• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP MITOS DAN NORMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP MITOS DAN NORMA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V

PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP MITOS DAN NORMA

5.1 Gambaran Sosial-Budaya Masyarakat Lokal

Masyarakat Kampung Batusuhunan merupakan masyarakat yang identik dengan agama Islam dikarenakan semua masyarakatnya memeluk agama Islam.

Meskipun masyarakat Kampung Batusuhunan 100 persen beragama Islam, akan tetapi masyarakat sangat menghargai dan mentoleransi agama lain selain Islam.

Mazhab Islam yang dijadikan pedoman oleh masyarakat ialah Islam yang dibawa oleh Wali Songo. Hal ini dikarenakan pada jaman dahulu, Kampung Batusuhunan dijadikan tempat pertemuan para Wali Songo dan menurut tokoh adat yang dijadikan informan kunci, di Kampung Batusuhunan juga terdapat makam salah satu Wali Songo yang menjadikan Kampung Batusuhunan sudah dikenal masyarakat luas sejak dahulu karena banyak orang yang berziarah ke makam tersebut. Hal ini diutarakan oleh tokoh adat Kampung Batusuhunan (HBY/70 tahun).

“… disini terdapat makam salah satu Wali Songo. Oleh karena itu memang sudah sejak dulu Kampung Batusuhunan dikenal masyarakat luas karena banyak yang sering datang ziarah kesini …”

Kampung Batusuhunan sendiri sebenarnya merupakan nama lain dari RT 14.

Setiap RT di Kelurahan Surade memiliki nama sendiri-sendiri yang membedakannya dengan RT lain. Pemimpin di Kampung Batusuhunan ialah seorang Kepala RT. Selain Kepala RT, tokoh berpengaruh lainnya di Kampung Batusuhunan adalah tokoh adat/tokoh agama yang mengaku sebagai keturunan langsung dari Prabu Siliwangi. Tokoh adat sangat dipercaya oleh masyarakat setempat dalam setiap pengambilan keputusan.

Sebelum adanya pengembangan lokasi “Ekowisata Islami Curug Cigangsa”,

Kampung Batusuhunan merupakan wilayah yang paling kurang terlihat

perkembangannya di Kelurahan Surade. Hal ini dapat disebabkan lokasi Kampung

Batusuhunan yang paling jauh dari pusat Kelurahan Surade. Masyarakat setempat

merupakan masyarakat asli yang masih kental dengan adat istiadat setempat. Akan

tetapi, hal ini tidak menjadikan masyarakat Kampung Batusuhunan menutup diri

(2)

terhadap modernitas. Masyarakat sangat menyambut dengan baik segala perubahan dan kemajuan yang datang dari luar, selama hal itu tidak keluar dari prinsip-prinsip Islam. Gaya hidup dan pergaulan masyarakat Kampung Batusuhunan sangat berpedoman dengan kaidah-kaidah Islam. Pergaulan antar lawan jenis, gaya berpakaian, gaya hidup, dan hal-hal lainnya sangat berpedoman pada ajaran Islam. Dengan ciri sosial-budaya yang demikian, maka dalam penelitian ini akan dideskripsikan bentuk-bentuk norma dan mitos yang dianut dan dilestarikan di Kampung Batusuhunan juga akan dianalisis persepsi dan penerimaan masyarakat terhadap pengembangan ekowisata.

5.2 Bentuk-bentuk Norma dan Mitos di Kampung Batusuhunan

Data kualitatif di lapangan menunjukkan masyarakat Kampung Batusuhunan merupakan masyarakat Islam yang menjunjung tinggi kaidah-kaidah Islam dan menerapkan dalam kesehariannya. Norma-norma dan mitos-mitos yang dipercaya dan diyakini masyarakat bersifat turun-temurun diperoleh dari para nenek moyang yang ada di Kampung Batusuhunan. Masyarakat yang mendiami Kampung Batusuhunan merupakan masyarakat asli yang sudah dari dulu mendiami kawasan tersebut, sehingga segala peraturan, norma dan mitos yang ada juga bersifat turun- temurun dan mendarah daging dalam diri masyarakat.

