4 2.1 Definisi Ergonomi
Menurut beberapa pakar dalam tarwaka (2004, hal 6) secara umum definisi-definisi ergonomi yang ada membicarakan masalah-masalah hubungan antara manusia pekerja dengan tugas-tugas dan pekerjaannya serta desain dari objek yang digunakannya. Pada dasarnya kita boleh mengambil definisi ergonomi dari mana saja, namun demikian perlu kita sesuaikan dengan apa yang sedang kita kerjakan. Di bawah ini ditampilkan beberapa definisi ergonomi yang berhubungan dengan tugas, pekerjaan dan desain.
Ergonomics is the aplication of scientific information about human being (and scientific methods of acquiring such information) to the problems of design (Pheasant,1988).
Ergonomics is the study of human abilities and characteristics which affect the design of equipment, systems and job (Corlett & Clark, 1995)
Ergonomics is the ability to apply information regarding human characters, capacities, and limitation to the design of human tasks, machine system, living spaces, and environment so that people can live, work and play safely, comfortably and efficiently (Annis & McConville, 1996).
Ergonomic design is the application of human factors, information to the design of tools, machines, systems, tasks, jobs and environments for productive, safe, comfortable and effective human functioning (Manuaba, 1998).
Apabila kita hanya mencermati definisi-definisi tersebut secara sepintas, maka ruang lingkup ergonomi terasa sempit, karena hanya membicarakan antara manusia dengan tugas dan pekerjaannya. Namun demikian, apabila kita lebih dalam
mencermatinya, maka ruang lingkup ergonomi akan sangat luas dan mencakup segala aspek, tempat dan waktu.
Dengan demikian, ergonomi dapat diterapkan pada aspek apa saja, di mana saja dan kapan saja. Sebagai ilustrasi, bahwa sehari semalam kita mempunyai 24 jam dengan distribusi secara umum adalah 8 jam di tempat kerja, 2 jam di perjalanan, 2 jam di tempat rekreasi, olah raga dan lingkungan sosial serta selebihnya (12 jam) di rumah. Sehingga penerapan ergonomi tidak boleh hanya berfokus pada 8 jam di tempat kerja dan melupakan 16 jam lainya. Untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik, maka siklus ke-24 jam tersebut harus menjadi perhatian dalam kajian ergonomi. Dari uraian tersebut maka selanjutnya kita dapat mendefinisikan ergonomic sebagai berikut: “Ergonomi adalah ilmu, seni dan penerapan teknologi untuk menyerasikan atau menyeimbangkan antara segala fasilitas yang digunakan baik dalam beraktivitas maupun istirahat dengan kemampuan dan keterbatasan manusia baik fisik maupun mental sehingga kualitas hidup secara keseluruhan menjadi lebih baik”. Sedangkan yang dimaksud dengan kualitas hidup manusia pekerja, sesuai yang ditetapkan oleh organisasi perburuhan internasional (ILO), secara umum adalah sebagai berikut:
1. work should respect the workers’life and health.
2. work should leave the worker with free time for rest and leisure.
3. work should enable the worker to serve society and achieve self-fulfillment by developing his personal capacities.
Dengan demikian pencapaian kualitas hidup manusia secara optimal, baik di tempat kerja, di lingkungan sosial maupun di lingkungan keluarga, menjadi tujuan utama dari penerapan ergonomi.
2.2 Tujuan Ergonomi
Menurut Tarwaka, dkk (2004, hal 7) secara umum tujuan dari penerapan ergonomi adalah :
1. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan cedera dan penyakit akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental, mengupayakan promosi dan kepuasan kerja.
2. Meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan kualitas kontak sosial, mengelola dan mengkoordinir kerja secara tepat guna dan meningkatkan jaminan sosial baik selama kurun waktu usia produktif maupun setelah tidak produktif.
3. Menciptakan keseimbangan rasional antara berbagai aspek yaitu aspek teknis, ekonomis, antropologis dan budaya dari setiap sistem kerja yang dilakukan sehingga tercipta kualitas kerja dan kualitas hidup yang tinggi. 2.3 Musculoskeletal
Keluhan musculoskeletal adalah keluhan pada bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang dari mulai keluhan ringan hingga keluhan yang terasa sangat sakit. Apabila otot statis menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu yang akan dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen, dan tendon. Hal inilah yang menyebabkan rasa sakit, keluhan ini disebut musculoskeletal disolders (MSDs) atau cidera pada sistem musculoskeletal. Secara garis besar, keluhan otot dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
1. keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi saat otot menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut akan segera hilang apabila pembebanan dihentikan.
2. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap, walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot terus berlanjut.
Keluhan otot skeletal pada umumnya terjadi karena kontraksi otot yang terlalu dan akibat pembebanan kerja yang terlalu panjang dan durasi pembebanan yang panjang. Sebalinya, keluhan otot kemungkinan tidak terjadi apabila kontraksi otot berkisar antara 15-20 % dari kekuatan otot maksimum. Namun apabila kontraksi otot melebihi 20% maka peredaran darah ke otot berkurang menurut tingkat kontraksi yang dipengaruhi oleh besarnya tenaga yang diperlukan. Suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat terhambat dan sebagai akibatnya terjadi penimbunan asam laktat yang menyebabkan timbulkan rasa nyeri otot. (Tarwaka dkk., 2004).
2.4 Faktor Penyebab Terjadinya Keluhan Musculoskeletal
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan musculoskeletal, yaitu :
1. Peregangan otot yang berlebihan.
Peregangan otot yang berlebihan (over exertion) biasanya dialami pekerja yang mengalami aktivitas kerja yang menuntut tenaga yang besar. Apabila hal serupa sering dilakukan, maka akan mempertinggi resiko terjadinya keluhan otot, bahkan dapat menyebabkan terjadinya cidera otot skeletal.
2. Aktivitas berulang
Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja secara terus menerus, tanpa memperoleh kesempatan untuk melakukan relaksasi. 3. Sikap kerja tidak alamiah
Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi-posisi bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiahnya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi tubuh, semakin tinggi pula terjadinya keluhan otot skeletal.
4. Faktor penyebab sekunder a. Tekanan
Terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot lunak, seperti saat tangan harus memegang alat dalam jangka waktu yang lama, akan dapat menyebabkan keluhan pada otot tersebut akibat tekanan langsung yang diterima. Apabila hal ini berlangsung terus menerus maka akan menyebabkan keluhan yang menetap.
b. Getaran
Getaran dengan frekuensi yang tinggi akan menyebabkan kontraksi otot bertambah. Kontraksi statis ini akan menyebabkan darah tidak lancar, penimbunan asam laktat meningkat dan akibatnya menimbulkan rasa nyeri otot.
c. Mikrolimat
Paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja, sehingga gerakannya menjadi lamban, sulit bergerak yang disertai dengan menurunnya kekuatan otot.
5. Faktor kombinasi
Resiko terjadinya keluhan otot skeletal akan semakin meningkat dengan tugas yang semakin berat oleh tubuh. Beberapa hal yang mempengaruhi faktor kombinasi tersebut adalah:
a. Umur
Keluhan otot skeletal biasanya dialami orang pada usia kerja, yaitu 24-65 tahun. Biasanya keluhan pertama dialami pada usia 35 tahun dan tingkat keluhan akan meningkat seiring dengan bertambahnya umur.
b. Jenis kelamin
Dalam pendesainan suatu beban tugas harus diperhatikan jenis kelamin pemakainya. Kekuatan otot wanita hanya 60% dari kekuatan otot pria, keluhan otot juga lebih banyak dialami wanita dibandingkan pria.
2.5 Job Strain Index
Job Strain Index (JSI) merupakan metode untuk mengevaluasi tingkatan risiko dari sebuah pekerjaan yang dapat menyebabkan cedera pada bagian atas yaitu tangan, pergelangan tangan, lengan atas, atau siku (distal upper extremity) (Moore & Grag, 1995). Metode ini di gunakan apabila ingin mengevaluasi risiko cedera pada pekerjaan yang menggunakan tangan secara insentif. Selain itu pengamatan yang di lakukan harus secara langsung untuk melihat bagimana keadaan operator pada saat bekerja.
