BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Animasi
Penggunaan animasi sebagai media untuk menyalurkan gagasan dan informasi sudah sangat berkembang di zaman kini. Definisi animasi menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) ialah film yang dibentuk oleh rangkaian lukisan atau gambar, yang dimana satu dengan lainnya hanya berbeda sedikit secara visualnya sehingga ketika diputar tampak di layar menjadi bergerak. Persis seperti apa yang dikemukakan oleh Williams (2001), animasi adalah sebuah gambar yang bergerak.
Gambar ini bisa berupa apa saja, baik itu benda, manusia, hewan, dan sebagainya.
Melihat gambar-gambar berurutan akan suatu aksi dapat memberikan efek
“bergerak” di kepala manusia, hal ini lah yang disebut dengan animasi.
Williams melalui bukunya menjelaskan mengapa sebuah animasi dapat
menjadi begitu menarik bagi manusia. Ia mengatakan bahwasanya suatu gambar,
apabila bergerak, sudah dapat membuat orang merasa tertarik. Suatu gambar,
apabila bergerak dan berbicara, sudah dapat membuat orang merasa lebih tertarik
lagi. Terakhir, apabila suatu gambar sudah bergerak, berbicara, dan bahkan
berpikir, maka hal tersebut akan hal yang luar biasa bagi manusia. Hal ini ia
buktikan melalui banyaknya bukti sejarah mengenai lukisan-lukisan zaman
prasejarah yang ada, hingga bagaimana takjubnya orang-orang Amerika pada saat
melihat penayangan film animasi pertama di sana.
2.1.1. Animasi Tiga Dimensi
Di zaman dewasa kini, animasi dapat diciptakan dengan berbagai macam teknik.
Beberapa contoh teknik-teknik tersebut ialah animasi tradisional (traditional animation), animasi stop-motion, animasi mechanical, animasi eksperimental, hingga animasi komputer (computer animation). Film “Cybercock” yang akan penulis garap menggunakan medium animasi komputer 3D.
Masson (2007) mengatakan bahwa animasi tiga dimensi merupakan sebuah model digital yang terdiri dari 3D polygon mesh. Model ini dapat dimanipulasi dengan sebebas-bebasnya oleh animator. Animasi 3D, seperti yang dikatakan oleh Adam Watkins (2012), juga merupakan sebuah proses dalam menciptakan suatu wujud digital yang muncul dalam tiga dimensi, dimana ‘wujud’ ini bisa digerakkan dan juga di-render dari segala arah. Medium animasi komputer 3D ini sudah dihitung dengan menggunakan penghitungan matematis, sehingga penempatan objek dengan kedalaman yang berbeda di dalam 3D scene akan tampak secara realistis.
2.1.2. Staging
Terdapat dua belas prinsip dalam animasi. Salah satu dari prinsip animasi tersebut ialah staging. Staging, seperti apa yang dipaparkan oleh Johnston dan Thomas (1981), merupakan sebuah presentasi akan ide yang terpapar jelas dan komplit.
Sebuah aksi diatur sedemikian rupa agar aksi tersebut dapat dipahami, ekspresi
diatur dapat terlihat, personalitas diatur agar dapat dimengerti, dan kesan yang
diatur untuk mempengaruhi penonton. Semua aspek-aspek tadi dapat terkomunikasikan dengan maksimal apabila diatur dengan baik.
Hal yang terpenting untuk selalu diperhatikan dalam membuat staging yang baik ialah dengan mempertimbangkan “titik cerita” yang ingin ditekankan. Apabila ingin menciptakan suatu adegan yang menegangkan, apakah perlu suatu karakter disorot secara close up? Atau mungkin adegan menegangkan tersebut perlu disorot secara long shot? Setiap adegan yang dibuat harus dapat memenuhi tujuan yang telah dirancang sebelumnya. Sebagai contohnya, apabila seorang pembuat film ingin menampilkan adegan yang menyeramkan, maka dalam adegan tersebut wajib pula terdapat unsur-unsur menyeramkan tersebut seperti misalnya rumah tua, angin malam yang berhembus, dan suara-suara misterius di malam hari.