Norma-norma yang dianut dan dilestarikan di Kampung Batusuhunan dan Curug Cigangsa ditaati masyarakat karena sejalan dengan aturan-aturan yang diajarkan oleh agama Islam. Norma-norma tersebut antara lain:

1. Norma untuk tidak membuang sampah sembarangan baik di Kampung Batusuhunan maupun Curug Cigangsa.

2. Norma yang melarang menebang pohon sembarangan.

3. Norma yang melarang meminum minuman keras/alkohol.

4. Norma yang melarang untuk menggunakan narkotika.

5. Norma yang melarang wanita dan pria yang bukan muhrim berdua-duaan di lokasi ekowisata.

6. Norma yang melarang untuk membuat bangunan mencurigakan di lokasi

ekowisata.

(3)

7. Norma yang melarang untuk berada di lokasi Curug Cigangsa setelah pukul 5 sore.

8. Norma yang melarang untuk merusak/mengotori kawasan Curug Cigangsa.

Kesemua norma tersebut ditaati dan dijadikan pedoman masyarakat dalam pengembangan lokasi ekowisata Curug Cigangsa. Norma-norma yang ada di Kampung Batusuhunan dan Curug Cigangsa dibuat berdasarkan kaidah-kaidah Islam dan aturan-aturan yang diajarkan oleh Islam. Norma-norma itu sendiri bermanfaat bagi kelestarian lingkungan Kampung Batusuhunan dan Curug Cigangsa, dan juga bermanfaat untuk melestarikan kebudayaan masyarakat yang terkenal Islami dan masih menjunjung tinggi ajaran-ajaran leluhur.

Masyarakat Kampung Batusuhunan sendiri tidak ada yang keberatan dengan norma-norma yang telah ada sejak jaman dahulu tersebut. Masyarakat menganggap bahwa norma-norma yang telah ada merupakan hal baik dan harus terus dilestarikan. Hal-hal yang dilarang dalam norma dan dijadikan mitos tersebut merupakan hal-hal yang tidak diperbolehkan dalam ajaran Islam.

Sehingga alasan mengapa norma dan mitos itu ada ialah karena masyarakat Kampung Batusuhunan mentaati, menghormati dan ingin menjalankan ajaran Islam.

Norma-norma yang dianut dan dilestarikan di Kampung Batusuhunan merupakan norma-norma yang sudah ada sejak jaman leluhur. Norma-norma tersebut diturunkan kepada generasi-generasi selanjutnya melalui nasihat-nasihat yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya. Norma-norma tersebut ditegakkan melalui pemberian sanksi kepada masyarakat yang melanggarnya. Sampai saat ini belum pernah ada masyarakat yang melanggar norma tersebut, tetapi melalui wawancara dengan informan kunci, bentuk sanksi yang akan diberikan kepada masyarakat jika ada yang melanggar antara lain ditegur, dinasihati dan bahkan ada yang akan dilaporkan pada pihak yang berwajib.

Pengembangan kawasan Curug Cigangsa menjadi lokasi ekowisata juga semakin membuat masyarakat melestarikan norma-norma yang ada. Norma- norma yang telah disebutkan di atas tadi, juga ditunjang oleh beberapa mitos yang dipercaya masyarakat sekitar. Mitos ini sudah berkembang sejak jaman leluhur.

Mitos-mitos yang dipercaya masyarakat antara lain:

(4)

1. Terdapat mitos yang mengatakan bahwa apabila ada yang berenang di Curug Cigangsa tanpa menggunakan pakaian, maka akan celaka.

2. Terdapat mitos yang mengatakan bahwa apabila mengambil foto secara sembarangan, maka akan muncul sosok anak kecil di dalam foto tersebut.

3. Terdapat mitos yang mengatakan, sering terdengar suara adzan dari lokasi Curug Cigangsa.

4. Terdapat mitos yang mengatakan bahwa apabila kita sembarangan bicara, maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

5. Terdapat mitos yang mengatakan, apabila ada yang ingin meminum minuman keras di Curug Cigangsa, maka botol minuman tersebut akan jatuh dengan sendirinya.