Terdapat lima proses pengumpulan data untuk mengetahui tingkatan risiko dengan menggunakan metode Job Strain Index, yaitu (Moore & Garg, 1995) :
1. Mengumpulkan data dari enam parameter
Terdapat enam parameter yang harus di lakukan pada proses pertama, yaitu (Moore & Garg, 1995) :
Intensity of exertion
Parameter ini di gunakan untuk menentukan nilai parameter instensitas penggunaan tenaga dari pekerjaan yang di lakukan operator dan memberikan bobot nilai sesuai usaha yang di lakukan operator berdasarkan tabel dibawah ini:
Tabel 2.1 Intensitas penggunaan tenaga
Kategori Presentase Kekuatan Maksimal Skala Borg keterangan
Ringan (Light) <10% ≤2 Kondisi tanpa usaha berarti Cukup berat
(Somewhat Hard)
10%-29% 3 Memerlukan usaha
Berat (Hard) 30%-49% 5 Memerlukan usaha yang lebih Sangat berat (Very
Hard)
50%-79% 7 Memerlukan usaha berlebih Mendekati maksimal
(Near Maximal)
≥ 80% >7 Membutuhkan bahu dan punggung untuk mengeluarkan tenaga
Sumber : (Moore & Garg, 1995)
Durasi penggunaan tenaga (Duration of exertion)
Duration of exertion adalah persentase dari waktu suatu exertion berlansung selama suatu siklus kerja. Nilai ini di dapatkan dengan cara mengkalkulasikan data-data yang didapat dengan menggunakan rumus :
%DE =100×Total waktu penggunaan tenaga
total waktu observasi ...(2.5)
Setelah mendapatkan nilai DE maka selanjutnya nilai tersebut di konversikan ke dalam nilai ratting dan faktor pengali.
Usaha Permenit
Usaha permenit di dapatkan dari perhitungan nilai exertion selama penelitian berlangsung. Lalu dibagi dengan total waktu penelitian (dalam menit).
𝐸M =Jumlah penggunaan tenaga
Postur tangan atau pergelangan tangan
Parameter ini dilakukan dengan pengamatan terhadap pergelangan tangan pada saat exertion dan menjelaskan dengan salah satu posisi yang di rasakan berdasarkan tabel di bawah ini :
Tabel 2.2 posisi tangan
Kategori Ekstensi pada pergelangan tangan Fleksi pada pergelangan tangan Deviasi pada ulnar keterangan Sangat baik (Very Good)) 00 -100 00-50 00-10 Posisi netral
Baik (Good) 110-250 60-150 110-150 Posisi mendekati netral
Cukup baik (Fair)
260-400 160-300 160-200 Posisi tidak netral Buruk (Bad) 410-550 310-500 210-250 Posisi sangat tidak
netral Sangat buruk
(VeryBad)
> 600 > 500 > 250 Posisi mendekati ekstrim
Sumber : (Moore & Garg, 1995) Kecepatan Kerja
Kecepatan kerja dilakukan untuk mengetahui seberapa cepat pekerja melakukan pekerjaanya. Setelah itu sesuaikan tabel di bawah ini :
Tabel 2.3 kecepatan kerja Kategori Perbandingan
dengan MTM-1^
Keterangan
Sangat lambat ≤ 80% Kecepatan sangat lambat Lambat (Slow) 81%-90% Kecepatan lambat Cukup cepat 91%-100% Kecepatan normal
Cepat (Fast) 101%-115% Kecepatan yang cepat namun dapat di jaga kecepatanya
Sangat cepat (Very Fast)
>115% Kecepatan yang sangat cepat namun tidak dapat dijaga kecepatanya
Keterangan : *nilai didapatkan dari perbandingan antara kecepatan observasi dengan kecepatan standar. Sumber : (Moore & Garg,1995)
Durasi pekerjaan perhari
Nilai pada parameter ini didapatkan dari kondisi yang diamati 2. Pembobotan SetiapVariabel Kerja
Tabel 2.4 Strain Index
Rating Intensity of Exertion/IE Duration of Exertion/DE Efforts per minute/ EM Hand/Wrist posture/HWP Speed of Work/SW Duration of Task per day/DD 1 Ringan (Linght) (1) <10% (0.5) <4 (0.5) Sangat baik (Very Good) (1) Sangat lambat (Very Slow) (1) <1 (0.25) 2 Cukup berat (Somewhat Hard) (3) 10%-29% (1) 4-8 (1) Baik (Good) (1.5) Lambat (Slow) (1) 1-2 (0.5) 3 Berat (Hard) (6) 30%-49% (1.5) 9-14 (1.5) Cukup baik (Fair) (1.5) Cukup cepat (Fair) (1) 2-4 (0.75) 4 Sangat berat (Very Hard) (9) 50%-79% (2) 15-19 (2) Buruk (Bad) (2) Cepat (Fast) (1.5) 4-8 (1) 5 Mendekati maksimal (Near Maximal) (13) 80%-100% (3) ≥ 20 (3) Sangat buruk (Very Bad) (2) Sangat cepat (Very Fast) (2) ≥8 (1.5)