Dalam merancang sebuah aksi, Johnston dan Thomas menegaskan bahwa hanya terdapat satu aksi saja yang terlihat dalam gambar, tidak perlu memasukkan aksi-aksi yang lain yang tidak begitu penting dalam adegan tersebut. Peletakan kamera juga penting dalam membingkai aksi apa yang dilakukan oleh seorang karakter. Apabila seorang karakter sedang menendang sesuatu, maka kita pun hanya perlu menyorot bagian kakinya saja, tidak perlu menyorot bagian atas tubuhnya yang dimana tidak begitu penting disampaikan apabila adegan dalam film tersebut memang hanya menendang saja.
2.2. Genre
Grant (2012) mengatakan bahwa genre secara sederhana dapat didefinisikan
sebagai fitur-fitur komersial dalam film, yang melalui repetasi dan variasi,
mengisahkan kisah yang familiar dengan karakter dan situasi dalam film yang familiar pula. Genre juga dapat berfungsi untuk memperkuat ekspetasi dan pengalaman yang serupa bagi penonton dalam menonton suatu film. “Fitur-fitur komersial” yang dimaksud Grant disini beberapa di antaranya ialah latar tempat dan waktu yang dipakai dalam suatu film, kisah yang akan diangkat, hingga pembawaan kisah tersebut dalam film.
Grant berkata bahwa salah satu penentu major dalam membangun karakteristik sebuah genre ialah visual yang ada di dalam film tersebut. Apabila kita ingin menciptakan genre horror, maka secara visual pun kita harus dapat mempertunjukkan aspek-aspek yang memperkuat kengerian tersebut. Seperti misalnya rumah tua, tengkorak, darah, dan gelap. Begitu juga dengan genre musikal, biasanya terdapat tarian, tempo, dan musik di dalam film bergenre musikal.
Terdapat dua jenis genre yang digunakan dalam film pendek “Cybercock”
ini. Genre tersebut ialah sebagai berikut:
1. Action
Genre action pada umumnya memperlihatkan konflik yang melibatkan kegiatan fisik di dalamnya. Genre ini memiliki ciri; misi untuk terbebas dari keadaan terdesak, kemampuan sang tokoh utama dalam mengatasi musuh atau rintangan, dan pertarungan fisik antar individu maupun kelompok. (Blackwell, 2015)
2. Science Fiction (Sci-fi)
Science fiction atau yang dalam bahasa Indonesianya bermakna fiksi ilmiah merupakan sebuah genre yang pada umumnya berfokus pada teknologi dan penggambaran akan masa depan. Pemahaman sci-fi lainnya ialah perkiraan rasional akan pergabungan dunia imajinasi dan realitas yang dibangun secara kreatif. (Baker, 2014)
2.3. Sabung Ayam
Mempertarungkan ayam merupakan sebuah tradisi yang sudah berusia sangat tua, bahkan lebih tua dari era Kristen di Eropa. Tradisi ini merupakan suatu tradisi yang telat tersebar luas di berbagai belahan dunia. Ayam, yang diyakini oleh peneliti mulai didomestikasikan 6000 tahun yang lalu di Cina, mulai dipertarungkan di India sejak tahun 1500 SM. Bukti penulisan akan sabung ayam di India ini menuliskan bahwa pada zaman itu, membesarkan ayam untuk dipertarungkan di arena dianggap sebagai seni. Memperjualbelikan ayam pada saat itu juga dianggap sangat menguntungkan. Sabung ayam sendiri mulai diperkenalkan di Eropa pada tahun 500 SM oleh orang-orang Persia. Kemudian tradisi tersebut pun terus berkembang dari kerajaan Romawi, Perancis, Inggris, hingga ke Amerika Serikat.
(Hans, 2014)
Untuk di Indonesia sendiri, tradisi sabung ayam sudah lama akrab dengan suku-suku di berbagai daerah Indonesia. Salah satunya ialah dengan orang-orang dari kabupaten Gianyar di Bali. Di Gianyar, tradisi pertarungan ayam ini disebut juga sebagai Aci Keburan. Aci Keburan ialah ritual pertarungan antara ayam jantan.
Ritual yang biasanya diadakan 6 bulan sekali ini bertujuan untuk
mempersembahkan pembayar janji yang dimana berhubungan dengan kesehetan semua hewan peliharaan. Namun karena pertarungan ayam ini seringkali sarat dengan perjudian di berbagai daerah, tradisi Aci Keburan ini seringkali dianggap sebagai laga perjudian ayam. (Ariningsih & Adnyana, 2017)
Dalam sabung ayam sendiri, terdapat gerakan-gerakan memukul yang dilancarkan oleh ayam tersebut. Gerakan yang paling umum digunakan ayam untuk berkelahi ialah cekernya. Seekor ayam seringkali menendang atau mencakar lawannya saat berkelahi. Paruh ayam biasa digunakan untuk mencapit atau mematuk musuhnya. Sedangkan sayap digunakan ayam untuk menjaga keseimbangan tubuhnya dan juga memperjauh lompatannya.
