• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI A. Perkembangan Anak - WILDAN RESTU BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI A. Perkembangan Anak - WILDAN RESTU BAB II"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

6

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Perkembangan Anak

1. Kriteria Perkembangan Usia SD

Masa usia sekolah dasar sering disebut sebagai masa intelektual atau masa keserasian bersekolah. Pada umur 6 atau 7 tahun biasanya anak telah matang untuk masuk sekolah dasar. Pada masa keserasian sekolah relatif, anak lebih mudah dididik daripada masa sebelum dan sesudahnya. Masa ini diperinci menjadi dua fase yaitu:

a. Masa kelas rendah sekolah dasar, kira-kira 6 atau 7 sampai umur 9 atau 10 tahun. Beberapa sifat anak pada masa ini antara lain:

1) Adanya hubungan positif yang tinggi antara keadaan jasmani dan prestasi.

2) Sikap tunduk pada peraturan permainan yang tradisional. 3) Ada kecenderungan memuji diri sendiri.

4) Suka membandingkan dirinya dengan anak yang lain.

5) Apabila tidak dapat menyelesaikan suatu soal, maka soal itu dianggap tidak penting.

6) Pada masa terutama usia 6 sampai 8 tahun anak menghendaki nilai (angka rapor) yang baik, tanpa mengingat prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau tidak.

b. Masa kelas tinggi sekolah dasar , kira-kira umu 9 atau 10 sampai umur 12 atau 13 tahun. Beberapa sifat khas anak pada masa ini adalah:

1) Adanya minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkret, hal ini menimbulkan adanya kecenderungan untuk membandingkan pekerjaan yang praktis.

2) Amat realistik, ingin mengetahui, ingin belajar.

(2)

7

4) Pada umur 11 tahun anak mulai membutuhkan guru atau orang dewasa lainnya untuk menyelesaikan tugas dan memenuhi keinginannya.

5) Pada masa ini anak memandang nilai rapor sebagai ukuran yang tepat (sebaik-baiknya) mengenai prstasi sekolah.

6) Anak pada usia ini gemar membentuk kelompok sebaya biasanya untuk dapat bermain bersama-sama.

Masa keserasian bersekolah ini diakhiri dengan suatu masa yang biasanya disebut poeral. Berdasarkan para ahli, sifat khas anak masa

poeral ini dapat diringkas dalam dua hal, yaitu:

a. Ditujukan untuk berkuasa: sikap, tingkah laku, dan perbuatan anak poeral ditujukan untuk berkuasa pada yang diidam-idamkannya.

b. Ekstraversi: berorientasi keluar dirinya; misalkan untuk mencari teman sebaya untuk memenuhi kebutuhan fisiknya. Pada masa in ialah sikap anak terhadap otoritas (kekuasaan), khusunya otoritas orang tua dan guru sebagai suatu yang wajar. Justru karena hal tersebut, anak-anak mengharapkan adanya pihak orang tua dan guru serta pemegang otoritas orang dewasa yang lain (Yusuf, 2010: 24-26).

(3)

8

2. Perkembangan Bahasa a. Fungsi Bahasa

Penggunaan atau fungsi bahasa anak, menurut William Stern dalam buku Ahmadi, (2005: 96) membagi menjadi lima tahap:

1) Prastadium (umur 0;6-1;0), meraba atau keluar suara yang belum berarti, serta tunggal, terutama huruf bibir. 2) Masa pertama (umur 1;0-1;6), penguasaan kata yang

belum lengkap.

3) Masa kedua (umur 1;6-2;0), adalah masa nama, maksudnya kedua mulai menyadari segala sesuatu itu punya nama.

4) Masa ketiga (umur 2;0-2;6), adalah stadium fleksi

(flexio = menafsirkan) yakni anak mulai dapat

menggunakan kata yang dapat ditafsirkan atau kata yang sudah diubah.

