalah bagi negara yang berpenghasilan tinggi, kelebihan berat badan dan obesitas sekarang meningkat di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, terutama di perkotaan. Di negara-negara berkembang tingkat kenaikan kelebihan berat badan dan obesitas pada kanak-kanak sudah lebih dari 30% lebih tinggi dari negara-negara maju(Who.int, 2015).

Di Indonesia Secara nasional masalah gemuk pada anak umur 5-12 tahun masih tinggi yaitu 18,8 persen, terdiri dari gemuk 10,8 persen dan sangat gemuk (obesitas) 8,8 persen. Prevalensi gemuk terendah di Nusa Tenggara Timur (8,7%) dan tertinggi di DKI Jakarta (30,1%). Sebanyak 15 provinsi dengan prevalensi sangat gemuk diatas nasional, yaitu Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Banten, Kalimantan Timur, Bali, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Jambi, Papua, Bengkulu, Bangka Belitung, Lampung dan DKI Jakarta. Tahun 2013 sebesar 0,6 persen balita di Bali mengalami gizi lebih. Di Bali prevalensi kelebihan yaitu 12,6% dan obesitas yaitu 8,5% (Riskesdas, 2013).

(9)

Gambar 2. Epidemiologi obesitas di dunia tahun 2013

2.3 Etiologi

Kelebihan berat badan dan besitas terjadi karena ketidakseimbangan asupan energi antara pengeluaran energi. Obesitas adalah hasil dari interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik menentukan habitus tubuh, napsu makan, pemasukan energi, aktivitas fisik, dan pengeluaran

(10)

energi. Faktor lingkungan menentukan tingkat ketersediaan makanan, pilihan jenis makanan, tingkat aktivitas fisik dan untuk jenis aktivitas fisik (Kliegman, n.d.).

Perubahan lingkungan seperti adanya industri makanan menyebabkan semakin sedikitnya keluarga yang menyiapkan makanannya sendiri. Industri makanan menyediakan makanan dengan kalori tinggi, karbohidrat sederhana, dan lemak. Banyaknnya anak yang senang mengkonsumsi makanan ini meningkatkan risiko terjadinya obesitas. Tingginya konsumsi minuman yang tinggi karbohidrat seperti minuman bersoda, minuman berenergi, dan sari buah menambah faktor ini (Kliegman, n.d.).

Tingkat aktivitas fisik pada anak dan dewasa disebabkan oleh banyaknya kendaraan dan berkuranganya minat untuk berjalan kaki. Televisi, komputer, video games, dan media hiburan lainnya menyebabkan anak kurang melakukan aktivitas fisik ditambah lagi dengan persepsi kurang amannya lingkungan menyebabkan anak untuk tetap diam di dalam rumah (Kliegman, n.d.).

Penurunan waktu tidur pada anak-anak dan dewasa meningkatkan risiko terjadinya obesitas, dengan dampak yang mungkin lebih besar pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa. Penurunan waktu tidur berhubungan dengan penurunan tingkat leptin dan peningkatan ghrelin yang menyebabkan peningkatan rasa lapar (Kliegman, n.d.).

Faktor genetik seperti mutasi beberapa gen berhubungan dengan obesitas gen Lep (ob), LepR (db), POMC, MCR4R, PC-1, dan TrkB dapat menyebabkan obesitas. Sindrom genetik yang mempunyai asosiasi dengan obesitas pada anak-anak diantaranya, sindrom Prader-Willi, Pseudohypoparathyroidism, Sindrom

(11)

Laurence-Moon-Biedl (Bardet-Biedl), Sindrom Cohen, Sindrom Down, Sindrom Turner (Jameson dan Harrison, 2013; Kliegman, n.d.).

Gambar 3. Faktor resiko Oesitas pada anak

Faktor endokrin dan neurofisiologi yaitu penurunan tingkat leptin dan peningkatan ghrelin yang menyebabkan peningkatan rasa lapar juga dapat menyebabkan terjadinya obesitas pada anak anak-anak dan dewasa. Hormon pencernaan, termasuk cholecystokinin, GLP-1, peptida YY, dan umpan balik dari neuronal vagal mendorong rasa kenyang, sedangkan ghrelin merangsang nafsu

(12)

makan. Jaringan adiposa memberikan umpan balik mengenai tingkat penyimpanan energi ke otak melalui rilis hormon adiponektin dan leptin (Kliegman, n.d).