2.4. Storyboard
Menurut Mealing (1998), sebuah film animasi yang baik dan efektif membutuhkan perencanaan yang matang dalam pembuatannya. Salah satu perencanaan tersebut ialah dengan membuat storyboard, salah satu alat yang paling umum digunakan dalam merencanakan sebuah film animasi. Ibarat membangun sebuah rumah, tentu kita membutuhkan sebuah fondasi terlebih dahulu. Begitu pula dengan karya gambar bergerak, storyboard adalah salah satu fondasi awal yang terpenting dalam membuat sebuah karya tersebut. Storyboard atau yang berarti papan cerita dalam bahasa Indonesia adalah suatu rangkaian gambar yang menggambarkan momen- momen penting dan utama dalam suatu naskah.
Selain fungsinya yang berperan untuk memvisualisasikan sebuah ide
kedalam bentuk gambar, storyboard juga berfungsi untuk mempermudah proses
pengkomunikasian sebuah ide kepada semua pihak yang terlibat. Sebuah storyboard pada umumnya didiskusikan oleh banyak pihak dalam suatu produksi animasi, mulai dari artist, produser, sutradara, tim produksi, hingga klien yang bersangkutan. Proses pembuatan storyboard sendiri mengacu pada desain lokasi dan karakter yang telah dibuat, apa bila desain tersebut belum dirancang, maka storyboard pun tidak akan bisa dirancang.
Dalam membuat sebuah storyboard dengan visualisasi yang baik dan jelas, diperlukan pengalaman yang tinggi dalam memvisualisasikan bagaimana sebuah gambar tersebut bergerak dan seberapa lama gambar tersebut harus bergerak dalam waktu yang tepat. Dalam pembuatannya, sebuah gambar dalam storyboard terkadang tidak dapat merepresentasikan durasi suatu shot dengan tepat. Beberapa gambar kerap kali dibutuhkan agar durasi suatu shot dapat terepresentasikan dengan tepat.
2.4.1. Jenis Storyboard
Glebas (2009, hlm. 48) berkata bahwa storyboard pada medium-medium visual storytelling sudah berkembang sesuai dengan sisi artistik dan finansialnya.
Storyboard memiliki perancangan yang berbeda-beda pada setiap medium visual
storytelling yang akan dipakai. Pada siaran langsung di televisi, penempatan
kamera biasanya hanya terbatas pada tiga titik saja. Proses penyuntingan pada
siaran langsung seperti ini umumnya hanya diambil dari ketiga kamera tersebut,
sehingga perancangan storyboard yang mendalam tidak diperlukan.
Untuk storyboard pada film live action, penggambaran emosi seorang tokoh tidak perlu digambarkan dengan jelas karena para aktor sendiri sudah dapat menunjukkan emosi tersebut nantinya. Selain itu, hal tersebut juga sengaja dilakukan agar para aktor dapat mengeksplorasi karakterisasi tokoh dan performa akting mereka pada film yang mereka perankan. Perancangan blocking dan sinematografi pada film live action persis seperti apa yang dilakukan oleh departemen layout pada film animasi. Lain hal nya dengan film animasi. Pada film animasi, penggambaran emosi dan akting tokoh harus tervisualisasikan dengan jelas pada storyboard.
2.4.2. Proses Perancangan Storyboard
Terdapat tahap-tahap yang harus dilakukan dalam perancangan storyboard. Glebas (2009) menjabarkan proses perancangan tersebut dalam 6 tahap. Tahap tersebut ialah antara lain:
a. Persiapan
Sebelum memulai perancangan storyboard, hal yang perlu dimiliki sebelumnya ialah persiapan yang matang. Persiapan-persiapan tersebut meliputi konsep cerita, karakter, environment, kostum, visual development, properti, dan referensi-referensi gambar inspiratif untuk cerita.
b. Beat Board
Sebelum masuk ke tahap pembuatan storyboard yang sebenarnya, beat
board dibuat terlebih dahulu. Beat board merupakan representasi suatu
scene yang digambarkan dalam satu gambar saja. Beat board berguna bagi
sutradara sebagai petunjuk untuk mempresentasikan cerita film tersebut pada para investor, eksekutif, dan juga kru yang terlibat.