6. Terdapat mitos yang mengatakan, batu yang ada di Batu Masigit, akan jatuh dan naik dengan sendirinya apabila di kawasan tersebut dijadikan tempat yang tidak sesuai dengan kaidah Islam.

Kesemua mitos tersebut sudah ada sejak jaman leluhur. Mitos-mitos tersebut dipercaya oleh masyarakat setempat dan diwariskan turun-temurun melalui pembicaraan dari mulut ke mulut antara orangtua kepada anaknya, antar tetangga, antar teman, dan lain-lain. Masyarakat setempat mempercayai adanya mitos ini dikarenakan sudah ada beberapa bukti nyata.

Saat ini, berdasarkan mitos-mitos dan norma yang sudah ada, dapat dilihat bahwa kehidupan bermasyarakat yang terjadi di Kampung Batusuhunan tidak terlepas dari ajaran Islam. Semua norma dan mitos dibuat dan ada sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang menjadi pedoman bagi masyarakat.

Masyarakat mempercayai norma dan mitos tersebut, karena sejalan dengan keinginan mereka dan kepercayaan mereka. Kampung Batusuhunan sendiri merupakan kampung dimana para Wali Songo sering melakukan pertemuan.

Pertemuan dilakukan di lokasi Batu Masigit. Oleh sebab itu, Batu Masigit dianggap keramat oleh masyarakat sekitar. Berikut penuturan salah satu warga (APS/49 tahun)

“… dahulu pernah Batu Masigit ada yang jatuh. Tidak terdengar bunyinya sama sekali tetapi tiba-tiba sudah ada di bawah. Keesokan harinya sudah naik lagi ke atas. Tidak ada yang tahu tiba-tiba sudah ada di atas lagi. Itu terjadi ketika Curug Cigangsa baru akan dibuka menjadi kawasan ekowisata…”

(5)

Selain mempercayai norma dan mitos yang ada, masyarakat juga akan memberikan sanksi terhadap masyarakat Kampung Batusuhunan yang melanggar norma dan mitos tersebut. Terutama norma dan mitos yang berhubungan dengan kaidah Islam. Penegakan peraturan ini dilakukan oleh para tokoh-tokoh masyarakat yang terdapat di Kampung Batusuhunan. Norma dan mitos tersebut semakin dilestarikan sebagai pendukung konsep “Ekowisata Islami” yang dijadikan konsep dalam kegiatan ekowisata yang ada di Curug Cigangsa. Adanya norma-norma dan mitos tersebut, diharapkan dapat mencegah dampak negatif yang mungkin muncul dari pengembangan kawasan ekowisata di Curug Cigangsa.

5.3 Pengetahuan dan Sikap Masyarakat terhadap Mitos dan Norma 5.3.1 Pengetahuan Masyarakat terhadap Mitos dan Norma

Kampung Batusuhunan merupakan kampung yang masih menjunjung tinggi kearifan lokal berupa norma-norma dan mitos-mitos yang menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Dengan adanya norma dan mitos, maka masyarakat lokal akan mampu meredam dampak negatif yang mungkin hadir dengan adanya ekowisata di Curug Cigangsa. Pada sub bab ini, dilihat hubungan antara karakteristik responden dengan tingkat pengetahuan masyarakat akan mitos dan norma yang dianut dan dilestarikan di Kampung Batusuhunan. Dengan asumsi bahwa adanya tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap mitos dan norma, maka diharapkan masyarakat mampu dan siap terhadap datangnya ekowisata di Kampung Batusuhunan.

Responden yang diteliti dibagi ke dalam tiga tingkat usia berdasarkan Havighurst (1950) dalam Mugniesyah (2006) dan berdasarkan jenis kelamin.

Pembagian tersebut antara lain golongan usia muda yang berkisar antara usia 18

tahun-30 tahun, golongan umur menengah antara 31 tahun-50 tahun, dan

golongan umur tua, yaitu lebih dari 51 tahun. Berdasarkan hasil kuesioner yang

telah dibagikan, maka dapat dilihat bahwa setiap tingkatan usia dan jenis kelamin

memiliki pengetahuan yang tinggi terhadap mitos dan norma yang terdapat di

lokasi ekowisata Curug Cigangsa. Untuk lebih jelasnya, data dan persentase

responden dapat dilihat pada Tabel 3.