Sumber : (Moore & Garg, 1995)
3. Menentukan pengali untuk setiap variabel
Tabel 2.5 Pengalian setiap variabel Ratin g Intensity of Exertion/IE Duration of Exertion/DE Efforts per minute/ EM Hand/Wrist posture/HW P Speed of Work/S W Duration of Task per day/DD 1 1 0.5 0.5 1.0 1.0 0.25 2 3 1.0 1.0 1.0 1.0 0.5 3 6 1.5 1.5 1.0 1.0 0.75 4 9 2.0 2.0 1.5 1.5 1.0 5 13 3.0 3.0 2.0 2.0 1.5
4. Mengalikan pengali untuk menhitung score Srain Index
SI = IE × DE × EM × HWP × SW × DD... (2.7) Keterangan :
IE = Intensitas penggunaan tenaga (Intensity of Exertion) DE = Durasi penggunaan tenaga (Duration of Exertion) EM = Jumlah usaha per menit (Efforts per Minute) HWP = Posisi tangan (Hand/Wrist Posture)
SW = Kecepatan kerja (Speed of Work)
DD = Durasi aktivitas per hari (Duration of Task per Day)
5. Mengevaluasi score pada Job Strain Index
Setelah melakukan pengalian dari ke enam variabel, selanjutnya adalah mengevaluasi nilai dari JSI terdapat 3 kategori dalam menentukan tingkatan risiko pekerjaan.
Tabel 2.6 Tingkat risiko
Skala Keterangan
Nilai ≤ 3 Pekerjaan yang diamati cukup aman
3 < nilai < 7 Pekerjaan yang diamati dapat menimbulkan risiko Nilai ≥ 7 Pekerjaan yang diamati berbahaya
2.6 REBA (Rapid Entire Body Assessment) 2.6.1 Definisi REBA
Rapid Entire Body Assessment atau yang biasa disebut dengan REBA yaitu Salah satu metode yang digunakan untuk menganalisa pekerjaan berdasarkan posisi tubuh adalah dengan metode Rapid Entire Body Assessment atau REBA. Metode ini didesain untuk mengevaluasi pekerjaan atau aktivitas, dimana pekerjaan tersebut memiliki kecenderungan menimbulkan ketidaknyamanan seperti kelelahan pada leher, tulang punggung, lengan, dan sebagainya. (Stanton. 2005) Metode ini mengevaluasi pekerjaan dengan memberikan nilai (score) pada 5 aktivitas level yang berbeda. Hasil nilai ini menunjukkan tingkatan atau level resiko yang dihadapi oleh karyawan dalam melakukan pekerjaannya dan terhadap beban kerja yang ditanggungnya. Resiko dari pekerjaan terkait dengan penyakit otot dan postur tubuh. (Sutalaksana. 1979).
Analisa REBA dilakukan dengan membagi postur tubuh kedalam dua kategori, kategori A dan B. Kategori A terdiri dari tubuh, leher dan kaki, sedangkan kategori B terdiri dari lengan atas dan bawah serta pergelangan untuk gerakan ke kiri dan kanan. Masing-masing kategori memiliki skala penilaian postur tubuh lengkap dengan catatan tambahan yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam desain perbaikan. Setelah penilaian postur tubuh, yang dilakukan kemudian adalah pemberian nilai pada beban atau tenaga yang digunakan serta faktor terkait dengan kopling. Nilai untuk masing-masing postur tubuh dapat diperoleh dari tabel penilaian yang telah ada. Total nilai pada kategori A merupakan nilai yang diperoleh dari penjumlahan nilai postur tubuh yang terdapat pada tabel A dengan nilai beban atau tenaga. Sedang total nilai pada kategori B merupakan nilai yang diperoleh dari penjumlahan nilai postur tubuh yang terdapat pada tabel B dengan nilai kopling untuk kedua tangan. Nilai REBA diperoleh dengan melihat nilai dari kategori A dan B pada tabel C untuk memperoleh nilai C yang kemudian dijumlahkan dengan nilai aktivitas. Sedangkan tingkatan resiko dari pekerjaan diperoleh dari tabel keputusan REBA. (Wignjosoebroto. 2008)
Langkah-langkah yang diperlukan dalam menerapkan metode REBA ini antara lain :
1. Mengambil data gambar posisi tubuh ketika bekerja di lantai produksi. 2. Menentukan bagian-bagian tubuh yang akan diamati, antara lain batang
tubuh, pergelangan tangan, leher, kaki, lengan atas, dan lengan bawah. 3. Penentuan nilai untuk masing-masing postur tubuh dan penentuan activity
score.