c. Peninjauan Storyboard
Setelah sebuah storyboard dirancang, storyboard tersebut harus ditinjau ulang kembali. Seorang storyboard artist akan kembali menganalisa titik- titik dramatis cerita pada naskah manakah yang sekiranya tepat untuk disertakan pada storyboard. Selan itu, seorang storyboard artist juga harus mengetahui kapan sebuah aksi dimulai dan berakhir, juga harus dapat menganalisa apakah aksi tersebut dapat membawa kesan yang menarik bagi penonton atau tidak.
d. Story Reels/Animatic
Setelah storyboard selesai digarap, proses pembuatan story reel atau yang biasa disebut animatic pun dapat dimulai. Animatic adalah storyboard final yang dianimasikan secara mentah dan hanya berfokus pada gerakannya saja.
Animatic juga biasanya disertakan dengan dubbing dan musik sementara.
Animatic sangat berguna bagi seluruh tim produksi dan juga klien bersangkutan, khususnya klien yang sekiranya tidak begitu berpengalaman dalam memvisualisasikan hasil akhir dari keinginan mereka. Sebuah storyboard yang komprehensif tidak akan menghalangi revisi yang terjadi pada proses produksi dan pra-produksi yang tengah berlangsung.
e. Proses Refinement
Setelah animatic dirancang, perlu adanya pengecekan kembali pada
animatic tersebut. Apakah animatic tersebut sudah tepat penyampaiannya
atau belum, apakah penonton dapat memahami ceritanya atau tidak, dan juga apakah ide yang ingin disampaikan melalui film tersebut perlu diklarifikasi ulang atau tidak.
f. Pitching
Setelah semua hal di atas dilakukan, hal terakhir yang harus dilakukan ialah pitching. Pitching ialah proses menjelaskan dan memperlihatkan stroyboard pada orang lain. Seorang storyboard artist harus dapat menjelaskan alur cerita, dialog, dan aksi dalam storyboard sesuai dengan waktu yang berjalan di dalam storyboard tersebut. Nantinya, sutradara dan produser akan menyeleksi kembali bagian-bagian mana saja yang sekiranya perlu direvisi atau tidak.
2.5. Shot
Perancangan storyboard terdiri dari shot-shot yang dirangkai hingga menjadi suatu
scene. Definisi shot dalam suatu film menurut Thames (1990) adalah suatu
rangkaian gambar berseri yang berjalan terus untuk waktu tertentu tanpa suatu
interupsi. Bowen dan Thompson (2013) berkata bahwa pada saat kita menonton
suatu pertunjukan, konser, maupun pertandingan olahraga secara langsung di
tempat, kita sebagai penonton hanya bisa menyaksikannya dalam sudut pandang
yang statis. Beda halnya apabila kita menonton pertunjukan tersebut melalui layar
kaca. Walau kita tidak bisa merasakan atmosfer keadaan acara tersebut secara
langsung, penonton melalui layar kaca mendapat kelebihan untuk melihat acara
tersebut secara lebih dekat dan terfokus melalui kamera-kamera yang ada di acara
tersebut.
Konsep ini persis digunakan di karya gambar bergerak seperti film dan animasi. Penonton film bisa turut merasakan peristiwa yang terjadi di dalam film tanpa harus berada langsung di peristiwa tersebut. Hal ini dapat terjadi dikarenakan kamera-kamera yang telah diatur sedemikian rupa di beberapa titik peristiwa hingga dapat menyampaikan suatu pesan pada penonton. Tim produksi dalam film hanya menangkap momen-momen penting dan berharga atas suatu peristiwa yang mereka rekam. Tiap-tiap gambar yang diambil kamera ini disebut juga sebagai shot.
Shot merupakan elemen dasar dalam sebuah film. Sebuah shot yang baik harus bisa menyampaikan sebuah pesan dalam film dengan baik pula. Sebuah shot juga harus dirancang sedemikian rupa agar penonton tidak salah menangkap pesan yang ingin kita sampaikan melalui film. Menurut Mercado (2009), segala apapun yang terlibat dalam suatu komposisi shot akan selalu diinterpretasikan oleh penonton bahwa hal-hal tersebut memiliki tujuan dan alasan yang jelas di dalam film tersebut. Sebuah jalannya cerita film akan menjadi tidak relevan apabila terdapat hal-hal yang tidak berhubungan dan penting pada suatu shot dalam film.