(4)

9

B. Perilaku Anak 1. Jenis Perilaku

a. Perilaku Refleksif

Perilaku pada manusia dibedakan antara perilaku refleksif dan

non-refleksif. Perilaku refleksif merupakan perilaku yang terjadi atas

reaksi secara spontan terhadap stimulus mengenai organisme, misalnya reaksi kedip mata bila kena sinar, gerak lutut yang terkena sentuhan palu, menarik jari jika terkena api dan sebagainya. Reaksi atau perilaku refleksif adalah perilaku yang terjadi dengan sendirinya, secara otomatis. Stimulus yang diterima oleh individu tidak sampai ke pusat susunan syaraf atau otak, sebagai pusat kesadaran, sebagai pusat pengendali dari manusia.

b. Perilaku Non-Refleksif

Berbeda dengan perilaku non-refleksif, perilaku non-refleksif dikendalikan atau diatur oleh pusat kesadaran yaitu otak. Kaitannya dengan stimulus setelah diterima oleh reseptor kemudian diteruskan oleh otak sebagai pusat syaraf, pusat kesadaran, kemudian terjadi respons melalui afektor. Proses yang terjadi dalam otak atau pusat kesadaran ini yang disebut proses psikologis. Perilaku atau aktivitas atas dasar psikologis inilah yang disebut aktivitas psikologis atau psikologis (Branca dalam Walgito, 2010: 13).

c. Perilaku Agresif

Pengertian perilaku agresif menurut Myers, Murray, dan

(5)

10

(http://faizalnizbah.blogspot.co.id/2013/06/pengertian-dan-bentuk-perilaku.html) mengemukakan bahwa perilaku agresif adalah perilaku fisik atau lisan yang sengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain.Agresif adalah kebutuhan untuk menyerang, memperkosa atau melukai orang lain, untuk meremehkan, merugikan, mengganggu, membahayakan, merusak, menjahati, mengejek, mencemoohkan, atau menuduh secara jahat, menghukum berat, atau melakukan tindakan sadistis lainnya. Agresif merupakan bentuk perilaku yang dimaksud untuk menyakiti seseorang baik secara fisik maupun mental.

Berdasarkan kutipan di atas peneliti menyimpulkan bahwa perilaku agresif adalah perilaku yang dilakukan oleh siswa baik secara fisik maupun lisan untuk menyakiti maupun merugikan siswa yang lainnya karena dapat mempengaruhi mental siswa yang diperlakukan secara agresif. Peneliti akan fokus pada perilaku agresif secara lisan atau verbal karena dalam penelitian ini peneliti akan fokus pada perilaku berbicara kasar yang dilakukan oleh siswa di SDN Ajibarang Kulon baik itu di dalam sekolah maupundi luar sekolah.

2. Pembentukan Perilaku

(6)

11

seperti yang diharapkan, akhirnya akan terbentuklah perilaku. Misalnya anak dibiasakan untuk bangun pagi atau menggosok gigi sebelum tidur, mengucapkan terima kasih bila diberi sesuatu oleh orang lain, membiasakan diri untuk tidak datang terlambat ke sekolah dan sebagainya. Cara ini didasarkan atas teori belajar kondisioning yang dikemukakan oleh Pavlov, Thorndike, dan Skinner. Walaupun antara Pavlov, Thorndike, dan Skinner terdapat pendapat yang tidak seratus persen sama, namun para ahli tersebut mempunyai dasar pandangan yang tidak jauh berbeda satu dengan yang lain. Kondisioning Pavlov dikenal dengan kondisioning klasik, sedangkan kondisioning Thorndike dan Skinner dikenal dengan kondisioning operan, walaupun demikian ada yang menyebut kondisioning Thorndike dengan kondisioning instrumental, kondisioning Skinner dengan kondisioning operan. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa dasar pandangan ini untuk pembentukan perilaku didasarkan dengan kondisioning atau kebiasaan.

b. Pembentukan perilaku dengan pengertian (insight)