(6)

Tabel 3. Persentase Responden berdasarkan Karakteristik dan Tingkat Pengetahuan terhadap Mitos dan Norma di Kampung Batusuhunan, Tahun 2012

Karakteristik

Tingkat Pengetahuan terhadap

Mitos dan Norma Total (%)

Rendah (%) Tinggi (%) Jenis

Kelamin

Pria 0 100,0 100,0

Wanita 0 100,0 100,0

Tingkat Usia

Muda 0 100,0 100,0

Menengah 0 100,0 100,0

Tua 0 100,0 100,0

Tingkat pengetahuan akan dikatakan tinggi apabila jumlah skor yang dihasilkan responden berkisar antara angka 16-20, sedangkan tingkat pengetahuan akan dikatakan rendah apabila jumlah skor yang dihasilkan responden berkisar antara angka 10-15. Skor tersebut ditentukan melalui perhitungan nilai maksimum dan minimum berdasarkan jawaban responden. Sebanyak 100 persen responden dari tiap tingkatan usia dan jenis kelamin memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap mitos dan norma yang ada di Curug Cigangsa. Data tersebut menunjukkan sebanyak 100 persen responden sangat mengetahui mengenai norma-norma dan mitos yang terdapat di Kampung Batusuhunan dan lokasi ekowisata Curug Cigangsa. Tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap mitos dan norma disebabkan beberapa hal, antara lain:

1. Responden merupakan masyarakat asli Kampung Batusuhunan, sehingga responden sangat mengetahui mengenai norma-norma dan mitos-mitos yang terdapat di Kampung Batusuhunan dan Curug Cigangsa.

2. Norma-norma dan mitos-mitos yang ada sangat berkaitan dengan aturan dan ajaran yang ada dalam agama Islam, sehingga responden yang 100 persen beragama Islam sudah sangat mengenal norma-norma tersebut sejak kecil.

3. Sebelum berkembang menjadi kawasan ekowisata, responden (masyarakat) Kampung Batusuhunan sudah sepakat akan mengembangkan konsep

“Ekowisata Islami” sebagai bentuk ekowisata Curug Cigangsa. Konsep

“Ekowisata Islami” sendiri akan dapat dilaksanakan apabila norma-norma

yang sudah ada semakin dilestarikan dan dikembangkan menjadi aturan-aturan

(7)

ekowisata di Curug Cigangsa. Oleh sebab itu, responden semakin melestarikan mitos dan norma dalam rangka mengembangkan konsep “Ekowisata Islami”.

4. Segala bentuk norma dan mitos yang diberikan dalam kuesioner, merupakan norma dan mitos yang sudah ada sejak jaman leluhur, sehingga tingkat pengetahuan responden terhadap norma dan mitos tersebut sangat tinggi karena responden sudah sangat mengenal mitos dan norma tersebut sejak masih kecil.

5. Tingkat kedekatan antara masing-masing warga di Kampung Batusuhunan sangat tinggi, sehinga masing-masing individu sangat mengenal norma dan mitos yang ada melalui pembicaraan sehari-hari antar warga.

Berdasarkan data pada Tabel 3, maka dapat disimpulkan bahwa seluruh responden yang merupakan masyarakat asli Kampung Batusuhunan memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap mitos dan norma yang terdapat di Kampung Batusuhunan. Data pada Tabel 3 juga menunjukkan bahwa baik jenis kelamin maupun tingkat usia tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap tingkat pengetahuan.