Pemahaman semacam ini bahkan sudah berkembang sejak zaman manusia gua
melukis di dalam gua. Manusia gua sendiri saja sadar bahwa mereka tidak perlu
menambahkan detil-detil tidak perlu pada lukisan mereka. Mercado menambahkan
bahwa apabila kita telah memahami dan menggunakan prinsip ini lebih jauh, kita
bisa membuat penonton mengerti mengenai seberapa pentingnya suatu kejadian
dalam shot berlangsung.
2.5.1. Rasio Aspek
Mercado (hlm 6) mengatakan bahwa di setiap perancangan komposisi shot, seorang perancang storyboard harus mengetahui terlebih dahulu mengenai seberapa besar rasio apsek (aspect ratio) yang akan digunakan. Setiap keputusan komposisi yang dipilih akan menentukan dimensi dari suatu shot. Rasio aspek adalah perbandingan antara lebar dan tinggi pada suatu frame atau shot. Ada beberapa rasio aspek yang umum digunakan dalam dunia perfilman, aspek-aspek rasio tersebut ialah sebagai berikut:
1. Rasio Aspek 2.39:1
Disebut juga sebagai anamorphic atau scope. Rasio aspek ini adalah salah satu rasio aspek yang paling umum digunakan di industri perfilman. Rasio aspek ini awalnya disebut sebagai rasio aspek 2.35:1 sampai pada tahun 1970-an.
Gambar 2.1. Rasio Aspek (Mercado, 2010, hlm. 6)
Mercado juga menambahkan bahwa penting bagi seorang pembuat film untuk mengetahui rasio aspek dalam format shooting dan juga format distribusi/eksibisi yang akan dilakukan. Hal ini bertujuan untuk memastikan kembali strategi visual yang akan dipertahankan dalam sebuah produksi.
2.5.2. Jarak Kamera
Menurut Thompson dan Bowen (2013), jenis shot dapat diklasifikasian dari segi jarak perbesaran ukuran sebuah subjek dalam frame pada sebuah shot. Jenis-jenis jarak shot tersebut ialah:
1. Close Up
Gambar 2.2 Close Up (Brave, 2012)
Shot close up adalah salah satu shot yang sangat efektif digunakan dalam
memperhubungkan penonton dengan film. Seperti yang dijelaskan oleh
Mercado (hlm 35), close up ialah shot jarak dekat. Kedekatan dan intimasi yang
diberikan melalui shot close up pada suatu karakter dapat membuat penonton
merasa lebih terkoneksi dan lebih memahami perasaan yang dialami karakter
dalam film tersebut.
Saat manusia yang menjadi subjek utamanya, tujuan shot close up dalam konteks ini ialah untuk memperlihatkan perubahan kecil yang terjadi dalam tindak tanduk dan ekspresi wajah sang karakter. Agar tujuan shot tersebut dapat tercapai, hal-hal yang tidak memiliki signifikansi dan relevansi yang jelas dalam shot haruslah tidak diikutsertakan.
2. Medium Shot
Gambar 2.3 Medium Shot (Toy Story 3, 2010)
Shot dengan jarak ini menyorot dari ujung kepala hingga bagian pinggang suatu karakter. Medium shot ini dapat berfungsi untuk memperlihatkan kedinamisan hubungan suatu karakter dalam shot. Shot ini juga seringkali digunakan untuk two shots, over the shoulder shots, dan juga group shots.
3. Long Shot
Gambar 2.4 Long Shot (Toy Story 3, 2010)
Shot ini menyorot suatu karakter secara menyuluruh seutuh tubuhnya. Menurut Mercado, shot ini tidaklah efektif dalam memperlihatkan emosi wajah pada suatu karakter. Pesan pada shot ini lebih dapat tersampaikan melalui gerakan tubuh suatu karakter. Long shot berfungsi menggambarkan suatu hubungan antara karakter dengan ruang yang ada di sekitarnya, juga dapat digunakan untuk menitikberatkan ruang kosong yang ada terhadap suatu karakter.