(7)

12

eksperimennya dalam belajar yang dipentingkan adalah soal latihan, maka dalam eksperimen Kohler dalam belajar yang penting adalah pengertian atau insight. Kohler adalah salah satu orang tokoh dalam psikologi Gestalt dan termasuk dalam aliran kognitif (lih. Hergenhahn dalam Walgito, 2010: 15).

c. Pembentukan perilaku dengan menggunakan model

Pembentukan perilaku juga dapat dilakukan dengan cara yang lain yaitu dengan menggunakan model atau contoh. Orang yang mengatakan bahwa orang tua sebagai contoh anak-anaknya, pemimpin sebagai panutan yang dipimpinnya, hal tersebut menunjukkan pembentukkan perilaku dengan menggunakan model. Pemimpin dijadikan model atau contoh yang dipimpinnya. Cara ini didasarkan atas teori belajar sosial (social learning theory) atau

observational learning theory yang dikemukakan oleh Bandura

dalam (Walgito, 2010: 15).

(8)

13

anak masuk ke lingkungan sekolah dan masyarakat anak sudah mempunyai bekal awal dari lingkungan keluarga.

3. Teori Perilaku

Ahmadi, (2005: 20-22) menjelaskan ada beberapa teori yang mempengaruhi perilaku pada anak teori tersebut antara lain adalah: a. Teori Empirisme

Tokoh teori ini adalah Francis Bacon dan John Lock, mengungkapkan bahwa pada dasarnya anak lahir ke dunia perkembangannya ditentukan oleh adanya pengaruh dari luar, termasuk pendidikan dan pengajaran. Penjelasan tersebut menganggap bahwa anak lahir dalam kondisi kosong, putih bersih seperti meja lilin (tabularasa), maka pengalaman (empiris) anaklah yang bakal menentukan corak dan bentuk perkembangan jiwa anak. b. Teori Nativisme

Tokoh utamanya adalah Shopenhauer, mengemukakan bahwa anak lahir telah dilengkapi pembawaan bakat alami (kodrat) dan pembawaan (nativus = pembawaan) inilah yang akan menentukan wujud kepribadian seorang anak. Pengaruh lain dari luar tidak akan mampu mengubah pembawaan anak, dengan demikian maka pendidikan bagi anak akan sia-sia dan tidak perlu dihiraukan lagi. c. Teori Konvergensi

(9)

14

Clara Stern, mengungkapkan bahwa perkembangan jiwa anak lebih banyak ditentukan oleh dua faktor yang saling menopang yakni faktor bakat dan faktor lingkungan, keduanya tidak dapat dipisahkan seolah-olah memadu bertemu pada satu titik. Pemahamannya bahwa kepribadian anak akan terbentuk dengan baik apabila dibina oleh suatu pendidikan (pengalaman) yang baik serta ditopang oleh bakat yang merupakan pembawaan lahir.

Berdasarkan kutipan di atas peneliti menyimpulkan bahwa, perilaku atau kepribadian seorang anak itu dipengaruhi dari pembawaan lahir (kodrat) dan juga dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya. Kepribadian yang dibawa dari lahir itu berdasarkan dari perilaku dari keluarganya ataupun orang tuannya sehingga anak mencontoh yang dilakukan oleh orang tuanya. Pengaruh dari lingkungan juga sangat membantu anak dalam membentuk suatu perilakunya sehingga yang dilihat anak di luar keluarga itu dapat mempengaruhi perilakunya, selain itu bakat yang dimilikinya juga dapat mempengaruhi perilakunya.

4. Perilaku menurut Al-Ghazali

Ahli-ahli psikologi membedakan dua macam perilaku:

(10)

15

b. Perilaku mekanistis atau refleksif, maksudnya adalah respons-respons yang timbul pada manusia secara mekanistis dan tetap, seperti kedipan mata sebab kena cahaya, dan gerakan-gerakan yang dilihat pada anak-anak seperti menggerakkan kedua tangan dan kaki terus-menerus tanpa aturan. (Langgulung, 2003: 268).