2.4 Patofisiologi

Obesitas terjadi akibat ketidakseimbangan masukan dan keluaran kalori dari tubuh serta penurunan aktifitas fisik (sedentary life style) yang menyebabkan penumpukan lemak di sejumlah bagian tubuh (Rosen, 2008). Penelitian yang dilakukan menemukan bahwa pengontrolan nafsu makan dan tingkat kekenyangan seseorang diatur oleh mekanisme neural dan humoral (neurohumoral) yang dipengaruhi oleh genetik, nutrisi,lingkungan, dan sinyal psikologis. Pengaturan keseimbangan energi diperankan oleh hipotalamus melalui 3 proses fisiologis, yaitu pengendalian rasa lapar dan kenyang, mempengaruhi laju pengeluaran energi dan regulasi sekresi hormon. Proses dalam pengaturan penyimpanan energi ini terjadi melalui sinyal-sinyal eferen (yang berpusat di hipotalamus) setelah mendapatkan sinyal aferen dari perifer (jaringan adiposa, usus dan jaringan otot).

Sinyal-sinyal tersebut bersifat anabolik (meningkatkan rasa lapar serta menurunkan pengeluaran energi) dan dapat pula bersifat katabolik (anoreksia, meningkatkan pengeluaran energi) dan dibagi menjadi 2 kategori, yaitu sinyal pendek dan sinyal panjang. Sinyal pendek mempengaruhi porsi makan dan waktu makan, serta berhubungan dengan faktor distensi lambung dan peptida gastrointestinal, yang diperankan oleh kolesistokinin (CCK) sebagai stimulator dalam peningkatan rasa lapar. Sinyal panjang diperankan oleh fat-derived

(13)

hormon leptin dan insulin yang mengatur penyimpanan dan keseimbangan energi (Sherwood, 2012).

Gambar 2.1. Patofisiologi Keseimbangan Energi (Sumber: Kumar V, Abbas AK, FaustoN, Aster JC. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. Edisi VIII, 2009).

Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka jaringan adiposa meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin dalam peredaran darah. Kemudian, leptin merangsang anorexigenic center di hipotalamus agar menurunkan produksi Neuro Peptida Y (NPY) sehingga terjadi penurunan nafsu makan. Demikian pula sebaliknya bila kebutuhan energi lebih besar dari asupan energi, maka jaringan adiposa berkurang dan terjadi rangsangan pada orexigenic

(14)

center di hipotalamus yang menyebabkan peningkatan nafsu makan. Pada sebagian besar penderita obesitas terjadi resistensi leptin, sehingga tingginya kadar leptin tidak menyebabkan penurunan nafsu makan (Jeffrey, 2009).

Obesitas terjadi bila asupan energi lebih besar dari pengeluaran energi. Asupan energi berlebih akan disimpan di jaringan lemak. Menurut jumlah sel lemak, obesitas dapat terjadi karena hipertrofi sel lemak dan atau hiperplasia sel lemak. Penambahan dan pembesaran sel lemak paling cepat pada masa tahun pertama kehidupan dan mencapai puncaknya pada masa meningkat dewasa. Setelah masa dewasa, tidak akan terjadi hiperplasia sel lemak, tetapi hanya terjadi hipertrofi sel lemak. Obesitas yang terjadi pada masa anak-anak selain terjadi hipertrofi sel lemak juga terjadi hiperplasia sel lemak (Jameson dan Harrison, 2013; Soetjiningsih, 1995).

Sebuah konsep "set point" berat badan yang didukung oleh mekanisme fisiologis berpusat di sekitar sistem penginderaan dalam jaringan adiposa yang mencerminkan cadangan lemak dan reseptor, atau "adipostat," yang ada di pusat hipotalamus. Ketika simpanan lemak berkurang, sinyal adipostat rendah, dan hipotalamus merespon dengan merangsang rasa lapar dan penurunan pengeluaran energi untuk menghemat energi. Sebaliknya, ketika penyimpanan lemak berlimpah, sinyal meningkat, dan hipotalamus merespon dengan menurunkan rasa lapar dan meningkatkan pengeluaran energi (Jameson dan Harrison, 2013).