2.5.3. Komposisi
Menurut Ward (2003), penting bagi sebuah shot untuk memiliki komposisi yang jelas di dalamnya. Apabila suatu shot tidak memiliki perancangan komposisi di dalamnya, maka shot tersebut hanya akan menjadi suatu gambar hasil produk kamera semata, bukan sebuah shot yang terdiri dari proses berpikir kreatif sang pencipta terhadap shot yang diambil. Tujuan dari komposisi itu sendiri ialah untuk menyampaikan pesan secara efektif melalui pemilihan gaya fotografis yang tepat sesuai dengan konteks pesan dalam shot yang ingin dicapai.
Komposisi, seperti yang Ward katakan, adalah suatu proses pengaturan
segala elemen visual dalam gambar agar sebuah gambar dapat terlihat memuaskan
dan komplit seutuhnya, sesuai dengan konteks pesan yang ingin disampaikan
melalui shot. Suatu gambar dapat terintegrasi dengan baik melalui elemen
komposisi seperti positioning mass, pemilihan warna, dan penataan cahaya dengan
pengaturan yang paling tepat sesuai dengan konteks pesan shot yang ingin
disampaikan.
Ward menjelaskan bahwa dalam produksi film, seorang penata shot harus dapat memecahkan masalah visual dalam waktu yang sesingkat mungkin. Penata shot juga harus dapat me-render bagian terbaik suatu set melalui shot yang ia tunjukkan. Suatu shot harus dapat dikomunikasikan dengan ringkas, tepat sasaran, dan tidak bergantung pada voice over untuk menjelaskan pesan shot tersebut.
Penonton tidak boleh dipusingkan dengan pesan dan tujuan yang ingin disampaikan melalui shot.
Berangkat dari hal tersebut, Ward menegaskan mengenai betapa
signifikansinya sebuah perancangan komposisi pada suatu shot. Dalam
menciptakan shot yang baik, tentu diperlukan juga perancangan komposisi yang
baik. Menurut Ward, sebuah komposisi dapat dinilai baik adanya apabila komposisi
tersebut dapat memperkuat pikiran manusia dalam mengolah dan mengatur
informasi yang diberikan melalui shot dalam film. Suatu komposisi juga dapat
dinyatakan baik apabila komposisi tersebut berhasil menekankan elemen-elemen
visual seperti pengelompokan, pola, dan bentuk yang dimana elemen-elemen
tersebut dapat membantu penonton “membaca” suatu gambar dengan efisien dan
lancar. Apabila terdapat pergesekkan dalam pergerakkan visual, terdapat shot yang
secara mendadak di-cut, pemilihan focal point yang tidak tepat, dan perancangan
komposisi yang tidak matang pada suatu shot, maka penonton secara tidak sadar
akan mengalami ketidakpuasan terhadap shot tersebut. Dalam tahap yang paling
ekstrim, perhatian penonton bisa saja hilang dalam shot tersebut. Oleh karena itulah
peran komposisi menjadi begitu krusial dalam proses perancangan suatu shot (yang
juga termasuk dalam perancangan storyboard).
Mercado (2009) mengatakan bahwa terdapat prinsip-prinsip komposisi yang dapat digunakan dalam perancangan sebuah shot. Prinsip-prinsip tersebut ialah:
1. Canted Shot
Gambar 2.2 Canted Shot (Mercado, 2010, hlm.102)
Pada halaman 101, Mercado menyatakan bahwa canted shot adalah suatu shot yang sudut pandangnya dirancang untuk dimiringkan. Shot tersebut dimiringkan hingga garis vertikal dalam shot ini terjalin menjadi garis diagonal.
Shot ini dapat menciptakan kesan ketidakseimbangan spasial dan disorientasi,
sehingga dapat memberikan efek tensi dramatis, ketidakseimbangan psikologi,
kebimbangan, kemarahan, hingga efek penggunaan narkoba dalam otak
manusia sekalipun. Singkat kata, canted shot merepresentasikan keabnormalan
pikiran suatu karakter.
2. Rule of Third
Gambar 2.3 Rule of Third (Mercado, 2010, hlm.7)
Konvensi rule of third ini membagi sebuah gambar menjadi tiga bagian secara horizontal dan vertikal. Titik-titik pertemuan dalam gambar akan ditemukan setelah gambar tersebut dibagi tiga secara horizontal dan vertikal tadi. Titik- titik pertemuan ini disebut juga sebagai sweet spot. Penempatan subjek berdasarkan dengan arah tatapan tersebut bertujuan untuk memberikan looking room yang cukup kepada subjek. Selain itu, rule of third juga dapat digunakan sebagai garis horizon pada extreme long shot maupun establishing shot.