Menurut Al-Ghazali, dalam Langgulung, (2003: 268-269), sesuai dengan kerangka pemikirannya tentang manusia, memandang perilaku dari segi suatu yang mempunyai tujuan agama dan kemanusiaan. Sejalan dengan semangat Islam yang memandang kepada manusia seabagai suatu pribadi yang utuh yang aktivitasnya menggabungkan antara ibadat murni atau ibadat formal dan aktivitas keduniaan atau ibadat informal, jika perbuatan yang dilakukan oleh manusia berasas pada yang masuk akal dari segi kepentingan individu dan masyarakat dan kemuliaan manusia. Ringkasan pendapat Al-Ghazali tentang perilaku sebagai berikut:

a. Perilaku mempunyai penggerak (motivasi), pendorong, tujuan, dan objektif-objektif.

b. Motivasi bersifat dari dalam yang muncul dari diri anak sendiri, tetapi dirangsang dengan rangsangan-rangsangan luar, atau dengan rangsangan-rangsangan dalam yang berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan jasmani dan kecenderungan-kecenderungan alamiah, seperti rasa lapar, cinta, dan takut kepada Allah.

(11)

16

d. Perilaku mengandung rasa kebutuhan dengan perasaan tertentu dan kesadaran akal terhadap suasana, semua disertai oleh aktivitas yang tidak terpisah dari rasa, perasaan, dan kesadaran terhadap suasana tersebut.

e. Kehidupan psikologis adalah suatu perbuatan dinamis yang berlaku interaksi terus-menerus antara tujuan atau motivasi dan tingkahlaku. f. Perilaku itu bersifat individual yang berbeda menurut perbedaan

faktor-faktor keturunan dan perolehan atau proses belajar, jadi aktivitas atau sifat-sifat jia tidak terpisah dari proses belajar, begitupun bentuknya tidaklah serupa, sebab kalu serupa tentulah tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya.

g. Tampaknya perilaku anak menurut Al-Ghazali ada dua tingkatannya. Pada tingkat yang pertama anak berdekatan dengan semua makhluk hidup, sedangkan pada tingkat yang kedua anak mencapai cita-cita idealnya dan mendekat kepada makna-makna ketuhanan dan perilaku malaikat. Tingkat pertama dikuasai oleh motivasi-motivasi kegopohan, sedangkan tingkat kedua dikuasai oleh kemauan dan akal.

(12)

17

perilaku anak, dan ketepatannya dalam menganalisa jiwa anak dengan motivasi, emosi, dan hubungannya dengan lingkungan.

Berdasarkan kutipan di atas peneliti menyimpulkan bahwa perilaku anak itu beradasarkan motivasi yang diberikan untuk mendorong rangsangan anak melakukan sesuatu agar menjadi suatu kebiasaan baik yang dilakukan secara terus menerus dengan proses belajar untuk mencapai cita-cita dalam hidupnya dan mengenal tentang ketuhanan.Motivasi yang diberikan dalam hidupnya tentunya harus motivasi yang positif sehingga motivasi tersebut juga dapat berpengaruh pada perilaku anak.

5. Ciri-ciri Anak yang Baik

Al-Ghazali dalam Iqbal, (2013: 214) ciri-ciri akhlak yang baik adalah iman, sedangkan akhlak yang buruk adalah kemunafikan. Adapun ciri-ciri yang mencerminkan akhlak yang baik antara lain:

a. Mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. b. Memuliakan tamu dan menghormati tetangga.

c. Menjaga lidah kecuali berkata-kata yang baik atau diam. d. Merasa senang mengerjakan perbuatan yang baik dan sedih

mengerjakan perbuatan yang buruk. e. Menjaga aib saudaranya.

f. Hemat, jujur, dan tidak berzina.

g. Memohon kepada Allah supaya dijadikan pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa.