(15)

2.5 Manifestasi Klinis

Anak obesitas memiliki berat badan lebih yang lebih tinggi dari anak seusianya. Anak obesitas akan mencapai masa pubertas lebih capat. Hal ini menyebabkan tidak hanya memiiki berat badan yang lebih tinggi tetapi juga pematangan tulang anak obesitas lebih cepat dari anak seusianya. Pertumbuhan anak obesitas lebih cepat dari anak seusianya dan pertumbuhan tingginya lebih cepat selesai. Ini menyebabkan anak obesitas relatif lebih tinggi pada masa remaja awal dan akhirnya memiliki tinggi badan yang relatif lebih pendek dari anak sebayanya (Soetjiningsih, 1995).

Anak obesitas memiliki bentuk muka yang tidak proporsional, hidung dan mulut relatif kecil dan memiliki dagu ganda. Terdapat timbunan lamak pada daerah lengan atas, payudara, perut, dan paha. Timbunan lemak ini menyebabkan payudara anak obesitas laki-laki terlihat tumbuh, penis terlihat kecil, dan jari-jari terlihat kecil dan runcing. Pada beberapa bagian tubuh terdapat striae (Soetjiningsih, 1995).

2.6 Penilaian Status Gizi

Obesitas atau peningkatan adipositas didefinisikan menggunakan indeks massa tubuh (IMT), yang merupakan indikator yang sangat baik untuk pengukuran lebih langsung dari lemak tubuh. IMT = berat badan dalam kg / (tinggi dalam meter) 2. Orang dewasa dengan IMT ≥30 memenuhi kriteria untuk obesitas, dan orang-orang dengan IMT 25-30 jatuh di kisaran kelebihan berat badan (Kliegman, n.d.). Menurut WHO, kriteria IMT untuk Asia IMT = 23-24,9

(16)

termasuk dalam kriteria kelebihan berat badan, IMT = 25-29,9 termasuk dalam kriteria obesitas tipe 1 dan IMT ≥ 30 termasuk kriteriadalam kriteria obesitas tipe 2 (Lancet, 2004).

Selama masa kanak-kanak, tingkat perubahan lemak tubuh dimulai dengan adipositas tinggi selama masa bayi. Kadar lemak tubuh menurun sekitar 5,5 tahun sampai periode yang disebut adipositas Rebound, ketika lemak tubuh biasanya pada tingkat terendah. Adipositas kemudian meningkat sampai awal masa dewasa (Kliegman, n.d.). Obesitas dan kelebihan berat badan pada anak umur 5-19 tahun dapat menggunakan indeks masa Tubuh menurut umur (BB/U). Anak dikatakann obesitas badan bila IMT/U > +2 SD anak dikatakan kelebihan berat bila IMT/U > +1SD, anak dikatakan kurus IMT/U < -2 SD, dan anak dikatakan sangat kurus bila IMT/U < -3 SD (Who.int, 2016).

2.7 Komplikasi

Obesitas yang muncul pada anak dan remaja meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas pada usia dewasa muda dan dapat berlajut menjadi obesias pada usia dewasa (Juonala et al., 2011; Mistry dan Puthussery, 2015). Obesitas pada anak menjadi faktor risiko beberapa penyakit seperti kardiovaskular, diabetes mellitus tipe 2, hipertensi, hiperlipidemia, non alcoholic fatty liver disease (NAFLD), pubertas dini, haid yang tidak teratur dan sindrom ovarium polikistik, steatohepatitis, sleep apnea, asma, gangguan muskuloskeletal, dan masalah psikologi seperti depresi (Kliegman, n.d; Soetjiningsih, 1995; Lakshman, Elks and Ong, 2012; Mistry dan Puthussery, 2015)

(17)

Resistensi insulin meningkat seiring dengan meningkatnya jaringan adiposa dan secara tidak langsung memiliki efek terhadap metabolise lipid dan kesehatan kadiovaskular. NAFLD terjadi 10-25% remaja obesitas. NAFLD dapat muncul dengan fibrosis berat atau steatohepatitis alkohol dan dapat menyebabkan sirosis dan karsinoma hepatoseluler. NAFLD berkaitan secara tidak langsung dengan penyakit kardiovaskular (Kliegman, n.d). Anak obesitas memiiki risiko tinggi mengalami prediabetes, dislipidemia, steatosis hati, dan hipertensi. Anak laki-laki cenderung memiliki profil risiko metabolisme dan kardiovaskular yang lebih buruk dan komorbiditas yang lebih tinggi dibandingkan anak perempuan (Dalla Valle et al., 2015).