5.3.2 Sikap Masyarakat dalam Menghadapi Kemungkinan Dampak Negatif

Masyarakat Kampung Batusuhunan sebagai masyarakat yang mengelola

ekowisata di Curug Cigangsa tentu saja memiliki kepentingan terhadap

keberlanjutan ekowisata tersebut. Pengembangan ekowisata yang tidak disiapkan

dengan matang akan memunculkan dampak negatif. Dampak negatif tersebut

merupakan suatu hal yang sebisa mungkin harus dihindari, oleh karena itu

dibutuhkan tindakan dari masyarakat sebagai pelaku utama dari kegiatan

ekowisata. Sub bab ini melihat sikap apa yang akan ditunjukkan masyarakat

ketika dampak negatif dari ekowisata muncul di “Ekowisata Islami Curug

Cigangsa”. Sikap yang ditunjukkan terbagi ke dalam tiga pilihan, antara lain

mendukung adanya dampak negatif, diam saja, dan mencari cara untuk

meminimalisir dampak negatif. Responden dibagi ke dalam dua karakteristik,

yaitu berdasarkan jenis kelamin dan tingkat usia.

(8)

Tabel 4. Persentase Responden berdasarkan Karakteristik dan Sikap dalam Menghadapi Kemungkinan Dampak Negatif Ekowisata di Kampung Batusuhunan, Tahun 2012

Karakteristik

Sikap dalam Menghadapi Kemungkinan Dampak Negatif Ekowisata

Total (%) Mendukung

(%)

Diam Saja (%)

Mencari Cara Meminimalisir Dampak Negatif (%) Jenis

Kelamin

Pria 0 0 100,0 100,0

Wanita 0 0 100,0 100,0

Tingkat Usia

Muda 0 0 100,0 100,0

Menengah 0 0 100,0 100,0

Tua 0 0 100,0 100,0

Sebanyak 100 persen masyarakat baik berdasarkan jenis kelamin dan tingkat usia memilih akan mencari cara untuk meminimalisir dampak negatif ketika dampak negatif itu nanti muncul dalam “Ekowisata Islami Curug Cigangsa”. Hal ini menunjukkan masyarakat sudah memahami bahwa dampak negatif merupakan suatu hal yang dapat mengancam keberlanjutan konsep “Ekowisata Islami”.

Persentase angka 100 persen disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:

1. Responden tidak ingin konsep “Ekowisata Islami” tidak mengalami keberlanjutan dan tidak ingin nantinya ekowisata di Curug Cigangsa hanya akan menjadi ekowisata seperti pada umumnya.

2. Responden sudah sangat memahami bahwa dampak negatif merupakan suatu hal yang harus dihindari dan dicari alternatif penyelesaiannya demi keberlanjutan ekowisata di Curug Cigangsa.

Masyarakat sebagai aktor utama dalam pengembangan ekowisata sudah

menyadari bahwa dampak negatif dari ekowisata harus dicari jalan

penyelesaiannya. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat telah bersiap-siap

menghadapi dampak negatif yang akan muncul. Mitos dan norma dijadikan salah

satu upaya untuk mencegah dampak negatif dari ekowisata. Pada sub bab

selanjutnya, akan dibahas mengenai sikap yang akan dilakukan masyarakat

terhadap pelanggaran mitos dan norma di Kampung Batusuhunan.

(9)

5.3.3 Sikap Masyarakat terhadap Pelanggaran Mitos dan Norma

Masyarakat Kampung Batusuhunan ialah masyarakat yang mengatur segala kegiatan yang ada di Curug Cigangsa. Hal ini yang menjadikan sikap masyarakat terhadap penegakan mitos dan norma sangat penting. Sikap masyarakat akan menentukan keberlangsungan konsep “Ekowisata Islami” yang ada di Curug Cigangsa. Pada penelitian ini, selain dilihat hubungan karakteristik masyarakat dengan tingkat pengetahuan masyarakat terhadap mitos dan norma, juga dilihat hubungan antara karakteristik masyarakat dengan sikap masyarakat terhadap wisatawan yang melanggar mitos dan norma. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, dapat dilihat perbedaan jenis kelamin dan tingkat usia dalam memberikan pengaruh terhadap sikap masyarakat terhadap wisatawan yang melanggar mitos dan norma. Masing-masing responden memiliki pendapat sendiri terhadap sikap apa yang akan mereka lakukan terhadap wisatawan yang melanggar norma dan mitos. Seperti yang diutarakan oleh salah satu responden (LUK/18).