3. Balanced/Unbalanced Composition
Gambar 2.4 Balanced Composition (Mercado, 2010, hlm.8)
Sebuah objek dalam gambar membawa beban visualnya sendiri. Ukuran, warna, brightness, dan penempatan objek dapat mempengaruhi perspepsi penonton pada suatu shot. Sebuah komposisi dapat dikatakan balance apabila beban visual objek pada gambar secara merata terdistribusi. Sebuah komposisi dapat dikatakan unbalance apabila terjadi yang sebaliknya.
Gambar 2.5 Unbalanced Composition (Mercado, 2010, hlm.8)
Komposisi balance memiliki fungsi untuk menunjukan keseragaman, penentuan sebelum suatu kejadian, dan juga susunan. Sedangkan komposisi unbalance memiliki fungsi untuk menunjukan kesan kacau, kegelisahan, dan tensi pada suatu adegan. Kesan yang ingin diberikan melalui komposisi ini sangatlah bergantung pada konteks naratif yang akan digunakan.
4. Hitchcock’s Rule
Gambar 2.6 Hitchcock’s Rule
Hitchcock’s rule merupakan prinsip komposisi yang sebenarnya amat sederhana, namun sangat efektif dalam kegunaannya. Hitchcock’s rule adalah sebuah prinsip yang menyatakan bahwa ukuran sebuah objek pada gambar harus secara langsung berhubungan dengan kepentingannya pada suatu momen di cerita tersebut.
5. Relative Size
Relative size atau ukuran relatif adalah cara compositing yang didasarkan atas asumsi mata manusia. Apabila penonton melihat ada kedua objek yang berukuran sama, namun setelah itu salah satu objeknya menjadi lebih kecil ukurannya, maka benda tersebut akan lebih jauh daripada objek yang berukuran lebih besar.
Gambar 2.7 Relative Size (Mercado, 2010, hlm.10)
Object overlapping adalah dimana suatu objek A terlihat sebagian pada
gambar dan menutupi objek B yang terlihat lebih jauh daripada objek A.
6. Focal Point
.
Gambar 2.8 Focal Point (Mercado, 2010, hlm.11)
Agar suatu gagasan yang kita ingin sampaikan dapat terkomunikasikan dengan jelas, maka prinsip komposisi focal points akan diperlukan. Focal points adalah titik area pusat perhatian dalam suatu komposisi shot dimana penonton akan sengaja digiring melalui pengaturan-pengaturan elemen visual yang ada untuk melihat titik area tersebut
7. 180˚ Rule
Gambar 2.9 180 Rule (Mercado, 2010, hlm.12)
180˚ Rule ini dirancang untuk mempertahankan kontuinitas spasial pada subjek-
subjek yang sedang berinteraksi dalam suatu scene. Peraturan ini menyatakan
bahwa kamera harus selalu ditaruh di satu sisi garis imajinari yang diciptakan berdasarkan arah pandang atau gerak suatu subjek. Apabila peraturan tersebut dilanggar, maka transisi cut suatu shot tidak akan terproses dengan benar.
2.5.4. Sudut Kamera (Angles)
Thompson dan Bowen (2013) mengatakan bahwa penempatan posisi dan sudut pandang kamera dapat memperlihatkan informasi visual yang berbeda pula. Shot dapat dibagi berdasarkan sudut kameranya, yaitu:
1. High Angle
Mercado (2009) mengatakan bahwa tinggi letak sudut pandang kamera pada subjek dalam sebuah shot dapat dimanfaatkan oleh filmmaker untuk memanipulasi hubungan antara penonton dengan subjek dalam film.
Gambar 2.10 High angle (Mercado, 2010, hlm.9)
High angle ialah penempatan kamera diatas eye level subjek. Komposisi ini
umumnya digunakan untuk menunjukan kondisi subjek yang lemah, pasif, dan
tidak berdaya.
2. Low Angle
Gambar 2.11 Low angle (Mercado, 2010, hlm.9)
Low angle ialah kebalikan dari high angle. Low angle menempatkan kamera di bawah eye level subjek. Komposisi ini umumnya digunakan untuk menunjukan kondisi subjek yang percaya diri, mendominasi keadaan, dan memiliki kontrol.
Namun bukannya tidak mungkin apabila fungsi dari kedua angle tersebut dibalik demi kepentingan cerita yang akan disampaikan.
3. Subjective Shot
Gambar 2.12 Subjective Shot