(18)

Beberapa komplikasi mekanik dari obesitas seperti obstructive sleep apnea dan gangguan orthopedi. Komplikasi orthopedi termasuk penyakit Blount dan

slipped femoral capital epiphysis. Komplikasi psikologikal pada anak obesitas

seperti ansietas, depresi, kurang percaya diri, tanda-tanda depresi, memburuknya prestasi sekolah, isolasi sosial, masalah dengan intimidasi atau ditindas (Kliegman, n.d; Chung, Chiou dan Chen, 2015).

2.8 Pola Makan

Pola makan anak seperti sering mengkonsumsi makanan yang tinggi kalori dan rendah nutrien memiliki hubungan dengan terjadinya kelebihan berat badan dan obesitas. Dari lima studi empat diantaranya menunjukkan hubungan yang positif antara mengkonsumsi makanan tinggi kalori seperti makanan cepat /junk

food dan terjadinya kelebihan berat badan atau obesitas (Mistry dan Puthussery,

2015; Payab et al., 2015).

Peningkatan konsumsi camilan pada anak seperti karbohidrat olahan (gula, tepung putih, dan lemak jenuh) meningkatkan terjadinya obesitas dan penyakit kronik lainnya. Konsumi makanan manis seperti kue, cokelat, dan permen memiliki hubungan yang signifikan dengan terjadinya obesitas dan obesitas abdominal. Anak yang jarang mengkonsumsi junk food atau makanan cepat saji seperti hot dogs,hamburgers, cheeseburgers, fried chicken, and pizza memiliki risiko obesitas general dua puluh lima persen lebih rendah dan sembilan belas persen lebih rendah dari pada anak yang mengkonsumsi makanan cepat saji setiap hari. Anak yang jarang mengkonsumsi minuman manis seperti soda dan minuman

(19)

ringan memiliki risiko obesitas general 15% lebih rendan dari pada anak yang mengkonsumsi minuman manis seiap hari (Payab et al., 2015).

Gambar. Makan fast food anak obesitas.

2.9 Aktifitas Fisik

Aktifitas fisik merupakan salah satu pengeluaran energi (Kliegman, n.d). Tingakat aktivitas fisik yang rendah dapat menurunkan pengeluaran energi sehingga energi akan disimpan dalam jaringan lemak (Kliegman, n.d.; Hall dan Guyton, n.d.). Rendahnya aktivitas fisik dan tingginya perilaku menetap berhubungan dengan tingginya persentil indeks masa tubuh. Temuan ini secara umum disepakati dengan ulasan penelitian obesitas pada anak yang menyimpulkan rendahnya aktivitas fisik dan perilaku menetap merupakan faktor risiko terjadinya obesitas pada anak (Carlson et al., 2012). Aktivitas fisik secara independen berhubungan dengan indeks adipositas. Anak yang kurang aktif dalam

(20)

melakukan aktifitas fisik lebih cenderung mengalami obesitas (Chaput et al., 2012).

Anak yang mengaami kelebihan berat badan dan obesitas cenderung memiliki level aktivitas fisik yang rendah dan diikuti dengan peningkatan level perilaku menetap. Aktivitas fisik memiliki hubungan negatif yang kuat terhadap dan obesitas pada anak laki dan perempuan. Aktivitas fisik berbanding terbalik dengan komposisi tubuh anak laki-laki, tetapi tidak untuk anak perempuan. Pada anak laki-laki waktu di depan layar dan aktivitas fisik berbanding lurus dengan risiko kelebihan berat badan, tetapi pada anak perempuan aktivitas fisik memiliki hubungan yang lebih kuat dengan kelebihan berat badan (Prentice-Dunn dan Prentice-Dunn, 2012).

(21)

Penelitian review sistematis Mistry dan Puthussery (2015) menemukan dari delapan studi enam diantaranya menunjukan hubungan positif anatara aktivitas fisik dan kelebihan berat badan atau obesitas. Contoh kegiatan fisik termasuk olahraga (berjalan cepat, berenang, berjalan, jogging, ras berjalan, dan aerobik) dan permainan luar ruangan (bola voli, sepak bola, kriket, bulu tangkis, dan tenis lapangan). Durasi kegiatan berkisar dari kurang dari 2 jam per minggu sampai kurang dari 30 menit per hari. Meskipun, dua studi tidak menemukan korelasi positif yang signifikan antara aktivitas fisik dan berat berlebih atau obesitas, satu studi menemukan kegiatan di rumah seperti olahraga teratur untuk menitper hari sebagai faktor protektif terhadap kelebihan berat badan atau obesitas (Mistry dan Puthussery, 2015).