4. Penjumlahan nilai dari masing – masing kategori untuk memperoleh nilai REBA.
5. Penentuan level resiko dan pengambilan keputusan untuk perbaikan. 6. Implementasi dan evaluasi desain metode, fasilitas, dan lingkungan kerja. 7. Penilaian ulang dengan menggunakan metode REBA untuk desain baru
yang di implementasikan.
8. Evaluasi perbandingan nilai REBA untuk kondisi sebelum dan setelah implementasi desain perbaikan.
Beberapa keuntungan yang didapat dari metode REBA yang di diantaranya : Metode ini dapat menganalisa pekerjaan berdasarkan posisi tubuh dengan
cepat.
Menganalisa faktor – faktor resiko yang ada dalam melakukan pekerjaan. Metode ini cukup peka untuk menganalisa pekerjaan dan beban kerja
berdasarkan posisi tubuh ketika bekerja.
Teknik penilaian membagi tubuh kedalam bagian-bagian tertentu yang kemudian diberi kode – kode secara individual berdasarkan bidang – bidang geraknya untuk kemudian diberikan nilai.
2.6.2 Langkah – Langkah Metode REBA
Metode REBA merupakan metode pengamatan, dimana peneliti atau pengguna rnetode ini harus mengamati / melihat aktivitas yang dilakukan, dan kemudian dianalisa lebih lanjut menggunakan metode REBA.
Pelaksanaan pengukuran menggunakan Rapid Entire Body Assessment (REBA) melalui 6 langkah sebagai berikut :
1. Pengamatan terhadap aktivitas
2. Pemilihan sikap kerja yang akan diukur 3. Pemberian skor pada sikap kerja
4. Pengolahan skor
5. Penyusunan skor REBA 6. Penentuan level
Dalam mempermudah penilaiannya maka pengukuran menggunakan REBA dibagi atas 2 segmen grup, yaitu :
1. Score A, terdiri atas leher (neck), punggung (trunk), kaki (legs) dan beban (force/load).
2. Score B, terdiri dari lengan atas (upper arm), lengan bawah (lower arm), pergelangan tangan (wrist), aktivitas (activity) dan genggaman (coupling).
Metode REBA memberikan standar skor yang digunakan untuk mengukur sikap kerja, beban dan aktivitas termasuk skor perubahan jika terjadi modifikasi pada sikap kerja, beban dan aktivitas tersebut.
1. Leher (Neck), dengan ketentuan gerakan dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Pergerakan leher digolongkan kedalam skor REBA seperti yang tertera dibawah : Tabel 2.7 Skor Bagian Leher (Neck)
Pergerakan Skor Skor Perubahan
0° - 20° ke depan tubuh 1 +1 jika leher berputar atau bengkok
> 20° ke depan maupun ke belakang tubuh 2
2. Batang Tubuh (Trunk), dengan ketentuan gerakan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Pergerakan Batang Tubuh
Pergerakan batang tubuh digolongkan kedalam skor REBA seperti yang tertera dibawah :
Tabel 2.8 Skor Bagian Batang Tubuh (Trunk)
Pergerakan Skor Skor Perubahan
Posisi normal 0° 1
+1 jika batang tubuh berputar atau menekuk
0° - 20° ke depan maupun ke belakang tubuh 2 20° - 60° ke depan tubuh; > 20° ke belakang tubuh 3
> 60° ke depan tubuh 4
3. Kaki (Legs), dengan ketentuan gerakan dapat dilihat pada Gambar 2.3
Pergerakan kaki digolongkan kedalam skor REBA seperti tertulis pada Tabel 2.9 Tabel 2.9 Skor Bagian Kaki (Legs)
Posisi Skor Skor Perubahan
Kedua kaki menahan berat tubuh, misalnya
berjalan atau duduk 1
+1 jika lutut bengkok antara 30° dan 60° Salah satu kaki menahan berat tubuh,
misalnya berdiri dengan satu kaki atau sikap kerja yang tidak stabil
2 +2 jika lutut bengkok >60°
4. Beban (Load / Force)
Pada metode REBA, berat dari beban juga digolongkan keadalam skor REBA berdasarkan ukuran berat dari beban tersebut. Secara lebih detail skor REBA untuk beban dapat dilihat pada Tabel 2.10 di bawah.