“… apabila ada wisatawan yang melanggar norma-norma disini, saya mungkin hanya akan menegur, tetapi kalau sudah kelewatan seperti memakai narkoba, mungkin akan saya laporkan kepada pihak yang berwajib. Kalau hanya cara berpakaian mungkin saya akan diam saja…”

Data dari 30 responden yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini akan disajikan dalam Tabel 5. Dalam tabel akan terlihat bagaimana hubungan jenis kelamin dan tingkat usia dengan sikap yang akan ditunjukkan masyarakat apabila terdapat wisatawan yang melanggar norma dan mitos yang ada. Sebanyak 30 responden telah diberikan kuesioner yang berisi sembilan pertanyaan mengenai sikap apa yang akan responden ambil ketika norma-norma dan mitos-mitos yang ada di Kampung Batusuhunan dan Curug Cigangsa dilanggar oleh wisatawan.

Apabila sikap yang ditunjukkan masyarakat tergolong tinggi, maka masyarakat

setempat menganggap mitos dan norma tersebut penting untuk dilestarikan,

sedangkan apabila sikap yang ditunjukkan rendah, maka masyarakat setempat

belum menganggap bahwa mitos dan norma yang ada di Kampung Batusuhunan

penting sebagai salah satu upaya pencegahan dampak negatif.

(10)

Tabel 5. Persentase Responden berdasarkan Karakteristik dan Sikap terhadap Pelanggaran Mitos dan Norma di Kampung Batusuhunan, Tahun 2012

Karakteristik

Sikap Masyarakat terhadap Pelanggaran

Mitos dan Norma Total (%)

Rendah (%) Sedang (%) Tinggi (%) Jenis

Kelamin

Pria 0 93,3 6,7 100,0

Wanita 0 100,0 0 100,0

Tingkat Usia

Muda 0 90,0 10,0 100,0

Menengah 0 100,0 0 100,0

Tua 0 100,0 0 100,0

Data yang telah disajikan dalam Tabel 5 menunjukkan hubungan antara tingkatan usia dan jenis kelamin dengan sikap yang ditunjukkan masyarakat apabila terdapat wisatawan yang melanggar mitos dan norma yang terdapat di Curug Cigangsa yang telah disesuaikan dengan konsep “Ekowisata Islami”. Sikap masyarakat akan dikatakan “rendah” apabila skor yang dihasilkan berkisar antara angka 9-15, “sedang” apabila berkisar antara angka 16-22 dan “tinggi” apabila berkisar di angka 23-27.

Sanksi yang “tinggi” dapat berupa pelaporan terhadap pihak yang berwajib atau sanksi-sanksi yang berat lainnya. Sikap yang “sedang”/sewajarnya ialah berupa teguran dan peringatan terhadap wisatawan. Sedangkan sikap “rendah”

ialah ketika masyarakat hanya diam saja ketika ada wisatawan yang melanggar mitos dan norma. Banyaknya persentase sikap “sedang” menunjukkan bahwa masyarakat Kampung Batusuhunan masih dapat memberikan toleransi terhadap wisatawan yang melanggar mitos dan norma yang berlaku disana. Sikap “rendah”,

“sedang” dan “tinggi” yang ditunjukkan oleh responden tersebut disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:

1. Responden yang akan menunjukkan sikap “tinggi” memiliki tingkat ketakutan

yang lebih tinggi akan masuknya pengaruh dari luar ke dalam lingkungan

Kampung Batusuhunan dikarenakan responden merasa sikap masyarakat

masih dapat berubah-ubah, yang nantinya dianggap akan mempengaruhi

kehidupan masyarakat yang sebelumnya sangat Islami. Responden pada

golongan usia muda yang akan memberikan sikap “tinggi” juga memiliki

emosi yang masih lebih berapi-api dibandingkan responden yang sudah lebih

dewasa dikarenakan masih terbawa jiwa muda, sehingga ketika ditanyakan

(11)

apa tindakan yang akan diambil apabila terdapat wisatawan yang melanggar, maka responden golongan usia muda tersebut akan memberikan sikap yang lebih tegas kepada para wisatawan. Terdapat angka 6,7 persen yang menunjukkan sikap “tinggi” pada salah satu responden pria, hal ini disebabkan responden pria memiliki sikap yang lebih tegas dibandingkan dengan responden wanita. Sifat wanita yang lebih mementingkan perasaan seseorang mempengaruhi bentuk tindakan yang diambil ketika terdapat wisatawan yang melanggar norma dan mitos yang ada di Kampung Batusuhunan dan Curug Cigangsa.