Perilaku menetap meningkatkan risiko terjadinya obesitas. Perilaku menetap seperti waktu di depan layar seperti menonton televisi, menonton DVD,

video games, dan bermain gadget kurang dari dua jam sehari merupakan tindakan

untuk mencegah terjadinya obesitas. Banyak penelitian telah menemukan bahwa peningkatan waktu di depan layar yaitu lebih dari dua jam sehari berkorelasi dengan peningkatan massa tubuh. Beberapa studi telah menemukan perilaku menetap merupakan faktor risiko independen terhadap obesitas (Prentice-Dunn dan Prentice-Dunn, 2012). Perilaku menetap lebih dari empat jam per hari memiliki hubungan positif dengan kelebihan berat badan atau obesitas. Anak yang menghabiskan waktunya lebih dari empat jam untuk kegiatan menetap setiap hari dua kali lebih besar kemungkinan kelebihan berat badan atau obesitas dibandingkan anak-anak yang menghabiskan lebih sedikit waktu pada kegiatan

(22)

menetap (Bhuiyan, Zaman dan Ahmed, 2013). Menonton televisi selama berjam-jam juga cenderung mendorong anak untuk ngemil makanan yang berkalori tinggi. Iklan yang ditampilkan di televisi seperti iklan minuman ringan yang tidak sehat dan makanan padat energi juga akan mendorong anak untuk ngemil makanan yang berkalori tinggi (Mistry dan Puthussery, 2015; Payab et al., 2015).

Gambar. Menonton TV sambil makan.

2.10 Faktor Lain

Orang tua obesitas memiliki peran dalam terjadinya obesitas pada anak. Salah satu dari orang tua kelebihan berat badan atau obesitas, anaknya tiga kali lebih besar kemungkinan mengalami kelebihan berat badan atau obesitas dari pada orang tua yang tidak kelebihan berat badan atau obesitas (Bhuiyan, Zaman dan Ahmed, 2013). Anak obesitas lima puluh persen memiliki riwayat keluarga kelebihan berat badan atau obesitas (Mistry dan Puthussery, 2015).

(23)

Enam studi yang dilakukan di Asia Selatan empat diantaranya menemukan hubungan positif antara status sosial ekonomi dan terjadinya kelebihan berat badan dan obesitas pada anak. Status sosial ekonomi di tentukan melalui tempat tinggal (perkotaan/pedesaan), biaya pendidikan per bulan, riwayat pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, kekayaan menggunakan status sosial demografi, stratifikasi sosial ekonomi, dan pengeluaran keluarga per bulan. Satu studi menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja dengan sosial ekonomi yang lebih tinggi dan tinggal di perkotaan delapan belas kali lebih mungkin untuk menjadi kelebihan berat badan atau obesitas dibandingkan dengan sosial ekonomi rendah dan tinggal di pedesaan. Status sosial ekonomi yang lebih tinggi di negara berkembang merupakan faktor penyapihan dini pemberian ASI dan memberikan pengganti ASI. Pemberian ASI yang panjang berkaitan dengan penurunan adipositas pada masa kanak-kanak kemudian (Mistry dan Puthussery, 2015).

2.10 Gejala Klinis dan Dampak Sosial

Obesitas dapat terjadi pada usia berapa saja, tetapi yang tersering pada tahun pertama kehidupan, usia 5-6 tahun, dan pada masa remaja. Anak-anak yang obesitas tidak hanya lebih berat dari anak-anak seusianya, tetapi juga lebih cepat matang pertumbuhan tulangnya. Anak-anak yang obesitas relatif lebih tinggi pada masa remaja awal, tetapi pertumbuhan memanjangnya selesai lebih cepat, sehingga hasil akhirnya memunyai tinggi badan relatif lebih pendek dari anak sebayanya.