Tabel 2.10 Skor Beban (Load/Force)
Beban Skor Skor Perubahan
<5kg 0
+1 jika terjadi tambahan beban terjadi secara mendadak atau cepat
5 -10 kg 1
>10kg 2
5. Lengan Atas (Upper Arms), dengan ketentuan pergerakan dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Pergerakan lengan atas digolongkan kedalam skor REBA seperti yang tercantum pada tabel 2.11.
Tabel 2.11. Skor Bagian Lengan Atas (Upper Arms)
Posisi Skor Skor Perubahan
20° ke belakang tubuh atau 20°
ke depan tubuh 1 +l jika lengan berputar atau bengkok + 1 jika bahu naik -1 jika bersandar atau berat lengan ditahan
> 20° ke belakang tubuh; 20° -
45 °ke depan tubuh 2
45° - 90 °ke depan tubuh 3
> 90° ke depan tubuh 4
6. Lengan Bawah (Lower Arms), dengan ketentuan pergerakan dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Pergerakan Lengan Bawah
Pergerakan lengan bawah digolongkan kedalam skor REBA seperti tertera pada Tabel 2.12
Tabel 2.12. Skor Bagian Lengan Bawah (Lower Arms)
Pergerakan Skor
0° -1 5° ke depan tubuh 1
7. Pergelangan Tangan (Wrists), dengan ketentuan pergerakan dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6 Pergerakan Pergelangan Tangan
Pergerakan pergelangan tangan digolongkan kedalam skor REBA seperti tertera pada Tabel 2.13
Tabel 2.13 Skor Bagian Pergelangan Tangan (Wrists)
Pergerakan Skor Skor Perubahan
0° - 1 5° ke belakang atau kedepan 1 +1 jika pergelangan tangan menyamping atau berputar > 1 5° ke belakang atau ke depan 2
8. Genggaman (Coupling)
Sikap kerja saat menggenggam (coupling) dikelompokkan kedalam 4 kategori berdasarkan skor REBA seperti yang terlihat di Tabel 2.14
Tabel 2.14 Skor Genggaman (Coupling) Genggaman Skor Deskripsi
Good 0 Memegang dengan baik dan menggunakan setengah tenaga untuk menggenggam
Fair 1 Pegangan tangan masih dapat diterima meskipun tidak ideal
Poor 2 Pegangan tangan tidak dapat diterima meskipun masih memungkinkan
Unacceptable 3
Buruk sekali, genggaman tidak aman, tidak ada pegangan. Menggenggam tidak dapat diterima jika menggunakan bagian tubuh yang lain
9. Aktivitas (Activity)
Aktivitas berdasarkan REBA digolongkan kedalam 3 jenis yaitu sikap kerja statis, perulangan dan tidak stabil seperti tertera pada Tabel 2.15
Tabel 2.15 Skor Aktivitas (Activity) Aktivitas Skor Deskripsi
Sikap kerja statis + 1
Satu atau lebih bagian tubuh dalam keadaan statis/ diam, seperti memegang selama lebih dari 1 menit
Perulangan + 1
Mengulangi sebagian kecil aktivitas, seperti mengulang lebih dari 4 kali dalam 1 menit (dalam hal ini berjalan tidak termasuk)
Tidak stabil + 1
Aktivitas yang mengakibatkan secara cepat terjadi perubahan yang besar pada sikap kerja atau mengakibatkan ketidakstabilan pada sikap kerja
(Sumber: Sinaga, Penta Nurtanian. Pengukuran Postur Kerja dengan Menggunakan Metode Rapid Body Entire Assessment (REBA) pada Operator Pabrik Gambir PT. Tahun 2010. Skripsi Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.)