2. Responden yang memberikan sikap yang “sedang” percaya bahwa masyarakat Kampung Batusuhunan tidak akan dengan mudahnya terpengaruh dengan segala hal negatif yang dibawa oleh wisatawan ke dalam lingkungan mereka karena masyarakat sudah memiliki mitos dan norma yang membentuk prinsip yang kuat. Responden pada golongan usia menengah dan usia tua beranggapan bahwa wisatawan memiliki privasi sendiri dimana masyarakat setempat tidak dapat bertindak dengan cara yang berlebihan (masih ada batasan) ketika wisatawan tersebut melanggar norma dan mitos yang ada di Kampung Batusuhunan dan Curug Cigangsa. Seperti yang diutarakan oleh salah satu responden (ZAE/63 tahun).

“… saya hanya akan menegur masyarakat apabila ada yang melanggar norma yang ada. Hal ini dikarenakan saya yakin wisatawan akan faham kalau sudah ditegur satu kali, sehingga tidak perlu memberikan sanksi lebih …”

Sikap “sedang” pada responden wanita juga disebabkan responden wanita masih menghargai wisatawan yang datang dengan segala kebudayaan dan kebiasaannya yang berbeda-beda yang seringkali bertolak belakang dengan norma-norma yang dilestarikan masyarakat setempat. Sehingga sikap yang ditunjukkan masih cenderung wajar yang hanya berupa teguran dan peringatan yang dinilai sudah cukup untuk mencegah pelanggaran mitos dan norma untuk kedua kalinya.

3. Angka 0 persen pada sikap “rendah” menunjukkan baik pada responden pria

dan wanita kemungkinan untuk mengikuti dan terpengaruh oleh sikap-sikap

(12)

wisatawan yang tidak sesuai dengan kebudayaan dan kebiasaan sekitar memiliki kemungkinan yang sangat kecil dikarenakan responden yakin akan prinsip masing-masing yang masih sangat menjunjung tinggi norma yang ada.

Sikap responden akan tergolong “rendah” apabila responden diam saja dan bahkan mengikuti ketika wisatawan bertindak sesuatu yang tidak sesuai dengan peraturan dan kebiasaan masyarakat setempat. Hal ini seperti yang diutarakan oleh salah satu responden (DAS/35 tahun).

“… kalau kami mengikuti tingkah laku wisatawan yang buruk, itu tidak akan mungkin. Hal ini dikarenakan masyarakat setempat masih menjunjung tinggi norma-norma yang dilestarikan selama ini …”

Berdasarkan data pada Tabel 5, dapat disimpulkan bahwa sikap yang akan ditunjukkan masyarakat setempat apabila terdapat wisatawan yang melanggar mitos dan norma yang ada sudah cukup tegas karena sebagian besar masyarakat akan memberikan teguran terhadap wisatawan yang melanggar mitos dan norma.

Hal ini cukup memperlihatkan bahwa masyarakat sudah menganggap pelanggaran mitos dan norma itu merupakan hal yang penting untuk ditegakkan.

5.4 Ikhtisar

Pengembangan suatu kawasan menjadi kawasan ekowisata akan memberikan banyak dampak. Dampak tersebut disebabkan masuknya pengaruh dari luar ke dalam lingkungan masyarakat setempat. Dampak positif merupakan hasil yang diharapkan dari pengembangan kawasan ini, akan tetapi dampak negatif juga memiliki kemungkinan untuk muncul apabila masyarakat sekitar tidak siap dan tidak memiliki penangkal dampak negatif tersebut. Norma dan mitos dapat dijadikan salah satu cara untuk mencegah dampak negatif dari kegiatan ekowisata.

Tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap mitos dan norma akan menentukan keberlangsungan mitos dan norma tersebut sebagai landasan konsep

“Ekowisata Islami”. Berdasarkan data yang ada, dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Masyarakat Kampung Batusuhunan sangat menghargai dan menghormati

segala norma-norma dan mitos-mitos yang ada di Kampung Batusuhunan dan

juga Curug Cigangsa. Norma-norma dan mitos-mitos sudah ada sejak jaman

leluhur dan semakin dilestarikan ketika Curug Cigangsa dibuka menjadi

(13)

kawasan ekowisata. Hal ini disebabkan masyarakat lokal tidak menginginkan terjadinya perubahan budaya akibat datangnya wisatawan.

2. Tingkatan usia dan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan terhadap mitos dan norma. Hal ini dikarenakan seluruh masyarakat Kampung Batusuhunan sangat memahami dan mengetahui norma- norma dan mitos-mitos yang ada di Kampung Batusuhunan dan Curug Cigangsa. Norma-norma dan mitos yang sudah ada sejak jaman dahulu dijadikan pedoman dalam bertingkah laku sehari-hari, dan juga sebagai pedoman dalam pengembangan dan pelaksanan kegiatan ekowisata di Curug Cigangsa.

3. Pengembangan kawasan ekowisata menyebabkan ada kemungkinan munculnya dampak negatif bagi masyarakat dan lokasi ekowisata. Dampak negatif sebisa mungkin harus dihindari. Hal ini menjadikan 100 persen responden menjawab akan mencari cara untuk meminimalisir dampak negatif yang berkemungkinan muncul dari pengeembangan ekowisata di Kampung Batusuhunan.

4. Sikap yang ditunjukkan masyarakat terhadap pelanggaran mitos dan norma cukup berbeda berdasarkan jenis kelamin dan tingkat usia. Responden yang berasal dari golongan usia muda akan memberikan sikap yang “tinggi” apabila terdapat wisatawan yang melanggar norma dan mitos yang terdapat di Kampung Batusuhunan dan Curug Cigangsa. Sikap yang “tinggi” ditunjukkan dengan pemberian sanksi terhadap wisatawan yang melanggar mitos dan norma. Pada golongan usia menengah dan tua, hasil data di lapangan menunjukkan bahwa golongan usia ini akan memberikan sikap yang

“sedang”/wajar terhadap wisatawan yang melanggar mitos dan norma yang ada. Sedangkan berdasarkan jenis kelamin, sebanyak 6,7 persen responden pria menjawab akan memberikan sikap yang “tinggi”, dan sebanyak 93,3 persen menjawab akan memberikan sikap “sedang”. Pada responden wanita, sebanyak 100 persen responden menjawab akan menunjukkan sikap yang

“sedang”/wajar terhadap wisatawan yang melanggar mitos dan norma.

Referensi

Dokumen terkait

Data di atas digunakan untuk mengetahui pengaruh model discovery learning dan seberapa besar pengaruh model discovery learning terhadap hasil belajar siswa

Istirahat yang adekuat dianjurkan setelah dialisis, karena adanya perubahan keseimbangan cairan & elektrolit yang cepat pada proses dialisis sangat

Dari beberapa definisi tersebut, dapat dipahami bahwa kebijakan publik merupakan keputusan atau serangkaian keputusan yang selanjutnya diikuti oleh tindakan yang dilakukan

Perbedaan tingkat kerapatan vegetasi mangrove serta jenis mangrove yang ditemukan juga berpengaruh terhadap kandungan bahan organik pada substrat dimana sesuai dengan besarnya

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

DAERAH PENGALIRAN SUNGAI .... KONSEP SEDIMENTASI

Dalam kegiatan sosialisasi tersebut dipaparkan 4 topik yaitu: (i) Rencana Isu Konferensi Tingkat Menteri WTO ke - IX 2013 yang disampaikan oleh Direktur Kerja Sama Multilateral;

Penelitian yang dilakukan oleh Mesah (2012) terhadap siswa SDN Penanggungan Kota Malang juga menunjukkan bahwa pasca-penyuluhan miopia, terjadi peningkatan