(13)

18

selain diajarkan di sekolah juga diajarkan di dalam Agama karena di dalam Agama khususnya Islam itu lebih baik diam daripada harus mengeluarkan kata-kata yang tidak bermanfaat apalagi kata-kata tersebut menyakiti perasaan orang lain.

6. Perilaku Anak dalam Al-Qur‟an dan Sunnah

Al-Qur‟an menggalakkan perilaku yang baik, akhlak yang baik, dan perbuatan yang baik. Hadist Nabi Muhammad SAW bersabda: “Aku

hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. Uraian Ayat -ayat dan Hadist-hadist yang menunjukkan akhlak yang mulia:

a. Penyantun dan kasih sayang, dinyatakan dalam Surah-surah al-A‟raf: 199; al-Hijr: 85; Fussilat: 34-35; Al Imran: 134.

Hadist-hadist yang menyebutkannya:

Dari Aisyah r.a. Sabda Rasulullah SAW: “Allah itu penyayang, suka kepada kasih sayang dalam segala urusan”. (H.R. al-Bukhari dan Muslim).

Juga dari Aisyah r.a. Sabda Rasulullah SAW: “Allah Maha penyayang dan suka pada kesayangan, dan Ia memberi dengan kesayangan apa yang tidak diberi-Nya dengan keganasan dan apa yang tidak diberi-Nya dengan yang lain-lain”. (H.R. Muslim).

b. Menjaga lidah, dinyatakan dalam Surah-surah, al-Syu‟ara: 84; al -Rum: 22; al-Bala: 8-10; al-Fath: 11; al-Nahl: 62; al:-Nur: 24.

Hadist yang menjelaskan diantaranya:

Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhirat, maka hendaklah ia mengatakan yang baik atau diam”. (H.R. al-Bukhari dan Muslim).

(14)

19

“Orang-orang ang selamat orang Islam dari lidah dan tangannya”.

(H.R. al-Bukhari dan Muslim).

Dari „Uqbah bin „Amir r.a. katanya: aku berkata wahai

Rasulullah apakah keselamatan (najat) itu? Beliau bersabda: “Tahan

lidahmu, tinggal di rumahmu, dan menangislah atas kesalahanmu”. (H.R al-Turmuzi).

Juga sabda beliau:

“Kebanyakan kesalahan manusia berasal dari lidahnya”.

(H.R. al-Tabrani dan al=Baihaqi).

Semua uraian mengenai perilaku dalam Al-Qur‟an dan Hadist di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud perilaku adalah tindakan atau perbuatan yang digerakkan oleh kerangka moral (akhlak) tertentu. Dengan kata lain pandangan Al-Qur‟an dan Hadist terhadap perilaku (behavior) adalah perilaku yang telah diberi persyaratan (conditioned) nilai-nilai tertentu, bukan perilaku tingkat rendah yang ditentukan oleh pengaruh lingkungan(S- R) saja, telah dididik dan dibudayakan dengan nilai-nilai. (Langgulung, 2003: 269-275).

(15)

20

membantu anaknya dalam memahami dan memaknai isi dalam Al-Qur‟an dan Hadist sehingga anak mempunyai akhlak yang

diharapkan tentunya.

C. Peran Lembaga Pendidikan

Pengaruh yang diberikan terhadap perkembangan siswa, lingkungan ada yang sengaja diadakan (usaha sadar) ada yang tidak usaha sadar dari orang dewasa yang normatif disebut pendidikan, sedang yang lain disebut pengaruh. Lingkungan yang dengan sengaja diciptakan untuk mempengaruhi siswa ada tiga, yaitu: lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Ketiga lingkungan ini disebut lembaga pendidikan atau satuan pendidikan (Ihsan, 2010: 16).