(24)

Bentuk muka anak-anak yang obesitas tidak proporsional, hidung dan mulut relatif kecil, dagu ganda. Terdapat timbunan lemakpada daerah payudara, dimana pada anak-anaklaki sering merasa malu karena payudaranyaseolah-olah tumbuh. Alat kelamin pada anakanak laki seolah-olah kecil, karena adanyatimbunan lemak pada daerah pangkal paha. Paha dan lengan atas jauh lebih besar, jari-jaritangan relatif kecil dan runcing. Pada penderita obesitas sering terjadi gangguan psikologis, baik sebagai penyebab ataupun sebagai akibat dari obesitasnya. Anak juga lebih cepat mencapai masa pubertas dimana kematangan seksual lebih cepat seperti pertumbuhan payudara, pertumbuhan rambut pada kelamin dan ketiak.

2.11 Cara Mencegah obesitas pada anak-anak

Menerapkan Hidup Sehat

Hidup sehat dimulai dari keluarga. Inilah yang harus diingat setiap kali memberikan asupan pada anak. Masa tumbuh kembang anak dimulai dari usia 0 – 13 tahun, sehingga usia ini menjadi penentu kesehatan mereka di masa yang akan datang. Di usia ini pula mereka akan lebih cepat tumbuh dibandingkan usia remaja dan faktor hormonalnya mudah berubah. Oleh karena itu wajib menyediakan menu sayuran dan buah-buahan di rumah, serta kurangi asupan makanan berlemak tinggi.

(25)

Atur Pola Makan

Pola makan yang teratur dapat menghindari obesitas pada anak. Sebaiknya menerapkan pola makan 3 kali sehari dalam porsi yang cukup. Porsi makan anak tidak bisa disamakan dengan orang dewasa. Kurangi jumlah karbohidrat yang terlalu tinggi dan perbanyak asupan proteinnya. “Children's portion sizes should

be smaller than those for adults. Cutting back on portion size will help you balance energy in and energy in,” ungkap sebuah penelitian dari National Heart,

Lung, and Blood Institute, Four Institutes from the National Institutes of Health.

Pintar Memilih Camilan

Jangan asal memilih camilan untukanak. Sebaiknya pilihlah snack yang rendah MSG atau bahan pengawet lainnya, karena makanan ini tidak sehat untuk perkembangan otak. Jatah makanan yang memiliki rasa manis dan kadar lemak tinggi, seperti permen, minuman ringan bersoda, dan cokelat. Bukan tidak boleh, namun batasi agar tak berlebihan. Sebagai penyeimbang, ganti camilan dengan buah, sayuran yang telah diolah, roti gandum, kentang, dan sebagainya. Buat kreasi makanan unik yang lezat namun menyehatkan agar anak tidak bosan dengan menu yangsama.

Beraktivitas Bersama

Jangan biasakan anak ketergantungan dengan kemajuan teknologi yang ada. Hal ini berpotensi besar membuat mereka malas, karena dibiasakan fokus pada layar smartphone atau laptop saja di kesehariannya. Perlu memberikan

(26)

aktivitas fisik padanya, seperti rutin mengajak mereka berolahraga lari pagi keliling perumahan atau menemani belanja ke swalayan. Saat weekend ajak mereka bermain sepeda, berenang, atau bermain di playground intinya kegiatan di luar ruangan.

Edukasi Anak

Berikan pengertian dan teguran kepada anak. Jelaskan dengan gaya bahasa yang mudah mereka mengerti tentang bahaya yang bisa terjadi jika terus-menerus makan tanpa kontrol yang baik. Berikan contoh penyebab serta penyakit yang bisa saja mereka alami tanpa terkesan menakut-nakuti. Hal ini baik untuk meningkatkan kesadaran dari dalam dirinya dan membuat mereka paham akan tujuan dari pola hidup sehat.

Batasi waktu bermain

Tanpa bermaksud melarang anak bermain, Glitzy Moms sebaiknya membuatkannya jam khusus untuk waktu bermain termasuk jenis permainan yang boleh dan tidak dilakukan. Ajak mereka melakukan permainan yang mampu melatih motoriknya sekaligus membuatnya tetap aktif bergerak. Hindari membiasakan anak untuk duduk manis di layar kaca untuk menonton atau bermain games sepanjang hari.

(27)

Bersikap Lebih Tegas

Anak yang di usia 5 tahun ke atas semakin sulit dikontrol khususnya saat memilih makanan di saat tidak ada di sampingnya. Sikap tegas perlu diterapkan saat melihat adanya perubahan bentuk badan yang signikan pada anak. apalagi jika dibandingkan dengan teman-teman seusianya. Ajarkan agar lebih disiplin menjalani hidup sehat, jangan lupa berikan edukasi yang baik.

(28)

KESIMPULAN

Obesitas dan kegemukan merupakan keadaan patologis sebagai akibat dari konsumsi makanan yang jauh melebihi kebutuhannya sehingga terdapat penimbunan lemak yang berlebihan dari apa yang diperlukan untuk fungsi tubuh dan dapat mengganggu kesehatan. Faktor risiko kelebihan berat badan dan obesitas antara lain faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor yang paling mempengaruhi adalah faktor seperti lingkungan aktifitas fisik, nutrisi, dan sosial ekonomi. Obesitas pada anak memberikan dampak buruk bagi tumbuh kembang anak. Dampak obesitas pada anak diantaranya memiliki kecenderuangan obesitas pada dewasa dan berpotensi menjadi penyakit metabolik dan penyakit degeneratif. Obesitas merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskuler, hipertensi, resistensi insulin, diabetes mellitus (DM) tipe 2, gangguan ortopedik, Obstruktive sleep

apnea. Kegemukan dan obesitas pada anak juga memiliki dampak pada

psikososial anak seperti terbatas dalam pergaulan, terbatas dalam aktifitas fisik. Penanganan kelebihan berat badan pada anak harus dilakukan secara komprehensif mulai dari pencegahan, intervensi pada anak dengan obesitas dan peran lingkungan terdekat sangat membantu.

Kontrol Rutin

Saat melihat perubahan fisik pada anak, lakukan kontrol berat badan secara berkala. Timbang berat badannya secara rutin, seminggu sekali misalnya. Bukan hanya berat badannya, Glitzy moms juga perlu mengecek tinggi badan anak. Tak menutup kemungkinan jika berat badan anak naik, lantaran tubuhnya semakin tinggi—dan ini adalah baik. Dengan begitu Anda pun tak salah dalam memberikan asupan gizi dan nutrisi padanya.

(29)

Riset Kesehatan Dasar. 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Ariani, A. and Tembiring, T. (2007). Prevalensi Obesitas pada Anak Sekolah Dasar di Kota Medan. Majalah Kedokteran Nusantara, 40(2), pp.86-89. Bhuiyan, M., Zaman, S. and Ahmed, T. (2013). Risk factors associated with

overweight and obesity among urban school children and adolescents in Bangladesh: a case–control study. BMC Pediatrics, 13(1), p.72.

Carlson, J., Crespo, N., Sallis, J., Patterson, R. and Elder, J. (2012). Dietary-Related and Physical Activity-Dietary-Related Predictors of Obesity in Children: A 2-Year Prospective Study. childhood Obesity, 8(2), pp.110-115.

Chaput, J., Lambert, M., Mathieu, M., Tremblay, M., O' Loughlin, J. and Tremblay, A. (2012). Physical activity vs. sedentary time: independent associations with adiposity in children. Pediatric Obesity, 7(3), pp.251-258. Chung, K., Chiou, H. and Chen, Y. (2015). Psychological and physiological

correlates of childhood obesity in Taiwan. Sci. Rep., 5, p.17439.

Cintari, L, Padmiari, I.A., and Utami, IGA. (2011). Perbedaan Kejadian Obesitas pada Anak Sekolah Berdasarkan Jenis Sarapan dan Faktor Keturunan. Skala

Husada, 8(2), pp.102-118.

Dalla Valle, M., Laatikainen, T., Kalliokoski, T., Nykänen, P. and Jääskeläinen, J. (2015). Childhood obesity in specialist care – searching for a healthy obese child. Annals of Medicine, 47(8), pp.639-654.

Hanandita, W. and Tampubolon, G. (2015). The double burden of malnutrition in Indonesia: Social determinants and geographical variations. SSM

-Population Health, 1, pp.16-25.

Hapsari IA, Putu YA, Luh SA, (2011).Gambaran Status Gizi Siswa SD Negeri 3

Peliatan Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. Denpasar: Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana. Available at:

http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/6695/5104. [Diakses 30 Desember 2015]

Hidayati S, Irawan R, Hidayat B, (2006). Obesitas Pada Anak. Surabaya : Divisi Nutrisi Dan Penyakit Metabolic Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair

Juonala, M., Magnussen, C., Berenson, G., Venn, A., Burns, T., Sabin, M., Srinivasan, S., Daniels, S., Davis, P., Chen, W., Sun, C., Cheung, M., Viikari, J., Dwyer, T. and Raitakari, O. (2011). Childhood Adiposity, Adult

(30)

Adiposity, and Cardiovascular Risk Factors. New England Journal of

Medicine, 365(20), pp.1876-1885.