1. Lembaga Pendidikan Keluarga

Keluarga adalah lingkungan pertama bagi siswa, dilingkungan keluarga pertama-tama siswa mendapatkan pengaruh sadar. Keluarga juga merupakan lembaga pendidikan tertua, yang bersifat informal dan kodrati. Tugas keluarga adalah meletakkan dasar-dasar bagi perkembangan siswa, agar siswa dapat berkembang secara baik. Keluarga sebagai lingkungan pendidikan yang pertama sangat penting dalam membentuk pola kepribadian siswa, karena di dalam keluarga, siswa pertama kali berkenalan dengan nilai dan norma.

(16)

21

hidup yang diperlukan siswa untuk dapat berperan dalam keluarga dan masyarakat.Keluarga adalah lembaga pendidikan yang bersifat kodrati, karena antar orang tua sebagai pendidik dan siswa sebagai terdidik terdapat hubungan darah (Ihsan, 2010: 16-18). Fungsi lembaga pendidikan keluarga, yaitu:

a. Pengalaman pertama bagi siswa pengalaman ini merupakan faktor yang sangat penting bagi perkembangannya, khususnya dalam perkembangan pribadinya.

b. Pendidikan di lingkungan keluarga dapat menjamin kehidupan emosional siswa untuk tumbuh dan berkembang. Kehidupan emosional sangat penting dalam pembentukan pribadi siswa. Hubungan emosional yang kurang dan berlebihan akan banyak merugikan perkembangan siswa. c. Keluarga akan membentuk pendidikan moral. Keteladanan

orang tua dalam bertutur kata dan berperilaku sehari-hari akan menjadi wahana pendidikan moral bagi siswa di dalam keluarga, guna membentuk siswa susila.

d. Keluarga akan menumbuhkan sikap tolong-menolong, tenggang rasa sehingga tumbuhlah kehidupan keluarga yang damai dan sejahtera guna membentuk sikap sosial.

e. Keluarga merupakan lembaga yang berperan meletakkan dasar-dasar pendidikan agama guna membentuk sebagai makhluk yang religius.

f. Keluarga dalam konteks membangun siswa sebagai makhluk individu diarahkan agar dapat mengembangkan dan menolong dirinya sendiri.

(17)

22

a. Pengalaman pertama pada masa kanak-kanak; b. Menjamin kehidupan emosional siswa; c. Menanamkan dasar pendidikan moral; d. Memberikan dasar pendidikan sosial;

e. Meletakkan dasar-dasar pendidikan agama bagi siswa.

Berdasarkan dari pendapat tersebut peneliti dapat menyimpulkan bahwa lingkungan keluarga adalah lembaga pendidikan pertama yang bersifat informal guna membentuk kepribadian pada siswa sejak dini. Lingkungan keluarga sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter anaknya. Orang tua tentunya harus dapat memberikan contoh yang baik terhadap anaknya sehingga anak akan menirukan contoh yang diberikan oleh orang tuanya.

2. Lembaga Pendidikan Sekolah

Ihsan, (2010: 20) mengatakan bahwa akibat dari perkembangan ilmu dan teknologi dan terbatasnya orang tua dalam perkembangan ilmu dan teknologi, orang tua tidak mampu lagi mendidik anaknya, untuk menjalan kan tugas tersebut diperlukan orang lain yang lebih ahli. Guru-guru dalam lembaga pendidikan formal adalah orang dewasa yang mendapat kepercayaan dari pemerintah untuk menjalankan tugas-tugas tersebut.

(18)

23

memadai sebagai produk pendidikan, maka sekolah perlu dirancang dan dikelola dengan baik.

Khususnya yang akan dibahas oleh peneliti yaitu pada pendidikan sekolah dasar. Pendidikan dasar adalah pendidikan yang akan memberikan pengetahuan, keterampilan, menumbuhkan sikap dasar yang diperlukan dalam masyarakat, serta mempersiapkan siswa untuk mengikuti pendidikan menengah. Pendidikan dasar pada prinsipnya merupakan pendidikan yang memberikan bekal dasar bagi perkembangan kehidupan, baik untuk pribadi maupun masyarakat. Pendidikan dasar dapat berupa pendidikan sekolah ataupun luar sekolah, yang dapat berupa pendidikan biasa ataupun pendidikan luar biasa (Ihsan, 2010: 22).