KKRI, (2012). Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kegemukan dan

Obesitas pada Anak Sekolah. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Kliegman, R. (n.d.). Nelson textbook of pediatrics.

Lakshman, R., Elks, C. and Ong, K. (2012). Childhood Obesity. Circulation, 126(14), pp.1770-1779.

Lancet (2004). Appropriate body-mass index for Asian populations and its implications for policy and intervention strategies. The Lancet, 363(9403), pp.157-163.

Mistry, S. and Puthussery, S. (2015). Risk factors of overweight and obesity in childhood and adolescence in South Asian countries: a systematic review of the evidence. Public Health, 129(3), pp.200-209.

Payab, M., Kelishadi, R., Qorbani, M., Motlagh, M., Ranjbar, S., Ardalan, G., Zahedi, H., Chinian, M., Asayesh, H., Larijani, B. and Heshmat, R. (2015). Association of junk food consumption with high blood pressure and obesity in Iranian children and adolescents: the CASPIAN-IV Study. Jornal de

Pediatria, 91(2), pp.196-205.

Prentice-Dunn, H. and Prentice-Dunn, S. (2012). Physical activity, sedentary behavior, and childhood obesity: A review of cross-sectional studies.

Psychology, Health & Medicine, 17(3), pp.255-273.

Sastroasmoro, S. dan Ismael, S.(2011). Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta: Sagung Seto.

sihadi, (2012). Kelebihan Berat Badan pada Balita. CDK-196, 39(8).

Soetjiningsih,(1995), Tumbuh Kembang Anak, Jakarta :ECG.

Sugondo,S. (2009) Obesitas. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk (Editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-V. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI. P 439

Who.int, (2015). WHO | Obesity and overweight. [online] Available at: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs311/en/ [Accessed 1 Nov. 2015].

Who.int, (2016). WHO | BMI-for-age (5-19 years). [online] Available at: http://www.who.int/growthref/who2007_bmi_for_age/en/ [Accessed 20 Jan. 2016].

(31)

Gambar

Gambar 1 Obesitas pada anak
Gambar 2. Epidemiologi obesitas di dunia tahun 2013 2.3 Etiologi
Gambar 3. Faktor resiko Oesitas pada anak
Gambar  2.1.  Patofisiologi  Keseimbangan  Energi  (Sumber:  Kumar  V, Abbas AK, FaustoN, Aster JC

Referensi

Dokumen terkait

Uji Duncan menunjukkan bahwa produksi bahan kering hijauan sorgum yang dipanen 55 hari setelah tanam lebih tinggi dibanding dengan umur panen 35 hari setelah tanaman. Hal

Berikut perbedaan kapasitas trafik untuk area kecamatan Asemrowo. • Tahun 2014, perbedaan trafik bernilai positif yang artinya kebutuhan trafik pelanggan terpenuhi,

menginformasikan kepada masyarakat bahwa sampai di jaman modern ini masih ada orang-orang yang peduli dengan bangunan-bangunan peninggalan jaman Belanda yang berada

Dalam menyampaikan materi pelajaran, seorang guru harus benar-benar menguasai bahan ajar yang akan disampaikan, agar proses belajar mengajar tersebut dapat berjalan

Namun, dibalik kekurangan yang ada pada program DIKLATDAS yang telah dijalankan, menurut anggota yang pernah mengikuti DIKLATDAS mereka tetap merasa bahwa anggota

Akta Pendirian Badan Usaha dan perubahannya (apabila ada). Izin usaha sesuai yang dipersyaratkan dalam Dokumen Kualifikasi. Dan manajemennya tidak dalam pengawasan pengadilan,

Wellsin (2006) Iso-Britanniassa tekemässä tutkimuksessa, jossa kartoitettiin yleisön tietoisuutta zoonoosiriskistä Toxocara spp. aiheuttamana, vain 5,8 % tutkimukseen

Lakukan gaya bebas menyamping ke arah kiri dengan tarikan lengan kanan 2 kali dan lakukan gaya bebas telungkup dengan tarikan lengan kanan 2 kali, agar lebih jelas perhatikan