Sekolah bertanggung jawab atas pendidikan siswanya selama siswa diserahkan ke sekolah, karena itu sebagai sumbangan sekolah sebagai lembaga terhadap pendidikan, diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Sekolah membantu orang tua mengerjakan kebiasaan-kebiasaan yang baik serta menanamkan budi pekerti yang baik.

b. Sekolah memberikan pendidikan untuk kehidupan di dalam masyarakat yang sukar atau tidak dapat diberikan di rumah. c. Sekolah melatih siswa memperoleh kecakapan seperti

membaca, menulis berhitung, menggambar serta ilmu-ilmu lain yang sifatnya mengembangkan kecerdasan dan pengetahuan.

d. Sekolah memberikan pelajaran etika, keagamaan, estetika, membedakan benar atau salah, dan sebagainya (Hasbullah, 2008: 34-35).

(19)

24

membentuk perilaku anak setelah pembentukkan perilaku tersebut dilakukan di dalam lingkungan keluarga. Lingkungan sekolah harus mampu memberikan bekal pada anak untuk berkehidupan bermasyarakat tentunya memberikan bekal tambahan bagi anak yang belum bisa didapatkan di dalam keluarganya. Lingkungan sekolah juga harus berperan sebagai pengawas bagi anak yang sedang berkembang di luar lingkungan keluarganya.

3. Lembaga Pendidikan Masyarakat

Masyarakat adalah salah satu lingkungan pendidikan yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan pribadi siswa. Masyarakat mempunyai peranan yang penting dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. Peran yang telah disumbangkan dalam rangka tujuan pendidikan nasional yaitu berupa ikut membantu menyelenggarakan pendidikan (dengan membuka lembaga pendidikan swasta), membantu pengadaan tenaga biaya, prasarana dan sarana, menyediakan lapangan kerja, biaya, membantu pengembangan profesi baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Sistem pendidikan nasional masyarakat ini disebut Pendidikan Kemasyarakatan (Ihsan, 2010: 32-33).

(20)

25

terikat dengan formalitas akademik secara ketat, sekalipun kesempatan untuk memperoleh efek akademik tetap terbuka.

Pendapat lain dari (Hasbullah, 2008: 36) menyatakan bahwa, lingkungan organisasi pemuda sebagai lembaga pendidikan yang bersifat informal (luar sekolah), organisasi pemuda mempunyai corak ragam bermacam-macam, tetapi secara garis besar dapat dibedakan antara organisasi pemuda yang diusahakan oleh pemerintah dan organisasi pemuda yang diusahakan oleh badan swasta. Peran organisasi pemuda ini utamanya adalah dalam upaya pengembangan sosialisasi kehidupan pemuda, melalui organisasi pemuda berkembanglah semacam kesadaran sosial, kecakapan-kecakapan di dalam pergaulan sesama kawan (social

skill) dan sikap yang tepat dalam membina hubungan dengan sesama

siswa (social attitude).

(21)

26

D. Penelitian yang Relevan

Penelitian ini relevan dengan beberapa penelitian terdahulu yang sudah pernah dilakukan antara lain sebagai berikut:

1. Aeni, Nurul (2011) tentang Diffrence Of Emotional Intelligence And Aggression Behavior Between Children Who Have Migrant Worker

Mother And Children Who Live With Their Mother (Study in Primary

Schools in Gabus Sub Regency, Pati Regency, Central Java), dalam

jurnal ini menjelaskan bahwa anak yang ditinggal oleh ibunya menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri cenderung memiliki kecerdasan emosi yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang tinggal dengan ibunya, selain itu anak yang ditinggal ibunya menjadi TKW juga lebih agresif. Perilaku agresi yang ditunjukkan oleh anak yang ditinggal oleh ibunya adalah berkelahi, membantah orang tua, merenut mainan temannya, serta berkata-kata kotor. Peran ibu sangat penting terhadap pengendalian emosi anak, anak yang mendapatkan pendampingan maksimal pada masa kanak-kanak dapat mengembangkan kecerdasan emosi secara optimal sehingga menghalangi anak melakukan perilaku agresi.

(22)

27

bermainnya jika anak tersebut sedang merasa emosi. Faktor yang membuat anak tersebut melakukan perilaku agresi verbal maupun secara fisik itu dikarenakan anak sering merasakan kekerasan di dalam keluarganya baik itu dengan kontak fisik dengan orang tuanya maupun dengan cara dimarahi dengan bahasa yang kasar sehingga anak tersebut terbiasa dan mengikuti perilaku tersebut dalam kehidupan sehari-harinya. Anak yang melakukan perilaku agresi tersebut juga merasa senang dikarenakan dengan melakukan agresi tersebut adik dan temannya menjadi tunduk dan takut kepadanya.

3. Fatwa Tentama Pustaka (2012) tentang Aggressive Child Behavior:

Assessment and Interventions, dalam artikel ini juga menjelaskan betapa

(23)

28

E. Kerangka Pikir

Siswa merupakan subjek dalam kegiatan belajar mengajar, dalam kegiatan tersebut diharapkan siswa dapat berperilaku sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan yang pada akhirnya hal tersebut memberikan dukungan terhadap pencapaian tujuan pendidikan pada umunya dan tujuan KBM pada khususnya. Pada kenyataannya, tidak semua siswa berperilaku normal. Seringkali dijumpai siswa-siswa yang berperilaku menyimpang, salah satunya adalah perilaku agresif, perilaku agresif baik secara verbal maupun fisik. Perilaku agresif dapat memberikan dampak negatif, salah satunya adalah menghambat kegiatan belajar mengajar. Berbagai faktor menjadi penyebab sehingga siswa berperilaku agresif. Siswa yang berperilaku agresif tidak dapat didiamkan begitu saja, akan tetapi perlu mendapatkan perhatian khusus, sehingga dampak dari perilaku agresif dapat diminimalisir. Bagan kerangka berpikir dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1. Bagan Kerangka Berpikir SISWA BERBICARA

KASAR

UPAYA YANG DILAKUKAN

Gambar

Gambar 2.1. Bagan Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Tujuannya adalah untuk mengetahui perbedaan atau hubungan sebab akibat dengan cara membandingkan hasil kelompok eksperimen yang diberikan perlakuan dengan

Bakteri yang hanya mempunyai satu flagel yang melekat pada salah satu ujung selnya... Sel eukariotik lebih tinggi tingkatannya dari

Tata Usaha pada UPTD Tindak Darurat Dinas Cipta Karya dan Tata Kota Samarinda Eselon

Sintaks atau Pola Keseluruhan dan Alur Kegiatan Pembelajaran Pada model pengajaran langsung terdapat lima fase yang

Penelitian ini menekankan pada pengaruh penggunaan belimbing wuluh terhadap kualitas ekternal telur ayam (berat telur, berat kerabang telur, tebal kerabang telur

Beberapa kebijakan yang dapat diidentifikasi sebagai sumbangan program Yayasan KAKAK, antara lain: (1) Gagasan lahirnya Peraturan daerah perlindungan anak

Tabel Defenisi Operasional Penelitian Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan Kejadian Pneumonia pada Balita di Desa Srimartani Wilayah Kerja Puskesmas Piyungan

Kemudian dilanjutkan dengan bab II yang membahas mengenai landasan teori terkait kajian penelitian yang dilakukan, yaitu: manajemen pemasaran pendidikan inklusif